Prinsip transfusin darah bagi anak dan remaja serupa dengan dewasatetapi neonatus dan bayi
mempunyainbanyak pertimbangan khusus. Maka untuk dapat menentukan kapan seorang
anak harus dilakukan transfusi dan berapa banyak jumlah darah atau komponen darah yang
akan di transfusikan maka disini akan di bahas mengenai persiapan, indikasi, prinsip transfusi
komponen darah dan darah lengkap sesuai umur anak dan komplikasi transfusi darah.
B. Definisi
1. Donor darah adalah proses pengambilan darah dari seseorang secara sukarela untuk disimpan
di bank darah untuk kemudian dipakai pada transfusi darah
2. Transfusi Darah adalah proses pemindahan darah dari seseorang yang sehat (donor) ke orang
sakit (respien). Darah yang dipindahkan dapat berupa darah lengkap dan komponen darah.
3. Transfusi darah adalah suatu tindakan medis yang bertujuan mengganti kehilangan darah
pasien akibat kecelakaan, operasi pembedahan atau oleh karena suatu penyakit. Darah yang
tersimpan di dalam kantong darah dimasukan ke dalam tubuh melalui selang infus.
II. Indikasi
A. Indikasi
Transfusi darah diperlukan saat anda kehilangan banyak darah, misalnya pada :
1. Kecelakaan, trauma atau operasi pembedahan yang besar.
2. Penyakit yang menyebabkan terjadinya perdarahan misal maag khronis dan berdarah.
3. Penyakit yang menyebabkan kerusakan sel darah dalam jumlah besar, misal anemia
hemolitik atau trombositopenia.
4. Jika anda menderita penyakit pada sumsum tulang sehingga produksi sel darah terganggu
seperti pada penyakit anemia aplastik maka anda juga akan membutuhkan transfusi darah.
Beberapa penyakit seperti hemofilia yang menyebabkan gangguan produksi beberapa
komponen darah maka anda mungkin membutuhkan transfusi komponen darah tersebut.
B. Syarat menjadi pendonor
1. Umur 17 - 60 tahun
( Pada usia 17 tahun diperbolehkan menjadi donor bila mendapat ijin tertulis dari orangtua.
Sampai usia tahun donor masih dapat menyumbangkan darahnya dengan jarak
penyumbangan 3 bulan atas pertimbangan dokter )
2. Berat badan minimum 45 kg
3. Temperatur tubuh : 36,6 - 37,5o C (oral)
4. Tekanan darah baik ,yaitu:
a. Sistole = 110 - 160 mm Hg
b. Diastole = 70 - 100 mm Hg
5. Denyut nadi; Teratur 50 - 100 kali/ menit
6. Hemoglobin
a. Wanita minimal = 12 gr %
b. Pria minimal = 12,5 gr %
7. Jumlah penyumbangan pertahun paling banyak 5 kali, dengan jarak penyumbangan
sekurang-kurangnya 3 bulan. Keadaan ini harus sesuai dengan keadaan umum donor.
C. Orang yang tidak boleh menjadi pendonor
1. Pernah menderita hepatitis B.
2. Dalam jangka waktu 6 bulan sesudah kontak erat dengan penderita hepatitis.
3. Dalam jangka waktu 6 bulan sesudah transfusi.
4. Dalam jangka waktu 6 bulan sesudah tattoo/tindik telinga.
5. Dalam jangka waktu 72 jam sesudah operasi gigi.
6. Dalam jangka wktu 6 bulan sesudah operasi kecil.
7. Dalam jangka waktu 12 bulan sesudah operasi besar.
8. Dalam jangka waktu 24 jam sesudah vaksinasi polio, influenza, cholera, tetanus dipteria
atau profilaksis.
9. Dalam jangka waktu 2 minggu sesudah vaksinasi virus hidup parotitis epidemica, measles,
tetanus toxin.
10. Dalam jangka waktu 1 tahun sesudah injeksi terakhir imunisasi rabies therapeutic.
11. Dalam jangka waktu 1 minggu sesudah gejala alergi menghilang.
12. Dalam jangka waktu 1 tahun sesudah transpalantasi kulit.
13. Sedang hamil dan dalam jangka waktu 6 bulan sesudah persalinan.
14. Sedang menyusui.
15. Ketergantungan obat.
16. Alkoholisme akut dan kronik.
17. Sifilis.
18. Menderita tuberkulosa secara klinis.
19. Menderita epilepsi dan sering kejang.
20. Menderita penyakit kulit pada vena (pembuluh balik) yang akan ditusuk.
21. Mempunyai kecenderungan perdarahan atau penyakit darah, misalnya, defisiensi G6PD,
thalasemia, polibetemiavera.
22. Seseorang yang termasuk kelompok masyarakat yang mempunyai resiko tinggi untuk
mendapatkan HIV/AIDS (homoseks, morfinis, berganti-ganti pasangan seks, pemakai jarum
suntik tidak steril).
23. Pengidap HIV/ AIDS menurut hasil pemeriksaan pada saat donor darah.
D. Manfaat Donor Darah
1. Bagi Pendonor
a. Dapat memeriksakan kesehatan secara berkala 3 bulan sekali seperti tensi, Lab Uji Saring
(HIV, Hepatitis B, C, Sifilis dan Malaria).
b. Mendapatkan piagam penghargaan sesuai dengan jumlah menyumbang darahnya antara
lain 10, 25, 50, 75, 100 kali.
c. Donor darah 100 kali mendapat penghargaan Satya Lencana Kebaktian Sosial dari
Pemerintah.
d. Merupakan bagian dari ibadah.
e. Sarana amal kemanusiaan bagi yang sakit, kecelakaan, operasi dll (setetes darah
merupakan nyawa bagi mereka)
f. Pendonor yang secara teratur Mendonorkan Darah (setiap 3 Bulan) akan menurunkan
Resiko Terkena penyakit Jantung sebesar 30 % (British Journal Heart) seperti serangan
jantung Koroner dan Stroke.
g. Pemeriksaan ringan secara triwulanan meliputi Tensi darah, kebugaran (Hb), gangguan
kesehatan (hepatitis, gangguan dalam darah dll)
h. Mencegah stroke (Pria lebih rentan terkena stroke dibanding wanita karena wanita keluar
darah rutin lewat menstruasi kalau pria sarana terbaik lewat donor darah aktif)
2. Bagi Resipen
Sekantong darah yang didonorkan seringkali dapat menyelamatkan nyawa seseorang. Darah
adalah komponen tubuh yang berperan membawa nutrisi dan oksigen ke semua organ tubuh,
termasuk organ-organ vital seperti otak, jantung, paru-paru, ginjal, dan hati. Jika darah yang
beredar di dalam tubuh sangat sedikit oleh karena berbagai hal, maka organ-organ tersebut
akan kekurangan nutrisi dan oksigen.
Akibatnya, dalam waktu singkat terjadi kerusakan jaringan dan kegagalan fungsi organ, yang
berujung pada kematian. Untuk mencegah hal itu, dibutuhkan pasokan darah dari luar tubuh.
Jika darah dalam tubuh jumlahnya sudah memadai, maka kematian dapat dihindari.
E. Reaksi transfusi
Risiko transfusi darah ini dapat dibedakan atas reaksi cepat dan lambat.
1. Reaksi akut
Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau dalam 24 jam setelah transfusi.
Reaksi akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu ringan, sedang-berat dan reaksi yang
membahayakan nyawa. Reaksi ringan ditandai dengan timbulnya pruritus, urtikaria dan rash.
Reaksi ringan ini disebabkan oleh hipersensitivitas ringan. Reaksi sedang-berat ditandai
dengan adanya gejala gelisah, lemah, pruritus, palpitasi, dispnea ringan dan nyeri kepala.
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya warna kemerahan di kulit, urtikaria,
demam, takikardia, kaku otot. Reaksi ringan diatasi dengan pemberian antipiretik,
antihistamin atau kortikosteroid, dan pemberian transfusi dengan tetesan diperlambat.
Reaksi sedang-berat biasanya disebabkan oleh hipersensitivitas sedang-berat, demam akibat
reaksi transfusi non-hemolitik (antibodi terhadap leukosit, protein, trombosit), kontaminasi
pirogen dan/atau bakteri.
Pada reaksi yang membahayakan nyawa ditemukan gejala gelisah, nyeri dada, nyeri di
sekitar tempat masuknya infus, napas pendek, nyeri punggung, nyeri kepala, dan dispnea.
Terdapat pula tanda-tanda kaku otot, demam, lemah, hipotensi (turun ≥20% tekanan darah
sistolik), takikardia (naik ≥20%), hemoglobinuria dan perdarahan yang tidak jelas. Reaksi ini
disebabkan oleh hemolisis intravaskular akut, kontaminasi bakteri, syok septik, kelebihan
cairan, anafilaksis dan gagal paru akut akibat transfusi.
a. Hemolisis intravaskular akut
Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan inkompatibilitas sel darah
merah. Antibodi dalam plasma pasien akan melisiskan sel darah merah yang inkompatibel.
Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat
menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka akan
semakin meningkatkan risiko.
Penyebab terbanyak adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini biasanya terjadi akibat kesalahan
dalam permintaan darah, pengambilan contoh darah dari pasien ke tabung yang belum
diberikan label, kesalahan pemberian label pada tabung dan ketidaktelitian memeriksa
identitas pasien sebelum transfusi. Selain itu penyebab lainnya adalah adanya antibodi dalam
plasma pasien melawan antigen golongan darah lain (selain golongan darah ABO) dari darah
yang ditransfusikan, seperti sistem Idd, Kell atau Duffy.
Jika pasien sadar, gejala dan tanda biasanya timbul dalam beberapa menit awal transfusi,
kadang-kadang timbul jika telah diberikan kurang dari 10 ml. Jika pasien tidak sadar atau
dalam anestesia, hipotensi atau perdarahan yang tidak terkontrol mungkin merupakan satu-
satunya tanda inkompatibilitas transfusi. Pengawasan pasien dilakukan sejak awal transfusi
dari setiap unit darah.
b. Kelebihan cairan
Kelebihan cairan menyebabkan gagal jantung dan edema paru. Hal ini dapat terjadi bila
terlalu banyak cairan yang ditransfusikan, transfusi terlalu cepat, atau penurunan fungsi
ginjal. Kelebihan cairan terutama terjadi pada pasien dengan anemia kronik dan memiliki
penyakit dasar kardiovaskular.
c. Reaksi anafilaksis
Risiko meningkat sesuai dengan kecepatan transfusi. Sitokin dalam plasma merupakan salah
satu penyebab bronkokonstriksi dan vasokonstriksi pada resipien tertentu. Selain itu,
defisiensi IgA dapat menyebabkan reaksi anafilaksis sangat berat. Hal itu dapat disebabkan
produk darah yang banyak mengandung IgA. Reaksi ini terjadi dalam beberapa menit awal
transfusi dan ditandai dengan syok (kolaps kardiovaskular), distress pernapasan dan tanpa
demam. Anafilaksis dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan cepat dan agresif
dengan antihistamin dan adrenalin.
d. Cedera paru akut akibat transfusi (Transfusion-associated acute lung injury = TRALI)
Cedera paru akut disebabkan oleh plasma donor yang mengandung antibodi yang melawan
leukosit pasien. Kegagalan fungsi paru biasanya timbul dalam 1-4 jam sejak awal transfusi,
dengan gambaran foto toraks kesuraman yang difus. Tidak ada terapi spesifik, namun
diperlukan bantuan pernapasan di ruang rawat intensif.
2. Reaksi lambat
Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah transfusi dengan gejala dan tanda demam,
anemia, ikterik dan hemoglobinuria. Reaksi hemolitik lambat yang berat dan mengancam
nyawa disertai syok, gagal ginjal dan DIC jarang terjadi. Pencegahan dilakukan dengan
pemeriksaan laboratorium antibodi sel darah merah dalam plasma pasien dan pemilihan sel
darah kompatibel dengan antibodi tersebut.
a. Purpura pasca transfuse
Purpura pasca transfusi merupakan komplikasi yang jarang tetapi potensial membahayakan
pada transfusi sel darah merah atau trombosit. Hal ini disebabkan adanya antibodi langsung
yang melawan antigen spesifik trombosit pada resipien. Lebih banyak terjadi pada wanita.
Gejala dan tanda yang timbul adalah perdarahan dan adanya trombositopenia berat akut 5-10
hari setelah transfusi yang biasanya terjadi bila hitung trombosit <100.000/uL.
Penatalaksanaan penting terutama bila hitung trombosit ≤50.000/uL dan perdarahan yang
tidak terlihat dengan hitung trombosit 20.000/uL. Pencegahan dilakukan dengan memberikan
trombosit yang kompatibel dengan antibodi pasien.
b. Penyakit graft-versus-host
Komplikasi ini jarang terjadi namun potensial membahayakan. Biasanya terjadi pada pasien
imunodefisiensi, terutama pasien dengan transplantasi sumsum tulang; dan pasien
imunokompeten yang diberi transfusi dari individu yang memiliki tipe jaringan kompatibel
(HLA: human leucocyte antigen), biasanya yang memiliki hubungan darah. Gejala dan tanda,
seperti demam, rash kulit dan deskuamasi, diare, hepatitis, pansitopenia, biasanya timbul 10-
12 hari setelah transfusi. Tidak ada terapi spesifik, terapi hanya bersifat suportif.
c. Kelebihan besi
Pasien yang bergantung pada transfusi berulang dalam jangka waktu panjang akan
mengalami akumulasi besi dalam tubuhnya (hemosiderosis). Biasanya ditandai dengan gagal
organ (jantung dan hati). Tidak ada mekanisme fisiologis untuk menghilangkan kelebihan
besi. Obat pengikat besi seperti desferioksamin, diberikan untuk meminimalkan akumulasi
besi dan mempertahankan kadar serum feritin <2.000 mg/l.
d. Infeksi
Infeksi yang berisiko terjadi akibat transfusi adalah Hepatitis B dan C, HIV, CMV, malaria,
sifilis, bruselosis, tripanosomiasis)
1. 1. Whole blood
Kelebihan
Kekurangan
Penyediaan lama
Waktu penyimpanan pendek
Reaksi anafilaktik ringan sampai parah
Alloimunisasi
Reaksi hemolisis
Reaksi infeksi
Viskositas meningkat
Overload volume
Hiperkalium, hiperkalsium, asidosis
Harga mahal
1. Larutan elektrolit
Kelebihan
Kekurangan
Kelebihan
Kekurangan
Reaksi anafilaksis
Koagulopati
Albumin bisa memperberat depresi miokard pada pasien syok
1. Larutan dekstran
Kelebihan
Kekurangan
1. HES
Kelebihan
Kekurangan
1. Haemaccel
Kelebihan
Iso-osmotik
Mempertahankan keseimbangan cairan
Efek volume optimal
Perbaikan fungsi renal
Tidak mengganggu hemostasis
Tidak mengganggu blood grouping
Tidak terjadi akumulasi pada RES
Ekonomis
Kekurangan
Reaksi anafilaktoid
1. NATRIUM
Hiperglikemi
Koreksi nilai natrium (setiap peningkatan glukosa darah sebesar 100 mg/dl mengurangi
natrium sebesar 1,7 mEq/L)
Hiperlipidemi
Osmolalitas serum yang diukur akan normal atau lebih besar daripada osmolalitas yang
dihitung (Osm = [2 x Na] + [Glukosa/18] + [BUN/2,8])
2) Hiponatremia dilutional à hipervolemia dengan ekspansi air tubuh total
Merupakan hiponatremia yang disebabkan oleh gangguan ekskresi air, tampak sebagai
edema; misalnya pada CHF, gangguan ginjal dan sindroma nefrotik.
3) Hiponatremia hipovolemik à deplesi natrium melebihi deplesi air; misalnya pada gagal
ginjal, hipotiroid dan penyakit Addison.
4) Hiponatremia euvolemik à deplesi natrium dan air dalam jumlah sebanding
Hal ini terjadi pada kehilangan air dan natrium melalui saluran cerna (pada muntah, sedot
nasogastrik, diare), kehilangan ke rongga ketiga (pada luka bakar, pembedahan), keringat
berlebihan, penyakit ginjal dan adrenal (pada DM tak terkendali, hipoaldosteron, penyakit
Addison, fase pemulihan dari penyakit ginjal).
Gambaran Klinis
Tatalaksana hiponatremia
Jumlah Na (mEq) = [125 mEq/L – Na serum aktual (mEq/L)] x TBW (dalam liter)
TBW (Total Body Water) = 0,6 x BB (dalam kg)
Larutan pengganti bisa berupa NaCl 3% atau 5% (masing-masing mengandung 0,51
mEq/ml dan 0,86 mEq/ml)
Pada pasien dengan ekspansi cairan ekstrasel, mungkin dperlukan diuretik
Hiponatremia bisa dikoreksi dengan NaCl hipertonik (3%) dengan kecepatan kira-kira
1 mL/kg per jam.
1. b. Hipernatremia
Hipernatremia dengan deplesi volume harus diatasi dengan pemberian normal saline
sampai hemodinamik stabil. Selanjutnya defisit air bisa dikoreksi dengan Dekstrosa
5% atau NaCl hipotonik.
Hipernatremia dengan kelebihan volume diatasi dengan diuresis, atau jika perlu
dengan dialisis. Kemudian Dekstrosa 5% diberikan untuk mengganti defisit air.
Defisit air tubuh ditaksir sbb:
Defisit = air tubuh (TBW) yang dikehendaki (liter) – air tubuh skrg
Air tubuh yg dikehendaki = (Na serum yg diukur) x (air tubuh skrg/Na serum normal)
Air tubuh sekarang = 0,6 x BB sekarang (kg)
Separuh dari defisit air yang dihitung harus diberikan dalam 24 jam pertama, dan sisa
defisit dikoreksi dalam 1 atau 2 hari untuk menghindari edema serebral.
1. KALIUM
Kalium total tubuh berjumlah kira-kira 50 mEq/kgBB, 98% terdapat di dalam sel. Penurunan
kadar serum sebanyak 1 mEq K+ berbanding dengan 10% sampai 20% defisit kalium total
tubuh.
1. a. Hipokalemia
Gambaran klinis
Lemah (terutama otot-otot proksimal), mungkin arefleksia, hipotensi ortostatik, penurunan
motilitas saluran cerna yang menyebabkan ileus. Hiperpolarisasi myokard terjadi pada
hipokalemia dan dapat menyebabkan denyut ektopik ventrikel, reentry phenomena, dan
kelainan konduksi. EKG sering memperlihatkan gelombang T datar, gelombang U, dan
depresi segmen ST. Hipokalemia juga menyebabkan peningkatan kepekaan sel jantung
terhadap digitalis dan bisa mengakibatkan toksisitas pada kadar terapi.
Tatalaksana hipokalemia
Defisit kalium sukar atau tidak mungkin dikoreksi jika ada hipomagnesia. Ini sering
terjadi pada penggunaan diuretik boros kalium. Magnesium harus diganti jika kadar
serum rendah.
Terapi oral. Suplementasi K+ (20 mEq KCl) harus diberikan pada awal terapi diuretik.
Cek ulang kadar K+ 2 sampai 4 minggu setelah suplementasi dimulai.
Terapi intravena harus digunakan untuk hipokalemia berat dan pada pasien yang tidak
tahan dengan suplementasi oral. Dengan kecepatan pemberian sbb:
o Jika kadar K+ serum > 2,4 mEq/L dan tidak ada kelainan EKG, K+ bisa
diberikan dengan kecepatan 0 sampai 20 mEq/jam dengan pemberian
maksimum 200 mEq per hari.
o Pada anak 0,5-1 mEq/kgBB/dosis dalam 1 jam. Dosis tidak boleh melebihi
dosis maksimum dewasa.
1. b. Hiperkalemia
Ekskresi renal tidak adekuat; misalnya pada gagal ginjal akut atau kronik, diuretik
hemat kalium, penghambat ACE.
Beban kalium dari nekrosis sel yang masif yang disebabkan trauma (crush injuries),
pembedahan mayor, luka bakar, emboli arteri akut, hemolisis, perdarahan saluran
cerna atau rhabdomyolisis. Sumber eksogen meliputi suplementasi kalium dan
pengganti garam, transfusi darah dan penisilin dosis tinggi juga harus dipikirkan.
Perpindahan dari intra ke ekstraseluler; misalnya pada asidosis, digitalisasi, defisiensi
insulin atau peningkatan cepat dari osmolalitas darah.
Insufisiensi adrenal
Pseudohiperkalemia. Sekunder terhadap hemolisis sampel darah atau pemasangan
torniket terlalu lama
Hipoaldosteron
Gambaran klinis
Efek terpenting adalah perubahan eksitabilitas jantung. EKG memperlihatkan perubahan-
perubahan sekuensial seiring dengan peninggian kalium serum. Pada permulaan, terlihat
gelombang T runcing (K+ > 6,5 mEq/L). Ini disusul dengan interval PR memanjang,
amplitudo gelombang P mengecil, kompleks QRS melebar (K+ = 7 sampai 8 mEq/L).
Akhirnya interval QT memanjang dan menjurus ke pola sine-wave. Fibrilasi ventrikel dan
asistole cenderung terjadi pada K+ > 10 mEq/L. Temuan-temuan lain meliputi parestesi,
kelemahan, arefleksia dan paralisis ascenden.
Tatalaksana hiperkalemia
Pemantauan EKG kontinyu dianjurkan jika ada kelainan EKG atau jika kalium serum
> 7 mEq/L
Kalsium glukonat dapat diberikan iv sebagai 10 ml larutan 10% selama 10 menit
untuk menstabilkan myocard dan sistem konduksi jantung
Natrium bikarbonat membuat darah menjadi alkali dan menyebabkan kalium
berpindah dari ekstra ke intraseluler. Bic nat diberikan sebanyak 40 sampai 150 mEq
NaHCO3 iv selama 30 menit atau sebagai bolus iv pada kedaruratan
Insulin menyebabkan perpindahan kalium dari cairan ekstraseluler ke intraseluler. 5
sampai 10 unit regular insulin sebaiknya diberikan dengan 1 ampul glukosa 50% iv
selama 5 menit
Dialisis mungkin dibutuhkan pada kasus hiperkalemia berat dan refrakter
Pembatasan kalium diindikasikan pada stadium lanjut gagal ginjal (GFR < 15
ml/menit)
1. III. TRANSFUSI
Respon tubuh terhadap perdarahan tergantung pada volume, kecepatan, dan lama perdarahan.
Keadaan pasien sebelum perdarahan akan berpengaruh pada respon yang diberikan.
Pada orang dewasa sehat, perdarahan 10% jumlah volume darah tidak menyebabkan
perubahan tanda-tanda fisiknya. Frekuensi nadi, tekanan darah, sirkulasi perifer dan tekanan
vena sentral tidak berubah. Reseptor dalam jantung akan mendeteksi penurunan volume ini
dan menyebabkan pusat vasomotor menstimulasi sistem saraf simpatik yang selanjutnya
menyebabkan vasokonstriksi.
Penurunan tekanan darah pada ujung arteri kapiler menyebabkan perpindahan cairan ke
dalam ruang interstitial berkurang. Penurunan perfusi ginjal menyebabkan retensi air dan ion
Na+. Hal ini menyebabkan volume darah kembali normal dalam 12 jam. Kadar protein
plasma cepat menjadi normal dalam waktu 2 minggu, kemudan akan terjadi hemopoesis
ekstra yang menghasilkan eritrosit. Proses kompensasi ini sangat efektif sampai perdarahan
sebanyak 30%.
Pada perdarahan yang terjadi di bawah 50% atau hematokrit masih di atas 20%, darah yang
hilang masih dapat diganti dengan cairan koloid atau kombinasi koloid dengan kristaloid
yang komposisinya sama dengan darah yaitu Ringer Laktat. Namun bila kehilangan darah >
50%, biasanya diperlukan transfusi.
Untuk mengganti darah yang hilang dapat digunakan rumus dasar transfusi darah, yaitu:
V = (Hb target – Hb inisial) x 80% x BB
Kadar Hb donor
Jika darah hilang karena trauma atau pembedahan, maka baik penggantian sel darah merah
maupun volume darah dibutuhkan. Jika lebih dari separuh volume darah hlang, maka darah
lengkap harus diberikan; jika kurang dari separuh, maka konsentrat sel darah merah atau
plasma expander yang diberikan.
Penderita defisiensi besi tidak dapat ditransfusikan, kecuali memang dibutuhkan untuk
pembedahan segera atau yang gagal berespon terhadap pengobatan pada dosis terapeutik
penuh besi per oral.
Anemia berat yang berkaitan dengan gagal ginjal seharusnya diobati dengan transfusi sel
darah merah maupun dengan eritropoetin manusia rekombinan.
Penderita gagal sumsum tulang karena leukimia, pengobatan sitotoksik, atau infiltrasi
keganasan akan membutuhkan bukan saja sel darah merah, namun juga komponen darah
yang lain.
Penderita sindrom talasemia berat, anemia aplastik, dan anemia sideroblastik membutuhkan
transfusi secara teratur setiap empat sampai enam minggu, sehingga mereka mampu
menjalani kehidupan yang normal.
Beberapa penderita penyakit ini membutuhkan trasnfusi secara teratur, terutama setelah
stoke, karena “sindrom dada” berulang yang mengancam jiwa, dan selama kehamilan.
Penyakit hemolitik neonatus juga dapat menjadi indikasi untuk transfusi pengganti, jika
neonatus mengalami hiperbilirubinemia berat atau anemia.
Berbagai komponen sel darah merah
Komponen Kemasan Volume yang Indikasi utama
vol sel darah diberikan
Darah lengkap 0,35 – 0,45 510 ml Kehilangan darah masif
akut
Darah segar 0,35 – 0,45 510 ml Tidak dapat dibuktikan
Konsentrat sel darah 0,55 – 0,75 Sekitar 200 ml Kehilangan darah menahun
merah atau anemia
Darah yang disaring bervariasi bervariasi Reaksi transfusi non-
hemolitik dan pencegahan
imunisasi HLA sebelum
pencangkokan
Sel darah merah yang bervariasi bervariasi Reaksi transfusi non-
dicuci hemolitik terhadap protein
plasma
Sel darah merah bervariasi bervariasi, Penderita dengan antibodi
beku, dicairkan & tetapi biasanya langka
dicuci <200ml
Kriteria transfusi dengan RBC konsentrat
Hb < 8 g%
Hb 8–10 g%, normovolemia disertai tanda gangguan miokardial, serebral, respirasi
Perdarahan hebat > 10 ml/kg pada 1 jam pertama atau 5 ml/kg pada 3 jam pertama
1. Masalah mendesak
Beban sirkulasi teradi jika darah ditransfusikan terlalu cepat sehingga redistribusi
cairan pengganti cepat terjadi, atau jika terjadi gangguan fungsi jantung. Tekanan
vena sentral meningkat, dan pada kasus berat terjadi gagal ventrikel kiri
Kebocoran kalium ke luar sel darah merah selama penyimpanan. Hiperkalemia ini
dieksaserbasikan karena penyimpanan darah terlalu lama pada suhu kamar
Transfusi masif dapat menyebabkan hipotermia, toksisitas sitrat, beban asam, dan
penyusutan trombosit serta faktor koagulasi
Reaksi hemolitik dapat menyebabkan demam, takikardi, kesulitan tidur, nyeri
selangkang, rigor, muntah, diare, nyeri kepala, hipotensi, syok, dan akhirnya gagal
ginjal akut serta perdarahan akibat DIC
Raksi non-hemolitik dapat menyebabkan urtikaria, demam dan reaksi anafilaktik
berat, walaupun jarang terjadi
Flebitis lokal dapat terjadi jika kanula plastik ditinggalkan pada tempat yang sama
terlalu lama. Kadang-kadang terjadi infeksi oleh stafilokokus atau corinebacterium
Hipertensi dan/atau sindrom kejang kadang-kadang ditemukan pada penderita sel
sabit dan b thalasemia mayor yang menerima transfusi teratur
Infeksi dapat ditularkan melalui transfusi
1. Masalah jangka panjang
Beban besi. Setiap unit darah mengandung 250 mg besi yang tak dapat diekskresikan tubuh.
Transfusi teratur yang sering dapat menyebabkan tertimbunnya besi dalam tubuh sehingga
terjadi pigmentasi, hambatan pertumbuhan pada orang muda, sirosis hepatik, diabetes,
hipoparatiroid, gagal jantung, aritmia, dan akhirnya kematian. Pengobatan dengan khelasi
besi harus dipertimbangkan pada penderita ini sebelum terjadi kerusakan organ yang serius.
Neutropenia persisten dan infeksi berat – Jika dihitung neutrofil terus-menerus kurang
dari 0,2 x 109/L dan terdapat bukti jelas infeksi bakteri atau jamur yang tidak dapat
dikendalikan dengan pengobatan menggunakan antibotik yang tepat dalam 48-72 jam.
Fungsi neutrofil abnormal dan infeksi persisten
Sepsis neonatus
PENDAHULUAN
Darah donor diambil dengan teknik antiseptik dan dimasukkan dalam kantong plastik
khusus yang mengandung anti koagulan. Anti koagulan yang sering digunakan adalah citrat
phosfat dextrose (CPD) dan adenin citrat phosfat dextrose (ACPD) yang dapat
memperpanjang umur penyimpanan darah.3,4 Saat ini semua darah dari donor baik yang
akan dilakukan transfusi langsung maupun yang akan disimpan di bank darah dilakukan
pemeriksaan golongan darah menurut sistem ABO dan Rhesus, tes pemeriksaan silang (cross
match) dan pemeriksaan penyaring untuk menyingkirkan sifilis, AIDS, dan Hepatitis B.
Berikut ini akan dijelaskan mengenai dasar dari mekanisme penggolongan darah dan
pemeriksaan silang. 1,2
Sistem ABO
Dikenal dua antigen tipe A dan tipe B yang terdapat pada permukaan sel darah merah pada
sebagian besar populasi. Antigen-antigen inilah yang disebut aglutinogen yang menyebabkan
aglutinasi sel darah. Karena antigen-antigen ini diturunkan, maka seseorang dapat
mempunyai kedua, hanya satu atau tidak ada antigen tersebut di dalam sel darah merahnya.
Darah dari donor dan resipien diklasifikasikan dalam 4 tipe O-A-B utama tergantung pada
ada tidaknya kedua aglutinogen seperti tercantum pada tabel 1. Bila tidak terdapat
aglutinogen A ataupun B, golongan darahnya adalah O. Bila hanya terdapat aglutinogen A
saja, maka golongan darahnya A. Bila hanya terdapat aglutinogen B saja maka golongan
darahnya B. Dan bila terdapat kedua aglutinogen A dan B, golongan darahnya AB.
Dua gen manusia yang diturunkan dari kromosom yang berpasangan, akan menentukan
golongan darah ABO. Kedua gen ini bersifat alelomorfik yang dapat menjadi salah satu dari
golongan darah yang dihasilkan dan hanya mempunyai salah satu saja pada setiap kromosom
yaitu tipe O, tipe A, atau tipe B. Gen tipe O tidak berfungsi dalam sel sehingga menghasilkan
aglutinogen yang tidak khas dalam sel. Enam kemungkinan kombinasi gen ini yaitu OO, OA,
OB, AA, OB, BB, dan AB yang berfungsi sebagai genotip dan setiap orang merupakan salah
satu dari keenam genotip tersebut Dan tabel 1 dapat dilihat bahwa orang dengan genotip
OOtidak menghasilkan aglutinogen dan karena itu mempunyai golongan darahnya O. Orang
dengan genotip OA atau AA menghasilkan aglutinogen tipe A sehingga disebut golongan
darahnya A. Demikian juga yang mempunyai genotip OB dan BB menghasilkan golongan
darah B, dan genotip AB menghasilkan golongan darah AB.
Bila tidak terdapat aglutinogen tipe A dalam sel darah merah seseorang maka dalam
plasmanya akan terbentuk antibodi yang dikenal aglutinin anti A. Demikian pula bila tidak
terdapat aglutinogen tipe B didalam sel darah merah maka di dalam plasmanya terdapat
aglutinin anti B. Pada tabel 1 tampak bahwa orang dengan golongan darah O yang tidak
mempunyai aglutinogen mempunyai aglutinin anti A dan anti B. Golongan darah A
mengandung aglutinogen tipe A dan aglutinin tipe anti B. Golongan darah B mengandung
aglutinogen tipe B dan aglutinin anti A. Dan golongan darah AB yang mengandung kedua
aglutinogen tipe A dan B tetapi tidak mempunyai aglutinin sama sekali.
Bila darah dengan aglutinin plasma anti A dan anti B dicampur dengan set darah merah
yang mengandung aglutinogen Aatau.B, terjadilah aglutinasi sel darah merah. Mekanismenya
adalah aglutinin melekatkan diri pada sel darah merah pada dua tempat pengikatan untuk tipe
IgM dan 10 tempat pengikatan untuk tipe IgM. Satu aglutinin dapat melekat pada dua atau
lebih sel darah merah yang berbeda pada waktu yang sama sehingga sel saling melekat satu
sama lainnya. Keadaan ini menyebabkan set menggumpal bersama-sama akibat proses
aglutinasi.
Tabel 1. Golongan Darah dengan Genotipnya dan Unsur-Unsur Pokok Aglutinogen dan
Aglutinin
Sistem Rhesus
Terdapat enam tipe antigen Rh yang telah dikenal, salah satunya disebut faktor Rh. Tipe¬-
tipe ini ditandai dengan C, D, E, c, d,.e. Orang yang memiliki antigen C tidak mempunyai
antigen c, tetapi setiap orang yang kehilangan antigen C selalu mempunyai antigen c.
Demikian juga terhadap antigen D-d, E-e. Setiap orang hanya mempunyai satu dari ketiga
pasang antigen tersebut. Antigen D dikatakan Rh positif.
Bila seorang dengan Rh negatif sebelumnya tidak pernah terpajan dengan darah Rh positif,
maka transfusi darah Rh positif ke tubuh orang tersebut tidak meyebabkan reaksi segera.
Namun pada beberapa orang terbentuk anti bodi anti Rh dalam jumlah yang cukup selama 2-
4 minggu berikutnya yang menimbulkan aglutinasi. Sel-sel ini kemudian mengalami
hemolisis oleh sistem makrofag jaringan. Jadi timbul reaksi transfusi lambat walaupun
biasanya ringan. Pada transfusi darah Rh positif selanjutnya pada orang yang sama, dimana ia
telah mengalami imunisasi terhadap faktor Rh, maka reaksi transfusi menjadi sangat kuat dan
dapat menjadi berat seperti reaksi transfusi sistem ABO.
Sebelum transfusi golongan darah pasien ditentukan, serum diperiksa untuk antibodi atipik,
dan sel darah merah dari setiap donor dites dengan serum pasien. Darah golongan :BO dan
rhesus D yang sama diseleksi. Sel darah donor yang dites dengan serum resipien dan
aglutinasi dideteksi secara visual atau mikroskopik setelah pencampuran dan inkubasi.
Pemeriksaan silang biasanya membutuhkan waktu selama satu jam. Bila darah dibutuhkan
mendesak, tes dapat dilakukan cepat dengan membatasi tes yang dilakukan dan memodifikasi
teknik tanpa mengurangi kepekaan tes tetapi akan mendeteksi semua ketidakcocokan utama
(gross incompatibilities). Transfusi darah yang tidak diperiksa silang pada keadaan darurat
membawa resiko besar dan harus dihindari. Bila situasi klinis sangat mendesak dan tidak
mempunyai waktu untuk penggolongan pasien maka golongan darah O Rhesus negatif dapat
segera ditransfusikan.
Sebagai bagian dari prosedur pemeriksan silang dilakukan pemeriksaan Coombs (Coombs
Test). Pemeriksaan yang dilakukan adalah yang tidak langsung. Pemeriksaan Coombs tidak
langsung ada 2 tahap. Tahap pertama menyangkut inkubasi sel darah merah yang dites
dengan serum. Pada tahap kedua sel darah merah dicuci bersih dengan air garam untuk
mengeluarkan globulin babas. Reagen anti human globulin (AHG) ditambahkan ke sel darah
merah yang telah dicuci dan bila ada aglutinasi menunjukkan tes positif. Aglutinasi dalam tes
berarti di dalam serum telah terbentuk anti bodi yang telah membungkus sel darah merah.
Berbeda dengan test Coombs langsung adalah pada test Coombs langsung reagen AHG
langsung ditambahkan pada sel darah yang sudah dicuci dan aglutinasi menunjukkan hasil
positif. Test Coombs langsung biasanya digunakan untuk penentuan penyakit hemolitik pada
bayi baru lahir.
1. Keadaan yang memerlukan pemeliharaan atau pemulihan sirkulasi volume darah untuk
mencegah timbulnya syok, seperti pemberian whole blood pada pendarahan akut akibat
trauma, perforasi pada typhoid fever, perdarahan akut pada ITP.
2. Keadaan klinis yang memerlukan penggantian komponen darah spesifik seperti plasma
protein atau elemen darah seperti eritrosit, leukosit atau trombosit akibat dari defisiensi
komponen-komponennya.
3. Keadaan klinis yang memerlukan pengeluaran substansi yang berbahaya bagi tubuh
dengan cara transfusi ganti, misalnya pengeluaran bilirubin pada bayi hiperbilirubinemia
yang berat.
TRANSFUSI ERITROSIT
Transfusi harus diberikan lebih ketat pada anak karena kadar hemoglobin normal pada anak
lebih rendah dibanding dewasa, kecuali pada beberapa keadaan tertentu berhubungan dengan
penyakit kardiopulmonal yang mendasarinya akan mengganggu tubuh mengkompensasi
kehilangan eritrosit. Pada masa pre operatif misalnya, tidak perlu bagi anak untuk 8 g/dL
yaitu suatu tingkat yangmempertahankan hemoglobin (Hb) diinginkan pada orang dewasa.
Demikian juga pemberian eritrosit pasca operasi harus mempunyai alasan yang kuat karena
anak mampu memulihkan massa eritrositnya bila diberi terapi besi. Untuk anemia yang
timbul perlahan-lahan, pemberian transfusi eritrosit tidak selalu didasarkan atas pemeriksaan
Hb karena anak dengan anemia kronis mungkin tidak menampakkan gejala dengan Hb sangat
rendah. Faktor lain yang harus diperhatikan selain kadar Hb adalah gejala atau tanda dan
kapasitas fungsional tubuh penderita, dijumpai atau tidak penyakit kardiovaskuler dan
susunan saraf pusat, penanganan anemia, dan kemungkinan untuk diterapi dengan
recombinant human eryhtropoietin (EPO) pada anak dengan insufisiensi ginjal.
Untuk neonatus, indikasi transfusi eritrosit dapat dilihat pada tabel 2. Namun harus
diperhatikan bahwa pada neonatus akan mengalami penurunan massa eritrosit akibat faktor
frsiologis.1 Penurunan massa eritrosit < 25 ml/kg berat badan juga menggambarkan kadar Hb
yang rendah. Hal ini akan dikompensasi oleh jantung dengan jalan memperbesar curah
jantung, namun bila dilakukan transfusi akan mendapatkan manfaat yang bermakna yaitu
akan mengurangi curah jantung. Seperti halnya pada bayi terdapat perbedaan nilai Hb yang
dijadikan patokan untuk transfusi berdasarkan kelainan kardiopulmonal dan tindakan operatif
serta umur janin.
Pilihan produk eritrosit untuk anak dan remaja adalah suspensi standar yang dipisahkan
dari darah lengkap dengan pemusingan dan disimpan dalam anti koagulan pada nilai
hematokrit kira-kira 60 %. Dosis biasanya adalah 10-15 ml/ kg berat badan. Untuk neonatus
produk pilihan adalah konsentrat PRC ( hematokrit 70-90 %) yang ditransfusikan perlahan-
lahan (2-4 jam) dengan dosis 15 ml/kg berat badan. Sedangkan menurut hasil penelitian
Rascher,1991 bahwa pemberian transfusi PRC dengan kecepatan 3 m1/kg/jam tidak
menyebabkan beban volume akut.10 Satu 1 g/dL.unit PRC dapat menaikkan PCV ± 3-4 %
atau Hb
TRANSFUSI TROMBOSIT
TRANSFUSI PLASMA
(*) Khusus Fibrinogen, 10-20 ml dapat menaikkan kadar fibrinogen plasma 50-11 mg/dL
Dikutip dari Cable, 1981.
Albumin 25%
Sediaan yang dimurnikan dan harganya mahal sehingga tidak dianjurkan sebagai
penambah volume plasma walaupun manfaatnya tidak diragukan. Ini dapat digunakan pada
hipoalbuminemia berat dengan pembatasan kadar elektrolit. Indikasi terpenting pemakaian
albumin adalah pada pasien sindroma nefrotik dan kegagalan fungsi hati.1,2 Albumin ini
selain diproduksi oleh bank darah juga telah diproduksi secara komersial.
Reaksi hemolitik
Reaksi akibat bercampurnya darah yang mempunyai agglutinin plasma anti A dan anti B
dengan darah yang mengandung aglutinogen A atau B dan darah yang mempunyai Rh
berbeda sehingga menyebabkan sel menggumpal akibat proses aglutinasi. Diikuti
penyimpangan fisik sel dan serangan sel fagosit sehingga akan menghancurkan sel-sel darah
merah yang teraglutinasi 4 Akibat penghancuran sel darah merah akan menghasilkan
hemoglobin bebas dalam plasma dan bila hemoglobin bebas > 25 mg% dapat terjadi
hemoglobinuria. Reaksi hemolitik ini terdiri dari reaksi hemolitik akut dan reaksi hemolitik
lambat.
Reaksi hemolitik akut terjadi segera pada waktu transfusi baru berlangsung. Lima puluh
mililiter darah dari golongan yang tidak cocok sudah dapat menimbulkan reaksi. Pada
umumnya disebabkan oleh ketidakcocokan sistem ABO, pemberian darah rhesus positif pada
penderita rhesus negatif yang mengandung anti D akibat transfusi sebelumnya. Gejala berupa
rasa panas sepanjang vena dimana infus dipasang, nyeri tertekan di dada, sakit kepala, muka
merah, pireksia, mual, muntah, dan ikterus.
Reaksi hemolitik lambat terjadi pada penderita yang sering mendapat transfusi. Reaksi
timbul beberapa jam atau beberapa hari sesudah transfusi dan biasanya pada labu ke 2 atau
lebih. Biasanya terjadi pada golongan darah O dengan titer anti A dan anti B yang tinggi
kepada golongan lain. Gejalanya sama dengan reaksi hemolitik akut.
Reaksi hemolitik dapat juga terjadi akibat pemberian transfusi darah yang lisis akibat
diberikan bersama larutan hipotonis misalnya dextrose 5%, transfusi darah yang, sudah lisis
akibat pemanasan mendadak dengan air panas melebihi temperatur tubuh atau tetesan terlalu
cepat serta dipompa dan atau terkontaminasi bakteri, transfusi darah yang sudah bengkak dan
hancur akibat disimpan pada suhu dibawah -4°C, dan transfusi darah pada penderita
paroksismal nokturnal hematuria (PNH) yang mengandung komponen aktif dalam plasma
donor yang dapat menyebabkan hemolisis.
Tindakan yang segera dilakukan adalah penghentian transfusi, atasi syok dengan posisi,
oksigenasi, vasopresor, dan infus bila ada tanda-tanda hipovolemia. Memaksa timbulnya
diuresis dengan infus manitol 20 % dan furosemid serta pemberian steroid. Lapor ke bank
darah untuk pengulangan pemeriksaan ulang golongan darah ABO, rhesus, dan cross match
dari sisa darah.
Reaksi transfusi lainnya:
Reaksi alergi.
Disebabkan hipersensitivitas terhadap protein plasma donor. Gambaran klinis ada!ah
urtikaria, dan pada kasus berat dapat terjadi dispnea. udema fasial dan kaku. Pengobatan
segera dengan memberikan anti histamin dan hidrokortison. Pilihan terakhir adalah adrenalin.
Bila yang dibutuhkan komponen sel darah merah transfusi dapat dilanjutkan dengan WRC.
Reaksi febris
Terjadi karena set infus atau labu darah yang tidak bebas bahan pirogen sehingga
menimbulkan reaksi anti bodi terhadap leukosit dan trombosit. Gejala febris dapat disertai
menggigil, sakit kepala, nyeri seluruh tubuh, dan gelisah. Transfusi dihentikan dan dapat
diberi antipiretik. Bila yang dibutuhkan komponen sel darah merah transfusi dapat
dilanjutkan dengan WRC.
Kontaminasi Bakteri
Kontaminasi bakteri dapat terjadi waktu pengambilan darah donor, karena darah terlalu
lama dalam suhu kamar atau tusukan kedalam labu darah. Gejala berupa panas tinggi, nyeri
kepala, menggigil, muntah, sakit perut, diare sampai syok yang terjadi pada waktu transfusi
atau beberapa saat setelahnya. Tindakan-tindakan yang segera harus dilakukan adalah
menghentikan transfusi darah, atasi syok, kompres es, dan pemberian antibiotika dosis tinggi.
RINGKASAN
Persiapan pra transfusi mutlak dilakukan untuk mencegah bahaya tranfusi yang timbul
akibat ketidak cocokan golongan darah donor dan resipien dan bahaya tertularnya penyakit.
Ada beberapa kepentingan khusus yang harus menjadi perhatian pada transfusi darah pada
anak, meliputi: anemia fisiologis, kemampuan jantung paru yang masih terbatas dan derajat
penyakit jantung parunya. Berat badan dan umur merupakan karakteristik tersendiri pada
transfusi darah pada anak.
Reaksi transfusi saat ini sudah jarang dijumpai mengingat kemampuan bank darah (PMI)
untuk melakukan skrening pratransfusi sudah baik. Namun kewaspadaan harus tetap
ditingkatkan terhadap kemungkinan terjadi hal-hal yang fatal akibat reaksi hemolitik,
timbulnya infeksi dan perubahan volume sistemik.
...
Pengertian ransfusi Darah
Transfusi Darah adalah pemindahan darah atau suatu komponen darah dari seseorang (donor)
kepada orang lain (resipien).
Transfusi diberikan untuk:
- meningkatkan kemampuan darah dalam mengangkut oksigen
- memperbaiki volume darah tubuh
- memperbaiki kekebalan
- memperbaiki masalah pembekuan.
Tergantung kepada alasan dilakukannya transfusi, bisa diberikan darah lengkap atau komponen
darah (misalnya sel darah merah, trombosit, faktor pembekuan, plasma segar yang
dibekukan/bagian cairan dari darah atau sel darah putih).
Jika memungkinkan, akan lebih baik jika transfusi yang diberikan hanya terdiri dari komponen
darah yang diperlukan oleh resipien.
Memberikan komponen tertentu lebih aman dan tidak boros.
Teknik penyaringan darah sekarang ini sudah jauh lebih baik, sehingga transfusi lebih aman
dibandingkan sebelumnya.
Tetapi masih ditemukan adanya resiko untuk resipien, seperti reaksi alergi dan infeksi.
Meskipun kemungkinan terkena AIDS atau hepatitis melalui transfusi sudah kecil, tetapi harus
tetap waspada akan resiko ini dan sebaiknya transfusi hanya dilakukan jika tidak ada pilihan
lain.
Ditanyakan apakah pernah atau sedang menderita keadaan tertentu yang menyebabkan darah
mereka tidak memenuhi syarat untuk disumbangkan.
Keadaan tersebut adalah hepatitis, penyakit jantung, kanker (kecuali bentuk tertentu misalnya
kanker kulit yang terlokalisasi), asma yang berat, malaria, kelainan perdarahan, AIDS dan
kemungkinan tercemar oleh virus AIDS.
Hepatitis, kehamilan, pembedahan mayor yang baru saja dijalani, tekanan darah tinggi yang
tidak terkendali, tekanan darah rendah, anemia atau pemakaian obat tertentu; untuk sementara
waktu bisa menyebabkan tidak terpenuhinya syarat untuk menyumbangkan darah.
Biasanya donor tidak diperbolehkan menyumbangkan darahnya lebih dari 1 kali setiap 2 bulan.
Karena transfusi darah yang tidak cocok dengan resipien dapat berbahaya, maka darah yang
disumbangkan, secara rutin digolongkan berdasarkan jenisnya; apakah golongan A, B, AB
atau O dan Rh-positif atau Rh-negatif.
Sebagai tindakan pencegahan berikutnya, sebelum memulai transfusi, pemeriksa mencampurkan
setetes darah donor dengan darah resipien untuk memastikan keduanya cocok: teknik ini
disebut cross-matching.
Seseorang yang membutuhkan sejumlah besar darah dalam waktu yang segera (misalnya karena
perdarahan hebat), bisa menerima darah lengkap untuk membantu memperbaiki volume
cairan dan sirkulasinya.
Darah lengkap juga bisa diberikan jika komponen darah yang diperlukan tidak dapat diberikan
secara terpisah.
Komponen darah yang paling sering ditransfusikan adalah packed red blood cells (PRC), yang
bisa memperbaiki kapasitas pengangkut oksigen dalam darah.
Komponen ini bisa diberikan kepada seseorang yang mengalami perdarahan atau
penderitaanemia berat.
Yang jauh lebih mahal daripada PRC adalah frozen-thawed red blood cells, yang biasanya
dicadangkan untuk transfusi golongan darah yang jarang.
Beberapa orang yang membutuhkan darah mengalami alergi terhadap darah donor.
Jika obat tidak dapat mencegah reaksi alergi ini, maka harus diberikan sel darah merah yang
sudah dicuci.
Jumlah trombosit yang terlalu sedikit (trombositopenia) bisa menyebabkan perdarahan spontan
dan hebat.
Transfusi trombosit bisa memperbaiki kemampuan pembekuan darah.
Faktor pembekuan darah adalah protein plasma yang secara normal bekerja dengan trombosit
untuk membantu membekunya darah.
Tanpa pembekuan, perdarahan karena suatu cedera tidak akan berhenti.
Faktor pembekuan darah yang pekat bisa diberikan kepada penderita kelainan perdarahan
bawaan, seperti hemofilia atau penyakit von Willebrand.
Antibodi (imunoglobulin), yang merupakan komponen darah untuk melawan penyakit, juga
kadang diberikan untuk membangun kekebalan pada orang-orang yang telah terpapar oleh
penyakit infeksi (misalnya cacar air atau hepatitis) atau pada orang yang kadar antibodinya
rendah.
Pada transfusi tradisional, seorang donor menyumbangkan darah lengkap dan seorang resipien
menerimanya.
Tetapi konsep ini menjadi luas.
Tergantung kepada keadaan, resipien bisa hanya menerima sel dari darah, atau hanya menerima
faktor pembekuan atau hanya menerima beberapa komponen darah lainnya.
Transfusi dari komponen darah tertentu memungkinkan dilakukannya pengobatan yang khusus,
mengurangi resiko terjadinya efek samping dan bisa secara efisien menggunakan komponen
yang berbeda dari 1 unit darah untuk mengobati beberapa penderita.
Pada keadaan tertentu, resipien bisa menerima darah lengkapnya sendiri (transfusi autolog).
Aferesis.
Pada aferesis, seorang donor hanya memberikan komponen darah tertentu yang diperlukan oleh
resipien.
Jika resipien membutuhkan trombosit, darah lengkap diambil dari donor dan sebuah mesin akan
memisahkan darah menjadi komponen-komponennya, secara selektif memisahkan trombosit
dan mengembalikan sisa darah ke donor.
Karena sebagian besar darah kembali ke donor, maka donor dengan aman bisa memberikan
trombositnya sebanyak 8-10 kali dalam 1 kali prosedur ini.
Transfusi autolog.
Transfusi darah yang paling aman adalah dimana donor juga berlaku sebagai resipien, karena hal
ini menghilangkan resiko terjadi ketidakcocokan dan penyakit yang ditularkan melalui darah.
Kadang jika seorang pasien mengalami perdarahan atau menjalani pembedahan, darah bisa
dikumpulkan dan diberikan kembali.
Yang lebih sering terjadi adalah pasien menyumbangkan darah yang kemudian akan diberikan
lagi dalam suatu transfusi.
Misalnya sebulan sebelum dilakukannya pembedahan, pasien menyumbangkan beberapa unit
darahnya untuk ditransfusikan jika diperlukan selama atau sesudah pembedahan.
Donor Terarah atau Calon Donor.
Anggota keluarga atau teman dapat menyumbangkan darahnya secara khusus satu sama lain,
jika golongan darah resipien dan darah donor serta faktor Rhnya cocok.
Pada beberapa resipien, dengan mengetahui donornya akan menimbulkan perasaan tenang,
meskipun darah dari anggota keluarga atau teman belum pasti lebih aman dibandingkan
dengan darah dari orang yang tidak dikenal.
Darah dari anggota keluarga diobati dengan penyinaran untuk mencegah penyakit graft-versus-
host, yang meskipun jarang terjadi, tetapi lebih sering terjadi jika terdapat hubungan darah
diantara donor dan resipien.
Karena sebagian besar reaksi ketidakcocokan terjadi dalam15 menit pertama, , maka pada awal
prosedur, resipien harus diawasi secara ketat.
Setelah itu, petugas dapat memeriksa setiap 30- 45 menit dan jika terjadi reaksi ketidakcocokan,
maka transfusi harus dihentikan.@mypotik
Sebagian besar transfusi adalah aman dan berhasil; tetapi reaksi ringan kadang bisa terjadi,
sedangkan reaksi yang berat dan fatal jarang terjadi.
Reaksi yang paling sering terjadi adalah demam dan reaksi alergi (hipersensitivitas), yang terjadi
sekitar 1-2% pada setiap transfusi.
Gejalanya berupa:
- gatal-gatal
- kemerahan
- pembengkakan
- pusing
- demam
- sakit kepala.
Gejala yang jarang terjadi adalah kesulitan pernafasan, bunyi mengi dan kejang otot.
Yang lebih jarang lagi adalah reaksi alergi yang cukup berat.
Walaupun dilakukan penggolongan dan cross-matching secara teliti, tetapi kesalahan masih
mungkin terjadi sehingga sel darah merah yang didonorkan segera dihancurkan setelah
ditransfusikan (reaksi hemolitik0.
Biasanya reaksi ini dimulai sebagai rasa tidak nyaman atau kecemasan selama atau segera
setelah dilakukannya transfusi.
Kadang terjadi kesulitan bernafas, dada terasa sesak, kemerahan di wajah dan nyeri punggung
yang hebat.
Meskipun sangat jarang terjadi, reaksi ini bisa menjadi lebih hebat dan bahkan bisa berakibat
fatal.
Untuk memperkuat dugaan terjadinya reaksi hemolitik ini, dilakukan pemeriksaan untuk melihat
apakah terdapat hemoglogin dalam darah dan air kemih penderita.
Penyakit graft-versus-host merupakan komplikasi yang jarang terjadi, yang terutama mengenai
orang-orang yang mengalami gangguan sistem kekebalan karena obat atau penyakit.
Pada penyakit ini, jaringan resipien (host) diserang oleh sel darah putih donor (graft).
Gejalanya berupa demam, kemerahan, tekanan darah rendah, kerusakan jaringan dan syok.