Anda di halaman 1dari 2

Gerak, Inti Kehidupan dan Pencapai Obsesi

Annaid

Saat Rasulullah saw dan kaum muslimin tengah menggali parit (dalam perang
khandaq) tiba-tiba mereka menemui batu putih besar di dalam perut parit yang
sangat kuat dan keras. Dengan susah payah dan usaha yang keras akhirnya
Rasulullah dapat memecahkan batu tersebut. Pada saat Rasul saw melakukan
pukulan yang pertama, kedua dan ketiga, memancarlah bunga api yang sangat
terang sampai Rasul dan kaum muslimin bertakbir. Rasulullah pun bersabda:
“Sewaktu aku melakukan pukulan yang pertama, memancarlah sinar terang
seperti yang kalian lihat sendiri. Di mataku, sinar itu bagai menerangi kota Al-
Hairah dan kota-kota kerajaan Persia. Di saat pukulan kedua, sinar itu bagaikan
gedung-gedung kaisar di Romawi. Di saat pukulan ketiga, di mataku sinar itu
bagaikan menerangi kota Shan’a. Jibril memberitahuku bahwa kelak umatku akan
menguasai ketiga tempat tersebut” (tafsir Maraghi). Dalam perang ini kaum
muslimin meraih kemenangan.
Di kesempatan lain. Dalam pertempuran Uhud. Ujian menimpa kaum
muslimin. Orang-orang besar gugur dalam puncak kehormatannya. Hamzah bin
Abdul Muthalib, Anas bin Nadhar, Mus’ab bin Umair, dan puluhan sahabat
lainnya menghadap Allah swt sebagai syuhada yang agung. Rasulullah pun
terluka.
Kekalahan ini ternyata telah menjadi celah bagi orang-orang Yahudi dan
munafik untuk menghembuskan kebencian mereka pada kaum muslimin. Mereka
mengatakan "Seandainya kalian mengikuti perkataan kami dengan tetap tinggal di
Madinah dan tidak menyongsong musuh di bukit Uhud, niscaya tidak akan ada
korban berjatuhan”.
Orang-orang itu memandang bahwa bergeraknya kaum muslimin ke luar Madinah
untuk menyongsong musuh adalah sebuah kerugian karena mengantarkan mereka
pada kematian. Sedangkan mereka yang diam di Madinah adalah beruntung.
Intinya, menurut mereka bahwa di dalam diam ada kehidupan, dan di dalam gerak
ada kematian. Tentunya itu adalah pandangan yang keliru.
Hidup ini harus bergerak. Tidak boleh diam dan berhenti di satu titik saja. kita
harus terus bergerak dari satu kegiatan ke kegiatan yang lainnya. Dari satu karya
ke karya lainnya. Dari satu kebaikan ke kebaikan lainnya. Bahkan kadang dari
satu tempat ke tempat lainnya. Dimana kesemuannya memiliki resiko. Besar atau
kecil. Tapi tetap saja, hidup ini harus bergerak dan bergerak. Sebagaimana firman
Allah SWT:
“Maka apabila kamu telah selesai (dari satu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya
kamu berharap” (Al-Insyirah:7-8).
Segala sesuatu yang ada di dunia ini berjalan. Bumi dan seluruh isi alam ini
bergerak.
Imam Syafi’i mengungkapkan bahwa seluruh yang hidup ini harus bergerak
bila ingin bertahan hidup. “Berpergianlah, kamu pasti akan mendapatkan
pengganti apa yang kamu tinggalkan. Berusaha keraslah, karena kenikmatan
hidup ini ada pada kelelahan usaha keras” Ia pun mengatakan bahwa “Air yang
berhenti itu merusak dirinya. Jika ia mengalir pasti akan baik. Jika ia berhenti
akan buruk”.
Tapi harus bergerak bukan lantas kita asal bergerak tanpa makna, atau sekedar
mengisi waktu, menepis kejenuhan, melainkan gerak fisik, gerak pikir dan gerak
rasa (qalb) yang dilakukan dengan ikhtiar maksimal, berdasarkan keputusan yang
kuat, keyakinan yang bulat, tekad yang besar, informasi yang memadai dan harus
dilakukan dengan cara yang benar berdasarkan ajaran agama. Sesudah itu bila
kemudian terjadi hal-hal yang buruk, maka itu adalah resiko dari sebuah gerak.
Kaitannya dengan pemaparan di muka, bahwa gerak dalam denyut kehidupan
kita, tidak akan terwujud tanpa adanya sebuah asa. Sebuah obsesi. Sebagaimana
Rasulullah saw dengan obsesinya meraih kemenangan untuk menguasai
(baca:mensyiarkan Islam) Persia, Romawi dan Shan’a. Hingga tanpa rasa lelah
beliau terus berusaha menggali parit. Harapnnya pun terus terlantun lewat syair-
syair untuk membangkitkan semangat sebagaimana yang pernah dikatakan oleh
Ibnu Rawwahah, yaitu:
“Ya Allah, seandainya Engkau tiada, niscaya kami tidak akan mendapatkan
hidayah, tidak akan berzakat dan tidak pula akan bershalat. Maka turunkanlah
keteguhan dan ketenangan ke dalam hati kami, serta kuatkanlah telapak kaki
kami bila bertemu dengan musuh” .
Sebuah obsesi yang bersinergi dengan ikhtiar maksimal. Akhirnya kaum
muslimin mendapatkan kemenangan dalam perang khandaq ini. Juga sebagaimana
obsesi kamu muslimin yang ingin terus gigih berjuang menegakkan yang haq
hingga menyongsong musuh ke Uhud hingga mencapai puncak kehormatannya
sebagai syuhada. Atau obsesi Siti Hajar untuk mendapatkan air bagi putranya
Ismail. Ia berlari tujuh kali di padang pasir yang gersang. Yakinlah peristiwa Siti
Hajar ini bukan bukan sekedar peristiwa biasa hingga Allah pun
mengabadikannya dalam ibadah haji.
Jadi, tanpa obsesi, tanpa tujuan, gerak hidup kita akan terasa hampa. Untuk itu,
tanamkanlah sebuah obsesi dalam hati kita yang akan memacu kita untuk selalu
bergerak. Dan puncak obsesi seorang Muslim dalam hakikat kehidupan ini adalah
menggapai mardhatillah. Tinggal bagaimana cara kita meraihnya.
Dalam waktu dekat, kita akan menyongsong UAS setelah kurang lebih enam
bulan kita mencoba mengasah otak, menimba ilmu dan memperluas wawasan.
Adakah kita memiliki sebuah obsesi yang menggerakkan seluruh potensi kita?
Baik itu fisik, pikir dan rasa? Adakah kita termasuk orang yang menguras tenaga
untuk mengasah pikiran kita, menghabiskan materi untuk menunjangnya serta tak
henti menlantunkan do’a dan harapan meraih ketenangan bathin?
Kita tidak boleh berhenti berhenti bergerak kecuali sekedar sejenak yang kita
perlukan untuk mengambil bekal dan istirahat. Untuk kemudian melanjutkan
kembali denyut kehidupan kita agar tak terlindas oleh dinamika hidup. [dedicated
2myself].

Anda mungkin juga menyukai