Anda di halaman 1dari 9

PERAN 4 LEMBAGA DALAM

PEMBRANTASAN KORUPSI

1. KEPOLISIAN
Polri dalam penegakan hukum Tindak Pidana korupsi?, dalam Undang-undang No 2
tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia pada pasal 14 huruf g
menyebutkan “Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan Penyelidikan dan
Penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan
perundang-undangan lainnya”. Dan sesuai dengan bunyi pasal 25 UU no 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa “Penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan
dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya”, Hal ini selaras dengan semangat reformasi
Polri yang membuat grand strategi Polri dengan Kebijakan Strategis Pimpinan Polri di
dalamnya, Bahwa pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah merupakan prioritas bagi
Polri.
Peran Polri disini menjadi sangat penting, karena Polri menjadi ujung tombak dalam
penegakan hukum, meskipun dalam perkembangannya selain Polisi dan Jaksa, Negara
membentuk lembaga lain yang khusus menangani tindak pidana Korupsi yaitu Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), hal ini disebabkan karena Tindak Pidana Korupsi adalah
Kejahatan yang merupakan ekstra ordinary crime dan mempunyai implikasi sangat besar
bagi terhambatnya kemajuan Negara, juga sebagian besar pelaku korupsi berada pada jalur
birokrasi yang memegang kekuasaan sehingga di butuhkan lembaga superbodi agar bisa
melewati regulasi yang ada.
Sebagai contoh peran Polri dalam melakukan penyidikan Korupsi terhadap kasus BNI,
kasus korupsi yang dilakukan oleh Gubernur ataupun Bupati, dalam prosesnya Polri
menghadapi banyak kendala, untuk melakukan pemblokiran terhadap suatu rekening Bank
yang diduga sebagai hasil pidana korupsi, Polri harus memiliki bukti awal yang cukup dan
didasari dengan Laporan Polisi yang resmi, dikirimkan melalui Bank Indonesia dan harus
mendapat persetujuan dari Gubernur Bank Indonesia, yang tentu saja prosesnya memakan
waktu yang cukup lama. Demikian halnya dalam melakukan pemeriksaan baik sebagai saksi
maupun Tersangka terhadap para Kepala Daerah seperti Gubernur maupun Bupati, Polri
harus mendapatkan persetujuan oleh Presiden melalui Kementerian Dalam Negeri yang
sudah barang tentu juga memerlukan waktu yang tidak sedikit. Namun dengan segala
keterbatasannya itu Polri selalu berusaha ekstra keras untuk bersama-sama lembaga terkait
dalam memberantas Korupsi. Karena korupsi adalah musuh bersama yang harus diperangi
tidak hanya dari luar akan tetapi juga dari dalam lembaga Kepolisian itu sendiri, ada anekdot
yang mengatakan bahwa mustahil membersihkan lantai yang kotor dengan sapu yang kotor,
artinya mustahil Polri mampu memberantas Korupsi bila dari dalam internal kepolisian
sendiri masih melakukan perbuatan-perbuatan yang koruptif; seperti pungutan liar, makelar
kasus, jual beli jabatan, dsb.

2. KEJAKSAAN
kejaksaan RI, yang merupakan salah satu lembaga penegak hukum, disamping KPK dan
Kepolisian, melakukan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan
menumpas habis sampai ke akar-akarnya, minimal dapat memberi efek jera bagi yang akan
melakukan korupsi.
Meskipun dalam kenyataan di lapangan, ketiga lembaga penegak hukum sudah cukup
gencar melakukan penegakan hukum dalam memberantas korupsi, tetap saja masih banyak
yang melakukannya, hal ini terlihat dari hasil Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2014 yang
dirilis Transparansi Internasional (Desember 2014). Di Asia Tenggara, Singapura menjadi
negara terbersih dengan menempati peringkat 7 daftar CPI Transparansi Internasional. Lalu
dimana posisi Indonesia ? Indonesia duduk di peringkat 107 dari 175 negara. Posisi
Indonesia jauh berada di bawah Singapura (7), Malaysia, Filipina, dan Thailand (85). Untuk
urusan korupsi, Indonesia hanya lebih baik dari Vietnam (119), Timor Leste (133), Laos
(145), serta Kamboja dan Myanmar (156). Indonesia juga lebih baik ketimbang Rusia (136),
Ukraina (142), Paraguay (150), Kolombia (161), dan sejumlah negara di Afrika.
Dengan adanya indeks ini, harapan semua kalangan tindak pidana korupsi bisa ditekan
dan ini merupakan suatu tantangan bagi lembaga Kejaksaan. Tantangan bagi Kejaksaan dan
harapan masyarakat terhadap lembaga Kejaksaan untuk melakukan tugasnya secara
profesional dan bertanggung jawab, sebagaimana amanat Undang-undang No.16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa "Kejaksaan RI adalah
lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta
kewenangan lain berdasarkan undang-undang" dan dalam Pasal 30, disebutkan antara lain,
Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), dan mempunyai kedudukan
sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan
apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah
menurut Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan
kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan
tugas penyidikan dan penuntutan. Pemerintah pun sesungguhnya telah berupaya keras
melakukan pemberantasan korupsi, hal ini terlihat dari banyaknya regulasi yang dikeluarkan
oleh pemerintah bersama dengan DPR, antara lain dengan UU No. 31 Tahun 1999. Yang
mengatur masalah pembuktian terbalik bagi pelaku korupsi dan juga pemberlakuan sanksi
yang lebih berat bagi koruptor. Belakangan Undang-undang ini juga dipandang lemah dan
menyebabkan lolosnya para koruptor karena tidak adanya Aturan Peralihan dalam UU
tersebut. Polemik tentang kewenangan jaksa dan polisi dalam melakukan penyidikan kasus
korupsi juga tidak bisa diselesaikan oleh UU ini, kemudian keluar lagi UU No.20 Tahun
2001 yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan dapat melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana korupsi. Dan, akhirnya pemerintah membentuk satu lembaga yang
superbody yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-undang Nomor
30 tahun 2003, dengan tugas antara lain, melakukan koordinasi dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; supervisi terhadap instansi
yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, suatu hal yang menarik di
KPK ini tenaga penyidiknya dari unsur Kepolisian RI, penuntut umumnya dari Kejaksaan
RI.
Dengan demikian ada tiga institusi di Indonesia yang memiliki kewenangan untuk
melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Dengan kondisi praktek korupsi yang masih
terjadi secara masif, sistematis dan terstrukur pada lembaga eksekutif, legislatif dan
yudikatif serta di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun BUMD, lembaga jasa
keuangan dan perbankan serta di berbagai kehidupan masyarakat lainnya. Pemerintah
sesungguhnya terus berupaya dengan tindakan pencegahan seperti sosialisasi dan
penyuluhan agar jumlah kasus tindak pidana korupsi mengalami penurunan.
3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Perang terhadap korupsi merupakan focus yang sangat signifikan dalam suatu Negara
berdasarkan hukum, bahkan merupakan tolak ukur keberhasilan suatu pemerintahan. Salah
satu unsur yang sangat penting dari penegakan hukum dalam suatu Negara adalah perang
terhadap korupsi, karena korupsi merupakan penyakit kanker yang imun, meluas, permanent
dan merusak semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk perekonomian serta
penataan ruang wilayah.
KPK sebagai lembaga independent, artinya tidak boleh ada intervensi dari pihak lain
dalam penyelidikannya agar diperoleh hasil sebaik mungkin. KPK juga sebagai control
sososial dimana selama ini badan hukum kita masih mandul. Contohnya seperti
terungkapnya kasus Nyonya Artalita, dimana aparat hukum kita yang seharusnya
membongkar kasus korupsi justru bisa disuap oleh Nyonya Artalita dan yang akhirnya
berhasil dibongkar oleh KPK.
Jika ada beberapa pejabat yang teriak-teriak karena ulah KPK, harus dipertanyakan
kembali kepada para pejabat itu, berteriak karena takut ikut terseret ataukah konpensasi atas
kesalahan sendiri? Dan perlu kita pertanyakan kembali mengapa tidak berani teriak ketika
kantong terisi uang haram?
KPK juga sebagai barometer Negara terhadap pandangan Negara lain. Mungkin korupsi
di Indonesia sebagai fenomena gunung es dan mungkin hanya 0,5 persen saja yang
terbongkar. Tapi justru membanggakan karena taring-taring keadilan mulai tumbuh. Kita
melihatnya takut karena kita selama ini terbiasa dibius oleh rezim sebelumnya dan
menganggap aneh apabila keadaan itu memerlukan konsekuensi yang berat. Berbagai upaya
dilakukan untuk mengusik eksistensi KPK. Ada yang langsung meminta pembubaran
ataupun mengamputasi peran KPK secara terselubung.
Peran KPK tidak hanya menindak koruptor di dalam negeri, tapi juga membantu negara
internasional memerangi korupsi di antaranya membantu negara lain mengungkap skandal
korupsi di negara tersebut. Peran KPK dalam pemberantasan penyuapan pejabat asing atau
orang asing dalam bentuk mengungkap kasus yang ada di negaranya.
Dalam analisis berbagai pakar, Indonesia saat ini berada pada tipologi korupsi ketika
state capture type of corruption telah mendominasi ruang-ruang kebijakan publik, sementara
korupsi birokrasi juga berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Dua keadaan ini
menyebabkan kita disandera oleh sistem yang teramat korup (UNDP, 2002). Atau, dengan
kata lain, tidak dapat berbuat apa pun untuk membenahi persoalan korupsi yang sudah
sedemikian pelik.
Sementara itu, di sisi yang lain, KPK masih berkutat pada penanganan korupsi yang
bertipologi petty administrative corruption. Karena itu, proses hukum atas kasus-kasus
korupsi yang ditangani KPK tidak memiliki dampak yang berarti, karena hilangnya nilai
strategis dari sebuah kasus korupsi yang ditangani. Nilai strategis itu dilihat dalam dua
pendekatan, yakni sumber korupsi yang selama ini menjerat bangsa Indonesia dalam
keterpurukan ekonomi, sosial, dan politik, serta dampak langsung pemberantasan korupsi
dalam bentuk pembenahan sistem yang rentan terhadap korupsi setelah penegakan hukum
dilakukan.
State capture bisa dilihat pada aktor utama pelaku korupsinya, yakni pejabat politik,
pejabat negara, dan kalangan swasta/pengusaha yang berkolusi menyalahgunakan
kewenangan dan kekuasaan negara/publik. Aktor inilah yang menciptakan sebuah kondisi
negara yang terus-menerus tersandera oleh ketidakberdayaan sosial-ekonomi dan politik.
Di samping karena kerugian negara dan masyarakat yang dapat mencapai triliunan
rupiah, state capture telah menciptakan monopoli dalam penguasaan dan alokasi sumber
daya ekonomi publik. Melalui praktek komunikasi dan lobi secara informal, tertutup dengan
contact person di level tinggi, state captors bekerja mempengaruhi kebijakan publik yang
dapat menguntungkan aktor-aktornya. Pendek kata, dalam korupsi bertipologi state capture,
kebijakan publik merupakan arena transaksi dan sumber akumulasi kekayaan.
Namun, sayangnya, hingga saat ini, pun setelah KPK lahir, aktor-aktor state capture
masih tetap tidak tersentuh. KPK masih sebatas menangani kasus-kasus korupsi yang
melibatkan kepala daerah, pejabat eselon, dan pemimpin proyek--yang sebagian besar
korupsinya terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa. Barangkali sektor ini memang
rawan terhadap korupsi. Tapi berbagai sektor lain, tempat sumber ekonomi publik yang
demikian besar dikelola, seharusnya menjadi pilihan-pilihan yang strategis untuk dihantam.
Memang KPK tidak didesain untuk menegakkan hukum korupsi di semua lini. Karena
itu, seharusnya pilihan dalam membidik sebuah kasus korupsi harus didasarkan pada
pertimbangan strategisnya. Terutama pada titik di mana kejaksaan dan kepolisian memiliki
hambatan politik untuk menanganinya. Jika KPK menangani perkara korupsi yang sederajat
dengan kualitas perkara milik kejaksaan dan kepolisian, hal ini justru hanya akan
menimbulkan naiknya ongkos dalam memberantas korupsi.
Supaya KPK dapat terfokus pada kasus-kasus korupsi yang memiliki spektrum politik
besar, sekaligus memiliki dampak terhadap perbaikan ekonomi dan pelayanan publik,
mekanisme supervisi dan koordinasi harus dioptimalkan. Mengingat banyak kasus korupsi
birokratis yang ditangani kejaksaan dan kepolisian mengalami kemacetan, KPK harus
mengawasi secara serius proses penegakan hukumnya. Dengan kewenangan itu, diharapkan
penanganan kasus-kasus korupsi birokrasi, yang selama ini menjadi tanggung jawab
kejaksaan dan kepolisian, menjadi lebih efisien dan tidak koruptif.
Selama ini tidak dapat dimungkiri bahwa terdapat penambahan jumlah kasus yang
ditangani kejaksaan dan kepolisian setelah mekanisme supervisi dan koordinasi dilakukan
KPK, tapi hal itu tidak mengurangi praktek korupsi dalam penanganan kasus korupsi.
Karena itu, untuk mendorong proses penegakan hukum pada tingkat kejaksaan dan
kepolisian, KPK seharusnya memulai upaya pemberantasan korupsi dengan melakukan
pembersihan pada tubuh aparat penegak hukum. Upaya membersihkan kejaksaan dan
kepolisian akan sangat membantu KPK dalam menangani perkara-perkara korupsi yang
sedemikian banyak.
Namun, sayangnya, hingga menjelang berakhirnya masa tugas pemimpin KPK periode
2003-2007, belum ada satu pun aparat penegak hukum yang diproses, kecuali Suparman
selaku penyidik KPK sendiri. Padahal mustahil mendorong program pemberantasan korupsi
di tubuh kejaksaan dan kepolisian seandainya upaya-upaya pembersihan tidak segera
dilakukan. Demikian juga halnya lingkup pengadilan, yang seharusnya menjadi prioritas
mengingat semua proses hukum akan bermuara di tangan para hakim.
Karena itu, ke depan sudah seharusnya pemimpin KPK terpilih harus benar-benar
memiliki perspektif yang kuat sehingga dapat melihat secara lebih tajam persoalan mendasar
dari merajalelanya korupsi. Sudah seharusnya desain program dan kebijakan pemberantasan
korupsi harus becermin pada tipologi korupsi yang mendominasi. Bukan sekadar
menjalankan tugas dan kewajiban memberantas korupsi sebagaimana mandat undang-
undang tapi tanpa bekal yang cukup memadai.
Dalam pelaksanaannya KPK yang memiliki kewenangan penuh untuk menangkap dan
menyelidiki kasus tindak pidana korupsi. Tidak dapat kita pungkiri dengan kewenangan itu
pula, KPK menjadi mimpi buruk bagi para pejabat dan elit politik yang korupsi. Karena
KPK dapat menangkap para pelaku korupsi yang telah di curigai kapanpun dan dimana pun.
Seperti yang telah kita lihat pada akhir-akhir ini. Dalam kasus penangkapan terhadap jaksa
Urip Tri Gunawan yang ditangkap langsung oleh KPK dengan mencegat mobilnya di
pinggir jalan. Demikian juga dengan pemeriksaan KPK terhadap tersangka kasus korupsi Al
Amin Nasution, KPK tanpa segan-segan menggeledah kantor anggota DPR RI tersebut.
Melihat dari sikap KPK yang tergolong tegas dan tepat itu, mungkin menjadi terapi
shock kepada para koruptor lainnya. Secara tidak langsung kewenagan KPK yang terkadang
dianggap melanggar privasi seseorang ini, menjadi salah satu hal yang dapat membuat orang
untuk berpikir ulang untuk melakukan tindak pidana korupsi karena takut di tangkap oleh
KPK yang datang seperti angin tanpa bisa diduga.

4. Pengadilan Tipikor
Pengadilan Tipikor merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Pengadilan korupsi diatur oleh UU
No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Untuk pertama kali Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah
hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Pembentukan Pengadilan
ini secara bertahap dilakukan dengan Keputusan Presiden. dan berhak memutus tindak
pidana korupsi yang dilakukan diluar wilayah Indonesia oleh warga negara Indonesia.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota yang
daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.
Menurut Wikipedia. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah merupakan Pengadilan
Khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara tindak pidana korupsi. Saat ini Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah dibentuk di
setiap Pengadilan Negeri yang berkedudukan di ibukota provinsi.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara:

1. Tindak pidana korupsi;


2. Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi;
dan/atau
3. Tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak
pidana korupsi.

Selain itu, kewenangan lain yang perlu diberikan kepada Pengadilan Tipikor adalah
kewenangan untuk mengadili perkara lain yang berkaitan dengan perkara korupsi. Secara
teoritis hal semacam ini sangat mungkin terjadi dalam perkara tindak pidana korupsi. Suatu
perbuatan yang didakwa korupsi bisa juga meliputi beberapa jenis tindak pidana lainnya.

Anda mungkin juga menyukai