Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Kelainan mata yang menyertai hipertiroidisme mempunyai arti penting,


karena sebagian besar penderita kelainan mata akibat tiroid adalah penderita
penyakit Graves yang bersifat autoimun. pada tahun 1835 Grave mengutarakan
suatu penyakit akibat naiknya metabolisme tubuh disertai dengan perubahan mata
yang yang dinamakan Penyakit Grave atau exofthalmus goiter. Meningkatnya
metabolisme menimbulkan perubahan, ini dinamakan tirotoksikosis, perubahan di
mata dinamakan oftalmopati. Gejala tersebut disebabkan oleh karena
pembentukan tiroksin yang berlebihan. Pada penyakit Graves dapat ditemukan
kelainan mata berupa edema pretibial, kemosis, proptosis, diplopia, dan
penurunan visus. Penderita dengan penyakit Grave klasik menunjukkan gejala
pembesaran tiroid, tirotoksikosis, kelainan pada kelopak mata, dan eksoftalmus
yang dapat unilateral atau bilateral.1

Angka kejadian hipertiroidisme Graves di Amerika Serikat adalah sekitar


seperempat dari 1% populasi penduduknya, dimana sekitar 80% pasien
hipertiroidisme Graves mengalami kelainan mata. Di Amerika Serikat, angka
kejadian per tahun untuk oftalmopati Graves diperkirakan sekitar 16 per 100.000
penduduk untuk perempuan dan 2.9 per 100.000 penduduk untuk laki-laki.
Prevalensi oftalmopati Graves lebih sering pada perempuan (2.5-6 kali lebih
sering dibanding laki-laki) dengan kisaran umur 30-50 tahun.2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Oftalmopati Grave dapat juga disebut sebagai thyroid associated
orbitopathy (TAO) atau orbitopathy dystyroid. Penyakit ini didefinisikan
sebagai suatu kondisi autoimun yang dihubungkan dengan status kadar
tiroid yang tidak normal, dimana terdapat inflamasi berat yang
menyebabkan remodelling jaringan orbita, termasuk akumulasi
makromolekul ekstraseluler dan lemak.1 Kondisi ini ditandai dengan
retraksi kelopak mata, proptosis (penonjolan bola mata ke luar), miopati
ekstraokluler restriktif, dan neuropati optik.3

2.2 Epidemiologi

Di Amerika Serikat, dari seluruh pasien dengan hipertiroidisme


Graves, 80% ditemukan mengalami kelainan mata. Angka kejadian
oftalmopati Graves per tahun mencapai 16 per 100.000 penduduk untuk
perempuan dan 2.9 per 100.000 penduduk untuk laki-laki. 2

Oftalmopati Graves cenderung lebih sering terjadi pada wanita


(2.5-6 kali lebih sering dibanding pria), akan tetapi kasus berat lebih sering
ditemukan pada pria. Penderita usia 30-50 tahun juga terbukti paling sering
terkena penyakit ini, dengan kasus berat yang sering dijumpai pada pasien di
atas usia 50 tahun.2

2.3 Etiopatogenesis
Etiologi dari oftalmopati graves sama dengan penyakit graves yaitu
autoimun. Reaksi histopatologis dari berbagai jaringan didominasi oleh
reaksi sel-sel inflamasi. Hal ini adalah mekanisme khas pada penyakit
autoimun. Endapan dari glikosaminoglikan (GAGs) seperti asam

2
hialuronat bersamaan dengan edema interstisial dan sebukan sel-sel
inflamasi dipertimbangkan menjadi penyebab berbagai jaringan di orbita
dan disfungsi otot ekstraokuler. Pembengkakan jaringan orbita
menghasilkan edema kelopak mata, kemosis, proptosis, dan penebalan otot
ekstraokuler. Rokok merupakan faktor resiko yang paling kuat untuk
oftalmopati graves karena pada individu perokok dapat merusak sistem
imun dan paparan rokok banyak dihubungkan dengan penyakit autoimun.3
Berikut adalah proses di tingkat seluler dan biokimia dari patogenesis
oftalmopati graves:3
1. Sirkulasi sel T pada pasien penyakit graves secara langsung melawan
self antigen pada sel-sel folikuler tiroid. Pengenalan antigen ini pada
fibroblast tibial dan pretibial. Kemungkinan pengenalan ini juga terjadi
di myosit ekstraseluler.
2. Sel T kemudian menginfiltrasi orbita dan kulit pretibial. Interaksi
antara sel T CD4 yang teraktifasi dan fibroblast menghasilkan
pengeluaran sitokin-sitokin pro inflamasi ke jaringan sekitarnya.
3. Lebih lanjut sitokin-sitokin pro inflamasi merangsang produksi
glikosaminoglikan oleh fibroblas kemudian merangsang proliferasi
fibroblas.
4. Peningkatan volume jaringan ikat dan pengurangan pergerakan otot
ekstraokuler dihasilkan dari stimulasi fibroblas. Proses yang sama juga
terjadi di kulit pretibial akibat pengembangan jaringan ikat kulit yang
menyebabkan timbulnya dermopati pretibial dengan karakteristik
berupa nodul-nodul atau penebalan kulit.

3
Gambar 2.1 Patogenesis Oftalmopati Graves (diambil dari jurnal Mechanism of
disease Grave’s Ophthalmopathy, NEJM)

2.4 Diagnosis
1. Gejala dan Tanda
Gejala
Pasien biasa mengeluhkan rasa nyeri dan tidak nyaman pada mata,
nyeri ini dapat terjadi pada satu atau kedua mata. Rasa nyeri ini dikeluhkan
pada sekitar 30% pasien dengan oftalmopati Grave. Nyeri dapat terjadi
karena pembengkakan orbita yang menekan saraf di sekitar bola mata
sehingga menimbulakn sensasi nyeri. Gejala lain yaitu penglihatan kabur
pada 75% pasien, diplopia (penglihatan ganda) 17,5% pasien, lakrimasi
dan fotofobia pada 15-20% pasien.3 Selain itu pasien juga menyampaikan
bahwa bola matanya lebih menonjol keluar dibandingkan sebelumnya
(mata membelalak) dan mata terasa kering.
Keluhan lain yang terjadi pada pasien hipertiroid juga dapat
dikeluhkan oleh pasien seperti jantung berdebar-debar, mudah berkeringat,
tidak tahan terhadap panas, kelemahan otot, gemetar, penurunan berat

4
badan, dan munculnya gondok. Keluhan ektraokuler ini dapat menjadi
petunjuk bahwa keluhan yang dirasakan pasien di mata adalah akibat
proses sistemik.4,5
Tanda
a. Proptosis
Proptosis adalah penonjolan bola mata ke luar atau dapat disebut
eksoftalmus. Proptosis terjadi pada 90-98% pasien dengan OG.1 Proptosis
pada OG biasanya bilateral namun mungkin juga asimetris. Proptosis yang
dihubungkan dengan penyakit tiroid ditandai dengan retraksi kelopak
mata, dimana hal ini dapat menjadi pembeda dengan proptosis yang terjadi
karena penyebab lainnya.4 Proptosis terjadi karena isi orbita dikurung oleh
tulang orbita, bila terjadi penambahan massa orbita maka dekompresi
hanya dapat terjadi ke arah depan.5
b. Retraksi kelopak mata
Retraksi kelopak mata bagian atas sering merupakan tanda
terjadinya TAO. Retraksi kelopak mata terjadi akibat beberapa faktor,
diantaranya peningkatan stimulasi simpatik dari otot Muller’s, kontraksi
otot levator sehingga terjadi pemendekan fungsional otot levator, bekas
luka diantara fasia glandula lakrimalis dan otot levator sehingga
memberikan gambaran khas berupa kilauan temporal (lateral flare)
dimana sklera lebih banyak terlihat di sisi temporal.
c. Lagoftalmus
Lagoftalmus adalah kelainan pada mata berupa kelopak mata tidak
dapat menutup dengan sempurna. Lagoftalmus terjadi karena proptosis dan
retraksi kelopak mata.4 Mata yang tidak dapat tertutup dengan sempurna
dapat mengakibatkan mata bagian depan terpapar oleh udara, sedangkan
proses penggantian tears film oleh kelopak mata juga terganggu.
Akibatnya kornea mata menjadi kering dan mudah terjadi infeksi seperti
konjungtivitis dan keratitis.

5
d. Diplopia
Diplopia adalah penglihatan ganda. Diplopia selalu dimulai dari
tatapan lapang pandang atas karena infiltrasi miopati menyerang otot
rektus inferior. Namun akhirnya semua otot ekstraokuler dapat terserang
sehingga diplopia dapat terjadi di lapang pandang manapun.4 otot
ekstraokuler dapat membesar secara masif sehingga mempengaruhi
pergerakan bola mata yang juga dapar mengakibatkan diplopia.
e. Neuropati Optik
Prevalensi neuropati optik dengan kehilangan penglihatan pada
pasien OG kurang dari 5%. Pembesaran otot ekstraokuler pada apeks
orbita selain dapat mempengaruhi pergerakan bola mata juga dapat
menekan saraf mata. Penekanan saraf mata ini dapat mengakibatkan
munculnya tanda berupa gangguan persepsi warna, penurunan tajam
penglihatan, dan jika dibiarkan dapat mengakibatkan kebutaan.4

2. Pemeriksaan Fisik
a. Vital Sign
Pada pemeriksaan vital sign dapat ditemukan takikardi karena
stimulasi saraf simpatis, tekanan darah dapat normal maupun meningkat,
suhu dapat normal maupun meningkat, frekuensi pernafasan dapat normal
maupun meningkat.
b. Pemeriksan sistemik
Pada pemeriksaan fisik sistemik harus dipastikan dulu kecurigaan
terhadap gangguan tiroid. Jika gangguan mata pada pasien berasal dari
penyakit graves maka ditemukan tanda-tanda sistemik seperti pretibial
mixedema dan clubbing finger. Selain itu munculnya gondok pada leher
juga dapat memperkuat diagnosis OG.

6
Gambar 2.2 Pretibial myxedema (diambil dari buku Harrison’s)

Gambar 2.3 Clubbing finger (Gambar diambil dari buku


Harrison’s)

Gambar 2.4 Gondok (diambil dari www.zonakesehatan.info)

7
c. Pemeriksaan lokalis mata
Pada pemeriksaan organ mata dapat ditemukan tanda-tanda seperti
dibawah ini:6
Eksoftalmus
Eksoftalmus adalah penonjolan abnormal pada salah satu atau kedua bola
mata. Eksoftalmus ini merupakan tanda klasik pada oftalmopati graves.
Tanda pada kelopak mata
 Dalrymple’s Sign
Retraksi kelopak mata atas menghasilkan penampakan ketakutan

Gambar 2.5 Darlymple’s sign (diambil dari jurnal Thyroid


Ophthalmopathy)
 Von Graefe’s Sign
Saat bola mata digerakkan ke bawah, kelopak mata atas tertinggal.

Gambar 2.6 Von Graefe’s sign (diambil dari


shamshadandwaseemeyehospital.blogspot.com)

8
 Enroth’s Sign
Kelopak mata terlihat penuh karena proses edema dan peradangan.

Gambar 2.7 Enroth’s sign (diambil dari jurnal Thyroid


Ophthalmopathy)
 Gifford's Sign
Kelopak mata atas sulit untuk di eversi (dibalik)

 Stellwag’s Sign
Kelopak mata jarang sekali berkedip.
Tanda pada konjunctiva
Konjunctiva tampak mengalami injeksi dan iritasi sehingga terlihat
berwarna merah.
Gerakan bola mata
Gangguan pada gerakan bola mata dapat berupa kelemahan
konvergensi yang dikenal sebagai Morbius’s sign sampai bola mata tidak
dapat digerakkan secara parsial maupun total.

Gambar 2.8 Morbius’s sign (diambil dari jurnal Thyroid


Ophthalmopathy)

9
Kornea
Infeksi pada kornea atau disebut dengan keratitis dapat terjadi
karena mata pasien jarang berkedip dan kornea terekspos oleh udara
sehingga kornea menjadi kering dan mudah terinfeksi.
Saraf mata
Pada penyakit oftalmopati grave dapat terjadi neuropati optik
karena saraf dan pembuluh darah pada mata mendapat tekanan langsung
akibat pembesaran otot rectus. Hal ini mengakibatka papiledema atau
atrofi saraf optik yang dihubungkan dengan gangguan penglihatan yang
berjalan progresif.
The American Thyroid Association telah menggolongkan derajat
keparahan dari manifestasi oftalmopati grave yang terjadi pada mata dari
skala 0 sampai 6 yang dikenal sebagai “NO SPECS” criteria
Class Sign
0 No sign or symptoms
1 Only signs (lid retraction or lag), no symptoms
2 Soft tissue involvement (periorbital edema)
3 Proptosis (>22 mm)
4 Extraocular muscle involvement (diplopia)
5 Corneal involvement
6 Sight loss

Secara klinis terjadinya eksoftalmus dibagi menjadi 2 tipe yaitu:7


a. Thyrotoxic exophthalmus (Exophthalmic goitre)
Terjadinya eksoftalmus pada tipe ini disebabkan karena
bertambahnya hormon tiroid dalam sirkulasi darah sehingga
menambah sympathetic tone dan spasme otot polos mata. Pada tipe ini
kebanyakan pada kondisi hipertiroid.

10
b. Thyrotropic exophthalmus (Exopthalmic ophthalmoplegia)
Terjadinya eksoftalmus pada tipe ini karena bertambahnya
stimulasi hormon tiroid pada sirkulasi darah dan gagalnya efek
inhibitor hormon tiroid pada kelenjar pituitari sehingga menyebabkan
reaksi berlebihan pada jaringan orbita. tipe ini biasanya terjadi pada
status eutiroid atau hipotiroid.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Tes fungsi tiroid
Seperti pada penyakit hipertiroid didapatkan kadar T3 dan T4 yang
meningkat, FT4 meningkat, dan TSH menurun.8
b. Pemeriksaan visual
Pada pemeriksaan visus bisa didapatkan penurunan visus sampai
pada kebutaan. Sedangkan pada pemeriksaan persepsi warna dapat pula
pasien salah mengenali warna karena terdapat gangguan pada penglihatan
warna.4
c. Ultrasonografi
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi perubahan pada otot
ekstraokuler yang terjadi pada kasus derajat 0 dan 1 dan dapat membantu
diagnosis secara cepat. Selain ketebalan otot, erosi dinding temporal
orbita, penekanan lemak retroorbita dan inflamasi saraf optik juga dapat
terlihat pada beberapa kasus.
d. Computed Tomography (CT) scan
Computed tomography merupakan alat pencitraan yang paling
sering digunakan untuk mengevaluasi oftalmopati graves. Computed
tomography lebih sensitif daripada magnetic resonance imaging (MRI)
dalam mendeteksi pembesaran otot ekstraokuler. Pemeriksaan ini penting
terutama jika pada pasien direncanakan tindakan operatif untuk
dekompresi.1 pada pemeriksaan CT scan dapat terlihat empat tanda
kardinal dari kelainan pada orbita yaitu proptosis, penebalan otot bola
mata, penebalan saraf optik, dan prolaps septum orbita ke arah anterior
karena hipertrofi jaringan lemak dan atau penebalan otot.7

11
Gambar 2.9 Potongan koronal pembesaran otot rektus medial dan rektus
inferior bilateral (diambil dari Grave’s Ophthalmopathy, NEJM)

Gambar 2.10 Potongan sagital eksoftalmus, pembesaran otot rektus medial


dan rektus lateral bilateral (diambil dari Grave’s Ophthalmopathy, NEJM)

12
Gambar 2.11 Potongan sagital oftalmopati graves setelah terapi
glukokortikoid intravena (diambil dari Grave’s Ophthalmopathy, NEJM)

2.5 Diagnosis Banding


1. Selulitis orbita
Selulitis orbita merupakan peradangan supuratif jaringan ikat
longgar intraorbita di belakang septum orbita. Kuman penyebab
biasanya adalah pneumokok, streptokok, atau stafilokok dan berjalan
akut. Bila terjadi akibat jamur dapat berjalan kronik. Masuknya kuman
ini ke dalam rongga mata dapat langsung melalui sinus paranasal,
penyebaran melalui pembuluh darah atau akibat trauma.
Selulitis orbita akan memberikan gejala demam, mata merah,
kelopak mata edema, mata proptosis, tajam penglihatan menurun.
Tanda-tanda tersebut muncul pada bola mata yang sakit saja
sedangkan pada OG biasanya gejala muncul pada kedua mata. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis sebagai penanda
infeksi sedangkan pada OG tidak, dan pemeriksaan T3, T4 dan TSH
dalam batas normal.3,5

13
2. Tumor orbita
Tumor orbita adalah tumor yang terletak di rongga orbita. Rongga
orbital dibatasi sebelah medial oleh tulang yang membentuk dinding
luar sinus ethmoid dan sfenoid. Sebelah superior oleh lantai fossa
anterior, dan sebelah lateral oleh zigoma, tulang frontal dan sayap
sfenoid besar. Sebelah inferior oleh atap sinus maksilari. Tumor orbita
terdiri dari primer dan sekunder yang merupakan penyebaran dari
struktur sekitarnya, atau metastasase.
Gejala klinis terdiri atas proptosis yang biasanya unilateral sesuai
tempat tumor menyerang. Proptosis kedepan adalah gambaran yang
sering dijumpai, berjalan bertahap dan tak nyeri dalam beberapa bulan
atau tahun (tumor jinak) atau cepat (lesi ganas). Nyeri orbital terlihat
jelas pada tumor ganas yang tumbuh cepat Pembengkakan kelopak
mungkin jelas pada pseudotumor, eksoftalmos endokrin atau fistula
karotid-kavernosa. Palpasi bisa menunjukkan massa yang
menyebabkan distorsi kelopak atau bola mata. Ketajaman penglihatan
mungkin terganggu langsung akibat terkenanya saraf optik atau retina,
atau tak langsung akibat kerusakan vaskuler. Saat dilakukan
pemeriksaan CT scan terlihat lokasi massa tumor orbita dan dapat
membedakan apakah proptosis disebabkan oleh karena pembesaran
otot dan lemak seperti pada OG atau karena adanya tumor.
Pemeriksaan T3, T4 dan TSH juga pada kadar yang normal.3,5

3 Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a. Glukokortikoid
Glukokortikoid digunakan untuk GO di dua pengaturan klinis yang
berbeda: 1) grave oftalmopati berat; dan 2) grave oftalmopati ringan, yang
terapi radioiodine diberikan untuk mengobati hipertiroidisme bersamaan.
Glukokortikoid masih merupakan pengobatan yang efektif untuk grave
oftalmopati berat. IV glukokortikoid harus digunakan pada dosis yang jauh

14
lebih rendah dari sebelumnya (4.5- ke 6-g dosis kumulatif), mungkin
dengan dosis kecil prednison oral (atau setara) pada periode interpulse dan
selama beberapa minggu setelah selesainya pengobatan iv . Penilaian yang
cermat dari pasien sebelum pengobatan untuk identifikasi faktor risiko
kemungkinan toksisitas hati adalah wajib. Pasien dengan ophthalmopathy
ringan jarang memerlukan perawatan agresif. tindakan lokal, termasuk
fotofobia, air mata buatan dan salep untuk sensasi berpasir dan lakrimasi,
dan prisma untuk diplopia ringan, biasanya cukup untuk mengendalikan
manifestasi okular ringan. kontrol Prompt disfungsi tiroid dan menahan
diri dari merokok. Glukokortikoid biasanya tidak diindikasikan pada
pasien dengan grabe oftalmopati ringan.9 Pasien dengan neuropati optik
yang mengancam membutuhkan terapi segera dengan glukokortikoid
intravena atau oral dosis tinggi. Terapi inisial menggunakan 1 g
metilprednisolon intravena 3 hari bertutut-turut. Dosis selanjutnya
tergantung pada respon terapi. Jika tidak ada peningkatan setelah 1 sampai
2 minggu pasien dipertimbangkan dilakukan operasi dekompresi. Sumber
lain menyebutkan orbitopati fase akut biasanya dapat ditangani dengan
pengobatan oral. Dosis awal 1-1,5 mg/kgBB prednison. Dosis ini
dipertahankan selama 2 sampai 4 minggu sampai respon klinis dirasakan.
Dosis kemudian dikurangi secara bertahap (tapppering off) sesuai respon
klinis dari fungsi saraf optik.3,4
Sumber lain menyebutkan, bila proses penyakit bertambah berat
sehingga mata sukar untuk menutup dengan sempurna, pergerakan bola
mata terhambat, dan terlihat adanya ancaman terjadinya ulkus kornea dan
gangguan visus maka dapat diberikan Prednison 40-80 mg/hari atau
Methylprednisolon acetate 16-24 mg diberikan retrobulber.7

15
b. Terapi lain
Suatu penelitian tidak menunjukkan keuntungan penggunaan
analog somatostatin (ocreotide dan lantreotide) untuk oftalmopati Graves.
Siklosporin meskipun menunjukkan bahwa obat ini tidak lebih efektif dari
glukokortikoid namun dapat membantu mengurangi dosis glukokortikoid.7
Penggunaan kombinasi siklosporin dan glukokortikoid juga dilaporkan
lebih unggul dibandingkan penggunaan glukokortikoid tunggal.1

2. Nonmedikamentosa
a. Terapi radiasi
Dasar penelitian mengenai keuntungan pemakaian terapi radiasi
untuk oftalmopati graves sebenarnya terbatas, namun rasionalitas
penggunaan terapi ini berdasarkan pada efek antiinflamasi non spesifik
dan sensitifitas limfosit di orbita yang tinggi. Dengan kemajuan teknologi
teknik ini tidak meningkatkan resiko katarak atau keganasan namun dapat
menimbulkan retinopati. Karena adanya efek samping tersebut sehingga
pada pasien diabetes mellitus penggunaan terapi radiasi merupakan
kontraindikasi relatif.1
b. Operasi
Sekitar 20% pasien dengan oftalmopati graves mengalami
penanganan bedah. Dari 20% pasien yang menjalani operasi tersebut,
hanya 2,5% yang membutuhkan semua tipe pembedahan. Pembedahan
harus ditunda hingga penyakit telah stabil kecuali jika intervensi darurat
dibutuhkan untuk mengembalikan hilangnya penglihatan akibat neuropati
kompresif. Pembedahan strabismus dan perbaikan kelopak mata tidak
dipertimbangkan hingga keadaan eutiriod telah dipertahankan dan tanda-
tanda oftalmik telah stabil selama 6-9 bulan.
Indikasi operasi pada oftalmopati graves meliputi neuropati,
diplopia, kornea yang terpapar, dan cosmesis. Secara luas tindakan operasi
dapat berupa dekompresi orbita untuk proptosis, perbaikan strabismus
untuk memperbaiki adanya diplopia, dan koreksi kelopak mata yang

16
abnormal untuk kepentingan kosmetik. Secara tradisional, dekompresi
orbita, jika diperlukan, dilakukan paling awal, diikuti operasi perbaikan
strabismus, dan terakhir perbaikan posisi kelopak mata. . Pada suatu
tinjauan 7% pasien menjalani dekompresi orbital, 9% menjalani
pembedahan strabismus, dan 13% pembedahan keopak mata.3,4
c. Perubahan pola hidup
Beberapa tindakan pencegahan perlu dilakukan agar oftalmopati
graves tidak menjadi lebih berat. Kontrol penyakit tiroid merupakan
langkah pertama, dan kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan. Pada suatu
penelitian yang dilakukan oleh Krassas dan Wiersinga, terdapat hubungan
yang positif antara merokok dan penyakit tiroid autoimun sehingga
penghentian kebiasaan merokok sangat penting dalam membantu
penanganan penyakit ini. Pada pasien dengan proptosis juga sebaiknya
kornea diproteksi dengan poenggunaan kacamata atau tetes mata (artificial
tears) agar kornea selalu basah.3,4

2.6 Prognosis
Prognosis dari oftalmopati graves dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Usia salah satu faktor yang dapat mempengaruhi. Anak-anak dan
remaja umumnya memiliki penyakit yang ringan tanpa cacat yang
bermakna sampai batas waktu yang lama. Pada orang dewasa,
manifestasinya sedang sampai berat dan lebih sering menyebabkan
perubahan struktur karena gangguan fungsional. Diagnosis yang
ditegakkan secara lebih dini diikuti intervensi dini terhadap perkembangan
proses penyakit dan mengontrol perubahan jaringan lunak dapat
mengurangi morbiditas penyakit dan mempengaruhi prognosis dalam
jangka waktu yang lama.3

17
Daftar Pustaka

1. Rajat M., Weis E. 2012. Thyroid Associated Orbitopathy. Indian J


Ophtalmol. 2012;60(2): 89-93
2. Swierzeski SJ. Graves’ Ophthalmopathy (GO). Diunduh dari
http://www.visionchannel.net/graves/index.shtml. 26 Oktober 2016
3. Lubis, Rodiah R. 2009. Graves Ophthalmopaty. Departemen Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara: Medan
4. Vaughan D, Asbury T, Riordan-Eva P. 2014. Oftalmologi Umum. Penerbit
Buku Kedokteran. EGC : Jakarta.
5. Edsel Ing, Hampton R. Thyroid-Assiciated Orbitopathy. Diunduh dari
www.emedicine.medscape.com. 26 Oktober 2016.
6. Khurana, AK. 2007. Comprehensive Ophthalmology 4th edition. New Age
International Ltd: New Delhi.
7. Nurwasis dkk. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi RSU dr Soetomo
Edisi III. Bagian SMF Ilmu Penyakit Mata: Surabaya
8. Tjokroprawiro A., Setiawan PB., Santoso D., Soegiarto G., 2007. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK Unair. Airlangga University Press:
Surabaya.
9. Bartalena L. Glucocorticoids for Graves Ophthalmopathy: How and
When. The journal of clinical Endocrinology and Metabolism. Diunduh
dari http://press.endocrine.org/doi/full/10.1210/jc.2005-1553 26 Oktober
2016

18

Anda mungkin juga menyukai