Anda di halaman 1dari 11

HAP

Sumber:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2003. Pneumonia Nosokomial ; Pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. PDPI: Jakarta
Komplikasi
Ada beberapa penyebab perburukan atau gagal terapi, termasuk diantaranya kasus-kasus yang
diobati bukan pneumonia, atau tidak memperhitungkan faktor tertentu pejamu, bakteri atau antibiotik,
Beberapa penyakit noninfeksi seperti gagal jantung, emboli paru dengan infark, kontusio paru ,
pneumonia aspirasi akibat bahan kimia diterapi sebagai HAP. Faktor pejamu yang menghambat
perbaikan klinis adalah pemakaian alat bantu mekanis yang lama, gagal napas, keadaan gawat, usia di
atas 60 tahun, infiltrat paru bilateral, pemakaian antibiotik sebelumnya dan pneumonia sebelumnya.
Faktor bakteri yang mempengaruhi hasil terapi adalah jenis bakteri, resistensi kuman sebelum dan
selama terapi terutama P.aeruginosa yang diobati dengan antibiotik tunggal. Hasil buruk dihubungkan
biasanya dengan basil gram negatif, flora polimikroba atau bakteri yang telah resisten dengan antibiotik.
Pneumonia dapat juga disebabkan oleh patogen lain seperti M.tuberculosis, jamur dan virus atau
patogen yang sangat jarang sehingga tidak diperhitungkan pada pemberian antibiotik.
Penyebab lain kegagalan terapi adalah komplikasi pneumonia seperti abses paru dan empiema.
Pada beberapa pasien HAP mungkin terdapat sumber infeksi lain yang bersamaan seperti sinusitis,
infeksi karena kateter pembuluh darah, enterokolitis dan infeksi saluran kemih. Demam dan infiltrat
dapat menetap karena berbagai hal seperti demam akibat obat, sepsis dengan gagal organ multipel.

Prognosis
Penyakit ini secara signifikan akan mempengaruhi biaya rawat di rumah sakit dan lama rawat
di rumah sakit. ATS membagi pneumonia nosokomial menjadi early onset (biasanya muncul selama 4
hari perawatan di rumah sakit) dan late onset (biasanya muncul setelah lebih dari 5 hari perawatan di
rumah sakit). Pada early onset pneumonia nosokomial memili prognosis baik dibandingkan late onset
pneumonia nosokomial; hal ini dipengaruhi pada multidrug-resistant organism sehingga
mempengaruhi peningkatan mortalitas. Pada banyak kasus, diagnosis pneumonia nosokomial dapat
diketahui secara klinis, serta dibantu dengan kultur bakteri; termasuk kultur semikuantitatif dari sample
bronchoalveolar lavage (BAL).
Prognosis akan lebih buruk jika dijumpai salah satu dari kriteria di bawah ini, yaitu
1. Umur > 60 tahun
2. Koma waktu masuk
3. Perawatan di IPI
4. Syok
5. Pemakaian alat bantu napas yang lama
6. Pada foto toraks terlihat gambaran abnormal bilateral
7. Kreatinin serum > 1,5 mg/dl
8. Penyakit yang mendasarinya berat
9. Pengobatan awal yang tidak tepat
10. Infeksi yang disebabkan bakteri yang resisten (P.aeruginosa, S.malthophilia, Acinetobacter spp.
atau MRSA)
11. Infeksi onset lanjut dengan risiko kuman yang sangat virulen
12. Gagal multiorgan
13. Penggunaan obat penyekat H2 yang dapat meningkatkan pH pada pencegahan perdarahan usus
Efusi Pleura

2.1 Definisi
Efusi pleura adalah adanya penumpukan cairan dalam rongga (kavum) pleura yang melebihi
batas normal. Dalam keadaan normal terdapat 10-20 cc cairan. 1

Effusi pleura adalah penimbunan cairan pada rongga pleura atau Efusi pleura adalah suatu
keadaan dimana terdapatnya cairan pleura dalam jumlah yang berlebihan di dalam rongga pleura, yang
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran cairan pleura. 2

Dalam konteks ini perlu di ingat bahwa pada orang normal rongga pleura ini juga selalu ada
cairannya yang berfungsi untuk mencegah melekatnya pleura viseralis dengan pleura parietalis,
sehingga dengan demikian gerakan paru (mengembang dan mengecil) dapat berjalan dengan mulus.
Dalam keadaan normal, jumlah cairan dalam rongga pleura sekitar 10-20 ml. Cairan pleura
komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih
rendah yaitu < 1,5 gr/dl. 1,2

Ada beberapa jenis cairan yang bisa berkumpul di dalam rongga pleura antara lain darah, pus,
cairan seperti susu dan cairan yang mengandung kolesterol tinggi 1,2

a. Hidrotoraks
Pada keadaan hipoalbuminemia berat, bisa timbul transudat. Dalam hal ini
penyakitnya disebut hidrotorak dan biasanya ditemukan bilateral. Sebab-sebab lain
yang mungkin adalah kegagalan jantung kanan, sirosis hati dengan asites, serta sebgai
salah satu tias dari syndroma meig (fibroma ovarii, asites dan hidrotorak).

b. Hemotoraks
Hemotorak adalah adanya darah di dalam rongga pleura. Biasanya terjadi
karena trauma toraks. Trauma ini bisa karna ledakan dasyat di dekat penderita, atau
trauma tajam maupu trauma tumpul. Kadar Hb pada hemothoraks selalu lebih besar
25% kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku
beberapa menit. Hal ini mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan
fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka
biasanya darah tersebut berasal dari trauma dinding dada. Penyebab lainnya
hemotoraks adalah:
 Pecahnya sebuah pembuluh darah yang kemudian mengalirkan darahnya ke
dalam rongga pleura.
 Kebocoran aneurisma aorta (daerah yang menonjol di dalam aorta) yang
kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura.
 Gangguan pembekuan darah, akibatnya darah di dalam rongga pleura tidak
membeku secara sempurna, sehingga biasanya mudah dikeluarkan melelui
sebuah jarum atau selang.
c. Empiema
Bila karena suatu infeksi primer maupun sekunder cairan pleura patologis
iniakan berubah menjadi pus, maka keadaan ini disebut piotoraks atau empiema. Pada
setiap kasus pneumonia perlu diingat kemungkinan terjadinya empiema sebagai salah
satu komplikasinya. Empiema bisa merupakan komplikasi dari:
 Pneumonia
 Infeksi pada cedera di dada
 Pembedahan dada
d. Chylotoraks

Kilotoraks adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan kil/getah bening pada
rongga pleura. Adapun sebab-sebab terjadinya kilotoraks antara lain :

 Kongental, sejak lahir tidak terbentuk (atresia) duktus torasikus, tapi terdapat
fistula antara duktus torasikus rongga pleura.
 Trauma yang berasal dari luar seperti penetrasi pada leher dan dada, atau
pukulan pada dada (dengan/tanpa fratur). Yang berasal dari efek operasi daerah
torakolumbal, reseksi esophagus 1/3 tengah dan atas, operasi leher, operasi
kardiovaskular yang membutuhkan mobilisasi arkus aorta.
 Obstruksi Karena limfoma malignum, metastasis karsinima ke mediastinum,
granuloma mediastinum (tuberkulosis, histoplasmosis).

Penyakit-penyakit ini memberi efek obstruksi dan juga perforasi terhadap duktus
torasikus secara kombinasi. Disamping itu terdapat juga penyakit trombosis vena subklavia dan
nodul-nodul tiroid yang menekan duktus torasikus dan menyebabkan kilotoraks. 1,2
2.2 Anatomi dan Fisiologi Pleura
Pleura adalah membran tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura visceralis dan parietalis. Secara
histologis kedua lapisan ini terdiri dari sel mesothelial, jaringaan ikat, dan dalam keadaan normal,
berisikan lapisan cairan yang sangat tipis. Membran serosa yang membungkus parekim paru disebut
pleura viseralis, sedangkan membran serosa yang melapisi dinding thorak, diafragma, dan mediastinum
disebut pleura parietalis. Rongga pleura terletak antara paru dan dinding thoraks. Rongga pleura dengan
lapisan cairan yang tipis ini berfungsi sebagai pelumas antara kedua pleura. Kedua lapisan pleura ini
bersatu pada hillus paru. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara pleura viseralis dan parietalis,
diantaranya : 1,2,3

1. Pleura Visceralis
Permukaan luarnya terdiri dari selapis sel mesothelial yang tipis < 30mm. Diantara
celah-celah sel ini terdapat sel limfosit. Di bawah sel-sel mesothelial ini terdapat
endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit, di bawahnya terdapat lapisan tengah
berupa jaringan kolagen dan serat-serat elastik. Lapisan terbawah terdapat jaringan
interstitial subpleura yang banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari a.
Pulmonalis dan a. Brakhialis serta pembuluh limfe Menempel kuat pada jaringan paru
Fungsinya. untuk mengabsorbsi cairan pleura.
2. Pleura parietalis
Jaringan lebih tebal terdiri dari sel-sel mesothelial dan jaringan ikat (kolagen dan
elastis). Dalam jaringan ikat tersebut banyak mengandung kapiler dari a. Intercostalis
dan a. Mamaria interna, pembuluh limfe, dan banyak reseptor saraf sensoris yang peka
terhadap rasa sakit dan perbedaan temperatur. Keseluruhan berasal n. Intercostalis
dinding dada dan alirannya sesuai dengan dermatom dada. Mudah menempel dan lepas
dari dinding dada di atasnya Fungsinya untuk memproduksi cairan pleura
Gambar 1. Tampilan depan paru dan pleuranya

FISIOLOGI

Cairan pleura berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan pleura parietalis dan
pleura viseralis bergerak selama pernapasan dan untuk mencegah pemisahan toraks dan paru
yang dapat dianalogkan seperti dua buah kaca objek yang akan saling melekat jika ada air.
Kedua kaca objek tersebut dapat bergeseran satu dengan yang lain tetapi keduanya sulit
dipisahkan.
Cairan pleura dalam keadaan normal akan bergerak dari kapiler di dalam pleura
parietalis ke ruang pleura kemudian diserap kembali melalui pleura viseralis. Masing-masing
dari kedua pleura merupakan membran serosa mesenkim yang berpori-pori, dimana sejumlah
kecil transudat cairan intersisial dapat terus menerus melaluinya untuk masuk kedalam ruang
pleura.
Selisih perbedaan absorpsi cairan pleura melalui pleura viseralis lebih besar daripada
selisih perbedaan pembentukan cairan oleh pleura parietalis dan permukaan pleura viseralis
lebih besar dari pada pleura parietalis sehingga dalam keadaan normal hanya ada beberapa
mililiter cairan di dalam rongga pleura. (1)
Gambar 2 memperlihatkan dinamika pertukaran cairan dalam ruang pleura.

Jumlah total cairan dalam setiap rongga pleura sangat sedikit, hanya beberapa mililiter yaitu 1-
5 ml. Dalam kepustakaan lain menyebutkan bahwa jumlah cairan pleura sebanyak 12-15 ml(1).
Kapanpun jumlah ini menjadi lebih dari cukup untuk memisahkan kedua pleura, maka kelebihan
tersebut akan dipompa keluar oleh pembuluh limfatik (yang membuka secara langsung) dari rongga
pleura kedalam mediastinum, permukaan superior dari diafragma, dan permukaan lateral pleural
parietalis (3). Oleh karena itu, ruang pleura (ruang antara pleura parietalis dan pleura visceralis) disebut
ruang potensial, karena ruang ini normalnya begitu sempit sehingga bukan merupakan ruang fisik yang
jelas. 1,2,3

2.3 Epidemiologi
Estimasi prevalensi efusi pleura adalah 320 kasus per 100.000 orang di negara-negara industri,
dengan distribusi etiologi terkait dengan prevalensi penyakit yang mendasarinya.

Secara umum, kejadian efusi pleura adalah sama antara kedua jenis kelamin. Namun, penyebab
tertentu memiliki kecenderungan seks. Sekitar dua pertiga dari efusi pleura ganas terjadi pada wanita.
Efusi pleura ganas secara signifikan berhubungan dengan keganasan payudara dan ginekologi. Efusi
pleura yang terkait dengan lupus eritematosus sistemik juga lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan pada pria. 2

2.4 Etiologi
Ruang pleura normal mengandung sekitar 1 mL cairan, hal ini memperlihatkan adanya
keseimbangan antara tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik dalam pembuluh darah pleura viseral dan
parietal dan drainase limfatik luas. Efusi pleura merupakan hasil dari ketidakseimbangan tekanan
hidrostatik dan tekanan onkotik. 2

Efusi pleura merupakan indikator dari suatu penyakit paru atau non pulmonary, dapat bersifat
akut atau kronis. Meskipun spektrum etiologi efusi pleura sangat luas, efusi pleura sebagian disebabkan
oleh gagal jantung kongestif,. pneumonia, keganasan, atau emboli paru. Mekanisme sebagai berikut
memainkan peran dalam pembentukan efusi pleura:

1. Perubahan permeabilitas membran pleura (misalnya, radang, keganasan, emboli


paru)
2. Pengurangan tekanan onkotik intravaskular (misalnya, hipoalbuminemia, sirosis)
3. Peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan pembuluh darah (misalnya,
trauma, keganasan, peradangan, infeksi, infark paru, obat hipersensitivitas, uremia,
pankreatitis)
4. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler dalam sirkulasi sistemik dan / atau paru-
paru (misalnya, gagal jantung kongestif, sindrom vena kava superior)
5. Pengurangan tekanan dalam ruang pleura, mencegah ekspansi paru penuh (misalnya,
atelektasis yang luas, mesothelioma)
6. Penurunan drainase limfatik atau penyumbatan lengkap, termasuk obstruksi duktus
toraks atau pecah (misalnya, keganasan, trauma)
7. Peningkatan cairan peritoneal, dengan migrasi di diafragma melalui limfatik atau
cacat struktural (misalnya, sirosis, dialisis peritoneal)
8. Perpindahan cairan dari edema paru ke pleura viseral
9. Peningkatan tekanan onkotik di cairan pleura yang persisiten menyebabkan adanaya
akumulasi cairan di pleura

10. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberkulosis, pneumonia, virus,

bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus ke rongga pleura), karena tumor dan

trauma
2.5 Klasifikasi
Efusi pleura umumnya diklasifikasikan berdasarkan mekanisme pembentukan cairan dan kimiawi
cairan menjadi 2 yaitu atas transudat atau eksudat. Transudat hasil dari ketidakseimbangan antara
tekanan onkotik dengan tekanan hidrostatik, sedangkan eksudat adalah hasil dari peradangan pleura
atau drainase limfatik yang menurun. Dalam beberapa kasus mungkin terjadi kombinasi antara
karakteristk cairan transudat dan eksudat. 1,2,3

1. Klasifikasi berasarkan mekanisme pembentukan cairan:


a. Transudat

Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu adalah transudat.
Transudat terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid
osmotic, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura melebihi reabsorpsinya oleh pleura
lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada:

1. Meningkatnya tekanan kapiler sistemik


2. Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
3. Menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura
4. Menurunnya tekanan intra pleura

Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah:

a. Gagal jantung kiri (terbanyak)


b. Sindrom nefrotik
c. Obstruksi vena cava superior
d. Asites pada sirosis hati (asites menembus suatu defek diafragma atau masuk melalui
saluran getah bening)

b. Exusadat

Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang


permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein
transudat. Bila terjadi proses peradangan maka permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura
meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran
cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena
mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa. Protein yang
terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran
protein getah bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan peningkatan
konsentasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat.
Penyakit yang menyertai eksudat, antara lain:

a. Infeksi (tuberkulosis, pneumonia)


b. Tumor pada pleura
c. Iinfark paru,
d. Karsinoma bronkogenik
e. Radiasi,
f. Penyakit dan jaringan ikat/ kolagen/ SLE (Sistemic Lupus Eritematosis).

2.6 Patofisiologi
Dalam keadaan normal, selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler
pada pleura parietalis tetapi cairan ini segera direabsorpsi oleh saluran limfe, sehingga terjadi
keseimbangan antara produksi dan reabsorpsi. Kemampuan untuk reabsorpsinya dapat meningkat
sampai 20 kali. Apabila antara produk dan reabsorpsinya tidak seimbang (produksinya meningkat atau
reabsorpsinya menurun) maka akan timbul efusi pleura. 1,2,3,4

Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan protein
dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi
melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi yang terjadi karena perbedaan tekanan osmotic plasma dan
jaringan interstitial submesotelial kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura.
Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura. Pergerakan cairan dari pleura
parietalis ke pleura visceralis dapat terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan
koloid osmotik. Cairan kebanyakan diabsorpsi oleh sistem limfatik dan hanya sebagian kecil yang
diabsorpsi oleh sistem kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan pada pleura
visceralis adalah terdapatnya banyak mikrovili di sekitar sel-sel mesothelial. 1,2,3,4

Bila penumpukan cairan dalam rongga pleura disebabkan oleh peradangan. Bila proses radang
oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga terjadi empiema/piotoraks. Bila proses ini
mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan hemotoraks. 1,2,3,4

penumpukan cairan pleura dapat terjadi bila:

1. Meningkatnya tekanan intravaskuler dari pleura meningkatkan pembentukan cairan


pleura melalui pengaruh terhadap hukum Starling. Keadaan ni dapat terjadi pada gagal
jantung kanan, gagal jantung kiri dan sindroma vena kava superior.
2. Tekanan intra pleura yang sangat rendah seperti terdapat pada atelektasis, baik
karena obstruksi bronkus atau penebalan pleura visceralis.
3. Meningkatnya kadar protein dalam cairan pleura dapat menarik lebih banyak cairan
masuk ke dalam rongga pleura
4. Hipoproteinemia seperti pada penyakit hati dan ginjal bisa menyebabkan transudasi
cairan dari kapiler pleura ke arah rongga pleura
5. Obstruksi dari saluran limfe pada pleum parietalis. Saluran limfe bermuara pada vena
untuk sistemik. Peningkatan dari tekanan vena sistemik akan menghambat
pengosongan cairan limfe, gangguan kontraksi saluran limfe, infiltrasi pada kelenjar
getah bening.
Efusi pleura akan menghambat fungsi paru dengan membatasi pengembangannya. Derajat
gangguan fungsi dan kelemahan bergantung pada ukuran dan cepatnya perkembangan penyakit. Bila
cairan tertimbun secara perlahan-lahan maka jumlah cairan yang cukup besar mungkin akan terkumpul
dengan sedikit gangguan fisik yang nyata.

Kondisi efusi pleura yang tidak ditangani, pada akhirnya akan menyebabkan gagal nafas. Gagal
nafas didefinisikan sebagai kegagalan pernafasan bila tekanan partial Oksigen (Pa O2)≤ 60 mmHg atau
tekanan partial Karbondioksida arteri (Pa Co2) ≥ 50 mmHg melalui pemeriksaan analisa gas darah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Firdaus, Denny. 2012. Efusi Pleura. RSUD Dr.H.Abdul Moeloek. Bandar Lampung.
2. Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Vol 2. Ed. 6. Jakarta EGC.
3. Halim H. Penyakit-penyakit pleura, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam, Jilid II,
edisi ke-3, Gaya Baru.Jakarta.2001; 927-38
4. HANLEY, M. E. & WELSH, C. H. 2003. Current diagnosis & treatment in pulmonary
medicine. [New York]: McGraw-Hill Companies.

Anda mungkin juga menyukai