Anda di halaman 1dari 20

Tugas Metodologi Penelitian

Hubungan Lamanya Aktivitas Membaca dengan Miopia pada Mahasiswa/i


Angkatan 2015 Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Jakarta

Pembimbing :
Oleh

Nama : Rinaldy Agung Kurnia


NIM : 2013730093

PROGRAM PENDIDIKAN KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia memiliki mata disebelah kiri dan kanan. Kehilangan atau kerusakan
salah satu bola mata dapat mengganggu penglihatan. Berdasarkan data WHO terdapat 285
juta orang di dunia yang mengalami gangguan penglihatan, dimana 39 juta orang
mengalami kebutaan dan 246 juta orang mengalami berpenglihatan kurang (low vision).
Tajam penglihatan sudah dikatakan low vision dengan visus 6/18. Secara global gangguan
penglihatan tersebut disebabkan oleh kelainan refraksi 43%, katarak 33% dan glaukoma
2%. Meskipun demikian, bila dikoreksi dini sekitar 80% gangguan penglihatan dapat
dicegah maupun diobati.

Kelainan refraksi merupakan kelainan kondisi mata yang paling sering terjadi.
Miopia adalah salah satu kelainan refraksi pada mata yang memiliki prevalensi tinggi di
dunia. Dalam pengamatan selama beberapa dekade terakhir menunjukkan bahwa rata-rata
prevalensi myopia telah mengalami peningkatan dan ada epidemi miopia di Asia.

Miopia adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan pembiasaan sinar
yang berlebihan sehingga sinar sejajar yang datang dibiaskan di depan retina (bintik
kuning). Berbagai faktor yang berperan dalam perkembangan miopia telah diidentifikasi
melalui beberapa penelitian. Prevalensi miopia 33-60% pada anak dengan kedua orang tua
miopia. Pada anak yang memiliki salah satu orang tua miopia prevalensinya 23-40%, dan
hanya 6-15% anak mengalami miopia yang tidak memiliki orang tua miopia. Disamping
faktor keturunan, faktor lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan
miopia pada anak. Faktor lingkungan yang paling banyak berperan pada miopia adalah
kerja jarak dekat seperti membaca. Lama membaca dapat mempengaruhi pertumbuhan
aksial bola mata akibat insufisiensi akomodasi pada mata.

Tingkat pendidikan dihubungkan juga dengan lamanya kerja jarak dekat


sehingga meningkatkan risiko miopia. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan
semakin tinggi prevalensi terjadinya miopia karena kecenderungan lebih banyak
melakukan aktivitas melihat jarak dekat.
Penelitian yang dilakukan di Universitas Nasional Singapura menunjukkan
bahwa prevalensi miopia pada mahasiswa kedokteran tahun kedua sekitar 89,8%.
Penelitian lain yang dilakukan di Taiwan juga menunjukkan bahwa lebih dari 90%
mahasiswa kedokteran yang mengalami miopia. Sedangkan penelitian di Turki
menunjukkan bahwa mahasiswa kedokteran mengalami miopia sekitar 32,9%.

B. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan lamanya
aktivitas membaca dengan derajat Miopia pada Mahasiswa/i Angkata 2015 Pendidikan
Dokter Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan lamanya aktivitas membaca dengan derajat Miopia pada
Mahasiswa/i Angkatan 2015 Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Jakarta.
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui derajat miopia pada Mahasiswa/i Angkatan 2015 Pendidikan
Dokter Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Responden
Diharapkan agar responden mengerti tentang lamanya aktivitas membaca dapat
mempengaruhi penurunan tajam pengelihatan.
2. Bagi Universitas Muhammadiyah Jakarta
Skripsi ini merupakan bahan masukan bagi civitas akademik Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Jakarta dan menambah perbendaharaan karya tulis di
Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta.
3. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar pengetahuan terkait lamanya aktivitas
membaca dengan derajat Miopia pada Mahasiswa/i Angkatan 2015 Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Miopia
1. Pengertian
Miopia adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan pembiasaan
sinar yang berlebihan sehingga sinar sejajar yang datang dibiaskan di depan retina
(bintik kuning). Berbagai faktor yang berperan dalam perkembangan miopia telah
diidentifikasi melalui beberapa penelitian. Prevalensi miopia 33-60% pada anak
dengan kedua orang tua miopia. Pada anak yang memiliki salah satu orang tua miopia
prevalensinya 23-40%, dan hanya 6-15% anak mengalami miopia yang tidak memiliki
orang tua miopia. Disamping faktor keturunan, faktor lingkungan juga sangat
berpengaruh terhadap perkembangan miopia pada anak. Faktor lingkungan yang
paling banyak berperan pada miopia adalah kerja jarak dekat seperti membaca. Lama
membaca dapat mempengaruhi pertumbuhan aksial bola mata akibat insufisiensi
akomodasi pada mata.
Miopia didefinisikan sebagai keadaan refraksi dimana pantulan paralel sinar
yang masuk ke mata saat istirahat difokuskan di depan retina. Pantulan sinar pada bola
mata yang mengalami miopia terlihat pada gambar 2. Sedangkan juvenile-onset
miopia adalah miopia dengan onset (angka kejadian) antara usia 7 hingga 16 tahun,
terutama tergantung dari pertumbuhan globe axial length.
2. Etiologi
Pada dasarnya miopia terjadi oleh karena pertambahan panjang aksis bola mata tanpa
diikuti oleh perubahan pada komponen refraksi yang lain. Begitu juga perubahan
kekuatan refraksi kornea, lensa dan aquos humor akan menimbulkan miopia bila tidak
dikompensasi oleh perubahan panjang aksis bola mata. Beberapa hal yang dikaitkan
atau diperkirakan sebagai etiologi miopia adalah :
1. Herediter
2. Penyakit sistemik
3. Kelainan endokrin
4. Malnutrisi, defisiensi vitamin dan mineral tertentu
5. Penyakit mata
6. Gangguan pertumbuhan
7. Lingkungan (iluminasi)
8. Kerja dekat yang berlebihan
9. Pemakaian kaca mata yang tidak sesuai
10. Sikap tubuh yang tidak sesuai.
3. Faktor Resiko Miopia
Selain itu, ada beberapa faktor resiko yang dapat mempengaruhi seseorang
untuk cenderung mengalami miopia, diantaranya adalah :
1. Genetik dan Lingkungan
Anak dengan orang tua yang miopia cenderung mengalami miopia (P=
0,001). Hal ini cenderung mengikuti pola dose-dependent pattern. Prevalensi
miopia pada anak dengan kedua orang tua miopia adalah 32,9% namun jika anak
dengan salah satu orang tua miopia maka berkurang menjadi 18,2% dan kurang
dari 6,3% pada anak dengan orang tua tanpa miopia.
Ada dua hipotesis yang berkembang untuk menunjukkan hubungan antara
miopia pada orang tua dan miopi pada anak. Yang pertama adalah teori dari kondisi
lingkungan yang diwariskan. Tendensi untuk miopia dalam suatu keluarga lebih
mungkin disebabkan lingkungan yang mendorong untuk melakukan kegiatan yang
berjarak dekat dengan intens dalam keluarga, daripada karena faktor genetik.
Orang tua dengan miopia biasanya akan menetapkan standar akademik yang tinggi
atau mewariskan kesukaan membaca pada anak-anak mereka daripada mewariskan
gen itu sendiri. Penelitian di Tanzania menunjukkan bahwa orang tua yang
memiliki status pendidikan tinggi, terutama ayahnya, lebih banyak mempunyai
anak yang menderita miopia.
Berdasarkan penelitian terhadap 1005 anak sekolah dasar di Singapura
rentang umur 7-9 tahun, status sosio-ekonomi seperti tingkat penghasilan keluarga
yang besar, pendidikan orang tua yang tinggi, dan tipe rumah yang luas ternyata
berkaitan dengan terjadinya miopia yang tinggi pada anak. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang menunjukkan prevalensi miopia yang lebih tinggi pada anak di
lingkungan urban dan sosio ekonomi tinggi di Malaysia.
2. Faktor Perilaku
Selain itu, lamanya bekerja jarak dekat juga mempengaruhi kejadian miopia
pada seseorang. Aktivitas melihat dekat jangka panjang menyebabkan miopia
melalui efek fisik langsung akibat akomodasi terus menerus sehingga tonus otot
siliaris menjadi tinggi dan lensa menjadi cembung. Namun berdasarkan teori
terbaru, aktivitas melihat dekat yang lama menyebabkan miopia melalui
terbentuknya bayangan buram di retina (retina blur) yang terjadi selama fokus
dekat. Bayangan buram di retina ini memulai proses biokimia pada retina untuk
menstimulasi perubahan biokimia dan struktural pada sklera dan koroid yang
menyebabkan elongasi aksial. Peneliti di Singapura mengamati bahwa anak yang
menghabiskan waktunya untuk membaca, menonton tv, bermain video game, dan
menggunakan komputer lebih banyak mengalami miopia.
a. Membaca buku
Anak-anak dengan miopia yang tinggi membaca lebih sering dibanding
dengan anak-anak dengan miopia rendah ataupun yang tidak miopia yaitu lebih
dari 2 buku dalam seminggu. Pekerjaan jarak dekat seperti jarak membaca yang
terlalu dekat (< 30 cm) dan lama membaca (> 30 menit) juga dapat
meningkatkan terjadinya miopia pada anak.
Kebiasaan membaca dalam waktu lama dapat menyebabkan tonus otot
siliaris menjadi tinggi sehingga lensa menjadi cembung yang mengakibatkan
bayangan objek jatuh di depan retina dan menimbulkan miopia.
b. Menggunakan komputer
Semakin lama orang melihat dekat, akan semakin besar kemungkinannya
menderita miopia. Miopia akan mulai timbul bila mengoperasikan komputer
minimal 4 jam sehari, dan paling banyak diderita oleh orang-orang yang
bekerja dengan melihat dekat selama 8-10 jam sehari. Dengan posisi duduk
didepan komputer untuk jangka waktu beberapa jam, dapat memperberat kerja
otot mata untuk mengatur fokus dan menimbulkan ketegangan mata.
Disamping itu, penggunaan komputer berlebihan dapat mempercepat angka
kejadian miopia.
Beban kerja pengguna komputer atas dasar lama waktu kerjanya dibagi
sebagai berikut :
a) Beban kerja berat, lama waktu kerja lebih dari 4 jam secara terus menerus.
b) Beban kerja sedang, lama waktu kerja 2 - 4 jam secara terus menerus.
c) Beban kerja ringan, lama waktu kerja kurang dari 2 jam secara terus
menerus.
Dr. Masayuki Tatemichi dari Fakultas Kedokteran Universitas TOHO,
melakukan penelitian pada beberapa pekerja di tempat yang berbeda di Jepang
dan membaginya dalam beberapa kelompok berdasarkan lama menggunakan
komputer dalam sehari.
a) Pengguna berat: pengguna komputer dengan lama waktu kerja 9 – 16
jam dalam sehari.
b) Pengguna sedang: pengguna komputer dengan lama waktu kerja 4 – 8
jam dalam sehari.
c) Pengguna ringan: pengguna komputer dengan lama waktu kerja 1 – 3
jam dalam sehari.
c. Menonton televisi
Menonton televisi dengan intensitas tertentu juga berpengaruh terhadap
derajat miopia. Sinar biru yang dipancarkan televisi dapat menyebabkan
degenerasi retina dengan merusak sitokrok oksidase dan menghambat
pernapasan sel. Pada jarak yang terlalu dekat saat menonton televisi dapat pula
menimbulkan keluhan seperti kelelahan akibat kekakuan leher dan bahu, pusing,
penglihatan buram, mata merah dan perih, serta nyeri pada mata mata dan
wajah. Intensitas menonton televisi yang dihitung dalam jam atas dasar lama
waktu kerja sekali pemakaian, dengan ketentuan :
1) Intensitas rendah : menonton televisi selama < 1 jam secara terus menerus.
2) Intensitas tinggi : menonton televisi selama > 1 jam secara terus menerus.
Total menonton televisi dalam sehari yang dihitung dalam jam, dengan
ketentuan :
1) Beban kerja rendah : menonton televisi selama < 2 jam.
2) Beban kerja sedang : menonton televisi selama 2 – 4 jam.
3) Beban kerja tinggi : menonton televisi selama > 4 jam.
4. Klasifikasi
Bentuk miopia menurut penyebabnya :
a. Miopia aksial Panjang aksial bola mata lebih panjang dari normal, walaupun kornea
dan kurvatura lensa normal dan lensa dalam posisi anatominya normal. Miopia
dalam bentuk ini dijumpai pada proptosis sebagai hasil dari tidak normalnya besar
segmen anterior, peripapillary myopic crescent dan exaggerated cincin scleral, dan
staphyloma posterior.
b. Miopia refraktif Mata memiliki panjang aksial bola mata normal, tetapi kekuatan
refraksi mata lebih besar dari normal Hal ini dapat terjadi pada :
– Miopia kurvatura Mata memiliki panjang aksial bola mata normal, tetapi
kelengkungan dari kornea lebih curam dari rata-rata, misal : pembawaan sejak
lahir atau keratokonus, atau kelengkungan lensa bertambah seperti pada
hyperglikemia sedang ataupun berat, yang menyebabkan lensa membesar.
– Miopia karena peningkatan indeks refraksi Peningkatan indeks refraksi daripada
lensa berhubungan dengan permulaan dini atau moderate dari katarak nuklear
sklerotik. Merupakan penyebab umum terjadinya miopia pada usia tua.
Perubahan kekerasan lensa meningkatkan index refraksi, dengan demikian
membuat mata menjadi miopik.
– Miopia karena pergerakan anterior dari lensa Pergerakan lensa ke anterior sering
terlihat setelah operasi glaukoma dan akan meningkatkan miopik pada mata
Secara klinis beberapa bentuk miopia ditetapkan sebagai berikut :
1. Miopia Fisiologis Sering disebut dengan simpel miopia atau “school
myopia” yang berhubungan dengan proses pertumbuhan normal dari tiap-
tiap komponen refraksi dari mata. Akibat dari proses ini menimbulkan
miopia ringan dan sedang.
2. Miopia Patologis Disebut juga Malignant, Progressive atau Degenerative
myopia. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan panjang aksial bola mata
yang berlebihan, sedangkan komponen lain dari mata pertumbuhannya
normal.

Berdasarkan saat usia mulai terjadinya miopia dibagi dua yaitu :


1. Miopia yang timbul pada saat usia anak-anak Miopia ini timbul pada usia
antara 7 hingga 16 tahun, hal ini terutama disebabkan oleh pertumbuhan
dari panjang aksial bola mata. Semakin dini usia timbulnya miopia maka
semakin besar proses pertambahan miopianya.
2. Miopia yang timbul pada usia dewasa Miopia ini timbul berkisar usia 20
tahunan. Terlalu banyak mambaca dekat merupakan faktor resiko untuk
berkembangnya miopia pada usia ini (Khurana,2007) Derajat miopia diukur
oleh kekuatan korektif lensa sehingga bayangan dapat jatuh di retina, yang
dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Miopia ringan : -0.25 D s/d -3.00 D
2. Miopia sedang : -3.25 D s/d -6.00 D
3. Miopia tinggi : > -6.00 D
5. Patogenesis
Terjadinya elongasi sumbu yang berlebihan pada miopia patologi masih belum
diketahui. Sama halnya terhadap hubungan antara elongasi dan komplikasi penyakit
ini, seperti degenerasi chorioretina, ablasio retina dan glaucoma. Columbre dan
rekannya, tentang penilaian perkembangan mata anak ayam yang di dalam
pertumbuhan normalnya, tekanan intraokular meluas ke rongga mata dimana sklera
berfungsi sebagai penahannya. Jika kekuatan yang berlawanan ini merupakan penentu
pertumbuhan ocular post natal pada mata manusia, dan tidak ada bukti yang
menentangnya maka dapat pula disimpulkan dua mekanisme patogenesis terhadap
elongasi berlebihan pada miopia.

Menurut tahanan sklera


a. Mesadermal
Abnormalitas mesodermal sklera secara kualitas maupun kuantitas dapat
mengakibatkan elongasi sumbu mata. Percobaan Columbre dapat membuktikan
hal ini, dimana pembuangan sebahagian masenkhim sklera dari perkembangan
ayam menyebabkan ektasia daerah ini, karena perubahan tekanan dinding
okular. Dalam keadaan normal sklera posterior merupakan jaringan terakhir
yang berkembang. Keterlambatan pertumbuhan strategis ini menyebabkan
kongenital ektasia pada area ini. Sklera normal terdiri dari pita luas padat dari
bundle serat kolagen, hal ini terintegrasi baik, terjalin bebas, ukuran bervariasi
tergantung pada lokasinya. Bundle serat terkecil terlihat menuju sklera bagian
dalam dan pada zona ora equatorial. Bidang sklera anterior merupakan area
crosectional yang kurang dapat diperluas perunitnya dari pada bidang lain. Pada
test bidang ini ditekan sampai 7,5 g/mm2. Tekanan intraokular equivalen 100
mmHg, pada batas terendah dari stress ekstensi pada sklera posterior ditemukan
4 x dari pada bidang anterior dan equator. Pada batas lebih tinggi sklera posterior
kirakira 2 x lebih diperluas. Perbedaan tekanan diantara bidang sklera normal
tampak berhubungan dengan hilangnya luasnya bundle serat sudut jala yang
terlihat pada sklera posterior. Struktur serat kolagen abnormal terlihat pada kulit
pasien dengan Ehlers-Danlos yang merupakan penyakit kalogen sistematik
yang berhubungan dengan miopia.1
b. Ektodermal-Mesodermal
Vogt awalnya memperluasnya konsep bahwa miopia adalah hasil
ketidak harmonisan pertumbuhan jaringan mata dimana pertumbuhan retina
yang berlebihan dengan bersamaan ketinggian perkembangan baik koroid
maupun sklera menghasilkan peregangan pasif jaringan. Meski
alasan Vogt pada umumnya tidak dapat diterima, telah diteliti ulang dalam
hubungannya dengan miopia bahwa pertumbuhan koroid dan pembentukan
sklera dibawah pengaruh epitel pigmen retina. Pandangan baru ini menyatakan
bahwa epitel pigmen abnormal menginduksi pembentukan koroid dan sklera
subnormal. Hal ini yang mungkin menimbulkan defek ektodermal-
mesodermal umum pada segmen posterior terutama zona oraequatorial atau
satu yang terlokalisir pada daerah tertentu dari pole posterior mata, dimana
dapat dilihat pada miopia patologik (tipe stafiloma posterior).
Meningkatnya suatu kekuatan yang luas
a. Tekanan intraokular basal
Contoh klasik miopia sekunder terhadap peningkatan tekanan basal
terlihat pada glaucoma juvenil dimana bahwa peningkatan tekanan berperan
besar pada peningkatan pemanjangan sumbu bola mata.
b. Susunan peningkatan tekanan
Secara anatomis dan fisiologis sklera memberikan berbagai respon
terhadap induksi deformasi. Secara konstan sklera mengalami perubahan pada
stress. Kedipan kelopak mata yang sederhana dapat meningkatkan tekanan
intraokular 10 mmHg, sama juga seperti konvergensi kuat dan pandangan ke
lateral. Pada valsava manuver dapat meningkatkan tekanan intraokular 60
mmHg.Juga pada penutupan paksa kelopak mata meningkat sampai 70 mmHg
-110 mmHg. Gosokan paksa pada mata merupakan kebiasaan jelek yang
sangat sering diantara mata miopia, sehingga dapat meningkatkan tekanan
intraokular.

6. Gambaran Klinis
Gejala subjektif
Penglihatan jauh kabur, sedangkan untuk dekat tetap terang. Kadang-kadang pada
daerah lapangan pandangan ia melihat seperti benang-benang, dan lain-lain disebabkan
oleh jaringan retina perifer mengalami proses degenerasi dan terlepas dalam corpus
vitreus (muscae volitantes). Pada miopia tinggi , punctum remotum terletak lebih dekat
maka titik terjauh masih terang terlihat sehingga ia harus berkonvergensi lebih banyak
dari pada biasa sehingga akan menimbulkan astenopia oleh konvergensi yang
berlebihan (astenopia konvergensi).
Gejala objektif
1. Diameter kornea lebih besar
2. Bilik mata depan lebih dalam
3. Iris tremulans
4. Pupil dilatasi
5. Vitreus floaters
6. Pada miopia aksial terlihat perubahan pada fundus okuli misalnya tigroid fundus dan
myopic crescent

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan miopia terbagi menjadi
1. Terapi optikal Miopia bisa dikoreksi dengan kacamata spheris negatif atau lensa
kontak sehingga cahaya yang sebelumnya difokuskan didepan retina dapat jatuh tepat
di retina.
2. Terapi bedah Seiring dengan semakin berkembangnya tehnik operasi dan semakin
banyaknya orang yang lebih memilih operasi dibandingkan dengan memakai kacamata
ataupun lensa kontak. Sekarang telah dilakukan banyak prosedur operasi untuk
mengkoreksi kelainan refraksi seperti miopia secara permanen. Setelah operasi
penderita miopia akan mendapatkan tajam penglihatan sampai 20/40 bahkan sampai
20/20 (American Academy of Ophthalmology,2009-2010).
Beberapa tehnik operasi yang telah digunakan untuk mengatasi kelainan refraktif
miopia ini, diantaranya :
• Epikeratophakia
• Radial keratotomy (RK)
• Photo-refractive keratotomy (PRK)
• Laser Insitu Keratomileusis (LASIK)
• Clear lens extraction in unilateral high myopia
• Phakic IOL
8. Komplikasi
Komplikasi Miopia adalah :
1. Ablasio retina
Resiko untuk terjadinya ablasio retina pada 0 sampai (- 4,75) D sekitar
1/6662.Sedangkan pada (- 5) sampai (-9,75) D risiko meningkat menjadi
1/1335.Lebih dari (-10) D risiko ini menjadi 1/148. Dengan kata lain penambahan
faktor risiko pada miopia lebih rendah tiga kali sedangkan miopia tinggi meningkat
menjadi 300 kali (Sidarta, 2003).
2. Vitreal Liquefaction dan Detachment
Badan vitreus yang berada di antara lensa dan retina mengandung 98% air dan 2%
serat kolagen yang seiring pertumbuhan usia akan mencair secara perlahan-lahan,
namun proses ini akan meningkat pada penderita miopia tinggi. Halini
berhubungan dengan hilangnya struktur normal kolagen. Pada tahap awal,
penderita akan melihat bayangan-bayangan kecil (floaters). Pada keadaan lanjut,
dapat terjadi kolaps badan viterus sehingga kehilangan kontak dengan retina.
Keadaan ini nantinya akan menimbulkan risiko untuk terlepasnya retina dan
menyebabkan kerusakan retina. Vitreus detachment pada miopia tinggi terjadi
karena luasnya volume yang harus diisi akibat memanjangnya bola mata (Sidarta,
2003).
3. Miopik makulopati
Dapat terjadi penipisan koroid dan retina serta hilangnya pembuluh darah kapiler
pada mata yang berakibat atrofi sel-sel retina sehingga lapangan pandang
berkurang. Dapat juga terjadi perdarahan retina dan koroid yang bisa menyebabkan
berkurangnya lapangan pandang. Miopi vaskular koroid atau degenerasi makular
miopia juga merupakan konsekuensi dari degenerasi makular normal dan ini
disebabkan oleh pembuluh darah yang abnormal yang tumbuh di bawah sentral
retina (Sidarta, 2003).
4. Glaukoma
Risiko terjadinya glaukoma pada mata normal adalah 1,2%, pada miopia sedang
4,2%, dan pada miopia tinggi 4,4%. Glaukoma pada miopia terjadi dikarenakan
stres akomodasi dan konvergensi serta kelainan struktur jaringan ikat penyambung
pada trabekula (Sidarta, 2003).
5. Katarak
Lensa pada miopia kehilangan transparansi. Dilaporkan bahwa pada orang dengan
miopia, onset katarak muncul lebih cepat (Sidarta, 2003).
B. Konsep Membaca
1. Definisi
Menurut Artanto (2009) Membaca merupakan aktivitas pencarian informasi
melalui lambang-lambang tertulis kemudian menalarkannya. Menurut Soedarso
(2004) “Membaca adalah aktivitas yang kompleks dengan menggerakkan sejumlah
besar tindakan yang terpisah-pisah”. Aktivitas yang kompleks dalam membaca
meliputi pengertian dan khayalan, mengamati, serta mengingat-ingat.
Nurhadi (1987) lebih detail mengungkapkan, membaca melibatkan banyak hal
meliputi intelegensi (IQ), minat, sikap, bakat, motivasi, tujuan membaca, sarana
membaca, teks bacaan, faktor lingkungan atau faktor latar belakang sosial ekonomi,
kebiasaan, dan tradisi membaca.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan membaca merupakan aktivitas yang
kompleks untuk memperoleh informasi. Kompleksan dalam membaca meliputi faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi intelegensi (IQ), minat, sikap,
bakat, motivasi, dan tujuan membaca, sedangkan faktor eksternal meliputi sarana
membaca, teks bacaan, faktor lingkungan atau faktor latar belakang sosial ekonomi,
kebiasaan, dan tradisi membaca.
2. Mekanisme Membaca
Kegiatan membaca dilakukan bersama-sama oleh mata dan otak. Mata bekerja
seperti kamera kemudian otak memprosesnya. Otak menyerap apa yang dilihat mata.
Unsur utama membaca adalah otak, mata hanya alat yang mengantar gambar ke otak
lalu otak memberikan interpretasi terhadap apa yang dituju oleh mata. Interpretasi itu
dapat pada saat itu atau seketika itu juga atau tertunda, dapat pula terjadi secara akurat
atau salah, mudah atau penuh dengan kesulitan. Interpretasi tidak tergantung pada
ketajaman penglihatan, tetap kejernihan dan kekayaan pengertian dan persepsi.
Cahaya yang memantul dari benda masuk ke mata melalui kornea mata atau
selaput bening. Cahaya itu diatur oleh iris atau selaput pelangi, dengan mengecilkan
atau membesarkan lubang masuknya cahaya (pupil). Pengerutan dan pengunduran
otot-otot mata menyebabkan lensa mengembung atau mengecil agar bayangan yang
terbentuk di retina hanya terdapat pada satu titik. Retina yang terdiri dari berjuta
reseptor cahaya mengubah energi cahaya menjadi isyaratisyarat yang akan
disampaikan ke otak. Dengan bantuan saraf otak bertindak sebagai komputer dan
menjamin segala sesuatu berjalan lancar. Korteks atau bagian otak yang paling utama
merupakan 80% dari seluruh penampangan otak dan terdiri atas badan-badan sel
neuron yang berjumlah kira-kira 10.000 juta jumlahnya. Korteks inilah yang
menentukan inteligensi, ingatan, berpikir ,semua kegiatan mental dan fisik (Soedarso,
2004).
Otak dan mata terus-menerus menganalisa isyarat yang diterima dan
membandingkan dengan pengalaman yang sudah lampau. Informasi yang banyak
sekali diterima sebelumnya dijadikan dasar untuk memberikan reaksi atas masuknya
suatu isyarat. Dalam membaca, persepsi, dan interpretasi otak terhadap tulisan yang
dilihat oleh mata dapat dilihat pada lamanya mata berfiksasi. Apabila fiksasi kuat,
pembaca tidak akan berhenti lama di satu fiksasi, tetapi segera meloncat ke fiksasi
selanjutnya (Wainwright, 2006).
3. Manfaat Membaca
Menurut Hernowo (2005) manfaat membaca yang paling umum adalah untuk
memperoleh informasi dan pengetahuan, sedangkan manfaat khusus dari kegiatan
membaca adalah meningkatkan daya fungsi otak. Lebih lanjut menurut Ayan (dikutip
dari Herwono, 2005) menyampaikan beberapa manfaat membaca bagi kecerdasan
yaitu: (1) menambah kosakata dan pengetahuan yang baru; (2) memicu daya imajinasi;
(3) mengembang kecerdasan intrapersonal.
Fatmawati (2005) menguraikan manfaat membaca antara lain dapat: (1)
menemukan sejumlah informasi dan pengetahuan yang sangat berguna dalam praktek
hidup sehari-hari; (2) berkomunikasi dengan pemikiran, pesan, dan kesan pemikir-
pemikir kenamaan dari segala penjuru dunia; (3) mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi mutakir dunia; (4) mengetahui peristiwa besar dalam
sejarah, peradapan dan kebudayaan suatu bangsa; (5) memecahkan berbagai masalah
kehidupan dan menghantarkan seseorang menjadi cerdik dan pandai.
4. Tujuan Membaca
Menurut Nurhadi (2004 dikutip dari Fatmawati, 2005) berpendapat bahwa
tujuan membaca antara lain: (1) memahami secara detail dan menyeluruh isi buku; (2)
menangkap ide pokok/gagasan utama buku secara cepat (waktu terbatas); (3)
mendapatkan informasi tentang sesuatu (misalnya, kebudayaan suku indian); (4)
mengenali makna kata-kata (istilah sulit); (5) ingin mengetahui peristiwa penting yang
terjadi di masyarakat sekitar; (7) ingin memperoleh kenikmatan dari karya fiksi; (8)
ingin memperoleh informasi tentang lowongan pekerjaan; (9) ingin mencari merek
barang yang cocok untuk dibeli; (10) ingin menilai kebenaran gagasan
pengarang/penulis; (11) ingin mendapatkan alat tertentu (instrument affect); (12) ingin
mendapatkan keterangan tentang pendapat seseorang (ahli) atau keterangan tentang
pendapat seseorang (ahli) atau keterangan tentang definisi suatu istilah.
Secara singkat tujuan membaca adalah (1) membaca untuk tujuan studi (telaah
ilmiah); (2) membaca untuk tujuan menangkap garis besar bacaan; (3) membaca untuk
menikmati karya sastra; (4) membaca untuk mengisi waktu luang; (5) membaca untuk
mencari keterangan tentang suatu istilah.
5. Jenis-jenis Membaca
Tujuan kegiatan membaca ada beraneka ragam, berdasarkan tujuan yang
beragam itu muncul jenis membaca yang biasa dipakai, yaitu sebagai berikut: (1)
membaca intensif; (2) membaca kritis; (3) membaca cepat.
Keterampilan membaca intensif merupakan kunci untuk memperoleh ilmu.
Membaca jenis ini biasanya disebut membaca cermat, karena dilakukan dengan hati-
hati, teliti, dan secara lambat dengan tujuan untuk memahami keseluruhan bahan
bacaan secara mendalam sampai bagian-bagian yang sekecil-kecilnya, keterampilan
membaca seperti ini diperlukan bagi mahasiswa keperawatan untuk membaca bahan
bacaan yang sulit untuk dipahami sehingga diperlukan kehatihatian dan ketelitian.
Membaca kritis dilakukan untuk menemukan fakta-fakta yang terdapat dalam
bacaan kemudian memberikan penilaian terhadap fakta-fakta tersebut. Dalam
membaca kritis yang perlu diingat hanya gagasan pokoknya saja. Jika bahan bacaan
pendek dan bersahaja dapat dibaca dengan cepat. Bacaan perlu dibaca dengan lambat
apabila gagasan yang dikemukakan berbelit-belit, bila perlu berhenti sebentar
membacanya untuk memikirkan terlebih dahulu. Setelah dipahami barulah
melanjutkan fakta berikutnya. Keterampilan membaca ini dapat digunakan mahasiswa
keperawatan untuk mencari jawaban dari sebuah pertanyaan. Membaca cepat adalah
menitikberatkan pada kecepatan memahami isi bacaan dengan cepat dan tepat dalam
waktu yang relatif singkat.
Membaca cepat dilakukan apabila pembaca hanya akan mengambil gagasan
pokok dan garis besarnya saja. Dalam hal ini waktu harus diperhatikan dan
dimanfaatkan sebaikbaiknya.
C. Kerangka Teori

Membaca Miopia Faktor resiko :

1. Gen dan lingkungan


2. Perilaku
a. Membaca buku
b. Mengoprasikan
komputer
c. Menonton TV.

Lama Aktivitas Membaca

Miopia + Miopi -
BAB III
KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen

LAMANYA AKTIVITAS MEMBACA DERAJAT MIOPIA

Variabel Counfonding

KETURUNAN

Keturunan
B. Hipotesis
Berdasarkan tinjauan teori dan kerangka konsep tersebut diatas, maka hipotesis dalam
Keturunan
penelitian ini adalah ada hubungan lamanya aktivitas membaca dengan derajat Miopia
pada mahasiswa/i angkatan 2015 Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta.

C. Definisi Operasional
1. Variabel independen :
a. Variabel : Lama aktivitas membaca
b. Definisi operasional :
Suatu kurun waktu (dalam jam) atau lamanya mahasiswa/i membaca.
c. Alat dan cara ukur :
Alat Ukur : Kuesioner
Cara ukur: Membagikan kuesioner kepada mahasiswa/i angkatan 2015 Pendidikan
Dokter Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta.
d. Hasil ukur : Dalam jam
e. Skala : Interval
2. Variabel dependen :
a. Variabel : Derajat Miopia
b. Definisi operasional :
Tingkat keparahan miopia responden.
c. Alat dan cara ukur :
Alat Ukur : Kuesioner
Cara ukur: Membagikan kuesioner kepada mahasiswa/i angkatan 2015
Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Jakarta.
d. Hasil ukur :
1. Ringan
2. Sedang
3. Berat
e. Skala : Nominal
3. Variabel Counfonding
a. Variabel : keturunan
b. Definisi operasional :
Pengakuan responden tentang riwayat keturunan (Ayah atau Ibu).
c. Alat dan cara ukur :
Alat Ukur: Kuesioner
Cara ukur: Membagikan kuesioner kepada mahasiswa/i angkatan 2015
Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Jakarta.
d. Hasil ukur :
1. Ada
2. Tidak ada
e. Skala : Nominal
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO.Visual impairment and blindeness. 2012. (diunduh 26 Januari 2012). Tersedia dari:
URL: HYPERLINK http://www.who.int/mediacentre/ factsheets/fs282/en/

2. Saw SM. A synopsis of the prevalence rates and environmental risk factors for myopia. Clin
Exp Optom. 2003; 86(5):289-94.

3. Ilyas S. Penuntun ilmu penyakit mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia;
2005. hlm. 10-11.

4. Goss DA, Theodore PG, Jeffrey TK, Wendy MT, Thomas TN, Karla Z. optometric clinical
practice guideline care of the patient with myopia. Lindbergh Blvd, St. Louis: American
Optometric Association; 2006. hlm; 7-11.

5. Tiharyo I, Wasisdi G, Suhardjo. Pertambahan miopia pada anak sekolah dasar daerah
perkotaan dan pedesaan di daerah istimewa Yogyakarta. Jurnal Oftamologi Indonesia. 2008;
6(2):104-12.

6. Gwiazda J, Wendy LM, Leslie H, Mohamed H, Thomas TN, Ruth M, et al. Accomodation
and related risk factors associated with myopia progression and their interaction with treatment
incomet children. Investigation Ophthalmology Vision Science. 2004;(45):2143-51.

7. Legerton JA, Chou B. Myopia regulation. myth or megatrend? Review of Ophtometry. 2009.
(diunduh 6 Desember 2013). Tersedia dari: URL: HYPERLINK http://www.revoptom.com

8. Woo WW, K A Lim, H Yang, X Y Lim, F Liew, Y S Lee, et al. Refractive errors in medical
students in Singapore. Singapore Med J. 2004; 45(10):470.

9. Onal SM, Toker EM, Akingol Z, Arslan G, ErtanS, TuranC, et al. Refractive errors of
medical students in turkey: one year follow-up of refraction and biometry. Optometry & Vision
Science. 2007; 84(3):175-80.

10. Sastroasmoro, S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi ke-4. Jakarta: Sagung
Seto; 2011. hlm. 102, 251.
11. Goldschmidt E. The mystery of myopia. Acta Opthalmol Scand. 2003;(81):431-6.

12. Fredrick DR. Myopia clinical review. Br Med J.2002; 324(7347): 1195-9.
13. Osman MFH. Hubungan antara dioptri lensa kacamata dengan jarak dan lama membaca
pada pelajar FK USU di AUCMS Penang Tahun 2011. Medan: Universitas Sumatera Utara;
2011.

14. Kinge B, Anna M, Geir J, Jarand R.The influence of near work on development of myopia
among university student. a three-year longitudinal study among engineering students in
Norway. Acta Ophthalmology Scandinavica. 2000; (78): 26-9.

15. Tamtelahitu CS. Hubungan antara penglihatan dekat yang terus menerus dan status refraksi
miopia (tesis). Surabaya: Universitas Airlangga; 2013.

16. Ip JM, Seang-Mei S, Kathryn AR, Ian GM, Annette K, Jie JW, et al. Role Near work in
Myopia: Finding in Sample of Australian School Children. Invest. Ophthalmol. Vis. Sci.
2008;49(7): 2903-10.

Anda mungkin juga menyukai