Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sosis
Sosis merupakan makanan asing yang sudah akrab dalam kehidupan
masyarakat Indonesia karena rasanya enak. Makanan ini dibuat dari
daging yang telah dicincang kemudian dihaluskan, diberi bumbu,
dimasukkan ke dalam selonsong berbentuk bulat panjang simetris, baik
yang terbuat dari usus hewan maupun pembungkus buatan (casing). Istilah
sosis berasal dari bahasa Latin, yaitu salsus, yang artinya garam. Hal ini
merujuk pada artian potongan atau hancuran daging yang diawetkan
dengan penggaraman (Wau, 2010).
Pada umumnya sosis dibuat dari daging sapi, daging ayam, dan
daging babi. Sekarang ini telah dikembangkan sosis ikan, yaitu sosis yang
terbuat dari daging ikan. Jenis ikan yang sering digunakan sebagai bahan
baku adalah ikan tuna, ikan lele, ikan tengiri dan ikan kakap merah. Ikan
lele yang banyak di pasaran adalah jenis lele dumbo (Clarias gariepinus)
dengan postur tubuh lebih besar dan dagingnya banyak, sehingga cocok
untuk diolah menjadi sosis ilkan lele (Widjanarko, 2010).
Bahan dasar pembuatan sosis ikan adalah daging dan emulsi. Emulsi
merupakan dispersi dua cairan yang tidak saling melarutkan, dimana
cairan yang satu terdispersi dalam cairan yang lain. Masalah yang sering
dialami dalam pembuatan sosis adalah pecahnya emulsi karena
penggilingan dan pemanasan yang berlebihan dan proses pengohan yang
telampau cepat (Dotulong, 2009).
Menurut Badan Standar Nasional (BSN) sosis adalah produk
makanan yang diperoleh dari campuran daging halus (mengandung daging
tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati dengan atau tanpa
penambahan bumbu-bumbu dan bahan tambahan makanan lain yang
diizinkan dan dimasukkan ke dalam selongsong sosis. Syarat mutu sosis
menurut SNI 01-3820-1995 dapat dilihat pada Tabel 2.1.

3
4

Tabel 2.1 Syarat Mutu Sosis berdasarkan SNI 01-3820-1995


No Kriteria uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan
1.1 Bau - Normal
1.2 Rasa - Normal
1.3 Warna - Normal
1.4 Tekstur - Bulat Panjang
2. Air % b/b Maks 67,0
3. Abu % b/b Maks 3,0
4. Protein % b/b Min 13,0
5. Lemak % b/b Maks 25,0
6. Karbohidrat % b/b Maks 8
7. Bahan Tambahan Makanan
7.1 Pewarna Sesuai dengan SNI 01-0222-1995
7.2 Pengawet
8. Cemaran Logam:
8.1 Timbal (Pb) Mg/kg Maks 2,0
8.2 Tembaga (Cu) Mg/kg Maks 20,0
8.3 Seng (Zn) Mg/kg Maks 40,0
8.4 Timah (Sn) Mg/kg Maks 40,0 (250,0*)
8.5 Raksa (Hg) Mg/kg Maks 0,03
9. Cemaran Arsen (As) Mg/kg Maks 0,1
10. Cemaran Mikroba:
10.1 Angka Lempeng Total Koloni/g Maks 103
10.2 Bakteri Bentuk Koli APM/g Maks 10
10.3 Eccherichia coli APM/g <3
10.4 Enterococci Koloni/g 102
10.5 Clostridium perfringens - Negatif
10.6 Salmonella - Negatif
Staphylococcus aureus Koloni/g Maks 102
*) Kemasan kaleng
Sumber : Dewan Badan Standar Nasional (1995)
Tahapan pengolahan sosis sebagai berikut: pemilihan bahan-bahan
yang akan digunakan, penggilingan, pencampuran, pemasukkan ke dalam
casing, pengikatan, pemasakan (perebusan/pengukusan), pendinginan
(penyemprotan dengan air dingin atau penyimpanan dingin) dan
pengemasan. Penggilingan bertujuan untuk menyebar ratakan lemak dalam
daging. Sebelum digiling daging biasanya didinginkan sampai suhu -20oC,
sehingga suhu penggilingan tetap di bawah 22oC. Hal ini untuk mencegah
terdenaturasinya protein yang sangat penting sebagai emulsifier. Pada
tahap pencampuran diharapkan lemak yang ditambahkan akan menyebar
secara merata. Demikian juga bahan curing, serpihan es, garam dapur,
5

bahan pengikat dan bahan tambahan lainnya. Suhu adonan pada


pencampuran harus dipertahankan serendah mungkin yaitu sekitar 3
sampai 12oC. Pemasukkan adonan sosis ke dalam casing menggunakan
alat khusus (disebut stuffer) bertujuan membentuk dan mempertahankan
kestabilan sosis. Pada proses ini diusahakan agar udara tidak masuk dalam
selongsong. Karena adanya udara dalam selongsong akan mempengaruhi
tekstur sosis yang dihasilkan. Pemasakan dapat dilakukan dengan cara
seperti perebusan, pengukusan, pengasapan dan kombinasi cara-cara
tersebut. Pengasapan dapat memberikan cita rasa khas, mengawetkan dan
memberi warna khas (Koswara, 2009).

B. Bahan-Bahan Pembuatan Sosis Lele


1. Ikan lele
Ikan lele (Clarias gariepinus) merupakan salah satu komoditas
perikanan yang cukup populer di masyarakat. Ikan ini berasal dari
benua Afrika dan pertama kali didatangkan ke Indonesia pada tahun
1984. Lele dumbo termasuk ikan yang paling mudah diterima
masyarakat karena berbagai kelebihannya. Kelebihan tersebut
diantaranya adalah pertumbuhannya cepat, memiliki kemampuan
beradaptasi terhadap lingkungan yang tinggi, rasanya enak dan
kandungan gizinya cukup tinggi serta harganya murah
(Ubadillah, 2010).
Ikan Lele ini mempunyai ciri khas dengan tubuhnya yang licin,
agak pipih memanjang serta memiliki sejenis kumis yang panjang,
mencuat dari sekitar bagian mulutnya. Ikan lele dilengkapi dengan alat
pernapasan tambahan pada lembar insang kedua dan keempat berupa
modifikasi insang berbentuk bunga yang disebut arborescent organ
yang memungkinkan lele untuk mengambil oksigen langsung dari
udara. Karena itulah, lele dapat hidup pada lingkungan perairan dengan
kadar oksigen rendah dan kadar CO2 tinggi. Karena sifatnya itu pula,
6

lele dapat hidup pada perairan tenang yang keruh seperti waduk,
danau, rawa dan genangan air lainnya (Najiyati, 1992).
Tabel 2.2 Perbandingan Komposisi Gizi Ikan Lele dengan Daging
Sapi dan Daging Ayam /100 gram bahan.

Standar Gizi Standar Gizi Standar Gizi


No Bahan Ikan Lele Daging Sapi Daging Ayam
/100 gram / 100 gram / 100 gram
1 Protein (%) 17 18,4 22
2 Lemak (%) 4,5 14 25
3 Karbohidrat (%) - - -
4 Kalsium 20 11 13
(mg/100g)
5 Fosfor (mg/100g) 200 170 190
6 Besi (mg/100g) 1 2,8 1,5
7 Air (%) 76 66 74
Sumber : Ubadillah (2010)
Keunggulan lain dari ikan lele dibandingkan dengan produk
hewani lainnya adalah kaya akan Leusin dan Lisin. Leusin (C6H13NO2)
merupakan asam amino esensial yang sangat diperlukan untuk
pertumbuhan anak-anak dan menjaga keseimbangan nitrogen. Leusin
juga berguna untuk perombakan dan pembentukan protein otot.
Sedangkan Lisin merupakan salah satu dari 9 asam amino esensial
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan. Lisin
termasuk asam amino yang sangat penting dan dibutuhkan sekali
dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Asam amino ini sangat
berguna untuk pertumbuhan dan perkembangan tulang pada anak,
membantu penyerapan kalsium dan menjaga keseimbangan nitrogen
dalam tubuh, dan memelihara masa tubuh anak agar tidak terlalu
berlemak. Lisin juga dibutuhkan untuk menghasilkan antibody,
hormon, enzim, dan pembentukan kolagen, disamping perbaikan
jaringan. Tidak kalah pentingnya, lisin bisa melindungi anak dari virus
herpes (Hadiwiyoto, 2003).
2. Tepung tapioka
Dalam pembuatan sosis dibutuhkan bahan pengisi yang berfungsi
meningkatkan stabilitas emulsi olahan, meningkatkan daya ikat air,
7

menurunkan susut masak dan menurunkan biaya produksi. Ciri dari


bahan pengikat diantaranya mempunyai kandungan protein tinggi
(Aberle, 2001).
Bahan pengisi yang biasanya digunakan dalam pembuatan sosis
adalah tepung tapioka, tepung sagu, tepung beras dll. Bahan pengisi
adalah bahan yang ditambahkan ke dalam sosis dengan tujuan untuk
meningkatkan kestabilan emulsi, mengurangi penyusutan selama
pemasakan, memperbaiki sifat irisan, memperbaiki cita rasa serta
mengurangi biaya produksi. Tepung yang mengandung pati,
mempunyai kegunaan sebagai bahan pengisi yang dapat menaikkan
daya ikat air dan meningkatkan emulsi lemak sehingga dapat
menghasilkan mutu sosis yang baik. Pada umumnya tepung
ditambahkan sebesar 5-10% dari berat daging (Singal, 2013).
Tabel 2.3 Syarat Mutu Tepung Tapioka/Singkong berdasarkan
SNI 01-3451-2011
No Kriteria uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan
1.1 Bentuk - Serbuk halus
1.2 Bau - Normal
1.3 Warna - Putih, khas tapioka
2. Kadar air (b/b) % Maks 14,0
3. Kadar abu (b/b) % Maks. 0,50
4. Serat kasar (b/b) % Maks. 0,40
5. Kadar pati (b/b) % Min. 75
6. Derajat Putih (MgO=100) - Min. 91
7. Derajat Asam mL NaOH Maks. 4
1 N/100g
8 Cemaran Logam
8.1 Kadmium (Cd) mg/kg Maks. 0,2
8.2 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 0,25
8.3 Timah (Sn) mg/kg Maks. 40,0
8.4 Merkuri (Hg) mg/kg Maks. 0,05
9 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 0,5
10 Cemaran mikroba
10.1 Angka lempeng total (35oC 48 Koloni/g Maks. 1 x 106
jam)
10.2 Escherichia Coli APM/g Maks. 10
10.3 Bacillus cereus Koloni/g < 1 x 104
10.4 Kapang Koloni/g Maks.1 x 104
Sumber : Dewan Badan Standar Nasional (1996)
8

3. Es
Air yang ditambahkan ke dalam adonan sosis biasanya dalam
bentuk serpihan es, supaya suhu adonan selama penggilingan tetap
rendah. Dengan adanya es, suhu dapat dipertahankan tetap rendah
sehingga protein daging tidak terdenaturasi akibat gerakan mesin
penggiling dan ekstraksi protein berjalan dengan baik
(Koswara, 2009).
Tabel 2.4 Standar Mutu Air Menurut SNI 01-3553-2006
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Bau - Tidak berbau
2 Rasa - Normal
3 Warna Unit Pt-Co Maks. 5
4 pH - 6,0-8,5
5 Kekeruhan NTU Maks. 1,5
Sumber : Dewan Standarisasi Nasional (2006).
Prinsip pembuatan sosis adalah emulsi. Emulsi sosis tersebut
sangat dipengaruhi oleh jumlah air yang ditambahkan. Penambahan air
dalam bentuk es batu atau air es pada pembentukan emulsi bertujuan
untuk memudahkan ekstraksi protein, membantu pembentukan emulsi
dan mempertahankan suhu adonan tetap rendah akibat pemanasan
mekanis. Produk sosis yang emulsi diperoleh dari penambah berat atau
volume produk pada sosis yang ditambahkan dengan bahan pengisi
(Irnani, 2014).
4. Bawang putih
Nama binomial Allium sativum. Bawang putih termasuk
klasifikasi tumbuhan berumbi lapis atau siung yang bersusun. Pada
kenyataannya bawang putih hanya diambil manfaat sebagai bumbu
dapur yang hanya digunakan untuk memberikan rasa sedap dan mantap
di setiap masakan. Sehingga bawang putih atau Allium sativum sudah
menjadi bahan dapur wajib saat memasak karena aroma dan rasa yang
dihasilkannya menambah sedap setiap resep masakan (Untari, 2010).
Bawang putih adalah salah satu bahan yang paling umum
digunakan dalam pembuatan sosis. Selain penyedap makanan, bawang
9

putih dipakai sebagai antioksidan dan antimikroorganisme. Bawang


putih memiliki banyak manfaat, bukan hanya sebagai antibakteri,
antivirus dan antijamur tetapi juga memiliki efek menguntungkan pada
sistem kekebalan tubuh (Ankri, 1999).
Tabel 2.5 Syarat Mutu Bawang Putih Menurut SNI 01-3160-1992
Syarat Cara
Karakteristik
Mutu I Mutu II Pengujian
1 2 3 4
Kesamaan sifat varietas Seragam Seragam Organoleptik
Tingkat ketuaan Tua Tua Organoleptik
Kekompakan suing Kompak Kurang kompak Organoleptik
Kebernasan suing Bernas Kurang bernas Organoleptik
Kekeringan Kering Kering Organoleptik
Kulit luar pembungkus Sempurna Kurang sempurna Organoleptik
umbi
Kerusakan, % (bobot) 5 8 SP-SMP-
maks. 310-1981
Busuk, % (bobot) maks. 1 2 SP-SMP-
311-1981
Diameter minimum (cm) 3,0 2,5 SP-SMP-
309-1981
Kotoran Tidak ada Tidak ada Organoleptik
Sumber : Dewan Badan Standar Nasional (1992)
5. Garam
Bahan tambahan pangan umumnya ditambahkan untuk menjaga
dan memperbaiki kualitas produk. Garam sebagai bahan tambahan
pangan mempunyai berbagai fungsi yang menguntungkan. Berbeda
dengan industri pengolahan tradisional, industri pengolahan modern
biasanya terfokus pada pemanfaatan garam dalam rangka memperbaiki
cita rasa dan penampilan produk serta tekstur daging ikan
(Winarno, 1997).
Tabel 2.6 Syarat Mutu Garam Konsumsi Beryodium Menurut SNI 01-
3556-2010
No Kriteria uji Satuan Persyaratan
1 Kadar air (H2O) (b/b) % Maks. 7
2 Kadar NaCl (natrium klorida)
% Min 94
dihitung dari jumlah klorida (Cl-) (b/b) adbk
3 Bagian yang tidak larut dalam air (b/b) adbk % Maks. 0,5
4 Yodium dihitung sebagai kalium Min. 30
mg/kg
iodat (KIO3) adbk
10

5 Cemaran logam :
5.1 Kadmium (Cd) mg/kg Maks. 0,5
5.2 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 10,0
5.3 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,1
6 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 0,1
Catatan 1: b/b adalah bobot/bobot
Catatan 2: adbk adalah atas dasar bahan kering
Sumber : Dewan Badan Standar Nasional (2010)
Cita rasa suatu produk biasanya merupakan gabungan dari tiga
komponen, yaitu aroma, rasa, dan rangsangan mulut. Garam sebagai
pembangkit aroma dan cita rasa serta penstabil warna daging ikan
mempunyai fungsi dan peranan penting dalam proses preparasi dan
pengolahan pangan. Garam biasanya ditambahkan untuk
mempertahankan warna daging dan mendapatkan rasa asin yang
diinginkan (Buckle, 1985).
6. Gula pasir
Pemberian gula akan mempengaruhi cita rasa yaitu
meningkatkan rasa manis, kelezatan, aroma, tekstur daging, dan
mampu menetralisir garam yang berlebihan serta menambah energi.
Selain itu gula memiliki daya larut yang tinggi dan dapat mengikat air
sehingga dapat berfungsi sebagai pengawet. Adanya glukosa, sukrosa,
pati, dan lain-lain dapat meningkatkan citarasa pada makanan serta
menimbulkan rasa khusus pada makanan (Buckle et al, 1987).
Tabel 2.9 Syarat Mutu Gula Kristal Berdasarkan SNI 01-3140-2010
Persyaratan
No Parameter uji Satuan
GKP 1 GKP 2
1 Warna
1.1 Warna Kristal CT 4,0-7,5 7,6-10,0
1.2 Warna Larutan (ICUMSA) IU 81-200 201-300
2 Besar Jenis Butir Mm 0,8-1,2 0,8-1,2
3 Susut Pengeringan (B/B) % Maks 0,1 Maks 0,1
4 Polarisasi (oZ, 20oC) “Z” Min 99,6 Min 99,5
5 Abu Konduktiviti (b/b) % Maks 0,10 Maks 0,15
6 Bahan Tambahan Pangan
6.1 Belerang dioksida (SO2) mg/kg Maks 30 Maks 30
7 Cemaran logam
7.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 2 Maks 2
7.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks 2 Maks 2
7.3 Arsen (As) mg/kg Maks 1 Maks 1
11

Sumber : Dewan Badan Standar Nasional (2010)


7. Minyak goreng
Definisi minyak goreng menurut SNI 01-3741-2013 adalah
bahan pangan dengan komposisi utama trigliserida berasal dari bahan
nabati kecuali kelapa sawit, dengan atau tanpa perubahan kimiawi,
termasuk hidrogenasi, pendinginan dan telah melalui proses rafinasi
atau pemurnian yang digunakan untuk menggoreng. Adapun syarat
mutu untuk minyak goreng dapat dilihat pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7 Syarat Mutu Minyak Goreng berdasarkan SNI 01-3741-
1995
No Persyaratan Mutu
Kriteria Uji Satuan
. (SNI 01-3741-1995)
1 Keadaan:
Bau - Normal
Warna - Normal
Rasa - Normal
2 Air % b/b Maks. 0,30
Asam lemak bebas
3 (dihitung sebagai % b/b Maks. 0,30
asam laurat)
Bahan makanan Sesuai SNI 022-M dan Permenkes No.
4
tambahan 722/Menkes/Per/IX/88
5 Cemaran logam:
- Besi (Fe) mg/kg Maks. 1.5
- Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 0,1
- Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,1
- Timbal (Pb) mg/kg Maks. 40,0
- Timah (Sn) mg/kg Maks. 0,005
- Seng (Zn) mg/kg Maks. 40,0/250,0*)
6 Arsen (As) % b/b Maks. 0,1
7 Angka Peroksida mg O2/gr Maks. 1
Sumber: Badan Standarisasi Nasional (1995)
Penambahan lemak dalam pembuatan sosis berguna untuk
membentuk sosis yang kompak dan empuk serta memperbaiki rasa dan
aroma sosis. Jumlah penambahan lemak tidak boleh lebih dari 30%
dari berat daging untuk mempertahankan tekstur selama pengolahan
dan penanganan. Penambahan lemak yang terlalu banyak akan
mengakibatkan hasil sosis yang keriput. Sedangkan penambahan
12

terlalu sedikit akan menghasilkan sosis yang keras dan kering


(Koswara, 2009).
Untuk memperoleh sosis yang kompak, teksur yang empuk, rasa
dan aroma sosis yang lebih baik dapat ditambahkan lemak. Lemak
yang ditambahkan dapat berupa lemak nabati atau lemak hewani untuk
pembuatan sosis, dengan kadar 5-25%. Pemakaian lemak nabati yaitu
tidak mengandung kolesterol, kandungan linoleat, oleat, linolenat lebih
besar disbanding lemak hewani, disamping itu harganya juga lebih
murah (Dotulong, 2009).
8. Telur
Salah satu bahan tambahan yang dapat meningkatkan kualitas
sosis adalah telur. Telur mengandung protein dan dapat berperan
sebagai binding agent yakni mengikat bahan-bahan lain sehingga
menyatu yang diharapkan dapat memperoleh sosis dengan kualitas
yang lebih baik (Evanuarini, 2010).
Telur merupakan salah satu bahan pangan yang bergizi.
Muchtadi (1992) menyatakan bahwa kandungan gizi telur terdiri dari
protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral. Kualitas telur segar
tidak dapat dipertahankan dalam waktu yang lama tanpa adanya
perlakuan khusus. Lama penyimpanan pada telur akan menentukan
kondisi dari telur tersebut. Kualitas telur akan menurun dan
mengakibatkan kerusakan pada telur, apabila dilakukan penyimpanan
dalam waktu lama. Kerusakan telur tersebut ditandai oleh pecahnya isi
telur, sehingga bagian utama di dalam isi telur tercampur (putih telur
dan kuning telur).
Tan (2012), menyatakan bahwa kualitas telur dapat berubah
karena adanya perlakuan yang diberikan seperti pemanasan dan
penyimpanan. Pemanasan pada telur dapat dilakukan dengan cara
pasteurisasi yakni suatu cara pemanasan dengan suhu 60o C selama 3,5
menit untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen yang terdapat
pada telur. Kualitas telur dapat menurun terutama selama
13

penyimpanan. Penguapan air akan terjadi karena adanya penyimpanan


telur yang mengakibatkan penurunan berat pada telur terutama dari
putih telur.
Hajrawati (2011) menyatakan bahwa pH telur akan naik karena
kehilangan CO2. Kadar air pada telur akan hilang akibat lama simpan
pada telur dan suhu penyimpanan untuk telur yang akan mempercepat
terjadinya reaksi metabolisme dan pertumbuhan bakteri.
Tabel 2.8 Syarat Mutu Telur Ayam Berdasarkan SNI 3926-2008
Tingkat Mutu
No Faktor Mutu
Mutu I Mutu II Mutu III
1 Kondisi Kerabang
a. Bentuk Normal Normal Abnormal
b. Kehalusan Halus Halus Sedikit kasar
c. Ketebalan Tebal Sedang Tipis
d. Keutuhan Utuh Utuh Utuh
e. Kebersihan Bersih Sedikit noda Banyak noda dan
kotor (stain) sedikit kotor
Sumber: Badan Standarisasi Nasional (2008)
Telur segar dapat dipertahankan mutunya dalam waktu yang
relatif lama bila disimpan dalam ruangan dingin dengan kelembaban
udara antara 80-90%. Dalam hal ini telur disimpan sedekat mungkin di
atas titik beku telur yaitu -2oC. Suhu yang rendah ini akan
memperlambat hilangnya CO2 dan air dari dalam telur serta
penyebaran air dari putih ke kuning telur. Untuk lebih menghambat
hilangnya CO2 maka kadar CO2 di dalam ruang penyimpanan dapat
ditingkatkan sampai 3% (Koswara, 2009).
9. Lada
Lada tidak hanya berfungsi sebagai sumber rasa pedas, namun
juga sebagai penyedap rasa dan aroma. Lada mengandung beberapa zat
kimia seperti alkaloid (piperin), eteris, dan resin. Alkaloid tidak
berdampak negatif terhadap kesehatan bila dikonsumsi dalam jumlah
yang tidak berlebihan. Eteris adalah sejenis minyak yang dapat
memberikan aroma sedap dan rasa enak pada masakan. Resin adalah
14

zat yang dapat memberikan aroma harum dan khas bila dipakai sebagai
bumbu ataupun parfum (Sarpian, 2003).
10. Pala
Bumbu-bumbu yang ditambahkan dalam pembuatan sosis
dimaksudkan untuk menambah cita rasa sesuai selera konsumen.
Bumbu yang digunakan dalam pembuatan sosis adalah merica, bawang
putih, bawang merah, pala, jahe, dan MSG. Menurut Soeparno (1994),
penambahan bahan penyedap dan bumbu, terutama ditujukan untuk
menambah atau meningkatkan rasa, karena bahan penyedap dapat
meningkatkan dan memodifikasi flavour yang berbeda. Beberapa
bumbu ini bersifat sebagai antioksidan sehingga dapat menghambat
ketengikan serta memiliki aktivitas antimikroba sehingga dapat
menghambat pertumbuhan mikroba merugikan.
Tabel 2.8 Syarat Mutu Pala berdasarkan SNI 01-0006-1993
No Jenis Uji Satuan Persyaratan
1 Kadar air (b/b) % maks. 10
2 Biji berkapang % maks. 8
3 Serangga utuh mati ekor maks. 4
4 Kotoran mamalia mg/lbs maks. 0
5 Kotoran binatang lain mg/lbs maks. 0
6 Benda asing (b/b) % maks. 0
Sumber: Badan Standarisasi Nasional (1993)
Pala adalah salah satu jenis rempah-rempah yang banyak
digunakan dalam industri makanan, farmasi, dan kosmetik. Biji dan
fuli pala (selaput biji) digunakan sebagai sumber rempah-rempah,
sedangkan daging buah pala sering diolah menjadi berbagai produk
pangan seperti manisan, sirup, jam, jeli, dan chutney. Minyak biji pala
terutama digunakan dalam industri flavour (penambah cita rasa)
makanan dan dalam jumlah kecil digunakan dalam industri farmasi dan
kosmetik (Winarti, 2012).
11. Selongsong
Casing digunakan untuk memberikan bentuk dan ukuran yang
disukai oleh konsumen. Casing sosis dibedakan sebagai casing alami
dan casing buatan. Casing alami ini dibuat dari usus besar sapi, babi,
15

kuda dan lainnya. Untuk casing buatan, pada umumnya dibuat dari
selulosa, bahan berserat, plastik dan kolagen. Namun demikian yang
paling baik adalah casing buatan dari kolagen (Koswara, 2009).
Menurut Kramlich (1973), selongsong buatan terdiri atas empat
kelompok yaitu sellulosa, kolagen yang dapat dimakan, kolagen yang
tidak dapat dimakan dan plastik. Pada dasarnya selongsong alami
adalah kolagen, selama pengolahan sosis, selongsong alami dalam
keadaan basah mudah ditembus olah asap dan cairan. Selongsong
alami menjadi kurang permeabel karena pengeringan dan pengasapan.

C. Pengendalian Mutu
Prawirosentono (2004) menyatakan secara garis besar bahwa
pengendalian mutu dapat diklasifikasikan menjadi tiga (3), yaitu
pengendalian mutu bahan baku, pengendalian mutu dalam proses
pengolahan dan pengendalian mutu produk akhir. Pengendalian mutu /
kualitas merupakan salah satu fungsi yang terpenting dari suatu
perusahaan. Setiap perusahaan mempunyai fungsi pengendalian mutu
biasanya dilakukan oleh bagian pengawasan mutu akan tetapi didalam
suatu perusahaan bagian pengendalian/pengawasan mutu tidak selalu ada
tergantung pada besar kecilnya suatu perusahaan dan jenis produk dari
perusahaan tersebut. Suatu produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan
dapat memberikan dampak yang cukup besar terhadap mutu produk yang
dihasilkan dapat menekan presentase dari cacat produk dapat ditekan
sekecil mungkin, sehingga perusahaan mendapatkan keuntungan yang
lebih besar.
Menurut (Assauri, 2008) suatu produk didasarkan oleh ukuran dan
karakteristik dari produk yang diproduksi sesuai dengan keingian
konsumen. Keinginan/selera antar pembeli juga berbeda mungkin
dikarenakan perbedaan sifat daerah asalnya, tingkat sosialnya ataupun
sebab lainnya. Akibat kenyataan ini menyulitkan bagi perusahaan
(produsen) untuk memilih dan menentukan faktor mutu yang diminta oleh
16

pembeli. Oleh karena itu perusahaan harus melakukan


pengawasan/pengendalian terhadap produk yang dihasilkan. Walaupun
proses produksi telah dilaksanakan dengan baik, namun pada
kenyataannya masih ditemukan terjadinya kesalahan-kesalahan dimana
mutu produk yang dihasilkan tidak sesuai dengan standar kualitas apa
yang diharapkan oleh perusahaan (produsen), faktor-faktor yang
menyebabkan suatu produk tidak sesuai dengan apa yang diharapkan
disebabkan oleh bahan baku, tenaga kerja, dan kinerja mesin (peralatan).
Oleh karena itu perusahaan (produsen) lebih fokus terhadap mutu/kualitas
dengan cara melakukan pengawasan/pengendalian mutu agar dapat
tercapainya tujuan perusahaan.
Dalam konteks pemasaran, bertambahnya pelaku usaha, diantaranya
UKM untuk menarik pembeli/pelanggan harus menerapkan standar mutu
pada produk yang dihasilkannya. Untuk menjamin hal tersebut sesuai
tuntutan pasar, maka diantaranya diperlukan suatu proses pengendalian
proses produksi berkelanjutan, agar mutu produk terjamin dan meningkat
seiring dengan kebutuhan konsumen yang nantinya berdampak terhadap
loyalitasnya terhadap produk tersebut. Standar mutu meliputi bahan baku,
proses produksi dan produk jadi. Pengendalian mutu adalah pengukuran
kinerja produk, membandingkan dengan standar dan spesifikasi produk,
serta melakukan tindakan koreksi apabila terdapat penyimpangan.
(Sonalia, 2012).

D. CPPB (Cara Produksi Pangan Yang Baik)


Cara Produksi Pangan Yang Baik (CPPB) merupakan salah satu
faktor penting untuk memenuhi standar mutu atau persyaratan keamanan
pangan yang ditetapkan untuk pangan. CPPB sangat berguna bagi
kelangsungan hidup industri pangan baik yang berskala kecil, sedang,
maupun yang berskala besar. Melalui CPPB ini, industri pangan dapat
menghasilkan pangan yang bermutu, layak dikonsumsi, dan aman bagi
kesehatan. Dengan menghasilkan pangan yang bermutu dan aman untuk
17

dikonsumsi, kepercayaan masyarakat akan meningkat dan industri pangan


yang bersangkutan akan berkembang pesat. Dengan berkembangnya
industri pangan yang menghasilkan pangan bermutu dan aman untuk
dikonsumsi, maka masyarakat pada umumnya akan terlindung dari
penyimpangan mutu pangan dan bahaya yang mengancam kesehatan.
CPPB-IRT menjelaskan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi
tentang penanganan pangan di seluruh mata rantai produksi mulai dari
bahan baku sampai produk akhir yang mencakup :
1. Lokasi dan Lingkungan Produksi
2. Bangunan dan Fasilitas
3. Peralatan Produksi
4. Suplai Air atau Sarana Penyediaan Air
5. Fasilitas dan Kegiatan Higiene dan Sanitasi
6. Kesehatan dan Higiene Karyawan
7. Pemeliharaan dan Program Higiene Sanitasi Karyawan
8. Penyimpanan
9. Pengendalian Proses
10. Pelabelan Pangan
11. Pengawasan Oleh Penanggungjawab
12. Penarikan Produk
13. Pencatatan dan Dokumentasi
14. Pelatihan Karyawan (BPOM-RI, 2012).

Anda mungkin juga menyukai