Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Bicara tentang pencemaran di laut, hal yg sangat berhubungan dekat sekali dgn pelaut di keseharianya. jika kita lalai dan terjadi
musibah tumpahan minyak di laut, dampaknya sangat luar biasa sekali. bukan hanya lingkungan biota laut yg teracam kitapun sebagai pelaut bisa berhubungan
dengan hukum dimana negara perairan yg kita layari. maka dari itu hindari kesalahan gunahkanlah management yg baik di atas kapal. pencatatan oil record book
yg up to date dan juga system waste management yg terkontrol. banyak rekan kita pelaut terkadang menganggap sepeleh hal ini. ya. itulah manusia terkadang
belum sadar jika sudah dapat musibah penyesalan datang belakangan. untuk menghindari hal tersebut mari sama sama mendalami apa yg di maksud marpol
itu. saya akan menguraikan sejelasnya apa yg saya tahu.
Sejak peluncuran kapal pengangkut minyak yang pertama GLUCKAUF pada tahun 1885 dan penggunaan pertama mesin diesel sebagai penggerak utama
kapal tiga tahun kemudian, maka fenomena pencemaran laut oleh minyak mulai muncul.
Baru pada tahun 1954 atas prakarsa dan pengorganisasian yang dilakukan oleh Pemerintah Inggris (UK), lahirlah “Oil Pullution Convention, yang mencari
cara untuk mencegah pembuangan campuran minyak dan pengoperasian kapal tanker dan dari kamar mesin kapal lainnya.
Sebagai hasilnya adalah sidang IMO mengenai “international Conference on Marine Pollution” dari tanggal 8 Oktober sampai dengan 2 Nopember 1973 yang
menghasilkan “international Convention for the Prevention of Oil Pollution from Ships” tahun 1973, yang kemudian disempurnakan dengan TSPP (Tanker
Safety and Pollution Prevention) Protocol tahun 1978 dan konvensi ini dikenal dengan nama MARPOL 1973/1978 yang masih berlaku sampai sekarang.
Difinisi mengenai “Ship” dalam MARPOL 73/78 adalah sebagai berikut:
“Ship means a vessel of any type whatsoever operating in the marine environment and includes hydrofoil boats, air cushion vehhicles,
suvmersibles, ficating Craft and fixed or floating platform”.
Jadi “Ship” dalam peraturan lindungan lingkungan maritim adalah semua jenis bangunan yang berada di laut apakah bangunan itu mengapung, melayang
Peraturan mengenai pencegahan berbagai jenis sumber bahan pencemaran lingkungan maritim
yang datangnya dari kapal dan bangunan lepas pantai diatur dalam MARPOL Convention 73/78 Consolidated Edition 1997 yang memuat peraturan :
Mengatur kewajiban dan tanggung jawab Negara-negara anggota yang sudah meratifikasi konvensi tersebut guna mencegah pencemaran dan buangan
barang-barang atau campuran cairan beracun dan berbahaya dari kapal. Konvensi-konvensi IMO yang sudah diratifikasi oleh Negara anggotanya seperti
Indonesia, memasukkan isi konvensi-konvensi tersebut menjadi bagian dari peraturan dan perundang-undangan Nasional.
2. Protocol of 1978
Merupakan peraturan tambahan “Tanker Safety and Pollution Prevention (TSPP)” bertujuan untuk meningkatkan keselamatan kapal tanker dan
melaksanakan peraturan pencegahan dan pengontrolan pencemaran laut yang berasal dari kapal terutama kapal tanker dengan melakukan modifikasi dan
petunjuk tambahan untuk melaksanakan secepat mungkin peraturan pencegahan pencemaran yang dimuat di dalam Annex konvensi.
Karena itu peraturan dalam MARPOL Convention 1973 dan Protocol 1978 harus dibaca dan diinterprestasikan sebagai satu kesatuan peraturan.
– a. Protocol I
Kewajiban untuk melaporkan kecelakaan yang melibatkan barang beracun dan berbahaya.
Peraturan mengenai kewajiban semua pihak untuk melaporkan kecelakaan kapal yang melibatkan barang-barang beracun dan berbahaya. Pemerintah
Negara anggota diminta untuk membuat petunjuk untuk membuat laporan, yang diperlukan sedapat mungkin sesuai dengan petunjuk yang dimuat dalam
Annex Protocol I.
Sesuai Article II MARPOL 73/78 Article III “Contents of report” laporan tersebut harus memuat keterangan :
Nahkoda atau perorangan yang bertanggung jawab terhadap insiden yang terjadi pada kapal wajib untuk segera melaporkan tumpahan atau buangan
barang atau campuran cairan beracun dan berbahaya dari kapal karena kecelakaan atau untuk kepentingan menyelamatkan jiwa manusia sesuai petunjuk
mengenai interprestasi atau pelaksanaan isi konvensi. Apabila perundingan antara pihak-pihak yang berselisih tidak berhasil menyelesaikan masalah
tersebut, salah satu dari mereka dapat mengajukan masalah tersebut ke Arbitrasi dan diselesaikan berdasarkan petunjuk dalam Protocol II konvensi.
Selanjutnya peraturan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut oleh berbagai jenis bahan pencemar dari kapal dibahas daam Annex I
s/d V MARPOL 73/78, berdasarkan jenis masing-masing bahan pencemar sebagai berikut :
Annex II Pencemaran oleh Cairan Beracun (Nuxious Substances) dalam bentuk Curah Mulai berlaku 6 April 1987
Annex III Pencemaran oleh barang Berbahaya (Hamful Sub-Stances) dalam bentuk Terbungkus Mulai berlaku 1 Juli 1991
Peraturan MARPOL Convention 73/78 yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, baru Annex I dan Annex II, dengan Keppres No. 46 tahun 1986.
MARPOL 73/78 memuat tugas dan wewenang sebagai jaminan yang relevan bagi setiap Negara anggota untuk memberlakukan dan melaksanakan
peraturan sebagai negara bendera kapal, Negara pelabuhan atau negara pantai.
MARPOL 73/78 mewajibkan semua Negara berdera kapal, Negara Pantai dan Negara pelabuhan yang menjadi anggota mengetahui bahwa :
“ Pelanggaran terhadap peraturan konvensi yang terjadi di dalam daerah yurisdiksi Negara anggota dilarang dan sanksi atau hukuman bagi yang melanggar
Berdasarkan hukum Internasional, Negara bendera kapal diharuskan untuk memberlakukan peraturan dan mengontrol kegiatan berbendera Negara tersebut
dalam hal administrasi, teknis dan sarana sosial termasuk mencegah terjadi pencemaran perairan.
Negara bendera kapal mengharuskan kapal berbendera Negara itu memenuhi standar Internasional (antara lain MARPOL 73/78).
Tugas utama dari negara bendera kapal adalah untuk menjamin bahwa kapal mereka memnuhi standar teknik di dalam MARPOL 73/78
yakni :
Konvensi MARPOL 73/78 meminta Negara pantai memberlakukan peraturan konvensi pada semua kapal yang memasuki teoritialnya dan, tindakan ini
dibenarkan oleh peraturan UNCLOS 1982, asalkan memenuhi peraturan konvensi yang berlaku untuk lintas damai (innocent passage) dan ada bukti yang
Negara anggota MARPOL 73/78 wajib memberlakukan peraturan mereka bagi semua kapal yang berkunjung ke palabuhannya. Tidak ada lagi perlakuan
Ini berarti ketaatan pada peraturan MARPOL 73/78 merupakan persyaratan kapal boleh memasuki pelabuhan semua Negara anggota.
Adalah wewenang dari Negara pelabuhan untuk memberlakukan peraturan lebih ketat tentang pencegahan pencemaran sesuai peraturan mereka. Namun
demikian sesuai UNCLOS 1982 peraturan seperti itu harus dipublikasikan dan disampaikan ke IMO untuk disebar luaskan.
1. E. CARA-CARA UNTUK MEMENUHI KEWAJIBAN DALAM MARPOL 73/78
Persetujuan suatu Negara anggota untuk melaksanakan MARPOL 73/78 diikuti dengan tindak lanjut dari Negara tersebut di sektor-sektor :
Pemerintah
Administrasi bidang hukum
Administrasi bidang maritim
Pemilik kapal
Syahbandar (port authorities)
1. a. Pemerintah
Kemauan politik dari suatu Negara untuk meratifikasi MARPOL 73/78 merupakan hal yang fundamental. Dimana kemauan politik itu didasarkan pada
pertimbangan karena :
Pertimbangan dan masukan pada Pemerintah untuk meretifikasi konvensi diharapkan datang dari badan administrasi maritim atau badan administrasi
lingkungan dan dari industri maritim.
Dalam konteks ini harus diakui bahwa Negara anggota MARPOL 73/78 menerima tanggung jawab tidak membuang bahan pencemar ke laut, namun
demikian di lain pihak mendapatkan hak istimewa, perairannya tidak boleh dicemari oleh Kapal Negara anggota lain. Kalau terjadi pencemaran di dalam
teritorial mereka, mereka dapat menuntun dan meminta ganti rugi. Negara yang bukan anggota tidak menerima tanggung jawab untuk melaksanakan
peraturan atas kapal-kapal mereka, jadi kapal-kapal-kapal mereka tidak dapat dituntut karena tidak memenuhi peraturan (kecuali bila berada di dalam
Namun demikian harus diketahui pula bahwa Negara yang tidak menjadi anggota berarti kalau pantainya sendiri dicemari, tidak dapat memperoleh jaminan
sesuai MARPOL 73.78 untuk menuntut kapal yang mencemarinya.
b. Administrasi hukum
Tugas utama dari Administrasi hukum adalah bertanggung jawab memberlakukan peraturan yang dapat digunakan untuk melaksanakan peraturan MARPOL
73/78. Untuk memudahkan pekerjaan Administrasi hukum sebaiknya ditempatkan dalam satu badan dengan Administrasi maritim yang diberikan
Agar peraturan dalam MARPOL 73/78 mempunyai dasar hukum untuk dilaksanakan, maka peraturan tersebut harus diintegrasikan ke dalam sistim
perundang-undangan Nasional. Cara pelaksanaannya sesuai yang digambarkan dalam diagram berikut.
c. Administrasi maritim
Administrasi maritim yang dibentuk pemerintah bertanggung jawab melaksanakan tugas administrasi pemberlakuan peraturan MARPOL 73/78 dan konvensi-
konvensi maritim lainnya yang sudah diratifikasi. Badan ini akan memberikan masukan pada Administrasi hukum dan Pemerintah di satu pihak dan membina
industri perkapalan dari Syahbandar dipihak lain yang digambarkan dalam diagram berikut.
Tugas dari Administrasi maritim ini adalah melaksanakan MARPOL 73/78 bersama-sama dengan beberapa konvensi maritim lainnya. Disarankan untuk
meneliti tugas-tugas tersebut guna identifikasi peraturan-peraturan yang sesuai dan memutuskan bagaimana memberlakukannya.
d. Pemilik Kapal
Pemilik kapal berkewajiban membangun dan melengkapi kapal-kapalnya dan mendiidk pelautnya, perwira laut untuk memenuhi peraturan MARPOL 73/78.
Konpetensi dan ketrampilan pelaut harus memenuhi standar minimun yang dimuat dalam STCW-95 Convention.
Tugas utama dari Syahbandar adalah menyediakan tempat penampungan buangan yang memadai sisa-sisa bahan pencemar dari kapal yang memadai.
Syahbandar juga bertugas untuk memantau dan mengawasi pembuangan bahan pencemar yang asalnya dari kapal berdasarkan peraturan Annexes I, II, IV
dan V MARPOL.
Garis besar tugas surveyor dan inspektor melakukan pemeriksaan dalam diagram di atas adalah sebagai berikut :
1. Memeriksa kapal untuk penyetujuan rancang bangun. Tugas ini hendaknya dilakukan oleh petugas yang berkualifikasi dan berkualitas sesuai yang
ditentukan oleh kantor pusat Administrasi maritim.
2. Inspeksi yang dilakukan oleh Syahbandar adalah bertujuan untuk mengetahui apakah prosedur operasi sudah sesuai dengan peraturan.
3. Investigasi dan penuntunan. Surveyor dan Inspector pelabuhan harus mampu melakukan pemeriksaan kasus yang tidak memenuhi peraturan konstruksi,
peralatan dan pelanggaran yang terjadi. Berdasarkan petunjuk dari pusat Administrasi maritim, petugas tersebut harus dapat menuntut pihak-pihak yang
melanggar.
Dampak pencemaran barang beracun dan berbahaya terutama minyak berpengaruh terhadap :
1. Dampak ekologi
2. Tempat rekreasi
3. Lingkungan Pelabuhan dan Dermaga
4. Instalasi Industri
5. Perikanan
6. Binatang Laut
7. Burung Laut
8. Terumbu Karang dan Ekosistim
9. Tumbuhan di pantai dan Ekosistim
10. Daerah yang dilindung dan taman laut
Bahan-bahan pencemar yang berasal dari kapal terdiri dari muatan yang dimuat oleh kapal, bahan bakar yang digunakan untuk alat propulsi dan alat lain di
atas kapal dan hasil atau akibat kegiatan lain di atas kapal seperti sampah dan segera bentuk kotoran.
Definisi bahan-bahan pencemar dimaksud berdasarkan MARPOL 73/78 adalah sebagai berikut :
1. “Minyak” adalah semua jenis minyak bumi seperti minyak mentah (crude oil) bahan bakar (fuel oil), kotoran minyak (sludge) dan minyak hasil
penyulingan (refined product)
2. “Naxious liquid substances”. Adalah barang cair yang beracun dan berbahaya hasil produk kimia yang diangkut dengan kapal tanker khusus (chemical
tanker)
Bahan kimia dimaksud dibagi dalam 4 kategori (A,B,C, dan D) berdasarkan derajad toxic dan kadar bahayanya.
Kategori A : Sangat berbahaya (major hazard). Karena itu muatan termasuk bekas pencuci tanki muatan dan air balas dari tanki muatan tidak boleh
dibuang ke laut.
Kategori B : Cukup berbahaya. Kalau sampai tumpah ke laut memerlukan penanganan khusus (special anti pollution measures).
Kategori C : Kurang berbahaya (minor hazard) memerlukan bantuan yang agak khusus.
1. “Hamfull substances” Adalah barang-barang yang dikemas dalam dan membahayakan lingkungan kalau sampai jatuh ke laut.
2. Sewage”. Adalah kotoran-kotoran dari toilet, WC, urinals, ruangan perawatan, kotoran hewan serta campuran dari buangan tersebut.
3. “Garbage” Adalah tempat sampah-sampah dalam bentuk sisa barang atau material hasil dari kegiatan di atas kapal atau kegiatan normal lainnya di atas
kapal.
Peraturan pencegahan pencemaran laut diakui sangat kompleks dan sulit dilaksanakan secara serentak, karena itu marpol Convention diberlakukan secara
bertahap. Tanggal 2 Oktober 1983 untuk Annex I (oil). Disusul dengan Annex II (Noxious Liquid Substances in Bulk) tanggal 6 April 1987. Disusul kemudian
Annex V (Sewage), tanggal 31 31 Desember 1988, dan Annex III (Hamful Substances in Package) tanggal 1 juli 1982. Sisa Annex IV (Garbage) yang belum
Annex I MARPOL 73/78 yang memuat peraturan untuk mencegah pencemaran oleh tumpahan minyak dari kapal sampai 6 Juli 1993 sudah terdiri dari 23
Regulation.
Peraturan dalam Annex I menjelaskan mengenai konstruksi dan kelengkapan kapal untuk mencegah pencemaran oleh minyak yang bersumber dari kapal,
dan kalau terjadi juga tumpahan minyak bagaimana cara supaya tumpahan bisa dibatasi dan bagaimana usaha terbaik untuk menanggulanginya.
Untuk menjamin agar usaha mencegah pencemaran minyak telah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh awak kapal, maka kapal-kapal diwajibkan untuk
mengisi buku laporan (Oil Record Book) yang sudah disediakan menjelaskan bagaimana cara awak kapal menangani muatan minyak, bahan bakar minyak,
kotoran minyak dan campuran sisa-sisa minyak dengan cairan lain seperti air, sebagai bahan laporan dan pemeriksaan yang berwajib melakukan kontrol
Kewajiban untuk menigisi “Oli Record Book” dijelaskan di dalam Reg. 20.
Appendix I Daftar dari jenis minyak (list of oil) sesuai yang dimaksud dalam MARPOL 73/78 yang akan mencemari apabila tumpahan ke laut.
Appendix II, Bentuk sertifikat pencegahan pencemaran oleh minyak atau “IOPP Certificate” dan suplemen mengenai data konstruksi dan kelengkapan
kapal tanker dan kapal selain tanker. Sertifikat ini membuktikan bahwa kapal telah diperiksa dan memenuhi peraturan dalam reg. 4. “Survey and inspection”
dimana struktur dan konstruksi kapal, kelengkapannya serta kondisinya memenuhi semua ketentuan dalam Annex I MARPOL 73/78.
Appendix III, Bentuk “Oil Record Book” untuk bagian mesin dan bagian dek yang wajib diisi oleh awak kapal sebagai kelengkapan laporan dan bahan
Pada permulaan tahun 1970-an cara pendekatan yang dilakukan oleh IMO dalam membuat peraturan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran laut
pada dasarnya sama dengan yang dilakukan sekarang, yakni melakukan kontrol yang ketat pada struktur kapal untuk mencegah jangan sampai terjadi
tumpahan minyak atau pembuangan campuran minyak ke laut. Dengan pendekatan demikian MARPOL 73/78 memuat peraturan untuk mencegah
Tetapi kemudian pada tahun 1984 dilakukan perubahan penekanan dengan menitik beratkan pencegahan pencemaran pada kegiatan operasi kapal seperti
yang dimuat didalam Annex I terutama keharusan kapal untuk dilengkapi dengan “Oily Water Separating Equipment dan Oil Discharge Monitoring Systems”.
Karena itu MARPOL 73/78 Consolidated Edition 1997 dibagi dalam 3 (tiga) kategori dengan garis besarnya sebagai berikut :
Kapal dibangun, dilengkapi dengan konstruksi dan peralatan berdasarkan peraturan yang diyakini akan dapat mencegah pencemaran terjadi dari muatan
yang diangkut, bahan bakar yang digunakan maupun hasil kegiatan operasi lainnya di atas kapal seperti sampah-sampah dan segala bentuk kotoran.
Kalau sampai terjadi juga pencemaran akibat kecelakaan atau kecerobohan maka diperlukan peraturan untuk usaha mengurangi sekecil mungkin dampak
pencemaran, mulai dari penyempurnaan konstruksi dan kelengkapan kapal guna mencegah dan membatasi tumpahan sampai kepada prosedur dari
petunjuk yang harus dilaksanakan oleh semua pihak dalam menaggulangi pencemaran yang telah terjadi.
Peraturan prosedur dan petunjuk yang sudah dikeluarkan dan sudah menjadi peraturan Nasional negara anggota wajib ditaati dan dilaksanakan oleh semua
pihak yang terlibat dalam membangun, memelihara dan mengoperasikan kapal. Pelanggaran terhadap peraturan, prosedur dan petunjuk tersebut harus
Khusus bahan pencemaram minyak bumi, pencegahan dan penanggulanganya secara garis besar dibahas sebagai berikut :
Untuk mencegah pencemaran oleh minyak bumi yang berasal dari kapal terutama tanker dalam Annex I dimuat peraturan pencegahan dengan penekanan
sebagai berikut :
1. 1. Regulation 13, Segregated Ballast Tanks, Dedicated Clean Tanks Ballast and Crude Oil Washing (SRT, CBT dan COW)
Menurut hasil evaluasi IMO cara terbaik untuk mengurangi sesedikit mungkin pembuangan minyak karena kegiatan operasi adalah melengkapi tanker yang
Tanki khusus air balas yang sama sekali terpisah dari tanki muatan minyak maupun tanki bahan bakar minyak. Sistem pipa juga harus terpisah, pipa air
Tanki bekas muatan dibersihkan untuk diisi dengan air balas. Air balas dari tanki tersebut, bila dibuang ke laut tidak akan tampak bekas minyak di atas
permukaan air dan apabila dibuang melalui alat pengontrol minyak (Oil Dischane Monitoring), minyak dalam air tidak boleh lebih dari 13 ppm.
Muatan minyak mentah (Crude Oil) yang disirkulasikan kembali sebagai media pencuci tanki yang sedang dibongkar muatnnya untuk mengurangi endapan
MARPOL 73/78 juga masih melanjutkan ketentuan hasil Konvensi 1954 mengenai Oil Pollution 1954 dengan memperluas pengertian minyak dalam semua
bentuk termasuk minyak mentah, minyak hasil olahan, sludge atau campuran minyak dengan kotorn lain dan fuel oil, tetapi tidak termasuk produk
Ketentuan Annex I Reg.9. “Control Discharge of Oil” menyebutkan bahwa pembuangan minyak atau campuran minyak hanya dibolehkan apabila
Tidak di dalam “Special Area” seperti Laut Mediteranean, Laut Baltic, Laut Hitam, Laut Merah dan daerah Teluk.
Lokasi pembuangan lebih dari 50 mil laut dari daratan
Pembuangan Dilakukan Waktu Kapal sedang berlayar
Tidak membuang minyak lebih dari 30 liter /natical mile
Tidak membuang minyak lebih besar dari 1 : 30.000 dari jumlah muatan.
Kapal tanker dengan ukuran 150 gross ton atau lebih harus dilengkapi dengan “slop tank” dan kapal tanker ukuran 70.000 tons dead weight (DWT) atau
lebih paling kurang dilengkapi “slop tank” tempat menampung campuran dan sisa-sisa minyak di atas kapal.
Untuk mengontrol buangan sisa minyak ke laut maka kapal harus dilengkapi dengan alat kontrol “Oil Dischange Monitoring and Control System” yang
disetujui oleh pemerintah, berdasarkan petunjuk yang ditetapkan oleh IMO. Sistem tersebut dilengkapi dengan alat untuk mencatat berapa banyak minyak
yang ikut terbuang ke laut. Catatan data tersebut harus disertai dengan tanggal dan waktu pencatatan. Monitor pembuangan minyak harus dengan
otomatis menghentikan aliran buangan ke laut apabila jumlah minyak yang ikut terbuang sudah melebihi amabang batas sesuai peraturan Reg. 9 (1a)
Reg. 17 mengenai “Tanks for Oil Residues (Sludge)” ditetapkan bahwa untuk kapal ukuran 400 gross ton atau lebih harus dilengkapi dengan tanki
penampungan dimana ukurannya disesuaikan dengan tipe mesin yang digunakan dan jarak pelayaran yang ditempuh kapal untuk menampung sisa minyak
yang tidak boleh dibuang ke laut seperti hasil pemurnian bunker, minyak pelumas dan bocoran minyak dimakar mesin.
Sesuai Reg. 26 “Shipboard Oil Pollution Emergency Plan” untuk menanggulangi pencemaran yng mungkin terjadi maka tanker ukuran 150 gross ton atau
lebih dan kapal selain tanker 400 grt atau lebih, harus membuat rencana darurat pananggulangan pencemaran di atas kapal.
1. c. Peraturan pelaksanan dan ketentuan pencegahan dan penanggulangan pencemaran oleh minyak.
Pencegahan dan penaggulangan pencemaran yang datangnya dari kapal tanker, perlu dikontrol melalui pemeriksaan dokumen sebagai bukti bahwa pihak