Anda di halaman 1dari 20

BAB I

LAPORAN PENDAHULUAN

A. PERDARAHAN INTRAKRANIAL
1. Definisi
Perdarahan intrakranial adalah perdarahan di dalam tulang tengkorak
yang bisa terjadi di dalam atau di sekeliling otak.
Perdarahan intrakranial adalah perdarahan yang tiba-tiba dalam jaringan
otak merupakan bentuk yang menghancurkan pada stroke hemoragik dan
dapat terjadi pada semua umur dan juga akibat trauma kepala seperti
kapitis,tumor otak dan lain-lain. (Suzanne C Smeltzer,, 2002)
Perdarahan intrakranial neonatus adalah perdarahan patologis dalam
rongga kranium dan isinya pada bayi sejak lahir sampai umur 4 minggu.
(Wiknjosastro H, 2010)
2. Klasifikasi berdasarkan lokasi perdarahan
Perdarahan yang paling bermakna terjadi setelah lahir pada bayi
kurang bulan, namun demikian perdarahan intrakranial pada bayi cukup
bulan juga mungkin terjadi. Perdarahan intrakranial tersebut antara lain:
a. Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural hampir selalu disebabkan trauma kepala


pada bayi baru lahir cukup bulan. Beberapa faktor merupakan
predisposisi terjadinya trauma yaitu ukuran kepala yang relatif besar
dibandingkan jalan lahir, rigiditas jalan lahir, persalinan terlalu cepat
atau terlalu lama, dan persalinan sulit misalnya letak sungsang atau
ekstraksi vakum maupun forseps.

Gejala klinis

Gejala klinis perdarahan subdural menggambarkan adanya


gejala kehilangan darah seperti pucat, gawat nafas, ikterus akibat
hemolisis atau menunjukkan gejala peninggian tekanan intrakranial
seperti iritabel, kejang, letargi, tangis melengking, hipotonia, ubun-
ubun menonjol, atau sutura melebar.

Diagnosis

Diagnosis perdarahan subdural didasarkan pada riwayat


kelahiran bayi disertai gambaran klinis yang ditemukan. Bila dalam
riwayat kelahiran ditemukan adanya kesukaran lahir dan pada bayi
ditemukan kejang fokal, kelemahan otot fokal, ubun-ubun menonjol,
sutura melebar, maka mungkin sekali bayi mengalami perdarahan
subdural.

b. Perdarahan subaraknoid primer

Perdarahan subaraknoid primer sebagian besar terjadi akibat


trauma lahir, sebagian lain diduga terjadi akibat proses hipoksia
janin akhibat asfiksia. Perdarahan ini umumnya ditemukan pada bayi
prematur. Perdarahan subaraknoid primer merupakan perdarahan
dalam rongga subaraknoid yang bukan merupakan akibat sekunder
dari perluasan perdarahan subdural, intraventrikular, atau
intraserebelar. Perdarahan umumnya terjadi akibat ruptur pada
jembatan vena dalam rongga subaraknoid atau akibat ruptur
pembuluh darah kecil di daerah leptomeningeal. Timbunan darah
umumnya terkumpul di lekukan serebral bagian posterior dan fosa
posterior.

Gejala klinis

Gejala klinis berupa tanda kehilangan darah dan gangguan


fungsi neurologik. Gambaran yang timbul berupa perdarahan yang
umumnya kecil saja dan tidak sampai menimbulkan keadaan yang
buruk, sedangkan gejala neurologik berupa iritabilitas dan kejang.

Diagnosis

Didasarkan pada riwayat kelahiran yang sukar, dengan


ditemukan adanya riwayat kejang. Hasil pemeriksaan cairan
serebrospinal menunjukkan adanya perdarahan dan kenaikan kadar
protein. Pemeriksaan ultrasonografi kurang peka untuk menegakkan
diagnosis perdarahan subaraknoid. Darah yang terlihat di rongga
subaraknoid mungkin saja berasal dari sumber perdarahan
intrakranial lain. Pungsi lumbal dapat menunjukkan adanya sel darah
merah.

c. Perdarahan intraserebelar

Perdarahan intraserebelar relatif jarang terjadi, lebih sering


dijumpai pada bayi kurang bulan dibandingkan dengan bayi cukup
bulan. Secara klinis perdarahan ini sukar ditemukan, walaupun
dengan sarana penunjang alat penatahan kepala, umumnya
ditemukan pada pemeriksan autopsi. Angka kejadian pada bayi
kurang bulan dengan masa gestasi kurang dari 32 minggu atau berat
lahir kurang dari 1500 g berkisar antara 15-25%. Angka kejadian
pada pemeriksaan autopsi ini terlihat lebih tinggi bila dibandingkan
dengan hasil pemeriksaan klinis dengan penatahan kepala.

Diagnosis

Diagnosis perdarahan ini berdasarkan gambaran klinis serta


riwayat kesukaran pada kelahiran letak sungsang, tarikan forsep,
atau keduanya, dan adanya riwayat hipoksia. Gejala dapat timbul
pada hari pertama atau kedua setelah lahir, bahkan setelah umur tiga
minggu. Gejala neurologik yang dijumpai umumnya berupa gejala
kompresi batang otak, terutama serangan apnea atau iregularitas
pernapasan. Kadang disertai bradikardi, obstruksi aliran cairan
serebrospinal disertai kenaikan tekanan intrakranial, ubun-ubun
menonjol, dan sutura melebar. Pada pemeriksaan USG kepada
terlihat pembesaran ventrikel.

d. Perdarahan periventrikular-intraventrikular (PPV-IV)

Matriks germinal subependimal merupakan daerah dengan


vaskularisasi tinggi karena berbatasan dengan daerah ventrikel otak
yang ada sampai kira-kira usia kehamilan 35 minggu. Jenis
perdarahan ini merupakan salah satu perdarahan intrakranial yang
sering ditemukan pada bayi kurang bulan. Kejadian PPV-IV pada
bayi cukup bulan lebih jarang terjadi bila dibandingkan dengan bayi
prematur atau kurang bulan. Pada bayi cukup bulan, perdarahan yang
terjadi sebagian besar berasal dari perdarahan pleksus koroid, hanya
sebagian kecil berasal dari matriks germinal subependimal.

Faktor resiko

Faktor intravaskular, terdiri atas fluktuasi aliran darah


serebral, peningkatan aliran darah serebral, peninggian tekanan
vena serebral, penurunan aliran darah serebral yang diikuti perfusi,
kelainan sistem pembekuan, dan kelainan trombosit.

Faktor vaskular, terdiri atas kelemahan integritas vaskular


dan kerentanan kapiler matriks terhadap trauma hipoksik-iskemik.

Faktor ekstravaskuler terdiri atas kelemahan sistem


penyangga vaskular, aktifitas fibrinolitik pada bayi premature, dan
penurunan tekanan jaringan ekstravaskular.

Gejala klinis

Tergantung dari berat ringannya perdarahan, gejala klinis


PPV-IV yang timbul dapat dibagi dalam tiga kumpulan gejala atau
sindrom, yaitu :

Sindrom perburukan katastrofik, pada keadaan ini terlihat


perburukan terjadi cepat yang ditandai antara lain dengan penurunan
kesadaran menjadi sopor atau koma, gangguan respirasi, kejang
tonik umum, posisi deserebrasi, refleks cahaya negatif, reflek
vestibular negatif, ubun-ubun besar menonjol, hipotensi, bradikardia,
asidosis metabolic dan kelainan homeostasis.
Sindrom perburukan saltatorik, terlihat gejala penurunan
kesadaran, gerakan berkurang, hipotonia, perubahan gerak dan bola
mata serta dapat disertai gangguan nafas. Perburukan klinis dapat
bertahap dalam beberapa hari.

Gambaran klinis tenang, pada kejadian ini secara klinis tidak


dijumpai kelainan neurologik yang berarti walaupun gambaran
radiologik-ultrasonografi menunjukkan adanya PPV-IV.

Diagnosis

Diagnosis berdasarkan kemampuan untuk mengenal


kemungkinan terjadinya PPV-IV, yaitu dengan cara mengenal kasus
risiko untuk timbulnya perdarahan. Risiko tersebut antara lain adalah
bayi kurang bulan, bayi dengan berat lahir kurang dari 1500 gram,
persalinan sulit, dan nilai Apgar rendah. Bila tidak ada sarana USG,
maka dapat dilakukan pungsi lumbal yang menunjukkan cairan
serebrospinal yang berwarna xantokrom. Pemeriksaan USG secara
serial akan dapat mengetahui awal terjadinya perdarahan, sekaligus
untuk memantau perkembangan proses perdarahan.

3. Etiologi
a. Trauma kelahiran
1. partus biasa
pemutaran/penarikan kepala yang berlebihan serta disproporsi
antara kepala anak dan jalan lahir sehingga terjadi molase yang
dapat memicu terjadinya perdarahan.
2. partus buatan (ekstraksi vakum, forsep, cunam)
Pada penggunaan ekstraksi vakum, terjadi kompresi negatif pada
kepala bayi di daerah fronto oksipital dan mengakibatkan
pemanjangan diameter fronto oksipital dari kepala bayi.
Akibatnya, terjadi renggangan yang berlebihan dengan tendensi
laserasi tentorium atau falks serebri, rupturnya vena Galen, sinus
strait, sinus sagitalis inferior, sobeknya ateri - vena meningia
media dan vena superfisial serebri serta rupturnya bridging veins
di subaraknoid. Ruptur pada salah satu pembuluh darah ini akan
mengakibatkan perdarahan intrakranial. Perdarahan intrakranial
sering terjadi apabila lamanya teraksi lebih dari 10 menit 12 dan
frekuensi lepasnya cup ekstraktor sebanyak lima kali atau lebih.
b. Bukan trauma kelahiran
Pada umumnya ditemukan pada bayi kurang bulan. Faktor dasar
ialah prematuritas dan yang lain merupakan faktor pencetus
perdarahan intrakranial seperti hipoksia dan iskemia otak yang dapat
timbul pada syok, infeksi intrauterin, asfiksia, kejang-kejang,
kelainan jantung bawaan, hipotermin serta
hiperosmolalitas/hipernatremia. Ada pula perdarahan intrakranial
yang disebabkan oleh penyakit perdarahan/gangguan pembekuan
darah.
4. Manifestasi klinik

Berikut ini adalah tanda dan gejala yang dapat ditemukan pada
neonatus yang mengalami perdarahan intrakranial.

a. Muntah
b. Sakit kepala
c. Diplopia
d. Papil edema
e. Pembesaran lingkar kepala
f. Ubun ubun besar membonjol
g. Trias Cushing :bradikardi, hipertensi, pernafasan ireguler.
h. Herniasi otak
5. Insidensi dan prognosis
Dilaporkan angka berbeda-beda tentang insidensi perdarahan
intrakranial neonatus. Bayi yang premature dan persalinan lama
menunjukan insiden perdarahan intracranial lebih sering terjadi. Angka
kematian perdarahan intrakranial pada bayi prematur 5 kali lebih tinggi
daripada bayi cukup bulan. Prognosis perdarahan intrakranial neonatus
bergantung pada lokasi dan luasnya perdarahan, cepatnya penegakan
diagnosa yang tepat dan penanganan medis. perdarahan intrakranial dapat
meningkatkan tekanan intrakranial dan kompresi batang otak jika tidak
segera mendapat pertolongan hingga neonatus dapat meninggal hanya
dalam beberapa jam. Pada neonatus yang bertahan hidup beberapa
dijumpai dengan, palpsi serebral spastik, retardasi mental, spastik
hemiplegia, atau hidrosefalus.
6. Patofisiologi
Pada trauma kelahiran, perdarahan terjadi oleh kerusakan/
robekan pembuluh - pembuluh darah intrakranial secara langsung. Pada
perdarahan yang bukan karena trauma kelahiran, faktor penyebabnya
ialah prematuritas pada bayi-bayi tersebut, pembuluh darah otak masih
embrional dengan dinding tipis, jaringan penunjang sangat kurang dan
pada beberapa tempat tertentu jalannya berkelok kelok, kadang - kadang
membentuk huruf U sehingga mudah sekali terjadi kerusakan bila ada
faktor - faktor pencetus (hipoksia/iskemia). Keadaan ini terutama terjadi
pada perdarahan intraventrikuler/periventrikuler.
Perdarahan epidural/ ekstradural terjadi oleh robekan arteri atau
vena meningika media antara tulang tengkorak dan duramater. Keadaan
ini jarang ditemukan pada neonatus. Tetapi perdarahan subdural
merupakan jenis perdarahan intrakranial yang banyak dijumpai pada bayi
cukup bulan. Di sini perdarahan terjadi akibat pecahnya vena-vena
kortikal yang menghubungkan rongga subdural dengan sinus-sinus pada
duramater. Perdarahan subdural lebih sering pada bayi cukup bulan
daripada bayi kurang bulan sebab pada bayi kurang bulan vena-vena
superfisial belum berkembang baik dan mulase tulang tengkorak sangat
jarang terjadi. Perdarahan dapat berlangsung perlahan-lahan dan
membentuk hematoma subdural. Pada robekan tentorium serebeli atau
vena galena dapat terjadi hematoma retroserebeler. Gejala-gejala dapat
timbul segera dapat sampai berminggu-minggu, memberikan gejala -
gejala kenaikan tekanan intrakranial. Dengan kemajuan dalam bidang
obstetri, insidensi perdarahan subdural sudah sangat menurun.
Pada perdarahan subaraknoid, perdarahan terjadi di rongga
subaraknoid yang biasanya ditemukan pada persalinan sulit. Adanya
perdarahan subaraknoid dapat dibuktikan dengan fungsi likuor.
Pada perdarahan intraserebral/intraserebeler, perdarahan terjadi
dalam parenkim otak, jarang pada neonatus karena hanya terdapat pada
trauma kepala yang sangat hebat (kecelakaan).
Dari semua jenis perdarahan intrakranial, perdarahan
periventrikuler memegang peranan penting, karena frekuensi dan
mortalitasnya tinggi pada bayi prematur. Sekitar 75-90% perdarahan
periventrikuler berasal dari jaringan subependimal germinal
matriks/jaringan embrional di sekitar ventrikel lateral. Pada perdarahan
intraventrikuler, yang berperanan penting ialah hipoksia yang
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otak dan kongesti vena.
Bertambahnya aliran darah ini, meninggikan tekanan pembuluh darah
otak yang diteruskan ke daerah anyaman kapiler sehingga mudah ruptur.
Selain hipoksia, hiperosmolaritas pula dapat menyebabkan perdarahan
intraventrikuler. Hiperosmolaritas antara lain terjadi karena
hipernatremia akibat pemberian natrium bikarbonat yang
berlebihan/plasma ekspander. Keadaan ini dapat meninggikan tekanan
darah otak yang diteruskan ke kapiler sehingga dapat pecah.
Perdarahan ini berhubungan dengan luasnya kerusakan jaringan
otak. Massa perdarahan menyebabkan destruksi dan kompresi langsung
terhadap jaringan otak sekitarnya.Volume perdarahan menyebabkan
tekanan dalam otak meninggi dan mempunyai efek terhadap perfusi
jaringan otak serta drainage pembuluh darah. Perubahan pembuluh darah
ini lebih nyata/berat pada daerah perdarahan karena efek mekanik
langsung, menyebabkan iskhemik dan jeleknya perfusi sehingga terjadi
kerusakan sel-sel otak. Volume perdarahan merupakan hal yang paling
menentukan dari hasil. Akhirnya hal lain yang paling menentukan yaitu
status neurologis dan volume darah didalam ventrikel.

B. PATHWAY
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan likuor terutama untuk perdarahan subaraknoid dan
intraventrikuler/periventrikuler. Pada pemeriksaan likuor dapat
dijumpai tekanan yang meninggi, warna merah/santokrom, kadar
protein meninggi, kadar glukosa menurun. Bila cairan likuor berwarna
merah/santokrom berarti terdapat beberapa ribu sel darah merah/mm3
maka dianjurkan CT scan untuk mengetahui lokasi dan luasnya
perdarahan.
2. Pemeriksaan darah dapat ditemukan tanda-tanda anemi
posthemoragik, analisa gas darah, gangguan pembekuan darah karena
rendahnya fibrinogen, trombosit, atau antitrombin terutama pada
perdarahan intrakranial neonatus non traumatik. Namun faktor-faktor
ini akan menjadi normal bila keadaan bayi membaik.
3. Foto kepala tidak dapat menunjukkan adanya perdarahan, hanya
fraktur yang sukar dibedakan dengan sutura, lipatan-lipatan kulit
kepala dan molase.
4. Pemeriksaan ultrasonograf (USG) kerap kali digunakan untuk
menentukan derajat perdarahan intraventrikuler sebagai berikut:
- Derajat 0 : tidak ada perdarahan intrakranial
- Derajat I : perdarahan hanya terbatas pada daerah sub ependimal
- Derajat II : perdarahan intraventrikuler
- Derajat III: perdarahan intraventikuler hingga terjadi dilatasi
ventrikel
- Derajat IV: perdarahan intraventrikuler hingga terjadi dilatasi
ventrikel dengan perluasan ke parenkim otak
5. Pemeriksaan computerized tomography (CT scan) dapat digunakan
untuk mengetahui lokasi dan luasnya perdarahan intrakranial pada
semua jenis perdarahan intrakranial neonatus. Pada CT Scan
tampak daerah hipodensity disekitar hematome, ini disebabkan karena
extravasasi serum dari hematome tersebut. Sementara itu MRI dapat
digunakan untuk menentukan umur perdarahan dan akhibat
perdarahan terhadap proses melinisasi otak.
D. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pengkajian dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik
maupun penunjang untuk mendapatkan data secara lengkap atas keadaan
klien.

1. Identitas
Identitas sangat diperlukan dalam dokumentasi, karena sebelum
melakukan segala bentuk tindakan medis termasuk tindakan
keperawatan perlu dipastikan kembali identitas klien agar tidak terjadi
kesalahan. Karena klien adalah neonatus maka identitas orang tua atau
penanggungjawab juga perlu dicantumkan.

2. Riwayat Keperawatan
a. Keluhan utama.
b. Riwayat penyakit sekarang
c. Riwayat persalinan sekarang.
riwayat penyakit menular seksual, riwayat perawatan antenatal,
riwayat persalinan seperti ada/tidaknya ketuban pecah dini, partus
lama atau sangat cepat (partus presipitatus).
d. Riwayat persalinan dahulu.
e. Riwayat kesehatan keluarga.
f. Riwayat kesehatan lingkungan.
g. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.
h. Imunisasi.
3. Pengkajian fisik
a. Kesadaran dan keadaan umum
Adanya gangguan kesadaran antara lain apati, somnolen, sopor
atau bahkan koma. Biasanya neonatus tidak mau minum,
menangis lemah dan merintih (cephalic cry).
Nilai tertinggi dari pemeriksaan GCS adalah 15 dan terendah
adalah 3. Berdasarkan nilai GCS, cedera kepala dapat dibagi atas:
- Cedera kepala ringan (mild head injury) GCS 14-15
- Cedera kepala sedang (moderate head injury) GCS 9-13
- Cedera kepala berat (severe head injury) GCS ≤ 8
Respons Mata ≥ 1 tahun 0-1 tahun
4 Membuka mata dengan spontan Membuka mata dengan spontan
3 Membuka mata oleh perintah Membuka mata oleh perintah
2 Membuka mata oleh nyeri Membuka mata oleh nyeri
1 Tidak membuka mata Tidak membuka mata
Respons Motorik ≥ 1 tahun 0-1 tahun
6 Mengikuti perintah Belum dapat dinilai
5 Melokalisasi nyeri Melokalisasi nyeri
4 Menghindari nyeri Menghindari nyeri
3 Fleksi abnormal (decortikasi) Fleksi abnormal (decortikasi)
2 Ekstensi abnormal (deserebrasi) Ekstensi abnormal (deserebrasi)
1 Tidak ada respons Tidak ada respons
Respons Verbal 2-5 tahun 0-2 tahun
5 Menyebutkan kata-kata yang sesuai Menangis kuat

4 Menyebutkan kata-kata yang tidak Menangis lemah


sesuai
3 Menangis dan menjerit Kadang-kadang menangis/ menjerit
lemah
2 Mengeluarkan suara lemah Mengeluarkan suara lemah

1 Tidak ada respons Tidak ada respons

b. Tanda-tanda vital
Nadi fluktuatif dapat teraba lambat maupun cepat, serta kadang
disertai dengan hipotermi.
c. Head to toes
- Kulit
Turgor elastis, hiper/hipopigmentasi tidak ada, kulit pucat,
ikterus, tumor dan oedema tidak ditemukan.
- Kepala
Bentuk kepala relatif simertis, sutura belum menutup. Bentuk
tulang kepala cenderung melebar pipih pada tulng parietal (ship
shape). Teraba cephalhematoma dan atau caput succadeum,
moulage relatif. Fontanel tegang dan menonjol karena
peningkatan tekanan intrakranial
- Mata
Mata terbuka dan hanya memandang ke satu arah tanpa reaksi.
Pupil melebar, refleks cahaya lambat sampai negatif. Kadang-
kadang ditemukan perdarahan pada retina, nistagmus, dan
eksoftalmus.

- Hidung
Simetris, bersih, mungkin terlihat ada pernafasan cuping hidung.
- Telinga :
Simetris, bersih, tidak ada tanda radang telinga/mastoid.
Membrana timphani utuh.
- Mulut :
Bibir tidak cyanosis, mukosa mulut lembab, bibir tremor tidak
ditemukan, tonsil tidak membesar. Suara tangisan lemah namun
melengking. Gejala gerakan lidah menjulur keluar di sekitar
bibir biasanya menunjukkan perdarahan yang luas dengan
kerusakan pada korteks.
- Leher :
Tidak terdapat pembesaran kelenjar thiroid dan kelenjar
submandibular. Tidak ditemukan distensi vena jugularis.
- Thorax :
Inspeksi : Lingkar dada tidak membesar, bentuk simetris
Palpasi : Gerak dada simetris, taktil fremitus simetris.
Perkusi : Tidak ditemukan pekak abnormal
Auskultasi : Suara napas lapang paru vesikuler tanpa wheezing
dan ronchii. Suara jantung S1S2 tanpa split/ suara
jantung tambahan.
- Abdomen :
Inspeksi : tidak ada lesi, massa dan distensi vena abdominal
Auskultasi : bising usus terdengar
Palpasi : teraba supel
Perkusi : terdengar timpani, tidak ditemukan pekak
abnormal
- Ekstremitas
Bentuk simetris tanpa ada lesi/bekas lesi, tidak ditemukan
deformitas, krepitasi. Akral mungkin teraba dingin namun tidak
ada oedema pada ektremitas.
- Genital
Labia mayora sudah menutupi labia minora, simetris, tidak
terdapat pembesaran abnormal, tidak terdapat fimosis.
- Anus
Lubang anus ada, posisi simetris
- Refleks :
Reflek Moro: Reflek memeluk saat bayi dikejutkan dengan tangan
Sucking reflek: Reflek menghisap pada bayi

Grasping reflek: Reflek memegang pada bayi

Rooting reflek: Bayi menoleh saat tangan ditempelkan ke sisi pipi

4. Pemeriksaan diagnostik dan hasil.


Pemeriksaan laboratorium seperti likuor dan darah rutin perlu
dilakukan untuk menunjang penetapan diagnosis dan intervensi
keperawatan yang tepat.

E. INTERVENSI KEPERAWATAN DAN KOLABORASI


1. Pembatasan tindakan untuk mencegah cedera yang lebih parah.
2. Perawatan neonatus dalam ikubator dengan suhu ±33 untuk
mencegah hipotermi
3. Pemberian terapi O2 agar bayi tidak mengalami asfiksia dan hipoksia.
Serta menjaga patensi jalan napas apalagi jika neonatus dalam keadaan
koma maka diposisikan lateral untuk mencegah aspirasi serta
penyumbatan laring oleh lidah dan kepala ditinggikan untuk
mengurangi tekanan vena cerebral.
4. Observasi tingkat kesadaran, reaksi dan besarnya pupil, aktivitas
motorik, frekuensi pernapasan, denyut nadi, suhu tubuh dan diuresis.
Diuresis kurang dari 1ml/kg BB/jam menunjukkan penurunan fungsi
ginjal sementara diuresis lebih dari nilai tersebut menunjukkan fungsi
ginjal tidak mengalami gangguan.
5. Pemberian cairan parenteral untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan
elektrolit neonatus berupa larutan glukosa 5-10%, NaCl 0.9%, atau
glukosa 5% dan Nabik 1.5% dengan perbandingan 4:1.
6. Pemberian terapi obat sesuai dosis yang dianjurkan
- Kortikosteroid seperti dexametason untuk anti inflamasi dan
immuneregulator
- Antibiotik berupa cephalosporin seperti ceftriaxone atau
aminoglikosida seperti gentamicin untuk mencegah infeksi
patogen maupun bakteri gram positif atau negatif
- Valium atau luminal bila ada kejang, dosis pemberian valium 0.3-
0.5mg/kgBB jika dalam 15 menit kejang belum berhenti ulangi
dosis yang sama, jika kejang berhenti berikan luminal
10mg/kgBB. 4 jam kemudian berikan luminal 8mg/kgBB/12jam
dalam 2 hari, selanjutnya 4mg/kgBB/12jam.
7. Prosedur pungsi lumbal dilakukan untuk menurunkan tekanan
intrakranial, mengeluarkan darah, mencegah terjadinya obstruksi aliran
likuor dan mengurangi efek iritasi pada permukaan korteks.
8. Tindakan bedah darurat
- Penatalaksanaan perdarahan subdural tindakan explorative
burrhole dilanjutkan dengan kraniotomi, pembukaan durameter,
evakuasi hematoma dengan irigasi menggunakan cairan garam
fisiologik.
- Penatalaksanaan perdarahan subaraknoid umumnya bersifat
simptomatik, misalnya pengobatan terhadap kejang atau
gangguan nafas. Selanjutnya perlu dilakukan observasi terhadap
kadar darah tepi dan sistem kardiovaskular serta kemungkinan
terjadinya hiperbilirubinemia. Selain itu perlu diawasi terhadap
kemungkinan terjadinya komplikasi hidrosefalus.
- Penatalaksanaan perdarahan intrasereberal umumnya sulit
dilakukan karena tidak mudah menegakkan diagnosis dini
perdarahan intraserebelar. Tindakan intervensi bedah hanya
dilakukan pada bayi cukup bulan bila dengan pengobatan
konservatif keadaan neurologik bayi tetap tidak menunjukkan
perbaikan. Pada bayi kurang bulan tindakan bedah akan
menghadapi masalah lebih sulit.
- Penatalaksanaan PPV-IV sering dilakukan shunt antara ventrikel
lateral dan atrium kanan karena sering terjadi obstruksi cairan
likuor.
F. DAFTAR PUSTAKA

Doenges, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3.
Jakarta: EGC.
Markum, AH.1999. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jilid II. Jakarta:
Gaya baru.
Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan klien dengan
gangguan sistem persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
IDAI. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Ed. I. Jakarta: PP
IDAI
Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan
Medical Bedah Brunner & Suddarth Ed. 8. Jakarta : EGC.
Snel, Ricard S. 2006. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran.
Jakarta : EGC
Tarwoto, Wartonah, Eros Siti Suryati. 2007. Keperawatan Medikal Bedah :
Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : CV. Sagung Seto.
Underwood, J. C. E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik. Vol 2. Jakarta :
EGC
Wiknjosastro H. 2010. Perdarahan pada neonatus, dalam Buku Ajar Ilmu
Kebidanan dan Kandungan. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Yayasan
bina pustaka sarwonohardjo.
Wong, Donna L. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Ed 4.
Jakarta: EGC
G. PATHWAY

Persalinan Deselerasi Partus


dengan tindakan kepala lama

trauma
kepala

trauma trauma jaringan


jaringan lunak serebral

Sutura belum cephalohematoma Perubahan cairan vasodilatasi


menutup intra dan ekstra sel
sempurna
suplai darah ke
daerah trauma
Risiko cedera Menekan jaringan
sekitar
Perdarahan
intrakranial

Tekanan
cairan
intrakranial
intrakranial

Sirkulasi
serebral

Gangguan
perfusi jaringan
serebral

Merangsang Hipoksia
hipotalamus jaringan
Produksi
ADH Pemberian
terapi oksigen

Retensi Na

Gangguan Pemberian cairan Risiko tinggi infeksi


keseimbangan parenteral intravena
elektrolit umbilikal
BAB III
PEMBAHASAN

A. ANALISA

Perdarahan intrakranial merupakan suatu kondisi yang


menyebabkan ketidakmampuan yang berat pada penderita dan
mempunyai tingkat mortality yang tinggi bila tidak dilakukan
penatalaksanaan yang cepat dan tepat. Penyebab utama dari perdarahan
intrakranial pada neonatus adalah trauma. Faktro predisposisi yang dapat
meningkatkan kejadian perdarahan intrakranial diantaranya bayi
premature, presipitatus, persalinan sulit atau persalinan lama dimana
terjadi molase yang begitu kuat pada kepala, persalinan dengan alat
(vakum atau forcep), disproporsi cepalopelvik, presentasi abnormal.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa setiap jenis
perdarahan intrakranial memiliki karakteristik dan tanda gejala khas
masing-masing. Meskipin demikian secara fisiologis ruang di dalam
tulang tengkorak sangat terbatas, sehingga perdarahan jenis apapun akan
menyebabkan bertambahnya tekanan intrakranial. Hingga akhirnya
perdarahan tersebut akan menimbulkan kerusakan pada sel-sel otak dan
menyebabkan kompresi batang otak. Maka dari itu tindakan dekompresi
dan evakuasi hematoma adalah penanganan yang paling efektif untuk
mengurangi massa abnormal dalam rongga intrakranial sehingga
memungkinkan terjadinya perbaikan.
Pada kasus ini bayi Y mengalami perdarahan intrakranial dengan
tanda-tanda kepala mengalami pembesaran, kepala teraba lunak, fontanel
menonjol, sutura belum menutup dan melebar, selain itu pernapasan juga
melambat, kulit pucat dan kesadaran letargis yang muncul pada hari
kedua post natal. Riwayat persalinan lama sehingga harus dilakukan
ekstraksi vakum kemungkinan besar menjadi penyebab terjadinya
perdarahan intrakranial pada klien, mengingat faktor-faktor lain yang
menyebabkan perdarahan intrakranial seperti gangguan pembekuan
darah, syok, infeksi intrauterin, asfiksia, kelainan jantung bawaan,
kelahiran preterm, bayi dengan berat badan lahir rendah, persalinan sulit
maupun apgar score rendah ternyata tidak ditemukan pada klien.
Berdasarkan pemeriksaan darah ditemukan kadar hemoglobin,
hematokrit, eritrosit yang berada dibawah rentang nilai normal,
disamping itu jumlah leukosit darah di atas rentang nilai normal. Hal ini
dapat diartikan klien mengalami anemia posthemoragik dan berisiko
terjadi infeksi. Maka dari itu dilakukan transfusi darah PRC (package red
cell) yang sebagian besar mengandung eritrosit namun masih
mengandung sedikit leukosit dan trombosit untuk mencegah kegawatan
karena anemia. Selain itu tindakan kolaborasi yang dilakukan adalah
pemberian terapi obat antara lain: antibiotik (ceftriaxon, gentamicin);
koagulasia (phytomenadione, transamin); antikonvulsi (phenobarbital);
cerebral activator (soholin); diuretik (lasix, furosemide), terapi oksigen
melalui nasal kanul sebanyak 1 liter, terapi cairan parenteral NaCl atau
D5, dan fototerapi 2x 6jam jika didapati ikterus pada klien.
Tindakan keperawatan yang diterapakan pada bayi Y antara lain
pemantauan tanda-tanda vital (nadi, suhu, dan pernapasan), monitor
intake dan output cairan, penilaian kesadaran, modifikasi lingkungan
yang aman dan nyaman (inkubator bersuhu 33.0 ), menjaga sterilitas
prosedur invasif, dan seterusnya. Semua tindakan tersebut bertujuan
untuk memaksimalkan perfusi serebral, pengaturan fungsi secara
optimal/ mengembalikan ke fungsi normal, mencegah komplikasi seperti
cedera dan infeksi, serta pemberian informasi tentang proses penyakit,
prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi kepada keluarga.
Pemeriksaan penunjang CT scan dan MRI seharusnya
dilakukan agar diagnosa perdarahan intrakranial yang lebih spesifik pada
lokasi perdarahan, akan tetapi sarana ini tidak tersedia sehingga
seharusnya klien dirujuk ke fasilitas pengobatan yang lebih memadahi.
Meskipun telah dilakukan motivasi kepada keluarga agar klien
mendapatkan penanganan yang lebih lanjut namun keluarga menolak
karena berbagai pertimbangan dan keterbatasan. Sehingga perawatan
klien saat ini difokuskan agar tidak terjadi komplikasi dan cedera.
B. EVALUASI
Tindakan keperawatan terhadap By Y dengan perdarahan
intrakranial telah dilakukan selama 3x24 jam. Dalam perjalanannya tidak
semua masalah keperawatan yang ada pada klien dapat diatasi dengan
tuntas. Bahkan ada komplikasi yang muncul yaitu peningkatan bilirubin
(hiperbilirubinemia) sehingga memerlukan tindakan kolaborasi berupa
fototerapi semenjak klien terlihat ikterik. Meskipun demikian setelah
dilakukan fototerapi masalah dapat teratasi setelah dilakukan fototerapi
selama 2 kali 6 jam dalam kurun waktu 2 hari. Pemantauan juga harus
selalu dilakukan mengingat kondisi klien yang masih belum stabil dan bisa
terjadi komplikasi sewaktu-waktu.
Saat melakukan tindakan keperawatan pada klien juga harus
memperhatikan faktor keamanan, mengingat klien mengalami trauma pada
kepala sehingga klien tidak boleh diangkat-angkat dan berhati-hati. Selain
itu sebelum dan sesudah melakukan kontak dengan klien juga harus
mencuci tangan agar tidak terjadi infeksi nosokomial.

Anda mungkin juga menyukai