Anda di halaman 1dari 18

KASUS MEDIK

SPONDILITIS TUBERKULOSA

Disusun sebagai syarat kelengkapan program dokter internship


Oleh :
dr. Valian Indriany

Pembimbing :
dr. Antonius Gatot Subroto Sp.S

Pendamping :
dr. Wiji Kusbiyah
dr. M. Kartikanuddin

RSUD dr. Soedomo Trenggalek


Kabupaten Trenggalek Provinsi Jawa Timur
2017
Portfolio

Nama Peserta : dr. Valian Indriany


Nama Wahana : RSUD dr. SoedomoTrenggalek
Topik : Spondilitis Tuberculosa
Nama Pasien : Sdr. RA No. RM : 373080
Pembimbing : dr. Antonius Gatot
Tanggal Presentasi : -
Subroto Sp.S
Pendamping : dr. Wiji Kusbiyah
Tempat Presentasi : RSUD dr. Soedomo Trenggalek dr. M.
Kartikanuddin
Obyektif Presentasi :
o Keilmuan
 o Ketrampilan o Penyegaran 
o TinjauanPustaka
o Diagnostik


o Manajemen 
o Masalah o Istimewa
o Neonatus o Bayi o Anak o Remaja  o Dewasa o Lansia o Bumil
o Deskripsi :
Nyeri menjalar di kedua kaki disertai benjolan di punggung
o Tujuan :
Mengetahui aspek medis penyakit
o Tinjauan
BahanBahasan:  o Riset

o Kasus o Audit
Pustaka
Cara o Diskusi
Membahas: o PresentasiKasus o Email o Pos

Data Pasien: Nama : Sdr. RA No. Registrasi : 373080


Tanggal masuk RS : 15/11/2017
Nama RS : RSUD dr. Soedomo
Telepon : Tanggal keluar RS : 20/11/2017
Trenggalek
Status : Membaik
Anamnesa:
Pasien mengeluh muncul benjolan di punggung sejak 2 bulan yang lalu. Benjolan awalnya
kecil, lama-kelamaan semakin membesar. Pasien mengaku benjolan yang muncul tersebut
tidak terasa nyeri, tidak mengeluarkan nanah maupun darah, tidak tampak kemerahan dan tidak
pernah pecah. Hanya saja semenjak munculnya benjolan nafsu makan dan berat badan pasien
mulai berkurang. Pasien mengaku tidak merasa sakit di punggung, tidak pernah merasa lemas
pada tungkai, dan tidak ada gangguan dalam berjalan.
Lalu 1 bulan yang lalu pasien mulai mengeluh nyeri yang menjalar ke kedua kaki namun
pasien masih bias berjalan. Nyeri dirasa semakin lama semakin berat dan muai menganggu
aktivitas pasien. Benjolan terasa nyeri jika di tekan, dan terasa nyeri jika pasien berbaring.
Pasien mengaku pasien tidak menderita batuk, pilek, maupun sesak nafas. Nafsu makan
pasien belum membaik. Mual atau muntah disangkal. BAB dan BAK normal.
1. Riwayat penyakit dahulu:
Pasien tidak pernah menderita penyakit yang sama sebelumnya. Riw.batuk, pilek dan demam
sering dirasakan selama setahun terakhir (-), sesak nafas (-), batuk lama (-), riwayat
pengobatan paru juga disangkal.
2. Riwayat kesehatan/penyakit :
Riwayat hipertensi (-), gangguan vaskular (-), diabetes melitus (-), jantung (-), ginjal (-), alergi
(-)
3. Riwayat keluarga :
Tidak ada keluarga pasien atau tetangga yang mengalami keluhan seperti pasien, namun
ibu pasien mengaku kakek pasien yang tinggal serumah dengan pasien menderita penyakit
batuk lama lebih dari sebulan, namun tidak pernah minum obat selama 6 bulan. Kakek pasien
sering dibawa ke Puskesmas namun hanya diberi obat batuk biasa. Di dalam keluarga dan
lingkungan sekitar tempat tinggal pasien tidak ada yang menderita penyakit TBC. Riwayat
sesak nafas dalam keluarga (-).
4. Lain-lain :
PEMERIKSAAN FISIK DI IGD:
KU : Sedang
Kes : CM
TD : 100/60 mmHg
RR : 24x/menit, tipe : torakoabdominal
Nadi : 100 x/menit, teratur, isi cukup.
T ax : 36,5 oC.
CRT : < 3 detik
 Keadaan gizi : cukup
 Warna kulit : sawo matang
 Turgor : menurun

A. Kepala:
• Bentuk : bulat, Ukuran: normocephali, Kelainan yang ada: (-), Ubun-ubun besar :
tertutup, rambut jarang dan mudah putus (-).
• Mata : An -/-, ikt -/-, RP (+), Isokor ukuran 3 mm/3 mm, Edema palpebra -/-
• Mulut : Bibir sianosis (-), bibir kering (-), kelainan bawaan (-)
• Telinga : sekret (-), serumen (+),
• Hidung : Napas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
• Tenggorok : Faring hiperemia (-), pembesaran tonsil (-)
• Leher : Kaku kuduk (-), pembesaran kelenjar (+), jumlah satu, ukuran 1 x 1 cm,
nyeri tekan (-),
Thorax :
• Inspeksi : Retraksi(-), pergerakan dinding dada simetris, deformitas(-), iga gambang
(+)
• Palpasi : Fremitus vokal N (simetris kanan-kiri). Palpasi ictus cordis pada ICS 4
linea midclavicula sinistra.
• Perkusi : Pulmo: sonor pada seluruh lapang paru.
Cor : batas kiri ICS 3-4 linea parasternal kiri. Batas kanan sulit dievaluasi.

• Auskultasi : Pulmo : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-


Cor : S1S2, tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
• Inspeksi : Distensi (-), massa (-), tampak scar bekas scrofuloderma di regio inguinal
kanan (+), proporsi perut lebih besar daripada pinggul dan paha, bantalan bokong tipis,
baggy pants (-), perut cekung (-).
• Auskultasi : BU (+) N
• Perkusi : Timpani (+)
• Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar/lien/ren tidak teraba, pembesaran KGB
inguinal (+), multipel, ukuran 1 – 1,5 cm, nyeri (-).

Ekstermitas :
Tungkai Atas Tungkai bawah
Kanan Kiri Kanan Kiri
Akral dingin - - - -
Edema - - - -
Kelainan bentuk - - - -
Kekuatan 5 5 5 5
Refleks fisiologis + + + +
Reflesk patologis - - - -

Pemeriksaan Neurologis
Sensorium : Compos Mentis
Tanda perangsangan meningeal :
kaku kuduk ( - ), kernig sign (-),bruzdinski I/II ( - )
Tanda peninggian TIK :
Sakit kepala ( - ), kejang ( - ), muntah ( - )
Nervus Kranialis :
N I : Normosmia
N II, III : Pupil isokor Ø 3 mm, RC ( +/+)
N III, IV, VI : Gerakan bola mata : normal
N V : Motorik dan sensorik tidak dijumpai kelainan
N VII : Sudut mulut simetris
N VIII : Pendengaran baik
N IX, X : Uvula medial, arkus faring terangkat simetris
N XI : Mengangkat kedua bahu simetris
N XII : Lidah istirahat dan dijulurkan medial
Sistim Motorik :
Trofi : eutrofi
Tonus : normotonus
Kekuatan otot : ESD : 55555 ESS : 55555
55555 55555
EID : 55555 EIS : 55555
55555 55555
Refleks Fisiologis : kanan kiri
Biceps/Triceps : ++/+ ++/++
KPR / APR : ++/++ ++/++
Refleks Patologis : (-) (-)
Sistim sensibilitas :
Eksteroseptif : dalam batas normal
Proprioseptif : dalam batas normal
Vegetatif :
Miksi : dalam batas normal
Defekasi : dalam batas normal
Perspirasi : anhidrosis setinggi medula spinalis servikalis 4 ke bawah
Vertebra : gerakan terbatas pada vertebra servikalis
Gejala Serebellar : tidak dijumpai
Gejala ekstrapiramidal : tidak dijumpai
Fungsi luhur : baik
Kulit :
Ikterus (-), pustula (-), Petekie (-), kulit tampak kering & keriput/muscle wasting (+).
Urogenital :
Tidak dievaluasi.

Vertebrae :
Skoliosis (-), perubahan postur (+), gibbus (+) pada vertebrae thoracal 10-12, ukuran 7 x
5 cm, sewarna dengan kulit sekitarnya, nyeri tekan (+), abses paravertebral (-).
PEMERIKSAAN LABORATORIUM (15/11/2017):
A. Darah Lengkap
HB : 11,1 g/dl
HCT : 33,3 %
WBC : 6.710/mm3
PLT : 462.000/mm3
MCV : 74,8 %
MCH : 24,9%
MCHC : 33,3 %

DIAGNOSA IGD
HNP

TERAPI DI IGD:
1. IVFD RL 20tpm
2. Inj. Ceftriaxone 2x2g (skin test)
3. Inj. Ranitidine 3x1 amp
4. Inj. Ketorolac 3x30mg
5. IVFD Metronidazole 3x500mg
6. ACC pindah ruangan

Follow up
Tanggal S O A P
16/11/2017 Demam (-), KU : baik Susp. Spondilitis 1. IVFD RL
20tpm
batuk (-), sesak Kes : CM TB
2. Inj.
(-), mual/muntah TD : 120/80mmHg Ceftriaxone
2x2g
(-), nafsu makan RR : 24 x/m
3. Inj.
baik, BAK N : 92 x/m Ranitidine
3x1 amp
Merah (+) K/L normal, an -/-,
4. Inj.
ikt -/-, pembesaran Ketorolac
3x30mg
KGB (+)
5. IVFD
Thorak : pergerakan Metronidazol
e 3x500mg
dada simetris,
retraksi (-), ves +/+
rh -/- wh -/-, s1s2
tunggal reg M (-) G
(-)
Abdomen : dist (-),
bekas scrofuloderma
(-), BU (+), NT (-)
Vertebrae : gibbus
(+) V.T 10-12
Ekstremitas akral
hangat +/+, edema -/-

Tanggal S O A P
17/11/2017 Demam (-), KU : baik Spondilitis TB+ 1. IVFD RL
20tpm
batuk (-), sesak Kes : CM Abses Thoracal
2. Inj.
(-), mual/muntah TD : 110/70 mmHg 10-12 Ceftriaxone
2x2g
(-), nafsu makan RR : 20 x/m
3. Inj.
baik, BAK N : 88 x/m Ranitidine
3x1 amp
Merah (+) K/L normal, an -/-,
4. Inj.
ikt -/-, pembesaran Ketorolac
3x30mg
KGB (+)
5. IVFD
Thorak : pergerakan Metronidazol
e 3x500mg
dada simetris,
6. OAT 1x3
retraksi (-), ves +/+
rh -/- wh -/-, s1s2
tunggal reg M (-) G
(-)
Abdomen : dist (-),
bekas scrofuloderma
(-), BU (+), NT (-)
Vertebrae : gibbus
(+) V.T 10-12
Ekstremitas akral
hangat +/+, edema -/-

Tanggal S O A P
20/11/2017 Demam (-), KU : baik Spondilitis TB+ 1. OAT 1x3
2. Ambroxol
batuk (-), sesak Kes : CM Abses Thoracal
3x30mg
(-), mual/muntah TD : 110/80 10-12 3. Teofilin
1x100mg
(-), nafsu makan RR : 22 x/m
4. Na diclofenac
baik, BAK N : 86 x/m 2 x 25mg
5. Roborantia 1x
Merah (+) K/L normal, an -/-,
1
ikt -/-, pembesaran 6. ACC KRS
KGB (+)
Thorak : pergerakan
dada simetris,
retraksi (-), ves +/+
rh -/- wh -/-, s1s2
tunggal reg M (-) G
(-)
Abdomen : dist (-),
bekas scrofuloderma
(-), BU (+), NT (-)
Vertebrae : gibbus
(+) V.T 10-12
Ekstremitas akral
hangat +/+, edema -/-
TINJAUAN PUSTAKA
Spondilitis TB
A. PENDAHULUAN
Di Indonesia, TB masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Sampai saat ini,
Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan Cina.
Diperkirakan terdapat 583.000 kasus baru tuberkulosis per tahun, sebagian besar berada dalarn
usia produktif (15-54 tahun), dengan tingkat sosioekonomi dan pendidikan yang rendah.
Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia.
Tuberkulosa (TB) adalah suatu penyakit menular yg dapat berakibat fatal dan dapat mempengaruhi
semua bagian tubuh. Hampir 10 % mengenai musculoskeletal, dan 50 % mempunyai lesi di tulang
belakang dengan disertai defisit neurologis pada 10 – 45 % penderita.
Kelumpuhan akan terjadi bila infeksi TBC mengenai Corpus Vertebra dan terjadi kompresi pada
medula spinalis. Bila terjadi dan menetap (irreversible) akan mengganggu dan membebani tidak
saja penderita sendiri, tetapi juga keluarga dan masyarakat.

B. ANATOMI VERTEBRA
Vertebra tipikal terdiri dari beberapa bagian, yaitu:
• Korpus vertebra, terletak di anterior, berfungsi untuk menjaga untuk menyangga berat badan.
• Arkus vertebra, terletak di posterior, menutup foramen vertebra. Di dalam foramina vertebral
terdapat kanal vertebral tempat medula spinalis. Fungsi dari arkus vertebra untuk melindungi
medulla spinalis. Arkus vertebra terdiri dari dua pedikel melingkar, satu dari korpus, dan dua plat
datar yang disebut laminae yang menyatu di garis tengah posterior.
• Tiga prosesus, dua transversus dan satu spinosus, merupakan tempat perlekatan otot dan
membantu pergerakan vertebra.
• Empat prosesus artikularis, dua superior dan dua inferior, masing-masing mempunyai articular
facet. Prosesus artikularis terproyeksi ke superior dan inferior dari arkus vertebra. Arah dari
artikular facet menentukan pergerakan alami dari vertebra dan mencegah vertebra terjatuh ke
anterior.

C. ETIOLOGI
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain
di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3
dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Kuman ini berbentuk batang,
mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula
sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi
dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh
kuman ini dapat dorman, tertidur lama selama beberapa tahun.

C. PATOFISIOLOGI
Spondilitis tuberkulosis terjadi melalui penyebaran hematogen dari fokus infeksi primer
seperti paru-paru, kelenjar limfe mediastinum, mesenterium, servikal, ginjal dan alat-alat dalam
lainnya. Kuman mencapai vertebra melalui Batson’s plexus of paravertebral veins.
Menurut Gilroy dan Meyer (1979), abses tuberkulosis biasanya terdapat pada daerah vertebra
torakalis atas dan tengah, tetapi menurut Bedbrook (1981) paling sering pada vertebra torakalis 12.
Tiksnadi dkk (2008) meneliti bahwa lokasi spondilitis TB terbanyak adalah di vertebral torakal
sekitar 53%.2 Dan bila dipisahkan antara yang menderita paraplegia dan nonparaplegia maka
paraplegia biasanya pada vertebra torakalis 10, sedangkan yang non paraplegia pada vertebra
lumbalis. Penjelasan mengenai hal ini sebagai berikut : arteri induk yang mempengaruhi medulla
spinalis segmen torakal paling sering terdapat pada vertebra torakal 8-lumbal 3 sisi kiri. Trombosis
arteri yang vital ini akan menyebabkan paraplegia. Faktor lain yang perlu diperhitungkan adalah
diameter relatif antara medulla spinalis dengan kanalis vertebralisnya. Intumesensia lumbalis
mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakalis 10, sedang kanalis vertebralis di daerah tersebut
relative kecil. Pada vertebra lumbalis 1, kanalis vertebralisnya jelas lebih besar oleh karena itu
lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior. Hal ini mungkin dapat
menjelaskan mengapa paraplegia lebih sering terjadi pada lesi setinggi vertebra torakal 10.

Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit Pott terjadi melalui kombinasi 4 faktor yaitu :
1. Penekanan oleh abses dingin
2. Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis
3. Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya
4. Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak

Spondilitis korpus vertebra dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu sentral, anterior, dan paradiskus.
1. Spondilitis bentuk sentral
Pada bentuk ini destruksi awal terletak di sentral korpus vertebra. Bentuk ini sering ditemukan
pada anak. Penyakit ini sering dikaitkan dengan meningitis tuberkulosa karena penyebarannya
melalui pleksus Batson. Pada bentuk sentral akan terjadi osteoporosis dan destruksi hingga dapat
terjadi kompresi vertebra. Kompresi vertebra bisa spontan, atau akibat jatuh yang ringan sehingga
mungkin salah didiagnosis sebagai patah tulang kompresi traumatik. Bila terjadi kompresi, pada
pemeriksaan klinis didapati gibus.

2. Spondilitis bentuk anterior


Lokus awal berada di korpus vertebra bagian anterior dan merupakan penjalaran perkontinuitatum
dari vertebra di atasnya.

3. Spondilitis bentuk paradiskus.


Terletak di bagian korpus vertebra yang bersebelahan dengan diskus intervertebralis. Bentuk ini
sering ditemukan pada orang dewasa. Bentuk paradiscal yang disertai destruksi korpus vertebra
yang bersebelahan dengan diskus akan mengakibatkan iskemia sehingga terjadi nekrosis diskus.
Pada gambaran rontgen terdapat penyempitan diskus intervertebra. Bila proses terus berlanjut
terjadi osteoporosis dan penyebaran keseluruh korpus vertebra sehingga timbul kompresi vertebra
dan terjadi gibus.
Reaksi yang pertama kali terjadi setelah adanya infeksi tuberkulosis terjadi pada sistem
RES (reticulo-endothelial system) korpus vertebra berupa penimbunan sel-sel PMN yang segera
digantikan oleh makrofag dan monosit. Lipid yang dihasilkan oleh proses fagositosis basil
tuberkulosis oleh makrofag pada akhirnya akan dikeluarkan melalui sitoplasma makrofag tersebut
dan membentuk sel-sel epiteloid. Sel-sel epiteloid inilah yang memberikan gambaran spesifik
reaksi tubuh terhadap infeksi basil tuberkulosis. Kumpulan sel-sel epiteloid disebut sel datia
langhans yang hanya terjadi jika ada nekrosis perkijuan. Fungsi utama sel datia langhans ini adalah
mencerna dan membuang jaringan nekrosis.
Dalam waktu sekitar 1 (satu) minggu limfosit muncul dan membentuk cincin yang
mengelilingi lesi. Kumpulan sel-sel epiteloid, sel datia langhans, dan limfosit ini membentuk suatu
nodul yang disebut tuberkel. Pada minggu kedua mulai terjadi perkijuan di sentral tuberkel
tersebut.
Reaksi eksudatif pada korpus vertebra berupa abses dingin yang terdiri dari serum, lekosit,
jaringan perkijuan, debris tulang dan basil tuberkel. Abses ini dapat melakukan penetrasi dan
menyebar ke berbagai arah.
Proses selanjutnya ditandai dengan hiperemi dan osteoporosis berat. Kerusakan vertebral terjadi
akibat proses osteolisis, mengakibatkan perlunakan korpus sehingga memungkinkan terjadinya
kompresi tulang.
Selanjutnya akan terbentuk nekrosis yang lebih banyak berupa abses dan debris. Abses dan
debris makin banyak dan akan keluar dari vertebra mencari lokasi dengan tahanan paling lemah.
Di vertebra lumbal abses akan turun ke bawah melalui sela aponeurosis otot psoas dan berhenti di
retroperitoneal yang teraba pada palpasi abdomen.
Abses bisa berkumpul dan mendesak ke arah belakang sehingga menekan medula spinalis dan
mengakibatkan paraplegia Pott yang disebut paraplegia awal. Paraplegia awal selain karena
tekanan abses dapat juga disebabkan oleh kerusakan medula spinalis akibat gangguan vaskuler.
Keadaan ini sangat jarang ditemukan pada tuberkulosis karena proses kronik menyebabkan
terbentuknya pembuluh darah kolateral. Paraplegia dapat juga disebabkan akibat regangan terus
menerus pada gibus yang disebut paraplegia lanjut.
Abses dingin di daerah torakal dapat menembus rongga pleura sehingga terjadi abses
pleura, atau bahkan ke paru bila ada perlekatan paru. Di daerah servikal, abses dapat menembus
dan berkumpul diantara vertebra dan faring.
Spondilitis tuberkulosis merupakan fokus sekunder infeksi tuberkulosis dengan penyebaran
sebagian besar secara hematogen melalui pembuluh darah arteri epifiseal atau melalui plexus vena
Batson. Telah ditemukan spondilitis tuberkulosis setelah instilasi BCG intravesical pada
karsinoma buli-buli. Fokus primer infeksi cenderung berbeda pada kelompok umur yang berbeda.
Banerjee melaporkan pada 499 penderita dengan spondilitis tuberkulosis, foto radiologisnya
memperlihatkan 31% fokus primer adalah paru-paru dan dari kelompok tersebut 78% adalah anak-
anak; sedangkan 69% sisanya memperlihatkan rontgen paru-paru yang normal dan sebagian besar
adalah dewasa.
Lesi spondilitis tuberkulosis berawal suatu tuberkel kecil yang berkembang lambat, bersifat
osteolisis lokal, pada tulang subkondral di bagian superior atau inferior anterior dari korpus
vertebra. Proses infeksi Mycobacterium tuberkulosis akan mengaktifkan chaperonin yang
merupakan stimulator poten proses resorpsi tulang sehingga akan terjadi destruksi korpus vertebra
di anterior. Proses perkejuan yang terjadi akan menghalangi proses pembentukan tulang reaktif
dan mengakibatkan segmen tulang yang terinfeksi relatif avaskuler sehingga terbentuklah
sequester tuberkulosis. Destruksi progresif di anterior akan mengakibatkan kolapsnya korpus
vertebra yang terinfeksi dan terbentuklah kifosis (angulasi posterior) tulang belakang.
Kecenderungan terjadinya kifosis bergantung pada segmen dan jumlah vertebra yang
terlibat serta umur penderita. Pada segmen normal terdapat kifosis misalnya segmen torakal,
kecenderungan kifosis menjadi progresif lebih tinggi dibandingkan dengan segmen lumbal yang
secara normal.
Proses terjadinya kifosis da[at terus berlangsung walaupun telah terjadi resolusi proses infeksi
Kifosis yang progresif dapat mengakibatkan problem respirasi dan late-onset paraplegia.
Selain itu merupakan persoalan kosmetik dan psikologis besar bagi penderita. Infeksi akhirnya
menembus korteks vertebra, menginfeksi jaringan lunak sekitarnya dan membentuk abses
paravertebral. Diseminasi lokal terjadi melalui penyebaran hematogen dan penyebaran langsung di
bawah ligamentum longitudinal anterior. Apabila telah terbentuk abses paravertebral, lesi dapat
turun mengikuti alur fasia muskulus psoas membentuk abses psoas yang dapat mencapai trigonum
femoralis
Pada usia dewasa, diskus intervertebralis avaskuler sehingga lebih resisten terhadap infeksi
dan kalaupun terjadi adalah sekunder dari korpus vertebra. Pada anakanak karena diskus
intervertebralis masih bersifat vaskular, infeksi diskus dapat terjadi primer. Penyempitan diskus
intervertebralis terjadi akibat destruksi tulang pada kedua sisi diskus sehingga diskus mengalami
herniasi ke dalam korpus vertebra yang telah rusak.
Kompresi struktur neurologis terjadi akibat penekanan oleh proses ekstrinsik maupun
instrinsik. Proses ekstrinsik pada fase aktif diakibatkan oleh akumulasi cairan akibat edema, abses
kaseosa, jaringan granulasi, sequester tulang atau diskus. Sedangkan pada fase penyembuhan
disebabkan oleh terbentuknya tonjolan-tonjolan tulang reaktif atau akibat proses fibrosis
duramater. Proses intrinsik terjadi akibat penyebaran kuman tuberkulosis menembus duramater
dan melibatkan meningeal serta medulla spinalis.

D. GEJALA KLINIS SYOK HIPOVOLEMIK


Gambaran klinik yang terjadi biasanya hanya berupa nyeri pinggang atau punggung. Nyeri ini
terjadi akibat reaksi inflamasi di vertebra dan sukar dibedakan dengan nyeri oleh penyebab lain
seperti kelainan degeneratif karena biasanya keadaan umum penderita masih baik. Pada foto
rontgen belum didapatkan kelainan. Bila proses berlanjut, terjadi destruksi vertebra yang akan
terlihat pada foto rontgen.
Abses psoas terlihat pada foto rontgen sebagai bayangan batas otot psoas yang kabur atau
bayangan sklerotik di paravertebra berbentuk lonjong lancip. Abses dapat turun ke regio inguinal
dan teraba sebagai benjolan yang perlu dibedakan dengan hernia femoralis.
Gejala awal paraplegia pada tuberkulosis tulang belakang dimulai dengan keluhan kaki terasa kaku
atau lemah, atau penurunan koordinasi tungkai. Proses ini dimulai dengan penurunan daya
kontraksi otot tungkai, dan peningkatan tonusnya. Kemudian terjadi spasme otot fleksor dan
akhirnya kontraktur. Pada permulaan, paraplegia terjadi karena edema sekitar abses paraspinal
tetapi akhirnya karena kompresi. Karena tekanan timbul terutama dari depan, maka gangguan pada
paraplegia ini kebanyakan terbatas pada traktus motorik. Paraplegia kebanyakan ditemukan pada
daerah torakal dan bukan lumbal karena kanalis lumbalis agak longgar dan kauda ekuina tidak
mudah tertekan.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
 Peningkatan LED dan mungkin disertai leukositosis, tetapi hal ini tidak dapat digunakan untuk
uji tapis. Al-marri melaporkan 144 anak dengan spondilitis tuberkulosis didapatkan 33 % anak
dengan laju endap darah yang normal.
 Uji Mantoux positif
 Pada pewarnaan Tahan Asam dan pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan
mikobakterium
 Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
 Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel.
 Pungsi lumbal., harus dilakukan dengan hati-hati, karena jarum dapat menembus masuk abses
dingin yang merambat ke daerah lumbal. Akan didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah,
test Queckenstedt menunjukkan adanya blokade sehingga menimbulkan sindrom Froin yaitu
kadar protein likuor serebrospinalis amat tinggi hingga likuor dapat secara spontan membeku.
 Peningkatan CRP ( C-Reaktif Protein ) pada 66 % dari 35 pasien spondilitis tuberkulosis yang
berhubungan dengan pembentukan abses.
 Pemeriksaan serologi didasarkan pada deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.
 Pemeriksaan dengan ELISA ( Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay ) dilaporkan memiliki
sensitivitas 60-80 % , tetapi pemeriksaan ini menghasilkan negatif palsu pada pasien
dengan alergi.Pada populasi dengan endemis tuberkulosis,titer antibodi cenderung tinggi
sehingga sulit mendeteksi kasus tuberkulosis aktif.
 Identifikasi dengan Polymerase Chain Reaction ( PCR ) masih terus dikembangkan. Prosedur
tersebut meliputi denaturasi DNA kuman tuberkulosis melekatkan nucleotida tertentu pada
fragmen DNA , amplifikasi menggunakan DNA polymerase sampai terbentuk rantai DNA utuh
yang dapat diidentifikasi dengan gel.

Pemeriksaan Laboratorium
Suatu pencitraan yang ideal harus dapat memberikan keterangan mengenai:
 Jumlah vertebra yang terlibat, sudut kifosis yang terjadi
 Seberapa jauh destruksi tulang telah terjadi, apakah hanya terbatas pada kolumna anterior atau
sudah mencapai kolumna posterior
 Ada tidaknya keterlibatan jaringan lunak, termasuk pembentukan abses dan sekuesterisasi diskus
interverbralis
 Ada tidaknya kompresi medula spinalis dan tingkat keseriusannya
 Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru. Hal in sangat diperlukan untuk
menyingkirkan diagnosa banding penyakit yang lain
 Foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebra, disertai
penyempitan discus intervertebralis yang berada di antara korpus tersebut dan mungkin dapat
ditemukan adanya massa abses paravertebral. Pada foto AP, abses paravertebral di daerah
servikal berbentuk sarang burung (bird’s net), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada
daerah lumbal abses terlihat berbentuk fusiform. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra
yang hebat sehingga timbul kifosis.
 Dekalsifikasi suatu korpus vertebra (pada tomogram dari korpus tersebut mungkin terdapat suatu
kaverne dalam korpus tersebut) oleh karena itu maka mudah sekali pada tempat tersebut suatu
fraktur patologis. Dengan demikian terjadi suatu fraktur kompresi, sehingga bagian depan dari
korpus vertebra itu adalah menjadi lebih tipis daripada bagian belakangnya (korpus vertebra jadi
berbentuk baji) dan tampaklah suatu Gibbus pada tulang belakang itu.
 “Dekplate” korpus vertebra itu akan tampak kabur (tidak tajam) dan tidak teratur.
 Diskus Intervertebrale akan tampak menyempit.
 Abses dingin.
Foto Roentgen, abses dingin itu akan tampak sebagai suatu bayangan yang berbentuk kumparan
(“Spindle”). Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3 dan paling jarang pada
vertebra C1-2.

F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis ditujukan untuk :
1.Eradikasi, atau minimal menahan perkembangan penyakit
2.Mencegah atau memperbaiki deformitas
3.Mencegah atau menanggulangi komplikasi utama berupa paraplegi.
Kriteria kesembuhan sebagian besar ditekankan pada tercapainya favourable status yang
didefenisikan sebagai pasien dapat beraktifitas penuh tanpa membutuhkan kemoterapi atau
tindakan bedah lanjutan, tidak adanya keterlibatan system saraf pusat , focus infeksi yang tenang
secara klinis maupun secara radiologis.
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera
mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia.
Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut :
1.Pemberian obat antituberkulosis
2.Dekompresi medulla spinalis
3.Menghilangkan/ menyingkirkan infeksi
4.Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)
5.Terapi konservatif
a. Tirah baring (bed rest)
b.Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak vertebra
c. Memperbaiki keadaan umum penderita
d.Pengobatan antituberkulosa

Standar pengobatan di indonesia berdasarkan program P2TB paru adalah :


Kategori 1
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA(-)/rontgen (+), diberikan dalam 2 tahap;
Tahap 1: Rifampisin 450 mg, INH 300mg, Etambutol 1000 mg, dan Pirazinamid 1500 mg. Obat
ini diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
Tahap 2: Rifampisin 450 mg, INH 600 mg, diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 4 bulan
(54 kali)

Lamanya pengobatan Dosis per hari Jumlah hari/kali menelan obat:


Tablet Isoniazid @300mg, Tablet Rifampicin @450mg, Tablet Pyrazinamid @500mg, Tablet
Etambutol @250mg
2 bulan 1 1 3 3 60
4 bulan 2 1 0 0 54
Kategori 2
Untuk penderita BTA(+) yang sudah pernah minum obat selama sebulan, termasuk penderita
dengan BTA (+) yang kambuh/gagal yang diberikan dalam 2 tahap yaitu :
Tahap 1: Diberikan Streptomisin 750 mg , INH 300 mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1500mg
dan Etambutol 750 mg. Obat ini diberikan setiap hari , Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama
(60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).
Tahap 2: Diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol 1250 mg. Obat diberikan 3
kali seminggu (intermitten) selama 5 bulan (66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita bertambah baik,
laju endap darah menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang
serta gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra.

Terapi operatif
Bedah Kostotransversektomi yang dilakukan berupa debrideman dan penggantian korpus vertebra
yang rusak dengan tulang spongiosa/kortiko – spongiosa.
Indikasi operasi yaitu:
1.Defisit neurologis yang signifikan terutama bila berhubungan dengan kifosis yang
progresif atau herniasi tulang atau diskus pada kanalis neuralis.
2.Abses besar segmen servikal pada penderita dengan obstruksi saluran respirasi.
3.Lesi posterior yang disertai dengan pembentukan abses atau sinus
4.Instabilitas tulang belakang atau kifosis yang progresif walaupun telah mendapat
kemoterapi adekuat.
5.Kegagalan terapi konservatif setelah pengobatan kemoterapi 3-6 bulan.
6.Rekurensi infeksi atau defisit neurologis
 Bila dengan terapi konservatif setelah pengobatan kemoterapi 3-6 bulan tidak terjadi perbaikan
paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya 2 minggu sebelum tindakan operasi dilakukan,
setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.
 Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan sekaligus
debrideman serta bone graft.
 Abses besar segmen servikal pada pasien dengan obstruksi saluran respirasi .
 Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pemeriksaan CT dan
MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medulla spinalis.
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita tuberkulosis
tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang peranan penting dalam beberapa hal,
yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis progresif
atau hernasi tulang atau diskus pada kanalis neuralis.

G.KOMPLIKASI
1. Abses
2. Deformitas tulang belakang
3. Defisit neurologis
4. Paraplegia.

H. PROGNOSIS
Prognosis bergantung pada cepatnya dilakukan terapi dan ada tidaknya komplikasi
neurologik. Untuk spondilitis dengan paraplegia awal, prognosis untuk kesembuhan sarafnya lebih
baik, sedangkan spondilitis dengan paraplegia akhir prognosis biasanya kurang baik.

H. KESIMPULAN
1. Tuberkulosis tetap menjadi masalah besar bagi negara berkembang dan mulai menjadi masalah
bagi negara maju.
2. Tulang belakang merupakan lokasi infeksi yang tersering tuberkulosis osteroartikular dengan
risiko defisit neurologis dan defromitas permanen.
3. Teknik pencitraan modern sebaiknya digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan luasnya
keterlibatan penyakit sehingga penatalaksanaan dapat disesuaikan secara individual.
4. Penatalaksanan konservatif pada yang sesuai indikasi dapat mengatasi kasus spondilitis
tuberkulosis secara efektif.
5. Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis ditujukan untuk eradikasi infeksi, memberikan
stabilitas pada tulang belakang dan menghentikan atau memperbaiki kifosis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Rasjad C. Spondilitis Tuberkulosa dalam Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Ed.II. Makassar:
Bintang Lamumpatue. 2003. p. 144-149
2. Harsono. Spondilitis Tuberkulosa dalam Kapita Selekta Neurologi. Ed. II. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press. 2003. p. 195-197
3. Anonim. Spondylitis Tuberkulosa. [Online]. 2007 Sept 13 [cited 2008 Feb 27];[3 screens].
Available from: URL:http:// http://www.medlinux.blogspot.com
4. Anonim. Introduction. [Online]. 2007 Sept 26 [cited 2008 Feb 27];[3 screens]. Available from:
URL:http://www.bsac.org.uk
5. Hidalgo, JA. Pott Disease. [Online]. 2005 Aug 25 [cited 2008 Feb 27];[17 screens]. Available
from: URL:http:www.eMedicine.com/med/topic
6. Anonim. Penyakit paget pada tulang. [Online]. 2006 Oct [cited 2008 Feb 27];[2 screens].
Available from: URL:http://www.patient.co.uk/showdoc/40001278/
7. Anonim. Paget’s disease of bone. [Online]. 2005 Oct [cited 2008 Feb 27];[4 screens].
Available from: URL:http:// http://www.thamburaj.com
8. Tamburaf, V. Spinal Tuberculosis. [Online]. 2006 Oct [cited 2008 Des 27];[4 screens].
Available from: URL:http://www.infeksi.com
9. Harisinghani, MG. Tuberculosis from Head to Toe. [Online]. 1999 Feb 19 [cited 2008 Des
27];[4 screens]. Available from: URL:http://www.nejm.com
10. Yanardag, H. Pott Disease. [Online]. 1999 Feb 19 [cited 2008 Des 27];[5 screens]. Available
from: URL:http://www.ispub.com
11. Sinan, T. Spinal tuberculosis: CT and MRI features. [Online]. 1999 Feb 19 [cited 2008 Des
27];[5 screens]. Available from: URL:http://www.kfshrc.edu.sa
12. Danchaivijitr, N. Diagnostic Accuracy of MR Imaging in Tuberculous Spondylitis. [Online].
2007 Feb 19 [cited 2008 Des 27];[5 screens]. Available from:
URL:http://www.medassocthai.org/journal
13. Hidalgo JA. Pott disease ( Tuberculous spondylitis). Diunduh dari http://www.emedicine.com.
Tanggal 18 Agustus 2009.
14. Moon MS. Tuberculosis of the spine: controversies and new challenge. Diunduh
dari http://www.pubmed.com. Tanggal 18 Agustus 2009.
15. Rasjad C. Spondilitis Tuberkulosa dalam Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Ed.II. Makassar:
Bintang Lamumpatue. 2003. hlm. 144-149
16. Harsono. Spondilitis Tuberkulosa dalam Kapita Selekta Neurologi. Ed. II. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press. 2003. hlm. 195-197
17. Wim de Jong, Spondilitis TBC, Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta; EGC. hlm. 1226-1229

Anda mungkin juga menyukai