Anda di halaman 1dari 65

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Jaringan di dalam mulut dapat berubah salah satunya karena kehilangan
gigi. Gigi yang hilang dan tidak secepatnya diganti dapat menimbulkan
beberapa kesulitan pada diri pasien seperti mengunyah makanan, adanya
pergeseran gigi, supraerupsi gigi yang berlawanan, dan bergesernya gigi
tetangga. Penggantian gigi yang hilang dapat dilakukan dengan pembuatan
gigi tiruan lepasan atau gigi tiruan cekat. Gigi tiruan digunakan untuk
menggantikan gigi yang hilang dan mengembalikan estetika serta kondisi
fungsional pasien.1 Pengguna gigi tiruan yang jarang membersihkan gigi
tiruannya dapat menyebabkan plak menempel pada gigi tiruan semakin
banyak. Selain itu, permukaan kasar gigi tiruan yang menghadap mukosa juga
merupakan tempat melekatnya mikrobial plak dan debris.2 Halitosis
berhubungan erat dengan adanya gigi tiruan yang digunakan oleh pasien.
Partikel makanan sering tertinggal dan terselip pada pemakai gigi tiruan,
pembentukan plak, inflamasi dari jaringan periodontal di sekitar gigi tiruan
juga menjadi faktor penyebab halitosis. Gigi tiruan baik lepasan maupun
cekat menyebabkan efek yang sama dalam pembentukan halitosis.3
Halitosis adalah bau mulut yang tidak sedap yang dapat disebabkan
karena adanya volatile sulfur compounds (VSCs). Volatile sulfur compounds
adalah hasil produksi dari aktifitas bakteri anaerob di dalam mulut yang
menghasilkan senyawa berupa sulfur yang mudah menguap dan berbau tidak
enak. Proses terjadinya VSCs adalah diawali dengan pemecahan substrat
protein dari sisa makanan oleh bakteri gram negatif yang bersifat proteolitik
menjadi rantai peptida dan asam amino seperti methionin, cysteine dan
cystine. Kemudian asam amino tersebut akan direduksi menjadi methil
mercaptan, hidrogen sulfida dan dimethil sulfida. Salah satu hal yang bisa

1
dilakukan oleh masing-masing individu untuk mengurangi atau mencegah
halitosis adalah senantiasa menjaga kebersihan mulut.4
Penelitian sebelumnya dilakukan di Senegal pada tahun 2011. Penelitian
ini mendapatkan hasil bahwa terdapat halitosis di antara pengguna gigi tiruan
dan lebih banyak terjadi pada pengguna gigi tiruan cekat dibanding dengan
pengguna gigi tiruan lepasan. Secara keseluruhan prevalensi penderita
halitosis pada pemakai gigi tiruan sebesar 35.4%. berdasarkan presentase
tersebut terdapat 72.7% pasien menggunakan gigi tiruan cekat dan 27.3%
pasien menggunakan gigi tiruan lepasan.5 Sementara itu, penelitian pada
lansia tahun 2011 di Makassar yang meneliti tentang tingkat keparahan
halitosis pada pengguna gigi tiruan cekat dengan metode bau usap pada gigi
tiruan, mendapatkan hasil bahwa sebanyak 46% gigi tiruan menimbulkan bau
yang sedang, 2% gigi tiruan menimbulkan bau yang hebat, bau yang sedikit
dan juga bau yang keras memperoleh presentase yang sama yaitu sebesar
14%. Hasil penelitian ini juga menemukan sebanyak 24% gigi tiruan tidak
menimbulkan bau.6
Kehilangan gigi geligi dan bau mulut dapat memengaruhi keadaan fisik
dan psikologis, seperti kurangnya percaya diri dengan penampilan dan dapat
membatasi aktifitas sosial mereka.7,8
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian untuk
mengetahui prevalensi halitosis pada pasien pengguna gigi tiruan di RSGM-P
USAKTI.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah
yang didapatkan adalah berapakah prevalensi halitosis pada pasien pengguna
gigi tiruan di RSGM-P FKG USAKTI ?

2
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui prevalensi halitosis pada pasien pengguna gigi tiruan
di RSGM-P FKG USAKTI.

D. Manfaat Penelitian
Sehubungan dengan dilakukan penelitian mengenai prevalensi halitosis
pada pasien pengguna gigi tiruan di RSGM-P USAKTI ini maka diharapkan:
1. Dapat menjadi salah satu acuan untuk penelitian untuk mengadakan
penelitian-penelitian selanjutnya.
2. Dapat memberikan informasi untuk para tenaga medis dan mahasiswa
klinik tentang pentingnya memberikan Dental Health Education pada
masyarakat terutama pada pasien pengguna gigi tiruan agar pasien
terhindar dari halitosis.
3. Dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya
menjaga kebersihan mulut terutama masyarakat yang memakai gigi
tiruan untuk menghindari keterbatasan aktifitas sosial akibat halitosis.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Gigi Tiruan Sebagian Cekat (Fixed Partial Denture)


Ilmu Gigi Tiruan Cekat (Fixed Prostodontics) merupakan cabang ilmu gigi
tiruan yang menyangkut pergantian dan perbaikan gigi geligi dengan pengganti
gigi tiruan yang tidak dapat dilepas oleh pasien.9 Ilmu ini disebut juga sebagai
Fixed Partial Prosthodontics, jenis prostesis ini dikenal sebagai bridge, sebuah
istilah yang tidak lagi disukai dan tidak lagi digunakan10,11. Gigi tiruan
sebagian cekat digunakan ketika jarak ruang edentulous pendek, terdapat gigi
sehat yang bisa memberikan dukungan yang cukup dan bersebelahan dengan
ruang edentulous, kasus dengan resorpsi daerah edentulous yang apabila
digunakan gigi tiruan sebagian tidak dapat stabil atau retentif. Gigi tiruan ini
dapat dibuat atas kemauan pasien. Pasien yang mengalami gangguan mental
dan cacat fisik yang tidak dapat mempertahankan gigi tiruan lepasan juga dapat
menggunakan gigi tiruan sebagian cekat. Gigi tiruan sebagian cekat umumnya
dihindari dalam kondisi seperti kehilangan tulang dalam jumlah besar seperti
pada trauma, pasien yang sangat muda dimana gigi memiliki ruang pulpa yang
besar, adanya abutment yang dikompromikan secara periodontal, lebarnya
ruang edentulous, gigi bawaan cacat, yang tidak memiliki struktur gigi yang
memadai untuk memberikan dukungan, pasien yang tidak kooperatif pada saat
perawatan invasif, pasien yang memiliki penyakit sistemik seperti leukemia
dan hipertensi, dan pada pasien yang sangat tua.12
Setiap fixed partial denture terdiri dari retainer yang mendapatkan
dukungan dari gigi abutment, pontik menggantikan gigi yang hilang dan
konektor yang menghubungkan pontik dengan retainer. Abutment merupakan
gigi, akar atau implan yang memberikan dukungan pada gigi tiruan sebagian
tetap. Konektor dapat berbentuk rigid maupun non-rigid, konektor rigid adalah
penghubung antara pontik dan retainer yang tidak dapat digoyahkan seperti

4
konektor yang disolder. Sementara konektor non-rigid adalah penghubung
bergerak dengan mekanisme key-key way, contohnya stress breakers. Gigi
tiruan yang menggantikan gigi yang hilang mengembalikan fungsi dan
menempati ruang gigi yang hilang dalam gigi tiruan sebagian cekat disebut
pontik. Semua kekuatan yang bekerja pada pontik dipindahkan ke abutment
melalui retainer.13
Desain pontik akan dinilai dari segi estetika, fungsi, kemudahan
pembersihan, pemeliharaan jaringan sehat pada ruang edentulous, dan
kenyamanan pasien. Desain yang tepat lebih penting untuk kebersihan dan
kesehatan jaringan yang baik daripada pemilihan bahan. Jaringan didaerah
edentulous berubah dengan hilangnya gigi. Oleh karena itu, pontik tidak dapat
menduplikasi gigi yang hilang. Resorpsi dan remodeling tulang alveolar
membentuk kembali area edentulous, membulatkan tepi yang tajam dan
mengisi soket itu sendiri. Karena beberapa jaringan pendukung hilang saat gigi
asli terlepas, dan karena pontik terletak di atas jaringan dan bukan tumbuh dari
jaringan itu sendiri, maka modifikasi harus dilakukan pada morfologi gigi
dasar untuk memastikan bahwa pontik akan dapat dibersihkan dan tidak
berbahaya pada jaringan lunak.13
Luas dan bentuk kontak pontik dengan edentulous ridge sangat penting.
Kontak jaringan yang berlebihan telah disebut sebagai faktor utama kegagalan
gigi tiruan sebagian cekat. Bagian pontik yang menyentuh edentulous rigde
harus secembung mungkin. Namun, apabila ada kontak di sepanjang
gingivofasial pontik, tidak boleh ada ruang antara pontik dan jaringan lunak
pada sisi fasial edentulous ridge. Jika ujung pontik melewati mucogingival
junction, maka ulkus akan terbentuk. Pontik sebaiknya hanya kontak dengan
gingiva yang berkeratin.13
Batas antara gingiva mesial, distal, lingual dengan pontik harus terbuka
lebar agar pasien mudah mendapatkan akses pembersihan, dan kontak antara
pontik dan jaringan harus memungkinkan pemakaian dental floss. Setelah gigi
tiruan sebagian cekat disemen, pasien harus diajarkan teknik yang tepat untuk
membersihkan gigi tiruannya. Pasien harus mampu untuk menjaga kebersihan

5
yang baik di sekitar dan di bawah pontik dengan benang gigi ataupun sikat
interdental (Gambar 1). Metode yang digunakan akan tergantung pada ukuran
embrasur, aksesibilitas dan keterampilan, pasien harus diberi waktu untuk
mempelajari teknik dan menunjukkan kemampuan untuk membersihkan bagian
bawah pontik dan area gigi abutment serta area yang berdekatan. Perawatan
untuk menjaga kebersihan gigi tiruan di rumah dievaluasi pada setiap kontrol.
Permukaan pontik yang paling halus harus dibersihkan dengan baik dan sering
untuk mencegah akumulasi plak dan debris. Jika pembersihan jarang dilakukan
dan tidak dilakukan dengan benar, jaringan di sekitar pontik akan mengelami
peradangan.13

Gambar 1. Dental floss dan sikat interdental dapat digunakan dan masuk melalui
celah antara pontik, konektor dan edentulous ridge.13

Terdapat beberapa desain yang tersedia dalam pembuatan gigi tiruan


sebagian cekat berdapatkan kontaknya dengan jaringan. Beberapa desain

6
tersebut yang kontak dengan jaringan adalah sadel, ridge lap, ridge lap yang
dimodifikasi, conical dan ovate, dan untuk yang tidak berkontak dengan
jaringan disebut sebagai sanitary atau hygiene pontic.12,13 (Gambar 2)
Pontik sadel terlihat seperti gigi asli karena pontik jenis ini mengganti
semua kontur gigi yang hilang. Sadel membentuk sebuah kontak cekung besar
didaerah edentulous ridge, menutupi seluruh bagian fasial, lingual, dan
proksimal. Desain ini telah lama dikenal tidak higienis dan sulit untuk
dibersihkan, tetapi masih digunakan. Sadel tidak dapat dibersihkan karena
benang gigi tidak dapat melintasi area pontik yang menghadap ke jaringan
lunak karena ditutupi oleh pontik pada bagian linguogingival dan faciogingival.
Penggunaan pontik jenis sadel dapat menyebabkan peradangan jaringan, dan
seharusnya tidak digunakan.13
Pontik yang berkontak dengan jaringan lunak dan melampaui garis
edentulous ridge, atau memiliki sudut tajam pada aspek linguogingival dari
jaringan disebut sebagai ridge lap.12 Terdapat pontik ridge lap dengan desain
yang dimodifikasi memberikan ilusi pada gigi, namun hampir semua
permukaannya cembung untuk memudahkan pembersihan. Permukaan lingual
harus memiliki kontur deflektif sedikit untuk mencegah impaksi makanan serta
dapat meminimalkan akumulasi plak. Mungkin ada sedikit bentuk cekung
kearah faciolingual pada sisi fasial dari pontik akan tetapi masih dapat
dibersihkan dan ditoleransi oleh jaringan asalkan kontak jaringan pada
mesiodistal dan faciolingual hanya sedikit. Kontur area kontak pontik dari
jaringan harus cembung, bahkan jika terdapat sejumlah kecil jaringan lunak
pada edentulous ridge harus diangkat melalui operasi. Desain pontik ini dengan
bahan veneer porselen, adalah desain pontik yang paling umum digunakan di
zona estetika untuk gigi tiruan sebagian cekat baik rahang atas maupun rahang
bawah.13

7
a b

Gambar 2. (a) Pontik tipe Sadel. (b). Pontik tipe Ridge Lap. (c) Pontik Ridge Lap yang
dimodifikasi rahang atas & rahang bawah.14

Conical pontic berbentuk seperti kerucut yang dibulatkan dan bisa


dibersihkan, Ini sangat sesuai untuk digunakan pada ridge mandibula yang
tipis.13 Pontik ini memiliki permukaan jaringan cembung, yang
menghubungkan jaringan pada satu titik tanpa tekanan. Pontik ini sangat
mudah dibersihkan dan dirawat. Satu-satunya kelemahan desain ini adalah nilai
estetikanya buruk. Untuk itu desain ini lebih ditunjukkan untuk penggantian
gigi posterior mandibula. Mereka juga bisa digunakan pada edentulous ridge
yang luas dan datar, namun di sekitar kontak jaringan dapat terjadi
penumpukan debris.13
Ovate pontic dirancang sedemikian rupa sehingga ujung serviksnya meluas
ke dalam defek edentulous ridge. Pontik ini digunakan dalam kasus sisa
edentulous ridge rusak atau tidak sembuh total. Pontik harus dikurangi atau
dikecilkan saat penyembuhan berlangsung. Pontik ini lebih estetis karena

8
nampak muncul dari punggungan seperti gigi alami.12 Cekungan pada
edentulous ridge dapat dibuat dengan penempatan gigi tiruan sebagian cekat
sementara dengan pontik diperpanjang seperempat jalan masuk ke soket segera
setelah ekstraksi gigi. Pontik ini bekerja dengan baik dengan ridge yang lebar
dan datar, sehingga tampak bahwa ia tumbuh dari edentulous ridge tersebut.13
Sanitary atau hygiene Pontic (pontik higienis) tidak memiliki kontak
dengan jaringan. Meskipun mudah dirawat, pontik ini sangat tidak estetis.
Oleh karena itu, mereka hanya digunakan untuk gigi posterior terutama molar
rahang bawah.12,13 Pontik ini mengembalikan fungsi oklusal dan menstabilkan
gigi yang berdekatan dan berlawanan. Jika tidak ada persyaratan estetika,
pontik ini seluruhnya bisa terbuat dari logam. Ketebalan oklusogingival pontik
harus tidak kurang dari 3,0 mm, dan harus ada ruang yang memadai di
bawahnya untuk memudahkan pembersihan.13
Sanitary pontic dapat dibagi menjadi tiga tipe yaitu bar sanitary pontic,
conventional sanitary atau fish belly pontic, dan sanitary modified (perel pontik
atau arc-fixed partial denture). Bar Sanitary Pontic memiliki jarak yang cukup
antara pontik dengan edentulous ridge dengan permukaan bawah pontik yang
datar. Permukaan gingiva pada conventional sanitary atau fish belly pontic
cembung kearah oklusal. Pontik menyerupai perut ikan dan karena itu nama
lainnya adalah fish belly pontic. Desain ini memiliki dua kelemahan yaitu,
ukuran konektor berkurang, oleh karena itu, kekuatan protesa berkurang dan
kontur mesial dan distal pontik sulit untuk dipelihara. Sanitary modified (perel
pontik atau arc-fixed partial denture) didesain menjadi hiperparaboloid.
Artinya, permukaan gingiva pontik ini berbentuk cekung mesiodistal dan
cembung pada bukolingual. Pontik ini mengatasi keterbatasan fish belly pontic
karena bentuk lengkung meningkatkan ukuran konektor dan lebih mudah
dipelihara.12

B. Gigi Tiruan Sebagian Lepasan (Removable Partial Dentures)


Gigi Tiruan Sebagian Lepasan merupakan gigi tiruan yang menggantikan
satu atau lebih, tetapi tidak mengantikan seluruh gigi serta jaringan sekitarnya,

9
mendapatkan dukungan dari gigi dan atau jaringan dibawahnya dan bisa
dikeluarkan dari mulut oleh pasien. Gigi tiruan yang mendapatkan dukungan
dari gigi disebut sebagai gigi tiruan dukungan gigi dan apabila mendapatkan
dukungan dari jaringan yang berada dibawahnya maka gigi tiruan tersebut
disebut sebagai gigi tiruan dukungan jaringan. Sebaliknya, bila dukungan
berasal dari gigi dan jaringan maka akan diperoleh gigi tiruan dukungan
kombinasi. GTSL yang menutupi sebagian besar jaringan mulut dikenal
sebagai gigi tiruan sebagian akrilik (plat denture) dan apabila hanya menutupi
sebagian kecil jaringan lunak maka dikenal sebagai gigi tiruan kerangka logam
(skeleton denture). Umumnya GTSL terdiri dari elemen, basis, konektor, dan
penahan (retainer).9
Gigi tiruan yang dibuat untuk menggantikan gigi asli yang telah hilang
disebut sebagai Elemen. Bagian protesa yang menggantikan jaringan lunak
mulut dibawahnya sehingga dapat terlihat seperti asalnya, tempat bagi elemen
gigi tiruan mendapatkan dukungan dari gigi dan jaringan pendukung dikenal
sebagai Basis atau Sadel. Dilihat dari letaknya, sadel dapat berujung tertutup
(paradental) apabila kedua sisinya dibatasi oleh gigi asli dan apabila sadel
dikatakan berujung bebas (free end) artinya gigi asli hanya membatasi salah
satu sisinya saja, biasanya berada pada bagian posterior. Penahan (retainer)
merupakan semua jenis perangkat seperti cengkeram kawat yang akan
dijelaskan dibawah ini, kaitan dan alat lainnya yang bertujuan untuk
mendapatkan stabilitas atau fiksasi bagi GTSL. Semua bagian gigi tiruan
tersebut di atas digabungkan menjadi suatu kesatuan oleh penghubung
(connector).9
Cengkeram dapat digolongkan berdasarkan beberapa pertimbangan,
menurut kontruksinya; cengkeram tuang atau cor (cast clasp), cengkeram
kawat (wrought wire slasp), cengkeram kombinasi (combination clasp),
desainnya; cengkeram sirkumferensial (circumferential clasp or
circumferential type clasp), cengkeram batang (bar arm or bar type clasp),
sedangkan menurut arah batang lengannya; cengkeram oklusal (occlusally
approaching clasp), cengkeram gingival (gingivally approaching clasp).9

10
Cengkeram yang lengan-lengannya terbuat dari kawat jadi (wrought wire)
disebut sebagai cengkeram kawat. Kawat jenis ini sudah jarang digunakan di
negara maju, akan tetapi di Indonesia kawat jenis ini masih sering digunakan
karena protesa resin akrilik masih sering dibuat. Kawat jadi yang akan
digunakan sebagai kawat cengkeram harus kuat, permukaannya licin dan
mengkilat, tidak berkarat, tidak memberi rasa dan tidak menimbulkan aliran
listrik galvanis. Cengkeram yang baik harus memiliki kontak yang kontinu
pada permukaan gigi penyangga. Apabila penampang kawat bulat maka dibuat
kontak garis dan apabila penampang kawat setengah bulat maka dibuat kontak
bidang dan lengan cengkeram harus melewati garis survey dan biasanya
terletak 1-2 mm diatas tepi gingiva. Badan cengkeram sirkumferensial harus
terletak diatas kontak gigi penyangga sementara itu, sandaran dan badan
cengkeram tidak boleh mengganggu oklusi maupun artikulasi. Ujung lengan
cengkeram harus dibuat bulat, tidak boleh melukai jaringan lunak dan
menyentuh gigi tetangga. Tidak boleh ada tanda bekas tang pada permukaan
cengkeram. Tanda ini menunjukkan bahwa manipulasi pembengkokkan kurang
baik, sehingga dapat mempengaruhi daya tahan cengkeram.9
Cengkeram kawat mempunyai beberapa keuntungan pengunaan yaitu
lentur, retensinya dapat disesuaikan dengan kebutuhan, estetik dapat dibuat
lebih baik tergantung diameter kawat yang digunakan, permukaan gigi yang
tertutup lebih minim apabila dibandingkan dengan cengkeram tuang, indikasi
pengunaan cengkeram kawat lebih luas, teknik pembuatan lebih mudah kecuali
penyoldiran lengan pada sandaran oklusal. Akan tetapi, cengkeram kawat
mudah terjadi distorsi, karena terdapat kecenderungan kebiasaan pasien
melepas gigi tiruannya dari dalam mulut dengan menarik lengan retentif
sehingga memudahkan cengkeram patah atau berubah bentuk. Cengkeram
mudah patah apabila manipulasinya kurang hati-hati seperti banyaknya tanda
bekas tang pada permukaan kawat. Gigi tiruan ini seolah dapat menjadi protesa
dukungan jaringan apabila kelenturan sandaran oklusal kurang memberi
dukungan memuaskan dan tidak di preparasi dengan baik. Apabila terdapat
tekanan, basis dapat tertekan kearah jaringan lunak yang lama kelamaan dapat

11
menyebabkan terlepasnya tepi gingiva (gum stripping), goyangnya gigi, dan
makanan lebih mudah terjebak. Lengan kawat yang lentur kurang atau tidak
mampu menahan gaya horizontal atau lateral.9
Secara garis besar terdapat dua kelompok cengkeram kawat yaitu
kelompok cengkeram kawat oklusal (circiumferential type clasp) dan
cengkeram gingival. Cengkeram kawat oklusal terbagi lagi dari beberapa
bentuk diantaranya adalah cengkeram tiga jari yang berbentuk seperti akers
clasp (terdiri jari lengan bukal, lengan lingual, dan sebuah sanaran oklusal yang
terbuat dari bahan logam tuang), dibentuk dengan penyoldiran lengan-lengan
kawat pada sandaran atau menanamnya ke dalam basis. Tersedia bentuk kawat
jadi dari bahan baja tahan karat, bentuknya tinggal disesuaikan dengan bentuk
anatomi gigi. Cengkeram dua jari juga berbentuk seperti akers clasp akan tetapi
tidak disertai sandaran, sandaran cor dapat ditambahkan apa bila diperlukan.
Tanpa sandaran, cengekeram ini berfungsi sebagai retensif pada protesa
dukungan jaringan.9
Cengkeram oklusal lainnya seperti cengkeram jackson yang merupakan
penahan langsung ortodontik dan juga cengkeram half jackson yang dikenal
juga sebagai cengkeram satu jari atau cengkeram C. Cengkeram S yang
berbentuk seperti huruf S bersandar pada singulum gigi kaninus dan biasa
digunakan pada gigi kaninus bawah dan dapat digunakan pada gigi kaninus
atas apabila tersedia ruang interoklusal yang cukup. Cengkeram panah (arrow
crib) berbentuk anak panah yang terletak pada interdental gigi, biasanya
digunakan untuk pasien anak yang memiliki kurangnya retensi. Cengkeram
panah dan cengkeram adam digunakan pada protesa sementara saat masa
pertumbuhan. Rush anker crib berada pada embrassure gigi dan pada bagian
bukal cengkeram hanya terlihat sedikit.9
Basis gigi tiruan (Gambar 3) disebut juga base atau sadel yang merupakan
bagian yang menggantikan tulang edentulous yang telah hilang, dan berfungsi
untuk mendukung elemen gigi tiruan. Fungsi basis gigi tiruan adalah sebagai
pendukung elemen gigi tiruan, mampu menyalurkan tekanan oklusal ke
jaringan pendukung, gigi penyangga atau lingir sisa. Kemajuan dunia

12
kedokteran gigi sekarang memungkinkan pemberian warna pada basis dan
pengembalian kontur wajah penderita sehingga kelihatan alamiah sebagai
fungsi estetik. Basis gigi tiruan mampu memberikan stimulasi kepada jaringan
yang berada di dasar gigi tiruan, yang sering juga disebut sebagai jaringan sub
basal. Saat digunakan baik pengunaan protesa dukungan gigi maupun jaringan,
akan terjadi pergerakan vertikal karena adanya gerakan fisinlogik gigi
penyangga dan jaringan. Gerakan-gerakan seperti ini menyebabkan jaringan
yang berada di bawah protesa seolah seperti dipijat. Memberikan retensi dan
stabilisasi kepada gigi tiruan apabila perluasan basis yang berkontak dibuat
secara cermat dan fungsional dengan jaringan ditambah dengan kontak tepi
yang baik akan menambah retensi.9

Gambar 3. Basis Gigi Tiruan Akrilik.9

Bahan basis protesa ideal harus memenuhi beberapa pensyaratan seperti;


kecermatan adaptasi dengan jaringan tinggi, rendahnya perubahan
volume/dimensi, permukaannya keras agar tidak mudah tergores atau aus,
penghantar termis, berat jenis rendah, dapat dibersihkan dengan mudah, warna
dapat disesuaikan dengan jaringan disekitarnya, dapat dilapis atau dicekatkan
kembali, dan harganya ekonomis. Hingga saat ini belum ada bahan yang
mampu memenuhi seluruh kriteria di atas. Biasanya basis gigi tiruan terbuat

13
dari bahan logam, resin akrilik ataupun kombinasi. Bahan resin akrilik
merupakan bahan yang hampir memenuhi seluruh kriteria diatas.9
Basis yang terbuat dari resin akrilik dapat dibuat dengan kontur yang
menyerupai jaringan asli sehingga permukaan poles dapat membantu
meningkatkan retensi, mampu memperbaiki kontur wajah, serta dapat
mencegah akumulasi makanan pada bagian tepi. Biasanya, pada permukaan
bukal, antara tepi gingiva dan tepi sayap dibuat permukaan sedikit cekung
untuk memberi tempat kepada M. Buccinator agar dapat meningkatkan retensi.
Cekungan ini juga dapat mempermudah bolus makanan kembali ke permukaan
oklusal pada saat mastikasi. Permukaan yang cekung dibuat juga pada bagian
lingual untuk memberi tempat kepada lidah.9
Basis dengan bahan resin akrilik memiliki warna yang harmonis dengan
jaringan sekitarnya sehingga memenuhi faktor estetik, dapat dilapis dan
dicekatkan kembali dengan mudah, relatif lebih ringan, teknik pembuatan dan
pemolesannya mudah, dapat menggantikan kontur gingiva gigi anterior sesuai
dengan bentuk dan warna seperti aslinya meskipun pada kasus resorbsi tulang
edentulous yang banyak serta harganya yang murah. Akan tetapi basis dengan
bahan resin akrilik merupakan penghantar termis yang buruk, dimensinya tak
stabil baik pada waktu pembuatan, pemakaian maupun reparasi. Walaupun
dalam derajat kecil, resin akrilik menyerap cairan mulut, mempengaruhi
stabilitas warna. Mudah terjadi abrasi pada saat pembersihan atau pemakaian.
Kalkulus dan deposit makanan mudah melekat pada basis resin akrilik. Karena
dasar gigi tiruan akrilik harus tebal untuk menahan gaya oklusal, jumlah ruang
yang tersedia untuk penempatan gigi tiruan berkurang. Hal ini menjadi lebih
bermasalah pada kasus dengan jarak antar lengkung rahang yang minim. 9,12

C. Gigi Tiruan Lengkap (Full Denture)


Prostodontik gigi tiruan lengkap atau prostetik gigi tiruan penuh
merupakan gigi tiruan yang menggantikan seluruh gigi-geligi yang hilang dan
jaringan pendukungnya baik di rahang atas maupun di rahang bawah.10
Fungsi gigi tiruan yang lengkap untuk mengembalikan estetika, mastikasi dan

14
fonetik. Gigi tiruan yang lengkap harus memiliki oklusi seimbang yang tepat
untuk meningkatkan stabilitas gigi tiruan sebagai fungsi mastikasi. Salah satu
fungsi terpenting dari gigi tiruan adalah mengembalikan fungsi bicara
pasien.10,12
Terdapat tiga permukaan dari gigi tiruan lengkap (Gambar 4) yaitu
permukaan cetakan (impression surface), permukaan poles (polishing
surface) dan permukaan oklusal (occlusal surface). Permukaan cetak
(impression surface) merupakan bagian permukaaan gigi tiruan yang
konturnya ditentukan oleh cetakan. Permukaan ini merupakan permukaan gigi
tiruan yang akan bersentuhan dengan jaringan saat gigi tiruan berada di dalam
mulut. merupakan bagian permukaan gigi tiruan yang terbentang dari tepi
gigi tiruan ke permukaan oklusal dan permukaan palatal. Permukaan poles
(polishing surface) adalah bagian dari basis gigi tiruan yang harus dipoles
dengan baik dan halus untuk menghindari pengumpulan sisa makanan daerah
luar bagian lingual, bukal, sayap labial dan bagian luar palatal termasuk
kedalam permukaan poles, permukaan ini berkontak dengan bibir, pipi, dan
lidah. Permukaan oklusal (occlusal surface) merupakan bagian permukaan
gigi tiruan yang berkontak atau hampir berkontak dengan permukaan yang
sesuai pada gigi tiruan lawan atau gigi asli.12

c c
c

b a
a

Gambar 4. Permukaan dari gigi tiruan lengkap (a) Impression surface (b) Polished
surface (c) Occlusal surface. 12

15
Gigi tiruan lengkap terdiri dari beberapa komponen yaitu denture base,
denture flange, denture border, denture teeth. Denture base atau basis gigi
tiruan merupakan bagian gigi tiruan yang berhadapan dengan jaringan lunak
mulut dibawahnya dan sebagai tempat melekatnya gigi tiruan.9,10 Basis gigi
tiruan membentuk dasar gigi tiruan. Basis membantu untuk mendistribusikan
dan mengirimkan semua kekuatan yang bekerja pada gigi tiruan ke jaringan.
Basis merupakan bagian dari gigi tiruan yang bertanggung jawab atas retensi
dan dukungan.12,14 Bahan yang biasa digunakan pada basis gigi tiruan adalah
resin akrilik atau polimetil metakrilat (PPMA). Biasanya dibuat dalam resin
akrilik, mudah dibuat, ekonomis, terdiri dari bubuk (polimer) dan cairan
(monomer). Penambahan monomer dapat meningkatkan tingkat kekerasan
dan kekakuan basis sementara warna pada basis resin akrilik didapatkan
dengan penambahan pigmen.14
Gigi tiruan dengan basis resin akrilik dalam gigi tiruan lengkap memiliki
keuntungan yaitu memiliki warna pink translusen yang sangat mirip dengan
gingiva dan ersedia dalam berbagai warna berpigmen yang bisa digunakan
sesuai ciri khas masing-masing pasien, sehingga memberikan estetika yang
baik. Proses rebasing dan relining pada gigi tiruan ini dapat dengan mudah
dilakukan dan bahan resin akrilik cukup kuat dan bisa menahan kekuatan
oklusal normal. Namun, gigi tiruan dengan basis resin akrilik memiliki
beberapa kekurangan, yaitu tidak dapat digunakan pada bagian tipis seperti
pada bahan logam. Oleh karena itu, gigi tiruan dengan basis akrilik dapat
mempengaruhi fungsi bicara pasien. Resin akrilik juga tidak menghantarkan
panas apapun sehingga persepsi pasien terhadap suhu makanan menurun.
Kekuatan gigi tiruan dengan bahan resin akrilik berbeda-beda, karena apa bila
basis gigi tiruan dibuat dengan ketebalan yang minimal resiko patah akan
semakin besar.14
Tepi-tepi basis akrilik gigi tiruan serta tepi-tepi yang disekitar pinggiran
gingiva dari gigi-gigi yang tajam dapat potong dengan bur akrilik untuk
mendapatkan kontur yang diinginkan. Untuk membentuk permukaan yang
halus dan bersih bur baja, bur batu, pahat dan pengerok yang tajam (scraper)

16
dapat digunakan. Tidak boleh ada gips dan goresan-goresan yang dalam
tertinggal dipermukaan basis sebelum pemolesan dilakukan. Roda pemoles
dari kain (reg wheel) dan kerucut pemoles (felt cone) dengan pumis baik
untuk menghaluskan bagian palatal gigi tiruan rahang atas. Untuk
menghaluskan tanpa merusak kontur bagian labial dan bukal gigi tiruan dapat
menggunakan roda sikat yang tipis dan roda kain dengan lebar 6 mm serta
pumis. Pemolesan terakhir pada seluruh pemukaan gigi tiruan dilakukan
dengan menggunakan roda kain dan bahan poles tripoli, oksida Pb, dan air.
Pemolesan dilakukan agar permukaan gigi tiruan berbahan resin akrilik
menjadi lebih halus sehingga mengurangi resiko penumpukan sisa makanan
yang akan menimbulkan bau tidak sedap.14
Terdapat bahan alternatif lain yang dapat digunakan sebagai basis gigi
tiruan yaitu bahan logam. noduAkan tetapi basis gigi tiruan dengan bahan
logam ini memiliki beberapa kekurangan yaitu biaya pembuatan dan
perbaikannya lebih tinggi dibanding dengan akrilik serta waktu
pembuatannya lebih lama.12,14 Gigi tiruan dengan basis logam merupakan
penghantar panas yang lebih baik dari akrilik, memiliki resiko iritasi dan
stimulasi dari panas dan dingin juga kecil, membuat ruang lidah lebih besar
karena ketebalan basis di palatum dapat dikurangi, meningkatkan ketepatan
kontak permukaan basis gigi tiruan dengan mukosa pendukung gigi tiruan,
meningkatkan kesetabilan gigi tiruan karena adanya peningkatan berat basis
gigi tiruan.12
Flange atau sayap merupakan perpanjangan dasar vertikal dari basis gigi
tiruan ke salah satu vestibulum rongga mulut. Salah satu fungsi sayap adalah
memberikan segel tepi dan stabilitas horisontal ke gigi tiruan. Sayap diberi
nama sesuai dengan ruang dimana sayap berada yaitu sayap labial, sayap
bukal dan sayap lingual.12
Denture border didefinisikan sebagai garis batas dari basis gigi tiruan di
antara permukaan poles dan permukaan cetak.11 Perbatasan gigi tiruan harus
tanpa tepi tajam dan membulat untuk menghindari cedera jaringan lunak.

17
perbatasan gigi tiruan berlebihan dapat menyebabkan perubahan jaringan
hiperplastik seperti Epulis Fissuratum.12
Denture teeth atau Gigi tiruan merupakan bagian paling penting dari gigi
tiruan lengkap apabila dilihat dari sudut pandang pasien. Fungsi gigi tiruan
adalah estetika, mastikasi dan fonetik. Sebagian besar gigi tiruan terbuat dari
resin akrilik, poselen atau kombinasi resin akrilik dan logam pada permukaan
oklusal.12 Keuntungan dari gigi tiruan resin akrilik adalah harganya murah,
penampilan terlihat alami, terdapat pertahanan terhadap pecah dan gigitan
gigi, mudah untuk disesuaikan, paling banyak memiliki kemampuan untuk
mengikat gigi tiruan resin akrilik pada basis, sedangkangkan kekurangannya
adalah kurang tahan lama, cenderung terlihat berubah menjadi kusam selama
penggunaan sebagai akibat dari hilangnya kilau di permukaan dan pada saat
memoles gigi tiruan dibutuhkan perhatian khusus untuk mencegah modifikasi
yang tidak diinginkan pada kontur gigi15,17
Gigi tiruan porselen memiliki keuntungan adalah secara klinis pemakaian
tidak terlihat signifikan, tidak mudah berubah warna, ketahanan terhadap
abrasi tinggi, retensi permukaan dan finishing permukaan yang lebih baik dan
kekurangan pada gigi tiruan porselen adalah memiliki suara benturan yang
tajam, memotong gigi, kesulitan dalam mengembalikan permukaan poles
setelah pengasahan, tidak dapat digunakan dalam kasus yang memiliki ruang
yang minimal.14 Metal Insert Teeth merupakan gigi akrilik dengan
permukaan oklusal logam, keuntungannya adalah meningkatnya ketahanan
aus, meningkatkan efisiensi pengunyahan dan tidak menghasilkan suara
sebanyak gigi porselen, sedangkan kekurangannya adalah meningkatnya
biaya dan tidak estetis seperti gigi tiruan lainnya.15
Dalam pemeliharaannya, gigi tiruan harus dibersihkan dengan
menggunakan sikat pembersih gigi tiruan dan pasta gigi / air sabun (bahan
pembersih). Prostesa dapat dibersihkan dengan menggunakan bahan seperti
pembersih kimia yaitu (1) asam tidak boleh digunakan karena bisa
menimbulkan korosi pada logam. Larutan hasil pengenceran dari
Chlorhexidine, Sodium perborate atau Nystatin dapat digunakan untuk

18
menyimpan gigi tiruan, (2) pembersih ultrasonik, merupakan pembersih
dengan gelembung kecil yang membantu membersihkan partikel makanan
diseluruh area gigi tiruan, dan (3) merendam dan menyikat gigi dengan sikat
gigi tiruan.12
Pasien disarankan untuk menghindari memakai prothesis saat tidur. Gigi
tiruan harus disimpan dalam air atau larutan obat yang telah diencerkan pada
malam hari. Jika pasien memakai gigi tiruan saat tidur, mukosa tidak dapat
beristirahat untuk meningkatkan suplai darahnya. Hal ini dapat menyebabkan
resorpsi tulang dan degenerasi mukosa. Pemakaian gigi tiruan saat tidur
diperbolehkan pada kondisi pada pasien dengan bruxism yang kerusakan pada
jaringan oral lebih banyak jika prostesis tidak dipakai dan pada kasus apabila
pasien memiliki gigi tiruan lengkap rahang atas dan gigi tiruan sebagian
rahang bawah. Jika pasien bersikeras mengenakan gigi tiruan lengkap rahang
atas untuk estetika, maka gigi tiruan yang lebih rendah juga harus dipakai
bersamaan dengan gigi tiruan atas.13

D. Halitosis
Halitosis, fetor oris, oral malodor atau bau mulut adalah istilah umum
yang digunakan untuk menggambarkan bau tak sedap yang berasal dari mulut
seseorang terlepas dari apakah zat berbau tersebut berasal dari dalam ataupun
luar mulut.16 Umumnya halitosis dapat dikelompokkan menjadi tiga
kelompok: halitosis murni, pseudohalitosis, dan halitofobia. Halitosis murni
merupakan bau mulut yang jelas dan melampaui tingkat yang dapat diterima
secara sosial dan dapat diklasifikasikan sebagai halitosis fisiologis atau
patologis.17 Halitosis fisiologi terdiri dari halitosis yang disebabkan oleh
makanan, kebiasaan buruk, dan morning breath. Halitosis patologis dapat
berasal dari intraoral dan juga ekstraoral. Halitosis intraoral terbentuk karena
adanya kondisi patologi dari jaringan rongga mulut.18 Sementara halitosis
patologis yang berasal dari ektraoral adalah bau mulut yang berasal dari
daerah nasal, paranasal dan atau laring, saluran pulmonary atau saluran
pencernaan bagian atas, kelainan apapun ditubuh ketika bau tersebut terbawa

19
darah dan dipancarkan melalui paru-paru (misalnya diabetes melitus, sirosis
hati, uremia, perdarahan internal).19
Pseudohalitosis adalah keadaan ketika pasien mengeluhkan bau mulut tetapi
tidak dirasakan oleh orang lain. Kondisi ini dapat ditangani dengan konsultasi
dan pengukuran OH. Halitophobia merupakan keluhan bau mulut yang terus
dirasakan bahkan setelah halitosis telah dirawat. Keadaan halitophobia dikatakan
apabila tidak ada bukti fisik atau sosial yang mengatakan bahwa seseorang
menderita halitosis.20,21 Halitosis dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
namun penyebab utama terjadinya halitosis adalah pelepasan senyawa sulfur
volatil (VSCs), yang meliputi hidrogen sulfida, dimetil sulfida dan metil
mercaptan. Volatile sulfur compounds (VSCs) adalah hasil produksi dari
aktifitas bakteri anaerob di dalam mulut yang menghasilkan senyawa berupa
sulfur yang mudah menguap dan berbau tidak sedap.22
Bakteri yang hidup di dalam permukaan lidah dan kerongkongan yang
secara normal ada disana untuk membantu memecah protein dalam proses
pencernaan manusia bisa menjadi penyebab halitosis. Permukaan oral
terdapat spesies bakteri yang dapat bersifat sakarolitik, yaitu menggunakan
karbohidrat sebagai sumber energi dan yang bersifat asakarolitik atau
proteolitik, yaitu menggunakan protein, peptida atau asam amino sebagai
sumber utamanya. Kebanyakan bakteri gram positif bersifat sakarolitik,
sementara bakteri gram negatif bersifat asakarolitik atau proteolitik. Protein
merupakan sumber energi bagi bakteri yang bersifat asakarolitik. Protein
dapat diperoleh pada makanan tertentu seperti telur ayam, kubis, ikan, daging,
susu dan lain-lain. Protein juga dapat diperoleh pada sel-sel darah yang telah
mati, bakteri-bakteri yang mati ataupun sel-sel epitel yang terkelupas dari
mukosa mulut dan pada penyakit tertentu.22
Substrat protein akan dipecah menjadi rantai peptida dan asam amino
yang mengandung sulfur seperti methionine, cysteine, dan cystine oleh
mikroorganisme terutama bakteri gram negatif. Asam amino utama yang
menghasilkan VSCs, yaitu: cysteine menghasilkan hidrogen sulfide,
methionine menghasilkan methyl mercaptan, dan cystine menghasikan

20
dimethyl sulfide. Cystine dan methionine mengandung sulfur tetapi hanya
pada rantai sampingnya.23
VSCs diproduksi oleh bakteri anaerob proteolitik gram negatif. Mikroba
ini terletak di daerah kantong periodontal, permukaan lidah, daerah
interproksimal antara gigi dan gigi yang karies. Bakteri utama yang terlibat
dalam terbentuknya halitosis adalah Fusobacterium nucleatum, Prevotella
intermedia dan Tannerella forsythensis, sedangkan bakteri lain yang terlibat
dalam produksi VSCs adalah Porphyromonas gingivalis, Porphyromonas
endodontalis,Treponema denticola, Actinomycetemcomitans Aggregatibacter,
Atopobium parvulum, Campylobacter rektus, Desulfovibrio sp, Eikenella
corrodens, Eubacterium sulci, Fusobacterium sp dan Peptostreptococcus
mikros. Helicobacter pylori juga dapat menghasilkan VSCs karena itu bakteri
ini juga dianggap sebagai penyebab halitosis.24
Ada beberapa makanan dan minuman yang dapat membuat mulut
kering, seperti cairan yang mengandung alkohol (anggur dan beberapa obat
kumur) dan rokok, atau protein dan gula dalam konsentrasi tinggi. Produk
susu dapat melepaskan asam amino yang kaya belerang didalam mulut.
Bawang merah dan bawang putih mengandung konsentrasi belerang yang
tinggi sehingga bisa melewati lapisan usus menuju ke dalam aliran darah,
kemudian dilepaskan ke paru-paru dan kemudian dihembuskan. Merokok
tidak hanya meningkatkan konsentrasi VSCs dimulut dan paru-paru, namun
juga dapat memperburuk keadaan karena dapat memberikan efek keringnya
mukosa oral. Morning breath berhubungan dengan penurunan produksi
sementara air liur dan sekresi sehingga terjadi pengeringan sementara pada
mulut.23
Beberapa penyebab halitosis yang berasal dari intraoral yaitu (1) gingiva
terkait plak dan penyakit periodontal, seperti gingivitis, periodontitis,
Gingivitis ulseratif nekrotikanat, perikoronitis, abses, (2) ulserasi disebabkan
oleh keganasan, penyebab lokal, apthae, obat-obatan, (3) hiposalivasi yang
disebabkan oleh obat-obatan, radioterapi, kemoterapi, sindrom Sjögren, (4)
Tongue Coating yang disebabkan oleh kebersihan mulut yang buruk, (5)

21
penumpukan debris pada dental appliance, dan (6) penyakit tulang seperti
osteomielitis, osteonekrosis, dry socket dan malignancy.25
Apabila oral hygiene buruk, sisa makanan dan plak bakteri menumpuk
pada gigi dan lidah, dan menyebabkan penyakit karies dan periodontal seperti
radang gusi dan periodontitis. Peradangan jaringan gingival dan periodontal
dapat menyebabkan halitosis26,27 dan penyakit periodontal terkait dengan plak
dapat meningkatkan tingkat keparahan halitosis. Selain kondisi periodontal,
lesi karies dalam yang tidak diobati juga menciptakan area retensi untuk sisa
makanan dan plak bakteri dan dapat menyebabkan halitosis. Faktor penting
dalam halitosis lainnya adalah aliran air liur. Intensitas senyawa sulfur
meningkat karena pengurangan aliran air liur atau xerostomia. Air liur
berfungsi sebagai penyangga atau agen pembersih dan menjaga bakteri pada
tingkat yang dapat dikendalikan di mulut. Pengurangan aliran saliva memiliki
efek negatif pada pembersihan diri dari mulut dan pembersihan mulut yang
tidak memadai menyebabkan halitosis. Pengurangan aliran saliva dapat
dipengaruhi dari banyak alasan seperti obat (misalnya antidepresan,
antipsikotik, diuretik, dan antihipertensi), penyakit kelenjar ludah (misalnya
diabetes, Sjorgen syndrome), kemoterapi, atau radioterapi.28-30
Faktor lain yang berkontribusi terhadap halitosis adalah faktor
endodontik, bedah, gigi dengan pulpa terbuka dan gigi yang non vital dengan
fistula mengalir ke mulut, kanker mulut, ulserasi, ekstraksi/penyembuhan
luka, prostetik, ortodontik, tidak membersihkan gigi tiruan secara teratur,
pemakaian gigi tiruan pada malam hari, mahkota restoratif yang tidak
beradaptasi dengan baik, tidak membersihkan pontik pada gigi tiruan
sebagian cekat, dan impaksi makanan pada interdental. Semua faktor ini
menyebabkan area retensi makanan atau plak, meningkatkan jumlah bakteri,
kerusakan jaringan, pembusukan asam amino, dan penurunan aliran air liur.
Semua kondisi ini berakibat pada pelepasan senyawa volatil dan
menyebabkan halitosis.28,32,33
Hampir 8% kasus halitosis patologis disebabkan oleh faktor ekstraoral.
Masalah sistem pernafasan, penyakit saluran cerna, penyakit hati, gangguan

22
sistem hematologi atau endokrin dan kondisi metabolik semuanya bisa
menjadi penyebab halitosis. Masalah sistem pernapasan dapat dibagi menjadi
masalah saluran pernapasan bagian atas dan bawah, beberapa diantaranya
adalah sinusitis, langit-langit sumbing, keganasan pada hidung, tonsillolith,
tonsilitis, keganasan pada faring, infeksi paru-paru, bronkitis.28,34 Aktivitas
bakteri dalam patologi ini menyebabkan halitosis yang menyebabkan
pembusukan jaringan atau menyebabkan nekrosis jaringan dan ulserasi dan
produksi gas berbau busuk, yang semakin lama akan menyebabkan
halitosis.28
Penyakit gastrointestinal menyebabkan halitosis. Stenosis pilorus,
obstruksi duodenum, divertikulum zenker, hiatus hernia menyebabkan retensi
makanan, reflux esophagitis, akalasia, steatorrhea, atau infeksi Helicobacter
pylori menyebabkan ulkus lambung.28,35 Gastroesophageal reflux disease
(GERD) berpotensi mempengaruhi faring, laring, dan mulut, dan pada saat ini
sebagian besar kasus halitosis yang berasal dari ekstraoral dihasilkan dari
pertumbuhan bakteri di bagian belakang kepala bagian belakang lidah, masuk
akal untuk berasumsi bahwa halitosis mungkin juga merupakan akibat dari
GERD, walaupun GERD tidak mungkin menjadi gejala utama yang
dilaporkan pasien.36,37 Penyakit hati atau hematologi yang merupakan
kegagalan hati (foetor hepaticus) dan leukemia, gagal ginjal, kelainan sistem
endokrin yang merupakan ketoasidosis diabetes atau menstruasi, gangguan
metabolik pada trimetilaminuria juga dapat menyebabkan halitosis.25
Halitosis dapat diuji dengan menggunakan dua metode utama yaitu,
organoleptik dan penilaian VSCs menggunakan meteran elektronik seperti
Halimeter. Dalam metode organoleptik, halitosis dinilai oleh penguji pada
jarak tetap dengan nilai bau dan tingkat keparahan penilaian halitosis yang
ditetapkan atas dasar presepsi penguji tersebut. VSC diukur dari pemantau
sulfida yang mendeteksi senyawa seperti hidrogen sulfida, metil mercaptan,
dan dimetil sulfida yang merupakan senyawa yang berkontribusi terhadap
halitosis.38 Meskipun pemantau sulfida bersifat portabel dan mudah
digunakan, sebagian besar tidak spesifik untuk VSC. Halimeter memiliki

23
sensitivitas tinggi untuk hidrogen sulfida, namun sensitivitas rendah untuk
metil mercaptan, yang merupakan kontributor penting untuk halitosis yang
disebabkan oleh penyakit periodontal. Dengan demikian, prosedur yang
paling andal dan praktis untuk mengevaluasi tingkat malodour oral pasien
adalah pengukuran dengan metode organoleptik.39

E. Metode Organoleptik
Pentingnya metode organoleptik karena bau merupakan karakteristik
subyektif dari halitosis. Pendekatan yang paling sederhana dan umum
digunakan untuk mengukur halitosis adalah metode organoleptik, yang
dilakukan dengan langsung mengendus udara mulut subjek. Namun,
pengukuran organoleptik dengan mengendus udara langsung tidak
obyektif.40,41 Solusi yang mungkin untuk mengatasi keterbatasan ini adalah
dengan menggunakan metode pengujian organoleptik yang lebih sistematik
dan standar untuk mengukur halitosis.42
Pengukuran organoleptik dapat dilakukan hanya dengan mencium napas
pasien dan menilai tingkat halitosis pasien. Dengan menyisipkan tabung
transparan dengan diameter 2,5 cm dan panjang 10-12 cm ke mulut pasien
dan menginstruksikan orang tersebut untuk menghembuskan napas perlahan,
napas tidak tercampur oleh udara ruangan, lalu dapat dievaluasi dan diberi
skor organoleptik (Tabel 1).43
Namun, untuk mencegah pasien dari melihat penguji mencium dari
tabung, layar pembatas sering digunakan. Tabung dimasukkan melalui layar
pembatas yang berukuran 50-70 cm yang memisahkan penguji dan pasien
(Gambar 5). Penggunaan layar pembatas memungkinkan pasien untuk
percaya bahwa mereka telah menjalani pengujian khusus daripada prosedur
langsung tanpa pembatas.43

24
Tabel 1. Organoleptic score.45

Skala Kategori Keterangan


0 Absence of odour (Tidak ada bau) Tidak ada bau terdeteksi
1 Questionable odour (Bau yang Bau dapat terdeteksi, tetapi penguji
diragukan) tidak dapat mengenali bau sebagai
bau mulut.
2 Slight malodour (Kelainan bau Bau masih dipertimbangkan, bau
yang ringan) dapat dirasa
3 Moderate malodour (Kelainan bau Bau dapat dirasakan
sedang
4 Strong malodour (Kelainan bau Bau dapat dirasakan, tetapi masih
yang kuat) dapat ditoleransi oleh penguji.
5 Severe malodour (Kelainan bau Bau dapat dirasakan, tetapi tidak
yang parah) dapat ditoleransi oleh penguji.
(penguji secara tidak langsung
menjauhkan hidungnya)

Gambar 5. Pengukuran halitosis dengan menggunakan metode organoleptik.


Menggunakan tabung transparan yang disisipkan pada layar pembatas
antara penguji dan subyek.76

Penguji juga harus memiliki indra penciuman yang normal sehingga


dilarang untuk meminum kopi, teh atau jus, merokok dan menggunakan
parfum sebelum pengujian dilakukan.30 Sebelum uji diagnostik organoleptik
dilakukan, ada ketentuan umum bahwa subjek atau pasien harus menahan diri

25
dari hal-hal berikut yaitu (1) mengonsumsi makanan pedas, terutama yang
mengandung bawang putih, bawang merah dan bawang bombay, selama 24
jam (beberapa penelitian akan mengatakan 48 jam) sebelum tes, (2)
menggunakan produk tembakau pada pagi hari saat mereka akan menjalani
pengujian, atau dalam waktu 4 jam (beberapa penelitian akan mengatakan 12
jam jika memungkinkan) untuk pengujian pada sore hari, (3) makan, minum
minuman yang memiliki rasa, melakukan prosedur kebersihan mulut,
menggunakan larutan kumur atau menggunakan penyegar napas pada pagi
hari pada saat penilaian atau 12 jam sebelum penilaian, atau di dalam 4 jam
sebelum penilaian di siang hari. Beberapa literatur memungkinkan kebersihan
mulut yang terbatas (dapat melakukan penyikatan gigi namun tanpa
menggunakan pasta gigi) dan memungkinkan pasien untuk sarapan pagi
untuk menghilangkan morning bad breath pada hari penilaian. Bagi mereka
yang secara teratur membersihkan lidah mereka, mereka diminta menahan
diri dari hal ini dalam waktu 24 jam sebelum pengujian, (4) minum air putih 1
jam sebelum pengujianya, (5) mengenakan parfum yang wangi atau kosmetik
wangi yang sangat beraroma pada hari penilaian.45
Terdapat beberapa kriteria pengecualian subyek dalam penelitian
halitosis dengan metode organoleptik, yaitu (1) pasien dengan riwayat medis
penyakit menular (misalnya hepatitis, HIV, tuberkulosis), (2) karies yang
banyak dan parah, radang gusi parah, periodontitis tingkat lanjut, sariawan
pada rongga mulut, (3) mengonsumsi antibiotik dalam waktu 1 bulan sebelum
memulai pengujian, (4) mengonsumsi permen obat yang mengandung zat
antimikroba, (5) terdapat perubahan perilaku kebersihan mulut selama
menjadi subjek penelitian, (6) mengonsumsi makanan yang terkait dengan
bau (misalnya bawang putih) pada hari sebelum, dan pada hari pengambilan
sampel, dan penggunaan kosmetik wangi yang berlebihan pada hari
pengujian, (7) gigi tiruan substansial, dan (8) perokok.45

26
BAB III
KERANGKA TEORI

Gigi tiruan yang tidak dirawat dengan baik, dapat menyebabkan


penumpukkan plak pada rongga mulut pasien. Pengguna gigi tiruan sebagian
cekat harus mampu untuk menjaga kebersihan yang baik di sekitar dan di bawah
pontik dengan benang gigi ataupun sikat interdental mencegah akumulasi plak dan
debris. Sementara itu, pada pengunaan gigi tiruan lepasan baik gigi tiruan
sebagian ataupun gigi tiruan lengkap memiliki basis yang salah satu fungsinya
adalah sebagai tempat melekatnya pontik. Bahan yang biasa digunakan pada
basis gigi tiruan adalah resin akrilik. Akan tetapi, apabila basis gigi tiruan resin
akrilik tidak dipoles dengan baik dan pasien tidak menjaga kebersihan mulutnya,
sisa makanan yang melekat pada gigi tiruan dan disekitar jaringan lunak di dalam
mulut pasien akan menimbulkan halitosis atau bau mulut yang tidak sedap.
Halitosis yang murni dapat diklasifikasikan sebagai halitosis fisiologis atau
patologis. Halitosis patologis dapat berasal dari intraoral dan juga ekstraoral.
Halitosis patologis intraoral terbentuk karena adanya kondisi patologis dari
jaringan rongga mulut seperti lesi oral, xerostomia, kanker mulut, tongue coating,
dental appliance, gigi yang karies dan juga gigi tiruan. Sementara halitosis
patologis yang berasal dari ektraoral diantaranya masalah sistem pernafasan,
penyakit saluran cerna, penyakit hati, gangguan sistem hematologi atau endokrin
dan kondisi metabolik. Beberapa diantaranya adalah diabetes melitus, sirosis hati,
uremia, sinusitis, langit-langit sumbing, keganasan pada hidung, tonsillolith,
tonsilitis, keganasan pada faring, infeksi paru-paru, bronkitis, stenosis pilorus,
obstruksi duodenum, divertikulum zenker, hiatus hernia, Gastroesophageal
Reflux Disease (GERD), akalasia, steatorrhea, ulkus lambung, kegagalan hati,
leukemia, gagal ginjal, ketoasidosis diabetes, dan trimetilaminuria juga dapat
menyebabkan halitosis. Semua faktor ini menyebabkan adanya retensi makanan
atau plak, meningkatkan jumlah bakteri, kerusakan jaringan, dan pembusukan

27
asam amino. Kondisi ini berakibat pada pelepasan senyawa sulfur volatil (VSCs),
yang meliputi hidrogen sulfida, dimetil sulfida dan metil mercaptan. Volatile
sulfur compounds (VSCs) adalah hasil produksi dari aktifitas bakteri anaerob di
dalam mulut yang menghasilkan senyawa berupa sulfur yang mudah menguap dan
berbau tidak sedap.
Halitosis dapat diuji dengan menggunakan dua metode utama yaitu,
organoleptik dan penilaian VSCs menggunakan meteran elektronik seperti
Halimeter. Dalam metode organoleptik, halitosis dinilai oleh penguji pada jarak
tetap dengan nilai bau dan tingkat keparahan penilaian halitosis yang ditetapkan
atas dasar presepsi penguji tersebut.

28
Gigi tiruan

Pasien pengguna Pasien pengguna Pasien pengguna


GTC GTSL GTL

OH buruk

Asam amino (cystine,


cysteine dan methionine)

Bakteri proteolitik
gram negatif

VSCs

Menyebabkan

Halitosis  Uji organoleptik


 Halimeter

BAB
Gambar IV
6. Kerangka teori.

29
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional deskriptif dengan
rancangan cross-sectional.

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Tempat : RSGM FKG USAKTI
Waktu Penelitian : September - Desember 2017

C. Populasi dan Sampel Penelitian


1. Populasi penelitian
Populasi penelitian adalah pasien di RSGM-P FKG USAKTI yang
datang ke bagian prostodontik yang datang pada bulan September-
Desember 2017.
2. Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang menjadi suatu subjek
penelitian. Sampel pada penelitian ini ditentukan dengan metode
consecutive sampling. Sampel pada penelitian ini adalah penguna gigi
tiruan di RSGM-P FKG USAKTI yang datang ke bagian prostodontik
yang datang pada bulan September-November 2017 dengan penggunaan
gigi tiriuman selama 2 minggu.
3. Besar sampel
Besar sampel penelitian diperoleh berdasarkan rumus yang
dikembangkan oleh Snedecor dan Cochran pada penelitian deskriptif.46

30
Zα2pq
N=
d2

(1,64)2 × 0,76 × 0,24


N=
(0,1)2

(2,6896) 0,1824
N=
0,01
0,4906
N=
0,01

N= 49

Keterangan:
N = Besarnya sampel
Zα = Simpangan rata-rata distribusi normal standar pada derajat
kemaknaan α
P = Proporsi variabel yang dikehendaki
Q = 1-P
D = Presisi yang diinginkan 10%

D. Kriteria Inklusi dan Ekslusi


1. Kriteria inklusi
a. Pasien pria atau wanita di RSGM-P FKG USAKTI.
b. Pengguna gigi tiruan sebagian cekat, gigi tiruan sebagian lepasan, gigi
tiruan lengkap dengan penggunaan minimal satu bulan setelah
pemasangan pertama.
c. Pasien yang tidak menderita halitosis sebelum menggunakan gigi
tiruan.

31
d. Menyetujui untuk dijadikan sampel penelitian.
2. Kriteria ekslusi
a. Pasien dengan kalkulus dan karies profunda
b. Pasien mengeluhkan xerostomia dan tidak terdapat coated tongue.
c. Pasien menderita gangguan pernafasan dan gastrointestinal.
d. Pasien yang menderita sirosis hati, diabetes mellitus, uremia.
e. Pasien dengan riwayat penyakit menular.
f. Pasien mengkonsumsi makanan yang berbau menyengat seperti bawang
putih sehari sebelum dan pada hari saat pengujian dilakukan, dan
memakai parfum pada hari pengujian dilakukan.
g. Perokok.

E. Definisi Operasional
1. Halitosis
Halitosis adalah bau mulut yang tidak sedap yang dapat disebabkan
karena adanya volatile sulfur compounds (VSCs). Volatile sulfur
compounds adalah hasil produksi dari aktifitas bakteri anaerob di dalam
mulut yang menghasilkan senyawa berupa sulfur yang mudah menguap
dan berbau tidak enak.
2. Gigi tiruan
Gigi tiruan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah fixed partial
denture, removable partial denture, dan full denture yang telah digunakan
minimal oleh pasien yang datang ke RSGM-P FKG USAKTI.
3. Uji organoleptik
Pengujian organoleptik untuk halitosis dinilai oleh tiga penguji pada
jarak tetap dengan nilai bau dan tingkat keparahan penilaian halitosis yang
ditetapkan atas dasar presepsi penguji tersebut. Pengujian ini dibantu oleh
dosen pembimbing atau mahasiswa klinik. Tabung transparan berukuran
2,5 cm x 12 cm dan layar pembatas berukuran 50 cm x 70 cm untuk lebih
memberi privasi kepada penguji dan juga subyek. Kemudian subjek

32
tersebut diinstruksikan untuk menghembuskan napas perlahan melalui
tabung tersebut agar napas tidak tercampur oleh udara ruangan, lalu dapat
dievaluasi dan diberi skor organoleptik. Skala yang digunakan dalam
pengujian ini adalah skala ordinal 0-5 (Tabel 1).

Tabel 1. Organoleptic Score45

Skala Kategori Keterangan


0 Absence of odour (Tidak ada Tidak ada bau terdeteksi
bau)
1 Questionable odour (Bau yang Bau dapat terdeteksi, tetapi penguji
diragukan) tidak dapat mengenali bau sebagai
bau mulut.
2 Slight malodour (Kelainan bau Bau masih dipertimbangkan, bau
yang ringan) dapat dirasa
3 Moderate malodour (Kelainan Bau dapat dirasakan
bau sedang
4 Strong malodour (Kelainan bau Bau dapat dirasakan, tetapi masih
yang kuat) dapat ditoleransi oleh penguji.
5 Severe malodour (Kelainan bau Bau dapat dirasakan, tetapi tidak
yang parah) dapat ditoleransi oleh penguji.
(penguji secara tidak langsung
menjauhkan hidungnya)

F. Alat dan Cara Kerja


1. Alat:
a. Lembar informasi pasien
b. Lembar persetujuan / inform consent
c. Kuosioner
d. Data sekunder (rekam medis)
e. Alat tulis (kertas hvs, pulpen, pensil, penghapus)
f. Timer
g. Sonde
h. Kaca mulut
i. Pinset

33
j. Layar pembatas berukuran 50 x 70cm
k. Tabung transparan berukuran 2,5cm x 12cm
2. Cara kerja:
a. Pemberian informasi serta instruksi tentang penelitian yang
dilakukan kepada pasien dilanjutkan dengan penandatanganan
infrom consent.
b. Subjek diinstruksikan untuk menghindari makan makanan pedas,
bawang merah dan bawang putih, menggunakan parfum, meminum
alkohol, dan menggunakan obat kumur setidaknya pada 24 jam
sebelum pengujian dilakukan.
c. Pengisian data dan kuesioner oleh subjek dibantu oleh peneliti.
d. Pada hari pengujian, ketiga penguji diinstruksikan untuk
menghindari meminum kopi, teh, jus, merokok serta menggunakan
parfum.
e. Layar pembatas berukuran 50 x 70 cm dengan tube berukuran 2,5 x
12 cm yang disisipkan di tengah pembatas yang berada diantara
subyek dan peneliti.
f. Subjek diinstruksikan untuk menghembuskan nafas secara perlahan
pada salah satu sisi tabung.
g. Penguji menghidu bau mulut dari nafas subjek sekitar 1-2 detik dari
sisi lain tabung tersebut. Setelah itu, hidung penguji menjauhi tabung
transparan selama 3-4 detik.
h. Kemudian penguji akan memberikan nilai sesuai dengan presepsi
penguji terhadap bau mulut subjek. Hasil akan dicacat pada formulir
skala nilai organoleptik.

34
G. Alur Penelitian

Pasien pengguna gigi tiruan cekat dan lepasan yang datang


RSGM-P FKG USAKTI yang memenuhi kriteria inklusi dan
ekslusi serta telah menggunakan gigi tiruan tersebut 2
minggu setelah pemakaian pertama diikutsertakan menjadi
sampel penelitian.

Pemberian informasi kepada subjek mengenai penelitian


yang akan dilakukan. Apabila subjek bersedia menjadi
subjek penelitian, selanjutnya pasien diminta untuk
menandatangani infrom consent dan dilanjutkan dengan
pengisian data dan kuesioner yang dibantu oleh peneliti.

Pengujian ada atau tidaknya halitosis dengan menggunakan


metode organoleptik.

Hasil pengujian diolah untuk mengetahui berapakah


prevalensi penderita halitosis pada pengguna gigi tiruan di
RSGM-P FKG USAKTI

Kesimpulan

Gambar 7. Alur penelitian.

H. Analisis Data
Data yang telah diperoleh dideskripsikan berdasarkan ada atau tidaknya
halitosis pada pengguna gigi tiruan yang dapat diklasifikasikan sesuai dengan
jenis kelamin, usia, serta jenis gigi tiruan yang kemudian diolah
menggunakan Microsoft Excel.

35
BAB V

HASIL PENELITIAN

A. Distribusi Subjek Penelitian Secara Umum


1. Distribusi frekuensi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin
Data distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin dengan
menggunakan uji deskriptif statistik dapat dilihat pada tabel 2.
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa sebagian besar subjek
penelitian memiliki jenis kelamin perempuan yaitu sebesar 59,2%.

Tabel 2. Distribusi frekuensi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin.

Jenis Kelamin Frekuensi (n) Presentase (%)


Laki – laki 20 40,8
Perempuan 29 59,2
49 100

2. Distribusi frekuensi subjek penelitian berdasarkan usia


Data distribusi subjek penelitian berdasarkan usia dengan
menggunakan uji deskriptif statistik dapat dilihat pada tabel 3. Tabel
tersebut memperlihatkan bahwa sebagian besar subjek penelitian masuk
kedalam kelompok lansia akhir.

36
Tabel 3. Distribusi frekuensi subjek penelitian berdasarkan usia.

Klasifikasi Usia Frekuensi (n) Presentase (%)


Dewasa Awal (26-35) 5 10,2
Dewasa Akhir (36-45) 8 16,3
Lansia Awal (46-55) 12 24,5
Lansia Akhir (56-65) 16 32,7
Manula (>65) 8 16,3
49 100

3. Jenis Gigi Tiruan


Data distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis gigi tiruan yang
digunakan dapat dilihat pada tabel 4. Berdasarkan tabel tersebut sebagian
besar subjek penelitian menggunakan Gigi Tiruan Lengkap (GTL)
dengan presentase 36,7%.

Tabel 4. Distribusi frekuensi subjek penelitian berdasarkan jenis gigi tiruan


yang digunakan.

Jenis Gigi Tiruan Frekuensi (n) Presentase (%)


GTC 15 30,6
GTSL 16 32,7
GTL 18 36,7
Jumlah 49 100

B. Prevalensi Halitosis pada Pasien Pengguna Gigi Tiruan


Penelitian yang telah dilakukan mendapatkan data bahwa dari 49 pasien
yang menggunakan gigi tiruan, sebanyak 32 atau 65,3% diantaranya
menderita halitosis. Hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.

37
BUKAN PENDERTIA
34,7% HALITOSIS
PENDERITA HALITOSIS
65,3%

Gambar 8. Prevalensi halitosis pada pengguna gigi tiruan.

C. Distribusi Halitosis pada Pengguna Gigi Tiruan


1. Distribusi halitosis pada penguna gigi tiruan berdasarkan jenis kelamin.
Data distribusi frekuensi halitosis pada pengguna gigi tiruan
berdasarkan jenis kelamin dengan menggunakan uji deskriptif statistik
dapat dilihat pada tabel 5. Berdasarkan tabel tersebut, didapatkan data
bahwa halitosis ditemukan pada laki-laki dan perempuan dengan
presentase yang sama.

Tabel 5. Distribusi halitosis pasien pengguna gigi tiruan berdasarkan jenis


kelamin.

Halitosis (n)
Jenis Kelamin Jumlah
(+) (-)

Laki – laki 16 (32,65%) 4 (8,2%) 20 (40,82%)


Perempuan 16 (32,65%) 13 (26,5%) 29 (59,18%)
32 (65,3%) 17 (34,7%) 49 (100%)

2. Distribusi halitosis pada pengguna gigi tiruan berdasarkan usia


Data distribusi frekuensi halitosis pada pengguna gigi tiruan
berdasarkan usia dengan menggunakan uji deskriptif statistik dapat

38
dilihat pada tabel 6. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa halitosis
lebih banyak diderita pada kelompok lansia akhir dengan rentang usia
56-65 tahun.

Tabel 6. Distribusi frekuensi halitosis pada pengguna gigi tiruan berdasarkan


usia.

Klasifikasi Usia Frekuensi (n) Presentase (%)


Dewasa Awal (26-35) 2 6,3
Dewasa Akhir (36-45) 5 15,6
Lansia Awal (46-55) 9 28,1
Lansia Akhir (56-65) 12 37,5
Manula (>65) 4 12,5
32 100

3. Distribusi halitosis pada pengguna gigi tiruan berdasarkan jenis gigi


tiruan
Penelitian ini menunjukkan bahwa pengguna Gigi Tiruan Sebagian
Lepasan (GTSL) lebih banyak menderita halitosis dan halitosis lebih
sedikit ditemukan pada pengguna Gigi Tiruan Cekat (GTC). Data
distribusi frekuensi halitosis pada pengguna gigi tiruan berdasarkan jenis
gigi tiruan yang digunakan dengan menggunakan uji deskriptif statistik
dapat dilihat pada Gambar 9.

21,9%
40,6%
GTC
37,5% GTSL
GTL

Gambar 9. Prevalensi halitosis pada pasien pengguna gigi tiruan


berdasarkan jenis gigi tiruan yang digunakan.

39
D. Distribusi Tingkat Keparahan Halitosis pada Pengguna Gigi Tiruan
Tingkat keparahan halitosis pada pengguna gigi tiruan denga
menggunakan metode organoleptik dapat dilihat pada tabel 7. Berdasarkan
nilai rata-rata yang ada dalam tabel tersebut, didapatkan bahwa halitosis pada
pengguna gigi tiruan sebagian besar ditemukan dengan tingkat kelainan bau
yang sedang.

Tabel 7. Distribusi frekuensi tingkat keparahan halitosis berdasarkan skala


organoleptik.

Skala Kategori Frekuensi (n) Presentase (%)


0 Tidak ada bau 17 34,7
1 Bau yang diragukan 0 0
2 Kelainan bau yang ringan 11 22,4
3 Kelainan bau sedang 12 24,5
4 Kelainan bau yang kuat 9 18,4
5 Kelainan bau yang parah 0 0
49 100

E. Kebersihan Mulut dan Gigi Tiruan pada Penderita Halitosis


1. Perilaku pengguna gigi tiruan yang menderita halitosis berdasarkan jenis
kelamin
Data mengenai perilaku pengguna gigi tiruan yang menderita
halitosis berdasarkan jenis kelamin terlihat pada tabel 8. Berdasarkan
tabel tersebut, terlihat bahwa perempuan lebih sering membersihkan gigi
tiruannya dibandingkan dengan laki-laki. Sebagian besar pengguna gigi
tiruan menggunakan pasta gigi sebagai bahan permbersih gigi tiruannya.
Wanita lebih sering menggunakan gigi tiruannya ketika tidur.

40
Tabel 8. Perilaku pengguna gigi tiruan yang menderita halitosis berdasarkan
jenis kelamin.

Jenis Kelamin (n) Total


Laki – Laki Perempuan (%)
Frekuensi menyikat Gigi /
Gigi Tiruan
1 kali 6 2 8 (25)
2 kali 10 14 24 (75)
Penggunaan alat
pembersih Gigi / Gigi
Tiruan
Sikat gigi 16 16 32 (100)
Sikat interdental 0 0 0 (0)
Benang gigi 0 0 0 (0)
Penggunaan bahan
pembersih Gigi / Gigi
Tiruan
Pasta gigi 19 25 29 (90,6)
Sabun 2 1 3 (9.4)
Penyimpanan Gigi Tiruan
pada Malam hari
Tidak dilepaskan dari
9 11 20 (62,5)
mulut
Direndam dengan Air 7 5 12 (37,5)

2. Perilaku pengguna gigi tiruan yang menderita halitosis berdasarkan usia


Data mengenai perilaku pengguna gigi tiruan yang menderita
halitosis berdasarkan usia dengan menggunakan uji deskriptif statistik
terlihat pada tabel 9.

41
Tabel 9. Perilaku pengguna gigi tiruan yang menderita halitosis
berdasarkan usia

Jenis Kelamin (n) Total


26-35 36-45 46-55 56-65 >65 (%)
Frekuensi menyikat
Gigi / Gigi Tiruan :
1 kali 0 1 2 4 3 10 (31,3)
2 kali 2 4 7 8 1 22 (68,7)
Penggunaan alat
pembersih Gigi /
Gigi Tiruan :
Sikat gigi 2 5 9 12 4 49 (100)
Sikat interdental 0 0 0 0 0 0 (0)
Benang gigi 0 0 0 0 0 0 (0)
Penggunaan bahan
pembersih Gigi /
Gigi Tiruan :
Pasta gigi 2 5 9 9 4 46 (82,4)
Sabun 0 0 0 3 0 3 (17,6)
Penyimpanan Gigi
Tiruan pada Malam
hari :
Tidak dilepaskan dari
2 5 3 7 2 19 (59,3)
mulut
Direndam dengan
0 0 6 5 2 13 (40,7)
Air

3. Perilaku pengguna gigi tiruan yang menderita halitosis berdasarkan jenis


gigi tiruan
Data mengenai perilaku pengguna gigi tiruan yang menderita
halitosis berdasarkan jenis gigi tiruan yang digunakan dengan
menggunakan uji deskriptif statistik dapat dilihat pada tabel 10.

42
Tabel 10. Perilaku pengguna gigi tiruan yang menderita halitosis terhadap
kebiasaan membersihkan gigi dan gigi tiruan berdasarkan jenis gigi
tiruan.

Jenis GT (n) Total


GTC GTSL GTL (%)
Frekuensi menyikat Gigi /
Gigi Tiruan :
1 kali 1 1 6 8 (25)
2 kali 6 11 7 24 (75)
Penggunaan alat pembersih
Gigi / Gigi Tiruan :
Sikat gigi 7 12 13 32 (100)
Sikat interdental 0 0 0 0 (0)
Benang gigi 0 0 0 0 (0)
Penggunaan bahan
pembersih Gigi / Gigi
Tiruan :
Pasta gigi 7 12 10 29 (90,6)
Sabun 0 0 3 3 (9,4)
Penyimpanan GT pada
malam hari :
Tidak dilepaskan dari mulut 7 5 8 20 (62,5)
Direndam dengan Air 0 7 5 12 (37,5)

4. Distribusi keberadaan debris pada pengguna gigi tiruan yang menderita


halitosis menurut jenis kelamin dan jenis gigi tiruan.
Berdasarkan penelitian, seluruh penderita halitosis memiliki debris
pada gigi tiruannya. Data distribusi keberadaan debris pada pengguna
gigi tiruan yang menderita halitosis berdasarkan jenis kelamin dan jenis
gigi tiruan dengan menggunakan uji deskriptif statistik dapat dilihat pada
tabel 11.

Tabel 11. Distribusi frekuensi keberadaan debris menurut jenis kelamin dan
jenis gigi tiruan.

Jenis GT Total
Jenis Kelamin
GTC GTSL GTL n (%)
Laki – Laki 1 4 10 15 (46,8)
Perempuan 7 7 3 17 (53,2)
Total 8 11 13 32 (100)

43
BAB VI

PEMBAHASAN

Penelitian ini melibatkan 49 pengguna gigi tiruan yang terdiri dari 20 laki –
laki dan 29 perempuan. Hal ini membuktikan bahwa perempuan lebih
memperhatikan penampilan dibanding dengan laki-laki. Penelitian yang dilakukan
oleh Gitta B dkk. dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sam Ratulangi
Manado pada tahun 2015 juga menemukan bahwa jumlah responden berjenis
kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki dengan presentase
sebesar 75,3% karena wanita cenderung memperhatikan penampilan sehingga
wanita berusha untuk menggantikan giginya yang hilang dan juga wanita lebih
beresiko mengalami kelihangan gigi karena berkurangnya hormon estrogen
sehingga tulang kehilangan kalsium yang dapat terjadi pada gigi.47
Subjek pada penelitian ini sebagian besar masuk kedalam kelompok lansia
akhir yaitu dengan usia antara 56-65 tahun yang sebagian besar merupakan
pengguna gigi tiruan lepasan yang mencakup GTSL dan GTL. Hal ini
menunjukkan bahwa minimnya pengetahuan masyarakat mengenai resiko
kehilangan gigi apabila gigi yang hilang tidak segera diganti dengan gigi tiruan
sedini mungkin. Menurut Nicola U. dkk dalam penelitiannya menyatakan bahwa
gigi tiruan lepasan lebih dominan ditemukan pada pasien dengan usia yang lebih
tua, sementara gigi tiruan cekat lebih sering terjadi pada kelompok usia muda,48
Generasi yang lebih tua sering kali memiliki banyak gigi yang hilang dan tidak
menganggap kehilangan gigi sebagai cacat dan tidak perlu perawatan.49
Prevalensi halitosis pada pengguna gigi tiruan pada penelitian ini adalah
sebesar 65,3% yang lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Mbodj EB. dkk. yaitu sebesar 35,4% di Senegal.5 Perbedaan prevalensi ini
kemungkinan disebabkan oleh perbedaan pola kebiasaan subjek, metode yang
digunakan, dan perbedaan pengetahuan pasien subjek mengenai cara merawat gigi
tiruan dengan tepat.

44
Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan presentase halitosis pada
pengguna gigi tiruan antara laki-laki dan perempuan karena sebelumnya semua
subjek harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi agar tidak ada faktor
eksternal, sistemik, maupun hormonal yang dapat menyebabkan halitosis fisiolois
dan juga patologis selain bau yang berasal dari gigi tiruan dan juga faktor
kebiasaan subjek dalam menjaga kebersihan mulut dan juga gigi tiruannya.
Halitosis pada pengguna gigi tiruan juga lebih banyak ditemukan pada lansia
akhir. Hal ini disebabkan karena pada lansia sering terjadi xerostomia. Bakteri
anaerob akan dengan mudah berkembang dalam kondisi kekurangan saliva yang
mengandung oksigen.6
Penelitian ini menemukan bahwa halitosis banyak ditemukan pada pengguna
gigi tiruan lepasan yang mencakup GTSL dan GTL. Sementara itu, halitosis
paling sedikit ditemukan pada pengguna gigi tiruan cekat. Hal ini dikarenakan
proses pertumbuhan plak pada gigi tiruan sama dengan proses pembentukan plak
pada gigi asli. Gigi tiruan lepasan berbahan akrilik yang berkontak langsung
dengan saliva, kemudian glikoprotein pada saliva akan membentuk lapisan
organik tipis yaitu acquired pellicle yang dapat mengikat mikroorganisme di
dalam rongga mulut.50,51 Basis gigi tiruan yang terbuat dari resin akrilik yang juga
memiliki porusitas sehingga merupakan tempat yang ideal untuk perkembangan
bakteri dan dapat menyerap cairan yang berasal dari makanan dan minuman yang
kemudian melekat dan masuk ke dalam basis gigi tiruan.6
Desain GTC yang menyerupai gigi asli membuat pengguna lebih mudah
untuk membersihkan gigi tiruannya. Semua subjek pengguna GTC pada penelitian
ini memiliki desain ridge lap sehingga apabila terdapat sisa makanan yang berada
dibawah pontik maupun retainer dapat dihilangkan dengan prosedur menyikat
gigi. Pada bagian celah interdental antara pontik dengan gigi penyanggah sering
kali terdapat sisa makanan yang tidak dapat dihilangkan hanya dengan bantuan
sikat gigi. Karena itu, untuk membersihkan celah tersebut dibutuhkan alat lain
seperti sikat interdental dan juga benang gigi.13 Guntiz Z. dkk. mendapatkan
bahwa presentase halitosis tertinggi yaitu sebesar 67% ditemukan pada pengguna
gigi tiruan sebagian cekat dengan desain ridge lap yang telah di modifikasi dengan

45
bagian tengah yang menyentuh mukosa dan tidak dapat dibersihkan dengan
benang gigi.52
Berdasarkan tabel organoleptic score pada penelitian ini pengguna gigi tiruan
yang menderita halitosis sebagian besar memiliki bau mulut yang sedang. Hal ini
disebabkan karena seluruh subjek memiliki kebiasaan menyikat gigi walaupun
tidak sempurna, terdapat beberapa pasien yang membersihkan gigi dan gigi
tiruannya hanya satu kali sehari dan tidak menggunakan alat pembersih lain.
Sehingga plak dan debris yang terdapat pada gigi tiruan tidak menyebabkan kadar
VSCs yang terlalu tinggi. Subjek juga telah di instruksikan agar tidak
mengonsumsi makanan maupun minuman yang memiliki bau menyengat satu hari
sebelum pengujian dilakukan. Sehingga mengurangi resiko terjadinya halitosis
fisiologis yang berasal dari asupan makanan.
Berdasarkan dari hasil wawancara subjek juga menunjukkan perilaku
membersihkan gigi tiruan yang kurang tepat mengenai terutama bagi penggunaan
alat, bahan, serta penggunaan pada malam hari. Pada penelitian ini seluruh subjek
tidak ada pengguna gigi tiruan cekat yang menggunakan benang gigi atupun sikat
interdental. Hampir seluruh subjek menggunakan pasta gigi sebagai bahan
pembersih gigi tiruannya yang lebih baik apabila tidak digunakan pada pengguna
gigi tiruan lepasan berbasis akrilik. Sebagian pengguna gigi tiruan lepasan
terutama pengguna GTL juga tidak melepaskan gigi tiruannya ketika tidur.
Nalcaci dkk. menyatakan bahwa terdapat korelasi antara tinggi nya kadar VSCs
penyebab halitosis dengan pemakaian gigi tiruan pada saat tidur, penelitiannya
menemukan bahwa kadar VSCs yang lebih tinggi ditemukan pada pengguna yang
menggunakan gigi tiruannya saat tidur pada malam hari.53 Sementara itu,
berdasarkan dari hasil pemeriksaan klinis, seluruh pengguna yang menderita
halitosis memiliki debris pada gigi tiruannya. Hal ini terjadi karena protein di
dalam debris akan diubah menjadi senyawa sulfur yang berbau busuk dan mudah
menguap atau VSCs sebagai penyebab utama halitosis oleh bakteri bakteri
anaerob proteolitik gram negatif.22,24 Fusobacterium nucleatum merupakan salah
satu bakteri utama penyebab halitosis. Bakteri ini muncul dengan jumlah yang
tinggi setelah 24 jam dan semakin berkembang selama 48 jam.54

46
BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Prevalensi halitosis pada pasien pengguna gigi tiruan di RSGM-P
USAKTI adalah sebesar 65,3%. Data menunjukkan bahwa laki-laki dan
perempuan pengguna gigi tiruan yang menderita halitosis memiliki presentase
yaitu masing-masing sebesar 32,65%. Hasil penelitian juga menemukan
bahwa halitosis banyak ditemukan pada pengguna gigi tiruan yang masuk
kedalam kelompok usia lansia akhir (55-65 tahun). Halitosis banyak
ditemukan pada penggunas gigi tiruan lenpasan dengan presentase 78,1% dan
paling sedikit ditemukan pada pengguna gigi tiruan cekat yaitu 21,9%.
Berdasarkan hasil wawancara dan pemeriksaan klinis serta besarnya
prevalensi halitosis pengguna gigi tiruan di RSGM-P FKG USAKTI dapat
disimpulkan bahwa tingginya prevalensi halitosis pada pengguna gigi tiruan
disebabkan karena pasien melakukan prosedur kebersihan gigi tiruan yang
kurang tepat sehingga menyebabkan bau mulut yang tidak sedap.

B. Saran
Sebagai upaya untuk mengurangi angka penderita halitosis pada
pengguna gigi tiruan dibutuhkan intruksi yang jelas secara berkala dari
operator yang bersangkutan terhadap pasien agar pasien dapat memahami
bahwa gigi tiruan harus dibersihkan dengan benar dan rutin. Diharapkan
untuk penelitian selanjutnya agar menghubungkan antara kuantitas plak dan
debris dengan tingkat keparahan halitosis. Penulis juga berharap agar
penelitian selanjutnya juga meneliti mengenai desain gigi tiruan sebagai
faktor penyebab halitosis.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Rahmayani L., Herwanda, Melisa I. Perilaku pemakai gigi tiruan terhadap


pemeliharaan kebersihan gigi tiruan lepasan. Jurnal PDGI. 2013. Vol.62 no. 3.
Hal. 83-88.
2. Peranci A. Behaviour and Hyiene Habits of Complete Denture Wearers. Braz
Dent J 2010; 21(3): 247-52.
3. Marxkors R, Wulfes H. Die Einstückgussprothese. Teil V. Dental Labor
2002; 50 : 193-203.
4. Tangerman A, Winkel E G. Volatile Sulfur Compounds as The Cause of Bad
Breath: A Review. Phosporus, Sulfur, and Silicon. 2013. Vol 188 : 398-400.
5. Mbodj EB, Faye B, Faye D, Seck MT, Sarr M, Ndiaye C, et al. Prevalence of
halitosis in patients with dental prostheses in Senegal. Med Trop (Mars).
2011 Jun;71 (3):272-4.
6. Dharmautama, Moh, Angela Thomas Koyama, Astri Kusumawati. Tingkat
Keparahan Halitosis Pada Manula Pemakai Gigitiruan. Dentofasial, Vol.7,
No.2, 2008:107-111.
7. Emini. Gigi tiruan dan perilaku ibadah. Jurnal Health Quality. 2013:4(1): 28-
31.
8. Pham Hanh Thi My, Robert S. Chapman. Dental Caries And Related Factors
In The First- And Second- Year Medical Students In Thaibinh Medical
University, Vietnam.
9. Gunandi, Haryanto, Anton Margo, dkk. Ilmu Geligi Tiruan Sebagian
Lepasan. Jilid 1. 2016. Jakarta:ECG.
10. The Glossary of Prosthodontic Terms. J Prosthet Dent 2005;94: 10–92.
11. American Dental Association. Current Dental TerminologyEden Prairie, MN:
Ingenix, 2006:47.
12. Nallaswamy, Deepak. Textbook of Prosthodontics. India: Jaypee Brothers
Medical Publishers; 2003.

48
13. Shillingburg, Herbert T. Fundamentals of Fixed Prosthodontics. USA:
Quintessence Publishing; 2012.
14. Zarb George A., Charles L. Bolender, dkk. Buku Ajar Prostodonti Untuk
Pasien Tak Bergigi Menurut Boucher. Edisi ke-10. Penerjemah: Daroewati
Mardjono. Jakarta: ECG; 2002.
15. L., Sarandha D. Textbook of Complete Denture Prosthodontics. India: Jaypee
Brothers Medical Publishers; 2007.
16. Cortelli, Jose Roberto, Mônica Dourado S.B., Miriam Ardigó Westphal.
Halitosis: A Review Of Associated Factors And Therapeutic Approach. 2008.
Braz Oral Res 22:44-54.
17. Seeman R, Bizhang M,Djamchidi C, Kage A, Nachnani S. The Proportion
Of Pseudo-Halitosis Patients In A Multidisciplinary Breath Malodour
Consultation. Int Dent J 2006;56 (2):77-81.
18. Asalui, Trisantoso Rezdy. Efektivitas Propolis Dalam Menurunkan Kadar
Volatile Sulfur Compound (Vsc) Komponen Cystein (H2s). [Skripsi]. 2014.
Makassar.
19. Miyazaki H, Arao M, Okamura K, Kawaguchi Y, Toyofuku A, Hoshi K,
Yaegaki K. Tentative classification of halitosis and its treatment needs.
Niigata Dent J 1999; 32:7-11.
20. Kapoor A, Grover V, Malhotra R, Kaur S, Singh K: Halitosis – Revisited.
Indian Journal Of Dental Sciences, 2011, Vol 3, P:102-103.
21. Yaegaki K, Coil J M. Examination, Classification, And Treatment Of
Halitosis; Clinical Perspective. Journal Of Canadian Dental Association. Vol
66, P: 258.
22. Widagdo Y, Suntya K. Volatile Sulfur Compounds Sebagai Penyebab
Halitosis. Jurnal Kedokteran Gigi Mahasaraswati. 2008, Vol 5, P:1-5.
23. Tangerman A, Winkel E G: Volatile Sulfur Compounds As The Cause Of Bad
Breath: A Review. Phosporus, Sulfur, And Silicon. 2013. Vol 188, P:398-400.
24. Lee H, Kho HS, Chung JW, Chung SC, Kim YK. 2006. Volatile Sulfur
Compounds Produced By Helicobacter Pylori. J Clin Gastroenterol 40:
421−426.

49
25. Singh ,Vijendra P, Neeraj Malhotra, Abhishek Apratim, dkk. Assessment and
Management of Halitosis. Dent Update. 2015; 42: 346–353.
26. Davies A, Epstein JD. Oral complications of cancer and its management.
Oxford: Oxford University Press. 2010 ; 230-240.
27. Takeuchi H, Machigashira M, Yamashita D, et al. The association of
periodontal disease with oral malodour in a Japanese population. Oral
disease. 2010;16:702-6.
28. Aylıkcı BU, Çolak H. Halitosis: From diagnosis to management. Journal of
Natural Science, Biology, and Medicine. 2013;4(1):14-23.
doi:10.4103/0976-9668.107255.
29. Motta LJ, Bachiega JC, Guedes CC, Laranja LT, Bussadori SK. Association
between halitosis and mouth breathing in children. Clinics. 2011;66:939-42.
30. Wiener RC, Wu B, Crout R, et al. Hyposalivation and xerostomia in dentate
older adults. J Am Dent Assoc 2010;141:279-84.
31. Babacan H, Sokucu O, Marakoglu I, Ozdemir H, Nalcaci R. Effect of fixed
appliances on oral malodor. American journal of orthodontics and dentofacial
orthopedics: Official publication of the American Association of
Orthodontists, its constituent societies, and the American Board of
Orthodontics 2011;139:351-5.
32. Dal Rio AC, Nicola EM, Teixeira AR. Halitosis-- an assessment protocol
proposal. Brazilian journal of otorhinolaryngology 2007;73:835-42.
33. Bornstein MM, Stocker BL, Seemann R, Burgin WB, Lussi A. Prevalence of
halitosis in young male adults: A study in swiss army recruits comparing self-
reported and clinical data. Journal of periodontology 2009;80:24-31.
34. Rio AC, Franchi-Teixeira AR, Nicola EM. Relationship between the presence
of tonsilloliths and halitosis in patients with chronic caseous tonsillitis.
British dental journal 2008;204:Ed 4.
35. Gorkem SB, Yikilmaz A, Coskun A, Kucukaydin M. A pediatric case of
Zenker diverticulum: Imaging findings. Diagn Interv Radiol 2009;15:207-9.

50
36. Moshkowitz M, Horowitz N, Leshno M, Halpern Z. Halitosis and
gastroesophageal reflux disease: A possible association. Oral diseases
2007;13:581-5.
37. Porter SR. Diet and halitosis. Current opinion in clinical nutrition and
metabolic care 2011;14:463-68.
38. Alasqah M, Shoyab Khan. Muhammed A.E., dkk. Assessment of halitosis
using the organoleptic method and volatile sulfur compounds monitoring.
2016. DPU. Vol. 3. Hal 94-98.
39. Kumar, M., Rahul Garg, Taruna K, dkk. Clinical Perspectives of Halitosis- A
Review. 2014. J Adv Med Dent Scie Res 2014;2(3):78-82.
40. Oho T, Yoshida Y, Shimazaki Y, Yamashita Y, Koga T. Characteristics of
patients complaining of halitosis and the usefulness of gas chromatography
for diagnosing halitosis. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol
Endod 2001;91:531-534.
41. Murata T, Yamaga T, Lida T, Miyazaki H, Yaegaki K. Classification and
examination of halitosis. Int Dent J 2002;52:181-186.
42. Kim Dae-Jung, Jeong-Yun Lee, Hong-Seop Kho, dkk. A New Organoleptic
Testing Method for Evaluating Halitosis. Department of Oral Medicine and
Oral Diagnosis, School of Dentistry and Dental Research Institute, Seoul
National University, Seoul:Korea; 2009.
43. Miyazaki H, Arao M, Okamura K, Kawaguchi Y, Toyofuku A, Hoshi K,
Yaegaki K. Tentative classification of halitosis and its treatment needs. 1999.
Niigata Dent J
44. Tomado de, Yaegaki K , Coil J. Genuine halitosis, pseudo-halitosis, and
halitofobia: classification, diagnosis and treatment. Compendium.
2000;21(10): 880-889.
45. Greenman J , P Lenton, R Seemann, dkk. Organoleptic assessment of
halitosis for dental professionals—general recommendations. J. Breath Res.
2014. USA.
46. Budianto, Eko. 2003. Metodologi Penelitian Kedokteran : Sebuah Pengantar.
ECG: Jakarta. Hlm 48.

51
47. Liwongan, Gitta B., Vonny N.S. Wowor, D.H.C. Pangemanan. 2015. Persepsi
pengguna gigi tiruan lepasan terhadap pemeliharaan kebersihan gigi dan
mulut. Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT. Vol. 4 (4)
48. Zitzmann, N.U., Edgar Hagmann, Roland Weiger. What is the prevalence of
various types of prosthetic dental restorations in Europe. 2007. Journal
compilation.
49. Lahti, Satu , Liisa S.T., Hannu H.. Oral health impacts among adults in
Finland: competing effects of age, number of teeth, and removable dentures.
Eur J Oral Sci 2008; 116: 260–266
50. Putri MH, Herijulianti Eliza, Nurjannah Neneng. Ilmu Pencegahan Penyakit
Jaringan Keras dan Jaringan Pendukung Gigi. Jakarta: EGC Penerbit Buku
Kedokteran; 2010: 54-64; 93-95; 111-112.
51. Anusavice KJ. Resin basis protesa. Dalam: Buku ajar ilmu kedokteran gigi.
Ed.10.Alih Bahasa Budiman JA. EGC: Penerbit buku kedokteran; 2004. 197-
226.

52. Vigurs, G., Aldis Vidzis, Anda Brinkmane. 2005. Halitosis manifestation and
prevention means for patients with fixed teeth dentures. Baltic Dental and
Maxillofacial Journal, 7:3-6.
53. Nalcaci, R., Ilgi Baran. 2008. Oral malodor and removable complete dentures
in the elderly. OOOOE; Vol. 105:6.
54. Junior, E. G. J., Luvizotto, R. C. M., Campos-Avila, J. M., 2000, Virulence of
Oral Fusobacterium nucleatum from Non- Humans Primates In Mice,
Brazilian Journal of Microbiology, 31 : 146-150.

52
Lampiran 1

53
Lampiran 2

54
Lampiran 3

55
Lampiran 4

56
Lampiran 5

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN

Dengan hormat,
Saya Anissa Nur Indira dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Trisakti. Saat ini saya sedang melakukan penelitian mengenai “Prevalensi
Halitosis pada Pasien Pengguna Gigi Tiruan di RSGM-P FKG USAKTI”. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi halitosis pada pasien pengguna
gigi tiruan di RSGM-P FKG USAKTI.
Pada penelitian ini, setiap responden akan diperiksa satu bulan setelah
pemakaian gigi tiruan dan akan diminta untuk mengisi data serta kuesioner yang
pengisiannya akan dibantu oleh peneliti. Penelitian ini memiliki beberapa
ketentuan seperti dibawah ini yaitu :
1. Pasien menggunakan Gigi Tiruan Sebagian Cekat, Gigi Tiruan Sebagian
Lepasan, Gigi Tiruan Lengkap dengan penggunaan minimal 1 bulan
setelah pemasangan pertama.
2. Pasien tidak merasa memiliki bau mulut yang berarti sebelum
menggunakan gigi tiruan.
3. Pasien tidak memiliki karang gigi dan gigi berlubang
4. Pasien tidak mengeluhkan mulut kering
5. Pasien tidak menderita gangguan pernafasan dan pencernaan.
6. Pasien tidak menderita penyakit sistemik.
7. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit menular.
8. Pasien bersedia untuk tidak mengkonsumsi makanan yang berbau
menyengat seperti bawang, mengkonsumsi alkohol, sehari sebelum dan
pada hari saat pemeriksaan dilakukan, dan memakai parfum pada hari
pengujian dilakukan.
9. Pasien bukanlah seorang perokok.

57
Perlu dipahami bahwa keikutsertaan anda dalam penelitian ini dilakukan
secara sukarela. Saya menjamin kerahasiaan data diri, jawaban dan hasil dari
setiap responden hanya untuk keperluan penelitian. Jika anda sudah mengerti isi
dari lembar penjelasan ini dan bersedia untuk menjadi subjek penelitian, maka
mohon anda bersedia untuk mengisi dan menandatangani surat pernyataan
persetujuan sebagai subjek penelitian yang terlampir pada lembar berikutnya.
Demikian isi dari lembar penjelasan ini, semoga penjelasan dapat
dipahami. Atas kesediaan anda untuk berpartisipasi dalam penelitian ini saya
ucapkan terima kasih.

Jakarta, 30 Agustus 2017

Peneliti

(Anissa Nur Indira)

58
Lampiran 6
No. Urut Penelitian :

No. Rekam Medis/KTP :

SURAT PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN


(Informed Consent)

Saya yang bertandatangan di bawah ini


nama lengkap : ..............................................................................................
usia : ..............................................................................................
no. telepon : ..............................................................................................
Setelah mendapatkan informasi dan penjelasan tentang penelitian ini, saya
memahami dan menyatakan bersedia menjadi subjek penelitian tanpa adanya
paksaan dari pihak manapun. Saya bersedia mengikuti prosedur penelitian dari
awal hingga akhir dan setuju memberikan data kesehatan saya atau keluarga saya,
mengisi kuesioner, dan juga menjalani prosedur pemeriksaan klinis untuk
dipergunakan dalam penelitian ini. Saya telah diberitahu bahwa data pribadi dan
jawaban kuesioner ini tidak akan diberitahukan kepada siapapun.
Demikian surat pernyataan ini dibuat agar dapat dipergunakan dengan semestinya.

Jakarta,................................
Peneliti Pembuat pernyataan

Anissa Nur Indira (......................................)

Saksi

(........................................)

59
Lampiran 7

No. Urut :

Tanggal Pemerikasaan :

Jenis Gigi Tiruan :

PREVALENSI HALITOSIS PADA PENGGUNA GIGI TIRUAN di


RSGMP-FKG USAKTI

KUISIONER

I. Data pasien
Nama : .....................................................................................................
Jenis kelamin :[ ] Pria [ ] Wanita
Usia : .....................................................................................................
Alamat : .....................................................................................................
Telepon : .....................................................................................................
Pekerjaan : .....................................................................................................
Obat yang dikonsumsi : .....................................................................................................
Lama pemakaian GT : .....................................................................................................

No. Pertanyaan Ya Tidak Keterangan

1. Kesehatan Umum
- Pernahkan anda terserang penyakit paru-paru,
ginjal, hati?
- Apakah anda memiliki penyakit menular? (HIV,
Hepatitis, TBC)
- Apakah anda sedang hamil / menstruasi?
- Apakah anda pernah mengalami perawatan
dengan radiasi?
- Apakah anda seorang perokok?
2. Sistem Pernapasan
- Pernahkah anda terserang radang sinus?

60
- Pernahkah anda menderita batuk berdarah?
- Apakah anda sering bernafas lewat mulut?
3. Gastrointestinal
- Apakah anda sering terkena diare?
- Apakah anda pernah muntah darah?
- Apakah anda menderita gangguan lambung?
- Apakah anda pernah merasakan rasa asam dimulut
seperti ingin muntah secara tiba-tiba?
- Apakah anda memiliki penyakit seperti uremia
dan sirosis hati?
4. Sistem Endokrin
- Apakah anda menderita diabetes?
- Apakah ada di antara keluarga anda yang
menderita diabetes?
5. Darah
- Pernahkah anda menderita anemia?
- Apakah anda penderita hemofilia?
- Apakah anda penderita hipertensi?
- Apakah anda menderita penyakit darah yang lain?
6. Riwayat Kesehatan Mulut
- Apakah anda menderita coating tongue?
- Apakah gusi anda sering berdarah / bengkak?
- Apakah anda pernah merasakan bau mulut
sebelum menggunakan gigi tiruan?
- Apakah anda menderita xerostomia (mulut
kering)?
7. Riwayat Kesehatan Gigi
- Apakah anda memiliki gigi berlubang?
- Berapa kali anda menyikat gigi dalam sehari?
- Jenis sikat gigi dan pasta gigi apa yang anda
pakai?
- Apakah anda juga menggunakan alat lain?
- Apakah anda menggunakan benang gigi?
- Apakah anda menggunakan obat kumur?
- Apakah dalam tahun yang lalu ini anda mendapat
perawatan gigi?
- Apakah anda mudah mengalami pendarahan bila
terluka, cabut gigi atau tindakan pembedahan
lain?
- Pernahkah anda mengalami perdarahan yang lama
setelah pencabutan gigi?

61
- Apakah anda pernah mendapat perawatan gusi /
jaringan penyangga gigi
8. Kebersihan Gigi Tiruan Cekat
- Apakah anda membersihkan gigi dan gigi tiruan
anda 2 kali dalam sehari ?
- Apakah anda menggunakan sikat interdental
dalam membersihkan gigi tiruan cekat?
- Apakah anda menggunakan benang gigi dalam
membersihkan gigi dan gigi tiruan cekat ?
9. Kebersihan Gigi Tiruan Sebagian Lepasan
- Apakah anda menggunakan gigi tiruan sebagian
lepasan pada saat tidur?
- Apakah anda membersihkan gigi dan gigi tiruan
sebagian lepasan anda 2 kali dalam sehari?
- Apakah anda menggunakan alat lain saat
membersihkan gigi tiruan sebagian lepasan?
- Apakah anda menggunakan benang gigi dalam
membersihkan gigi dan gigi tiruan sebagian
lepasan anda?
10. Kebersihan Gigi Tiruan Lengkap
- Apakah anda menggunakan gigi tiruan lengkap
pada saat tidur?
- Apakah anda membersihkan gigi tiruan lengkap
anda 2 kali dalam sehari?
- Apakah anda menggunakan alat khusus untuk
membersihkan gigi tiruan lengkap anda?
- Apakah anda menggunakan cairan khusus untuk
menyimpan gigi tiruan anda pada saat tidak
digunakan?

Kesimpulan : ................................................................................................................................

62
Lampiran 8
No. Urut :

Jenis Gigi Tiruan :

Tanggal Pemerikasaan :

Penguji :

Form Penilaian Uji Organoleptik pada Pengguna Gigi Tiruan

Tabel penilaian uji organoleptik


Skala Kategori Keterangan
0 Absence of odour (Tidak ada Tidak ada bau terdeteksi
bau)
1 Questionable odour (Bau Bau dapat terdeteksi, tetapi penguji
yang diragukan) tidak dapat mengenali bau sebagai
bau mulut.
2 Slight malodour (Kelainan Bau masih dipertimbangkan, bau
bau yang ringan) dapat dirasa
3 Moderate malodour (Kelainan Bau dapat dirasakan
bau sedang
4 Strong malodour (Kelainan Bau dapat dirasakan, tetapi masih
bau yang kuat) dapat ditoleransi oleh penguji.
5 Severe malodour (Kelainan Bau dapat dirasakan, tetapi tidak
bau yang parah) dapat ditoleransi oleh penguji.
(penguji secara tidak langsung
menjauhkan hidungnya)

1. Presepsi penguji terhadap bau mulut subjek :


a) Tidak terdapat bau b) Terdapat bau yang tidak sedap
2. Skala yang diberikan :
a) 0 b) 1 c) 2 d) 3 e) 4 f) 5
3. Terdapat kalkulus/debris pada GT :

a) Tidak b) Terdapat (banyak / sedikit)


kalkulus/debris pada regio ( 1 / 2 / 3 /4 )

63
Lampiran 9

64
65

Anda mungkin juga menyukai