BAB III IV V Epil
BAB III IV V Epil
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Epilepsi merupakan kejang yang memiliki manifestasi klinis berupa
pergerakan secara mendadak dan tidak terkontrol yang disebabkan oleh kejang
involunter saraf otak.4
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu
kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat
mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan
adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan
sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya.5
Sedangkan status epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit
atau kejang berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran kesadaran diantara dua
serangan kejang.5
3.2 Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.
Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju
ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai
100/100,000.7
3.3 Etiologi
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :5,6
3.4 Klasifiikasi
3.4.1 Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International
League Against Epilepsy (ILAE) 1981: 2,3
b. Dengan automatisme
b. Dengan automatisme
C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik- klonik,
tonik atau klonik)
A. Absens
B. Mioklonik
C. Tonik D. Atonik E. Klonik
F. Tonik-klonik
A. Idiopatik
B. Simptomatik
1. Lobus temporalis
2. Lobus frontalis
3. Lobus parietalis
4. Lobus oksipitalis
A. Idiopatik
C. Simtomatik
3.5 Patofisiologi
Dasar terjadinya serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron
otak dan transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni
neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik
dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf
dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil
dan tidak mudah melepaskan listrik. Neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi
antara lain glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan
neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA)
dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis pelepasan muatan listrik dan terjadi
transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron
mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi
potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan
melepas muatan listrik.11 Oleh berbagai faktor, diantaranya berbagai keadaan
patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi membran neuron sehingga
membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler.
Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan pelepasan muatan
listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Pelepasan muatan listrik oleh
sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi.
Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti
akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron
sekitar pusat epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik
yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepas muatan
memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi
terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk
regulasi fungsi otak.11
- Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam
keadaan seperti sedang bingung
Serangan yang merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat
dua tahap: tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan
jenis ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis
ini biasa didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum
serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga
berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang
jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik: terjaadi
kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar
yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan
merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.4,5
b) Lama serangan
e) Faktor pencetus
f) Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang g) Usia saat serangan
terjadinya pertama
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang
sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi
sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena
klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran
klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang
penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus
epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini
sangat diperlukan pada persiapan operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
3.8 Terapi
PEMBAHASAN
Pasien datang ke Poli Syaraf dengan riwayat kejang pada bulan Januari yang
lalu. Pada waktu itu pasien mengaku kejang saat sedang memimpin rapat. Ketika
kejang pasien tidak sadarkan diri dan saat terbangun sudah ada di rumah sakit.
Menurut pengakuan pasien dari saat awal kejang hingga pasien sadar dirumah sakit
terjadi selama sekitar 30 menit. Pasien memiliki riwayat kejang saat masih kecil.
Pasien juga mengaku pernah terjatuh dan cidera pada bagian kepala saat remaja.
Selama hidupnya pasien mengatakan pernah kejang sekitar 7 kali termasuk yang
terakhir pada bulan Januari.
Pasien didiagnosa klinis saat ini dengan riwayat kejang, DM dan nyeri
kepala. Diagnosis etiologis pasien ini yaitu epilepsi dengan diagnosa topis pada
korteks serebri. Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan anamnesa pasien tentang
riwayat kejangnya. Untuk menegakkan diagnosa status epileptikus belum
dimungkinkan karena diperlukan anmnesa pada saksi yang melihat saat pasien
kejang untuk menentukan lamanya kejang yang terjadi.
Pasien saat ini mengeluhkan sakit kepala yang muncul saat stimulus stres
meningkat, seperti saat bekerja yang tidak sesuai kesukaannya dan menghilang
sendirinya saat perasaan pasien membaik.
Selain itu pasien perlu diberikan obat untuk mengatasi diabetes yang
dipertimbangkan untuk diberikan glimepiride atau metformin. Obat-obat tambahan
seperti vitamin neuroprotektor juga bisa diberikan kepada pasien.
BAB V
KESIMPULAN
Pasien datang ke Poli Syaraf dengan riwayat kejang pada bulan Januari yang
lalu. Pada waktu itu pasien mengaku kejang saat sedang memimpin rapat. Ketika
kejang pasien tidak sadarkan diri dan saat terbangun sudah ada di rumah sakit.
Menurut pengakuan pasien dari saat awal kejang hingga pasien sadar dirumah sakit
terjadi selama sekitar 30 menit. Pasien juga mengaku pernah mengalami kejang
sekitar 7 kali selama hidupnya sehingga pasien ini dapat didiagnosis sebagai
epilepsi.