Anda di halaman 1dari 16

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Epilepsi merupakan kejang yang memiliki manifestasi klinis berupa
pergerakan secara mendadak dan tidak terkontrol yang disebabkan oleh kejang
involunter saraf otak.4
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu
kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat
mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan
adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan
sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya.5
Sedangkan status epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit
atau kejang berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran kesadaran diantara dua
serangan kejang.5
3.2 Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.
Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju
ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai
100/100,000.7

Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan


pengobatan apapun.8 Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di
bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan uisa lanjut di atas 65 tahun (81/100.000
kasus). 9

Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang


muncul tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik
jaringan saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak.
Keadaan ini bisa di indikasikan sebagai disfungsi otak. Pendataan secara global
ditemukan 3.5 juta kasus baru per tahun diantaranya 40% adalah anak-anak dan
dewasa sekitar 40% serta 20% lainnya ditemukan pada usia lanjut.2,3

Gejala dan tanda klinik bangkitan epilepsi sangat bervariasi dan


tergantung pada lokasi neuron kortikal yang mengalami gangguan. Loncatan
elektrik abnormal sebagai pencetus serangan sangat sering berasal dari neuron-
neuron kortikal. Faktor lain yang ikut berperan dalam terjadinya bangkitan adalah
ketidakseimbangan neurotransmiter eksitasi dan inhibisi, dan gangguan saluran ion
di reseptor yang berperan terhadap kegiatan eksitatorik neurotransmiter. 2,3

Ikatan eksitatorik dengan reseptor terkait akan membuka pintu untuk


masuknya ion kalsium yang berlebihan kedalam sel sebagai penyebab dari
kematian sel yang berdampak pada kualitas otak dalam hal ini fungsi hipokampus
dan korteks serta mengarah pada gangguan perilaku termasuk bunuh diri. 2,3,7

3.3 Etiologi
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :5,6

1) Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari


penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik,
awitan biasanya pada usia > 3 tahun. Dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan ditemukannya alat – alat diagnostik yang canggih kelompok
ini makin kecil

2) Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat.


Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan
metabolik, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat), kelainan
neurodegeneratif.

3) Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum


diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan
epilepsi mioklonik

3.4 Klasifiikasi
3.4.1 Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International
League Against Epilepsy (ILAE) 1981: 2,3

I . Kejang Parsial (fokal)

A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)

1. Dengan gejala motorik

2. Dengan gejala sensorik

3. Dengan gejala otonomik

4. Dengan gejala psikik

B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)

1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran

a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran

b. Dengan automatisme

2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang

a. Dengan gangguan kesadaran saja

b. Dengan automatisme

C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik- klonik,
tonik atau klonik)

1. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum

2. Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum

3. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan


berkembang menjadi kejang umum

II. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)

A. Absens

B. Mioklonik
C. Tonik D. Atonik E. Klonik

F. Tonik-klonik

III. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan

3.4.2 Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989

I. Berkaitan dengan letak fokus

A. Idiopatik

1. Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes

2. Childhood epilepsy with occipital paroxysm

B. Simptomatik

1. Lobus temporalis

2. Lobus frontalis

3. Lobus parietalis

4. Lobus oksipitalis

II. Epilepsi Umum

A. Idiopatik

1. Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions

2. Benign myoclonic epilepsy in infancy

3. Childhood absence epilepsy

4. Juvenile absence epilepsy

5. Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)

6. Epilepsy with grand mal seizures upon awakening

7. Other generalized idiopathic epilepsies

B. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik


1. West’s syndrome (infantile spasms)

2. Lennox gastaut syndrome

3. Epilepsy with myoclonic astatic seizures

4. Epilepsy with myoclonic absences

C. Simtomatik

1. Etiologi non spesifik

2. Early myoclonic encephalopathy

3. Specific disease states presenting with seizures

3.5 Patofisiologi
Dasar terjadinya serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron
otak dan transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni
neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik
dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf
dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil
dan tidak mudah melepaskan listrik. Neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi
antara lain glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan
neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA)
dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis pelepasan muatan listrik dan terjadi
transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron
mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi
potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan
melepas muatan listrik.11 Oleh berbagai faktor, diantaranya berbagai keadaan
patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi membran neuron sehingga
membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler.
Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan pelepasan muatan
listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Pelepasan muatan listrik oleh
sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi.
Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti
akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron
sekitar pusat epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik
yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepas muatan
memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi
terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk
regulasi fungsi otak.11

Gambar 3.1 Patofisiologi epilepsi (Silbernagl S. Color Atlas of Pathophysiology.


New York: Thieme. 2000)
3.6 Gejala
3.6.1 Kejang parsial simplek
Serangan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa:
- “deja vu”: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama
sebelumnya.
- Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat
dijelaskan
- Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada
bagian tubih tertentu.
- Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu
- Halusinasi
3.6.2 Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih
lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak
akan mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi:

- Gerakan seperti mencucur atau mengunyah

- Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan pakaiannya

- Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam
keadaan seperti sedang bingung

- Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang

- Berbicara tidak jelas seperti menggumam.

3.6.3 Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal)

Serangan yang merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat
dua tahap: tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan
jenis ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis
ini biasa didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum
serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga
berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang
jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik: terjaadi
kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar
yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan
merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.4,5

Gambar 3.2 Gambaran kejang Tonik-Klonik (http://www.adam.com/epilepsy)


3.7 Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis.
3.7.1 Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh.
Anamnesis menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan
kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan
penggunaan obat-obatan tertentu.

Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:

a) Pola / bentuk serangan

b) Lama serangan

c) Gejala sebelum, selama dan paska serangan d) Frekueensi serangan

e) Faktor pencetus
f) Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang g) Usia saat serangan
terjadinya pertama

h) Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan

i) Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya

j) Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

3.7.2 Pemeriksaan fisik umum dan neurologis


Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital,
gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-
sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai
pegangan. Pada anakanak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan
perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat
menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.

3.7.3 Pemeriksaan penunjang

a) Elektro ensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan


merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
rnenegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard untuk
diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya
kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak,
sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya
kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal:

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding


seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike) , dan gelombang lambat yang timbul
secara paroksimal.

b) Rekaman video EEG

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang
sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi
sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena
klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran
klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang
penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus
epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini
sangat diperlukan pada persiapan operasi.

c. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk


melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT
Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci.
MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk
membantu terapi pembedahan apabila terdapat dugaan adanya tumor pada otak.

3.8 Terapi

Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk


pasien. Prinsip terapi farmakologi epilepsi yakni:

1. OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat


minimal dua kali bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga telah
mengetahui tujuan pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya.
2. Terapi dimulai dengan monoterapi
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai
dosis efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma
ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.
4. Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol
bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai
kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.
Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak
dapat diatasi dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi


bila kemungkinan kekambuhan tinggi , yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang
jelas pada EEG, terdapat riwayat epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma
kepala disertai penurunan kesadaran, bangkitan pertama merupakan status
epileptikus. 10

Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi :

a. Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA)


b. Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi kponduksi ion: Na+, Ca2+,
K+, dan Cl- atau aktivitas neurotransmiter.

Epilepsi yang merupakan penyakit saraf kronik kejang masih tetap


merupakan problem medik dan sosial. Masalah medik yang disebabkan oleh
gangguan komunikasi neuron bisa berdampak pada gangguan fisik dan mental
dalam hal gangguan kognitif.

Dilain pihak obat-obat antiepilepsi juga bisa berefek terhadap gangguan


kognitif. Oleh sebab itu pertimbangan untuk pemberian obat yang tepat adalah
penting mengingat efek obat yang bertujua untuk menginhibisi bangkitan listrik tapi
juga bisa berefek pada gangguan memori. Levetirasetam salah satu obat antiepilepsi
mempunyai keistimewaan dalam hal ikatan dengan protein SVA2 di presinaptik.
Selain itu sampai sekarang ini belum ditemukan efek gangguan kognitif dan dapat
digunakan pada penderita epilepsi yang mengidap penyakit termasuk ansietas dan
depresi.6,7

Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka


mendasar pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium,
penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi
eksitatorik glutamat.6,7 Sekarang ini dikenal dengan pemberian kelompok
inhibitorik GABAergik. Beberapa obat anti-epilepsi yang dikenal sampai
sekarang ini antara lain karbamazepin (Tegretol), klobazam (Frisium),
klonazepam (Klonopin), felbamate (Felbatol), gabapentin (Neurontin), lamotrigin
(Lamiktal), levetirasetam (Keppra), oksarbazepin (Trileptal), fenobarbital
(Luminal), fenitoin (Dilantin), pregabalin (Lyrica), tiagabine (Gabitril), topiramat
(Topamax), asam valproat (Depakene, Convulex).10

Protokol penanggulangan terhadap status epilepsy dimulai dari terapi


benzodiazepine yang kemudian menyusul fenobarbital atau fenitoin. Fenitoin
bekerja menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam memblok
loncatan listrik.6

Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai


efek samping, juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap
gangguan kognitif ringan dan sedang.10 Melihat banyaknya efek samping dari obat
antiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif sangat perlu
mengingat bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada kerusakan atau cedera terhadap
jaringan otak. Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron
sebagai activator terhadap reseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy-5-
methyl-4isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor
NMDA dan AMPA akan memfasilitasi ion kalsium masuk kedalam sel yang bisa
menstimulasi kematian dari sel.6

Apabila kita sebagai tenaga kesehatan menemukan pasien sedang


mengalami serangan sikap kita adalah jangan panik, Biarkan serangan berlalu
karena serangan akan berhenti dengan sendirinya, amankan penderita dari
lingkungan yang membahayakan penderita, longgarkan pakaian yang ketat, posisi
kepala dimiringkan (bila kejang sudah berhenti), serta bila serangan
berkepanjangan maka bawalah pasien menuju fasilitas kesehatan terdekat untuk
mendapatkan terapi.

Nama Obat Dosis/kgBB ESO


Fenobarbital 2-5 mg/kgBB/Hari Mengantuk
Difenilhidantoin 4-10mg/kgBB 1-2dd Sedasi, nistagmus, ataksia
[DFH]
(Phenitoin,Dilantin)
Karbamazepin 400-1600mg/kgBB /hari Efek psikotropik
(Tegretol, temporol)
Diazepam
(valium,stesolid)
status epilepsi

Prinsippenghentian pemberian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan


setelah 2 tahun bebas serangan dengan syarat:

1. Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai berikut: Penghentian OAE


dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah minimal 2 tahun
bebas bangkitan
2. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula,
setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
3. Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu
OAE yang bukan OAE utama
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Dasar Penegakan Diagnosa

Pasien datang ke Poli Syaraf dengan riwayat kejang pada bulan Januari yang
lalu. Pada waktu itu pasien mengaku kejang saat sedang memimpin rapat. Ketika
kejang pasien tidak sadarkan diri dan saat terbangun sudah ada di rumah sakit.
Menurut pengakuan pasien dari saat awal kejang hingga pasien sadar dirumah sakit
terjadi selama sekitar 30 menit. Pasien memiliki riwayat kejang saat masih kecil.
Pasien juga mengaku pernah terjatuh dan cidera pada bagian kepala saat remaja.
Selama hidupnya pasien mengatakan pernah kejang sekitar 7 kali termasuk yang
terakhir pada bulan Januari.

Pasien didiagnosa klinis saat ini dengan riwayat kejang, DM dan nyeri
kepala. Diagnosis etiologis pasien ini yaitu epilepsi dengan diagnosa topis pada
korteks serebri. Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan anamnesa pasien tentang
riwayat kejangnya. Untuk menegakkan diagnosa status epileptikus belum
dimungkinkan karena diperlukan anmnesa pada saksi yang melihat saat pasien
kejang untuk menentukan lamanya kejang yang terjadi.

Pasien saat ini mengeluhkan sakit kepala yang muncul saat stimulus stres
meningkat, seperti saat bekerja yang tidak sesuai kesukaannya dan menghilang
sendirinya saat perasaan pasien membaik.

4.2 Dasar Pemberian Terapi

Pasien diberikan terapi untuk mencegah kejang kambuh lagi dengan


pemberian kutoin yang berisi fenitoin yang memiliki sifat sedasi. Pemberian
gabapentin juga dapat diberikan karena akan meningkatkan jumlah GABA pada
aliran darah, sehingga dapat mencegah timbulnya kejang apabila dikonsumsi secara
rutin.

Selain itu pasien perlu diberikan obat untuk mengatasi diabetes yang
dipertimbangkan untuk diberikan glimepiride atau metformin. Obat-obat tambahan
seperti vitamin neuroprotektor juga bisa diberikan kepada pasien.
BAB V

KESIMPULAN

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai oleh


adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang
diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi
sebelumnya. Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan
umum terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan
ini. Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang dibandingkan pada negara
maju.

Pasien datang ke Poli Syaraf dengan riwayat kejang pada bulan Januari yang
lalu. Pada waktu itu pasien mengaku kejang saat sedang memimpin rapat. Ketika
kejang pasien tidak sadarkan diri dan saat terbangun sudah ada di rumah sakit.
Menurut pengakuan pasien dari saat awal kejang hingga pasien sadar dirumah sakit
terjadi selama sekitar 30 menit. Pasien juga mengaku pernah mengalami kejang
sekitar 7 kali selama hidupnya sehingga pasien ini dapat didiagnosis sebagai
epilepsi.

Pasien telah diterapi sesuai dengan prinsip penatalaksanaan pada penyakit


epilepsi sehingga diharapkan pada pasien ini kejadian kejangnya tidak terjadi
kembali. Selain itu diperlukan komunikasi dan edukasi terhadap keluarga dan
orang-orang sekitar pasien untuk memperbaiki kondisi sosial yang mungkin
terganggu akibat penyakit pasien.
Dapus

1. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In:


Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
2005. p119-127.

2. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder, Pediatric


Neurology: Essentials for General Practice. 1st ed. 2007

3. Octaviana F. Epilepsi. In: Medicinus Scientific Journal of pharmaceutical


development and medical application. Vol.21 Nov-Des 2008. p.121-2.

4. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and


Therapy in Children and Adults.2nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd.
2005

5. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC

6. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.

7. Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing. 2005

8. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008

9. Jan Sudir Purba Epilepsi :permasalahan di reseptor atau


neotransmiter.Departemen Neurologi/RSCM, FK UI Jakarta

10. Gilman,Godman. Dasar farmakologi terapi. edisi 10 jilid 1. EGC : Jakarta.


2008

11. Silbernagl Stefan, Lang Florian. Color Atlas Of Pathophysiology. Jakarta.


:EGC. 2007

Anda mungkin juga menyukai