Anda di halaman 1dari 20

Museum Negeri Lampung, Mengabadikan Sejarah Bumi Ruwa Jurai

Pariwisata Lampung

Seperti daerah lain, Lampung memiliki museum yang mengabadikan perjalanan sejarah di
provinsi paling selatan dari Pulau Sumatera ini. Nama museum itu adalah Museum Negeri
Propinsi Lampung “Ruwa Jurai”. Museum yang terletak di Jln. Zainal Arifin Pagar Alam No.
64, Rajabasa, Bandar Lampung, ini letaknya begitu strategis. Hanya berjarak beberapa ratus
meter dari Terminal Bus Rajabasa dan dekat dengan gerbang Kampus UNILA.

Museum Negeri Lampung diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr.
Fuad Hasan pada tanggal 24 September 1988. Peresmian museum ini bertepatan dengan
peringatan Hari Aksara Internasional yang dipusatkan di PKOR Way Halim. Pembangunan
museum ini sebenarnya telah dimulai sekitar tahun 1975 dan peletakan batu pertama
dilaksanakan pada tahun 1978.

“Ruwa Jurai” yang diabadikan sebagai nama museum ini diambil dari tulisan “Sai Bumi Ruwa
Jurai” dalam logo resmi Provinsi Lampung – diresmikan penggunaannya sejak 1 April 1990.
Memasuki era otonomi daerah, museum ini beralih status menjadi UPTD di bawah Dinas
Pendidikan Provinsi Lampung.

Menurut data tahun 2011, Museum Lampung “Ruwa Jurai” menyimpan sekitar 4.735 buah
benda koleksi. Benda-benda koleksi ini terbagi menjadi 10 jenis, yaitu koleksi geologika,
biologika, etnografika, historika, numismatika/heraldika, filologika, keramologika, seni rupa,
dan teknografika.

Koleksi yang paling banyak adalah etnografika yang mencapai 2.079. Koleksi etnografika ini
mencakup berbagai benda buatan manusia yang proses pembuatan dan pemakaiannya
menjadi ciri khas dari kebudayaan masyarakat Lampung.

Di antara koleksi-koleksi yang ditampilkan, antara lain pernak-pernik aksesori dari dua
kelompok adat yang dominan di Lampung, yaitu Sei Bathin (Peminggir) dan Pepadun. Kedua
kelompok adat ini masing-masing memiliki kekhasan dalam hal ritual adat dan aksesori yang
dikenakan.

Ritual-ritual adat dari Peminggir dan Pepadun masing-masing ditampilkan secara beralur dari
ritual kelahiran, ritual asah gigi menjelang dewasa, ritual pernikahan, hingga ritual
kematiannya. Di samping itu, berbagai benda peninggalan zaman prasejarah, zaman Hindu-
Budha, zaman kedatangan Islam, masa penjajahan, dan pasca-kemerdekaan juga
ditampilkan pada bagian tersendiri. [Ardee/IndonesiaKaya]
Taman Makam Pahlawan Tanjung Karang
LampungBandar LampungPahlawan Nasional
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Artikel ini sudah memiliki daftar referensi, bacaan terkait atau pranala luar, tetapi sumbernya
masih belum jelas karena tak memiliki kutipan pada kalimat (catatan kaki). Mohon tingkatkan
kualitas artikel ini dengan memasukkan rujukan yang lebih mendetail bila perlu.

Taman Makam Pahlawan Tanjung Karang atau TMP Tanjung Karang adalah sebutan
untuk kompleks pemakaman Wijaya Brata yang berlokasi di Jalan Teuku Umar, Bandar
Lampung, dan dikhususkan untuk pemakaman bagi mereka yang telah berjasa kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia, termasuk parapahlawan nasional, anggota militer, dan pejabat
tinggi negara.
Taman makam ini berada tepat di jantung pusat Kota Bandar Lampung. Menempati area
seluas kurang lebih dua hektar, lokasi ini menjadi pemakaman yang istimewa bagi tokoh
penting di Lampung.[1]
Sejarah Singkat Pemakaman

Sejarah TMP Tanjungkarang, peresmiannya dilakukan oleh Presiden Soekarno pada 1948.
Sedangkan tugu untuk bendera diresmikan Mantan Gubernur Lampung Yasir Hadisubroto,
serta tembok abadi yang dibangun pada 1985,Tembok abadi ini panjangnya 45 meter.
Terbangun di sisi kiri dan kanan dari pintu masuk utama TMP.[2]
Tokoh-tokoh

Tokoh-tokoh Indonesia yang dimakamkan di sana antara lain:

 Raden Muhammad Mangundiprojo - Mantan kepala Residen Lampung


 Abdoel Moeloek - pelopor Kesehatan Indonesia
 Samaun Bakri - Pahlawan Nasional
 Mr. Gele Harun

Samaun Bakri
Wartawan1948Banten
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Samaun Bakri
28 April 1908
Lahir
Kurai Taji, Nan Sabaris,Padang Pariaman, Hindia Belanda
10 Oktober 1948 (umur 40)
Meninggal
Bukit Punggur, Lampung Tengah
Kebangsaan Indonesia
Pekerjaan Wartawan, Wakil ResidenBanten
Dikenal karen - Pejuang kemerdekaan Indonesia
a - Kawan kepercayaanSoekarno
Agama Islam
Pasangan Siti Maryam
Anak Abdul Muis, Fuad S. Bakri
Bagindo Abu Bakar
Orang tua
Siti Syarifah
Samaun Bakri (lahir di Kurai Taji, Nan Sabaris, Padang Pariaman,Sumatera Barat, 28
April 1908 – meninggal di Lampung Tengah,10 Oktober 1948 pada umur 40 tahun) adalah
seorang wartawandan pejuang kemerdekaan Indonesia.[1] Samaun merupakan teman akrab
dan utusan kepercayaan presiden pertama Indonesia,Soekarno. Ia pernah bertugas sebagai
Wakil Residen Banten.[2][3]
Riwayat perjuangan

Pada awal 1926, Samaun muda bekerja di kantor residen Padang, namun tidak lama kemudian
ia keluar karena tidak suka dengan keangkuhan orang Belanda. Semangat anti-penjajahannya
kemudian membuat ia menjadi aktivis di berbagai partai politik di Sumatera Barat,
seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan
Muslim Indonesia(Permi). Ia kemudian bergabung dengan ormas Muhammadiyahsetelah partai-
partai politik pergerakan dibubarkan pemerintah kolonial.[2]
Perjuangan Samaun juga dilakukan melalui media massa dengan menjadi wartawan surat
kabar Persamaan pada tahun 1929. Ia mengkritik kebijakan pemerintah kolonial sehingga
membuatkontrolir Pariaman, Spits, marah dan mengusir Samaun dari tanah kelahirannya
melalui Wali Nagari Kurai Taji, Moehammad Noer Majolelo yang masih berkerabat dengannya.
[2]
Samaun kemudian disarankan untuk meninggalkan kampung halaman, karena menurut
pandangan Wali Nagari Kurai Taji itu Samaun akan menjadi orang besar kalau pergi
meninggalkan kampung halaman. Moehammad Noer Majolelo kemudian memberikan bekal
senilai tujuh ringgit sambil berkata: "Samaun, sebenarnya kau terlalu besar, sedang daerah
ini terlalu kecil untuk perkembangan bakatmu. Lebih baik kau pergi ke kota besar. Ini uang
sekadar biaya. Pergilah!. Saya aman dari semburan Spits dan kau bisa berkembang,
mungkin nanti kau jadi orang besar".[2]
Dengan membawa istrinya, Siti Maryam, dan anaknya, Abdul Muis, Samaun kemudian
memulai perantauannyamenuju Medan, namun tak lama kemudian ia hijrah ke Bengkulu. Di kota
ini Samaun aktif sebagai anggota Muhammadiyah dan sebagai wartawan pada surat
kabar Sasaran. Ia kemudian mendirikan surat kabar Penabursetelah media sebelumnya
dibreidel oleh pemerintah kolonial Belanda. Samaun juga pernah menjadi wakil majelis
pemuda Muhammadiyah daerah Bengkulu.[2]
Semasa di Bengkulu inilah Samaun berperan sebagai pimpinan dalam penyambutan
Soekarno ketika tempat pengasingannya dipindahkan ke Bengkulu dari Ende, Nusa Tenggara,
pada 14 Februari 1938. Selanjutnya, ia pun berteman akrab dan kemudian menjadi orang
yang sangat dipercaya oleh Soekarno.[2]
Ketika Jepang masuk dan menduduki wilayah Nusantara, Samaun menjadi pembantu KH Mas
Mansoer, yang bersama Sukarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara (Empat Serangkai)
memimpin organisasi bentukan Jepang yang bernama Putera (Pusat Tenaga Rakyat). Ia juga
sempat menjadi anggota Jawa Hokokai, organisai bentukan Jepang lainnya.[2] Samaun
merupakan salah seorang saksi perumusan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia
bersama beberapa pejuang muda lainnya, seperti Sayuti Melik, B.M. Diah, Adam Malik,
dan Sukarni.[2]
Setelah kemerdekaan, ia sempat menjadi pembantu Wali kota Jakarta Suwiryo. Ketika tentara
Sekutu datang pasca kekalahan Jepang, Samaun dan keluarga hijrah ke Jawa Barat. Ia aktif
sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai wakil dari Jawa Barat, juga
sebagai anggota Badan Pekerja KNIP, dan sempat pula menjadi sekretaris penjabat Gubernur
Jawa Barat Mr Datuk Djamin merangkap anggota Majelis Persatuan Perjuangan Priangan
(MP3) yang memutuskan pembumihangusan kota Bandung pada 23 Maret 1946. Setahun
kemudian Samaun menulis buku Setahoen Peristiwa Bandoeng untuk mengenang peristiwa
yang dikenal sebagai Bandung Lautan Api itu. Pada tahun 1947, Samaun dipercaya menjabat
sebagai Wakil Residen Banten, yang merupakan bagian dari Jawa Barat.[2]
Misteri RI 002

Pada tahun 1948, dari Yogyakarta sebagai ibukota negara ketika itu, Presiden Soekarno
menugaskannya mengambil emas seberat 20 kg dari Cikotok, Banten, untuk membeli
pesawat ke India. Setelah itu ia kemudian berangkat dengan pesawat Dakota RI 002
milik Bobby Earl Freeberg dari lapangan udara Gorda, Serang, menuju Tanjung Karang, Lampung.
Dalam perjalanan dari Tanjung Karang menuju Bukit Tinggi sebelum ke India, pesawatnya
rusak dan jatuh di tengah hutan di wilayah Lampung Tengah pada 1 Oktober 1948.[2][4][3]
Seorang pencari rotan menemukan bangkai pesawat tersebut 30 tahun kemudian, tepatnya
pada 14 April 1978 di bukit Punggur, Lampung, lalu melaporkan penemuannya kepada
Pemerintah Lampung Tengah. Semua kerangka jenazah penumpang dan awak pesawat
berhasil ditemukan, kecuali kerangka Bobby Earl Freeberg. Kerangka Samaun bersama
empat kerangka jenazah lainnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tanjung
Karang pada 29 Juli 1978. Pada tahun 2002 ia dianugerahi penghargaan Bintang Mahaputra
Utama olehpemerintah Indonesia.[2][4][5][6]
Untuk mengenang jasa-jasa dan perjuangannya,
anaknya Fuad S. Bakri bersama Teguh Wiyono Samaun Bakri (kiri) dan Soekarno (kanan) di
depan rumah Soekarno di Bengkulu, 1939.
menulis buku dengan judul Samaun Bakri, Sang
Jurnalis dan Misteri Jatuhnya RI 002. Buku yang
diterbitkan oleh Rajawali Konsultan itu
diluncurkan pada 20 September 2014 diMuseum
Teks Proklamasi, Jakarta.[7][8]
Kehidupan pribadi

Samaun Bakri lahir pada 28 April 1908 di Nagari


Kurai Taji, Nan Sabaris, Padang Pariaman,
Sumatra Barat, putra dari pasangan Bagindo Abu Bakar dan Siti Syarifah. Ia menempuh
pendidikan menengah pertama di Vervolgschool, lalu di Sumatera Thawalib Padang Panjang.
Selain itu, Samaun juga memperbanyak ilmunya dengan berbagai kursus, sepert kursus ilmu
politik, bahasa asing, dan lainnya. Ia menikah tiga kali. Dengan istri pertamanya ia dikaruniai
anak yang bernama Abdul Muis. Sedangkan istri ketiganya bernama Siti Maryam. Selain
Abdul Muis, Samaun juga punya anak lainnya, diantaranya Fuad S. Bakri.[2]
Samaun juga berperan besar pada awal hubungan antara Soekarno dengan Fatmawati.
Ketika Soekarno berada di Jakarta setelah bebas dari pengasingan di Bengkulu, Samaun
diutus Soekarno untuk membawa pesan dan bingkisan untuk Fatmawati di Bengkulu. Ia
bersama Abdul Karim Oei dan dr. Djamil kemudian juga berperan mengurus pernikahan
Fatmawati dengan Soekarno pada 1 Juni 1943, yang diwakilkan teman dekatnya, opseter
(pengawas) Sarjono. Setelah pernikahan itu, Samaun kemudian membawa dan mengawal
Fatmawati dan rombongannya yang terdiri dari orangtua, serta paman dari ibu Fatmawati,
Moh. Kancil, yang juga penjahit pakaian Bung Karno saat di Bengkulu, ke Jakarta.[2]

Samaun Bakri
Wartawan1948Banten
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Samaun Bakri

28 April 1908
Lahir
Kurai Taji, Nan Sabaris,Padang Pariaman, Hindia Belanda
10 Oktober 1948 (umur 40)
Meninggal
Bukit Punggur, Lampung Tengah
Kebangsaan Indonesia
Pekerjaan Wartawan, Wakil ResidenBanten
Dikenal karen - Pejuang kemerdekaan Indonesia
a - Kawan kepercayaanSoekarno
Agama Islam
Pasangan Siti Maryam
Anak Abdul Muis, Fuad S. Bakri
Bagindo Abu Bakar
Orang tua
Siti Syarifah
Samaun Bakri (lahir di Kurai Taji, Nan Sabaris, Padang Pariaman,Sumatera Barat, 28
April 1908 – meninggal di Lampung Tengah,10 Oktober 1948 pada umur 40 tahun) adalah
seorang wartawandan pejuang kemerdekaan Indonesia.[1] Samaun merupakan teman akrab
dan utusan kepercayaan presiden pertama Indonesia,Soekarno. Ia pernah bertugas sebagai
Wakil Residen Banten.[2][3]
Riwayat perjuangan

Pada awal 1926, Samaun muda bekerja di kantor residen Padang, namun tidak lama kemudian
ia keluar karena tidak suka dengan keangkuhan orang Belanda. Semangat anti-penjajahannya
kemudian membuat ia menjadi aktivis di berbagai partai politik di Sumatera Barat,
seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan
Muslim Indonesia(Permi). Ia kemudian bergabung dengan ormas Muhammadiyahsetelah partai-
partai politik pergerakan dibubarkan pemerintah kolonial.[2]
Perjuangan Samaun juga dilakukan melalui media massa dengan menjadi wartawan surat
kabar Persamaan pada tahun 1929. Ia mengkritik kebijakan pemerintah kolonial sehingga
membuatkontrolir Pariaman, Spits, marah dan mengusir Samaun dari tanah kelahirannya
melalui Wali Nagari Kurai Taji, Moehammad Noer Majolelo yang masih berkerabat dengannya.
[2]
Samaun kemudian disarankan untuk meninggalkan kampung halaman, karena menurut
pandangan Wali Nagari Kurai Taji itu Samaun akan menjadi orang besar kalau pergi
meninggalkan kampung halaman. Moehammad Noer Majolelo kemudian memberikan bekal
senilai tujuh ringgit sambil berkata: "Samaun, sebenarnya kau terlalu besar, sedang daerah
ini terlalu kecil untuk perkembangan bakatmu. Lebih baik kau pergi ke kota besar. Ini uang
sekadar biaya. Pergilah!. Saya aman dari semburan Spits dan kau bisa berkembang,
mungkin nanti kau jadi orang besar".[2]
Dengan membawa istrinya, Siti Maryam, dan anaknya, Abdul Muis, Samaun kemudian
memulai perantauannyamenuju Medan, namun tak lama kemudian ia hijrah ke Bengkulu. Di kota
ini Samaun aktif sebagai anggota Muhammadiyah dan sebagai wartawan pada surat
kabar Sasaran. Ia kemudian mendirikan surat kabar Penabursetelah media sebelumnya
dibreidel oleh pemerintah kolonial Belanda. Samaun juga pernah menjadi wakil majelis
pemuda Muhammadiyah daerah Bengkulu.[2]
Semasa di Bengkulu inilah Samaun berperan sebagai pimpinan dalam penyambutan
Soekarno ketika tempat pengasingannya dipindahkan ke Bengkulu dari Ende, Nusa Tenggara,
pada 14 Februari 1938. Selanjutnya, ia pun berteman akrab dan kemudian menjadi orang
yang sangat dipercaya oleh Soekarno.[2]
Ketika Jepang masuk dan menduduki wilayah Nusantara, Samaun menjadi pembantu KH Mas
Mansoer, yang bersama Sukarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara (Empat Serangkai)
memimpin organisasi bentukan Jepang yang bernama Putera (Pusat Tenaga Rakyat). Ia juga
sempat menjadi anggota Jawa Hokokai, organisai bentukan Jepang lainnya.[2] Samaun
merupakan salah seorang saksi perumusan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia
bersama beberapa pejuang muda lainnya, seperti Sayuti Melik, B.M. Diah, Adam Malik,
dan Sukarni.[2]
Setelah kemerdekaan, ia sempat menjadi pembantu Wali kota Jakarta Suwiryo. Ketika tentara
Sekutu datang pasca kekalahan Jepang, Samaun dan keluarga hijrah ke Jawa Barat. Ia aktif
sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai wakil dari Jawa Barat, juga
sebagai anggota Badan Pekerja KNIP, dan sempat pula menjadi sekretaris penjabat Gubernur
Jawa Barat Mr Datuk Djamin merangkap anggota Majelis Persatuan Perjuangan Priangan
(MP3) yang memutuskan pembumihangusan kota Bandung pada 23 Maret 1946. Setahun
kemudian Samaun menulis buku Setahoen Peristiwa Bandoeng untuk mengenang peristiwa
yang dikenal sebagai Bandung Lautan Api itu. Pada tahun 1947, Samaun dipercaya menjabat
sebagai Wakil Residen Banten, yang merupakan bagian dari Jawa Barat.[2]
Misteri RI 002

Pada tahun 1948, dari Yogyakarta sebagai ibukota negara ketika itu, Presiden Soekarno
menugaskannya mengambil emas seberat 20 kg dari Cikotok, Banten, untuk membeli
pesawat ke India. Setelah itu ia kemudian berangkat dengan pesawat Dakota RI 002
milik Bobby Earl Freeberg dari lapangan udara Gorda, Serang, menuju Tanjung Karang, Lampung.
Dalam perjalanan dari Tanjung Karang menuju Bukit Tinggi sebelum ke India, pesawatnya
rusak dan jatuh di tengah hutan di wilayah Lampung Tengah pada 1 Oktober 1948.[2][4][3]
Seorang pencari rotan menemukan bangkai pesawat tersebut 30 tahun kemudian, tepatnya
pada 14 April 1978 di bukit Punggur, Lampung, lalu melaporkan penemuannya kepada
Pemerintah Lampung Tengah. Semua kerangka jenazah penumpang dan awak pesawat
berhasil ditemukan, kecuali kerangka Bobby Earl Freeberg. Kerangka Samaun bersama
empat kerangka jenazah lainnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tanjung
Karang pada 29 Juli 1978. Pada tahun 2002 ia dianugerahi penghargaan Bintang Mahaputra
Utama olehpemerintah Indonesia.[2][4][5][6]
Untuk mengenang jasa-jasa dan perjuangannya,
anaknya Fuad S. Bakri bersama Teguh Wiyono Samaun Bakri (kiri) dan Soekarno (kanan) di
depan rumah Soekarno di Bengkulu, 1939.
menulis buku dengan judul Samaun Bakri, Sang
Jurnalis dan Misteri Jatuhnya RI 002. Buku yang
diterbitkan oleh Rajawali Konsultan itu
diluncurkan pada 20 September 2014 diMuseum
Teks Proklamasi, Jakarta.[7][8]
Kehidupan pribadi

Samaun Bakri lahir pada 28 April 1908 di Nagari


Kurai Taji, Nan Sabaris, Padang Pariaman,
Sumatra Barat, putra dari pasangan Bagindo Abu Bakar dan Siti Syarifah. Ia menempuh
pendidikan menengah pertama di Vervolgschool, lalu di Sumatera Thawalib Padang Panjang.
Selain itu, Samaun juga memperbanyak ilmunya dengan berbagai kursus, sepert kursus ilmu
politik, bahasa asing, dan lainnya. Ia menikah tiga kali. Dengan istri pertamanya ia dikaruniai
anak yang bernama Abdul Muis. Sedangkan istri ketiganya bernama Siti Maryam. Selain
Abdul Muis, Samaun juga punya anak lainnya, diantaranya Fuad S. Bakri.[2]
Samaun juga berperan besar pada awal hubungan antara Soekarno dengan Fatmawati.
Ketika Soekarno berada di Jakarta setelah bebas dari pengasingan di Bengkulu, Samaun
diutus Soekarno untuk membawa pesan dan bingkisan untuk Fatmawati di Bengkulu. Ia
bersama Abdul Karim Oei dan dr. Djamil kemudian juga berperan mengurus pernikahan
Fatmawati dengan Soekarno pada 1 Juni 1943, yang diwakilkan teman dekatnya, opseter
(pengawas) Sarjono. Setelah pernikahan itu, Samaun kemudian membawa dan mengawal
Fatmawati dan rombongannya yang terdiri dari orangtua, serta paman dari ibu Fatmawati,
Moh. Kancil, yang juga penjahit pakaian Bung Karno saat di Bengkulu, ke Jakarta.[2]
Mangundiprojo Pahlawan Nasional

Mayjen (Purn.) HR Mohammad Mangundiprojo


PEMERINTAH Indonesia menetapkan Mayjen (Purn.) HR Mohammad Mangundiprojo,
gubernur pertama Lampung, sebagai Pahlawan Nasional. Menko Kemaritiman Dwisuryo
Indroyono Soesilo mengukuhkan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Mayjen
(Purn.) HR Mohammad Mangundripojo di Taman Makam Pahlawan, Bandar Lampung,
Jumat (20/2).

Secara administratif gelar kepahlawanan telah diberikan pada 7 November 2014 oleh
Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Mereka di antaranya Mayjen (Purn.) HR
Mohammad Mangundiprojo, Djamin Ginting, Sukarni Kartodimirjo, dan Abdul Wahab
Hasbullah.

Pengukuhan pemberian gelar secara simbolik dari Pemerintah Pusat di Lampung karena
makam Mohammad Mangundiprojo terletak di Provinsi Lampung, tepatnya di Taman
Makam Pahlawan Bandar Lampung.

HR Muhammad Mangundiprojo lahir di Sragen, Jawa Tengah, pada 5 Januari 1905. Dia
adalah cicit dari Setjodiwirjo atau Kiai Ngali Muntoha, salah seorang keturunan Sultan
Demak. Setjodiwirjo sendiri merupakan teman seperjuangan Pangeran Diponegoro
melawan penjajah Belanda.

Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, HR Muhammad


Mangundiprojo memiliki andil yang penting. Salah satunya melakukan pertempuran yang
berpuncak pada 10 November 1945. Setelah mengakhiri karier militer, Muhammad
Mangundiprojo ditugaskan sebagai Bupati Ponorogo sejak 1951 sampai 1955, yang salah
satu misinya mengamankan daerah Madiun.

Prestasinya ini kemudian mengantar Muhammad Mangundiprojo menjadi residen


(gubernur) pertama Lampung dengan misi utama mengendalikan keamanan di daerah ini.
Ia tutup usia di Bandar Lampung pada 13 Desember 1988 dan dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Bandar Lampung.

Residen Lampung pada 1962 itu pada 14 Agustus 1986 pernah mendapat Bintang
Mahaputra Utara dari Pemerintah Indonesia.

Oleh karena itu, atas jasa-jasanya dalam mempertahankan kemerdekaan, maka sudah
sepantasnyalah Mangundiprojo dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia.

Gubernur Lampung M Ridho Ficardo mengatakan dengan ditetapkannya Muhammad


Mangundiprojo sebagai Pahlawan Nasional tentu mengingatkan dan menggugah hati kita
akan pentingnya nilai-nilai perjuangan para pahlawan. Sebab, dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, perjuangan tidak pernah usai.

"Saya mengajak kepada masyarakat Lampung untuk selalu berjuang agar kita tidak
ketinggalan dengan provinsi lain. Mari kita jaga dan awasi hasil-hasil pembangunan yang
telah kita lakukan," kata Ridho di Taman Makam Pahlawan, kemarin (20/2).

Ridho mengaku cukup berbangga sebab pahlawan Lampung diakui nasional. "Karena
beliau selain berjuang di Surabaya juga menjadi residen pertama di Lampung. Kita wajib
memahami dan menghargai hal itu," kata dia. (*11/K3)

Abdoel Moeloek (1905-1973): Sang Pelopor Kesehatan Medis


KOTA Krui dan Liwa di Lampung Barat adalah tempat pengabdian pertama Abdoel Moeloek
di Lampung. Lima tahun (1940--1945) menjadi dokter di sana, sentuhan tangannya identik
dengan kesembuhan orang sakit.

Kehadiran Abdoel Moeloek di Krui dan Liwa telah membuka kesadaran masyarakat tentang
dunia medis. Apa pun jenis penyakitnya, masyarakat optimis sembuh jika diobati dokter asal
Sumatera Barat itu. Pasiennya bahkan meluas sampai daerah Muara Dua, Sumatera
Selatan.

"Saya mengenal bapak (Abdoel Moeloek) tahun 1940. Waktu itu, beliau menjadi dokter untuk
dua kabupaten, yaitu Muara Dua dan Krui," kata Jafri Mahyudin (82), anak angkat dr. Abdoel
Moeloek.

Namanya kini diabadikan pada rumah sakit milik negara di Bandar Lampung: Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) dr. Haji Abdul Moeloek. Dia adalah direktur kelima Rumah Sakit
Tanjungkarang (sebelum diubah menjadi RSUD dr. Haji Abdoel Moeloek), dan paling lama
memegang jabatan sebagai direktur (selama 12 tahun, dari 1945 hingga 1957).

Karier Abdoel Moeloek di dunia medis diawali setelah ia lulus dari sekolah dokter Stovia/GH,
Jakarta (1932). Tahun 1935, ayah mantan Menteri Kesehatan Farid Anfasa Moeloek ini
diangkat sebagai kepala RS Bangkiang. Dua tahun kemudian (1937), dokter kelahiran
Padang Panjang, 10 Maret 1905 ini ditempatkan lagi di RS Kariadi Semarang.

Pada zaman perang kemerdekaan (1940--1945) dia ditugaskan menjadi dokter untuk wilayah
Lampung (Krui dan Liwa) dan Sumatera Selatan (Muara Dua). Abdoel Moeloek pun sempat
diangkat sebagai "Bupati Perang" di Liwa dengan pangkat mayor tituler. "Gubernur Perang"-
nya adalah dr. Abdul Gani yang saat itu gubernur Sumatera Selatan.

Abdoel Moeloek dikenal sangat disiplin, pekerja keras, tegas, jujur, dan dekat pada
masyarakat. Ketika militer Jepang merekrut banyak warga untuk dijadikan romusa (pekerja
paksa yang tak dibayar) di Palembang, misalnya, dia punya trik khusus. Saat itu, banyak
romusa yang tidak pulang lagi karena meninggal akibat sakit atau kurang makan.

"Bapak memberikan surat keterangan sakit pada warga agar tidak dijadikan romusa oleh
tentara Jepang," kata Jafri. "Saya dimasukkan jadi polisi. Waktu itu polisi seperti palang
merah, yang bertugas menolong rakyat."

Setelah lima tahun di pesisir barat Lampung-Sumsel, Abdoel Moeloek ditempatkan di RS


Tanjungkarang (1945). Satu-satunya dokter saat itu, dia menjabat Kepala RS Tanjungkarang
dan RS Tentara Tanjungkarang, setelah kedua rumah sakit itu diambil alih dari tangan
Jepang.

Peranan Abdoel Moeloek menjadi penting dan sangat strategis pada saat perang
kemerdekaan (1945--1950). Ia menyuplai obat-obatan kepada para gerilyawan Lampung. Ia
juga terjun langsung menangani korban perang.

Meski demikian, ia tetap menjaga dedikasi dan profesionalitasnya sebagai dokter. Suatu hari,
terjadi clash(pertempuran) antara tentara gerilya dan Belanda. Dengan pita palang merah di
lengan, ia mengobati korban-korban. Bukan hanya pejuang Republik, melainkan juga tentara
Belanda.

Untuk merawat korban perang yang terus berdatangan, Abdoel Moeloek dan paramedis RS
Tanjungkarang bekerja siang dan malam. Dia amanatkan pada seluruh tenaga medis agar
mengobati siapa saja yang dibawa ke rumah sakit. Tidak membeda-bedakan prajurit
Indonesia atau Belanda.

Nilai-nilai sosial-kemanusiaan dan dedikasi yang ditunjukkan Abdoel Moeloek itu selalu
melekat di ingatan Farid Anfasa Moeloek; pun saat di kemudian hari ia mengikuti karier
ayahnya. "Waktu itu saya masih kecil, tapi ingat. Saya simpati melihat dedikasi ayah," kata
Farid.

Jadi Teladan

Abdoel Moeloek sangat suka membaca dan belajar. Di kediamannya dahulu (depan RSUD
dr. Abdoel Moeloek Bandar Lampung) ia mendesain sebuah ruangan ukuran 3 x 4 meter
untuk ruang perpustakaan. Jika tidak sedang bekerja, ia menghabiskan waktunya di situ:
Berkutat dengan buku-buku.

Dalam mendidik kelima putra-putrinya, metode yang dilakukan Abdoel Moeloek patut
diteladani. Dia mendidik mereka dengan perbuatan (disiplin, sikap jujur, dan tanggung jawab),
bukan dengan perkataan.

"Enam belas tahun saya ikut beliau, sampai saya punya anak dua, tidak pernah sehari pun
bapak telat melaksanakan salat subuh," kata Jafri. Apa yang dilakukan Abdoel Moeloek
itupun diikuti anak-anaknya.

Sebelum ajal menjemputnya tahun 1973, Abdoel Moeloek berpesan pada istri dan anak-
anaknya: Jasadnya tidak dimakamkan di Makam Pahlawan. Dia beralasan agar pusaranya
dekat masyarakat dan bisa dikunjungi kapan dan oleh siapa saja. Sedangkan jika
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, keluarga dan kerabat hanya berziarah pada saat-
saat tertentu atau hari besar nasional.

Atas wasiat itu, sanak-keluarga kemudian memakamkan jasadnya di Taman Permakaman


Umum (TPU) Lungsir di Telukbetung Utara.

Karier dan pengabdian Abdoel Moeloek diwarisi dua anaknya: Farid Anfasa Moeloek dan
Herwin Moeloek. Keduanya adalah guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.

Sejak tahun 1984, Rumah Sakit Tanjungkarang diubah namanya menjadi Rumah Sakit
Umum Daerah dr. Haji Abdul Moeloek (SK Gubernur Provinsi Lampung No.G/180/B/HK/1984,
tanggal 7 Agustus 1984). Selanjutnya, berdasar pada Perda Provinsi Lampung No.8 Tahun
1985 tanggal 27 Februari 1995, namanya berubah lagi menjadi Rumah Sakit Umum Daerah
dr. Haji Abdul Moeloek Provinsi Daerah Tingkat I Lampung (disahkan Menteri Dalam Negeri
dengan SK Nomor 139 Tahun 1995 dan diundangkan dalam Lembaran Daerah Provinsi
Lampung Nomor 173 Tahun 1995 pada 28 November 1995. n

BIODATA

Nama: Dr. H. Abdoel Moeloek


Tempat, tanggal lahir: Padang Panjang, 10 Maret 1905
Meninggal: Bandar Lampung, 1973
Pendidikan: Dokter lulusan STOVIA/GH, Jakarta, 1932
Nama istri: Hj. Poeti Alam Naisjah
Tempat, tanggal lahir: Solok, 29 Oktober 1914
Jumlah anak: 5 orang (3 laki-laki dan 2 perempuan)
Meninggal dunia di Tanjungkarang pada tahun 1973

Riwayat Pekerjaan:
1. Kepala RS Bangkinang, 1935
2. Dokter di RS Kariadi, Semarang, 1937
3. Dokter di Krui, Liwa, 1940--1945
4. Mengambil alih RS Tanjungkarang dan RS Tentara Tanjungkarang dari tangan Jepang,
1945.
5. Kepala RS Tanjungkarang dan Kepala RS Tentara Tanjungkarang.

Pengalaman Semasa Perjuangan


1. Menyuplai obat-obatan untuk para gerilya pada saat perang kemerdekaan (1945--1950)
2. Atas prkarsa dan bantuan WHO, mencari sumber air bersih untuk penduduk, sebagai cikal-
bakal PDAM (1950--1955)
3. Atas prakarsa dan bantuan WHO, mengadakan program pembasmian malaria yang
terbesar di Asia (1950--1960)
4. Mendatangkan dokter-dokter spesialis yang diperlukan RS Tanjungkarang dan RS Tentara
Tanjungkarang. Dan, bekerja sama dengan WHO, karena RS sangat kekurangan dokter
spesialis pada saat itu. Terdapat sekitar 15 dokter spesialis dari berbagai disiplin ilmu
kedokteran dan kedokteran gigi, baik dari dalam maupun luar negeri yang tersedia untuk
kedua RS itu.

Pantai Sari Ringgung Lampung Dengan Pesona Objek Wisatanya

Pantai Sari Ringgung Lampung


Hamparan Pasir Putih yang Memanjang dan Gazebo Kecil yang Menambah Keindahan

Wisata dengan tujuan pantai merupakan salah satu alasan sebagian orang untuk menghibur
diri bersama keluarga atau kerabat, apa lagi jika pantai tersebut indah dan memiliki fasilitas
yang baik tentu saja acara berlibur akan menjadi lebih menyenangkan. Pantai Sari
Ringgung merupakan salah satu objek wisata pantai favorit di Lampung. Beralamat
diKabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, Pantai Sari Ringgung memiliki jarak tempuh 14
Km atau ± 30 Menit dari pusat Kota Bandar Lampung. Jarak dari Kota Bandar
Lampung ke Pantai Sari Ringgung sekitar 14 km, atau bisa ditempuh dengan kendaraan
sekitar 30 menit.
Saat mencapai lokasi pantai, anda akan langsung terpesona dengan hamparan pasir putih
yang memanjang sepanjang pantai. Di ujung selatan Pantai Sari Ringgung, anda akan
menjumpai semacam tanjung kecil dengan banyak pohon kelapa di tanam di sana. View di
tanjung kecil ini sangat indah. Dari lokasi ini anda dapat melihat pemandangan
sepanjangPantai Sari Ringgung. Persis di sebelah barat dari tanjung kecil ini ada bukit, yang
sudah disediakan jalan khusus untuk menanjak ke atas.
Menjawab kebutuhan wisata keluarga yang kini sudah mulai marak dengan mengajak
berwisata seluruh anggota keluraga bahkan hingga anak anak, objek wisata Pantai Sari
Ringgung bahkan sudah memiliki fasilitas Water Sport. Wahana untuk kegiatan water sport
diantaranya banana boat, kano dan lainya. Lebih istimewa lagi, destinasi wisata ini juga
memiliki keistimewaan dengan adanya Masjid Apung Al-Aminah sebagai tujuan wisata religi.
Ketika Anda tiba pertama kali di Pantai Sari Ringgung , maka air laut yang biru bening
seakan-akan mengajak Anda untuk segera menikmati kesegarannya. Ketika sudah puas
menikmati Pantai Sari Ringgung, perjalanan belum selesai, masih ada destinasi menarik
yang harus di kunjungi yaitu pasir timbul yang sangat mirip dengan maldive. Ada hal yang
unik selama perjalanan 15 menit menuju pasir timbul. Disana ada kawasan karamba ikan
milik warga setempat dan ada sebuah masjid unik, yaitu masjid terapung al-aminah. Dan
dikawasan karamba memang dihuni oleh warga, jadi karamba itu semacam perkampungan
terapung lengkap dengan masjid terapungnya.
Pasir timbul memiliki air biru yang jernih, bahkan ketika gerombolan ikan-ikan laut pun akan
terlihat dengan mata telanjang. Ikan-ikan di pasir timbul sudah terbiasa dengan kedatangan
para wisatawan. Kondisi air laut di psir timbul sendiri sangat bersahabat, kondisi air jernih
yang bersih, ombak yang bisa dikatakan hampir tidak ada, air yang tidak terlalu dalam sangat
cocok bagi para pengujung yang membawa anak kecil. Untuk menyeberang ke pasir timbul
dikenai 15.000 antar dan jemput. Lalu tarif ke pulau tegal dikenai tarif 20.000 sampai 25.000
perorang.

Di Pantai Sari Ringgung juga tersedia gazebo-gazebo kecil di pinggir pantai untuk sekedar
istirahat para pengunjung dan tentunya menambah keindahan Pantai Sari Ringgung.
pengunjung dapat menyewa pondokan Rp 50 ribu selama berada di lokasi. Jika anda ingin
berkunjung ke Pantai Sari Ringgung, usahakan untuk tidak mengambil hari libur, apa lagi
pada saat acara tahun baru atau hari libur besar lainnya. Karena jalannya sangat ramai dan
macet. Harga tiket masuk Pantai Sari Ringgung sebagai berikut (harga dapat berubah
sewaktu-waktu): Tarif masuk per orang Rp10.000,-. Motor Rp 5.000,- Mobil Rp 10.000,- Bus
Sedang Rp 200.000,- Bus Besar Rp 250.000,-.
Jika Anda akan menghabiskan waktu beberapa saat di pantai ini, Disekitar pantai sudah
banyak tersedia penginapan murah dan hotel murah Pantai Sari Ringgung. Atau yang ingin
merasakan sensasi camping juga diperbolehkan. Untuk memanjakan perut Anda, serta
pecinta kuliner, Di wilayah Pantai Sari Ringgung banyak tersedia berbagai kuliner, mula dari
warung-warung makan hingga restoran . Semua menyediakan aneka menu seafood dan
tentunya makanan khas daerah Pantai Sari Ringgung.
Dari pelabuhan Bakauheni, pantai ini berjarak sekitar 102 km. Untuk mencapai Bakauheni
sendiri dari Merak banyak kapal yang melayani trayek Merak-Bakauheni 24 jam non-stop.
Merak-Bakauheni memakan waktu sekitar 2-3 jam perjalanan. Bahkan bisa sampai 4 jam-an
(tergantung ramai/tidaknya penumpang, cuaca, dll). Perjalanan menuju Pantai Sari
Ringgung ini membutuhkan waktu sekitar 3-4 jam via darat dari Bakauheni. Jika starting point
nya dari kota Bandar Lampung, Anda hanya butuh sekitar 30 menit perjalanan.

ejarah
Terdapat fakta sejarah membanggakan terkait keberadaan Masjid Jami' Al-Furqon yang
berlokasi di Lungsir Teluk Betung kota Bandar Lampung. Sejak dibangun pada tahun 1958,
masjid ini diketahui merupakan cikal bakal berdirinya perguruan tinggi islam yakni Fakultas
Islam di Lampung bernama Fakultas IAIN Raden Intan Lampung.
Sebelumnya bangunan masjid Al-Furqon berfungsi layaknya masjid untuk peribadatan umat
muslim pada umumnya. Kala itu hanya satu lantai gedung tersebut sejak 1964 oleh
masyarakat sekitar difungsikan sebagai kampus yang di pelopori oleh M. Fu’ad Siradj, Mastar
Ilyas, Sapawi Nadis, Barnawi Wahid dan kawan-kawan. “ Mereka pada waktu itu merupakan
mahasiswa fakultas Tarbiyah IAIN Cabang Raden Fatah Palembang – Sumatera Selatan
yang baru didirikan di Lampung. Dekannya Drs. M. Yusf Abdul Aziz, yang melakukan
perkuliahan di masjid tersebut, ” ungkap pengurus Masjid Al-Furqon Bandar Lampung Adnan
Nawawi.

Adnan juga menuturkan, pembangunan masjid Al-Furqon selain difungsikan sebagai


peribadatan juga di fungsikan sebagai tempat perkuliahan yang mana alhasil fakultas Islam
Lampung IAIN Raden Intan Lampung akhirnya dicetuskan dari kegiatan di Masjid Al-Furqon
kala itu.

Bangunan masjid belum berbentuk masjid saat itu, dikarenakan belum memiliki kubah masjid,
sehingga ruangan di bagi dua, sisi menghadap Kiblat di jadikan peribadatan dan bagian
belakang di jadikan untuk perkuliahan.

Pembagian ruanganpun disebabkan manakala seorang mahasiswi mengalami haid pada


waktu itu sehingga tidak diperbolehkan memasuki masjid. ”Itu terjadi manakala salah satu
mahasiswi mengalami Uzur (haid) saat mengikuti kuliah, sehingga terjadilah suatu
musyawarah antara para Kiyai dan Dosen pada waktu itu K.H. Sulaiman Rasyid sebagai
pengarang buku Fiqih Islam, K.H. Abdulah Sahaili dan K.H. Nawawi memberikan fatwa untuk
membagi ruangan masjid menjadi dua bagian, yakni bagian depan menghadap Kiblat/Barat
ditetapkan sebagai masjid dan bagian belakang menghadap ketimur ditetapkan menjadi
ruang kuliah, ” jelas Adnan.

Sementara itu, perkuliahan di Masjid Al-Furqon berlangsung selama dua tahun sampai
Fakultas Tarbiyah pindah di Kaliawi Tanjung Karang tahun 1966. Berdasarkan catatan
sejarah, Masjid Jami’ Al-Furqon kala itu diresmikan oleh Menteri Agama.

Masjid Agung Al Furqon Bandar Lampung atau Masjid Al Furqon merupakan masjid
terbesar di Bandar Lampungdan Lampung yang terletak di jantung kota di Jl.Diponegoro atau
tepatnya di persimpangan antara Jl.Dr. Susilo dan Jl.Diponegoro dekat perkantoran Pemda
Kota Bandar Lampung.
Masjid ini terdiri dari 2 lantai. Lantai kedua digunakan untuk pertemuan-pertemuan dan acara
resepsi pernikahan.[1]

Sejarah Masjid

Jejak awal pembangunan masjid ini diprakarsai oleh Ir. Soekarno yang membangun Masjid
Agung Al-Furqon. Masjid ini kini jadi kebanggaan dan terbesar di kota ini.
Masjid paling megah, terletak di tempat strategis, selalu jadi tempat salat berjamah berbagai
kalangan di Bandarlampung maupun daerah lainnya,digagas Presiden Soekarno pada tahun
1951,pada tahun itu Soekarno membeli lahan untuk masjid yang tepat di jantung Kota
Bandarlampung dari Warga setempat, Soekarno kemudian mewakafkan lahan tersebut untuk
masjid.
Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1961, di lahan tersebut diletakan fondasi, batu bata,
dan tahapan lainnya untuk pembangunan sebuah masjid dan menjadi awal pembangunan
Masjid Agung Al-Furqon[2]

Rencana Pembangunan

Masjid Al Furqon kedepan tak hanya bisa dijadikan tempat beribadah bagi umat muslim
di Bandar Lampung, tetapi bisa juga menjadi tempat nongkrong sekaligus tempat berfoto bagi
muda-mudi. Karena saat ini masjid yang menjadi salah satu icon Kota Tapis Berseri ini
tengah dilakukan pembangunan taman. Selain itu, ada relief wali songo di sisi kiri taman yang
pengerjaannya dilakukan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan (Disbertam) dan Dinas
Pekerjaan Umum (PU) Bandarlampung. Wali kota Bandarlampung Herman HN pun
menargetkan pembangunan taman dan relief ini akan selesai pada tahun ini.
Tak hanya itu, pada tahun 2016 Herman HN mengaku akan membangun dua buah menara
besar dengan ketinggian 100 meter di halaman Masjid Al Furqon ini, Bentuknya nanti dibuat
seperti menara di Masjid Madinah.[3]

Anda mungkin juga menyukai