Anda di halaman 1dari 2

Hubungan Agama dan Negara: Sebuah

Perspektif Kristiani
10 Oktober 2012 15:34 Diperbarui: 24 Juni 2015 22:58 4457 3 0
I. Pokok Persoalan
Dalam sejarah kekristenan, hubungan antara umat percaya (baca :Gereja) dengan Negara
(baca :pemerintah), seringkali diwarnai dengan ketegangan-ketegangan, kontroversi dan
pasang surut.
Suatu saat Negara (pemerintah) menguasai orang percaya (gereja). Ini terjadi misalnya, pada
jaman Konstatinus Agung berkuasa dan dia menyatakan agama Kristen menjadi agama
Negara. Saat itu posisi orang percaya (gereja) menjadi sub-ordinatif terhadap pemerintahan.
Atau dengan kata lain pemerintah terlalu banyak campur tangan dalam urusan kehidupan
orang percaya. Gereja dan orang percaya “tiarap” dihadapan pemerintah pada saat itu.
Saat lain, kebalikannya yang terjadi, Gereja mendominasi Negara. Ini terjadi misalnya di
abad pertengahan ketika kekuasaan Paus begitu hebat sampai-sampai para raja yang hendak
berkuasa harus mendapat restu dari dirinya. Dalam masa itu posisi Negara (pemerintah)
menjadi sub-ordinatif terhadap gereja. Disini gantian pemerintah (Negara) yang “tiarap”
dihadapan gereja (kekristenan)
Kalau demikian persoalannya, maka pertanyaan yang mencuat kepermukaan adalah :
bagaimana seharusnya sikap ideal yang harus diambil oleh orang percaya (gereja) vis a vis
(berhadap-hadapan) dengan Negara (pemerintah)?
Jawaban atas pertanyaan inilah yang ingin penulis urai dalam tulisan ini.

II. ROMA 13:1-7 DAN AKAR KONTEKSTUALNYA


Ayat alkitab yang secara tegas berbicara tentang perlunya orang percaya taat dan tunduk
kepada pemerintah adalah surat Roma 13:1-7. Ayat 1 jelas sekali menegaskan :” Tiap-tiap
orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang
tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah. “
Kalau kita baca kalimatnya jelas sekali bahwa Rasul Paulus menekankan perlunya setiap
orang Kristen taat dan patuh kepada pemerintah yang ada di atasnya. Kenapa mesti demikian
? Paulus memberikan argumentasinya : bahwa tidak ada pemerintahan yang tidak berasal dari
Allah. Atau dengan kata lain, pemerintahan duniawi yang ada di dunia ini adalah
perpanjangan tangan dari pemerintahan Allah sendiri. Pertanyaan kritisnya adalah : mengapa
Paulus bisa sampai berkesimpulan seperti itu ? Manfred T Brauch dalam bukunya “ucapan
Paulus yang sulit”, memberikan analisa yang menarik demikian :”… kita perlu membaca
nasihat-nasihat ini berdasarkan konteks aktifitas penginjilan Paulus, yang berlangsung di
dalam sebuah dunia dimana hukum dan peraturan Romawi telah menciptakan kedamaian dan
tata tertib secara relative yang menyebabkan penyebaran injil terjadi dengan cepat.”
Dengan kata yang sederhana, sebenarnya Paulus menasehati jemaat di kota Roma agar taat
kepada pemerintah Roma pada waktu itu, karena pemerintah Roma dengan program Pax
Romana-nya yang hebat itu telah berhasil mewujudkan suatu tata pemerintahan yang relative
adil dan tertib bagi seluruh penduduknya. Oleh sebab itu pemerintahan yang demikian harus
ditaati, sebab ia menjadi kepanjangan tangan dari Allah yang adalah Allah yang tertib dan
teratur. Allah jelas tidak bisa menoleransi sebuah anarkhi (keadaan tanpa hukum dan
peraturan). Tujuan Allah adalah agar kehidupan manusia dalam masyarakat merupakan
kehidupan yang penuh keharmonisan, kedamaian dan ketertiban (Lih. Roma 12:10,18).
Persoalannya menjadi lain, kalau kemudian pemerintah yang ada di atas kita adalah
pemerintah yang lalim, sewenang-wenang dan tidak bisa menjamin ketenteraman dan hak-
hak warganya. Lalu kalau hal yang demikian terjadi, maka bagaimana seharusnya orang
Kristen bersikap?

III. PRINSIP MENDAHULUKAN YANG LEBIH UTAMA


Bila terjadi bahwa pemerintah yang ada di atas orang percaya ternyata menyalahgunakan
kekuasaan yang dipegangnya, dan malah membuat orang Kristen harus bergumul dengan
ketaatan imannya kepada Allah, maka prinsip yang dalam filsafat disebut sebagai prinsip
Prima Facie pantas dikedepankan. Prinsip prima facie pada dasarnya mengatakan bahwa
kalau ada dua prinsip moral berbenturan pada suatu saat –misalnya, mana yang harus dipilih
apakah harus menyelamatkan nyawa seseorang pejuang yang dicari penjajah atau berbohong
dengan mengatakan tidak tahu tentang keberadaan si pejuang - maka prinsip yang lebih tinggi
harus didahulukan. Dalam hal ini berbohong menjadi bisa dibenarkan secara moral karena
pada saat yang bersamaan prinsip kasih (menyelamatkan nyawa manusia) harus dilaksanakan
dan tidak ada cara lain lagi.
Mirip dengan prinsip di atas,kalau sampai terjadi pemerintah yang dipercaya Allah ternyata
malahan “merusak” dan mengabaikan hukum Allah, dan malahan membuat orang Kristen
harus bergumul dengan imannya kepada Allah, maka pemerintah yang demikian tidak harus
dipatuhi. Malahan harus ditentang! Dengan kata lain kesetiaan dan ketaatan kita terhadap
pemerintah berhenti, ketika pemerintah itu mulai bertindak tidak sesuai dengan hukum Allah.
Ketaatan kepada Allah dan hukumnya harus lebih utama daripada ketaatan kepada
pemerintah.
Ini sesuai dengan argumentasi Paulus dalam Roma 13 ayat 1 di atas, bahwa karena
pemerintah itu dari Allah dia harus taat dan tunduk kepada kehendak Allah. Sehingga saat
pemerintah tidak bersedia tunduk dan taat kepada kehendak Allah maka sebenarnya pada saat
itu juga ia telah kehilangan legitimasinya. Dan pemerintah yang demikian , tentu tidak perlu
lagi ditaati.
Sebagai kesimpulan boleh dikatakan bahwa ketaatan seorang Kristen kepada pemerintah
tidak pernah menjadi sebuah ketaatan yang absolute dan tanpa reserve, tetapi ketaatan yang
bersyarat. Sepanjang pemerintah itu memberlakukan hukum Allah dan menjaga tata tertib
serta mensejahterakan warganya ia mutlak harus ditaati. Tetapi kalau pemerintah itu tidak
mampu menjadi perpanjangan tangan Allah dalam mengatur dan menertibkan dunia ini, maka
ia tidak harus ditaati!

IV. CATATAN PENUTUP : BERSIKAP POSITIF, KONSTRUKTIF DAN KRITIS


TERHADAP PEMERINTAH
Adalah mendiang T.B Simatupang yang pertama kali mengatakannya, bahwa partisipasi
kristen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harusnya sekaligus positif (artinya selalu
berusaha memberikan sumbangsih yang baik bagi pemerintah dan warga lainnya), konstruktif
(orang Kristen harus ikut ambil bagian dalam pembangunan bangsanya), tetapi sekaligus
kritis (artinya orang Kristen juga tidak boleh takut-takut untuk memberikan masukan dan
koreksi kepada pemerintah demi kebaikan rakyat dan diberlakukannya hukum Tuhan).
Dengan demikian peran orang Kristen di dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat
menjadi peran ganda : disatu sisi ia adalah pelayan kehidupan yang loyal kepada atasannya
(baca: pemerintah), sepanjang si tuan itu benar dan adil, di sisi lain ia adalah seorang
pengawas yang dengan berani tetapi lembut menegur pemerintah kalau pemerintah itu lalai
dan tidak menjalankan fungsinya secara baik. Hanya dengan peran yang seimbang inilah
seorang Kristen bisa menjadi terang dan garam di bumi Indonesia yang tercinta.

Anda mungkin juga menyukai