Anda di halaman 1dari 9

Kiranya sudah jelas bahwa kita tidak mempunyai hak terhadap diri kita sendiri.

Pengertian “hak” selalu mengandung hubungan dengan orang lain, entah orang yang
tertentu entah masyarakat luas pada umumnya. Mustahillah berbicara tentang hak
yang saya punya terhadap diri saya sendiri.
209

Hak adalah klaim yang sah atau klaim yang dapat dibenarkan. Orang yang
mempunyai hak bisa menuntut (dan bukan saja mengharapkan atau menganjurkan)
bahwa orang lain akan memenuhi dan menghormati hak itu.
Hak legal adalah hak yang didasarkan atas hukum dalam salah satu bentuk. Hak-hak
legal berasal dari undang-undang, peraturan hukum atau dokumen legal lainnya.
Hak legal berfungsi dalam sistem hukum, hak moral berfungsi dalam sistem moral.
Hak moral didasarkan atas prinsip atau peraturan etis saja.
Walaupun hak legal tidak dengan sendirinya merupakan hak moral, namun yang ideal
adalah bahwa hak legal pada dasarnya merupakan suatu hak moral juga. Sama
seperti hukum secara paling ideal merupakan endapan moralitas yang baik.
Hak moral akan lebih efektif dan mempunyai kedudukan lebih kukuh dalam
masyarakat, jika didukung dan dilindungi oleh status hukum.
190-192

Menurut Kant harus dibedakan antara “harga” (price) dan “martabat” (dignity). “Harga”
dimiliki oleh suatu yang kita cari sebagai tujuan, tapi pada prinsipnya hal itu selalu bisa
diganti dengan sesuatu yang lain. Untuk sesuatu yang mempunyai “harga” selalu
tersedia sebuah ekuivalen, artinya, sesuatu yang bisa menjadi penggantinya. Jika
saya menjual barang dengan mendapat uang rupiah atau uang asing, sama saja,
sebab yang satu bisa ditukar dengan yang lain. Atau jika saya membeli komputer,
umpamanya, itu tidak berarti bahwa saya membeli komputer tertentu saja, sebab yang
ini dapat diganti dengan yang lain dengan merek, tipe, dan kualitas yang persis sama.
Tapi yang mempunyai martabat adalah unik dan tidak pernah dapat disetarafkan atau
diganti dengan sesuatu yang lain. Untuk mempunyai martabat tidak ada ekuivalen.
Apa yang mempunyai harga mempunyai nilai relatif, sedangkan apa yang mempunyai
martabat mempunyai nilai intrinsik dan karena itu tidak bisa diganti dengan sesuatu
yang lain.
182

Menurut Kant, kita harus menghormati martabat manusia, karena manusia adalah
satu-satunya makhluk yang merupakan tujuan pada dirinya. Benda jasmani kita
gunakan untuk tujuan-tujuan kita. Binatang juga kita pakai sejauh bermanfaat bagi kita.
Tapi manusia adalah tujuan sendiri yang tidak boleh ditaklukkan pada tujuan lain.
Mengapa? Karena manusia adalah makhluk bebas dan otonom yang sanggup
mengambil keputusannya sendiri. Manusia adalah pusat kemandirian. Ini kita
maksudkan, kalau kita katakan bahwa manusia adalah “persona”. Dialah satu-satunya
makhluk yang memiliki harkat intrinsik dan karena itu harus dihormati sebagai tujuan
pada dirinya.
181-182

Generalisasi norma menjadi dasar juga bagi apa yang dalam etika dikenal sebagai
“the golden rule” atau “kaidah emas”, yang biasanya dirumuskan sebagai berikut:
“Hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan”.
Jika kita bingung tentang apa yang harus dilakukan dalam suatu situasi tertentu,
kaidah emas ini selalu merupakan pegangan yang aman. Seperti halnya dengan
setiap norma moral, kaidah emas ini pun bisa dirumuskan dalam bentuk positif atau
negatif. Tadi diberikan bentuk positifnya. Bila dirumuskan secara negatif kaidah emas
itu berbunyi: “Jangan perbuat terhadap orang lain apa yang Anda sendiri tidak
inginkan diperbuat terhadap diri Anda”. Kaidah emas ini sudah dapat ditemukan dalam
karangan-karangan pujangga Tionghoa, Confusius (sekitar 500 s.M.), menurut bentuk
negatifnya.
180

“Norma” (tolak ukur), “normal” sebenarnya berarti: sesuai dengan norma. Tapi artinya
sudah berkembang menjadi “biasa”, “lazim terjadi” dan dengan demikian sudah
terlepas dari asal-usulnya. Korupsi atau tindakan tak terpuji lainnya tidak menjadi baik
secara moral karena sudah “normal”, karena sudah lazim terjadi di mana-mana.
177

Bagaimana kebenaran moral dapat diuji? Tentu dengan cara lain daripada
memastikan kebenaran suatu pernyataan tentang fakta. Kita bisa mendiskusikan
panjang lebar tentang suatu fakta, tapi kita tidak akan pernah mencapai kebenaran,
kalau tidak menghadapi fakta itu sendiri. Benar tidaknya sebuah ungkapan tentang
fakta hanya bisa dipastikan dengan memandang kenyataan. Misalnya, kebenaran
ungkapan seperti “sepeda motor ini mencapai kecepatan maksimal 80 km per jam”
hanya bisa dipastikan dengan percobaan. Supaya kebenaran pasti, perlu kita turun ke
jalan dengan sepeda motor itu. Kita harus mencoba, dan kalau ternyata kecepatan
maksimalnya tidak sampai 80 km atau melebihi 80 km, maka ungkapan tadi tidak
benar. Hanya kalau percobaan menunjukkan kecepatan maksimal 80 km, kita tahu
dengan pasti bahwa ungkapan itu benar.
Nah, kiranya sudah jelas bahwa kebenaran norma moral tidak bisa diuji dengan cara
begitu. Kebenaran norma seperti “korupsi adalah perbuatan tidak bermoral” sekali-kali
tidak bisa dipastikan melalui jalan percobaan. Setelah kita mencoba korupsi dan
ternyata bisa dijalankan, dengan demikian sama sekali belum terbukti bahwa norma
moral tadi tidak benar. Atau kalau kita menghadap realitas dan ternyata korupsi
banyak dipraktikkan dalam masyarakat, dengan itu prinsip moral “korupsi adalah
perbuatan tidak bermoral” belum ditumbangkan. Kebenaran moral tidak tergantung
pada kenyataan.
176-177

De gustibus non est disputandum, “Tidak perlu didiskusikan tentang selera”.


Diskusi tentang selera tidak pernah bisa diselesaikan justru karena di situ tidak ada
objektivitas. Akan tetapi, baik buruknya sesuatu tidak tergantung dari selera pribadi.
170

Dalam “tanggung jawab” terkandung pengertian “penyebab”. Orang bertanggung


jawab atas sesuatu yang disebabkan olehnya. Orang yang tidak menjadi penyebab
dari suatu akibat tidak bertanggung jawab juga.
Tetapi untuk bertanggung jawab, tidak cukuplah orang menjadi penyebab, perlu juga
orang menjadi penyebab bebas. Kebebasan adalah syarat mutlak untuk bertanggung
jawab.
135, 136

Dalam alam hanya terdapat penyebab-penyebab, tapi dalam tingkah laku manusia di
samping penyebab-penyebab terdapat juga motif-motif. Penyebab tidak tergantung
dari kemauan, sedangkan motif hanya menjadi motif bila diterima oleh kemauan.
Penyebab berperanan dalam konteks determinisme, sedangkan motif berperanan
dalam konteks kebebasan. Bila saya berjanji pada hari Kamis akan berkunjung ke
Saudara A dan tidak lama sebelumnya saya jatuh sakit, maka ada penyebab yang
memaksa saya untuk membatalkan janji saya. Tapi bila saya mengadakan janji yang
sama dan kemudian ada acara lebih menarik bagi saya (misalnya, menonton sepak
bola), maka saya membatalkan janji karena suatu motif. Motif adalah alasan yang
diterima manusia untuk menentukan dirinya. Penyebab adalah alasan terjadinya
sesuatu di luar kemauan manusia.
133

Hukum-hukum yang dihasilkan oleh ilmu-ilmu manusia dimungkinkan karena tiga


alasan. Pertama, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, kebebasan manusia itu
terbatas. Ada faktor-faktor dari luar yang membatasi kebebasan (lingkungan,
pendidikan) dan faktor-faktor lain membatasi dari dalam (bakat, watak, sikap). Ini
mengakibatkan bahwa banyak perbuatan manusia tidak bebas atau hanya setengah
bebas. Dengan demikian sosiologi, umpamanya, dapat menunjukkan bahwa sedikit
sekali anak dari golongan berpenghasilan rendah masuk perguruan tinggi. Kedua,
sering kali manusia tidak menggunakan kebebasannya. Ia merasa lebih senang atau
barangkali lebih aman untuk berperilaku menurut rutin, kebiasaan, atau adat. Ini
mengakibatkan bahwa suatu masyarakat tertentu sering memperlihatkan pola-pola
kelakuan yang sama. Ketiga, dan inilah alasan yang paling penting, kebebasan tidak
berarti bahwa perbuatan manusia tidak ditentukan. Kebebasan, sudah kita lihat,
adalah autodeterminasi: kehendak yang menentukan dirinya sendiri. Dan kalau
manusia menentukan dirinya sendiri, tentu ia mempunyai suatu maksud atau tujuan. Ia
tidak membabi-buta, tapi bertindak untuk mencapai sesuatu. Dengan kata lain,
manusia mempunyai motif-motif.
132

Salah seorang pemikir abad ke-20 yang sangat optimistis tentang kebebasan manusia
adalah filsuf dan sastrawan Prancis, Jean-Paul Sartre (1905-1980). Ia menganut aliran
eksistensialisme yang terkenal karena menonjolkan kebebasan. Sartre menjadi
seorang eksistensialis yang paling ekstrem dalam mendewa-dewakan kebebasan.
Dalam seluruh abad ke-20 tidak ada filsuf yang memberi tekanan begitu besar pada
kebebasan manusia seperti dia. Namun salah satu perkataannya tentang kebebasan
yang biasanya diketengahkan sebagai contoh tentang sikap ekstrem Sartre ini, pada
dasarnya dapat dibenarkan. Sartre mengatakan: “we are condemmned to be free,” kita
dihukum untuk hidup bebas atau kita ditakdirkan untuk bertindak bebas. Ungkapan
Sartre ini tampaknya agak paradoksal, karena hukuman atau takdir justru
bertentangan dengan kebebasan. Namun, jika kita berpikir lebih panjang, perlu diakui
kebenaran pendapat Sartre ini. Kita tidak bebas untuk bertindak bebas atau tidak.
Dalam arti tertentu, kebebasan merupakan nasib kita yang tidak bisa dihindarkan. Mau
tidak mau, kita hidup sebagai manusia bebas. Kebebasan merupakan suatu
komponen kehidupan setiap manusia, justru karena kita manusia. Dalam
optimismenya tentang kebebasan, Sartre berpendapat juga bahwa tidak ada batas lain
untuk kebebasan daripada batas-batas yang ditentukan oleh manusia sendiri.
127

Walaupun kebebasan psikologis selalu disertai kemungkinan untuk memilih dan tidak
ada kebebasan kalau tidak ada kemungkinan untuk memilih, namun pemilihan tidak
merupakan hakikat kebebasan psikologis. Yang menjadi hakikatnya ialah kemampuan
manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Saya adalah bebas dalam arti ini, bila
sayalah yang menentukan diriku dan bukan faktor-faktor dari luar ataupun dari dalam.
Kebebasan psikologis adalah auto determinasi: “penentuan aku oleh aku”,
sebagaimana dikatakan filsuf Prancis Hendi Bergson. Di sini “aku” adalah subjek dan
objek sekaligus. Yang menentukan adalah saya dan yang ditentukan adalah saya
juga.
119

Arti “kebebasan” berikut adalah kebebasan fisik. Di sini “bebas” berarti tiada paksaan
atau rintangan dari luar. Orang menganggap dirinya bebas dalam arti ini, jika bisa
bergerak ke mana saja ia mau tanpa hambatan apa pun. Orang yang diborgol atau
dipasung tentu tidak bebas. Selama meringkuk di penjara, seorang narapidana tidak
bebas, begitu masa tahanannya lewat ia kembali menghirup udara kebebasan.
Kalau hanya itulah yang kita maksudkan dengan “bebas”, maka pengertian kita
tentang kebebasan masih terlalu dangkal. Bisa saja orang tidak menikmati kebebasan
fisik, namun sungguh-sungguh bebas. Banyak pahlawan pernah ditahan dan mereka
tetap bebas sepenuh-penuhnya. Memang benar apa yang dikatakan Friedrich Schiller,
penyair Jerman akhir abad ke-18: “Manusia diciptakan bebas dan ia tetap bebas,
sekalipun lahir terbelenggu”. Tiadanya kebebasan fisik bisa disertai adanya kebebasan
dalam arti lebih mendalam. Dan sebaliknya, kalau orang dapat bergerak dengan cara
bebas, hal itu belum menjamin bahwa ia bebas sungguh-sungguh.
112

Kalau kita berefleksi lebih mendalam, akan tampak bahwa kebebasan tidak bisa
disamakan dengan merasa bebas atau merasa dilepaskan dari segala macam ikatan
sosial dan moral. Kebebasan tidak bertentangan dengan keterikatan. Sebaliknya,
kebebasan yang sejati mengandaikan keterikatan oleh norma-norma.
108, 111

Tidak dapat disangkal, dalam hidup manusia kebebasan merupakan suatu realitas
yang amat kompleks. Kebebasan mempunyai banyak aspek dan banyak karakteristik.
Sudah dalam bahasa sehari-hari kata “bebas” dipakai dengan berbagai nuansa dan
sesudah pemeriksaan lebih lanjut tetap tinggal banyak arti yang tidak boleh
dicampuradukkan. Salah satu usaha pertama dari filsafat adalah membedakan serta
menganalisis banyak arti itu dengan demikian menciptakan kejelasan.
Perlu dicatat lagi, oleh para filsuf dikemukakan pelbagai cara untuk membagikan serta
membedakan arti-arti kebebasan. Tidak berguna dan tidak mungkin pula menyebutkan
di sini semua arti yang sudah pernah dibedakan sepanjang sejarah filsafat. Lagi pula,
pembedaan-pembedaan mereka sering kali tidak dapat dicocokkan satu sama lain,
karena dilakukan berdasarkan beberapa prinsip yang tidak sama.
102

Pengalaman itu mempunyai suatu status tersendiri yang tidak boleh dicampuradukkan
dengan pengalaman jenis lain, khususnya pengalaman yang menjadi titik tolak dan
fundamen ilmu pengetahuan empiris. Ilmu-ilmu empiris, baik ilmu alam maupun ilmu
manusia, mengacu ke pengalaman lahiriah dan justru karena itu mereka bersifat
empiris (dalam arti: didasarkan pada fakta-fakta yang tampak bagi semua orang).
Kegemaran ilmu-ilmu empiris adalah menimbang, mengukur, memotret, menyusun
statistik, dan sebagainya, singkatnya, menentukan fakta-fakta dalam dunia luar. Ilmu
pengetahuan bertolak dari pengalaman lahiriah itu dan selalu ia kembali lagi padanya
untuk memverifikasi hipotesis-hipotesisnya. Dalam arti ini kebebasan tidak pernah
dapat ditentukan. Prinsipil tidak mungkin membuktikan kebebasan dengan metode
ilmu-ilmu empiris. Dari kenyataan itu sementara ilmuwan bahkan menarik kesimpulan
bahwa tidak ada kebebasan. Tapi hal itu disebabkan karena mereka berpegang pada
pengertian sempit tentang pengalaman. Mereka hanya mengenal satu jenis
pengalaman, sambil mengabaikan pengalaman jenis lain, yang memang tidak relevan
untuk maksud mereka, yaitu pengalaman batin. Dalam pengalaman terakhir ini hanya
ada satu saksi, yaitu saya sendiri.
101

Dalam renungannya tentang waktu Agustinus (354-430) sendiri heran, karena


sebenarnya selalu ia sudah tahu apa itu waktu namun ia mengalami kesulitan juga,
bila mau merumuskan pengetahuan serba-biasa itu. “Di antara hal-hal yang disebut
dalam pembicaraan sehari-hari kita, apakah yang lebih biasa serta akrab dengan kita
daripada waktu? Tidak bisa diragukan, kita mengerti bila kita berbicara tentangnya dan
kita mengerti juga bila kita mendengar orang lain berbicara tentangnya. Lalu apa
gerangan waktu itu? Jika tidak ada orang yang tanya, saya tahu. Tapi jika saya–
setelah ditanya–mau menjelaskannya kepada orang lain, saya tidak tahu.” Hal yang
sama dapat dikatakan juga tentang kebebasan. Kalau tidak ada orang yang bertanya
apakah kebebasan itu, kita yakin kita tahu, karena kita sendiri mengalaminya. Tapi
pada saat kita ditanya apakah kebebasan itu kita menjadi bingung dan tidak bisa
menjawab.
100

Jadi, kalau secara teoretis pendidikan hati nurani lebih sulit daripada pendidikan akal
budi, pada taraf praktis kesulitan itu kurang terasa, asal saja keluarga diliputi iklim
moral yang serasi dan menunjang. Pendidikan hati nurani tidak membutuhkan sistem
pendidikan formal, malah lebih baik berlangsung dalam rangka pendidikan informal,
yaitu keluarga. Sedangkan pendidikan akal budi sulit untuk dijalankan di luar rangka
pendidikan formal.
71

Hati nurani harus dididik, seperti juga akal budi manusia membutuhkan pendidikan.
Tapi pendidikan akal budi jauh lebih gampang untuk dijalankan. Metode-metode yang
seharusnya digunakan untuk mencapai hasil optimal, dalam mendidik akal budi jauh
lebih jelas. Pendidikan di sekolah terutama bertujuan mengembangkan dan mendidik
akal budi anak-anak. Memang benar, sekarang diakui secara umum bahwa pendidikan
di sekolah tidak boleh berorientasi eksklusif intelektualistis. Dalam diri anak pun akal
budi terintegrasi dengan seluruh kepribadiannya. Namun demikian, tetap tinggal benar
juga bahwa pendidikan di sekolah secara khusus diarahkan pada akal budi. Di sekolah
mendidik terutama berarti “mencerdaskan”.
70

Dapat disimpulkan bahwa hati nurani mempunyai kedudukan kuat dalam hidup moral
kita. Malah bisa dikatakan: dipandang dari sudut subjek, hati nurani adalah norma
terakhir untuk perbuatan kita. Kita selalu wajib mengikuti hati nurani dan tidak pernah
boleh kita lakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Dalam arti itu hati
nurani mengikat kita secara mutlak. Namun, harus langsung ditambahkan, putusan
hati nurani yang merupakan norma moral terakhir bersifat subjektif dan belum tentu
perbuatan yang dilakukan atas desakan hati nurani adalah baik juga secara objektif.
67
Mengikuti hati nurani merupakan suatu hak dasar bagi setiap manusia. Tidak ada
orang lain yang berwenang untuk campur tangan dalam putusan hati nurani
seseorang. Tidak boleh terjadi, seorang dipaksa untuk bertindak bertentangan dengan
hati nuraninya. Maka tidak mengherankan, bila dalam Deklarasi Universal tentang
Hak-hak Asasi Manusia (1948) disebut juga “hak atas kebebasan hati nurani” (Pasal
18). Konsekuensinya bahwa negara harus menghormati itu menimbulkan konflik
dengan kepentingan lain.
66

Kalau rasio teoretis bersifat abstrak, maka rasio praktis justru bersifat konkret. Hati
nurani juga sangat konkret sifatnya dan mengatakan kepada kita apa yang harus
dilakukan kini dan di sini. Putusan hati nurani “mengkonkretkan” pengetahuan etis kita
yang umum. Pengetahuan etis kita (prinsip-prinsip moral yang kita pegang dan nilai-
nilai yang kita akui) hampir tidak pernah siap pakai dalam keadaan konkret. Hati nurani
seolah-olah merupakan jembatan yang menghubungkan pengetahuan etis kita yang
umum dengan perilaku konkret.
64, 65

Rasio teoretis dan rasio praktis. Rasio teoretis memberi jawaban atas pertanyaan: apa
yang dapat saya ketahui? Atau juga: bagaimana pengetahuan saya dapat diperluas?
Dengan demikian rasio dalam arti ini merupakan sumber pengetahuan, termasuk juga
ilmu pengetahuan. Sedangkan rasio praktis terarah pada tingkah laku manusia. Rasio
praktis memberi jawaban atas pertanyaan: apa yang harus saya lakukan? Dengan itu
rasio praktis memberi penyuluhan bagi perbuatan-perbuatan kita.
64

Terdapat suatu tendensi kuat dalam filsafat untuk mengakui bahwa hati nurani secara
khusus harus dikaitkan dengan rasio.. Alasannya, karena hati nurani memberi suatu
penilaian, artinya, suatu putusan (judgement). Ia menegaskan: ini baik dan harus
dilakukan atau itu buruk dan tidak boleh dilakukan. Mengemukakan putusan jelas
merupakan suatu fungsi dari rasio.
64

Di samping aspek personal, hati nurani menunjukkan juga suatu aspek suprapersonal.
Selain bersifat pribadi, hati nurani juga seolah-olah melebihi pribadi kita, seolah-olah
merupakan instansi di atas kita. Aspek ini tampak dalam istilah “hati nurani” itu sendiri.
“Hati nurani” berarti “hati yang diterangi” (nur = cahaya). Dalam pengalaman mengenai
hati nurani seolah-olah ada cahaya dari luar yang menerangi budi dan hati kita. Aspek
yang sama tampak juga dalam nama-nama lain yang sering dipakai dalam bahasa
Indonesia untuk menunjukkan hati nurani: suara hati, kata hati, suara batin. Rupanya
aspek ini sangat mengesankan, hingga terungkap dalam begitu banyak nama.
Terhadap hati nurani, kita sekan-akan menjadi “pendengar”. Kita seakan-akan
mengambil sikap reseptif dan membuka diri terhadap suara yang datang dari luar. Hati
nurani mempunyai suatu aspek transenden, artinya, melebihi pribadi kita.
62

Hati nurani bersifat personal, artinya, selalu berkaitan erat dengan pribadi
bersangkutan. Norma-norma dan cita-cita yang saya terima dalam hidup sehari-hari
dan seolah-olah melekat pada pribadi saya, akan tampak juga dalam ucapan-ucapan
hati nurani saya. Seperti kita katakan bahwa tidak ada dua manusia yang sama, begitu
pula tidak ada dua hati nurani yang persis sama. Hati nurani diwarnai oleh kepribadian
kita. Hati nurani akan berkembang juga bersama dengan perkembangan seluruh
kepribadian kita: sebagai orang setengah baya yang sudah banyak pengalaman hidup
tentu hati nurani saya bercorak lain daripada ketika masih remaja. Ada alasan lain lagi
untuk mengatakan bahwa hati nurani bersifat personal, yaitu hati nurani hanya
berbicara atas nama saya. Hati nurani hanya memberi penilaiannya tentang perbuatan
saya sendiri.
61

Dapat dibedakan dua bentuk hati nurani: hati nurani retrospektif dan prospektif. Hati
nurani retrospektif memberi penilaian tentang perbuatan-perbuatan yang telah
berlangsung di masa lampau. Hati nurani ini seakan-akan menoleh ke belakang dan
menilai perbuatan-perbuatan yang sudah lewat. Ia menyatakan bahwa perbuatan yang
telah dilakukan itu baik atau tidak baik.
Hati nurani prospektif melihat ke depan dan menilai perbuatan-perbuatan kita yang
akan datang. Hati nurani dalam arti ini mengajak kita untuk melakukan sesuatu–seperti
barangkali lebih banyak terjadi–mengatakan “jangan” dan melarang untuk melakukan
sesuatu.
58, 59

Di kebun binatang pernah terdengar seorang anak kecil, berumur sekitar empat tahun,
bertanya kepada ibunya: “Mami, apakah gajah ini tahu bahwa dia seekor gajah?”
Tanpa disadarinya, dengan itu ia mengemukakan suatu pertanyaan filosofis yang amat
mendalam artinya. Kepada filsuf cilik ini harus dijawab: gajah tidak tahu. Seekor
binatang tidak berpikir atau berefleksi tentang dirinya sendiri. Hanya manusia
mempunyai kesadaran.
57

Apa itu hati nurani? Secara sangat umum dapat dikatakan, hati nurani adalah
“instansi” dalam diri kita yang menilai tentang moralitas perbuatan-perbuatan kita,
secara langsung, kini, dan di sini. Dengan “hati nurani” kita maksudkan penghayatan
tentang baik atau buruk berhubungan dengan tingkah laku konkret kita. Hati nurani ini
memerintahkan atau melarang kita untuk melakukan sesuatu kini dan di sini. Ia tidak
berbicara tentang yang umum, melainkan tentang situasi yang sangat konkret. Tidak
mengikuti hati nurani ini berarti menghancurkan integritas pribadi kita dan
mengkhianati martabat terdalam kita.
56

Sanksi yang berkaitan dengan hukum berlainan dari sanksi yang berkaitan dengan
moralitas. Hukum untuk sebagian terbesar dipaksakan. Orang yang melanggar hukum
akan terkena hukumannya. Orang yang menolak membayar utangnya dapat dipaksa
dengan menyita harta miliknya. Tapi norma-norma etis tidak dapat dipaksakan.
Menjalankan paksaan di bidang etis tidak akan efektif juga, sebab paksaan hanya
menyentuh bagian luar, sedangkan perbuatan-perbuatan etis justru berasal dari
dalam. Satu-satunya sanksi di bidang moralitas adalah hati nurani yang tidak tenang,
karena menuduh si pelaku tentang perbuatannya yang kurang baik.
47, 78

Baik hukum maupun moral mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi
diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin
seseorang. Itulah perbedaan antara legalitas dan moralitas, yang sangat ditekankan
oleh filsuf Jerman Immanuel Kant. Hukum hanya meminta legalitas, artinya, kita
memenuhi hukum jika tingkah laku lahiriah sesuai dengan hukum. Sikap batin dalam
hal itu tidak penting. Mungkin saya hanya membayar pajak karena saya takut akan
menghadapi tindakan dari yang berwajib, seandainya saya tidak membayarnya.
Sebagai motivasi, alasan itu tidak begitu luhur, namun untuk hukum sudah cukup.
Hukum hanya menuntut bahwa saya memenuhi peraturannya dan tidak menghiraukan
dengan sikap apa saya memenuhinya. Niat batin tidak termasuk jangkauan hukum.
47

Hukum lebih dikodifikasi daripada moralitas, artinya, dituliskan dan secara kurang lebih
sistematis disusun dalam kitab undang-undang.. Karena itu norma yuridis mempunyai
kepastian lebih besar dan bersifat objektif. Sebaliknya, norma moral bersifat lebih
subjektif dan akibatnya lebih banyak “diganggu” oleh diskusi-diskusi yang mencari
kejelasan tentang yang harus dianggap etis atau tidak etis. Tentu saja, kita semua
tahu, di bidang hukum pun terdapat banyak sekali diskusi dan ketidakpastian, tapi di
bidang moral ketidakpastian itu lebih besar lagi, justru karena tidak ada pegangan
tertulis.
46

Dalam rangka menjernihkan istilah, harus kita simak lagi perbedaan antara “etika” dan
“etiket”. Kerap kali dua istilah ini dicampuradukkan begitu saja, padahal perbedaan di
antaranya sangat hakiki. Persamaan pertama, etika dan etiket menyangkut perilaku
manusia. Kedua, baik etika maupun etiket mengatur perilaku secara normatif, artinya,
memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang
harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
Perbedaannya; Etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia.
Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Etiket bersifat relatif. Dan jika kita berbicara
tentang etiket, kita hanya memandang manusia dari segi lahiriah saja.
9-11

Masih dalam rangka mempelajari istilah, perlu dibedakan antara amoral dan immoral.
Di sini terpaksa kita bertolak dari istilah-istilah Inggris, karena dalam bahasa Indonesia
kita mengalami kesulitan. Oleh Concise Oxford Dictionary kata amoral diterangkan
sebagai “unconcerned wit, out of the sphere of moral, non-moral”. Jadi, kata Inggris
amoral berarti: “tidak berhubungan dengan konteks moral”, “diluar suasana etis”, “non-
moral”. Dalam kamus yang sama immoral dijelaskan sebagai “opposed to morality;
morally evil”. Jadi, kata Inggris immoral berarti: “bertentangan dengan moralitas yang
baik”, “secara moral buruk”, “tidak etis”.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta) yang lama tidak terdapat
“amoral” ataupun “immoral”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru tidak
dimuat “immoral”, tapu terdapat kata “amoral” yang dijelaskan sebagai “tidak bermoral,
tidak berakhlak”.
7, 8

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953)
“etika” dijelaskan sebagai: “ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)”. Jadi,
kamus lama hanya mengenal satu arti, yaitu etika sebagai ilmu.. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang baru (KBBI, edisi ke-1, 1988), di situ “etika” dijelaskan dengan
membedakan tiga arti: 1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang
hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilau yang bekenaan
dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.”
5

Secara etimologi istilah “etika” pun berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani
‘ethos’ dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa;
padang rumput, kandang habitat; kebiasaan adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara
berpikir. Dalam bentuk jamak (‘ta etha’) artinya adalah adat kebiasaan. Dan arti
terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh filsuf
Yunani besar Aristoteles (384-322 s.M.) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat
moral. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka “etika” berarti: ilmu
tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
4

Anda mungkin juga menyukai