Anda di halaman 1dari 5

MAKNA “AL-QUR’AN TURUN DALAM TUJUH HURUF” (Bagian-2)

Selasa, 01 Nopember 11

Pendapat yang paling kuat di antara pendapat-pendapat itu semua adalah pendapat pertama, dan bahwasanya yang
dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa (dialek) dari bahasa-bahasa Arab dalam satu makna. Seperti
kata ‫أَ ْقبِ ْْل‬, ‫تَعَال‬,ْ‫ َهلُم‬,ْ‫ ع َِج ْل‬dan ‫ع‬
ْْ ‫ أَس ِْر‬yang lafazh-lafazh tersebut sekalipun berbeda namun maknanya adalah sama (yaitu
kemari). Dan yang berpendapat dengan pendapat ini adalah, Sufyan bin ‘Uyainah, Ibnu Jarir, Ibnu Wahb dan yang
lainnya. Dan Ibnu Abdil Barr menyandarkan pendapat ini kepda kebanyakan ulama. Dan yang menunjukkan hal ini
adalah hadits Abi Bakrah radhiyallahu 'anhu:

ٍ ‫ب ِب َرحْ َم ٍة أَ ْو آ َيةَ َرحْ َم ٍة ِب َعذَا‬


‫ب‬ َ َ‫ كُ ُُ لُّ َها شَافٍ كَافٍ َما لَ ْم ت َ ْخ ِت ْم آ َية‬:َ‫س ْب َعةَ أَحْ ُرفٍ فَقَال‬
ٍ ‫عذَا‬ َ ‫ َعلَى حَرْ فَي ِْن َحتَّى َبلَ َغ ستة أو‬:َ‫فَقَا َل مِي َكائِي ُل ا ْست َِز ْدهُ فقَال‬. ٍ‫ يا محمد ا ْق َرأ ْالقُرْ آنَ َعلَى حَرْ ف‬:َ‫أن ِجب ِْري ُل قَال‬
ْ‫نَحْ َو قَ ْولِكَ تَعَا َل َوأَ ْقبِلْ َوهَلُ َّم َوا ْذهَبْ َوأَس ِْر ْع َو ْع ِ ِّجل‬

”Sesungguhnya Jibril 'alaihissalam berkata:”Wahai Muhammad, bacalah al-Qur’an dalam satu huruf.” Maka
Mikail 'alaihissalamberkata:”Mintalah tambahan huruf.” Maka Jibril 'alaihissalamberkata:”Dalam dua huruf.” Dan
Jibril 'alaihissalam terus menerus menambahkannya sampai dalam enam atau tujuh huruf. Lalu ia
mengatakan:”Semuanya adalah obat penawar yang memadai, selama ayat adzab (ayat yang menceritakan tentang
siksa) tidak ditutup dengan ayat rahmat (ayat yang menceritakan tentang rahmat/kasih sayang) dan ayat rahmat
tidak ditutup dengan ayat adzab. Seperti ucapanmu:ْ‫ تَعَا َل‬, ‫أَ ْقبِ ْْل‬, ْْ‫اذهَب‬
ْ ,‫ع‬
ْْ ‫ أَس ِْر‬, dan ‫( ”ع ِْج ْْل‬HR Imam Ahmad no. 21055)

Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata:”Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan lafazh-lafazh
tersebut hanyalah untuk memberikan contoh terhadap huruf-huruh (dialek) yang dengannya al-Qur’an diturunkan,
dan bahwasanya ia adalah makna-makna yang sama pemahamannya, dan beda pengucapannya. Dan tidak ada
satupun di dalamnya makna yang saling bertentangan, dan tidak ada sisi makna yang kotradiksi dan menafikkan
makna sisi yang lain, seperti kata rahmat yang berlawanan dengan adzab.”

Dan pendapat ini dikuatkan oleh hadits yang banyak, di antaranya:

،‫ يا رسول هللا‬:‫ فقال‬،‫ فاختصما عند النبي صلى هللا عليه وسلم‬:‫ قال‬.‫ي‬ َّ ‫ لقد قرأتُ على رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فلم يغ ِِّير عل‬:‫ فقال‬،‫قرأ رجل عند عمر بن الخطاب رضي هللا عنه فغيَّر عليه‬
‫ إن‬،‫عمر‬
ُ ‫ يا‬:‫ ثم قال‬-‫قالها ثالثًا‬- ‫ ابعَ ْد شيطانًا‬:‫فضرب صدره وقال‬
َ :‫ قال‬،‫ فعرف النبي صلى هللا عليه وسلم ذلك في وجهه‬،‫عمر شيء‬ َ ‫ فوقع في صدر‬:‫ بلى! قال‬:‫ألم تقرئني آية كذا وكذا؟ قال‬
.ً‫ ما لم تجعلْ رحمةً عذابًا أو عذابا رحمة‬،‫القرآن كلَّه صواب‬

”Ada seorang laki-laki yang membaca al-Qur’an di sisi ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu, lalu hal itu
membuat ‘Umar marah, lalu orang itu berkata:”Aku telah membacanya di sisi Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam,
namun beliau tidak memarahiku.”Perawi hadits berkata:”Lalu keduanya berselisih pendapat di hadapan
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.” Maka orang itu berkata:”Wahai Rasulullah bukankah anda membacakan kepadaku
ayat ini dan ini?” Beliau bersabda:”Ya benar” Perawi berkata:”Maka dalam diri ‘Umar radhiyallahu 'anhu ada sesuatu
yang mengganjal (ketika mendengar jawaban Nabi), maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengetahui hal itu dari
wajahnya. Lalu beliau menepuk dada ‘Umar dan bersabda:”Jauhilah setan” Beliau mengulanginya tiga kali.
Kemudian beliau juga berkata:”Wahai ‘Umar, Al-Qur’an itu seluruhnya adalah benar, selama ayat rahmat tidak
dijadikan ayat adzab, dan ayat adzab tidak dijadikan rahmat.” (Tafsir ath-Thabari)

Dari Busr bin Sa’id radhiyallahu 'anhu:

‫ فسأال رسو َل هللا‬،‫ تلقَّيتها من رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫ وقال اآلخر‬.‫ تلقَّيتها من رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫ فقال هذا‬،‫ أن رجلين اختلفا في آية من القرآن‬:‫أن أبا ُجهيم األنصاري أخبره‬
)1( ‫كفر‬ َ ‫ فال ت َم‬،‫ إنِّ القرآن أنزل على سبعة أحرف‬:‫ فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬،‫صلى هللا عليه وسلم عنها‬
ٌ ‫ فإنَ المِ راء فيه‬،‫ار ْوا في القرآن‬

” Abu Juhaim al-Anshari telah mengabarkan kepadaku, bahwa ada dua orang laki-laki berselisih mengenai satu ayat
di dalam Al Qur'an. Salah satu dari keduanya berkata:"Sesungguhya saya telah menerima langsung dari Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam."Sedangkan yang lain berkata:"Saya juga menerimanya langsung dari Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam." Lalu keduanya menanyakan hal itu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka
beliau pun bersabda:"Sesungguhnya Al-Qur`an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka janganlah Al-Qur'an itu
diperdebatkan dan diperselisihan. Karena perdebatan mengenai ayat Al-Qur'an itu merupakan kekufuran." (HR.
Ahmad dalam al-Musnad, Ath-Thabari dalam Tafsirnya)

Dari al-A’masy rahimahullah, ia berkata:”Anas radhiyallahu 'anhumembaca ayat ‫ِيل‬ ُ ‫ًاْوْأَص َْو‬
ًْ ‫بْق‬ َ ‫ُّْو ْطئ‬
َ ‫شد‬ َ ‫شئ َةَْالل ْي ِلْه‬
َ َ ‫ِيْأ‬ ِ ‫( ) ِإنْنَا‬QS.
Al-Muzamil: 6) Maka sebagian orang berkata kepadanya:”Wahai Abu Hamzah (Anas), kalimat itu
ialah ‫( أَ ْق َو ُْم‬bukan ‫ب‬
ُْ ‫) أَص َْو‬. Maka beliau pun berkata:”ْ‫ب‬
ُ ‫ْأَص َْو‬,‫ أَ ْق َوم‬dan ‫ أَ ْهيَأ‬maknanya sama.” (HR. Imam ath-Thabari)

Dan dari Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata:


:‫ قال‬.‫ استزده‬:‫ فقال له ميكائيل‬.‫ اقرإ القرآن على ثالثة أحرف‬:‫ فقال‬.‫ استزده‬:‫ فقال له ميكائيل‬.‫ اقرإ القرآن على حرفين‬:‫نُبئت أن جبرائيل وميكائيل أتيا النبي صلى هللا عليه وسلم فقال له جبرائيل‬
‫ في‬،]53 ،29 :‫ص ْي َحةً َواحِ دَةً } [سورة يس‬
َ ‫ وفي قراءتنا { إِنْ كَانَتْ إِال‬:‫ قال‬،‫ تعال وهلم وأقبل‬:‫هو كقولك‬،‫أمر وال نهي‬
ٍ ‫ وال‬،‫تختلف في حالل وال حرام‬
ُ ‫ ال‬:‫ قال محمد‬،‫حتى بلغ سبعة أحرف‬
)‫قراءة ابن مسعود (إن كانت إال زقية واحدة‬

”Aku diberitahukan bahwa Malaikat Jibril dan Mikail 'alaihimassalammenemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lalu
Jibril 'alaihissalamberkata:”Bacalah al-Qur’an dengan dua huruf.” Maka Mikail'alaihissalam berkata kepada
beliau:”Mintalah tambah” Maka Jibril'alaihissalam berkata:”Bacalah al-Qur’an dengan tiga huruf” Lalu
Mikail 'alaihissalam brrkata lagi:”Mintalah tambah” Perawi berkata:”Hingga sampai tujuh huruf” Muhammad bin
Sirinrahimahullah berkata:”Huruf-huruf (bacaan-bacaan) tersebut tidak berbeda dalam masalah halal haram, dan
tidak pula dalam masalah perintah dan larangan. Namun ia hanya seperti perkataanmu:’Ta’aal, Halumma, dan
Aqbil. Dan seperti dalam qira’ah kita:

]53 ،29 :‫ص ْي َحةً َواحِ دَةً } [سورة يس‬


َ ‫{ إِنْ كَانَتْ إِال‬

Dan dalam qira’ahIbnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu:

)‫(إن كانت إال زقية واحدة‬

(Diriwayatkan oleh Imam ath-Thabari dalam Tafsirnya)

Pendapat yang kedua yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa (dialek) dari
bahasa-bahasa (dialek) Arab yang dengannya al-Qur’an diturunkan, yang artinya bahwa secara keseluruhan
kalimat-kalimat al-Qur’an tidak keluar dari ketujuh huruf tersebut dan ketujuh huruf tersebut terkumpul dalam al-
Qur’an. Pendapat ini dijawab bahwa bahasa Arab lebih dari tujuh. Dan bahwasanya ‘Umar radhiyallahu 'anhudan
Hisyam bin Hakim keduanya adalah orang Quraisy, satu kabilah, namun keduanya berbeda dalam bacaan mereka.
Dan mustahil kalau ‘Umar radhiyallahu 'anhu mengingkari bahasanya sendiri, maka hal itu menunjukkan bahwa
yang dimaksud dengan tujuh huruf bukanlah apa yang dimaksud oleh mereka (pendapat kedua). Dan tidak ada
maksud yang lain (dari tujuh huruf) kecuali ia adalah perbedaan alfazh dalam mengungkapkan satu makna, dan itu
adalah pendapat yang kami rajihkan.

Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah setelah membawakan dalil-dalil (yang menguatkan pendapatnya) beliau berkata
dalam rangka membatalkan pendapat kedua:”Bahkan tujuh huruf yang dengannya al-Qur’an diturunkan adalah
tujuh bahasa dalam satu huruf, dan satu kalimat dengan perbedaan lafazh-lafazh dan kesesuaian makna. Seperti
perkataan anda:”ْ‫هَلُم‬, ‫أَ ْق ِب ْْل‬, ‫تَعَْال‬, ْ‫إِلَي‬,‫صدِي‬
ْ َ‫نَحْ ِوي ق‬, ‫ قُ ْر ِبي‬dan yang lain, dari lafazh-lafazh yang pengucapannya berbeda namun
maknanya sama, sekalipun lisan-lisan mereka berbeda dalam menjelaskannya. Seperti yang kami riwayatkan dari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan yang kami riwayatkan dari Shahabat radhiyallahu 'anhum. Dan itu seperti
perkataan anda:” ْ‫ َهلُم‬, ‫أَ ْقبِ ْْل‬, ‫تَعَال‬. juga perkataan:”Maa Yanzhuruuna Illa Zaqiyyatn.’ dan dibaca pula:“Illaa Shaihatan.”

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah menjawab pertanyaan yang mungkin terlontar:”Di kitab Allah yang mana
kita dapati satu huruf dibaca dengan tujuh bahasa (dialek) yang berbeda lafazh dan sama dalam makna?” Maka
beliau rahimahullah menjawab:”Kamu tidak mengklaim kalau hal itu ada sekarang ini” Dan terhadap pertanyaan
lain:”Lalu bagaimana dengan keenam huruf lainnya, kenapa ia tidak ada?” Beliau jawab:”Umat Islam diperintahkan
untuk menjaga (menghafalkan) al-Qur’an, dan mereka diberi pilihan untuk membaca dan menghafalnya dengan
huruf mana saja dari ketujuh huruf tersebut yang mereka suka. Kemudian setelah itu ada alasan yang
mengharuskan mereka membacanya dengan satu huruf pada zaman ‘Utsman radhiyallahu 'anhu dikarenakan
khawatir munculnya fitnah. Kemudian ummat sepakat di atas hal tersebut (membaca dengan satu huruf) , yang
mana mereka terjaga dari kesesatan (maksudnya kesepakatan mereka adalah benar karena ummat ini dijaga dari
kesesatan).” (Tafsir ath-Thabari)

Pendapat ketiga yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh sisi bahasa; yaitu
berupa amr (perintah),nahyu (larangan), halal, haram, muhkam, mutaysabih, dan matsal(perumpamaan). Maka
bisa dijawab bahwa zhahir (makna yang nampak) dalam hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa yang
dimaksud dengan tujuh huruf adalah suatu kalimat yang dibaca dengan dua, tiga sampai tujuh model bacaan dalam
rangka memberikan kelonggaran bagi ummat ini. Dan satu perbuatan atau benda tidak mungkin menjadi halal atau
haram dalam satu ayat, dan makna kelonggaran bukan dalam hal mengharamkan yang halal dan menghalalkan
yang haram dan juga bukan dengan merubah sesuatu dari maknanya yang disebutkan.

Dan yang ada dalam hadits-hadts yang lalu menjelaskan bahwa para Shahabat radhiyallahu 'anhumyang berselisih
dalam bacaan menghadap kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau meminta masing-masing dari
mereka untuk membaca, kemudian beliau shallallahu 'alaihi wasallam membenarkan masing-masing dari bacaan
mereka sekalipun bacaannya berbeda-beda. Sampai-sampai sebagian shahabat bingung terhadap pembenaran
beliau terhadap bacaan-bacaan tersebut. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada para Shahabat
yang bingung ketika beliau membenarkan semua bacaan:
‫إنَّ هللا أ َم َرني أن أقرأ على سبعة أحوف‬

”Sesungguhnya Allah memerintahkan aku untuk membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf.”

Dan sudah dimaklumi bahwa perdebatan (perselisihan) mereka dalam hal-hal yang mereka perselisihkan di
dalamnya adalah bagian dari itu (dalam masalah bacaan). Seandainya perdebatan mereka dan perselisihan mereka
dalam makna yang ditunjukkan oleh bacaan mereka berupa, penghalalan, pengharaman, janji, ancaman dan yang
semisalnya tentu mustahil bagi Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam untuk membenarkan semuanya (perbedaan
mereka), dan (mustahil) memerintahkan masing-masing mereka untuk berpegang teguh dengan bacaannya
masing-masing di atas apa yang ada pada mereka.

Dan juga seandainya hal itu boleh dibenarkan maka berarti Allah Yang Mahaterpuji telah memerintahkan sesuatu
dan mewajibkannya –dalam bacaan orang yang bacaannya menunjukkan wajib- dan sekaligus melarang hal yang
sama dan memperingatkannya –dalam bacaan orang yang bacaannya menunjukkan larangan dan peringatan- dan
juga membolehkan perbuatan itu. Dan berarti juga Dia membolehkan bagi siapa saja para hamba-Nya untuk
melakukan apa yang mereka suka untuk mereka perbuat, dan bagi siapa dari para hambanya untuk
meninggalkannya dalam bacaan orang yang bacaannya menunjukkan takhyiir (pilihan).

Dan hal menjadikan orang yang berkata dengan pendapat ini menetapkan –seandainya ia mengatakannya- apa
yang telah dinafikkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam kitab-Nya:

ْ ‫أَفَالَ يَتَدَب َُّرونَ ْالقُرْ َءانَ َولَ ْو كَانَ مِ نْ عِن ِد َغي ِْر هللاِ لَ َو َجدُوا فِي ِه‬
ً ‫اختِالَفا ً َكث‬
}82{ ‫ِيرا‬

” Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur'an? Kalau kiranya al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah
mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisaa’: 82)

Dan dalam penafian (peniadaan) Allah Yang Mahaterpuji terhadap adanya perbedaan (perselisihan) itu, adalah dalil
yang sangat jelas bahwa Dia tidaklah menurunkan kitab-Nya melalui lisan Nabi-Nya, Muhammad shallallahu 'alaihi
wasallam melainkan dengan satu hukum yang disepakati oleh seluruh makhluknya, bukan dengan hukum-hukum
yang berbeda-beda.

Adapun pendapat keempat yang mengatakan bahwa maksud dari tujuh huruf adalah sisi-sisi perbedaan yang di
dalamnya terjadi perbedaan. Maka pendapat ini dijawab bahwa sekalipun pendapat ini menyebar dan bisa
diterima, namun ia tidak tegak dihadapan dalil-dalil pendapat pertama yang secara tegas menunjukkan bahwa ia
(maksud tujuh huruf) adalah perbedaan dalam lafazh dan kesamaan makna. Dan sebagian sisi perubahan atau
perbedaan yang mereka sebutkan datang lewat Qira’ah Ahad(tidak mutawatir). Dan tidak ada perbedaan di
kalangan ulama bahwa semua yang ada di dalam al-Qur’an ditetapkan lewat riwayat yang mutawatir. Dan
kebanyakannya kembali kepada bentuk kalimat atau cara penyampaian, yang tidak menjadikan adanya perbedaan
dalam lafazh. Seperti perbedaan dalam ‘Irab, Tashrif (Sharf), Tafkhim (penebalan bacaan huruf), Tarqiq (penipisan
bacaan huruf), Fath, Imalah, Izhar, Idgham, danIsymam. Dan ini bukan termasuk perbedaan yang di dalamnya ada
bermacam-macam lafazh dan makna, karena sifat-sifat tersebut yang berbeda dalam pengucapannya tidak keluar
dari statusnya sebagai satu lafazh.

Dan pembela pendapat ini memandang bahwa mushaf-mushaf ‘Utsmani telah mencakup ketujuh huruf ini semua,
dalam artian bahwasanya ia mencakup huruf-huruf (bacaan) yang memungkinkan ditunjukkan oleh rasm (tulisan)
tersebut.

Maka ayat:

}8{ َ‫َوالَّذِينَ هُ ْم أل َ َمانَاتِ ِه ْم َو َع ْه ِد ِه ْم َراعُون‬

”Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. Al-Mu’minun: 8) yang
dibaca dengan bentuk jamak dan mufrad (tunggal) dalam rasm ‘Utsmani ditulis ‫ ألَمنت ِِه ْْم‬, bersambung dan di atasnya
ada alif kecil (di atas huruf Miim dan Nuun).seperti dalam firman-Nya dalam surat Saba’ ayat 19:

ِ ‫فَقَالُوا َربَّنَا بَا ِع ْد بَيْنَ أَ ْسف‬


}19{ … ‫َارنَا‬

Di dalam mushaf ‘Utsmani ditulis ْ‫ بَْ ِع ْد‬dengan menyambung hurufBa’ dengan ‘Ain dan ada alif kecil (di atas
huruf Ba’).
Dan ini tidak bisa diterima pada setiap sisi perbedaan yang mereka sebutkan. Seperti pebedaan dengan
penambahan dan pengurangan, seperti dalam firman-Nya dalam surat at-Taubah ayat 100:

ُ ‫ت تَجْ ِري تَحْ تَ َها اْأل َ ْن َه‬


100{… ‫ار‬ ٍ ‫… َوأَ َعدَّ لَ ُه ْم َجنَّا‬

Dan dibaca ْ‫ تَجْ ِريْمنْتَحْ تَهَاْاْألَ ْنهَا ُر‬dengan tambahan ‫ من‬dan firman-Nya dalam surat al-Lail ayat 3:

}3{ ‫َو َما َخلَقَ الذَّك ََر َواْألُنثَى‬

Dan dibaca ‫ والذك ََرْ َواْألُنثَى‬dengan mengurangi kata َْ‫َو َما َخلَق‬

Dan perbedaan dengan cara mendahulukan dan mengakhirkan, seperti dalam firman-Nya dalam surat Qaaf ayat 19:

ْ
ِ ‫سك َْرةُْا ْل َم ْوتِْ ِبا ْلح‬
ْ}19{ْ…ْ‫َق‬ َ ْ ْ‫َوجَآ َءت‬

Dibaca juga dengan:

ْ
ْ}19{ْ…ِْ‫َقْْبِا ْل َم ْوت‬
ِ ‫سك َْرةُْا ْلح‬
َ ْ ْ‫َوجَآ َءت‬

Dan perbedaan dalam penggantian, seperti dalam firman-Nya dalam surat al-Qari’ah ayat 5:

ْ
ْ}5{ْ‫َوتَك ُْونُ ْا ْل ِجبَالُْكَا ْل ِعه ِْنْا ْل َم ْنفُ ْو ِش‬

Dibaca dengan:

ْ
ْ}5{ْ‫َوتَك ُْونُ ْا ْل ِجبَالُْكَا ْلصوفْا ْل َم ْنفُ ْو ِش‬

Dengan mengganti ْ‫ كَا ْل ِعه ِْن‬dengan ‫كَا ْلصوف‬

Kalau seandainya hal-hal ini terkandung dalam mushaf ‘Utsmani maka tidak mungkin ia (mushaf ‘Utsmani) menjadi
pemutus (solusi) perselisihan dalam masalah perbedaan bacaan. Hal ini dikarenakan penyelesaian perbedaan itu
hanyalah dengan mengumpulkan manusia di atas satu huruf di antara huruf yang tujuh yang dengannya al-Qur’an
diturunkan. Kalau bukan karena itu (dengan cara itu) niscaya perbedaan tersebut akan berlangsung terus. Dan
seandainya demikian niscaya tidak ada perbedaan antara pengumpulan al-Qur’an di zaman ‘Utsman radhiyallahu
'anhu dengan zaman Abu Bakar radhiyallahu 'anhu.

Namun yang ditunjukkan oleh atsar-atsar (riwayat) dalam masalah ini adalah bahwa pengumpulan (penyusunan) al-
Qur’an yang dilakukan oleh ‘Utsman radhiyallahu 'anhu ada dengan cara menyalin salah satu huruf dari ketujuh
huruf, sehingga menyatukan manusia di atas satu bacaan, yang mana beliau berpendapat bahwa pembolehan
membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah dalam rangka mengangkat kesusahan dan kesulitan (dalam
membaca dan menghafal) di masa-masa awal Islam, dan kebutuhan akan hal itu sudah berakhir. Maka kuatlah
alasan untuk menghilangkan sumber Khilaf (perbedaan) dengan cara menyatukan manusia di atas satu huruf. Dan
para Shahabatpun menyepakati hal itu.

Dan para Shahabat radhiyallahu 'anhum di zaman ‘Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu 'anhuma belum butuh
terhadap pengumpulan al-Qur’an seperti yang terjadi pada pengumpulan di zaman ‘Utsmanradhiyallahu 'anhu.
Karena di zaman keduanya belum terjadi perbedaan sebagaimana yang terjadi di zaman ‘Utsmanradhiyallahu 'anhu.
Dengan demikian ‘Utsman radhiyallahu 'anhutelah diberikan taufiq (ilham dan kemudahan) untuk melakukan hal
yang besar, yaitu menghilangkan perbedaan, menyatukan ummat dan menenteramkan mereka.

Bersambung Insya Allah…..

(Sumber: ‫ مباحثْفيْعلومْالقرآن‬Syaikh Manna al-Qaththan, Maktabah Ma’arif Linasyr wat Tauzi’ Riyadh, hal 162-167.
Diterjemahkan dan dipsoting oleh Abu Yusuf Sujono)

Anda mungkin juga menyukai