Anda di halaman 1dari 72

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit dan hospitalisasi seringkali menjadi krisis pertama yang harus

dihadapi anak. Anak-anak, terutama selama tahun-tahun awal sangat rentan

terhadap krisis penyakit dan hospitalisasi karena stres akibat perubahan dari

keadaan sehat biasa dan rutinitas lingkungan dan anak memiliki jumlah

mekanisme koping yang terbatas untuk menyelesaikan stressor (kejadian-

kejadian yang menimbulkan stres). Stres utama dari masa bayi pertengahan

sampai usia prasekolah adalah kecemasan akibat perpisahan, disebut juga

depresi anaklitik. Kecemasan akibat perpisahan merupakan stres terbesar yang

ditimbulkan oleh hospitalisasi selama masa kanak-kanak awal (Wong, et.all,

2009).

Setiap tahunnya hampir 4 juta anak di dunia mengalami hospitalisasi,

6% diantaranya berumur dibawah 7 tahun. Di negara-negara maju seperti

Amerika Serikat, diperkirakan lebih dari 5 juta anak menjalani hospitalisasi

karena prosedur pembedahan dan lebih dari 50% dari jumlah tersebut anak

mengalami kecemasan dan stress. Diperkirakan juga lebih dari 1,6 juta anak

dan anak usia antara 2-6 tahun menjalani hospitalisasi disebabkan karena

injury dan berbagai penyebab lainnya. Frekuensi anak yang menjalani

hospitalisasi di Indonesia diperkirakan mencapai 35/1000 anak dan 45%

diantaranya mengalami kecemasan (Apriliawati, 2011).

1
2

Rawat inap atau hospitalisasi pada pasien anak dapat menyebabkan

perasaan yang sangat tidak menyenangkan, seperti marah, takut, cemas, sedih

dan nyeri. Perasaan tersebut merupakan dampak dari hospitalisasi yang

dialami anak karena menghadapi beberapa stresor yang ada di lingkungan

rumah sakit. Penyebab dari kecemasan dipengaruhi oleh banyak faktor dari

petugas (perawat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya), lingkungan baru

maupun keluarga yang mendampingi selama perawatan. Keluarga atau orang

tua sering merasa cemas dengan perkembangan dan pengobatan anaknya.

Kecemasan yang terjadi pada anak dapat memperlambat proses penyembuhan,

menurunkan semangat untuk sembuh dan tidak kooperatif terhadap tindakan

perawatan yang diberikan. Hal tersebut menyebabkan waktu perawatan yang

lebih lama, bahkan akan mempercepat terjadinya komplikasi selama

perawatan (Supartini, 2012).

Sebagai upaya untuk mengatasi kecemasan anak yang menjalani

hospitalisasi, umumnya tenaga kesehatan menggunakan terapi bermain

sebagai solusi karena bermain sama dengan bekerja pada orang dewasa, dan

merupakan aspek terpenting dalam kehidupan anak serta merupakan cara yang

paling efektif untuk menurunkan stres pada anak dan penting untuk

kesejahteraan mental dan emosional anak. Dengan melakukan permainan anak

akan terlepas dari ketegangan dan stres yang dialaminya karena dengan

melakukan permainan anak akan dapat mengalihkan rasa sakitnya pada

permainnya (distraksi) dan relaksasi melalui kesenangannya melakukan

permainan. Hal tersebut terutama terjadi pada anak yang belum mampu
3

mengekspresikannya secara verbal. Dengan demikian permainan adalah media

komunikasi antara anak dengan orang lain, termasuk dengan perawat atau

petugas kesehatan di rumah sakit. Perawat dapat mengkaji perasaan dan

pikiran anak melalui ekspresi non verbal yang ditunjukkan selama melakukan

permainan atau melalui interaksi yang ditunjukkan anak dengan orang tua dan

teman kelompok bermainnya (Champbell & Glase, 1995 dalam Supartini,

2012).

Salah satu terapi bermain yang dapat digunakan untuk menurunkan

tingkat kecemasan anak pra sekolah yang menjalani hospitalisasi adalah

mewarnai gambar yang diharapkan mampu mengembangkan daya kreativitas,

meningkatkan komunikasi dan kerjasama antara anak dengan perawat.

Gambar yang digunakan untuk diwarnai adalah gambar sederhana dengan

karakteristik yang sudah dikenal pada anak usia pra sekolah. Pada umumnya

anak usia pra sekolah sudah mampu mengenal objek-objek yang pernah

dilihatnya. Anak dapat mewarnai gambar dengan warna sesukanya ataupun

mengikuti dari contoh yang sudah disediakan oleh perawat. Jika anak-anak

kesulitan dalam mewarnai, perawat akan membantu dan memfasilitasinya.

Orang tua anak akan dilibatkan untuk membantu proses bermain (Maghfiroh,

2015). Penelitian yang dilakukan oleh Wowiling (2013) menunjukkan terapi

bermain mewarnai gambar terbukti berpengaruh terhadap tingkat kecemasan

pada anak usia pra sekolah akibat hospitalisasi di Ruangan Irina E BLU RSUP

Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.


4

Berdasarkan hasil prasurvei yang dilakukan di RSU Handayani Kota

Bumi lampung Utara diketahui bahwa frekuensi anak usia prasekolah yang

menjalani hospitalisasi setiap tahunnya cukup tinggi, pada tahun 2015 terdapat

sebanyak 570 (43,18%) anak usia prasekolah yang dirawat dari total 1.320

anak yang menjalani perawatan dan pada tahun 2016 tercatat sebanyak 471

(34,79%) anak usia prasekolah yang dirawat dari 1.354 total anak yang

menjalani hospitalisasi. Pada hasil observasi terhadap 7 anak usia pra sekolah

yang dirawat, 6 anak (85,7%) diantaranya menunjukkan gejala-gejala

kecemasan seperti menangis ketika keluarga meninggalkan ruangan, anak

selalu berpegangan pada orang tuanya saat perawat datang, menunjukkan

respon takut kepada perawat saat akan dilakukan tindakan misalnya saat akan

di suntik maupun saat dilakukan pengecekan cairan infuse. Dalam upaya

menanggulangi dampak hospitalisasi, saat ini RSU Handayani Kota Bumi

lampung Utara menyediakan program terapi bermain dengan menggunakan

berbagai alat permainan seperti puzzle, balok susun, dan mewarnai gambar,

namun program tersebut belum diaplikasikan. Oleh karena itu, penulis tertarik

untuk melakukan penelitian tentang pengaruh terapi bermain mewarnai

gambar terhadap kecemasan anak usia prasekolah yang mengalami

hospitalisasi di Ruang Anak RSU Handayani Kota Bumi lampung Utara tahun

2017.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan dalam latar belakang di atas maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah “adakah pengaruh terapi bermain

mewarnai gambar terhadap kecemasan anak usia prasekolah yang mengalami


5

hospitalisasi di Ruang Anak RSU Handayani Kota Bumi lampung Utara tahun

2017?”.

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Diketahui pengaruh terapi bermain mewarnai gambar terhadap

kecemasan anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi di Ruang

Anak RSU Handayani Kota Bumi lampung Utara tahun 2017.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Diketahuinya karakteristik responden (jenis kelamin, usia, pengalaman

dirawat) yang mengalami hospitalisasi di Ruang Anak RSU Handayani

Kota Bumi lampung Utara tahun 2017

2. Diketahuinya rata-rata tingkat kecemasan anak usia prasekolah yang

mengalami hospitalisasi sebelum (pre-test) terapi bermain mewarnai

gambar di Ruang Anak RSU Handayani Kota Bumi lampung Utara

tahun 2017

3. Diketahuinya rata-rata tingkat kecemasan anak usia prasekolah yang

mengalami hospitalisasi sesudah (posttest) terapi bermain mewarnai

gambar di Ruang Anak RSU Handayani Kota Bumi lampung Utara

tahun 2017

4. Diketahuinya pengaruh terapi bermain mewarnai gambar terhadap

kecemasan anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi di

Ruang Anak RSU Handayani Kota Bumi lampung Utara tahun 2017.
6

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Aplikatif

Diharapkan penelitian ini mampu menambah informasi bagi

masyarakat khususnya masyarakat tentang bagaimana upaya untuk

menghibur anak yang mengalami hospitalisasi sehingga tidak mengalami

kecemasan sebagai salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk

menurunkan tingkat kecemasan anak yang mengalami hospitalisasi.

1.4.2 Teoritis

Hasil penelitian diharapkan menjadi bahan masukan dalam

meningkatkan pengetahuan bagi peneliti tentang pengaruh terapi bermain

terhadap kecemasan anak yang mengalami hospitalisasi serta dapat

menjadi tambahan informasi sebagai bagian dari pengembangan ilmu

keperawatan anak dan sebagai data awal untuk melakukan penelitian

selanjutnya yang berkaitan dengan kecemasan anak yang menjalani

hospitalisasi.
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hospitalisasi Anak Usia Prasekolah (3-6 tahun)

2.1.1 Definisi

Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit

dan dirawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak berusaha untuk

beradaptasi dengan lingkungan asing dan baru yaitu rumah sakit, sehingga

kondisi tersebut menjadi faktor stressor bagi anak baik terhadap anak

maupun orang tua dan keluarga (Wong, et.all, 2009).

Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang

berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit,

menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah.

Berbagai perasaan yang sering dialami anak adalah cemas, marah, sedih,

takut, dan rasa bersalah yang dapat timbul karena menghadapi sesuatu yang

baru dan belum pernah dialami sebelumnya, rasa tidak aman dan tidak

nyaman, perasaan kehilangan sesuatu yang biasa dialaminya dan sesuatu

yang dirasakan menyakitkan (Supartini, 2012).

Anak usia prasekolah adalah yang berada pada usia 3 sampai 6 tahun.

Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangannya anak usia prasekolah

mempunyai kemampuan motorik kasar dan halus yang lebih matang

daripada anak usia toddler. Anak sudah lebih aktif, kreatif, dan imajinatif.

7
8

Demikian juga kemampuan berbicara dan berhubungan sosial dengan

temannya semakin meningkat (Supartini, 2012).

2.1.2 Perkembangan Anak Usia Prasekolah (3-6 tahun)

Tabel 2.1 Perkembangan Anak Usia Prasekolah


Usia Motorik Bahasa Sosial/kognitif
3 tahun Motorik kasar - Mempunyai - Berpakaian sendiri hampir
- Mengendarai sepeda perbendaharaan sekitar lengkap dibantu bila
roda tiga 900 kata. dengan kancing di
- Berdiri pada satu - Menggunakan kalimat belakang, dan
kaki dalam beberapa lengkap dari 3-4 kata mencocokkan sepatu
detik - Bicara tanpa henti tanpa kanan atau kiri
- Naik dan turun peduli apakah seseorang - Mengalami peningkatan
tangga dengan kaki memperhatikannya rentang perhatian
bergantian - Mengulang kalimat dari - Makan sendiri
- Melompat jauh enam suku kata - Dapat menyiapkan makan
- Mencoba berdansa, - Mengajukan banyak sederhana seperti sereal
mungkin belum pertanyaan dan susu
seimbang - Dapat membantu
Motorik halus mengatur meja,
- Membangun menara mengeringkan piring
dari 9-10 kotak tanpa pecah
- Membangun - Takut pada kegelapan
jembatan dengan tiga - Mengetahui jenis kelamin
kotak sendiri dan orang lain
- Secara benar - Egosentrik dalam berpikir
memasukkan biji- dan tingkah laku
bijian ke dalam botol - Mulai memahami waktu
berleher sempit - Mulai mampu
- Menggambar meniru memandang konsep dari
lingkaran, silang dan perspektif yang berbeda
lingkaran dengan - Permainan parallel dan
gambar wajah asosiatif: mulai
mempelajari permainan
sederhana, tetapi sering
mengikuti aturannya
sendiri, serta mulai
berbagi
4 tahun Motorik kasar - Perbendaharaan sekitar - Sangat mandiri
- Melompat dengan 1.500 kata - Cenderung untuk keras
satu kaki - Menggunakan kalimat kepala dan tidak sehat
- Menangkap bola dari 4-5 kata - Agresif secara fisik dan
dengan tepat - Menceritakan cerita verbal
- Melempar bola dengan dilebih-lebihkan - Mendapat kebanggaan
bergantian - Mengetahui lagu dalam pencapaian
Motorik halus sederhana - Memamerkan secara
- Menggunakan - Menyebutkan satu atau dramatis, menikmati
gunting dengan baik lebih warna pertunjukan orang lain
untuk memotong - Memahami analogy - Menceritakan cerita
gambar mengikuti seperti “bila es dingin, keluarga pada orang lain
garis api…” tanpa batasan
9

Usia Motorik Bahasa Sosial/kognitif


- Dapat memasang - Masih mempunyai banyak
sepatu tetapi tidak rasa takut
mampu mengikuti - Menghubungkan sebab
talinya akibat dengan kejadian
- Dapat menggambar - Memahami waktu dengan
menyalit bentuk baik khususnya dalam
kotak, garis silang istilah urutan kejadian
atau segi tiga sehari-hari
- Menilai segala sesuatu
menurut dimensinya
seperti tinggi, lebar atau
perintah
- Egosentrisme berkurang
dan kesadaran sosial lebih
tingi
- Dapat menghitung dengan
benar
- Patuh pada orangtua
karena batasan bukan
karena memahami salah
atau benar
- Mengkhayalkan teman
bermain
- Menggunakan alat
dramatis, imajinatif, dan
imitative
- Eksplorasi seksual dan
keingintahuan
ditunjukkan melalui
bermain, seperti menjadi
“dokter” atau “perawat”
5 tahun Motorik kasar - Mempunyai - Kurang memberontak
- Melompat dengan perbendaharaan sampai dibanding sewaktu usia 4
kaki bergantian 2.100 kata tahun
- Melempat dan - Menggunakan kalimat - Lebih tenang dan
menangka bola dengan 6-8 kata. berhasrat untuk
dengan baik - Menyebutkan empat atau menyelesaikan urusan
- Melompat ke atas lebih warna - Mandiri tapi dapat
- Bermain skate - Menggambar atau dipercaya, tidak kasar,
dengan melukis dengan banyak lebih bertanggung jawab
keseimbangan yang komentar dan - Mengalami sedikit rasa
baik menyebutkannya satu takut, mengandalkan
- Berjalan mundur persatu otoritas luar untuk
dengan tumit dan jari - Mengetahui nama-nama mengendalikan dunianya
kaki hari dalam seminggu, - Berhasrat untuk
- Keseimbangan pada bulan dan kata yang melakukan sesuatu
kaki bergantian berhubungan dengan dengan benar dan mudah,
dengan mata tertutup waktu lainnya mencoba mengikuti
Motorik halus - Dapat mengikuti tiga aturan
- Mengikat tali sepatu perintah sekaligus - Menunjukkan sikap lebih
- Menggunakan baik
gunting, alat - Memperhatikan diri
sederhana, atau sendiri secara total
pensil dengan baik kecuali gigi, berpakaian,
10

Usia Motorik Bahasa Sosial/kognitif


- Menggambar meniru atau hygiene (perlu
gambar permata dan pengawas)
segitiga, - Mulai bertanya apa yang
menambahkan 7-9 dipikirkan orang tua
bagian dari gambar dengan
garis, mencetak membandingkannya
beberapa huruf, dengan teman sebaya dan
angka atau kata, orang dewasa lain
seperti nama - Lebih mampu
panggilan. memandang perspektif
orang lain, tetapi
menolerasi perbedaan
daripada memahaminya
- Mulai memahami
penghematan angka
melalui penghitungan
objek tanpa memandang
pengaturan
- Menggunakan kata
berorientasi waktu
- Saat ingin tahu tentang
informasi factual
mengenai dunia
- Permainan asosiasif,
mencoba mengikuti
aturan tetapi berlaku
curang untuk menghindari
kekalahan

2.1.3 Reaksi Anak Usia Prasekolah (3-6 tahun) Terhadap Penyakit dan

Hospitalisasi

Adriana (2011) menjelaskan beberapa reaksi anak usia prasekolah

terhadap penyakit dan hospitalisasi, yaitu sebagai berikut:

1. Reaksi terhadap penyakit

a. Anak usia prasekolah merasa fenomena nyata yang tidak

berhubungan sebagai penyebab penyakit

b. Cara berpikir magis menyebabkan mereka memandang penyakit

sebagai suatu hukuman. Selain itu, anak usia prasekolah

mengalami konflik psikoseksual dan takut terhadap mutilasi,


11

menyebabkan anak terutama takut terhadap pengukuran suhu

rectal dan kateterisasi urine.

2. Reaksi terhadap hospitalisasi

a. Mekanisme pertahanan adalah regresi. Mereka akan bereaksi

terhadap perpisahan dengan regresi dan menolak untuk

bekerjasama

b. Merasa kehilangan kendali karena mereka mengalami kehilangan

kekuatan mereka sendiri

c. Takut terhadap cedera tubuh dan nyeri, mengarah kepada rasa

takut terhadap mutilasi dan prosedur yang menyakitkan

d. Menginterprestasikan hospitalisasi sebagai hukuman dan

perpisahan dengan orang tua sebagai kehilangan kasih sayang

e. Keterbatasan pengetahuan mengenai tubuh meningkatkan rasa

takut yang khas, misalnya membuat jalur intravena dan prosedur

pengambilan darah akan menyebabkan bagian dalam tubuhnya

bocor.

Anak prasekolah juga menderita akibat kehilangan kendali

disebabkan oleh restriksi fisik, perubahan turinitas dan ketergantungan

yang harus dipatuhi. Akan tetapi, kemampuan kognitif spesifik mereka

yang membuatnya merasa sangat berkuasa, juga membuatnya kehilangan

kendali. Kehilangan kendali dalam konteks kekuasaan diri mereka

merupakan faktor yang mempengaruhi secara krisis persepsi dan reaksi

mereka terhadap perpisahan, nyeri, sakit dan hospitalisasi. Egosentris dan

pemikiran magis anak prasekolah membatasi kemampuan mereka untuk

memahami berbagai peristiwa karena mereka memandang semua


12

pengalaman dari sudut pandang mereka sendiri (egosentrik). Tanpa

persiapan yang adekuat terhadap lingkungan yang tidak dikenal atau

pengalaman, penjelasan fantasi anak prasekolah untuk peristiwa-peristiwa

semacam itu biasanya lebih berlebihan, aneh, dan menakutkan daripada

sebenarnya. Salah satu fantasi khas untuk menjelaskan alasan sakit attau

hospitalisasi adalah bahwa peristiwa tersebut merupakan hukuman bagi

kesalahan baik yang nyata atau khayalan. Sebagai respons terhadap

pemikiran semacam ini anak biasanya merasa malu, bersalah dan takut

(Wong, et.all, 2009).

Pemikiran praoperasional anak prasekolah memiliki arti bahwa

penjelasan dipahami hanya dalam istilah kejadian yang nyata. Instruksi

verbal murni sering tidak adekuat bagi mereka karena mereka tidak

mampu mengabstrakkan dan mensintesis lebih dari yang dapat dilakukan

akal sehat mereka. Jika digabungkan dengan egosentrik dan pemikiran

magis mereka, ciri khas ini dapat menyebabkan mereka

menginterprestasikan pesan sesuai dengan pengalaman mereka di masa

lalu. Sekalipun persiapan untuk suatu prosedur sudah yang terbaik, namun

mereka tetap saja dapat salah menginterprestasi detailnya. Penalaran

transduktif memberi kesan bahwa anak prasekolah menyimpulkan dari

yang sesuatu yang khusus ke sesuatu yang khusus lagi, bukan dari spesifik

ke umum, atau sebaliknya. Misalnya jika konsep anak prasekolah tentang

perat adalah mereka yang menyebabkan nyeri, maka anak prasekolah akan
13

berpikir bahwa setiap perawat (atau setiap orang yang memakai seragam

yang sama) juga akan menyebabkan nyeri (Wong, et.all, 2009).

2.2 Kecemasan (Ansietas)

2.2.1 Definisi Kecemasan

Cemas (ansietas) adalah sebuah emosi dan pengalaman subjektif dari

seseorang. Pengertian lain cemas adalah suatu keadaan yang membuat

seseorang tidak nyaman dan terbagi dalam beberapa tingkatan. Jadi, cemas

berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan tidak berdaya

(Kusumawati & Hartono, 2011).

Ansietes adalah perasaan was-was, khawatir, atau tidak nyaman

seakan-akan terjadi sesuatu yang dirasakan sebagai ancaman. Ansietas

berbeda dengan rasa takut. Takut merupakan penilaian intelektual terhadap

sesuatu yang berbahaya, sedangkan ansietas adalah respons emosional

terhadap penilaian tersebut. Ansietas merupakan pengalaman sehari-hari

yang dihadapi individu. Ansietas menjadi masalah apabila individu

menjadi tidak mampu mengendalikannya sehingga berdampak pada

penurunan produktivitas secara sosial dan ekonomis (Keliat, dkk, 2013).

Ansietas adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar yang

berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi

ini tidak memiliki objek yang spesifik (Direja, 2011).

Kecemasan adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak

didukung oleh situasi (Videbeck, 2008, dalam Prabowo, 2014).


14

2.2.2 Klasifikasi / Tingkatan Kecemasan

Menurut Keliat, dkk (2013) kecemasan terbagi menjadi 3 (tiga)

macam, yaitu sebagai berikut:

1. Kecemasan ringan, disebabkan oleh ketegangan dalam kehidupan

sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada

2. Kecemasan sedang, memungkinkan individu memusatkan pada hal

yang dirasa penting dan mengesampingkan hal lain sehingga perhatian

hanya pada hal yang selektif namun dapat melakukan sesuatu dengan

terarah.

3. Kecemasan berat, terjadi bila individu mengalami pengurangan lapang

persepsi sehingga cenderung memusatkan pada sesuatu yang terinci

dan spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku

ditujukan untuk mengurangi ketengan. Orang tersebut memerlukan

banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pikiran pada suatu area

lain.

Prabowo (2014) menjelaskan bahwa tingkat kecemasan terbagi

dalam 4 tingkatan, yaitu:

1. Kecemasan ringan, yaitu perasaan bahwa ada sesuatu yang berbeda

dan membutuhkan perhatian khusus. Stimulasi sensori meningkat dan

membantu individu memfokuskan perhatian untuk belajar,

menyelesaikan masalah, berpikir, bertindak, merasakan, dan

melindungi diri sendiri.


15

2. Kecemasan sedang, yaitu perasaan yang mengganggu bahwa ada

sesuatu yang benar-benar berbeda; individu menjadi gugup atau

agitasi.

3. Kecemasan berat, yaitu ada sesuatu yang berbeda dan ada ancaman,

memperlihatkan respons takut dan distress.

4. Panik, yaitu individu kehilangan kendali dan detail perhatian hilang,

karena hilangnya kontrol, maka tidak mampu melakukan apapun

meskipun dengan perintah.

2.2.3 Tanda dan Gejala

Manifestasi kecemasan akibat hospitalisasi menurut Wong (2009)

memiliki 3 fase sebagai berikut:

1. Protes. Anak-anak bereaksi secara agresif terhadap perpisahan dengan

orangtua. Mereka menangis, berteriak, menari orangtua dengan mata,

memegang erat orangtua, menghindari dan menolak kontak dengan

orang asing, menyerang orang asing secara verbal (misal “pergi”),

menyerang orang asing secara fisik (misal menendang, menggigit,

memukul, mencubit). Mencoba kabur untuk mencari orangtua,

mencoba menahan orangtua secara fisik agar tetap tinggal. Perilaku-

perilaku tersebut dapat berlangsung dari beberapa jam sampai

beberapa hari.

2. Putus asa. Tangisan berhenti, dan muncul depresi. Anak tersebut

menjadi kurang begitu aktif, tidak tertarik untuk bermain atau terhadap

makanan, dan menarik diri dari orang lain.


16

3. Pelepasan (penyangkalan). Pada tahap ini, secara superfisial tampak

bahwa anak akhirnya menyesuaikan diri terhadap kehilangan. Anak

tersebut menjadi lebih tertarik pada lingkungan sekitar, bermain

dengan orang lain, dan tampak membentuk hubungan baru. Akan

tetapi, perilaku ini merupakan hasil dari kepasrahan dan bukan

merupakan tanda-tanda kesenangan. Anak memisahkan diri dari

orangtua sebagai upaya menghilangkan nyeri emosional karena

menginginkan kehadiran orangtua dan mengatasinya dengan

membentuk hubungan yang dangkal dengan orang lain, menjadi makin

berpusat pada diri sendiri, dan semakin berhubungan dengan objek

materi. Tahap ini merupakan tahap yang paling serius karena

pemutarbalikan reaksi yang merugikan cenderung terjadi setelah sikap

memisahkan diri tersebut dilakukan. Akan tetapi, kebanyakan situasi

perpisahan sementara akibat hospitalisasi menyebabkan ketidakhadiran

orang tua yang terlalu lama hingga dapat menyebabkan anak masuk ke

tahap pelepasan. Sekain itu, banyak sekali bukti menunjukkan bahwa

sekalipun dengan stresor seperti perpisahan, anak-anak dapat

beradaptasi dengan baik dan efek sakit yang permanen juga jarang

terjadi.

Tanda dan gejala pada kecemasan menurut Keliat, dkk (2013) adalah

sebagai berikut:
17

1. Respon fisik, sering napas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut

kering, anoreksia, diare/konstipasi, gelisah, berkeringat, tremor, sakit

kepala dan sulit tidur.

2. Respon kognitif; lapang persepsi menyempit, tidak mampu menerima

rangsang luar, berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya.

3. Respon perilaku dan emosi; gerakan tersentak-sentak, bicara

berlebihan dan cepat, perasaan tidak aman.

4. Bila individu telah mengalami koping tidak efektif, tanda dan gejala

yang dijumpai adalah:

a. Mengungkapkan ketidakmampuan untuk mengatasi masalah atau

meminta bantuan.

b. Menggunakan mekanisme pertahanan yang tidak sesuai

c. Ketidakmampuan memenuhi peran yang diharapkan (mengalami

ketegangan peran, konflik peran)

d. Mengungkapkan tentang kesulitan kehidupan

e. Tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti makan minum,

kebersihan diri, istirahat dan tidur, berdandan.

f. Perubahan dalam interaksi sosial (menarik diri, bergantung,

manipulatif, impulsif).

g. Perilaku destruktif seperti merusak diri dan penyalahgunaan zat

h. Sering sakit

i. Mengungkapkan rasa khawatir kronis

j. Berbohong atau memanipulasi.


18

Secara terperinci, Hawari (2011) menjelaskan bahwa gejala

kecemasan baik yang sifatnya akut maupun kronik (menahun) merupakan

komponen utama bagi hampir semua gangguan kejiwaan (psychiatric

disorder). Secara klinis gejala kecemasan dibagi dalam beberapa

kelompok, yaitu gangguan cemas (anziety disorder), gangguan cemas

menyeluruh (generalized anxiety disorder/GAD), gangguan panik (panic

disorder), gangguan phobik (phobic disorder) dan gangguan obsesif-

kompulsif (obsessive-compulsive disorder).

1. Gangguan cemas (anxiety disorder)

Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang

mengalami gangguan kecemasan antara lain sebagai berikut:

a. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah

tersinggung;

b. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut;

c. Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang;

d. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan;

e. Gangguan konsentrasi dan daya ingat;

f. Keluhan-keluhan somantik, misalnya rasa sakit otot dan tulang,

pendengaran berdenging, berdebar-debar, sesak napas, gangguan

pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala dan lain

sebagainya.
19

2. Gangguan cemas menyeluruh (Generalized anxiety disorder/GAD)

Secara klinis selain gejala cemas yang biasa, disertai dengan

kecemasan yang menyeluruh dan menetap (paling sedikit berlangsung

selama 1 bulan) dengan manifestasi 3 dan 4 kategori gejala berikut ini:

a. Ketegangan motorik/alat gerak

b. Hiperaktivitas saraf autonom

c. Rasa khawatir berlebihan tentang hal-hal yang akan datang

(apprehensive expectation).

d. Kewaspadaan berlebihan

Gejala-gejala tersebut di atas baik yang bersifat psikis maupun

fisik (somatic) pada setiap orang tidak sama, dalam arti tidak

seluruhnya gejala itu harus ada.

3. Gangguan panik (panic disorder

Gejala klinis gangguan panik ini yaitu kecemasan yang datangnya

mendadak disertai oleh perasaan takut mati, disebutjuga sebagai

serangan panik (panic attack). Secara klinis gangguan panik

ditegakkan oleh paling sedikit 4 dari 12 gejala-gejala di bawah ini

yang mencakup pada setiap serangan:

a. Sesak napas

b. Jantung berdebar-debar

c. Nyeri atau rasa tak enak di dada

d. Rasa tercekik atau sesak

e. Pusing, vertigo (penglihatan berputar-putar) perasaan melayang


20

f. Perasaan seakan-akan diri atau lingkungan tidak realistik

g. Kesemutan

h. Rasa aliran panas atau dingin

i. Berkeringat banyak

j. Rasa akan pingsan

k. Menggigil atau gemetar

l. Merasa takut mati, takut menjadi gila atau khawatir akan

melakukan suatu tindakan secara tidak terkendali selama

berlangsungnya serangan panik.

4. Gangguan phobik (phobic disorder)

Gangguan phobik adalah salah satu bentuk kecemasan yang

didominasi oleh gangguan alam pikir phobia. Phobia adalah ketakutan

yang menetap dan tidak rasional terhadap suatu objek, aktivitas atau

situasi tertentu, yang menimbulkan suatu keinginan mendesak untuk

menghindarinya. Rasa ketakutan itu didasari oleh orang yang

bersangkutan sebagai suatu ketakutan yang berlebihan dan tidak

masuk akal, namun ia tidak mampu mengatasinya.

5. Gangguan obsesif-kompulsif (obsessive-compulsive disorder).

Obsesi adalah suatu bentuk kecemasan yang didominasi oleh

pikiran yang terpaku (persistence) dan berulangkali muncul

(recurrent). Sedangkan kompulsi adalah perbuatan yang berulang-

ulang sebagai konsekuensi dari pikiran yang bercorak obsesi tadi.

Seseorang yang menderita gangguan obsesif-kompulsif tadi akan


21

terganggu dalam fungsi atau peranan sosialnya. Sebagai contoh yang

sederhana misalnya orang yang mencuci tangannya berkali-kali

(repeated hand washing) meskipun sebenarnya ia sadar bahwa

mencuci tangan pertama kali itu sudah bersih dan tidak perlu diulang

kembali. Namun, ia tidak mampu menguasai pikiran obsesif yang

menyatakan bahwa tangannya belum bersih, dan karenanya untuk

menghilangkan rasa cemasnya itu ia mengulang kembali mencuci

tangan.

2.2.4 Etiologi

Menurut Prabowo (2014) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

terjadinya kecemasan di antaranya adalah:

1. Faktor predisposisi

a. Peristiwa traumatik, yang dapat memicu terjadinya kecemasan

berkaitan dengan krisis yang dialami individu baik krisis

perkembangan atau situasional.

b. Konflik emosional, yang dialami individu dan tidak terselesaikan

dengan baik. Konflik antara id dan superego atau antara keinginan

dan kenyataan dapat menimbulkan kecemasan pada individu.

c. Konsep diri terganggu akan menimbulkan ketidakmampuan

individu berpikir secara realitas sehingga menimbulkan kecemasan

d. Frustasi akan menimbulkan rasa ketidakberdayaan untuk

mengambil keputusan yang berdampak terhadap ego


22

e. Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan

ancaman terhadap integritas fisik yang dapat mempengaruhi

konsep diri individu

f. Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga menangani

stress akan mempengaruhi individu dalam berespon terhadap

konflik yang dialami karena pola mekanisme koping individu

banyak dipelajari dalam keluarga.

g. Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi

respons individu dalam berespons terhadap konflik dan mengatasi

kecemasan.

h. Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah

pengobatan yang mengandung benzodizepin, karena

benzodiazepine dapat menekan neurotransmiter gamma amino

butyric acid (GABA) yang mengontrol aktivitas neuron di otak

yang bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.

2. Faktor presipitasi

a. Ancaman terhadap integritas fisik. Ketegangan yang mengancam

integritas fisik yang meliputi:

1) Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologis

sistem imun, regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal.

2) Sumber eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan

bakteri, polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi,

tidak adekuatnya tempat tinggal.


23

b. Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan

eksternal

1) Sumber internal: kesulitan dalam berhubungan interpersonal di

rumah dan tempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru.

Berbagai ancaman terhadap integritas fisik juga mengancam

harga diri.

2) Sumber ekternal: kehilangan orang yang dicintai, perceraian,

perubahan status pekerjaa, tekanan kelompok, sosial budaya.

2.2.5 Penatalaksanaan

Menurut Supartini (2012) upaya yang dapat dilakukan untuk

meminimalkan stresor pada anak yang mengalami hospitalisasi adalah:

1. Mencegah atau meminimalkan dampak perpisahan

a. Melibatkan orangtua berperan aktif dalam perawatan anak dengan

cara membolehkan mereka untuk tinggal bersama anak selama 24

jam (room in)

b. Jika tidak mungkin untuk rooming in, beri kesempatan orangtua

untuk melihat anak setiap saat dengan maksud mempertahankan

kontak antar mereka

c. Modifikasi ruang perawatan dengan cara membuat situasi ruangan

rawat seperti di rumah, diantaranya dengan membuat dekorasi

ruangan yang bernuansa anak

d. Mempertahankan kontak dengan kegiatan sekolah, di antaranya

dengan memfasilitasi pertemuan dengan guru, teman sekolah dan


24

membantunya melakukan surat menyurat dengan siapa saja yang

anak inginkan.

2. Mencegah perasaan kehilangan kontrol

a. Hindarkan pembatasan fisik jika anak dapat kooperatif terhadap

petugas kesehatan. Apabila anak harus diisolasi, lakukan

modifikasi lingkungan sehingga isolasi tidak terlalu dirasakan oleh

anak dan orangtua, pertahankan kontak antara orangtua dan anak

terutama pada bayi dan anak todler untuk mengurangi stres

b. Buat jadwal kegiatan untuk prosedur terapi, latihan. Bermain dan

aktivitas lain dalam perawatan untuk menghadapi perubahan

kebiasaan/kegiatan sehari-hari.

c. Fokuskan intervensi keperawatan pada upaya untuk mengurangi

ketergantungan dengan cara memberi kesempatan anak mengambil

keputusan dan melibatkan orangtua dalam perencanaan kegiatan

asuhan keperawatan

3. Meminimalkan rasa takut terhadap cidera tubuh dan rasa nyeri

a. Mempersiapkan psikologis anak dan orangtua untuk tindakan

prosedur yang menimbulkan rasa nyeri, yaitu dengan menjelaskan

apa yang akan dilakukan dan memberikan dukungan psikologis

pada orangtua

b. Lakukan permainan terlebih dahulu sebelum melakukan persiapan

fisik anak, misalnya dengan cara bercerita, menggambar,


25

menonton video kaset dengan cerita yang berkaitan dengan

tindakan atau prosedur yang akan dilakukan pada anak.

c. Pertimbangkan untuk menghadirkan orangtua pada saat anak

dilakukan tindakan atau prosedur yang menimbulkan rasa nyeri

apabila mereka tidak dapat menahan diri, bahkan menangis bila

melihatnya. Dalam kondisi ini, tawarkan pada anak dan orangtua

untuk mempercayakan kepada perawata sebagai pendamping anak

selama prosedur tersebut dilakukan.

d. Tunjukkan sikap empati sebagai pendekatan utama dalam

mengurangi rasa takut akibat prosedur yang menyakitkan

e. Pada tindakan pembedahan elektif, lakukan persiapan khusus jauh

hari sebelumnya apabila memungkinkan. Misalnya dengan

mengorientasikan kamar bedah, tindakan yang akan dilakukan, dan

petugas yang akan menangani anak melalui cerita, gambar, atau

menonton film video yang menggambarkan kegiatan operasional

tersebut. Tentunya terlebih dahulu perlu dilakukan pengkajian

yang akurat tentang kemampuan psikologis anak dan orangtua

untuk menerima informasi dengan terbuka. Lakukan pula latihan

relaksasi pada fase sebelum operasi sebagai persiapan untuk

perawatan pasca operasi.

Menurut Hawari (2008 dalam Prabowo, 2014), penatalaksanaan

ansietas pada tahap pencegahan dan terapi memerlukan suatu metode


26

pendekatan yang bersifat holistik, yaitu mencakup fisik (somatik),

psikologik atau psikiatrik, psikososial dan psikoreligius.

1. Upaya meningkatkan kekebalan terhadap stress, dengan cara makan

makanan yang bergizi dan seimbang, tidur yang cukup, cukup

olahraga, tidak merokok, tidak meminum minuman keras.

2. Terapi psikofarmaka

Terapi psikofarmaka merupakan pengobatan untuk cemas

dengan mekakai obat-obatan yang berkhasiat memulihkan fungsi

gangguan neuro transmitter (sinyal penghantar saraf) disusunan saraf

pusat otak (limbic system). Terapi psikofarmaka yaitu seperti

diazepam, clobazam, bromazepam, lorazepam, buspirone HCl,

meprobamate dan alprazolam.

3. Terapi somatik

Gejala atau keluhan fisik (somatik) sering dijumpai sebagai ejala

ikutan atau akibat dari kecemasan yang berkepanjangan. Untuk

menghilangkan keluhan-keluhan somatik (fisik) itu dapat diberikan

obat-obatan yang ditujukan pada organ tubuh yang bersangkutan.

4. Psikoterapi

Psikoterapi diberikan tergantung dari kebutuhan individu, antara lain:

a. Psikoterapi suportif, untuk memberikan motivasi, semangat dan

dorongan agar pasien yang bersangkutan tidak merasa putus asa

dan diberi keyakinan serta percaya dini.


27

b. Psikoterapi re-edukatif, memberikan pendidikan ulang dan koreksi

bila dinilai bahwa ketidakmampuan mengatasi kecemasan.

c. Psikoterapi re-konstruktif, dimaksudkan untuk memperbaiki

kembali kepribadian yang telah mengalami goncangan akibat

stressor.

d. Psikoterapi kognitif, untuk memulihkan fungsi kognitif pasien,

yaitu kemampuan untuk berpikir secara rasional, konsentrasi dan

daya ingat.

e. Psikoterapi psiko-dinamik, untuk menganalisa dan menguraikan

proses dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan mengapa

seseorang tidak mampu menghadapi stressor psikososial sehingga

mengalami kecemasan.

f. Psikoterapi keluarga, untuk memperbaiki hubungan kekeluargaan,

agar faktor keluarga tidak lagi menjadi faktor penyebab dan faktor

keluarga dapat dijadikan sebagai faktor pendukung.

5. Terapi psikoreligius, untuk meningkatkan keimanan seseorang yang

erat hubungannya dengan kekebalan dan daya tahan dalam

menghadapi problem kehidupan yang merupakan stressor psikososial.

2.2.6 Pengukuran Tingkat Kecemasan

1. Pediatric Anxiety Rating Scale (PARS)

Instrumen ini dikembangkan oleh Unit Penelitian Pediatric

Psychopharmacology, Universitas Columbia, yang didanai oleh

National Institute of Mental Health. Alat ukur ini digunakan untuk


28

menilai tingkat kecemasan pada anak-anak dan remaja, usia 6 sampai

17 tahun. Alat ukur ini dilakukan dengan melakukan wawancara

terhadap orang tua dan anak untuk memperoleh informasi sebanyak

mungkin tentang gejala kecemasan anak. Masing-masing pertanyaan

gejala pada kecemasan membutuhkan jawaban ya (ada gejala) dan

tidak (tidak ada gejala) (Dr. Riddle & Greenhill, 1997).

2. Preschool Anxiety Scale

Preschool anxiety scale merupakan sebuah kuesioner yang digunakan

untuk mengukur tingkat kecemasan anak usia prasekolah secara umum

yang diadaptasi dari SCAS oleh Dr. Susan H. Spence dan Prof. Ron

Rapee tahun 1999. Kuesioner ini terdiri dari 34 pernyataan umum.

Setiap pernyataan memiliki 5 alternatif jawaban dengan rentang skor

0-4. Skor gejala kecemasan yang mungkin didapatkan adalah antara 0

sampai 136. Semakin besar skor yang didapatkan pada anak

prasekolah menunjukkan tingkat kecemasan tinggi.

3. Kuesioner Kecemasan Anak Prasekolah

Kuesioner ini disusun oleh Saragih (2016) berdasarkan teori

dalam buku Wong (2009). Instrumen telah telah dilakukan uji validitas

serta reabilitas menggunakan KR20 dan telah dinyatakan valid dimana

nilai Content Validity Index (CVI) adalah sebesar 0,98 dan nilai

reabilitas sebesar 0,74. Kuesioner terdiri dari 15 pernyataan dengan

jenis pertanyaan dikotomi dan memiliki pilihan jawaban ya atau tidak.

Skala pengukuran data yang digunakan adalah skala Guttman.


29

Penilaian kuesioner yaitu jika responden menjawab ya maka skor yang

diberikan 1 dan jika jawaban tidak skor yang diberikan 0.

2.3 Bermain

2.3.1 Definisi Bermain

Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan secara sukarela untuk

memperoleh kesenangan/kepuasan. Bermain merupakan cerminan

kemampuan fisik, intelektual, emosional, dan sosial dan bermain

merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan bermain, anak-

anak akan berkata (berkomunikasi), belajar menyesuaikan diri dengan

lingkungan, melakukan apa yang dapat dilakukannya dan mengenal

waktu, jarak, serta suara (Wong, 2009).

Bermain sama dengan bekerja pada orang dewasa, dan merupakan

aspek terpenting dalam kehidupan anak serta merupakan cara yang paling

efektif untuk menurunkan stres pada anak dan penting untuk kesejahteraan

mental dan emosional anak (Champbell & Glase, 1995 dalam Supartini,

2012).

2.3.2 Fungsi Bermain

Supartini (2012) mengungkapkan bahwa, fungsi bermain adalah

merangsang perkembangan sensori-motorik, perkembangan intelektual,

perkembangan sosial, perkembangan kreativitas, perkembangan kesadaran

diri, perkembangan moral dan bermain sebagai terapi.

1. Perkembangan sensori-motorik
30

Pada saat melakukan permainan, aktivitas sensori-motorik

merupakan komponen terbesar yang digunakan anak dan bermain aktif

sangat penting untuk perkembangan fungsi otot. Misalnya, alat

permainan yang digunakan untuk bayi yang mengembangkan

kemampuan sensori-motorik dan alat permainan untuk anak usia

toddler dan prasekolah yang banyak membantu perkembangan

aktivitas motorik baik kasar maupun halus.

2. Perkembangan intelektual

Pada saat bermain, anak melakukan eksplorasi dan manipulasi

terhadap segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitarnya, terutama

mengenal warna, bentuk, ukuran, tekstur, dan membedakan objek.

Pada saat bermain pula anak akan melatih diri untuk memecahkan

masalah. Pada saat anak bermain mobil-mobilan, kemudian bannya

terlepas dan anak dapat memperbaikinya maka ia telah belajar

memecahkan masalahnya melalui eksplorasi alat mainannya dan untuk

mencapai kemampuan ini, anak menggunakan daya pikir dan

imajinasinya semaksimal mungkin. Semakin sering anak melakukan

eksplorasi seperti ini, akan semakin terlatih kemampuan

intelektualnya.

3. Perkembangan sosial

Perkembangan sosial ditandai dengan kemampuan berinteraksi

dengan lingkungannya. Bermain dengan orang lain akan membantu

anak untuk mengembangkan hubungan sosial dan belajar memecahkan


31

masalah dari hubungan tersebut. Pada saat melakukan aktivitas

bermain, anak belajar berinteraksi dengan teman, memahami bahasa

lawan bicara, dan belajar pada anak usia sekolah dan remaja.

Meskipun demikian, anak usia toddler dan prasekolah adalah tahapan

awal bagi anak untuk meluaskan aktivitas sosialnya di luar lingkungan

keluarga.

4. Perkembangan kreativitas

Berkreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu

dan mewujudkan ke dalam bentuk objek dan atau kegiatan yang

dilakukannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar dan

mencoba untuk merealisasikan ide-idenya. Misalnya dengan

membongkar dan memasang satu alat permainan akan merangsang

kreativitasnya untuk semakin berkembang.

5. Perkembangan kesadaran diri

Melalui bermain, anak akan mengembangkan kemampuan dalam

mengatur tingkah laku. Anak juga akan belajar mengenal

kemampuannya dengan mencoba peran-peran baru dan mengetahui

dampak tingkah lakunya terhadap orang lain. Misalnya jika anak

mengambil mainan temannya sehingga temannya menangis, anak akan

belajar mengembangkan diri bahwa perilakunya menyakiti teman.

Dalam hal ini penting peran orang tua untuk menanamkan nilai moral

dan etika, terutama dalam kaitannya dengan kemampuan untuk


32

memahami dampak positif dan negatif dari perilakunya terhadap orang

lain.

6. Perkembangan moral

Anak mempelajari nilai benar dan salah dari lingkungannya,

terutama dari orang tua dan guru. Dengan melakukan aktivitas

bermain, anak akan mendapat kesempatan untuk menerapkan nilai-

nilai tersebut sehingga dapat diterima di lingkungannya dan dapat

menyesuaikan diri dengan aturan-aturan kelompok yang ada dalam

lingkungannya.

7. Bermain sebagai terapi

Pada saat di rawat di rumah sakit, anak akan mengalami berbagai

perasaan yang sangat tidak menyenangkan, seperti marah, takut,

cemas, sedih dan nyeri. Perasaan tersebut merupakan dampak dari

hospitalisasi yang dialami anak karena menghadapi beberapa stresor

yang ada di lingkungan rumah sakit. Untuk itu, dengan melakukan

permainan anak akan terlepas dari ketegangan dan stres yang

dialaminya karena dengan melakukan permainan anak akan dapat

mengalihkan rasa sakitnya pada permainnya (distraksi) dan relaksasi

melalui kesenangannya melakukan permainan. Hal tersebut terutama

terjadi pada anak yang belum mampu mengekspresikannya secara

verbal. Dengan demikian permainan adalah media komunikasi anatara

anak dengan oran lain, termasuk dengan perawat atau petugas

kesehatan di rumah sakit. Perawat dapat mengkaji perasaan dan pikiran


33

anak melalui ekspresi non verbal yang ditunjukkan selama melakukan

permainan atau melalui interaksi yang ditunjukkan anak dengan orang

tua dan teman kelompok bermainnya.

Menurut Adriana (2011) beberapa fungsi bermain bagi anak yang

menjalani perawatan di rumah sakit adalah sebagai berikut:

1. Memfasilitasi anak untuk beradaptasi dengan lingkungan yang asing

2. Memberikan kesempatan untuk membuat keputusan dan kontrol

3. Membantu mengurangi stres terhadap perpisahan

4. Memberikan kesempatan untuk mempelajari tentang bagian-bagian

tubuh, fungsinya, dan penyakit.

5. Memperbaiki konsep-konsep yang salah tentang penggunaan dan

tujuan perawatan serta prosedur medis

6. Memberi pelatihan (distraksi) dan relaksasi

7. Membantu anak untuk merasa lebih aman dalam lingkungan yang

asing

8. Memberi cara untuk mengurangi tekanan dan untuk mengeksplorasi

perasaan

9. Menganjurkan untuk berinteraksi dan mengembangkan sikap-sikap

yang positif terhadap orang lain

10. Memberikan cara untuk mengekspresikan ide kreatif dan minat

11. Memberi cara untuk mencapai tujuan teraupetik.


34

2.3.3 Tujuan Bermain

Melalui fungsi yang diuraikan di atas, pada prinsipnya menurut

Supartini (2011) bermain mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Untuk melanjutkan pertumbuhan dan perkembangan yang normal.

Pada saat sakit, anak mengalami gangguan dalam pertumbuhan dan

perkembangannya, walaupun demikian, selama anak di rawat di rumah

sakit, kegiatan stimulasi pertumbuhan dan perkembangan masih harus

tetap dilanjutkan untuk menjaga kesinambungan.

2. Mengekspresikan perasaan, keinginan, dan fantasi, serta ide-idenya.

Seperti telah diuraikan di atas, pada saat sakit dan dirawat di rumah

sakit, anak mengalami berbagai perasaan yang tidak menyenangkan.

Pada anak yang belum dapat mengekspresikannya secara verbal,

permainan adalah media yang sangat efektif untuk

mengekspresikannya.

3. Mengembangkan kreativitas dan kemampuan memecahkan masalah.

Permainan akan menstimulasi daya pikir, imajinasi, dan fantasinya

untuk menciptakan sesuatu seperti yang ada dalam pikirannya. Pada

saat melakukan permainan, anak juga akan dihadapkan pada masalah

dalam konteks permainannya, semakin lama ia bermain dan semakin

tertantang untuk dapat menyelesaikannya dengan baik.

4. Dapat beradaptasi secara efektif terhadap stres karena sakit dan

dirawat di rumah sakit. Stres yang dialami anak saat dirawat di rumah

sakit tidak dapat dihindarkan sebagaimana juga yang dialami


35

orangtuanya. Untuk itu yang penting adalah bagaimana menyiapkan

anak dan orangtua untuk dapat beradaptasi dengan stresor yang

dialaminya di rumah sakit secara efektif. Permainan adalah media

yang efektif untuk beradaptasi karena telah terbukti dapat menurunkan

rasa cemas, takut, nyeri dan marah.

2.3.4 Prinsip Permainan di Rumah Sakit

Menurut Supartini (2011) beberapa prinsip permainan di Rumah

Sakit yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

1. Permainan tidak boleh bertentangan dengan pengobatan yang sedang

dijalankan pada anak. Abaila anak harus tirah baring, harus dipilih

permainan yang dapat dilakukan di tempat tidur dan anak tidak boleh

diajak bermain dengan kelompoknya di tempat bermain khusus yang

ada di ruang rawat. Misalnya, sambil tiduran di tempat dirunya, anak

dapat dibacakan buku cerita atau diberikan buku komik anak-anak,

mobil-mobilan yang tidak pakai remote control, robot-robotan, dan

permainan lain yang dapat dimainkan anak dan orangtuanya sambil

tiduran.

2. Permainan yang tidak membutuhkan banyak energi, singkat dan

sederhana. Pilih jenis permainan yang tidak melelahkan anak,

menggunakan alat permainan yang ada pada anak dan/atau yang

tersedia di ruangan. Kalaupun akan membuat suatu alat permainan,

pilih yang sederhana supaya tidak melelahkan anak misalnya

menggambar atau mewarnai, bermain boneka, dan membaca buku

cerita.
36

3. Permainan yang harus dipertimbangkan keamanan anak. Pilih alat

permainan yang aman untuk anak, tidak tajam, tidak merangsang anak

untuk berlari-lari, dan bergerak secara berlebihan.

4. Permainan harus melibatkan kelompok umur yang sama. Apabila

permainan dilakukan khusus di kamar bermain secara berkelompok,

permainan harus dilakukan pada kelompok umur yang sama. Misalnya

permainan mewarnai pada kelompok usia prasekolah.

5. Melibatkan orang tua. Satu hal yang harus diingat bahwa orangtua

mempunyai kewajiban untuk tetap melangsungkan upaya stimulasi

tumbuh kembang pada anak walaupun sedang di rawat di rumah sakit,

termasuk dalam aktivitas bermain anak. Perawat hanya bertindak

sebagai fasilitator sehingga apabila permainan diinisiasi oleh perawat,

orang tua harus terlibat secara aktif dan mendampingi anak mulai dari

awal permainan sampai mengevaluasi hasil permainan anak bersama

dengan perawat dan orang tua anak lainnya.

2.3.5 Tujuan Permainan dan Alat Permainan usia Prasekolah Yang

Dianjurkan Saat Menjalani Hospitalisasi

1. Tujuan

a. Mengembangkan kemampuan menyamakan dan membedakan

b. Mengembangkan kemampuan berbahasa

c. Mengembangkan pengertian tentang berhitung, menambah dan

mengurangi

d. Merangsang daya imajinasi dengan berbagai cara bermain

sandiwara
37

e. Membedakan benda-benda dengan perabaan

f. Menumbuhkan sportivitas

g. Mengembangkan kepercayaan diri

h. Mengembangkan kreativitas

i. Mengembangkan koordinasi motorik

j. Menembangkan kemampuan mengontrol emosi, motorik halus dan

kasar

k. Mengembangkan sosialisasi atau bergaul dengan anak dan orang

lain

l. Memperkenalkan pengertian yang bersifat ilmu pengetahuan

misalnya pengertian terapung dan tenggelam

m. Memperkenalkan suasana kompetisi, gotong-royong

2. Alat Permainan

a. Berbagai benda dari sekitar rumah, buku bergambar, majalah

anak-anak, alat gambar dan tulis, air dan lain-lain

b. Alat permainan: dokter-dokteran atau masak-masakan

c. Teman-teman bermain seperti anak yang sebaya atau orangtua

(Adriana, 2011).

2.3.6 Permainan Mewarnai Gambar

Beberapa hal berkaitan dengan permainan mewarnai gambar

menurut Maghfiroh (2015) adalah sebagai berikut:

1. Deskripsi permainan mewarnai gambar

Mewarnai gambar merupakan salah satu terapi bermain yang

dapat di lakukan pada anak usia pra sekolah. Gambar yang digunakan
38

untuk diwarnai adalah gambar sederhana dengan karakteristik yang

sudah dikenal pada anak usia pra sekolah. Pada umumnya anak usia

pra sekolah sudah mampu mengenal objek-objek yang pernah

dilihatnya. Sebelum memulai permainan mewarnai, anak akan

diberikan petunjuk tentang aturan permainan. Anak dapat mewarnai

gambar dengan warna sesukanya ataupun mengikuti dari contoh yang

sudah disediakan oleh perawat. Jika anak-anak kesulitan dalam

mewarnai, perawat akan membantu dan memfasilitasinya. Orang tua

anak akan dilibatkan untuk membantu proses bermain.

2. Tujuan Permainan

a. Tujuan umum

Mengurangi efek hospitalisasi pada anak.

b. Tujuan khusus

1) Mengembangkan daya kreativitas anak dalam mewarnai

gambar menjadi sebuah gambar yang utuh

2) Meningkatkan komunikasi antara pasien dengan perawat.

3) Meningkatkan kerjasama antara anak dan perawat

3. Keterampilan yang diperlukan

Pada permainan ini, keterampilan harus dimiliki oleh anak dan

perawat. Anak harus memiliki pengetahuan tentang cara bermain,

kreativitas yang tinggi dan semangat untuk bermain. Sedangkan

keterampilan yang harus dimiliki oleh perawat adalah perawat

memiliki kemampuan untuk menjelaskan permainan sehingga anak

menjadi tahu tentang cara melakukan permainannya, kesabaran dalam


39

membimbing proses bermain dan komunikasi yang baik sehingga anak

dapat membentuk hubungan saling percaya dengan perawat.

4. Proses bermain

Sebelum bermain, perawat menjelaskan tentang tata cara

bermain dan menunjukkan contoh gambar yang sudah diwarnai. Selain

menjelaskan, perawat juga memperagakan tentang alat permainannya

dan memvalidasi bahwa anak telah mengerti dan memahami teknik

bermain. Perawat juga melibatkan keluarga untuk mendampingi anak

dalam proses bermain. Setelah anak mengerti maka perawat

memberikan kesempatan kepada anak untuk mencoba melakukan

permainannya yaitu mewarnai gambar. Perawat membantu anak ketika

anak mengalami kesulitan dan menjaga interaksi untuk meningkatkan

komunikasi pada anak.

2.3.7 Faktor Yang Mempengaruhi Aktivitas Bermain

Menurut Supartini (2011) ada lima faktor yang mempengaruhi

aktivitas bermain pada anak, yaitu tahap perkembangan anak, status

kesehatan anak, jenis kelamin anak, lingkungan yang mendukung, serta

alat dan jenis permainan yang cocok atau sesuai bagi anak sebagaimana

diuraiakan di bawah ini:

1. Tahap perkembangan anak

Aktivitas bermain yang tepat dilakukan anak, yaitu sesuai

dengan tahapan pertumbuhan dan perkembangan anak. Tentunya

permainan anak usia bayi tidak lagi efektif untuk pertumbuhan dan

perkembangan anak usia sekolah. Demikian juga sebaliknya karena


40

pada dasarnya permainan adalah alat stimulasi pertumbuhan dan

perkembangan anak. Dengan demikian, orang tua dan perawat harus

mengetahui dan memberikan jenis permainan yang tepat untuk setiap

tahapan pertumbuhan dan perkembangan anak.

2. Status kesehatan anak

Untuk melakukan aktivitas bermain diperlukan energi. Walaupun

demikian, bukan berarti anak tidak perlu bermain pada saat sakit.

Kebutuhan bermain pada anak sama halnya dengan kebutuhan bekerja

pada orang dewasa. Yang penting pada saat kondisi anak sedang

menurun atau anak terkena sakit, bahkan dirawat di rumah sakit,

orangtua dan perawat harus jeli memilih permainan yang dapat

dilakukan anak sesuai dengan prinsip bermain pada anak yang sedang

dirawat di rumah sakit.

3. Jenis kelamin anak

Ada beberapa pandangan tentang konsep gender dalam kaitannya

dengan permainan anak. Dalam melaksanakan aktivitas bermain tidak

membedakan jenis kelamin laki-laki atau pria. Semua alat permainan

dapat digunakan oleh anak laki-laki atau perempuan untuk

mengembangkan daya pikir imajinasi, kreativitas, dan kemampuan

sosial anak. Akan tetapi, ada pendapat lain yang meyakini bahwa

permainan adalah salah satu alat untuk membantu anak mengenal

identitas diri sehingga sebagian alat permainan anak perempuan tidak

dianjurkan untuk digunakan oleh anak laki-laki. Hal ini dilatar


41

belakangi oleh alasan adanya tuntutan perilaku yang berbeda antara

laki-laki dan perempuan dan hal ini dipelajari melalui media

permainan.

4. Lingkungan yang mendukung

Terselenggaranya aktivitas bermain yang baik untuk

perkembangan anak salah satunya dipengaruhi oleh nilai moral,

budaya, dan lingkungan fisik rumah. Fasilitas bermain tidak selalu

harus yang dibeli di tokok atau mainan jadi, tetapi lebih diutamakan

yang dapat menstimulus imajinasi dan kreativitas anak, bahkan

seringkali mainan tradisional yang dibuat sendiri dari/atau berasal dari

benda-benda di sekitar kehidupan anak akan lebih merangsang anak

untuk kreatif. Keyakinan keluarga tentang moral dan budaya juga

mempengaruhi bagaimana anak di didik melalui permainan. Sementara

lingkungan fisik sekitar rumah lebih banyak mempengaruhi ruang

gerak anak untuk melakukan aktivitas fisik dan motorik. Lingkungan

rumah yang cukup luas untuk bermain memungkinkan anak

mempunyai cukup ruang gerak untuk bermain, berjalan, mondar-

mandir, berlari, melompat, dan bermain dengan teman sekelompoknya.

5. Alat dan jenis permainan yang cocok

Orang tua harus bijaksana dalam memberikan alat perminan

untuk anak. Pilih yang sesuai dengan tahapan tumbuh kembang anak.

Label yang tertera pada mainan harus dibaca terlebih dahulu sebelum

membelinya, apakah mainan tersebut sesuai dengan usia anak. Alat


42

permainan tidak selalu harus dibeli di tokok atau mainan jadi, tetapi

lebih diutamakan yang dapat menstimulus imajinasi dan kreativitas

anak, bahkan seringkali mainan tradisional yang dibuat sendiri dari

atau berasal dari benda-benda di sekitar kehidupan anak, akan lebih

merangsang anak untuk kreatif. Alat permainan yang harus di dorong,

ditarik dan dimanipulasi, akan mengajarkan anak untuk dapat

mengembangkan kemampuan koordinasi alat gerak. Permainan

membantu anak untuk meningkatkan kemampuan dalam mengenal

norma dan aturan serta interaksi sosial dengan orang lain. Orang tua

dan anak dapat memilih permainan bersama-sama, tetapi yang harus

diingat bahwa alat permainan harus aman bagi anak. Oleh karena itu,

orangtua harus membantu anak memilihkan mainan yang aman.

2.4 Penelitian Terkait

Penelitian yang dilakukan Pratiwi & Deswita (2013) tentang perbedaan

pengaruh terapi bermain mewarnai gambar dengan bermain puzzle terhadap

kecemasan anak usia prasekolah di IRNA Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang

menunjukkan bahwa rata-rata skor kecemasan anak usia prasekolah pada

kelompok mewarnai gambar adalah 8,80 dan standar deviasi 3,07. Sedangkan

rata-rata skor kecemasan pada kelompok bermain puzzle adalah 5,93 dan

standar deviasi 2,60. Pada hasil analisis didapatkan nilai p-value 0,010 < 

0,05 yang menunjukkan bahwa ada perbedaan pengaruh terapi bermain

mewarnai gambar dengan bermain puzzle terhadap kecemasan anak usia

prasekolah yang menjalani hospitalisasi.


43

Penelitian yang dilakukan Wowiling (2013) tentang pengaruh terapi

bermain mewarnai gambar terhadap tingkat kecemasan pada anak usia

prasekolah akibat hospitalisasi di Ruangan Irina E Blu RSUP. Prof. Dr. R. D

Kandou Manado menunjukkan bahwa skor rata-rata kecemasan anak usia

prasekolah sebelum (pretest) terapi mewarnai gambar adalah 42,43 standar

deviasi 7,785 dan sesudah (posttest) terapi bermain mewarnai gambar adalah

37,17 standar deviasi 8,030 dengan selisih rata-rata sebelum dan sesudah

perlakuan sebesar 5,267. Pada hasil analisis didapatkan nilai signifikansi p-

value 0,000  0,05 yang menunjukkan bahwa terapi bermain mewarnai

gambar terbukti berpengaruh terhadap tingkat kecemasan anak usia

prasekolah yang menjalani hospitalisasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Tjahjono (2012) tentang Pengaruh

Terapi Bermain Terhadap Kecemasan Anak Yang Mengalami Hospitalisasi Di

Ruang Mirah Delima Rumah Sakit William Booth Surabaya menunjukkan

bahwa setelah diberikan terapi bermain didapatkan 4 responden mengalami

perubahan skor/skala kecemasan dan 1 orang skor/skalanya sama/tetap, untuk

responden yang mengalami oversensitivity setelah diberikan terapi bermain

didapatkan 13 orang mengalami perubahan/penurunan skor/skala dan 2 orang

tidak, sedangkan untuk concentration anxiety setelah diberikan terapi bermain

didapatkan 3 orang yang mengalami perubahan skor/skala dan 4 orang

skor/skala kecemasan tetap/sama. Berdasarkan uji Wilcoxon diperoleh hasil

(p= 0,000) dimana ada pengaruh derajat kecemasan anak sebelum dan sesudah

terapi bermain.
44

2.3 Kerangka Teori

Kerangka teori pada dasarnya adalah hubungan antara konsep-konsep

yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan

dilakukan (Notoatmojo, 2010). Berdasarkan landasan teori yang telah

dikemukakan maka kerangka teori dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.1
Kerangka Teori

Predisposisi kecemasan: Hospitalisasi - Tahap perkembangan


- Traumatik - Status kesehatan
- Konflik emosional - Jenis kelamin
- Konsep diri - Lingkungan
- Gangguan fisik - Alat & jenis permainan
- Koping keluarga
- Riwayat ansietas
- Obat-obatan Terapi bermain mewarnai
gambar
Kecemasan
Presipitasi kecemasan:
- Ancaman terhadap
integritas fisik
- Ancaman terhadap
harga diri

Sumber: Prabowo (2014) & Supartini (2012), Adriana (2011).

2.4 Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan suatu uraian dan visualisasi hubungan atau

kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara variabel yang

satu dengan variabel yang lain dari masalah yang akan diteliti (Notoatmodjo,

2012). Kerangka konsep pada penelitian ini sebagai berikut :

Gambar 2.2
Kerangka Konsep

Kecemasan sebelum Terapi bermain Kecemasan setelah terapi


terapi bermain mewarnai mewarnai gambar bermain mewarnai gambar
gambar (pretest) (posttest)
45

2.5 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah

penelitian (Sugiyono, 2011). Adapun hipotesis dalam penelitian ini ditulis

dalam bentuk klasikal yaitu sebagai berikut:

Ha : Ada pengaruh terapi bermain mewarnai gambar terhadap kecemasan

anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi di ruang anak RSU

Handayani Kota Bumi lampung Utara tahun 2017


46

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan rancangan pre

experimental design yaitu suatu penelitian eksperimen yang dimana penelitian

memberikan perlakuan pada kelompok studi yang sebelumnya dilakukan

pretest dan selanjutnya dilakukan posttest setelah diberikan perlakuan. Bentuk

desain yang dipakai adalah desain one group pretest-posttest untuk

mengetahui perbedaan kecemasan anak usia prasekolah yang mengalami

hospitalisasi sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) terapi bermain mewarnai

gambar, dimana dalam rancangan ini tidak ada kelompok pembanding

(kontrol) tetapi dilakukan observasi pertama (pretest) yang memungkinkan

peneliti dapat menguji perubahan yang terjadi setelah adanya perlakuan

(program). Bentuk rancangan ini adalah sebagai berikut:

01 X 02

Keterangan:
01 : Pretest
02 : Posttest
X : Terapi bermain mewarnai gambar

3.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan kuantitatif, yaitu penelitian yang datanya

berupa angka-angka (score, nilai) atau pernyataan yang diangkakan dan

dianalisis dengan analisis statistik. Studi yang digunakan adalah studi

46
47

eksperimen atau percobaan (experimental research) yaitu suatu penelitian

dengan melakukan kegiatan percobaan (experiment) yang bertujuan untuk

mengetahui gejala atau pengaruh yang timbul sebagai akibat dari adanya

perlakuan tertentu atau eksperimen tersebut (Notoatmodjo, 2012).

3.3 Waktu dan Tempat Penelitian

3.3.1 Tempat Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan di RSU Handayani Kota Bumi

lampung Utara, waktu penelitian pada bulan November 2016 s.d Mei

2017.

3.3.2 Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Juli tahun 2017.

3.4 Subjek Penelitian

3.4.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau

subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang

ditetapkan peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulan (Sugiyono,

2010). Populasi dalam penelitian ini adalah anak usia prasekolah yang

dirawat di RSU Handayani Kota Bumi lampung Utara pada saat dilakukan

penelitian dengan jumlah rata-rata dalam 1 bulan yaitu sebanyak 57 anak.


48

3.4.2 Sampel

Menurut Arikunto (2010) sampel adalah sebagian atau wakil

populasi yang diteliti. Besar sampel dalam penelitian ini menggunakan

rumus Lameshow yang dikemukakan Hidayat (2007) sebagai berikut:

 2 Z / 2  Z1 2
n
o  a 2
Keterangan:
n = Besar prakiraan sampel
Z1-/2 = Nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada  (1,96)
Z1- = Nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada  (1,28)
2 = Harga varians di populasi
o-a = Perkiraan selisih mean yang diteliti dengan mean di populasi

Dari formula di atas, maka besar sampel dihitung berdasarkan

penelitian sebelumnya oleh Wowiling (2013) dimana selisin mean 5,267,

varian 64,4809 sehingga dapat dihitung sebagai berikut:

64,48091,96  2,33
2
676,8947
n   24,46525 (dibulatkan 25 orang)
(42,43  37,17) 2
27,6676

Berdasarkan perhitungan di atas maka besar sampel yang

didapatkan adalah sebanyak 25 anak usia prasekolah.

3.4.3 Teknik pengambilan sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan

teknik accidental sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang

kebetulan ada pada saat dilakukan penelitian (Notoatmodjo, 2012).

Sedangkan kriteria sampel yang digunakan adalah:

1. Kriteria inklusi

a. Anak usia prasekolah (3-5 tahun) yang menjalani hospitalisasi

b. Anak usia prasekolah dalam kondisi composmentis


49

c. Anak usia prasekolah yang sudah dapat menggunakan alat tulis

d. Anak usia prasekolah yang mendapatkan persetujuan dari orangtua

e. Anak dengan skor nyeri 0-3

2. Kriteria eksklusi

a. Anak dengan gangguan pendengaran

b. Anak dengan retardasi mental atau hiperaktif

3.5 Variabel Penelitian

Variabel Independent (bebas) dalam penelitian ini adalah terapi

bermain mewarnai gambar. Variabel dependent (terikat) adalah tingkat

kecemasan.

3.6 Definisi Operasional Variabel

Tabel 3.1
Definisi Operasional Variabel
Cara Skala
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur
Ukur Ukur
Dependen: Perasaan cemas yang Kuesioner Observasi Skor Rasio
Kecemasan diukur melalui jawaban 0 - 15
(ansietas) observasi

Independen: Kegiatan yang dilakukan - - - -


Terapi bermain secara sukarela untuk
mewarnai memperoleh
gambar kesenangan/kepuasan pada
anak usia prasekolah yang
menjalani hospitalisasi
melalui permainan
mewarnai gambar

3.7 Etika Penelitian

Pada penelitian ini, dalam melakukan penelitian peneliti

mempertimbangkan prinsip-prinsip etik sebagai berikut:


50

1. Prinsip manfaat

Berprinsip pada aspek manfaat, maka penelitian ini bermanfaat

untuk mengembangkan program terapi bermain untuk menurunkan

kecemasan bagi anak usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi

2. Prinsip menghormati manusia

Penelitian ini dilakukan dengan tetap mengedepankan prinsip

menghormati manusia yaitu dengan memberikan kemudahan kepada

responden atau tidak melakukan paksaan kepada responden.

3. Prinsip keadilan

Prinsip ini dilakukan untuk menjunjung tinggi keadilan manusia

dengan menghargai hak atau memberikan hak menjaga privasi dan tidak

berpihak dalam perlakuan, sehingga dalam penelitian ini responden

diperlakukan seadil-adilnya tanpa membedakan jenis kelamin.

4. Informed consent

Sebelum melakukan observasi, pada penelitian ini peneliti meminta

keluarga (orangtua responden) untuk mengisi Informed consent sebagai

bentuk persetujuan.

5. Anonimity (tanpa nama)

Pada uraian hasil penelitian ini tidak dicantumkan nama responden,

hal tersebut untuk memberikan jaminan kerahasiaan dan hanya menuliskan

kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang disajikan.
51

3.8 Instrumen dan Pengumpulan Data

3.8.1 Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini menggunakan alat ukur kuesioner

yang diadopsi dari penelitian Saragih (2015) yang telah dilakukan uji

validitas dan reabilitas. Kuesioner ini terdiri dari 15 pernyataan. Setiap

pernyataan memiliki 2 alternatif jawaban dengan ya = 1 dan tidak = 0.

Gejala kecemasan yang mungkin ditemukan adalah antara 0 sampai 15.

Semakin besar skor yang didapatkan pada anak prasekolah menunjukkan

tingkat kecemasan tinggi.

3.8.2 Pengumpulan Data

Adapun langkah-langkah pengumpulan data dilakukan dengan

tahapan sebagai berikut:

1. Mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian kepada institusi

Rumah Sakit yang digunakan peneliti sebagai lokasi penelitian.

Setelah mendapat rekomendasi pelaksanaan penelitian dari Fakultas

Kedokteran Universitas Mitra Lampung dan izin dari direktur Rumah

Sakit, peneliti melaksanakan pengumpulan data penelitian.

2. Selanjutnya peneliti menjelaskan kepada orang tua klien tentang

tujuan, manfaat, prosedur pengumpulan data serta meminta kepada

orangtua klien untuk membantu mengisi data demografi (lampiran 4)

serta membantu dalam proses terapi bermain.

3. Sebelum perlakuan (terapi bermain mewarnai gambar) responden

dilakukan pengukuran pertama tingkat kecemasan responden, dan hasil

pengukuran tersebut sebagai data tingkat kecemasan pretest.


52

4. Kemudian peneliti melakukan terapi bermain mewarnai gambar yang

dilakukan di tempat perawatan anak. Terapi bermain dilakukan 1 kali

dalam sehari yaitu sore hari dengan waktu kurang lebih 40 menit dan

dilakukan selama 2 hari perawatan.

5. Setelah perlakuan dilakukan selama 2 hari, pada pagi hari di hari ke 3

penelitian, peneliti kemudian melakukan pengukuran kembali (post-

test) tingkat kecemasan responden untuk memperoleh data tentang

tingkat kecemasan anak usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi.

6. Selanjutnya data yang telah didapatkan akan dilakukan pengolahan

data untuk mengetahui pengaruh dari terapi bermain terhadap

kecemasan anak usia prasekolah.

3.9 Pengolahan Data

Pengolahan data dalam rencana penelitian ini melalui empat tahap yaitu:

1. Editing yaitu Kegiatan untuk melakukan pengecekan hasil observasi

tentang kecemasan anak usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi

apakah sudah lengkap, jelas, relevan, dan konsisten.

2. Coding yaitu kegiatan mengubah data berbentuk huruf menjadi data

berbentuk angka atau bilangan. Kegunaan coding dalam penelitian ini

adalah untuk melakukan uji normalitas data.

3. Prosesing yaitu memasukkan skor dari masing-masing responden ke

dalam program komputer.


53

4. Cleaning yaitu kegiatan pengecekan kembali data yang sudah ada dan

selanjutnya dilakukan uraian.

(Notoatmojo, 2012)

3.10 Analisis Data

3.10.1 Analisis Univairat

Analisis ini bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian dari hasil penelitian yang akan

menghasilkan distribusi dari tiap variabel. Pada analisa ini hanya

menghasilkan skor rerata/median dari tiap variabel yang akan diteliti.

3.10.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel

independen terhadap variabel dependen. Jika pada penelitian ini kedua

kelompok data berdistribusi normal (uji Shapiro-Wilk p-value >  0,05)

maka akan digunakan statistik parametrik uji T berpasangan (Paired T

Test). Jika data tidak berdistribusi normal maka analisis data dilakukan

dengan menggunakan uji statistik non parametrik dua kelompok

berpasangan yaitu uji Mann-Whitney U test. Analisis ini dilakukan dengan

menggunakan program komputer, keputusan uji statistik menggunakan

derajat kemaknaan 95% dan tingkat kesalahan (α) = 5%, dengan kriteria

hasil:

a. Jika p value ≤ nilai α (0,05), maka Ho ditolak (ada perbedaan).

b. Jika p value > nilai α (0,05), Ho gagal ditolak (tidak ada perbedaan).
54

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

RS Handayani yaitu salah satu Layanan Kesehatan milik Organisasi

Sosial Lampung Utara yang berwujud RSU, dikelola oleh Pemda

Kabupaten Yayasan dan termaktub kedalam RS Kelas C. Layanan

Kesehatan ini telah teregistrasi sejak 28/12/2012 dengan Nomor Surat ijin

HK.07.06/III/2090/09 dan Tanggal Surat ijin 09/06/2009 dari Menkes RI

dengan Sifat Tetap, dan berlaku sampai 5 Tahun. Sehabis mengadakan

Metode AKREDITASI Rumah sakit Seluruh Indonesia dengan proses

Pentahapan I ( 5 Pelayanan) akhirnya ditetapkan status Lulus Akreditasi

Rumah Sakit. RSU ini berlokasi di Jl. Soekarno – Hatta No.94,Kotabumi

lampung Utara, Lampung Utara, Indonesia.

RS Handayani Memiliki Layanan Unggulan dalam Bidang

pelayanan IGD. RSU Milik Organisasi Sosial Lampung Utara ini

Memiliki Luas Tanah 9500 dengan Luas Bangunan 6094. Jumlah kamar

RSU Handayani sesuai kelas meliputi VVIP : 6 kamar, VIP : 22 kamar, I

: 17 kamar, kelas II : 27 kamar, kelas III : 50 kamar, ICU : 4 kamar,

PICU : 0 kamar, TT di IGD : 8 kamar, TT Bayi Baru Lahir : 11 kamar,

TT Kamar Bersalin : 6 kamar, TT Ruang Operasi : 6 kamar, dan TT

Ruang Isolasi : 2 kamar.

54
55

4.1.2 Karakteristik Responden

1. Distribusi anak usia prasekolah berdasarkan jenis kelamin

Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Anak Usia Prasekolah yang Menjalani
Hospitalisasi Berdasarkan Jenis Kelamin di Ruang Anak
RSU Handayani Kota Bumi Lampung Utara
Tahun 2017
No Jenis Kelamin Frekuensi Presentase (%)
1 Laki-laki 12 48,0
2 Perempuan 13 52,0
Jumlah 25 100

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar

anak usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi adalah perempuan

yaitu sebanyak 13 orang (52,0%) dan laki-laki sebanyak 12 orang

(48,0%).

2. Distribusi frekuensi anak usia prasekolah berdasarkan usia

Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Anak Usia Prasekolah Berdasarkan Usia
di Ruang Anak RSU Handayani Kota Bumi
Lampung Utara Tahun 2017
No Usia Frekuensi Presentase (%)
1 3 tahun 4 16,0
2 4 tahun 9 36,0
3 5 tahun 9 36,0
4 6 tahun 3 12,0
Jumlah 25 100

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa sebagian anak

usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi berusia 4 dan 5 tahun

masing-masing 9 orang (36,0%), usia 4 tahun sebanyak 4 orang

(16,0%), dan usia 6 tahun sebanyak 3 orang (12,0%).


56

3. Distribusi frekuensi anak usia prasekolah berdasarkan

pengalaman dirawat

Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Anak Usia Prasekolah yang Menjalani
Hospitalisasi Berdasarkan Pengalaman Dirawat di Ruang Anak
RSU Handayani Kota Bumi lampung Utara
Tahun 2017
Pengalaman
No Frekuensi Presentase (%)
Dirawat
1 Pernah 15 60,0
2 Tidak pernah 10 40,0
Jumlah 25 100

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar

anak usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi adalah pengalaman

dirawat yaitu sebanyak 15 orang (60,0%) dan 10 orang (40,0%) tidak

memiliki pengalaman di rawat.

4. Distribusi frekuensi diagnosa medis anak usia prasekolah yang

menjalani hospitalisasi

Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Diagnosa Medis Anak Usia Prasekolah yang
Menjalani Hospitalisasi di Ruang Anak RSU Handayani
Kota Bumi Lampung Utara Tahun 2017
No Diagnosa Medis Frekuensi Presentase (%)
1 Epilepsy 1 4,0
2 Fibris 6 24,0
3 Diare 8 32,0
4 ISPA 5 20,0
5 Kejang demam 3 12,0
6 Pansitoperi 1 4,0
7 Varicela 1 4,0
Jumlah 25 100

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar

diagnosa medis anak usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi


57

adalah karena diare yaitu sebanyak 8 orang (32,0%), fibris 6 orang

(24,0%), ISPA 5 orang (20,0%), kejang demam 3 orang (12,0%),

epilepsy, pansitoperi, dan varicela masing-masing 1 orang (4,0%).

4.1.3 Analisis Univariat

1. Rata-rata kecemasan anak usia prasekolah yang mengalami

hospitalisasi sebelum pemberian terapi bermain mewarnai

gambar (pre-test)

Setelah dilakukan pengumpulan dan pengolahan data,

didapatkan rata-rata kecemasan anak usia prasekolah yang mengalami

hospitalisasi sebelum dilakukan terapi bermain mewarnai gambar (pre-

test) sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.5
Rata-rata Kecemasan Anak Usia Prasekolah Yang Mengalami
Hospitalisasi Sebelum (Pre-Test) Dilakukan Terapi Bermain
Mewarnai Gambar di Ruang Anak RSU Handayani
Kota Bumi Lampung Utara Tahun 2017
Minimum-
Variabel Mean SD CI; 95%
Maksimum
Kecemasan anak usia
prasekolah yang mengalami
hospitalisasi sebelum terapi 4,84 1,993 1-9 4,02-5,66
bermain mewarnai gambar
(pretest)

Berdasarkan tabel di atas, dapat dijelaskan bahwa sebelum

dilakukan terapi bermain mewarnai gambar (pre-test), rata-rata skor

kecemasan anak usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi adalah

4,84±1,993. Skor maksimum gejala kecemasan anak usia prasekolah

yang menjalani hospitalisasi sebelum terapi bermain yaitu 9 dan skor


58

minimum adalah 1. Pada confidence interval 95% diyakini bahwa rata-

rata skor kecemasan anak usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi

sebelum dilakukan terapi bermain mewarnai gambar adalah antara

4,02 sampai dengan 5,66.

2. Rata-rata kecemasan anak usia prasekolah yang mengalami

hospitalisasi setelah dilakukan terapi bermain mewarnai gambar

(post-test)

Tabel 4.6
Rata-rata Kecemasan Anak Usia Prasekolah Yang Mengalami
Hospitalisasi Setelah (post-test) Pemberian Terapi Bermain
Mewarnai Gambar di Ruang Anak RSU Handayani
Kota Bumi Lampung Utara Tahun 2017
Minimum-
Variabel Mean SD CI; 95%
Maksimum
Kecemasan anak usia
prasekolah yang mengalami
hospitalisasi setelah terapi 1,92 1,412 0-5 1,34-2,50
bermain mewarnai gambar
(post-test)

Berdasarkan tabel di atas, dapat dijelaskan bahwa setelah

dilakukan terapi bermain mewarnai gambar (post-test), rata-rata skor

kecemasan anak usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi adalah

1,92±1,412. Skor maksimum gejala kecemasan anak usia prasekolah

yang menjalani hospitalisasi setelah terapi bermain yaitu 5 dan skor

minimum adalah 0. Pada confidence interval 95% diyakini bahwa rata-

rata skor kecemasan anak usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi

setelah pemberian terapi bermain mewarnai gambar adalah antara 1,34

sampai dengan 2,50.


59

4.1.4 Analisis Bivariat

Setelah dilakukan uji normalitas data menggunakan uji Shapiro-wilk

didapatkan hasil nilai kemaknaan untuk pre-test p-value 0,589 dan post-

test p-value 0,069 >  0,05, dengan demikian dapat dijelaskan bahwa

distribusi kedua kelompok data adalah normal sehingga pengujian

hipotesis dilanjutkan dengan menggunakan uji t berpasangan (paired

sample t-test) dengan keputusan uji statistik menggunakan taraf signifikan

p<0,05 maka dapat diketahui perbedaan kecemasan anak usia prasekolah

yang menjalani hospitalisasi sebelum dilakukan terapi bermain mewarnai

gambar (pre-test) dan sesudah pemberian terapi bermain mewarnai

gambar (post-test) sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.7
Pengaruh Terapi Bermain Mewarnai Gambar Terhadap Kecemasan
Anak Usia Prasekolah Yang Mengalami Hospitalisasi di Ruang Anak
RSU Handayani Kota Bumi Lampung Utara
Tahun 2017
Mean
Variabel Mean SD p-value N
difference
Sebelum terapi bermain
Kecemasan anak mewarnai gambar (pre- 4,84 1,993
usia prasekolah test)
2,920 0.000 25
yang menjalani Sesudah terapi bermain
hospitalisasi mewarnai gambar 1,92 1,412
(post-test)

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa pada hasil analisis

dengan menggunakan paired sample t-test diperoleh nilai rata-rata skor

kecemasan anak usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi sebelum

diberikan terapi bermain mewarnai gambar adalah sebesar 4,84±1,993 dan

sesudah dilakukan terapi bermain adalah sebesar 1,92±1,412. Pada hasil

uji statistik didapatkan p-value 0,000 <  0,05 maka dapat disimpulkan
60

bahwa terdapat perbedaan kecemasan anak usia prasekolah yang

menjalani hospitalisasi sebelum dan sesudah dilakukan terapi bermain

mewarnai gambar, dengan demikian tidak ada alasan untuk menolak Ha

artinya secara statistik terbukti terdapat pengaruh terapi bermain mewarnai

gambar terhadap kecemasan anak usia prasekolah yang menjalani

hospitalisasi, dimana skor kecemasan sesudah diberi terapi bermain

mewarnai gambar lebih rendah secara bermakna dibandingkan sebelum

diberi terapi bermain mewarnai gambar.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Univariat

1. Rata-rata kecemasan anak usia prasekolah yang mengalami

hospitalisasi sebelum pemberian terapi bermain mewarnai

gambar (pre-test)

Berdasarkan hasil pengolahan data dapat diketahui bahwa

sebelum dilakukan terapi bermain mewarnai gambar (pre-test), rata-

rata skor kecemasan anak usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi

adalah 4,84±1,993. Skor maksimum gejala kecemasan anak usia

prasekolah yang menjalani hospitalisasi sebelum terapi bermain yaitu

9 dan skor minimum adalah 1. Pada confidence interval 95% diyakini

bahwa rata-rata skor kecemasan anak usia prasekolah yang menjalani

hospitalisasi sebelum dilakukan terapi bermain mewarnai gambar

adalah antara 4,02 sampai dengan 5,66.


61

Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak

sakit dan dirawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak

berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan asing dan baru yaitu

rumah sakit, sehingga kondisi tersebut menjadi faktor stressor bagi

anak baik terhadap anak maupun orang tua dan keluarga (Wong,

2000). Manifestasi kecemasan akibat hospitalisasi menurut Adriana

(2011) memiliki 3 fase, yaitu fase protes dimana anak secara verbal

menangis kepada orang tua, menyerang orang lain secara verbal atau

fisik, berusaha menemukan orang tua, memegang orang tua erat-erat,

dan tidak dapat ditenangkan. Fase putus asa dimana anak tidak tertarik

dengan lingkungan dan permainan serta menunjukkan sikap yang

pasif, depresi dan kehilangan nafsu makan. Fase penolakan

(penyangkalan) dimana anak membuat keputusan yang dangkal dan

menunjukkan minat dengan jelas, tetapi tetap menolak. Fase ini

biasanya terjadi setelah perpisahan dalam waktu lama dan jarang

terlihat pada anak yang dirawat.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Wowiling (2013) tentang pengaruh terapi bermain mewarnai

gambar terhadap tingkat kecemasan pada anak usia prasekolah akibat

hospitalisasi di Ruangan Irina E Blu RSUP. Prof. Dr. R. D Kandou

Manado menunjukkan bahwa skor rata-rata kecemasan anak usia

prasekolah sebelum (pretest) terapi mewarnai gambar adalah 42,43

standar deviasi 7,785.


62

Berdasarkan uraian hasil penelitian di atas dapat dijelaskan

bahwa sebelum dilakukan terapi bermain mewarnai gambar rata-rata

skor kecemasan anak usia prasekolah yang menjalani hopitalisasi

adalah 4,84 dan berapa pada rentang antara 4,02 sampai dengan 5,66.

Hal tersebut memberikan gambaran bahwa sebelum terapi bermain

rata-rata anak usia prasekolah masih banyak menunjukkan gejala

kecemasan karena saat anak usia prasekolah sakit dan baru dirawat di

rumah sakit umumnya belum mampu beradaptasi dengan lingkungan

sekitar sehingga kondisi tersebut dapat memunculkan berbagai gejala

kecemasan seperti takut bertemu perawat, selalu ingin bersama dengan

orangtua, menangis serta menunjukkan wajah yang terlihat tegang.

2. Rata-rata kecemasan anak usia prasekolah yang mengalami

hospitalisasi setelah dilakukan terapi bermain mewarnai gambar

(post-test)

Berdasarkan hasil pengolahan data diketahui bahwa setelah

dilakukan terapi bermain mewarnai gambar (post-test), rata-rata skor

kecemasan anak usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi adalah

1,92±1,993. Skor maksimum gejala kecemasan anak usia prasekolah

yang menjalani hospitalisasi setelah terapi bermain yaitu 5 dan skor

minimum adalah 0. Pada confidence interval 95% diyakini bahwa rata-

rata skor kecemasan anak usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi

setelah pemberian terapi bermain mewarnai gambar adalah antara 1,34

sampai dengan 2,50.


63

Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan secara sukarela

untuk memperoleh kesenangan/kepuasan. Bermain merupakan

cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional, dan sosial dan

bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan

bermain, anak-anak akan berkata (berkomunikasi), belajar

menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan apa yang dapat

dilakukannya dan mengenal waktu, jarak, serta suara (Wong, 2009).

Stres yang dialami anak saat dirawat di rumah sakit tidak dapat

dihindarkan sebagaimana juga yang dialami orangtuanya. Untuk itu

yang penting adalah bagaimana menyiapkan anak dan orangtua untuk

dapat beradaptasi dengan stresor yang dialaminya di rumah sakit

secara efektif. Permainan adalah media yang efektif untuk beradaptasi

karena telah terbukti dapat menurunkan rasa cemas, takut, nyeri dan

marah (Supartini, 2011).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Pratiwi & Deswita (2013) tentang perbedaan pengaruh terapi

bermain mewarnai gambar dengan bermain puzzle terhadap kecemasan

anak usia prasekolah di IRNA Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang

menunjukkan bahwa rata-rata skor kecemasan anak usia prasekolah

pada kelompok mewarnai gambar adalah 8,80 dan standar deviasi

3,07. Penelitian Wowiling (2013) menunjukkan sesudah (posttest)

terapi bermain mewarnai gambar rata-rata kecemasan anak usia


64

prasekolah adalah 37,17 standar deviasi 8,030 dengan selisih rata-rata

sebelum dan sesudah perlakuan sebesar 5,267.

Berdasarkan uraian hasil penelitian di atas dapat dijelaskan

bahwa setelah dilakukan terapi bermain mewarnai gambar, gejala

kecemasan pada anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi

mengalami penurunan yaitu berada pada rentang 1,34 sampai dengan

2,50 artinya tingkat kecemasan anak usia prasekolah telah mengalami

penurunan dibandingkan sebelum diberi terapi bermain mewarnai

gambar. Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa setelah

diberikan terapi bermain mewarnai gambar, anak usia prasekolah yang

mengalami hospitalisasi sudah mulai dapat beradaptasi dengan

lingkungan di rumah sakit sehingga gejala kecemasan yang ada

mengalami penurunan.

4.2.2 Bivariat

1. Pengaruh terapi bermain mewarnai gambar terhadap kecemasan

anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi

Hasil pengujian hipotesis menggunakan uji paired sample t-test

diperoleh nilai rata-rata skor kecemasan anak usia prasekolah yang

menjalani hospitalisasi sebelum diberikan terapi bermain mewarnai

gambar adalah sebesar 4,84±3,883 dan sesudah dilakukan terapi

bermain adalah sebesar 1,92±3,859. Pada hasil uji statistik didapatkan

p-value 0,000 <  0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat

perbedaan kecemasan anak usia prasekolah yang menjalani


65

hospitalisasi sebelum dan sesudah dilakukan terapi bermain mewarnai

gambar, dengan demikian tidak ada alasan untuk menolak Ha artinya

secara statistik terbukti terdapat pengaruh terapi bermain mewarnai

gambar terhadap kecemasan anak usia prasekolah yang menjalani

hospitalisasi, dimana skor kecemasan sesudah diberi terapi bermain

mewarnai gambar lebih rendah secara bermakna dibandingkan

sebelum diberi terapi bermain mewarnai gambar.

Bermain sama dengan bekerja pada orang dewasa, dan

merupakan aspek terpenting dalam kehidupan anak serta merupakan

cara yang paling efektif untuk menurunkan stres pada anak dan

penting untuk kesejahteraan mental dan emosional anak (Champbell &

Glase, 1995 dalam Supartini, 2012). Pada saat di rawat di rumah sakit,

anak akan mengalami berbagai perasaan yang sangat tidak

menyenangkan, seperti marah, takut, cemas, sedih dan nyeri. Perasaan

tersebut merupakan dampak dari hospitalisasi yang dialami anak

karena menghadapi beberapa stresor yang ada di lingkungan rumah

sakit. Permainan adalah media komunikasi antara anak dengan orang

lain, termasuk dengan perawat atau petugas kesehatan di rumah sakit.

Perawat dapat mengkaji perasaan dan pikiran anak melalui ekspresi

non verbal yang ditunjukkan selama melakukan permainan atau

melalui interaksi yang ditunjukkan anak dengan orang tua dan teman

kelompok bermainnya. Stres yang dialami anak saat dirawat di rumah

sakit tidak dapat dihindarkan sebagaimana juga yang dialami


66

orangtuanya. Untuk itu yang penting adalah bagaimana menyiapkan

anak dan orangtua untuk dapat beradaptasi dengan stresor yang

dialaminya di rumah sakit secara efektif. Permainan terbukti dapat

menurunkan rasa cemas, takut, nyeri dan marah (Supartini, 2012).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wowiling (2013)

yang menunjukkan bahwa pada hasil analisis didapatkan nilai

signifikansi p-value 0,000  0,05 artinya bahwa terapi bermain

mewarnai gambar terbukti berpengaruh terhadap tingkat kecemasan

anak usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi. Penelitian Tjahjono

(2012) menunjukkan bahwa pada uji Wilcoxon diperoleh hasil (p=

0,000) dimana ada pengaruh derajat kecemasan anak sebelum dan

sesudah terapi bermain.

Berdasarkan uraian hasil penelitian di atas dapat dijelaskan

bahwa rata-rata skor kecemasan anak usia prasekolah yang mengalami

hospitalisasi sebelum diberi terapi bermain lebih tinggi secara

bermakna dibandingkan setelah diberi terapi bermain. Hal ini dapat

terjadi karena sebelum diberi terapi bermain anak usia prasekolah yang

mengalami hospitalisasi umumnya belum mampu beradaptasi dengan

lingkungan yang baru seperti terhadap perawat, dokter maupun pada

peralatan-peralatan medis yang ada sehingga hal tersebut dapat

memunculkan perasaan yang sangat tidak menyenangkan, seperti

marah, takut, cemas maupun sedih. Sedangkan setelah diberi terapi

bermain mewarnai gambar, skor kecemasan anak usia prasekolah yang


67

mengalami hospitalisasi terjadi penurunan, hal ini dapat terjadi karena

bermain merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual,

emosional, sosial dan bermain merupakan media yang baik untuk

belajar dimana dengan melakukan permainan anak akan terlepas dari

ketegangan dan stres yang dialaminya karena saat melakukan

permainan, anak akan dapat mengalihkan rasa sakitnya pada

permainnya (distraksi) dan relaksasi melalui kesenangannya

melakukan permainan terutama terjadi pada anak yang belum mampu

mengekspresikannya secara verbal. Dengan hasil penelitian ini maka,

terapi bermain mewarnai gambar dapat digunakan sebagai salah satu

terapi untuk menurunkan kecemasan anak usia prasekolah yang

menjalani hospitalisasi.

5.1 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan sesuai proses ilmiah, namun demikian

memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya:

1. Pada penelitian ini, jenis penyakit yang diderita, lama perawatan serta

adanya tidaknya riwayat dirawat di rumah sakit pada anak usia prasekolah

yang menjalani hospitalisasi relatif berbeda sehingga hal tersebut dapat

menjadi variabel pengganggu dalam penelitian ini.

2. Pada penelitian ini, proses observasi untuk mengetahui perubahan

kecemasan anak prasekolah yang menjalani hospitalisasi membutuhkan

ketelitian yang tinggi sehingga pada saat melakukan observasi harus


68

dilakukan oleh peneliti sendiri dan tidak dapat diwakilkan asisten

penelitian.

3. Proses terapi mewarnai gambar dalam penelitian ini tidak semuanya dapat

dilakukan dalam satu ruangan sehingga suasana interaksi setiap responden

berbeda.
69

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pada bab sebelumnya maka

dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

2. Distribusi frekuensi karakteristik anak usia prasekolah yang mengalami

hospitalisasi sebagian besar berjenis kelamin perempuan (52,0%), berusia

4 dan 5 tahun (36,0%), memiliki pengalaman dirawat (60,0%), diagnosa

medis diare (32,0%).

3. Rata-rata skor kecemasan anak usia prasekolah yang menjalani

hospitalisasi di Ruang Anak RSU Handayani Kota Bumi lampung Utara

sebelum (pre-test) dilakukan terapi bermain mewarnai gambar adalah

4,84±1,993.

4. Rata-rata skor kecemasan anak usia prasekolah yang menjalani

hospitalisasi di Ruang Anak RSU Handayani Kota Bumi lampung Utara

sesudah (post-test) dilakukan terapi bermain mewarnai gambar adalah

1,92±1,993.

5. Ada pengaruh terapi bermain mewarnai gambar terhadap kecemasan anak

usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi (p-value 0,000 <  0,05).

5.3 Saran

1. Bagi tenaga kesehatan hendaknya terus bekerjasama dengan orang tua

anak usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi untuk mengajak anak

bermain sehingga mampu beradaptasi dengan lingkungan perawatan.

69
70

2. Bagi ibu yang memiliki anak usia prasekolah yang mengalami

hospitalisasi hendaknya berupaya mengajak anak untuk berinteraksi

dengan lingkungan di sekitar rumah sakit yaitu dengan mengajak anak

bermain sesuai dengan yang disukainya karena hal tersebut terbukti

mampu menurunkan kecemasan.

3. Bagi penelitian lain yang ingin melakukan penelitian yang berhubungan

dengan kecemasan anak usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi

sebaiknya mengambil lokasi penelitian yang berbeda sehingga manfaat

penelitian pun akan semakin banyak dirasakan oleh masyarakat.


71

DAFTAR PUSTAKA

Adriana, D, (2011). Tumbuh Kembang dan Terapi Bermain Pada Anak. Jakarta:
Salemba Medika.
Apriliawati, A, (2011). Pengaruh Biblioterapi terhadap peningkatan kecemasan
anak usia sekolah yang menjalani hospitalisasi di RS. Islam Jakarta.
Thesis. Universitas Indonesia. Program Megister Ilmu Keperawatan Anak.
Arikunto, S, (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta.
Direja, Surya, H.A. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: Nuha
Medika.

Hawari, D, (2011). Manajemen Stress, Cemas, dan Depresi. Jakarta: Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia.
Keliat, A.B, dkk (2013). Manajemen Kasus Gangguan Jiwa. Jakarta: EGC

Kusumawati & Hartono (2011). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.

Maghfiroh (2015). Laporan Terapi Bermain Anak Usia Pra Sekolah Di Ruang
Anak Lantai Dasar Rsup Dr. Karyadi Semarang. Laporan Praktik
Keperawatan Anak. Universitas Diponegoro Semarang.

Notoatmodjo, Soekidjo, (2012). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka


Cipta
Prabowo, Eko (2014). Konsep & Aplikasi, Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Nuha Medika.

Pratiwi, S.E & Deswita, (2013). Perbedaan Pengaruh Terapi Bermain Mewarnai
Gambar Dengan Bermain Puzzle Terhadap Kecemasan Anak Usia
Prasekolah di IRNA Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang. Ners Jurnal
Keperawatan. Volume 9. No. 1 Maret 2013
Riddle & Greenhill (1997) Pediatric Anxiety Rating Scale (PARS). This effort was
funded by the National Institute of Mental Health, Benedetto Vitiello,
M.D., Project Officer. Helpful consultation was provided by Prudence
Fisher, Ph.D., Columbia University.
72

Saragih S.O (2016). Tingkat Kecematan Anak usia Prasekolah Akibat


Hospitalisasi di RSUP Haji Adam Malik Medan. Skripsi. Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.
Sugiono, (2011). Statistika Non Parametrik. Bandung: Alfabeta.
Sugiono, (2011). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Supartini, Y, (2012). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.
Susan, H. S. & Rapee. R (1999). Preschool Anxiety Scale (Parent Report).
Tjahjono (2012). Pengaruh Terapi Bermain Terhadap Kecemasan Anak Yang
Mengalami Hospitalisasi Di Ruang Mirah Delima Rumah Sakit William
Booth Surabaya. http://ejournal.stikeswilliambooth.ac.id
Wong, L. Donna, Marilyn, H., David, Wilson, Patrica, Schwatz. (2009). Buku
Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.
Wowiling, F.E. (2013). Pengaruh Terapi Bermain Mewarnai Gambar Terhadap
Tingkat Kecemasan Pada Anak Usia Prasekolah Akibat Hospitalisasi di
Ruang Irina E Blu RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Naskah
Publikasi. Universitas Sam Ratulangi Manado.

Anda mungkin juga menyukai