Anda di halaman 1dari 7

Penyakit Autoimun Miastenia Gravis, Manifestasi

Klinis dan Pengobatan


Miastenia Gravis adalah suatu penyakit autoimun dimana persambungan
otot dan saraf atau neuromuscular junction berfungsi secara tidak normal
dan menyebabkan kelemahan otot menahun. Penyakit ini lebih sering terjadi
pada wanita dan biasanya mulai timbul pada usia 20-40 tahun.

Miastenia gravis adalah salah satu penyakit gangguan autoimun yang mengganggu
sistem sambungan saraf (synaps). Pada penderita miastenia gravis, sel antibodi tubuh
atau kekebalan akan menyerang sambungan saraf yang mengandung acetylcholine
(ACh), yaitu neurotransmiter yang mengantarkan rangsangan dari saraf satu ke saraf
lainnya. Jika reseptor mengalami gangguan maka akan menyebabkan defisiensi,
sehingga komunikasi antara sel saraf dan otot terganggu dan menyebabkan kelemahan
otot.

Penyebab
 Penyebab pasti reaksi autoimun atau sel antibodi yang menyerang reseptor
acetylcholine belum diketahui. Tapi pada sebagian besar pasien, kerusakan
kelenjar thymus menjadi penyebabnya. Maka itu kebanyakan si penderita akan
menjalani operasi thymus. Tapi setelah thymus diangkat juga belum ada jaminan
penyakit autoimun ini akan sembuh.
 Thymus adalah organ khusus dalam sistem kekebalan yang memproduksi antibodi.
Organ ini terus tumbuh pada saat kelahiran hingga pubertas, dan akan menghilang
seiring bertambahnya usia. Tapi pada orang-orang tertentu, kelenjar thymus terus
tumbuh dan membesar, bahkan bisa menjadi ganas dan menyebabkan tumor pada
kelenjar thymus (thymoma). Pada kelenjar thymus, sel tertentu pada sistem
kekebalan belajar membedakan antara tubuh dan zat asing. Kelenjar thymus juga
berisi sel otot (myocytes) dengan reseptor acetylcholine.
Anatomi dan Fisiologi Neuro Muscular Junction
 Di bagian terminal dari saraf motorik terdapat sebuah pembesaran yang biasa
disebut bouton terminale atau terminal bulb. Terminal Bulb ini memiliki membran
yang disebut juga membran pre-synaptic, struktu ini bersama
dengan membran post-synpatic (pada sel otot) dan celah synaptic (celah
antara 2 membran)membentuk Neuro Muscular Junction.
 Membran Pre-Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan dalam bentuk
vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka Ca+ Voltage Gated Channel akan
teraktivasi. Terbukanya channel ini akan mengakibatkan terjadinya influx Calcium.
Influx ini akan mengaktifkan vesikel-vesikel tersebut untuk bergerak ke tepi
membran. Vesikel ini akan mengalami docking pada tepi membran. Karena proses
docking ini, maka asetilkolin yang terkandung di dalam vesikel tersebut akan
dilepaskan ke dalam celah synaptic.
 ACh yang dilepaskan tadi, akan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChR) yang
terdapat pada membran post-synaptic. AChR ini terdapat pada lekukan-lekukan
pada membran post-synaptic. AChR terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2 alpha,
dan masing-masing satu beta, gamma, dan delta. Subunit-subunit ini tersusun
membentuk lingkaran yang siap untuk mengikat ACh.
 Ikatan antara ACh dan AChR akan mengakibatkan terbukanya gerbang Natrium
pada sel otot, yang segera setelahnya akan mengakibatkan influx Na+. Influx Na+
ini akan mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada membran post-synaptic. Jika
depolarisasi ini mencapai nilai ambang tertentu (firing level), maka akan terjadi
potensial aksi pada sel otot tersebut. Potensial aksi ini akan dipropagasikan
(dirambatkan) ke segala arah sesuai dengan karakteristik sel eksitabel, dan
akhirnya akan mengakibatkan kontraksi.
 ACh yang masih tertempel pada AChR kemudian akan dihidrolisis oleh enzim
Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang cukup banyak pada
celah synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat. Kolin kemudian
akan kembali masuk ke dalam membran pre-synaptic untuk membentuk ACh lagi.
Proses hidrolisis ini dilakukan untuk dapat mencegah terjadinya potensial aksi terus
menerus yang akan mengakibatkan kontraksi terus menerus.
Patofisiologi Myasthenia Gravis
 Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline
Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang tetap
dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju
membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada
jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang
diaktifkan oleh impuls tertentu. inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada
pasien.
 Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses auto-immun di
dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan
merusak membran post-synaptic. Menurut Shah pada tahun 2006, anti-
AChR bodies ditemukan pada 80%-90% pasien Myasthenia Gravis. Percobaan
lainnya, yaitu penyuntikan mencit dengan Immunoglobulin G (IgG) dari pasien
penderitaMyasthenia Gravis dapat mengakibatkan gejala-gejala Myasthenic pada
mencit tersebut, ini menujukkan bahwa faktor immunologis memainkan peranan
penting dalam etiology penyakit ini.
 Alasan mengapa pada penderita Myasthenia Gravis, tubuh menjadi kehilangan
toleransi terhadap AChR sampai saat ini masih belum diketahui. Sampai saat
ini, Myasthenia Gravis dianggap sebagai penyakit yang disebabkan oleh sel B,
karena sel B lah yang memproduksi anti-AChR bodies. Namun, penemuan baru
menunjukkan bahwa sel T yang diproduksi oleh Thymus, memiliki peranan penting
pada patofisiologis penyakit Myasthenia Gravis. Hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya penderita Myasthenicmengalami hiperplasia thymic dan thymoma.

Strabismus dan ptosis pada penderita dengan myasthenia gravis


mencoba membuka mata. Blepharoptosis pada mata
Tanda Dan Gejala
Myasthenia Gravis ditandai dengan kelemahan pada otot, yang memburuk ketika
digerakkan dan membaik ketika beristirahat. Karakteristik yang lain adalah sebagai
berikut : Kelemahan otot ekstra okular (Extra Ocular Muscle) atau biasa
disebut Ptosis. Kondisi ini terjadi pada lebih dari 50% pasien. Gejala ini seringkali
menjadi gejala awal dr Myasthenia Gravis, walaupun hal ini masih belum diketahui
penyebabnya. Kelemahan otot menjalar ke otot-otot okular, fascial dan otot-otot bulbar
dalam rentang minggu sampai bulan. Pada kasus tertentu kelemahan EOM bisa tetap
bertahan selama bertahun-tahun Sebagian besar mengalami kelemahan. Perbaikan
secara spontan sangat jarang terjadi, sedangkan perbaikan total hampir tidak pernah
ditemukan.
Gejala-gejala miastenia gravis pada pasein usia produktif antara lain
 Kelopak mata turun sebelah atau layu (asimetrik ptosis)
 Penglihatan ganda
 Kelemahan otot pada jari-jari, tangan dan kaki (seperti gejala stroke tapi tidak
disertai gejala stroke lainnya)
 Gangguan menelan
 Gangguan bicara
 Dan gejala berat berupa melemahnya otot pernapasan (respiratory paralysis), yang
biasanya menyerang bayi yang baru lahir

Gejala-gejala ringan biasanya akan membaik setelah beristirahat, tetapi bisa muncul
kembali bila otot kembali beraktifitas. Penyakit miastenia gravis ini bisa disembuhkan
tergantung kerusakan sistem saraf yang dialami.

 Bisa terjadi kesulitan dalam berbicara dan menelan serta kelemahan pada lengan
dan tungkai.
 Kesulitan dalam menelan seringkali menyebabkan penderita tersedak.
 Yang khas adalah otot menjadi semakin lemah. Penderita mengalami kesulitan
dalam menaiki tangga, mengangkat benda dan bisa terjadi kelumpuhan.
 Sekitar 10% penderita mengalami kelemahan otot yang diperlukan untuk
pernafasan (krisis miastenik).
Klasifikasi Myasthenia Gravis berdasarkan The Medical Scientific Advisory
Board (MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) :
 Class I Kelemahan otot okular dan Gangguan menutup mata, Otot lain masih
normal
 Class II Kelemahan ringan pada otot selain okular, Otot okular meningkat
kelemahannya
 Class IIa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit mempengaruhi otot-otot
oropharyngeal
 Class IIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga
mempengaruhi ekstrimitas
 Class III Kelemahan sedang pada otot selain okuler, Meningkatnya kelemahan
pada otot okuler
 Class IIIa Mempengaruhi ektrimitas , Sedikit mempengaruhi otot-otot
oropharyngeal
 Class IIIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga
mempengaruhi ekstrimitas
 Class IV Kelemahan berat pada selain otot okuler, Kelemahan berat pada otot
okuler
 Class IVa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit pengaruh pada otot-otot
oropharyngeal
 Class IVb Terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan dan oropharyngeal,
Juga mempengruhi otot-otot ekstrimitas
 Class V Pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus post-operative)
Diagnosis
 Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya, yaitu jika seseorang mengalami
kelemahan umum, terutama jika melibatkan otot mata atau wajah, atau kelemahan
yang meningkat jika otot yang terkena digunakan atau berkurang jika otot yang
terkena diistirahatkan.
 Obat yang dapat meningkatkan jumlah asetilkolin dipakai untuk melakukan
pengujian guna memperkuat diagnosis.
Yang paling sering digunakan untuk pengujian adalah edrofonium. Jika obat ini
disuntikkan intravena, maka untuk sementara waktu akan memperbaiki kekuatan
otot pada penderita miastenia gravis.
 Pemeriksaan diagnostik lainnya adalah penilaian fungsi otot dan saraf dengan
elektromiogram dan pemeriksaan darah untuk mengetahui adanya antibodi
terhadap asetilkolin.
 Beberapa penderita memiliki tumor pada kelenjar timusnya (timoma), yang
mungkin merupakan penyebab dari kelainan fungsi sistem kekebalannya.

CT scan dada dilakukan untuk menemukan adanya timoma.

Diagnosis
 Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya, yaitu jika seseorang mengalami
kelemahan umum, terutama jika melibatkan otot mata atau wajah, atau kelemahan
yang meningkat jika otot yang terkena digunakan atau berkurang jika otot yang
terkena diistirahatkan.
 Pemeriksaan diagnostik lainnya adalah penilaian fungsi otot dan saraf dengan
elektromiogram dan pemeriksaan darah untuk mengetahui adanya antibodi
terhadap asetilkolin.
 Beberapa penderita memiliki tumor pada kelenjar timusnya (timoma), yang
mungkin merupakan penyebab dari kelainan fungsi sistem kekebalannya.
 CT scan dada dilakukan untuk menemukan adanya timoma.
Pengobatan
 Memberi obat-obatan yang bisa menekan reaksi autoimun atau antibodi yang
menyerang acetylcholine
 Cuci darah atau hemodialisis, dengan menyaring antibodi dan membuatnya tidak
aktif lagi
 Pada penderita thymoma, maka tumor pada kelenjar thymus harus dioperasi
 Obat yang dapat meningkatkan jumlah asetilkolin dipakai untuk melakukan
pengujian guna memperkuat diagnosis. Yang paling sering digunakan untuk
pengujian adalah edrofonium. Jika obat ini disuntikkan intravena, maka untuk
sementara waktu akan memperbaiki kekuatan otot pada penderita miastenia
gravis.
Referensi
1. Conti-Fine BM, Milani M, Kaminski HJ (2006). “Myasthenia gravis: past, present,
and future”. J. Clin. Invest. 116 (11): 2843–54.
2. McGrogan A, Sneddon S, de Vries CS (2010). “The incidence of myasthenia gravis:
a systematic literature review”. Neuroepidemiology 34 (3): 171–183.
3. Jaretzki A, Barohn RJ, Ernstoff RM, et al. (2000). “Myasthenia gravis:
recommendations for clinical research standards. Task Force of the Medical
Scientific Advisory Board of the Myasthenia Gravis Foundation of
America”. Neurology 55 (1): 16–23.
4. Scherer K, Bedlack RS, Simel DL. (2005). “Does this patient have myasthenia
gravis?”. JAMA 293 (15): 1906–14.
5. Bedlack RS, Sanders DB. (2000). “How to handle myasthenic crisis. Essential steps
in patient care”.Postgrad Med 107 (4): 211–4, 220–2.
6. Losen M, Stassen MH, Martínez-Martínez P, et al. (2005). “Increased expression of
rapsyn in muscles prevents acetylcholine receptor loss in experimental autoimmune
myasthenia gravis”. Brain 128 (Pt 10): 2327–37.
7. Thorlacius, S.; et al., J. A.; Riise, T.; Matre, R.; Johnsen, H. J. (1989). “Associated
disorders in myasthenia gravis: autoimmune diseases and their relation to
thymectomy”. Acta Neurologica Scandinavica 80 (4): 290–295.
8. Baets, M.H.; H.J.G.H. Oosterhuis (1993). Myasthenia gravis. DRD Press. p. 158.
9. Leite MI, Jacob S, Viegas S, et al. (July 2008). “IgG1 antibodies to acetylcholine
receptors in ‘seronegative’ myasthenia gravis”. Brain 131 (Pt 7): 1940–52.
10. Thieben MJ, Blacker DJ, Liu PY, Harper CM Jr, Wijdicks EF (2005). “Pulmonary
function tests and blood gases in worsening myasthenia gravis”. Muscle Nerve 32
(5): 664–667.
11. Myasthenia gravis: management of myasthenic crisis and perioperative
care”. Semin Neurol 24 (1): 75–81.
12. Goldenberg, W.D. and Shah, A.K. “Myasthenia Gravis”. eMedicine. Retrieved 5 May
2012.
13. Cup E.H., Pieterse A.J., ten Broek-Pastoor J.M., Munneke M., van Engelen B.G.,
Hendricks H.T., van der Wilt G.J., Oostendorp R.A., EH; Pieterse, AJ; Ten Broek-
Pastoor, JM; Munneke, M; Van Engelen, BG; Hendricks, HT; Van Der Wilt, GJ;
Oostendorp, RA (2007). “Exercise therapy and other types of physical therapy for
patients with neuromuscular diseases: a systematic review”. Archives of Physical
Medicine and Rehabilitation 88 (11): 1452–64.

Anda mungkin juga menyukai