Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Laporan Proyek
untuk memenuhi tugas matakuliah Genetika II
yang dibimbing oleh Prof. Dr. Aloysius Duran Corebima, M.Pd
Disusun oleh:
kelompok 3 / offering B
Ifa Widayati (150341601080)
Lia Alfiani Rosyida (150341606455)
Ludvia Wijareni (150341607406)
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
Fertilisasi dari berbagai macam sel telur oleh sperma homozigot resesif
dan heterozigot menghasilkan populasi keturunan yang diantaranya menunjukkan
fenotipe rekombinan non parental, dengan menghitung keturunan rekombinan
maka dapat dilihat jarak antar gen dan dapat dibuat peta tautan. Peta tautan adalah
peta genetik yang dibuat berdasarkan frekuensi-frekuensi rekombinasi (Campbell,
2008). Pemetaan kromosom dibuat guna untuk mengetahui posisi-posisi relatif
gen-gen pada kromosom-kromosom yang sama. Semakin jauh jarak antara dua
gen, semakin jauh pula titik-titik diantara kedua tempat pindah silang akan dapat
terjadi (Corebima, 2013).
D. melanogaster atau lalat buah digunakan sebagai objek dalam penelitian
ini karena mempunyai beberapa kelebihan yaitu mudah dipelihara dan
distribusinya kosmopolitan, sehingga mudah diperoleh. Strain yang digunakan
adalah bcl, dp, bvg, dan cl, alasan menggunakan stain tersebut adalah pada F1
persilangan single mutan dan double mutan yakni ♀bvg >< ♂cl dan ♀bcl >< ♂dp
, akan diperoleh anakan normal heterozigot kemudian disilangkan sesamanya
guna memperoleh hasil anakan F2 yang telah terjadi single dan double crossing
over sehingga memperoleh 5 macam anakan. Sehingga dengan membuat peta
tautan/pemetaan kromosom dari persilangan ♀bvg >< ♂cl dan ♀bcl >< ♂dp maka
nantinya akan diketahui jarak antara gen-gen yang barada pada strain b, vg, cl, dan
b, cl, dp.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti melakukan penelitian untuk
membuktikan masalah tersebut dengan judul “Pemetaan Kromosom dengan
Metode Crossing Over Persilangan Trihibridisasi Pada D. Melanogaster ♀bvg ><
♂cl dan ♀bcl >< ♂dp.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, dapat di rumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah pemetaan kromosom dari persilangan ♀bvg >< ♂cl?
2. Bagaimanakah pemetaan kromosom dari persilangan ♀bcl >< ♂dp?
3
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pemetaan kromosom dari persilangan ♀bvg >< ♂cl.
2. Mengetahui pemetaan kromosom dari persilangan ♀bcl >< ♂dp.
4
2. Crossing over adalah proses penukaran segmen dari kromatid-kromatid
bukan kakak beradik dari sepasang kromosom homolog (Suryo, 2008).
3. Single crossing over adalah pindah silang yang terjadi pada satu tempat
(Suryo, 2013).
4. Double crossing over adalah pidah silang yang terjadi pada dua tempat
(Suryo,2013).
5. Persilangan F1 adalah keturunan pertama dari perkawinan antara individu
jantan dan betina.
6. Persilangan F2 adalah hasil keturunan kedua dari perkawinan antara individu
jantan dan betina dari hasil persilangan F1
7. Fenotipe adalah karakter yang dapat diamati pada suatu individu yang
merupakan hasil suatu interaksi genotip dengan lingkungan tempat hidup dan
berkembang (Corebima, 2013).
8. Double mutan adalah individu yang mengalami 2 mutasi pada tubunya.
(Suryo,2013)
9. Trihibrid adalah persilangan antara dua individu jantan dan betina dengan
tiga sifat beda (Corebima, 2013).
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
6
berukuran lebih kecil dari lalat betina, dan mempunyai bintik hitam di bagian
abdomennya (Kimball, 1983).
7
Gambar 2.1 Pindah silang tunggal (single crossing over)
(Sumber: Snustad, 2012)
8
pindah silang (Suryo, 2013). Besarnya nilai pindah silang (Nps) dapat dihitung
menggunakan rumus berikut.
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑖𝑝𝑒 𝑟𝑒𝑘𝑜𝑚𝑏𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖
𝑁𝑝𝑠 = 𝑥 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
Menurut Suryo (1996), jumlah perbandingan antara individu tipe parental
dengan individu rekombinan biasanya berbeda cukup jauh. Nilai pindah silang
kurang dari 50% karena,
1. hanya dua dari empat kromatid saja yang ikut mengambil bagian pada
peristiwa pindah silang
2. pindah silang ganda akan mengurangi banyaknya tipe rekombinasi yang
dihasilkan.
Menurut Suryo (2013), faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
pindah silang antara lain,
1. temperatur yang melebihi atau kurang dari temperatur biasa dapat
memperbesar kemungkinan terjadinya pindah silang.
2. makin tua umur suatu individu, maka kemungkinan terjadinya pindah silang
semakin kecil.
3. jarak antara gen-gen yang terangkai. Makin jauh letak satu gen dengan gen
lainnya, makin besar kemungkinan terjadinya pindah silang.
4. jenis kelamin mempengaruhi terjadinya pindah silang. Pada umumnya pindah
silang dijumpai pada makhluk hidup betina maupun jantan. Akan tetapi ada
perkecualian, yaitu pada ulat sutera (Bombix mori) betina tidak pernah terjadi
pindah silang.
5. penyinaran dengan sinar-X dapat memperbesar kemungkinan pindah silang.
6. zat kimia tertentu dapat memperbesar kemungkinan pindah silang.
2.4 Pemetaan Kromosom
Suryo (2010) menyatakan bahwa peta kromosom adalah gambar skema
sebuah kromosom yang dinyatakan sebagai sebuah garis lurus dimana
diperlihatkan lokus setiap gen yang terletak pada kromosom itu. Pemetaan
kromosom dilakukan dengan cara memanfaatkan data frekuensi rekombinasi
(hasil persilangan) yang merupakan akibat dari peristiwa pindah silang yang
terjadi selama meiosis. Informasi yang terungkap dari data frekuensi rekombinan
adalah jarak relatif antara dua faktor (gen) pada suatu kromosom. Jarak relatif
9
antara dua faktor (gen) itulah yang selanjutnya digunakan untuk memperlihatkan
posisi relatif faktor-faktor (gen) pada kromosom itu, dalam arti bahwa posisi salah
satu faktor dipandang sebagai posisi awal atau 0,0 (Corebima, 2013).
Di dalam gen terdapat lokus yang berupa angka untuk menunjukan jarak
antara gen itu dengan sentromer atau jarak antara satu gen dengan gen yang yang
lain, jarak itu ditandai dengan ukuran unit dan 1 unit = 1% pindah silang (Suryo,
2013).
6,2 10
__0_________________p________________q_
Gambar 2.3 Contoh Peta Kromosom
(Sumber: Suryo, 2013)
Contoh pada gambar di atas yaitu pada lokus gen p tertulis angka 6,2. Hal
ini menunjukkan bahwa jarak antara sentromer ke gen p ialah 6,2 unit. Pada lokus
gen q tertulis angka 10, yang menunjukkan bahwa jarak antar gen p dan q, ialah
10 – 6,2 = 3,8 unit. Jarak antar gen p dan q tersebut disebut dengan jarak peta,
sedangkan peta kromosom tanpa menunjukan letak sentromer dinamakan peta
relatif (Suryo, 2013).
13 17,7 26,2
Misal: __r__________s__________________t____
Gambar 2.4 Menunjukan peta relatip. Jarak antar gen r - s = 4,7; s – t = 8,5 unit; r – t = 13,2 unit
(sumber: Suryo, 2013)
10
Gambar 2.5 Partial genetic map atau peta suatu bagian gen pada empat kromosom D.
melanogaster. Kromsosm I merupakan kromosom X, dan kromosom IV tidak digambar
dengan suatu skala tertentu, melainkan menunjukkan ukuran kromosom yang reltif kecil
(Sumber : Klug dkk, 2012)
2.5 Interferensi Genetik
Muller mengamati sebuah fenomena dimana terjadi satu persimpangan
yang mengganggu terjadinya persimpangan lain pada pasangan kromosom
homolog yang dinamakan fenomena interferensi. Pengkajian lebih lanjut
dilakukan tentang peluang peristiwa-peristiwa rekombinan pada suatu kromosom
tersebut berdiri sendiri satu sama lain atau ada interferensi. Menurut Suryo (2013)
interferensi adalah peristiwa pindah silang yang terjadi pada satu tempat tertentu
yang menghambat terjadinya pindah silang lainnya yg berdekatan. Interferensi
dapat dihitung dengan cara I = 1 – c. Besarnya c disebut koefisien koinsiden yang
merupakan hasil bagi (rasio), antara frekuensi peristiwa rekombinasi ganda yang
terjadi dan yang diharapkan (Corebima, 2013).
11
Besarnya nilai interferensi sangat tergantung kepada letak gen yang
terlibat pada peristiwa pindah silang. Apabila letak letak gen itu sangat jauh satu
sama lain atau tepisah oleh sentromer, maka nilai I dapat menajadi 0, sebaliknya
jika jarak kedua gen semakin dekat satu sama lain, maka nilai I semakin besar
(Corebima, 2013). Nilai interferensi yang memiliki rentang dari 0 – 1 disebut
interferensi positif. Nilai interferensi positif memperlihatkan bahwa pindah silang
pertama mempengaruhi (mengganggu) kejadian pindah silang kedua yang
berlangsung di dekatnya (Corebima, 2013).
Gen-gen yang terletak pada kromosom yang sama dan cenderung diwariskan berasama-
sama dalam persilangan genetik disebut sebagai gen-gen tertaut.
Pindah silang adalah proses penukaran segmen dari kromatid-kromatid bukan saudara dari
sepasang kromosom homolog
12
Menghasilkan frekuensi rekombinan.
13
BAB III
METODE PENELITIAN
14
3.5 Prosedur Kerja
3.5.1 Pembuatan Medium
1. Ditimbang bahan-bahan yang diperlukan dalam membuat medium, yakni
pisang rajamala, tape singkong dan gula merah dengan perbandingan 7:2:1
(700:200:100 gram) untuk satu resep.
2. Diiris bahan-bahan tersebut menjadi potongan-potongan kecil dan ditimbang
serta ditambahkan air secukupnya.
3. Dihaluskan bahan-bahan dengan menggunakan blender.
4. Dimasukkan bahan-bahan yang telah halus ke dalam panci.
5. Dimasak bahan-bahan selama 45 menit dan ditambahkan air secukupnya.
6. Dimasukkan medium ke dalam botol selai dan ditutup dengan spons dalam
keadaan panas.
7. Direndam pada baskom yang berisi air dingin dan ditunggu hingga dingin.
8. Ditambahkan yeast kurang lebih 5 butir setelah medium dlam botol dingin.
9. Dimasukkan kertas pupasi dalam botol biakan tersebut dan ditutup dengan
spons.
15
6. Bila telah terdapat pupa berwarna hitam, pupa tersebut diampul dalam selang
hingga menetas.
3.5.4 Persilangan F1
1. Diampul pupa yang sudah hitam dengan strain bvg, cl, bcl, dan dp.
2. Disilangkan pupa yang menetas dengan persilangan ♂bvg><♀cl dan
♂bcl><♀dp, masing-masing 3 kali ulangan (usia lalat maksimal 3 hari).
3. Diberi label sesuai strain, ulangan, dan tanggal.
4. Dilepaskan induk jantan setelah persilangan dua hari.
5. Dipindahkan induk betina setelah muncul larva.
6. Diambil pupa hitam hasil persilangan F1.
7. Diamati fenotip anakan hasil persilangan F1.
8. Diampul pupa hasil persilangan F1 yang akan digunakan untuk persilangan F2.
3.5.5 Persilangan F2
1. Disilangkan ♂N><♀N dari persilangan F1.
2. Dilepaskan indukan jantan setelah persilangan berumur 2 hari.
3. Setelah muncul larva pada persilangan tersebut, induk betina dipindahkan ke
botol B hingga botol D.
4. Diamati fenotip dan jumlah anakan dari pupa yang menetas sampai hari ke-7.
5. Dimasukkan hasil pengamatan pada data pengamatan.
16
cl
bvg
vg
b
N
dp
2 ♀bcl >< ♂dp bcl
cl
b
17
BAB IV
DATA DAN ANALISA DATA
4.1 DATA
4.1.1 Hasil Pengamatan Fenotip
Tabel 4.1. Ciri-ciri Fenotip Strain Parental/Indukan
No Strain Gambar Keterangan
18
Warna tubuh kuning kecoklatan
Mata berwarna merah
Faset mata halus
5 N
Sayap menutupi tubuh dengan
sempurna
(sumber : Dokumen Pribadi)
Warna tubuh kuning kecoklatan
Mata berwarna merah
Sayap tidak menutupi tubuh
6 vg
dengan sempurna, ujung sayap
berlekuk
(sumber : Dokumen Pribadi)
Tabel 4.5. Anakan Dari Persilangan ♀N (♀bcl >< ♂dp) >< ♂N (♀bcl >< ♂dp)
Persilangan Fenotip U1 U2 U3 Total
19
N 35 109 60 204
P1 ♀bcl >< dp 9 20 26 55
♂dp bcl 6 25 10 41
P2 ♀N >< cl 2 16 14 32
♂N b 5 6 10 21
Total 353
20
vg vg+ vg vg+
cl cl+ cl cl+
Single crossing over 2 (SCO II)
b+ b b+ b
vg+ vg vg+ vg
cl+ cl cl+ cl
F2 =
♂ b+vg+cl b vg cl+
♀
b+vg+cl Cl N
b vg cl+ N bvg
b+vg cl N vg
b vg+cl Cl b
b+vg cl Cl vg
b vg+cl+ N b
b+vg+cl+ N N
b vg cl Cl bvg
Anakan : N: cl : bvg : vg : b
6: 4: 2: 2: 2
21
G2 = b b+ b b b+ b+
cl cl+ cl cl cl+ cl+
dp+ dp dp+ dp+ dp dp
Single crossing over 1 (SCO I)
b b+ b b+
cl+ cl cl+ cl
dp dp+ dp dp+
Double crossing over (DCO)
b b+ b b+
cl+ cl cl+ cl
dp+ dp dp+ dp
Single crossing over 2 (SCO II)
b b+ b b+
cl cl+ cl cl+
dp dp+ dp dp+
F2 =
♂ b cl dp+ b+cl+dp
♀
b cl dp+ bcl N
b+cl+dp N dp
b cl+dp b dp
b+cl dp+ cl N
b cl+dp+ b N
b+cl dp cl dp
b cl dp bcl dp
b+cl+dp+ N N
Anakan : N: dp : bcl : cl : b
6: 4: 2: 2: 2
22
♂ b+vg+cl b vg cl+
♀
b+vg+cl cl N
b vg cl+ N bvg
Kemungkinan 2 rekombinasi cl (single crossing over)
♂ b+vg+cl b vg cl+
♀
b+vg+cl+ N N
b vg cl cl bvg
Kemungkinan 3 rekombinasi vg (double crossing over)
♂ b+vg+cl b vg cl+
♀
b+vg cl cl vg
b vg+cl+ N b
Kemungkinan 4 rekombinasi b (single crossing over)
♂ b+vg+cl b vg cl+
♀
b vg+cl cl b
b+vg cl+ N vg
Persamaan
𝟐 𝟐 𝟏 𝟏
N = 𝟒 P + 𝟒 Rcl + 𝟒 Rvg + 𝟒 Rb
2 2 1 1
352 = 4 P + 4 Rcl + 4 Rvg + 4 Rb
𝟏 𝟏
bvg = 𝟒 P + 𝟒 Rcl
1 1
71 = 4 P + 4 Rcl
𝟏 𝟏 𝟏 𝟏
cl = 𝟒 P + 𝟒 Rcl + 𝟒 Rvg + 𝟒 Rb
1 1 1 1
177 = 4 P + 4 Rcl + 4 Rvg + 4 Rb
𝟏 𝟏
vg = 𝟒 Rvg + 𝟒 Rb
1 1
106 = 4 Rvg + 4 Rb
23
𝟏 𝟏
b = 𝟒 Rvg + 𝟒 Rb
1 1
145 = 4 Rvg + 4 Rb
700 = P + Rcl
700 = 426 + Rcl
Rcl = 700 – 426
Rcl = 274
Nilai Rb
1 1 1 1
177 = 4 P + 4 Rcl + 4 Rvg + 4 Rb (x4)
424 = Rvg + Rb
424 = Rvg + 8 – Rvg
424 – 8 = Rvg – Rvg
416 =0
(Tidak bisa dipetakan)
24
4.2.1.3 Pemetaan Kromosom dari persilangan ♀bcl >< ♂dp
Kemungkinan 1 parental
♂ b+cl+dp b cl dp+
♀
b+cl+dp dp N
b cl dp+ N bcl
Kemungkinan 2 rekombinasi b (single crossing over)
♂ b+cl+dp b cl dp+
♀
b cl+dp dp b
b+cl dp+ N cl
Kemungkinan 3 rekombinasi cl (double crossing over)
♂ b+cl+dp b cl dp+
♀
b cl+ dp+ N b
b+cl dp dp cl
Kemungkinan 4 rekombinasi dp (single crossing over)
♂ b+cl+dp b cl dp+
♀
b cl dp dp bcl
b+cl+dp+ N N
Persamaan
𝟐 𝟏 𝟏 𝟐
N = 𝟒 P + 𝟒 Rb + 𝟒 Rcl + 𝟒 Rdp
2 1 1 2
204 = 4 P + 4 Rb + 4 Rcl + 4 Rdp
𝟏 𝟏
bcl = 𝟒 P + 𝟒 Rdp
1 1
41 = 4 P + 4 Rdp
𝟏 𝟏
b = 𝟒 Rb + 𝟒 Rcl
1 1
21 = 4 Rb + 4 Rcl
𝟏 𝟏
cl = 𝟒 Rb + 𝟒 Rcl
25
1 1
32 = 4 Rb + 4 Rcl
𝟏 𝟏 𝟏 𝟏
dp = 𝟒 P + 𝟒 Rb + 𝟒 Rcl + 𝟒 Rdp
1 1 1 1
55 = 4 P + 4 Rb + 4 Rcl + 4 Rdp
596 = P + Rdp
596 = 177 + Rdp
Rdp = 596 – 177
Rdp 419
Nilai Rb
1 1 1 1
55 = 4 P + 4 Rb + 4 Rcl + 4 Rdp (x4)
128 = Rb + Rcl
128 = -376 – Rcl + Rcl
128 + 376 = Rcl – Rcl
504 =0
(Tidak bisa dipetakan)
26
Akibat kedua persilangan kami tidak dapat di petakan karena nilai nya 0
maka kami menganalisis hasil penelitian dari Joshua Hanau yang berjudul linkage
mapping in Drosophila melanogaster, pada tahun 2012. Ia menyilangkan 3 mutan
yakni e (diumpamakan mutasi pada warna mata), br (diumpamakan mutasi pada
sayap), dan bc (diumpamakan mutasi pada warna tubuh) yang berada pada
kromosom nomor 1. Dengan rekonstruksi persilangan sebagai berikut.
P1 = ♀e br bc (homozigot) >< ♂N (homozigot)
e br bc >< e+br+bc+
e br bc e+br+bc+
G1 = e br bc , e+br+bc+
F1 = e+br+bc+ (N heterozigot)
e br bc
P2 = ♀N (heterozigot) >< ♂e bc br (homozigot) (testcross)
e+br+bc+ ><e br bc
e br bc e br bc
G2 = e+ e e+ e+ e e
br+ br br+ br+ br br
bc+ bc bc+ bc+ bc bc
27
F2 =
♂ 𝒆 𝒃𝒓 𝒃𝒄
♀
𝑒 + 𝑏𝑟 + 𝑏𝑐 + N
Parental
𝑒 𝑏𝑟 𝑏𝑐 e br bc
𝑒 + 𝑏𝑟 + 𝑏𝑐 Bc
𝑒 𝑏𝑟 𝑏𝑐 + e br
SCO
𝑒 𝑏𝑟 + 𝑏𝑐 + e
𝑒 + 𝑏𝑟 𝑏𝑐 br bc
𝑒 + 𝑏𝑟 𝑏𝑐 + br
𝑒 𝑏𝑟 + 𝑏𝑐 e bc DCO
♀ ♂ 𝒆 𝒃𝒓 𝒃𝒄 Jumlah
𝑒 + 𝑏𝑟 + 𝑏𝑐 + N 181
𝑒 𝑏𝑟 𝑏𝑐 𝑒 𝑏𝑟 𝑏𝑐 186
𝑒 + 𝑏𝑟 + 𝑏𝑐 𝑏𝑐 12
𝑒 𝑏𝑟 𝑏𝑐 + 𝑒 𝑏𝑟 21
𝑒 𝑏𝑟 + 𝑏𝑐 + 𝑒 2
𝑒 + 𝑏𝑟 𝑏𝑐 𝑏𝑟 𝑏𝑐 2
28
𝑒 + 𝑏𝑟 𝑏𝑐 + 𝑏𝑟 48
𝑒 𝑏𝑟 + 𝑏𝑐 𝑒 𝑏𝑐 63
Total 515
Turunan ♀ ♂ 𝒆 𝒃𝒓 𝒃𝒄 Jumlah
𝑒 + 𝑏𝑟 + 𝑏𝑐 + N 181
Parental
𝑒 𝑏𝑟 𝑏𝑐 𝑒 𝑏𝑟 𝑏𝑐 186
bc berekombinasi 𝑒 + 𝑏𝑟 + 𝑏𝑐 𝑏𝑐 12
dengan e dan br 𝑒 𝑏𝑟 𝑏𝑐 + 𝑒 𝑏𝑟 21
e berekombinasi 𝑒 𝑏𝑟 + 𝑏𝑐 + 𝑒 2
dengan be dan bc 𝑒 + 𝑏𝑟 𝑏𝑐 𝑏𝑟 𝑏𝑐 2
br berekombinasi 𝑒 + 𝑏𝑟 𝑏𝑐 + 𝑏𝑟 48
dengan e dan bc 𝑒 𝑏𝑟 + 𝑏𝑐 𝑒 𝑏𝑐 63
Jumlah 515
29
Dengan mengetahui jarak antar gen tersebut dapat diketahi bahwa
bc merupakan strain tan body, e merupakan strain vermilion eyes, dan bc
merupakan strain forked bistles.
33 +111+4+4
% bc—br = = 0,295 = 29,5
515
30
F2 =
♂ 𝒃𝒄 𝒆 𝒃𝒓 Jumlah
♀
𝑏𝑐 + 𝑒 + 𝑏𝑟 + N 181
Parental
𝑏𝑐 𝑒 𝑏𝑟 bc e br 186
𝑏𝑐 𝑒 + 𝑏𝑟 + bc 12
SCO 1
𝑏𝑐 + 𝑒 𝑏𝑟 e br 21
𝑏𝑐 + 𝑒 𝑏𝑟 + e 2
DCO
𝑏𝑐 𝑒 + 𝑏𝑟 bc br 2
𝑏𝑐 + 𝑒 + 𝑏𝑟 br 48
SCO 2
𝑏𝑐 𝑒 𝑏𝑟 + bc e 63
Total 515
I = 𝟏 − 𝑪 = 𝟏 − 𝟎, 𝟒𝟖𝟒 = 𝟎, 𝟓𝟏𝟔
Diperoleh hasil nilai interferensi sebesar 0,516. Interferensi ini merupakan
interferensi positif, dan berdasarkan nilai koefisien koensiden nilai pindah silang
yang terjadi adalah 48,4 % dari pindah silang yang diharapakan
31
BAB V
PEMBAHASAN
32
perhitungan Rb dan Rcl sama dengan 0, menyebabkan gen-gen dari dua macam
persilangan kami tidak dapat dipetakan.
Tipe persilangan 2 titik lebih sulit di petakan karena jumlah anakan tipe
parental dan tipe rekombinannya sulit untuk dibedakan dan nilai ambiguitasnya
tinggi sehingga tidak dapat dipetakan, akan tetapi jika digunakan tescross dengan
jantan resesif bisa dipetakan dan dapat dihasilkan pemetaan kromosom yang
sebenarnya, namun tidak dapat dilakukan pada penelitian kami karena pada stok
yang tersedia tidak ada strain bvgcl resesif maka tidak dapat dipetakan.
33
Namun hasil analisis yang kami peroleh dari perhitungan Rb dan Rcl sama
dengan 0, menyebabkan gen-gen dari dua macam persilangan kami tidak dapat
dipetakan. Oleh karena itu, sama dengan persilangan ♀bvg >< ♂cl, data yang
didapat tidak dapat dipetakan. Kedua persilangan ini tidak dapat dipetakan karena
tingkat ambiguitasnya tinggi yakni antara jumlah anakan parental dan rekombinan
tidak jelas akibat dari persilangan tripel mutan, sehingga akan sulit di cari
frekuensi rekombinannya. Selain itu juga rasio perbandingan hasil anakan F2
yakni 6:4:2:2:2 tidak dapat dijadikan acuan, karena rasionya kurang tepat,
misalnya pada persilangan ♀bcl >< ♂dp anakan tipe rekombinan N dan cl jumlah
total rasionya adalah 8, jika rasio rekombinan di jumlahkan akan melebihi 50%
dari jumlah total rasio, sedangkan masih ada tipe parentalnya lagi yakni bcl dan
dp, sedangkan menurut Corebima (2013), gamet tipe parental memiliki presentase
yang paling tinggi, dan tipe rekombinan memperlihatkan gambaran yang jelas
kurang dari 50%.
Tipe persilangan 2 titik lebih sulit di petakan karena jumlah anakan tipe
parental dan tipe rekombinannya sulit untuk dibedakan dan nilai ambiguitasnya
tinggi sehingga tidak dapat dipetakan, akan tetapi jika digunakan tescross dengan
jantan resesif bisa dipetakan dan dapat dihasilkan pemetaan kromosom yang
sebenarnya, namun tidak dapat dilakukan pada penelitian kami karena pada stok
yang tersedia tidak ada strain bcldp resesif maka tidak dapat dipetakan.
5.3 Persilangan ♀ bcebr >< ♂N
Data tidak bisa dipetakan sehingga peneliti menggunakan data penelitian
mengenai persilangan tiga sifat beda pada D. melanogaster oleh Joshua Hanau
yang berjudul “Linkage Mapping in Drosophila melanogaster “ pada tahun 2012
dengan menyilangkan 3 mutan yakni e (diumpamakan mutasi pada warna mata),
br (diumpamakan mutasi pada sayap), dan bc (diumpamakan mutasi pada warna
tubuh) yang berada pada kromosom nomor 1. Pada persilangan tersebut
menghasilkan keturunan F2 sebanyak 8 gamet yang terdiri dari 6 rekombinan dan
2 parental (Campble, dkk, 2008). Pada persilangan F2 dilakukan tescross betina
normal hasil F1 dengan jantan resesif, hal ini sesuai dengan (Corebima,2013)
bahwa data persilangan tescross memperlihatkan 8 kombinasi gamet, macam tipe
34
rekombinan yang muncul dari persilangan tescross membuktikan bahwa telah
terjadi pindah silang pada individu betina selama meiosis.
Pindah silang yang terjadi pada penelitian ini ada dua macam, yakni single
crossing over dan double crossing over. Single crossing over terjadi apabila
terjadi pertukaran gen yang terdapat pada ujung kanan dan kiri, sedangkan double
crossing over terjadi apabila gen tengah terjadi pertukaran. Tipe rekombinan hasil
persilangan tescross memperlihatkan bahwa tipe rekombinan terbentuk sebagai
akibat dua peristiwa pindah silang selama periode meiosis yang sama, dalam hal
ini terbukti bahwa semua tipe rekombinan tidak dapat terbentuk sendiri-sendiri
satu sama lain. Bukti ini mempertegas konsep bahwa gen-gen tersebut tersusun
secara linier (Corebima, 2013).
Berdasarkan jurnal, anakan tipe parentalnya adalah N dan brbc sebanyak
367 anakan. Anakan tipe rekombinan bc adalah bc sebanyak 12 dan ebr sebanyak
21. Anakan tipe rekombinan e adalah e sebanyak 2 dan brbc sebanyak 2. Anakan
tipe rekombinan br adalah br sebanyak 48 dan ebc 63. Menurut Corebima (2013),
gamet tipe parental memiliki presentase yang paling tinggi, dan tipe rekombinan
memperlihatkan gambaran yang jelas kurang dari 50%. Hal ini dibuktikan dari
data yang kami peroleh yakni tipe parental sebanyak 367 dari total anakan
sebanyak 515.
Perhitungan jarak antar gen tersebut dilakukan dengan pembagian antara
frekuensi hasil pindah silang antar gen yang dimaksud dengan frekuensi total
anakan. Frekuensi hasil pindah silang antar gen tersebut merupakan hasil
penjumlahan baik antara yang terjadi SCO dan yang terjadi DCO (Suryo, 2013).
Dinyatakan kembali oleh Snustad (2012), yang menyatakan bahwa jarak antara
dua titik pada peta genetik (peta kromosom) adalah jumlah rerata dari pindah
silang di antara gen-gen tersebut.
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan diketahui bahwa jarak gen e
dan br sebesar 0,223 m.u dengan persentase sebesar 22,3%, jarak gen e dan bc
sebesar 0,072 m.u dengan persentase sebesar 7,2%, dan jarak gen bc dan br
sebesar 0,28 m.u dengan persentase sebesar 28%. Berdasarkan Corebima (2013)
bahwa satu unit peta (map unit) setara dengan 1% frekuensi rekombinan. Semakin
besar frekuensi rekombinan yang terjadi maka semakin panjang pula jarak antar
35
faktor (gen). Berdasarkan perhitungan data rujukan diketahui bahwa frekuensi
rekombinan kurang dari 50% , sehingga jelas bahwa faktor-faktor gen (e,bc,br)
terletak satu kromosom yang sama.
Besarnya nilai frekuensi ini bisa diekspresikan sebagai jarak antar gen-gen
yang mengalami pindah silang. Berdasarkan hasil perhitungan nilai frekuensi
rekombinan diketahui bahwa jarak antar gen e—br > e—bc. Sehingga saat
pembuatan peta kromosom diketahui jarak locus gen e dengan br lebih panjang
atau jauh dibanding jarak locus gen e dengan bc. Dari hasil tersebut dapat
diketahui letak gen yang berada ditengah adalah e, jadi urutannya adalah bc-e-br.
Dari hasil frekuensi rekombinansi diketahui bahwa jarak antar gen bc—br
≠ jumlah jarak antar gen bc—e dan e—br atau 28 ≠ 7,2 + 22,3. Sehingga diketahui
bahwa nilai 28 < 7,2 + 22,3, diketahui bahwa Herskowitz (1965) menyatakan
jarak (a-c) ditambah (c-b) sama dengan (a-b). Masalah tersebut dapat muncul
dikarenakan berhubungan dengan besarnya nilai interferensi yang dapat
menunjukkan adanya pengaruh peristiwa rekombinasi satu terhadap peristiwa
rekombinasi lainnya. Jika ada dua crossing over di antara sisi luar gen yakni bc—
br akan nampak jumlah rekombinan yang lebih sedikit diantara dua gen tersebut,
ini akan nampak jika jarak gen tersebut lebih dekat. Jumlah jarak pemetaan
diantara gen ini akan lebih sedikit daripada kenyataannya, tetapi hal tersebut dapat
dibenarkan jika ada dua rekombianasi yang terjadi pada interval antara bc—br
maka harus menghitungnya pada setiap kejadian single crossing over, kejadian
crossing over ini akan terjadi dikedua sisi, sehingga harus digunakan perhitungan
sebanyak dua kali dan akan menghasilkan jarak bc—br. (Anonimous, 2007)
36
sebesar 0,484. Hal ini menunjukkan bahwa ada sesuatu hal yang mengganggu
terjadinya pindah silang tersebut. Adanya suatu pindah silang yang terjadi pada
suatu tempat bisa menghambat terjadinya pindah silang di tempat lain di
sebelahnya (Suryo, 2013).
Dalam hal ini nilai interferensi yang diperoleh lebih mendekati 1 sehingga
terlihat bahwa jarak antar gen yang cukup dekat. Selain itu melihat nilai frekuensi
pindah silang ganda yang didapatkan lebih kecil di bandingkan dengan yang
diharapkan dan interferensi yang positif (I<1) yang berarti bahwa pindah silang
pertama memengaruhi pindah silang kedua yang berlangsung di dekatnya, hal
tersebut mendukung permasalahan jarak antargen pada pemetaan Dari hasil
frekuensi rekombinansi diketahui bahwa jarak antar gen bc—br ≠ jarak antar gen
bc—e ditambah e—br. Hal tersebut dikarenakan adanya peristiwa double crossing
over yang tidak teramati (Klug, 2012). Jarak gen yang tidak nampak tersebut
merupakan hasil dari frekuensi rekombinasi ganda yang terjadi x 100 x 2. Hasil
perhitungan tersebut merupakan sisa dari pengurangan jarak sebenarnya dengan
jarak yang terhitung/terjadi yakni 29,5 dan 28. Maka dari itu memperoleh selisih
1,5.
37
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
1. Tidak dapat menentukan jarak antara tiga gen pada persilangan D.
melanogaster strain ♂bvg >< ♀cl karena tipe parental dan rekombinannya
tidak dapat dibedakan dengan jelas serta rasio perbandingan 6:4:2:2:2 tidak
dapat dijadikan acuan untuk menentukan tipe parental dan rekombinan.
2. Tidak dapat menentukan jarak antara tiga gen pada persilangan D.
melanogaster strain ♂bcl >< ♀dp karena karena tipe parental dan
rekombinannya tidak dapat dibedakan dengan jelas serta rasio perbandingan
6:4:2:2:2 tidak dapat dijadikan acuan untuk menentukan tipe parental dan
rekombinan.
6.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang kami lakukan dapat diambil saran, yaitu :
1. peneliti diharapkan lebih sabar, lebih giat, dan memiliki kerja sama yang baik
antar anggota kelompok dalam melaksanakan proyek yang diberikan
memperoleh hasil dan data yang maksimal.
2. peneliti diharapkan dapat membuat medium yang baik (tidak terlalu kental dan
tidak terlalu encer) agar tidak berjamur karena akan sangat mempengaruhi
perkembangan D. melanogaster.
3. peneliti diharapkan selalu melakukan sterilisasi botol selai dan tutup gabus
saat akan digunakan.
4. peneliti diharapkan meremajakan strain dalam jumlah yang banyak dan
mengampul pupa dalam jumlah yang banyak agar peneliti memiliki banyak
stok yang akan di silangkan apabila persilangan yang terdahulu gagal.
5. peneliti diharapkan lebih teliti dalam menghitung anakan F2 agar data yang
dihasilkan valid.
6. peneliti diharapkan dapat mencegah pertumbuhan kutu yang dapat
mengganggu pertumbuhan D. melanogaster dengan memberikan kapur semut
pada seluruh bagian kardus.
38
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2007. Chapter 6 Linkage anaysis and mapping. New York. McGraw-
Hill.
Ariyanto, Joko. 2008. Buku Ajar Genetika II. (Online),
(http://www.google.com/jokoariyanto@webblog.com). Diakses tanggal 4
Oktober 2017
Campbell, N.A., dkk. 2008. Biologi Edisi kelima Jilid I. Jakarta: Erlangga
Corebima, AD. 2013. Genetika Mendel. Cetakan ketiga. Surabaya: Airlangga
University Press.
Borror, Joyce Donald. 1992. Pengenalan Pengajaran Serangga. Yogyakarta :
UGM Press
Elrod, S. & Stanfield, W. 2007. Teori dan Soal-soal Genetika Edisi Keempat.
Jakarta: Erlangga.
Hanau, Joshua, 2012. Linkage Mapping in Drosophila melanogaster. New York
Head, alexander and jean. 2014. Calculation of recombination frequencies.
(online).http://researchguides.library.vanderbilt.edu/c.php?g=156859&p=1
162098. Diakses pada 1 Desember 2017.
Kimball, John W. 1983. Biology. Alih Bahasa oleh Siti Soetarmi, dkk (1990).
Bogor: Erlangga.
Klug, W.S & Clummings M.R. 2012. Consep of Genetic. Nre Jersey: Pretince
Hall Inc. Pierce, B. Genetics: A Conceptual Approach. (New York, W. H.
Freeman & Co., 2005)
Oltmanns, Thomas F, et all. 2012. Portrait Drosophila melanogaster. New York:
McGraw Hill. Inc.
Robbins, R. J. 2000. Introduction to sex-limited inheritance in Drosophila.
Electronic Scholarly Publishing Foundations of Classical Genetics
Project. Online (http://www.esp.org/foundations/genetics/classical/thm-
10a.pdf) (diakses tanggal 4 Oktober 2017)
Snustad, D. Peter., Simmons, Michael J. 2012. Principles of Genetics Sixth
Edition. United States of America. John Wiley & Sons, Inc.
39
Sturtevant, A. H. 1913. The linear arrangement of six sex-linked factors in
Drosophila, as shown by their mode of association. Journalof
Experimental Zoology, 14: 43-59.
Suryo. 1996. Genetika. Yogyakarta: UGM Press.
Suryo, 2010. Genetika. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Profesi Guru.
Suryo. 2013. Genetika untuk Strata I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wahyuni, 2012. Pengaruh Maternal Terhadap Viabilitas Lalat Buah (Drosophila
Melanogaster Meigen) Strain Vestigial (Vg). Jember: UNEJ.
40