04 DR WORO WINANDI SH MHum
04 DR WORO WINANDI SH MHum
Oleh
Abstrak
Skripsi ini menyajikan hasil penelitian tentang beberapa masalah mengenai penjatuhan
pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika dalam UU no.35 tahun 2009 Ada
dua permasalahan pokok yang menjadi obyek penelitian, yaitu : pertama,
bagaimanakah penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika
menurut UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam praktik peradilan pidana di
Indonesia, apakah penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika
melanggar hak asasi manusia berdasarkan UUD 1945. Penjatuhan pidana mati
terhadap pelaku tindak pidana narkotika dalam praktik peradilan pidana di Indonesia
penerapannya terhadap pengimpor, pengedar narkotika golongan I jenis heroin,
kokain, dengan jumlah minimum barang bukti seberat 300 gram, serta memproduksi,
mengedarkan, mengimpor dan mengekspor.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
2
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Narotama
3
Andi Hamzah,. dan A. Sumangelipu, Pidana Mati Di Indonesia Di Masa Lalu, Kini Dan Di Masa
Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1993, h. 31.
ada, sekalipun perbuatan tersebut terjadi seizin atau dengan persetujuan orang
terhadap siapa perbuatan tersebut ditujukan, dan juga dalam ketentuan bahwa proses
penuntutan berdiri sendiri, terlepas dari kehendak pihak yang menderita kerugian
akibat perbuatan itu. Kendati demikian, tidak berarti bahwa hukum pidana abai
terhadap kepentingan para pihak.
Berbagai teori dan praktek hukum pidana yang berlaku di Indonesia saat ini
adalah hukum pidana yang berasal dan berlaku juga di negeri Belanda. Di Indonesia
masih saja memberlakukan hukum pidana peninggalan kaum penjajah, yang teks
aslinya masih bertuliskan dalam bahasa Belanda. Sebagai negara yang merdeka dan
berdaulat, Indonesia sejak lama telah melakukan usaha-usaha untuk memperbaharui
hukumnya, termasuk usaha pembaharuan di dalam lingkup hukum pidana. Pada hukum
pidana, pembaharuan yang menyeluruh harus meliputi pembaharuan hukum pidana
materiil (strafrecht), hukum pidana formal atau hukum acara pidana
(strafvorderingsrecht) dan hukum pelaksanaan pidana (stravoll streckungrecht). Ketiga
bidang hukum pidana itu harus secara bersama-sama diperbarui, sebab kalau hanya
salah satu bidang saja yang diperbaharui, dan yang lain tidak, maka akan timbul
kesulitan dalam pelaksanaannya, dan tujuan dari pembaharuan hukum dalam rangka
mewujudkan suatu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional
(berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945) tersebut tidak akan tercapai
sepenuhnya. Dengan adanya arah kebijakan hukum yang jelas, maka diharapkan
tercipta suatu kondisi kehidupan masyarakat hukum yang selaras, serasi, dan
seimbang dengan adanya suatu peraturan hukum yang benar-benar mencerminkan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Rumusan Masalah
1. Apa latar belakang terjadinya penjatuhan hukuman mati dalam tindak pidana
narkotika?
Metode Penelitian
Pendekatan Masalah
1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-
undangan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (selanjutnya
disebut dengan KUHP) dan UU Narkotika.
3. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus Hukum (black law dictionary), ensiklopedia
dan lain-lain.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Narkotika.
4
Johny Ibrahim, “Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif”, Bayumedia
Surabaya, Oktober 2005, h. 296
5
Ikin A. Ghani dan Abu Charuf, Bahaya Penyalahgunaan Narkotika dan
Penanggulangannya, Yayasan Bina Taruna, Jakarta, 1985, hal. 5
Soerdjono Dirjosisworo mengatakan bahwa pengertian narkotika: “Zat yang bisa
menimbulkan pengaruh tertentu bagi yang menggunakannya dengan memasukkan
kedalam tubuh. Pengaruh tersebut bisa berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit,
rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat
tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan dimanfaatkan bagi
pengobatan dan kepentingan manusia di bidang pembedahan, menghilangkan rasa
sakit dan lain-lain.
Salah satu persoalan besar yang tengah dihadapi bangsa Indonesia, dan juga
bangsa-bangsa lainnya di dunia saat ini adalah seputar maraknya penyalahgunaan
narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba), yang semakin hari semakin
mengkhawatirkan. Saat ini, jutaan orang telah terjerumus ke dalam ‘lembah hitam’
narkoba, ribuan nyawa telah melayang karena jeratan ‘lingkaran setan’ bernama
narkoba, telah banyak keluarga yang hancur karenanya dan tidak sedikit pula generasi
muda yang kehilangan masa depan karena perangkap ‘makhluk’ yang disebut narkoba
ini. Kita tahu bahwa pondasi utama penyokong tegaknya bangsa ini dimulai dari
keluarga, ketika keluarga hancur, rapuh pula 6 bangunan bangsa di negeri ini.
6
Soedjono Dirjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 1990, hal. 3
dilakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika.
8
Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja, Armico, Bandung,
1983, h. 6,
seseorang tanpa melalui pengawasan dokter. Jika orang yang bersangkutan menderita
kemudian menderita ketergantungan maka ia harus menjalani rehabilitasi, baik secara
medis maupun secara sosial, dan pengobatan serta masa rehabilitasinya akan
diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana, sedangkan, pelaku tindak pidana
narkotika yang berstatus sebagai bukan pengguna diklasifikasi lagi menjadi 4 (empat),
yaitu : pemilik (Pasal 111 dan 112), pengolah (Pasal 113), pembawa dan pengantar
(Pasal 114 dan 119), dan pengedar (Pasal 129).
9
Undang-Undang no. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Bening, Jogjakarta, h.
82-97.
J.M van Bemmelen Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Material Bagian Umum),
10
Terjemahan Hasnan, Bina Cipta, Bandung 1987, h. 128, dalam Mahrus Ali, Kejahatan
Korporasi Kajian Relevansi Sanksi Tindakan Bagi Penanggulangan Kejahatan
Korporasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008 h. 137.
b. Jenis-Jenis Sanksi Pidana.
a. Pidana Pokok
1. Pidana mati
2. Pidana Penjara
3. Pidana Kurungan
4. Pidana Tutupan
5. Pidana Denda
b. Pidana Tambahan
1. Pencabutan Hak-Hak Tertentu
2. Perampasan Barang Tertentu
3. Pengumuman Putusan Hakim
c. Teori Pemidanaan
Pemidanaan berasal dari kata “pidana yang sering diartikan pula dengan
hukuman. Jadi pemidanaan dapat pula diartikan dengan hukuman. Kalau orang
mendengar kata “hukuman”.Sudarto, mengemukakan: 11 “pidana tidak hanya enak
dirasa pada waktu dijalani, tetapi sesudah orang yang dikenai itu masih merasakan
akibatnya yang berupa “ cap “ oleh masyarakat, bahwa ia pernah berbuat “jahat”. Cap
ini dalam ilmu pengetahuan disebut “stigma”. Jadi orang tersebut mendapat stigma, dan
kalau ini tidak hilang, maka ia seolah-olah dipidana seumur hidup.”
d. Syarat-syarat pemidanaan.
Ada pendapat, seperti yang dikemukakan oleh van Feuerbach, bahwa pada
hakikatnya ancaman pidana mempunyai suatu akibat psikologis yang menghendaki
orang itu tertib, berhubung pidana itu merupakan sesuatu yang dirasakan tidak enak
bagi terpidana. Oleh karena itu, ditentukan syarat-syarat atau ukuran-ukuran
Dalam hal ini Sudarto, mengemukakan sebagai berikut: “syarat pertama untuk
memungkinkan adanya penjatuhan pidana ialah adanya perbuatan (manusia) yang
memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Ini adalah konsekuensi dari asa
legalitas. Rumusan delik ini penting artinya sebagai prinsip kepastian. Undang-undang
pidana sifatnya harus pasti. Di dalamnya harus dapat diketahui dengan pasti apa yang
dilarang atau apa yang diperintahkan”. 13
e. Tujuan Pemidanaan.
Biasanya teori pemidanaan dibagi dalam tiga golongan besar, dapat diuraikan
sebagai berikut:
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu
kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak
12
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung jawaban Pidana, Centra, Jakarta, 1968,
halaman 28
13
Sudarto, Op.cit. hal. 24
14
Ultercht, hukum pidana I, penerbit Universitas Bandung, 1967, halaman 158-159.
yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan
kejahatan.15
c. Teori gabungan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pidana itu mempunyai tiga macam sifat,
yaitu:
Pasal 113
Ayat 1: Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,
mengeksor atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
15
Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, h. 10-11
16
Ibid. 12
pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram,
pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau
pidanapaling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
Pasal 114
Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk di jual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Ayat 2: dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika
Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman
beratnya melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman
beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara
seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 118
Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan dipidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar
rupiah).
Pasal 119
Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak melawan hukum menawarkan untuk di jual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun dan dipidana denda paling sedikit Rp.
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Ayat 2: dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika
Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman
beratnya melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman
beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara
seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 121
Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak melawan hukum menggunakan Narkotika
Golongan II terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk
digunakan orang lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Ayat 2: dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika
Golongan II untuk di gunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku di pidana dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 144
Ayat 1: setiap orang yang jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan pengulangan tindak
pidana sebagaimana di maksud dalam pasal 111, pasal 112, pasal 113, pasal
114, pasal 115, pasal 116, pasal 117, pasal 118, pasal 119, pasal 120, pasal
121, pasal 122, pasal 123, pasal 124, pasal 125, pasal 126, pasal 127 ayat (1),
pasal 128 ayat (1), dan pasal 129, pidana maksimum ditambah dengan 1/3
(sepertiga)
Ayat 2: ancaman dengan tambahan 1/3 (sepertiga) sebagaimana dimaksud pada pasal
ayat (1) tidal berlaku bagi pelaku tindak pidana yang di jatuhi dengan pidana
mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Jadi, yang melatar belakangi terjadinya penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana
narkotika adalah banyaknya peredaran gelap narkotika yang menjadi bahaya besar
bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang akhirnya melemahkan ketahanan
dan kemampuan nasional dan juga sangat berdampak bagi kehidupan sosial,
ekonomi, politik sehingga membahayakan diri sendiri, orang lain, bangsa dan
Negara.
2. Pelaku politik, masyarakat yang marah akan kejahatan, hukuman mati, dan hak
untuk hidup, haruslah memperoleh ruang bagi penataan ulang. Hukum adalah
produk politik, akan tetapi mekanisme dan perilaku politik itu sendiri mesti diberikan
pembatasan agar ia tidak menjadi kekuatan eksesif (excessive) yang dapat
merampas hak hidup. Perlindungan masyarakat dari berbagai kejahatan, tidaklah
tergantung pada berapa banyak pelaku kejahatan mampu dihukum mati. Hak untuk
hidup tidaklah dapat dikorbankan karena kekuasaan menghendakinya, ataupun
masyarakat memberikan dukungan untuk melakukan pembalasan terhadap pelaku
kejahatan. Legitimasi masyarakat untuk mencabut hak hidup itu juga telah menjadi
alat mempertahankan kekuasaan, dan bahkan menjadi ancaman terhadap
keselamatan masyarakat itu sendiri, perubahan hukum nasional jelas adalah pintu
masuk bagi penghapusan hukuman mati. Kalau dalam konstitusi Negara telah
melahirkan pengakuan akan hak untuk hidup tidak dapat dikurangi atas alasan
apapun, maka penghapusan penerapan hukuman adalah kewajiban konstitusional.
B. Saran
3. Presiden sebagai kepala Negara sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi memiliki
wewenang untuk memberikan amnesty, abolisi dan grasi. Dalam konteks moratorium
terhadap praktik hukuman mati, presiden dapat memberikan grasi terhadap setiap
permohonan dari terpidana mati sebagai cerminan penghormatan terhadap konstitusi
dan HAM. Presiden juga dapat memberikan grasi secara umum bagi seluruh
terpidana mati.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
J.E. Sahetapy, Pidana Mati Dalam Negara Pancasila, cetakan pertama, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2007
Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, cetakan kedua, CV. Rajawali, Jakarta, 1982
C.S.T. Kansil, dan Engelien R. Palandeng, , Altje Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam
Undang-Undang Nasional, Jala Permata Aksara, Bekasi, 2009
Sudarto, hukum pidana jilid 1A, dikeluarkan oleh Fakultas hukum Undip, Semarang,
1971
Andi Hamzah,. dan A. Sumangelipu, Pidana Mati Di Indonesia Di Masa Lalu, Kini Dan
Di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1993
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi,
Pradnya Paramita, Jakarta, 1985 Dadang Hawari, Penyalahgunaan Narkotika dan
Zat Adiktif, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1991
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung jawaban Pidana, Centra, Jakarta,
1968
Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998
J.M van Bemmelen Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Material Bagian Umum),
Terjemahan Hasnan, Bina Cipta, Bandung 1987 Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi
Kajian Relevansi Sanksi Tindakan
Johny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Surabaya,
Oktober 2005
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Keenam, Rineka Cipta, Jakarta, 1993
Kusno Adi, kebijakan kriminal dalam penanggulangan tindak pidana narkotika oleh
anak, Umm Press, Malang, 2009
Dit narkoba korserse Polri, penyalagunaan dan peredaran gelap narkoba yang
dilaksanakan oleh Polri, Mabes Polri, Jakarta, 2002.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, penerbit PT Inti buku Utama, Jakarta, 1993
Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,
Asa Mandiri, Jakarta, 2005
Sumber Lain
www.liputan6sctv.com
www.wikipedia.com
www.google.com