Anda di halaman 1dari 36

CASE REPORT

SPINAL ANESTESI PADA PASIEN PEREMPUAN USIA 27 TAHUN


G1P0A0 PRESBO DAN OLIGOHIDRAMNION DENGAN SECTIO
SECAREAE

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan


Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Anestesi
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :

dr. Damai Suri, Sp.An

Diajukan Oleh :

Iin Nila Nuraini, S.Ked


J510170011

KEPANITERAAN KLINIK STASE ANESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
CASE REPORT

SPINAL ANESTESI PADA PASIEN PEREMPUAN USIA 27 TAHUN


G1P0A0 PRESBO DAN OLIGOHIDRAMNION DENGAN SECTIO
SECAREAE

Disusun Oleh :

Iin Nila Nuraini, S. Ked


J510170011

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas


Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari, Januari 2018

Pembimbing:
dr. Damai Suri, Sp.An ( )

Dipresentasikan di hadapan
dr. Damai Suri, Sp.An ( )

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN STASE ANESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
RSUD KARANGANYAR
2017
BAB I

STATUS PASIEN

I. Identitas pasien

Nama : Ny. T
Umur : 27 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Giriwodo, Jumapolo
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Status : Menikah
Tanggal masuk : 23 Januari 2018
Jenis pembedahan : SC
Dokter Anestesi : dr. Damai Suri, Sp. An
Dokter Bedah : dr. Sutiyono, Sp.OG (K)

II. Anamnesis
a. A (alergy)
Tidak ada alergi terhadap obat-obatan, makanan dan asma
b. M (Medication)
Tidak sedang dalam pengobatan
c. P (Past Medical History)
Riwayat DM (-), Hipertensi (-) dan riwayat operasi (-)
d. L (Last Meal)
Pasien puasa 6 jam
e. E (Elical History)
Seorang perempuan berusia 27 tahun G1P0A0 datang dibawa oleh
keluarganya ke Ponek RSUD Karanganyar kiriman oleh dr. Sutyono
Sp.OG (K) dengan hamil aterm presbo oligohidramion yang akan di
lakukan sectio caesarea.
III. Keluhan Utama :
Hamil aterm dengan presbo oligohidramnion.

IV. Riwayat Penyakit Sekarang


Seorang perempuan berusia 27 tahun G1P0A0 datang dibawa
keluarganya ke Ponek RSUD Karanganyar kiriman oleh dr. Sutiyono
Sp.OG (K) dengan hamil atrem presbo oligohidramnion. Pasien rutin
kontrol ke poli sesuai jadwal, belum terasa HIS.
Gerak janin sudah dirasakan sejak usia kehmailan 20 minggu.
Gangguan kesadaran (-), mual (-), muntah (-), makan/ minum baik,
BAK/BAB normal.

V. Anamesis Sistemik

Neuro : Sensasi nyeri baik, gemetaran (-), sulit tidur (-)


Kardio : Nyeri dada (-), dada berdebar-debar (-)
Pulmo : Sesak napas (-), batuk lama (-)
Abdomen : Diare (-), kembung (-), konstipasi (-)
Urologi : BAK (+) dan BAB(+), panas (-)
Muskolo : Nyeri (-)

VI. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat penyakit serupa : disangkal


Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Mondok : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat trauma : disangkal

VII. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal

VIII. Riwayat Operasi dan Anestesi


Disangkal

IX. Pemeriksaan Fisik


A. Pemeriksaan Fisik

1) Status Generalis
a. Keadaan Umum : Baik
b. Kesadaran : Compos Mentis
c. Vital Sign :
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Frekuensi Nafas : 20 x/ menit
- Frekuensi Nadi : 80 x/ menit
- Suhu : 36,5 o C
d. Kepala : Normocephal (+), sklera ikterik (-),
konjungtiva anemis (-/-), dispneu (-), napas cuping hidung (-),
vulnus ekskoriasi di daerah mandibular (+)
e. Leher : Retraksi supra sternal (-), peningkatan JVP
(-), pembesaran kelenjar limfe (-)
f. Thorak
a. Paru
- Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, masa (-),
jejas (-), retraksi otot dada (-)
- Palpasi : fremitus dinding dada simetris kanan = kiri
- Perkusi : sonor
- Auskultasi: Suara dasar vesikuler, Wheezing (-/-),
Rhonki (-/-)

b. Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
- Perkusi : redup
- Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni reguler,
Murmur (-), Gallop (-)
g. Ekstremitas : hangat, oedem (-), nyeri (-)

X. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium pada tanggal 23/01/2018

Darah Rutin Nilai Nilai normal Satuan


Hb 12.2 L 12.3 – 15.3 g/dL
Ht 36.5 35 – 47 Vol%
Leukosit 9.46 4.4 – 11.3 10^3/uL
Trombosit 258 154 – 386 mm3
Eritrosit 4.02 L 4.1 – 5.1 10^6/uL
MCV 90.7 82.0 – 92.0 fL
MCH 30.2 28 – 33 Pg
MCHC 33.3 32.0-37.0 g/dL
Neutrofil 74.1 50.0-70.0 %
Limfosit % 19.7 25.0– 40.0 %
Monosit % 5.0 3.0 – 9.0 %
Eosinofil % 0.6 0.5–5.0 %
Basofil % 0.6 0.0–0.1 %
GDS 91 70 – 150 mg/dL
Creatinin 0.95 <1.0 mg/dL
Ureum 27 10-50 mg/dL
HbsAg NR NR

XI. Diagnosis
G1P0A0 hamil aterm dengan presbo oligohidramnion

XII. Terapi
Pro Sectio Saesarea Trans Peritoneal

XIII. Konsultasi Anestesi


Seorang perempuan usia 27 tahun G1P0A0 dengan kehamilan aterm dan
prebo oligohidramnion. Pasien direncanakan akan dilakukan tindakan
SCTP pada tanggal 24/01/2018. Hasil Laboratorium, USG dan Vital sign
terlampir.
Kegawatan Bedah : (-)
Derajat ASA : II E
Rencana tindakan anestesi : Regional Anestesi

XIV. LAPORAN ANESTESI


Nama : Ny. T
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 27 tahun
No RM : 30.xx.xx
Diagnosa pra bedah : G1P0A0 aterm dengan Presbo dan oligohidramnion.
A. Rencana Anestesi
1. Persiapan Operasi
a. Persetujuan operasi tertulis ( + )
b. Puasa ≥ 6 jam
2. Jenis Anestesi : Regional Anestesi (Subarachnoid Block)
3. Premedikasi : - Granisetron 3mg iv
4. Cairan : Kristaloid Tutofusin 500 ml
5. Monitoring : Tanda vital selama operasi tiap 5 menit,
kedalaman Anestesi, cairan, perdarahan, dan
produksi urin.
6. Perawatan pasca anestesi di ruang pulih sadar/ruang pindah
7. Transfusi sebelumnya : tidak pernah transfusi darah

B. Tindakan Anestesi

1. Di ruang persiapan
a. Cek persetujuan operasi dan identitas penderita
b. Pakaian pasien diganti pakaian operasi
c. Pemeriksaan tanda-tanda vital
d. Lama puasa ≥ 6 jam
e. Cek obat dan alat anestesi
f. Posisi terlentang

C. Tindakan Anestesi
1. Menyiapkan pasien di atas meja operasi dengan posisi duduk miring
ke kanan dan membungkuk.
2. Menentukan tempat tusukan dari perpotongan garis yang
menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang punggung, yaitu
L4 atau L4-L5.
3. Mensterilkan tempat tusukan dengan povidon iodine dan alkohol .
4. Dilakukan penyuntikan jarum spinal 27G di tempat penusukan pada
bidang medial dengan sudut 10-30% terhadap bidang horizontal
kearah cranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum,
lapisan durameter, dan lapisan subarachnoid. Stilet kemudian
dicabut, sehingga cairan serebrospinal akan keluar. Obat anastetik
(Bupivacaine 20mg/4ml) yang telah disiapkan disuntikkan ke dalam
ruang subarachnoid.
5. Menempatkan kembali pasien dalam posisi supine (terlentang) dan
pasien ditanya apakah kedua tungkai mengalami parastesi dan sulit
untuk digerakkan dan ditanyakan apa ada keluhan mual-muntah,
nyeri kepala, dan sesak.
6. Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas
normal.

D. Post- Operasi

Setelah operasi selesai di pindahkan ke ruang pemulihan atau


recovery room . Pasien masih sadar dan ada refleks setelah operasi. Pasien
diperbolehkan pindah ruang (keluar dari ruangan operasi) bila Bromage
score <2.
Instruksi Pasca Anestesi
Pasien dirawat di ruang pindah dalam posisi supine. Setelah
pemulihan pasca anestesi pasien di rawat di bangsal sesuai dengan bagian
operator. Setelah pasien sadar, pasien dipindahkan ke ruangan Teratai.
 Kontrol vital sign jika TD < 100 mmHg, infus dipercepat, beri
efedrin.
 Bila muntah diberikan ondansetron dan bila kesakitan diberikan
analgesik. Bila nyeri bertambah, konsultasi ke bagian anestesi.
 Bila tidak ada mual, tidak ada muntah, bising usus (+), boleh diberi
makan dan minum secara bertahap.
 Infus RL 20 tpm
 Lain – lain
- Antibiotik
- Analgesik
- Puasa sampai dengan flatus
- Monitor vital sign
E. Bromage score
Pasien dapat keluar dari RR apabila sudah mencapai skor Bromage
<2(kurang dari dua).

Obyek Kriteria Nilai


Kriteria 1. Gerakan penuh dari tungkai 0
2. Tak mampu ekstensi tungkai 1
3. Tak mampu fleksi lutut 2
4. Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
pasien keluar RR total score <2

Sedangkan pada pasien , didapatkan skornya 1. Skor 1 didapatkan


dari :
1. Tak mampu ekstensi tungkai (1)
Dengan skor 1 ini, pasien telah dapat dipindahkan dari ruang recovery ke
ruangan ruang Teratai yaitu bangsal di RSUD Karanganyar sebelum dapat
pulang ke rumah.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

SECTIO CAESAREAE

A. Pengertian

Section caeseria adalah suatu pembedahan guna melahirkan janin lewat


insisi pada dinding perut (abdomen) dan dinding rahim (uterus). Section caesarea
adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan
dinding uterus atau vagina atau suatu histerotomi untuk melahirkan janin dari
dalam rahim.

Section caesarea adalah suatu tindakan pembedahan untuk melahirkan


janin dengan membuka dinding perut (laparatomi) dan dinding uterus
(histerektomi) (dunn j. Leen obstetrics and gynecology).
Section caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat
rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 1991).
Jadi operasi section caesarea adalah suatu pembedahan guna melahirkan
janin (persalinan buatan), melalui insisi pada dinding abdomen dan uterus bagian
depan sehingga janin dilahirkan melalui perut dan dinding perut dan dinding
rahim agar anak lahir dengan keadaan utuh dan sehat.
B. Etiologi

Sectio Caesarea biasanya dilakukan jika ada gangguan pada salah satu
dari tiga faktor yang terlibat dalam proses persalinan yang menyebabkan
persalinan tidak dapat berjalan lancar dan bila dibiarkan maka dapat terjadi
komplikasi yang dapat membahayakan ibu dan janin. 3 faktor tersebut adalah:
1. Jalan lahir (passage)
2. Janin (passanger)
3. Kekuatan yang ada pada ibu (power)
C. Macam-Macam Sectio Caesarea
A. Abdomen (section caesarea abdominalis)
a) Section caesarea trans peritonealis
Section cesaria klasik atau korporal dengan insisi memanjang pada
korpus uteri sedangkan section cesaria ismika atau profunda atau low
cervical dengan insisi pada segmen bawah rahim. SC klasik atau corporal
(dengan insisi memanjang pada corpus uteri). Dilakukan dengan membuat
sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira 10 cm.
Kelebihan :
- Mengeluarkan janin dengan cepat
- Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik
- Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan :
- Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada
reperitonealis yang baik.
- Untuk persalinan yang berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri
spontan.
- SC ismika atau profundal (low servical dengan insisi pada segmen bawah
rahim).
b) SC ektra peritonealis
Tanpa membuka peritoneum parietalis, dengan demikian tidak
membuka kavum abdominal.
Dilakukan dengan melakukan sayatan melintang konkat pada segmen
bawah rahim (low servical transversal) kira-kira 10 cm.

Kelebihan :
- Penjahitan luka lebih mudah
- Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik
- Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan
penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum
- Perdarahan tidak begitu banyak
- Kemungkinan rupture uteri spontan berkurang atau lebih kecil
Kekurangan :
- Luka dapat melebar kekiri, kanan, dan bawah sehingga dapat
menyebabkan uteri pecah sehingga mengakibatkan perdarahan banyak
- Keluhan pada kandung kemih post operasi tinggi

B. Vagina (section caesareavaginalis)


Menurut sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan sebagai
berikut (Mochtar, Rustam, 1992) :
1. Sayatan memanjang (longitudinal)
2. Sayatan melintang (Transversal)
3. Sayatan huruf T (T insicion)

D. Indikasi Sectio Caesarea


Didasarkan atas 3 faktor :
4.1 Faktor janin.
a. Bayi terlalu besar
Berat bayi 4000 gram atau lebih (giant baby), menyebabkan bayi
sulit keluar dari jalan lahir. Dengan perkiraan berat yang sama tetapi pada
ibu yang berbeda maka tindakan persalinan yang dilakukan juga berbeda.
Misalnya untuk ibu yang mempunyai panggul terlalu sempit, berat janin
3000 gram sudah dianggap besar karena bayi tidak dapat melewati jalan
lahir. Selain janin yang besar, berat janin kurang dari 2,5 kg, lahir
prematur, dan dismatur, atau pertumbuhan janin terlambat, juga menjadi
pertimbangan dilakukan section caeseria

b. Kelainan letak
1) Letak sungsang.
Resiko bayi lahir sungsang dengan presentasi bokong pada
persalinan alami diperkirakan 4x lebih besar dibandingkan keadaan
normal. Pada bayi aterm, tahapan moulage kepala sangat penting agar
kepala berhasil lewat jalan lahir. Pada keadaan ini persalinan pervaginam
kurang menguntungkan. Karena ; pertama, persalinan terlambat beberapa
menit, akibat penurunan kepala menyesuaikan dengan panggul ibu,
padahal hipoksia dan asidosis bertambah berat. Kedua, persalinan yang
dipacu dapat menyebabkan trauma karena penekanan, traksi ataupun
kedua-duanya. Misalnya trauma otak, syaraf, tulang belakang, tulang
rangka dan viseral abdomen.

2) Letak lintang.
Kelainan letak ini dapat disebabkan karena adanya tumor dijalan
lahir, panggul sempit, kelainan dinding rahim, kelainan bentuk rahim,
plesenta previa, cairan ketuban pecah banyak, kehamilan kembar dan
ukuran janin. Keadaan tersebut menyebabkan keluarnya bayi terhenti dan
macet dengan presentasi tubuh janin di dalam rahim. Bila dibiarkan terlalu
lama, mengakibatkan janin kekurangan oksigen dan meyebabkan
kerusakan otak janin.

3) Gawat janin
Diagnosa gawat janin berdasarkan pada keadaan kekurangan
oksigen (hipoksia) yang diketahui dari DJJ yang abnormal, dan adanya
mekonium dalam air ketuban. Normalnya, air ketuban pada bayi cukup
bulan berwarna putih agak keruh, seperti air cucian beras. Jika tindakan
secsio caesarea tidak dilakukan, dikhawatirkan akan terjadi kerusakan
neurologis akibat keadaan asidosis yang progresif.

4) Janin abnormal
Misalnya pada keadaan hidrosefalus, kerusakan Rh dan kerusakan
genetik.

4.2 Faktor Plasenta


a. Plasenta previa.
Posisi plasenta terletak di bawah rahim dan menutupi sebahgian
dan atau seluruh jalan lahir.
Dalam keadaan ini, plasenta mungkin lahit lebih dahulu dari janin.
Hal ni menyebabkan janin kekurangan O2 dan nutrisi yang biasanya
diperoleh lewat plasenta. Bila tidak dilakukan SC, dikhawatirkan terjadi
perdarahan pada tempat implantasi plasenta sehingga serviks dan SBR
menjadi tipis dan mudah robek.

b. Solusio plasenta
Keadaan dimana plasenta lepas lebih cepat dari korpus uteri
sebelum janin lahir. SC dilakukan untuk mencegah kekurangan oksigen
atau keracunan air ketuban pada janin. Terlepasnya plasenta ditandai
dengan perdarahan yang banyak, baik pervaginam maupun yang
menumpuk di dalam rahim.

c. Plasenta accreta
Merupakan keadaan menempelnya sisa plasenta di otot rahim. Jika
sisa plasenta yang menempel sedikit, maka rahim tidak perlu diangkat, jika
banyak perlu dilakukan pengangkatan rahim.
d. Yasa previa
Keadaan dimana adanya pembuluh darah dibawah rahim yang bila
dilewati janin dapat menimbulkan perdarahan yang banyak.

4.3 Faktor Kelainan tali pusat.


a. Pelepasan tali pusat (tali pusat menumbung)
Keadaan dimana tali pusat berada di depan atau di samping bagian
terbawah janin, atau tali pusat telah berada dijalan lahir sebelum bayi, dan
keadaan bertambah buruk bila tali pusat tertekan.

b. Terlilit tali pusat


Lilitan tali pusat ke tubuh janin akan berbahaya jika kondisi tali
pusat terjepit atau terpelintir sehinggga aliran oksigen dan nutrisi ketubuh
janin tidak lancar. Lilitan tali pusat mengganggu turunnya kepala janin
yang sudah waktunya dilahirkan.

c. Bayi kembar
Kelahiran kembar mempunyai resiko terjadinya komplikasi yang
lebih tinggi misalnya terjadi preeklamsia pada ibu hamil yang stress,
cairan ketuban yang berlebihan.

4.4 Faktor ibu


a. Usia
Ibu yang melahirkan untuk pertama kalinya diatas 35th, memiliki
resiko melahirkan dengan sectio caesarea karena pada usia tersebut ibu
memiliki penyakit beresiko seperti hipertensi, jantung, DM, dan
preeklamsia.

b. Cephalopevic disspiroprion.
Ukuran panggul yang sempit dan tidak proporsional dengan ukuran
janin menimbulkan kesulitan dalam persalinan pervaginam. Panggul
sempit lebih sering pada wanita dengan tinggi badan kurang dari 145 cm.
Kesempitan panggul dapat ditemukan pada satu bidang atau lebih, PAP
dianggap sempit bila konjunctiva vera kurang dari 10 cm atau diameter
transversal <12 >6 minggu solusio plasenta, dan emboli air ketuban.
Retensio Plasenta atau plasenta rest : gangguan pelepasan plasenta
menimbulakan perdarahan dari tempat implantasi palsenta

c. Infeksi
Setiap tindakan operasi vaginal selalu diikuti oleh kontaminasi
bakteri, sehingga menimbulkan infeksi. Infeksi makin meningkat apabila
didahului oleh :
Keadaan umum yang kurang baik: anemia saat hamil, sudah terdapat
manipulasi intra-uterin, sudah terdapat infeksi. Perlukaan operasi yang
menjadi jalan masuk bakteri. Terdapat retensio plasenta pelaksanaan
operasi persalinan yang kurang legeartis.

d. Trauma tindakan operasi persalinan .


Operasi merupakan tindakan paksa pertolongan persalinan
sehingga menimbulkan trauma jalan lahir. Trauma operasi persalinan
dijabarkan sebagai berikut :
a. Perluasan luka episiotomy
b. Perlukaan pada vagina
c. Perlukaan pada serviks
d. Perlukaan pada forniks-kolfoporeksis
e. Terjadi ruptura uteri lengkap atau tidak lengkap
f. Terjadi fistula dan ingkontinensia

4.5 Komplikasi pada janin


Terjadi ”trias komplikasi” bayi dalam bentuk : asfiksia, trauma tindakan,
dan infeksi.
a. Asfiksia
Tekanan langsung pada kepala yang mengakibatkan penekanan
pusat-pusat vital pada medula oblongata
1. Aspirasi oleh air ketuban, mekonium,dan cairan lambung
2. Perdarahan atau edema jaringan saraf pusat.
b. Trauma langsung pada bayi
1. Fraktura ekstremitas
2. Dislokasi persendian
3. Ruptur alat-alat vital : hati, lien dan robekan pada usus.
4. Fraktur tulang kepala
5. Perdarahan atau trauma jaringan otak
6. Trauma langsung pada mata, telinga, hidung, dan lainnya.
c. Infeksi.
Dapat terjadi infeksi ringan sampai sepsis yang dapat
menyebabkan kematian.

E. Kontra Indikasi
Pada umumnya section caesarian tidak dilakukan pada janin mati,
syok, anemi berat sebelum diatasi, kelainan kongenital berat (Sarwono,
1991).

PRESENTASI BOKONG
A. Pengertian
Presentasi bokong merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang
dengan bokong sebagai bagian yang terendah sehingga kepala berada di fundus
uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri. Presentasi bokong
merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang dengan bokong sebagai
bagian yang terendah sehingga kepala berada di fundus uteri dan bokong berada
di bagian bawah kavum uteri.

B. Epidemiologi
Kejadian presentasi bokong ditemukan sekitar 3-4% dari seluruh
persalinan tunggal pada umur kehamilan cukup bulan (≥ 37 minggu).
Presentasi bokong adalah suatu keadaan pada letak janin memanjang
dimana presentasi bokong dengan atau tanpa kaki merupakan bagian
terendahnya. Beberapa peneliti lain seperti Greenhill melaporkan kejadian
persalinan presentasi bokong sebanyak 4-4,5%.6 Di Parkland Hospital 3,5
persen dari 136.256 persalinan tunggal dari tahun 1990 sampai 1999
merupakan letak sungsang.
Mortalitas perinatal pada presentasi bokong 13 kali lebih tinggi
daripada kematian perinatal pada presentasi kepala. Sedangkan morbiditas
perinatal 5-7 kali lebih tinggi daripada presentasi kepala. Gambaran ini
dipengaruhi usia kehamilan, berat janin, dan jenis presentasi bokong.
Sebab utama kematian perinatal pada presentasi bokong : hipoksia,
trauma persalinan, prematuritas dan kelainan kongenital. Kelainan
kongenital terdapat 6-18% pada presentasi bokong, dibandingkan 2-3%
pada presentasi kepala.

C. Patofisiologi
Letak janin dalam uterus bergantung pada proses adaptasi janin terhadap
ruangan dalam uterus. Pada kehamilan sampai kurang lebih 32 minggu, jumlah air
ketuban relatif lebih banyak, sehingga memungkinkan janin bergerak dengan
leluasa. Dengan demikian janin dapat menempatkan diri dalam presentasi kepala,
letak sungsang atau letak lintang. Pada kehamilan triwulan terakhir janin tumbuh
dengan cepat dan jumlah air ketuban relatif berkurang. Karena bokong dengan
kedua tungkai terlipat lebih besar daripada kepala, maka bokong dipaksa untuk
menempati ruang yang lebih luas di fundus uteri, sedangkan kepala berada
ruangan yang lebih kecil di segmen bawah uterus. Dengan demikian dapat
dimengerti mengapa pada kehamilan belum cukup bulan, frekuensi letak sungsang
lebih tinggi, sedangkan pada kehamilan cukup bulan, janin sebagian besar
ditemukan dalam presentasi kepala8. Sayangnya, beberapa fetus tidak seperti itu.

Sebagian dari mereka berada dalam posisi sungsang saat usia kehamilan aterm.

D. Klasifikasi
Berikut adalah beberapa klasifikasi presentasi bokong, antara lain:
1. Presentasi bokong murni (Frank Breech) yaitu fleksi ekstremitas bawah pada
sendi paha dan ekstensi lutut sehingga kaki terletak berdekatan dengan kepala.
2. Presentasi bokong lengkap (Complete Breech) yaitu satu atau kedua lutut lebih
banyak dalam keadaan fleksi dari pada ekstensi.
3. Presentasi bokong tidak lengkap (Incomplete Breech) yaitu satu atau kedua
sendi paha tidak dalam keadaan fleksi dan satu atau kedua kaki atau lutut
terletak di bawah bokong, sehingga kaki atau lutut bayi terletak paling bawah

pada jalan lahir, terdiri dari:


· Kedua kaki terletak di bawah (letak kaki sempurna)
· Hanya satu kaki terletak di bawah (letak kaki tak sempurna)
· Kedua lutut terletak paling rendah (letak lutut sempurna)
· Hanya satu lutut terletak paling rendah (letak lutut tak sempurna)
Presentasi bokong pada kehamilan tunggal dengan berat badan janin < 2500 gram,
yaitu:
1. 40% adalah Frank Breech
2. 10% adalah Complete Breech
3. 50% adalah Footling Breech
Presentasi sungsang pada kehamilan tunggal dengan berat badan janin > 2500
gram, yaitu:
1. 65% adalah Frank Breech
2. 10% adalah Complete Breech
3. 25% adalah Footling Breech

Posisi janin pada presentasi sungsang ditentukan dengan menggunakan


sacrum sebagai denominator (“fetal point of reference to the maternal pelvis”)
sedangkan stasiun janin pada presentasi sungsang adalah ketinggian sacrum
terhadap spina ischiadica.

REGIONAL ANESTESIA
1. Definisi
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh
sementara pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian
tubuh diblokir untuk sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat
terpengaruh sebagian atau seluruhnya. Tetapi pasien tetap sadar.
2. Persiapan Regional Anestesi
Persiapan anestesi regional sama dengan persiapan anestesi umum karena
untuk mengantisipasi terjadinya reaksi toksik sistemik yg bisa berakibat fatal,
perlu persiapan resusitasi. Misalnya: obat anestesi spinal/epidural masuk ke
pembuluh darah → kolaps kardiovaskular sampai cardiac arrest. Juga untuk
mengantisipasi terjadinya kegagalan, sehingga operasi bisa dilanjutkan dg
anestesi umum.
3. Anestesi Spinal

Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang


intratekal yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke
dalam ruang intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara
vertebra L2-3, L3-4, L4-5 untuk menghasilkan onset anestesi yang cepat
dengan derajat keberhasilan yang tinggi. Walaupun teknik ini sederhana,
dengan adanya pengetahuan anatomi, efek fisiologi dari anestesi spinal
dan faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi anestesi lokal diruang
intratekal serta komplikasi anestesi spinal akan mengoptimalkan
keberhasilan terjadinya blok anestesi spinal.
 Indikasi:
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya
dikombinasikan dengan anestesi umum ringan
 Kontra indikasi absolut:
1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5. Tekanan intrakranial meningkat
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.
 Kontra indikasi relatif:
1. Infeksi sistemik
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronik
Anestetik lokal yang paling sering digunakan:
1. Lidokaine (xylocain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat
isobarik, dosis 20-100mg (2-5ml)
2. Lidokaine (xylocain,lignokain) 5% dalam dextrose 7.5%: berat
jenis 1.033, sifat hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat
isobarik, dosis 5-20mg (1-4ml)
4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis
1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml).
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran larutan bupivakain
hiperbarik pada Anestesi spinal:
a. Gravitasi: Cairan serebrospinal pada suhu 37°C mempunyai BJ 1,003- 1,008.
Jika larutan hiperbarik yang diberikan kedalam cairan serebrospinal akan
bergerak oleh gaya gravitasi ke tempat yang lebih rendah, sedangkan
b. larutan hipobarik akan bergerak berlawanan arah dengan gravitasi seperti
menggantung dan jika larutan isobarik akan tetap dan sesuai dengan tempat
injeksi.
c. Postur tubuh : Makin tinggi tubuh seseorang, makin panjang medula
spinalisnya dan volume dari cairan serebrospinal di bawah L2 makin banyak
sehingga penderita yang lebih tinggi memerlukan dosis yang lebih banyak
dari pada yang pendek.
d. Tekanan intra abdomen: Peningkatan tekanan intra abdomen menyebabkan
bendungan saluran pembuluh darah vena abdomen dan juga pelebaran
saluran-saluran vena di ruang epidural bawah, sehingga ruang epidural akan
menyempit dan akhirnya akan menyebabkan penekanan ke ruang
subarakhnoid sehingga cepat terjadi penyebaran obat anestesi lokal ke
kranial. Perlu pengurangan dosis pada keadaan seperti ini.
e. Anatomi kolumna vertebralis :Anatomi kolumna vertebralis akan
mempengaruhi lekukan-lekukan saluran serebrospinal, yang akhirnya akan
mempengaruhi tinggi anestesi spinal pada penggunaan anestesi lokal jenis
hiperbarik.
f. Tempat penyuntikan : Makin tinggi tempat penyuntikan, maka analgesia yang
dihasilkan makin tinggi. Penyuntikan pada daerah L2-3 lebih memudahkan
penyebaran obat ke kranial dari pada penyuntikan pada L4- 5.
g. Manuver valsava : Setelah obat disuntikkan penyebaran obat akan lebih besar
jika tekanan dalam cairan serebrospinal meningkat yaitu dengan cara
mengedan.
h. Volume obat : Efek volume larutan bupivakain hiperbarik pada suatu
percobaan yang dilakukan oleh Anellson (1984), dikatakan bahwa
penyebaran maksimal obat kearah sefalad dibutuhkan waktu kurang lebih 20
menit pada semua jenis volume obat (1,5 cc, 2 cc, 3 cc dan 4 cc). Mula kerja
untuk tercapainya blok motorik akan bertambah pendek waktunya dengan
bertambahnya volume. Makin besar volume obat makin tinggi level blok
sensoriknya.
i. Konsentrasi obat : Dengan volume obat yang sama ternyata bupivakain
0,75% hiperbarik akan menghasilkan penyebaran obat kearah sefalad lebih
tinggi beberapa segmen dibandingkan dengan bupivakain 0,5% hiperbarik.
Lama kerja obat akan lebih panjang secara bermakna pada penambahan
volume obat bupivakain 0,75%. Demikian pula perubahan kardiovaskuler
akan berbeda bermakna pada bupivakain 0,75% hiperbarik.
j. Posisi tubuh : Dalam suatu percobaan oleh J.A.W. Wildsmith dikatakan tidak
ada pengaruh penyebaran obat jenis obat larutan isobarik pada tubuh,
sedangkan pada jenis larutan hiperbarik akan dipengaruhi posisi tubuh. Pada
larutan hiperbarik posisi terlentang bisa mencapai level blok T4 pada posisi
duduk hanya mencapai T8.
k. Lateralisasi : Lateralisasi pada larutan dengan posisi berbaring miring (lateral
dekubitus). Pada percobaan oleh J.A.W. Wildsmith disimpulkan bahwa 5
menit setelah penyuntikan obat, penyebaran obat pada sisi bawah mencapai
T6,sedangkan pada sisi atas mencapai T7.

4. Teknik analgesia spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada
garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan
di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit
perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama
akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.
Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah
teraba. Posisi lain adalah duduk.

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka,


misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di atasnya berisiko
trauma terhadap medula spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2%
2-3ml
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik
biasa semprit 10 cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak
sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya
ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-
Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu
pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau ke bawah, untuk
menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri
kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal
dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat
dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya
untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau yakin ujung jarum spinal
pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º
biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan
kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum
flavum dewasa ± 6cm.

 Komplikasi pasca tindakan:


1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urine
5. Meningitis
 Obat Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun
dari anestesi diantaranya:
 Meredakan kecemasan dan ketakutan
 Memperlancar induksi anestesi
 Mengontrol nyeri post operasi
 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
 Meminimalkan jumlah obat anestesi
 Mengurangi mual muntah pasca operasi
 Menciptakan amnesia
 Mengurangi resiko aspirasi isi lambung
a. Ranitidin
Merupakan obat golongan AH2 blocker yang bekerja dengan
menghambat histamine untuk dapat terikat pada reseptor H2
sehingga terjadi penurunan produksi asam lambung dan
peningkatan pH di gaster. Ranitinin terikat pada protein plasma
hanya sebesar 15%. Waktu paruhnya berkisar antara 2-3 jam.
Eliminasi lewat ginjal sebesar 70% tanpa mengalami
perubahan.Onset ranitidin 10-15 menit (i.v) ,durasi 8-12 , dosis
dewasa 50 mg ampul iv.
b. Granisetrone
Merupakan suatu antiemetik selektif serotonin 5-HT3
reseptor yang sangat efektif yang dapat menekan mual dan muntah
karena sitostatika misalnya cisplatin dan radiasi. Granisetron
mempercepat pengosongan lambung, bila kecepatan pengosongan
basal rendah. Tetapi waktu transit saluran cerna memanjang
sehingga dapat terjadi konstipasi. Granisetron dieliminasi dengan
cepat dari tubuh. Metabolisme obat ini terutama secara hidroksilasi
dan konjugasi dengan glukonida atau sulfat dalam hati. Dosis yang
biasanya diberikan untuk premedikasi dosis tunggal 3mg dan
maksimal pemberian 9 mg/hari. Dalam suatu penelitian kombinasi
antara Granisetron dosis kecil yang diberikan sesaat sebelum
ekstubasi trakhea ditambah Dexamethasone yang diberikan saat
induksi anestesi merupakan suatu alternatif dalam mencegah
muntah selama 0-2 jam setelah ekstubasi trakhea daripada
ondansetron dan dexamethasone.

Menggigil

Menggigil merupakan suatu mekanisme tubuh yang terjadi untuk


meningkatkan pembentukan panas. Ketika tubuh terlalu dingin, sistem
pengaturan temperatur tubuh mengadakan prosedur untuk meningkatkan suhu
tubuh yaitu dengan cara :
a. Vasokonstriksi kulit di seluruh tubuh yang merupakan rangsangan pusat
simpatis hipotalamus posterior. Piloereksi yaitu berdirinya rambut pada
akarnya. Hal ini tidak terlalu penting pada manusia.
b. Peningkatan pembentukan panas oleh sistem metabolisme dengan cara
menggigil, rangsangan simpatis pembetukan panas dan sekresi tiroksin.
c. Sampai saat ini, mekanisme menggigil masih belum diketahui secara
pasti.
Menggigil pascaanestesi diduga disebabkan oleh empat hal yaitu :
a. Hipotermi dan penurunan suhu inti selama anestesi yang disebabkan oleh
karena kehilangan panas yang bermakna selama tindakan pembedahan
dan suhu ruang operasi yang rendah. Panas yang hilang dapat melalui
permukaan kulit dan melalui ventilasi.
b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pelepasan pirogen, tipe atau
jenis pembedahan, kerusakan jaringan yang terjadi dan absorbsi dari
produk- produk tersebut.
c. Efek langsung dari obat anestesi pada pusat pengaturan suhu di
hipotalamus, yaitu menurunkan produksi panas.
d. Kompensasi tubuh tidak terjadi karena penderita tidak sadar dan
terkadang lumpuh karena obat pelumpuh otot.
Mekanisme Menggigil
Integrasi informasi dan modulasi informasi termal antara komponen-
komponen ini memberikan sistem yang efisien yang memelihara suhu inti
tubuh, menjadi 36,5 - 37,5 oC, dengan memanfaatkan perilaku dan respon
otonom untuk mempertahankan fluktuasi suhu inti untuk memastikan fungsi
tubuh yang optimal. Aferen Neural Pathway
Termoreceptor yang terdiri dari reseptor sensorik dingin dan hangat menjadi
pusat maupun perifer. (Poulus, 1981) Perjalanan sinyal dingin melalui serat
delta dan perjalanan sinyal hangat melalui serat C unmyelinated. Sinyal-
sinyal termal mendapatkan terintegrasi pada tingkat sumsum tulang belakang,
termosensitif, indra dan memodulasi masukan yang diterima yang akhirnya
mencapai hipotalamus melalui traktus spinotalamikus lateral.
Hal penting adalah magnus inti raphe (menghambat menggigil) dan
subcoerulus lokus (merangsang menggigil), terletak di medula dan pons, yang
menyampaikan informasi termal dari kulit ke hipotalamus. Suhu sumsum
tulang belakang juga dikenal untuk mempengaruhi tanggapan efektor. Dari
catatan, hipotalamus itu sendiri bagian lain dari otak, sumsum tulang
belakang, thoraks dan jaringan perut dan kulit, masing-masing merupakan
20% dari masukan aferen termal pada sistem peraturan pusat. Menurut studi
terbaru, kulit dan akar dorsal ganglia telah ditemukan memiliki termoreceptor
khusus yaitu: Reseptor Transient Potensial (TRP) vanilloid (V) dan mentol
(M) reseptor.
Regulasi central (termoregulasi)
Regio preoptik dari hipotalamus anterior adalah pusat pengatur yang paling
penting dari suhu meskipun sumsum tulang belakang dan batang otak juga
berperan dalam fungsi ini. Neuron hangat di regio ini dari hipotalamus
(memicu suhu inti) dengan informasi lokal termal dan non termal tiba melalui
jalur aferen. Mereka merasakan dan mengintegrasikan informasi. Tanggapan
otonom yang dikendalikan oleh hipotalamus anterior terutama ditentukan
oleh informasi yang diterima dari struktur pusat, respon perilaku dan
mekanisme efektor yang dikendalikan oleh hipotalamus posterior sebagian
ntuk pemberian darah dan larutan kristaloid/koloid hangat atau fraksi
darah.besar ditentukan oleh informasi dari permukaan kulit. Konsensus saat
ini adalah bahwa input termal diterima dari berbagai struktur, tanggapan
efektor tidak bersamaan dan terjadi pada temperatur yang berbeda, dan
terdapat suhu interthreshold (kisaran suhu inti di mana tidak ada respon yang
ditimbulkan) potensi hambat diduga mengatur ambang batas dihipotalamus
yang dipengaruhi oleh noradrenalin, dopamin, serotonin, asetilkolin,
prostaglandin E1 dan neuropeptida. Suhu ambang batas yang diubah dengan
irama sirkadian dan mentruation (masing – masing 0,5-1oC; 0,5oC) bersama-
sama dengan status gizi, olahraga, infeksi dan obat-obatan (obat penenang,
alkohol dan nikotin) Kisaran interthreshold yang dibatasi oleh berkeringat di
ujung atas dan vasokonstriksi di ujung bawah, adalah antara 0,2 - 0.4oC.
Ambang berkeringat dan vasokonstriksi lebih tinggi pada wanita
dibandingkan pria 0,3 - 0.5oC. Respon menggigil diatur buruk pada orang
tua. (Sessler, 2008)
Pencegahan Menggigil
Cara-cara untuk mengurangi menggigil pascaanestesi yaitu sebagai berikut:
a. Suhu kamar operasi yang nyaman bagi pasien yaitu pada suhu 72oF (22oC)
b. Ruang pemulihan yang hangat dengan suhu ruangan 75oF (24oC)
c. Penggunaan sistem low-flow atau sistem tertutup pada pasien kritis atau
pasien resiko tinggi
d. Petidin adalah obat paling efektif untuk mengurangi menggigil
e. Penggunaan cairan kristaloid intravena yang dihangatkan :
f. Kristaloid untuk keseimbangan cairan intravena
g. Larutan untuk irigasi luka pembedahan
h. Larutan yang digunakan untuk prosedur sistoskopi urologi
i. Menghindari genangan air/larutan di meja operasi
BAB III
PEMBAHASAN

Diagnosis Pre op Sectio Saesarea didapatkan dari anamnesis dan hasil


pemeriksaan penunjang untuk mengetahui keadaan umum pasien dan memastikan
apakah operasi dapat dilakukan.
Status fisik pada pasien ini dimasukkan ke dalam ASA II (pasien dengan
kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologus, angka mortalitas 16%). Pada pasien ini dilakukan regional
anestesi. Pemilihan anestesi regional sebagai teknik anestesi pada pasien ini
berdasarkan pertimbangan bahwa pasien akan menjalani operasi Sectio Caesarea
sehingga pasien memerlukan blockade pada regio abdomen bawah untuk
mempermudah operator dalam melakukan operasi. Teknik ini umumnya
sederhana, cukup efektif, dan mudah digunakan.
Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. Granisteron, inj.
Ranitidine . Granisetron diberikan untuk profilaksis dari PONV (post operatif
nausea vomiting). Granisetron merupakan suatu antiemetik selektif serotonin 5-
HT3 reseptor yang sangat efektif yang dapat menekan mual dan muntah karena
sitostatika misalnya cisplatin dan radiasi. Granisetron mempercepat pengosongan
lambung, bila kecepatan pengosongan basal rendah. Tetapi waktu transit saluran
cerna memanjang sehingga dapat terjadi konstipasi. Granisetron dieliminasi
dengan cepat dari tubuh. Metabolisme obat ini terutama secara hidroksilasi dan
konjugasi dengan glukonida atau sulfat dalam hati. Dosis yang biasanya
diberikan untuk premedikasi dosis tunggal 3mg dan maksimal pemberian 9
mg/hari. Dalam suatu penelitian kombinasi antara Granisetron dosis kecil yang
diberikan sesaat sebelum ekstubasi trakhea ditambah Dexamethasone yang
diberikan saat induksi anestesi merupakan suatu alternatif dalam mencegah
muntah selama 0-2 jam setelah ekstubasi trakhea daripada ondansetron dan
dexamethasone.
Setelah itu, pasien diposisikan miring ke kanan untuk mengekspose area
lumbal yang akan dilakukan anestesi. Setelah memberi tanda pada L5 atau S1,
kemudian tempat tusukan ditentukan. Setelah itu, area tersebut disterilkan dengan
betadin atau alkohol. Anestetik local dengan lidokain 1-2% diberikan pada tempat
tusukan.
Teknik anestesi regional pada pasien ini dengan menggunakan jarum 27 G
dan dibantu dengan introducer (penuntun jarum). Setelah introduser disuntikkan
sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian jarum spinal berikut
mandrinnya dimasukkan ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang,
mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor. Setelah terjadi barbotage, yaitu
keluarnya cairan serebrospinal tanpa disertai keluarnya darah, maka pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Pada pasien ini diberikan obat anestesi bupivacain dikarenakan toksisitas
bupivacain lebih rendah dibandingkan lidocain. Walaupun onset kerja bupivacain
lebih lama (10-15 menit) dibandingkan lidocain (5-10 menit) tetapi durasi
kerjanya lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam) dibandingkan lidocain (1-2 jam).
Selain itu diberikan morphine 0,1 mg dengan tujuan untuk memperpanjang waktu
kerja obat anestesi dan sebagai analgetik. Meskipun demikian, perlu diwaspadai
efek samping hipotensi akibat pemakaian obat ini.
Pada pasien ini setelah bayi berhasil di keluarkan diberikan injeksi
Oxytocin 10 U (dosis 10-40 U) dan Metilergometrin 0,2 mg bisa diberikan 3-4
kali/ hari, obat ini merupakan obat yang bekerja pada uterus yang berfungsi untuk
mengurangi perdarahan dari uterus dengan cara kontraksi pada uterus sehingga
pembulh darah yang ada diuterus terjepit.
Selama operasi berlangsung, dilakukan monitoring perioperasi untuk
membantu ahli anestesi mendapatkan informasi fungsi organ vital selama
perioperasi, supaya dapat bekerja dengan aman. Monitoring secara elektronik
membantu ahli anestesi mengadakan observasi pasien lebih efisien secara terus
menerus. Selama operasi berlangsung juga tetap diberikan cairan intravena
Tutofusin.
Pasien dipindah ke ruang pemulihan dan dilakukan observasi
sesuai skor Bromage. Bila pasien tenang dan Pasien dapat keluar dari RR
apabila sudah mencapai skor Bromage <2(kurang dari dua). Sedangkan
pada pasien , didapatkan skornya 1. Skor 1 didapatkan dari Tak mampu
ekstensi tungkai (1). Dengan skor 1 ini, pasien telah dapat dipindahkan
dari ruang recovery ke ruangan ruang Teratai yaitu bangsal di RSUD
Karanganyar sebelum dapat pulang ke rumah.
BAB IV
KESIMPULAN

Seorang Wanita usia 27 tahun G1P0A0 dengan riwayat SC dan


Presentasi bokong yang dilakukan operasi Sectio Caesarea Transperitoneal pada
tanggal 24 Januari 2018. Tindakan anestesi yang dilakukan adalah anestesi
regional dengan blok subarachnoid. Hal ini dipilih karena keadaan pasien sesuai
dengan indikasi anestesi regional.
Evaluasi pre operasi pada pasien dalam batas normal. Tidak ditemukan
kelainan lain yang menjadi kontraindikasi dilakukannya anestesi regional.
Berdasarkan klasifikasi status fisik pasien pra-anestesi menurut American
Society of Anesthesiologist, pasien digolongkan dalam ASA II .Di ruang
pemulihan (recovery room) vital sign pasien dalam batas normal dan nilai skor
Bromage 1 sehingga pasien bisa dipindahkan ke bangsal.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Westrom KD.
2006. Kehamilan Multi Janin. Dalam: Hatono A, Suyono YJ. Pendit BU.
Obstetri Williams.Volume 1 edisi 21. Jakarta: Penerbit buku kedokteran
EGC.
Fletcher GE. Multiple births. 2009. Available at URL
http://emedicine.medscape.com
Himendra, A. 2004. Teori Anestesiologi:Yayasan Pustaka Wina:Bandung.
Jaideep J Pandit. Intravenous Anaesthetic Drug. 2007. Anaesthesia And Intensive

Care Medicine 9:4. Diunduh dari:

http://www.philippelefevre.com/downloads/basic_sciences_articles/iv-

anaesthetic-agents/intravenous-anaesthetic-agents.pdf

Kliegman RM. 2000. Kehamilan multiple. Dalam: Wahab AS, editor bahasa

Indonesia. Ilmu kesehatan anak. Volume 1 edisi 15. Jakarta: Penerbit buku

kedokteran EGC.

Latief, SA, Suryadi, KA, Dachlan, R.2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi edisi
ketiga. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta.
Liewellyn-Jones D. 2002. Kelainan presentasi janin. Dalam: Hadyanto, editor
edisi bahasa Indonesia. Dasar-dasar Obstetri dan Ginekologi. Edisi 6.
Hipokrates, Jakarta.
Mangku G,dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Anasthesia dan Reanimasi. Cetakan

pertama. Jakarta : Universitas Udayana Indeks.

Mansjoer A, Triyanti K, Wardhani WI. Et all (editor). 2007. Kapita Selekta

Kedokteran. Cetakan keenam : Media Aesculapius – FK UI.


Muhiman, Roesli Thaib, Sunatrio, Dahlan. 1998. ANESTESIOLOGI , Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta.
Omoigui, S. 1997. Obat-obatan Anastesia. EGC : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai