Disusun oleh :
Kelompok 2
1
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Laparatomi adalah suatu potongan pada dinding abdomen seperti caesarean
section sampai membuka selaput perut. Perawatan post laparatomi adalah bentuk
pelayanan perawatan yang diberikan kepada pasien-pasien yang telah menjalani
operasi pembedahan perut. Tujuan perawatan post laparatomi antara lain:
Mengurangi komplikasi akibat pembedahan, mempercepat penyembuhan,
mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi,
mempertahankan konsep diri pasien dan mempersiapkan pasien pulang, hal inilah
yang membuat pasien dengan pasca bedah memerlukan perawatan yang
maksimal. Pada pasien post operasi laparatomi seorang pasien memerlukan
perawatan yang maksimal demi mempercepat proses kesembuhan luka pasca
bedah bahkan penyembuhan fisik pasien itu sendiri. Pengembalian fungsi fisik
pasien post-op laparatomi dilakukan segera setelah operasi dengan latihan napas
dan batuk efektf, latihan mobilisasi dini.
Post operasi laparatomi yang tidak mendapatkan perawatan maksimal setelah
pasca bedah dapat memperlambat penyembuhan pasien itu sendiri. Laporan
departement kesehatan Indonesia (DEPKES RI) laparatomi meningkat dari 162
pada tahun 2005 menjadi 983 kasus pada tahun 2006 dan 1.281 kasus pada tahun
2007.
Dengan melihat kondisi pasien post operasi laparatomi yang memerlukan
perawatan maka perlu dilakukannya intervensi dengan maksud untuk mengurangi
tegangan melalui latihan pernapasan dan mobilisasi dini untuk mempercepat
proses kesembuhan dan kepulangan pasien serta dapat memberikan kepuasan atas
perawatan yang diberikan.
Teknik relaksasi, relaksasi progresif dengan dan tanpa ketegangan otot dan
teknik manipulasi pikiran mengurangi komponen fisiologis dan emosional stres.
Teknik relaksasi adalah perilaku yang diperlajari dan membantu waktu penelitian
dan praktek. Snyder dan Egan menemukan teknik relaksasi sebagai metode utama
untuk menghilangkan stres, tujuannya untuk menghasilkan respon yang dapat
memerangi respon stres. Pada pasien post operasi latihan napas dalam, bantu
2
batuk dan menekan insisi meningkatkan ekspansi paru maksimal dan alat
pembersihan jalan napas sehingga menurunkan resiko atelektasis, pneumonia.
Perawat menganjurkan klien untuk melakukan ambulasi lebih awal, sebagian
besar klien diharapkan dapat melakukan ambulasi setelah pembedahan bergantung
pada beratnya pembedahan dan kondisi klien. Pemberian posisi post operasi untuk
mencegah terjadinya kontraktur pinggul dan lutut sangat penting, latihan
pascaoperasi, latihan tentang gerak dimulai segera mungkin. Ubah posisi secara
periodik dan ambulasi sedini mungkin meningkatkan pengisian udara seluruh
segmen paru, memobilisasi dan mengeluarkan sekret.
B. Tujuan
Tujuan penulisan laporan ini antara lain:
1. Mengetahui defenisi laparatomi.
2. Mengetahui indikasi dilakukannya mobilisasi.
3. Mengetahui tahap-tahap mobilisasi dini.
4. Mengetahui Manfaat dan kerugian dalam melakukan mobilisasi.
3
BAB II
ISI
A. Definisi Laparatomi
Laparatomi adalah pembedahan perut, membuka selaput perut dengan
operasi. Bedah laparatomi merupakan tindakan operasi pada daerah abdomen,
bedah laparatomi merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah
abdomen yang dapat dilakukan pada bedah digestif dan kandungan.
Pembedahan perut sampai membukaselaput perut.
C. Definisi Mobilisasi
Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas,
mudah dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat.
Mobilisasi diperlukan untuk meninngkatkan kesehatan, memperlambat proses
penyakit khususnya penyakit degeneratif dan untuk aktualisasi (Mubarak,
2008).
4
Faktor-faktor yang mempngaruhi mobilisasi
1. Gaya hidup
Mobilitas seseorang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, nilai-nilai
yang dianut, serta lingkungan tempat ia tinggal (masyarakat).
2. Ketidakmampuan
Kelemahan fisik dan mental akan menghalangi seseorang untuk
melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Secara umum ketidakmampuan
dibagi menjadi dua yaitu :
a. Ketidakmampuan primer yaitu disebabkan oleh penyakit atau trauma
(misalnya : paralisis akibat gangguan atau cedera pada medula
spinalis).
b. Ketidakmampuan sekunder yaitu terjadi akibat dampak dari
ketidakmampuan primer (misalnya : kelemahan otot dan tirah baring).
Penyakit-penyakit tertentu dan kondisi cedera akan berpengaruh
terhadap mobilitas.
3. Tingkat energi
Energi dibutuhkan untuk banyak hal, salah satunya mobilisasi. Dalam hal
ini cadangan energi yang dimiliki masing-masing individu bervariasi.
4. Usia
Usia berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam melakukan
mobilisasi. Pada individu lansia, kemampuan untuk melakukan aktifitas
dan mobilisasi menurun sejalan dengan penuaan (Mubarak, 2008).
5
kondisi seperti pra pembedahan dapat dipersingkat. Dan tentu ini akan
mengurangi waktu rawat di rumah sakit, menekan pembiayaan serta juga
dapat mengurangi stress psikis.
Dengan bergerak, hal ini akan mencegah kekakuan otot dan sendi
sehingga juga mengurangi nyeri, menjamin kelancaran peredaran darah,
memperbaiki pengaturan metabolisme tubuh, mengembalikan kerja fisiologis
organ-organ vital yang pada akhirnya justru akan mempercepat penyembuhan
luka. Menggerakkan badan atau melatih kembali otot-otot dan sendi pasca
operasi di sisi lain akan memperbugar pikiran dan mengurangi dampak negatif
dari beban psikologis yang tentu saja berpengaruh baik juga terhadap
pemulihan fisik. Pengaruh latihan pasca pembedahan terhadap masa pulih ini,
juga telah dibuktikan melalui penelitian penelitian ilmiah. Mobilisasi sudah
dapat dilakukan sejak 8 jam setelah pembedahan, tentu setelah pasien sadar
atau anggota gerak tubuh dapat digerakkan kembali setelah dilakukan
pembiusan regional.
Pada saat awal, pergerakan fisik bisa dilakukan di atas tempat tidur
dengan menggerakkan tangan dan kaki yang bisa ditekuk atau diluruskan,
mengkontraksikan otot-otot dalam keadaan statis maupun dinamis termasuk
juga menggerakkan badan lainnya, miring ke kiri atau ke kanan. Pada 12
sampai 24 jam berikutnya atau bahkan lebih awal lagi badan sudah bisa
diposisikan duduk, baik bersandar maupun tidak dan fase selanjutnya duduk di
atas tempat tidur dengan kaki yang dijatuhkan atau ditempatkan di lantai
sambil digerak-gerakan. Di hari kedua pasca operasi, rata-rata untuk pasien
yang dirawat di kamar atau bangsal dan tidak ada hambatan fisik untuk
berjalan, semestinya memang sudah bisa berdiri dan berjalan di sekitar kamar
atau keluar kamar, misalnya berjalan sendiri ke toilet atau kamar mandi
dengan posisi infus yang tetap terjaga.
Bergerak pasca operasi selain dihambat oleh rasa nyeri terutama di
sekitar luka operasi, bisa juga oleh beberapa selang yang berhubungan dengan
tubuh, seperti; infus, cateter, pipa nasogastrik (NGT=nasogastric tube),
drainage tube, kabel monitor dan lain-lain. Perangkat ini pastilah berhubungan
dengan jenis operasi yang dijalani. Namun paling tidak dokter bedah akan
6
mengintruksikan susternya untuk membuka atau melepas perangkat itu tahap
demi tahap seiring dengan perhitungan masa mobilisasi ini. Untuk operasi di
daerah kepala, seperti trepanasi, operasi terhadap tulang wajah, kasus THT,
mata dan lain-lain, setelah sadar baik, sudah harus bisa menggerakkan bagian
badan lainnya. Akan diperhatikan masalah jalan nafas dan kemampuan
mengkonsumsi makanan jika daerah operasinya di sekitar rongga mulut,
hidung dan leher. Terhadap operasi yang dikerjakan di daerah dada, perhatian
utama pada pemulihan terhadap kemampuan otot-otot dada untuk tetap
menjamin pergerakan menghirup dan mengeluarkan nafas. Untuk operasi di
perut, jika tidak ada perangkat tambahan yang menyertai pasca operasi, tidak
ada alasan untuk berlama-lama berbaring di tempat tidur. Perlu diperhatikan
kapan diit makanan mulai diberikan, terutama untuk jenis operasi yang
menyentuh saluran pencernaan. Yang luka operasinya berada di areal
punggung, misalnya pada pemasangan fiksasi pada tulang belakang,
kemampuan untuk duduk sedini mungkin akan menjadi target dokter
bedahnya. Sedangkan operasi yang melibatkan saluran kemih dengan
pemasangan cateter dan atau pipa drainage sudah akan memberikan
keleluasaan untuk bergerak sejak dua kali 24 jam pasca operasi. Apalagi
operasi yang hanya memperbaiki anggota gerak, seperti operasi patah tulang,
sudah menjadi kewajiban pasien untuk menggerakkan otot dan persendian di
sekitar areal luka operasinya secepat mungkin.
E. Mobilisasi dini
Mobilisasi dini yaitu kebijaksanaan selekas mungkin membimbing
penderita keluar dari tempat tidurnya dan membimbingnya selekas mungkin
berjalan serta merupakan aspek terpenting pada fungsi fisiologis karena hal itu
esensial untuk mempertahankan kemandirian. Mobilisasi dini juga
didefenisikan sebagai suatu pergerakan, posisi atau adanya kegiatan yang
dilakukan pasien setelah beberapa jam post/pasca operasi.
Biasanya pasien diposisikan untuk berbaring ditempat tidur agar
keadaannya stabil. Posisi awal yaitu posisi trendelenburg (posisi kepala lebih
7
rendah dari pada kaki), kemudian dlanjutkan dengan posisi SIM kiri dan
kanan, serta posisi fowler.
1. Posisi Trendelenburg
Yang dimaksud dengan posisi tidur trendelenburg adalah posisi
tidur pasien dalam posisi bagian kepala lebih rendah dari pada bagian kaki
yang bertujuan entuk melancarkan aliran darah ke otak pasca operasi.
Cara melaksanakan posisi tidur trendelenburg ini adalah sebagai berikut :
a. Memberi tahu pasien
b. Mencuci tangan
c. Mengangkat bantal
d. Memasang balok pada kedua kaki tempat tidur, di bagian kaki pasien
atau menaikkan pada bagian kaki bila ada tempat tidur yang bias
diatur.
e. Merapikan pasien
f. Mencuci tangan.
2. Posisi Sim kanan dan kiri
Yang dimaksud dengan posisi tidur sim’s adalah posisi tidur dalam
posisi setengah telungkup. Cara mengerjakan posisi tidur sim’s adalah
sebagai berikut:
a. Memberi tahu pasien
b. Mencuci tangan
c. Mengangkat bantal
d. Letakkan kedua tangan pasien di atas dada, kedua tungkai di tekuk.
e. Perawat memasukkan kedua lengannya ke bawah bahu dan pangkal
paha.
f. Mengangkat dengan perlahan badan pasien, dan ditarik kearah
perawat, kemudian dimiringkan membelakangi perawat sampai dada
menyentuh kasur, lengan di sisi yang tertindih diluruskan sejajar
dengan punggung.
g. Merapikan pasien.
h. Mencuci tangan
8
3. Posisi Fowler
Posisi fowler adalah posisi setengah duduk a.tau duduk, di mana
bagian kepala tempat tidur lebih tinggi atau dinaikan. Posisi ini dilakukan
untuk mempertahankan kenyamanan dan memfasilitasi fungsi pernapasan
pasien.Bertujuan sebagai, mobilisasi, memberikan perasaan nyaman pada
pasien yang sesak napas, serta mencegah terjadinya dekubitus.
a. Dudukkan pasien
b. Berikan sandaran pada tempat tidur pasien atau atur tempat tidur,
untuk posisi semifowler (30-45 derajat) dan untuk fowler (90 derajat)
c. Anjurkan pasien untuk tetap berbaring setengah duduk
9
1. Setelah operasi, pada 6 jam pertama pasien paska operasi laparatomi harus
tirah baring dulu. Mobilisasi dini yang bisa dilakukan adalah menggerakkan
lengan, tangan, menggerakkan ujung jari kaki dan memutar pergelangan kaki,
mengangkat tumit, menegangkan otot betis serta menekuk dan menggeser
kaki.
2. Setelah 6-10 jam, pasien diharuskan untuk dapat miring kekiri dan kekanan
mencegah trombosis dan trombo emboli.
3. Setelah 24 jam pasien dianjurkan untuk dapat mulai belajar untuk duduk.
4. Setelah pasien dapat duduk, dianjurkan pasien belajar berjalan
G. Diagnosa Keperawatan
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi sensori
H. Intervensi Keperawatan
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan sensori persepsi.
No Diagnosa Tujuan Keperawatan Rencana Tindakan
Keperawatan ( NOC ) (NIC )
(NANDA)
Hambatan Setelah dilakukan asuhan Latihan Kekuatan
mobilitas fisik keperawatan selama ...x - Ajarkan dan berikan
berhubungan 24 jam klien dorongan pada klien
dengan : menunjukkan: untuk melakukan
Kerusakan - Mampu mandiri total program latihan secara
sensori persepsi. Dalam hal : rutin
- Penampilan posisi tubuh Latihan untuk ambulasi
yang benar - Ajarkan teknik Ambulasi
- Pergerakan sendi dan & perpindahan yang
otot aman kepada klien dan
- Melakukan perpindahan/ keluarga.
ambulasi : miring - Sediakan alat bantu untuk
kanan-kiri, berjalan, klien seperti kruk, kursi
kursi roda roda, dan walker
10
- Beri penguatan positif
untuk berlatih mandiri
dalam batasan yang
aman.
Latihan mobilisasi dengan
kursi roda
- Ajarkan pada klien &
keluarga tentang cara
pemakaian kursi roda &
cara berpindah dari kursi
roda ke tempat tidur atau
sebaliknya.
- Dorong klien melakukan
latihan untuk
memperkuat anggota
tubuh
- Ajarkan pada klien/
keluarga tentang cara
penggunaan kursi roda
Latihan Keseimbangan
- Ajarkan pada klien &
keluarga untuk dapat
mengatur posisi secara
mandiri dan menjaga
keseimbangan selama
latihan ataupun dalam
aktivitas sehari hari.
Perbaikan Posisi Tubuh
yang Benar
- Ajarkan pada klien/
keluarga untuk
memperhatikan postur
11
tubuh yg benar untuk
menghindari kelelahan,
keram & cedera.
- Kolaborasi ke fisioterapi
untuk program latihan.
I. Resume Kasus
J. Hasil Diskusi
K. Pembahasan
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. 2008. Konsep dan aplikasi kebutuhan dasar klien. Jakarta : Salemba
Medika.
Mubarak, W.I. 2008. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: EGC.
Perry & Potter. 2006. Buku ajar fundal mental keperawatan konsep, proses dan
praktik. Edisi 4. Jakarta : EGC.
13
Tarwoto & Wartonah, 2003. Kebutuhan dasar manusia & proses keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika.
Corwin Elizabeth, 2001, Patofisiologi, EGC, Jakarta.
Doegoes, Moorhouse, & Geissler 2000, Rencana asuhan keperawatan edisi 3,
EGC, Jakarta.
Sjamsurihidayat dan Jong, 1997, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta.
Smetzer S C, Bare B G, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 2,
EGC, Jakarta.
Soeparman, dkk. Ilmu Penyakit Dalam : Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1987, Edisi
II.
NANDA International. 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi, Dan Klasifikasi
2015-2017/Editor, T. Heather Herdman. Alih Bahasa,Budi Anna
Keliat...(et al); Editor Penyelaras, Monica Ester.Edisi 10. Jakarta: EGC.
14