Alarm jam tanganku berbunyi, Tiiiittt . . . Alarm yang telah kuatur untuk
mengingatkanku bertemu dengannya. Aku segera beranjak menemuinya di kantin
kampus, tempat mahasiswa-mahasiswi berbagi cerita mengenai hitam putih
kehidupan perkuliahan ini. Sekilas tentang dia, dia yang akan kutemui di kantin. Dia,
dia yang akan kutemui adalah Kiki, seorang mahasiswa dari jurusan Kimia.
Seseorang yang menjadi idola hampir setiap mahasiswi di kampus ini. Namun tidak
denganku, aku begitu membencinya. Dia selalu belajar di kantin seakan-akan
memamerkan kesempurnaannya. Perempuan-perempuan di kampus ini menilai
dirinya adalah seseorang yang keren. Katanya, dia tampan, pintar, tidak sombong,
selalu tersenyum kepada siapapun, dan semua hal positif dia memilikinya. Memang
benar dia memiliki wajah yang rupawan, badannya pun tegak dan gagah. Tetapi
biasanya orang tampanlah yang membahayakan setiap wanita. Orang tampanlah
yang mempermainkan wanita. Mendengar hal-hal yang orang-orang katakan
membuat bulu kuduku bergetar dan ingin membuktikan apakah dia benar-benar
orang seperti itu. Akupun mengajaknya untuk bertemu dengan alasan ingin meminta
bantuannya untuk menyelesaikan tugas.
“Baik. Kau pasti mengetahuiku, sehingga kau bisa menelponku. Benar kan?”
Wah, dia benar-benar sombong, dengan PD-nya dia yakin dia sepopuler itu.
Membuatku makin ingin meluruskan jidatku sebelum makin mengerut seperti ini. Aku
berusaha tetap tersenyum agar misiku tidak gagal.
“Ha…ha…ha… Kau memang pintar ya. Seperti yang aku kira. Iya, memang benar
aku mengetahuimu karena kepopuleranmu”
“Bisakah kau di sini sebentar untuk menemaniku berbicara? Hanya kali ini saja.
Kuharap kau tidak keberatan.”
Aku heran, bisa-bisanya dia meminta seperti itu pada orang yang baru dia
kenal. Ya, memang benar dia telah membantuku, tapi masih ada keraguan di hati ini
terhadapnya. Tapi, aku tidak sekejam orang jahat yang langsung menolak sesuatu
dengan alasan yang dapat menggoreskan luka di hati orang lain. Akupun
menolaknya karena memang aku masih ada kelas saat itu.
*****
Pagi itu, ketika aku baru saja datang di kampus, aku mendengar beberapa
celotehan dari orang-orang di sekitar.Di telingaku terdengar berisik sekali. Hampir
sepanjang jalan aku mendengarnya. Aku mendengar bahwa si Kiki sedang
mencariku akhir-akhir ini. Pantas saja mereka terus nyerocos sambil memandangiku
ketika aku lewat. Nampaknya mereka sedang iri. Mendengar hal itu, akupun
penasaran dan bergegas mencari Kiki. Aku langsung tahu di mana Kiki sedang
berada. Tentu di kantin, tempat dia menebarkan karismanya.
“Kau, kemana saja beberapa hari ini? Aku sudah mengerjakan tugasmu. Juga, ada
yang ingin kukatakan padamu.”
“Oh, terimakasih. Beberapa hari ini aku ada kepentingan. Apa yang hendak kau
katakan?”
Aku tidak mengerti apa yang dia katakan. Tiiittt . . . Ketika Kiki hendak
bercerita lebih dalam, alarm jam tanganku berbunyi, alarm yang telah kuatur sebagai
pengingat bahwa tiba waktunya untuk mengerjakan tugas kelompok. Terpaksa aku
harus memotong pembicaraan itu dan segera pergi meninggalkannya.
*****
Beberapa hari berlalu. Siang itu, aku melihat Kiki menundukkan kepalanya di
sebuah meja di kantin kampus dengan buku sebagai alasnya. Nampaknya dia
sedang dalam kondisi yang buruk.
“Kau . . . ada apa? Mengapa kau selalu menyendiri di sini? Mengapa tak di
perpustakaan saja? Bukankah jauh lebih baik jika kau belajar di perpustakaan?”
“Aku tak apa. Hanya saja, aku benci perpustakaan karena aku benci kesunyian.
Tetapi aku tidak membenci buku yang pada dasarnya berasal dari perpustakaan,
karena buku mampu meredupkan kesunyianku. Setidaknya berada di kantin mampu
meredam kesunyianku meskipun aku hanya membaca sendiri. Teman – temanku
selama ini menganggap aku belajar di kantin hanyalah sebuah cara untuk menarik
perhatian kepada orang-orang. Padahal tujuanku belajar adalah untuk membuktikan
bahwa seseorang yang kesepian ini mampu melakukan apa yang tidak bisa
dilakukan oleh orang lain. Hidupku selama ini telah dipenuhi oleh kesunyian.
Kemanapun aku pergi, kesunyian mengikutiku. Jika hanya dipandang oleh mata,
memang benar banyak orang yang mengagumiku. Mengagumi kelebihanku. Tapi,
jika dipandang dengan hati, maka kau akan tahu bahwa kesunyianlah yang selalu
menemaniku.”
“Aku lelah. Benar semuanya seolah berpihak padaku. Tapi, mereka tidak selalu ada
untukku. Mereka hanya melihat sisi positifku, tidak pada sisi negatifku. Mereka tahu
bahwa aku membenci kesunyian. Aku membenci kesunyian karena aku kini memang
hidup sendirian. Aku ingin memiliki orang yang selalu bisa menemaniku di kala
senang dan gundah. Namun, mereka hanya menemuiku untuk sekedar menyapa
ataupun meminta bantuan mengerjakan tugas. Mereka mengagumiku hanya untuk
kepentingan tersebut. Di kala sedih, tak ada seorang pun yang datang menemuiku.
Mengapa mereka begitu kejam?”
“Kau tak perlu melakukan apapun. Kau hanya perlu menjadi seseorang yang selalu
menemaniku. Apakah kau baik-baik saja jika aku menaruh hati kepadamu?”
“Hah? Apa yang kau maksud? Kau, mengapa bisa kau mengatakan itu padaku. Kita
belum lama saling mengenal. Kau bahkan belum mengetahui namaku.”
“ Putri. Ya, itu namamu. Jangan kau berpikir pendek dulu kepadaku. Kumohon
dengarkan aku.”
*****
“……”, tak menjawab. Lalu aku menutup teleponnya. Tak lama kemudian seseorang
itu menelepon lagi. Kuangkat. Tapi, aku hanya diam, kubiarkan dia berbicara dahulu.
“Putri. Dengarkan aku baik-baik. Aku mencintaimu. Mencintaimu dalam diam. Aku
telah memperhatikanmu selama ini. Bahkan kau tak menghiraukanku. Kau, kau tak
sama seperti orang lain. Mereka hanya segerombol orang yang memujaku. Mereka
hanya mampu melihat kelebihanku. Mereka, tak ada yang mau mendengarkan keluh
kesahku sepertimu. Kau berbeda dengan yang lain. Maukah kau menemaniku
mememecahkan kesunyian- kesunyianku?”
“ Bagaimana jika ternyata aku seperti orang-orang itu? Apakah itu tak apa-apa?”
“ Tidak mungkin. Aku mengerti seperti apa dirimu, Putri. Kau tidak akan seperti itu.
Aku yakin. Kuharap kau mau menjadi satu-satunya orang yang mau menemaniku
dalam melewati hitam dan putih kehidupan ini.”
“ Sejujurnya aku tak tahu harus bagaimana. Tapi, akan kucoba. Aku tak berjanji
untuk selalu bisa mengenai hal itu, tapi aku akan selalu mencoba mengenai hal itu.”
*****