Anda di halaman 1dari 6

Dalam Hati Ada Sunyi

Jika cinta bisa tumbuh tanpa alasan,


Bisakah kebencian juga lahir tanpa alasan?
Karena kebencianku padanya sudah bulat dan berkeping-keping
Bahkan sebelum aku mengenalnya.

Alarm jam tanganku berbunyi, Tiiiittt . . . Alarm yang telah kuatur untuk
mengingatkanku bertemu dengannya. Aku segera beranjak menemuinya di kantin
kampus, tempat mahasiswa-mahasiswi berbagi cerita mengenai hitam putih
kehidupan perkuliahan ini. Sekilas tentang dia, dia yang akan kutemui di kantin. Dia,
dia yang akan kutemui adalah Kiki, seorang mahasiswa dari jurusan Kimia.
Seseorang yang menjadi idola hampir setiap mahasiswi di kampus ini. Namun tidak
denganku, aku begitu membencinya. Dia selalu belajar di kantin seakan-akan
memamerkan kesempurnaannya. Perempuan-perempuan di kampus ini menilai
dirinya adalah seseorang yang keren. Katanya, dia tampan, pintar, tidak sombong,
selalu tersenyum kepada siapapun, dan semua hal positif dia memilikinya. Memang
benar dia memiliki wajah yang rupawan, badannya pun tegak dan gagah. Tetapi
biasanya orang tampanlah yang membahayakan setiap wanita. Orang tampanlah
yang mempermainkan wanita. Mendengar hal-hal yang orang-orang katakan
membuat bulu kuduku bergetar dan ingin membuktikan apakah dia benar-benar
orang seperti itu. Akupun mengajaknya untuk bertemu dengan alasan ingin meminta
bantuannya untuk menyelesaikan tugas.

Dddp...dddp…dddp… Aku mendengar langkah itu dari belakang. Seseorang


yang memakai sepatu pantofel itu semakin mendekat. Jantungku berdegup
kencang. Keringatku mengalir dengan derasnya. Wajahku memerah. Tubuhku
serasa kaku untuk digerakkan. Hawa di sekitar terasa makin dingin menusuk
tubuhku. Seketika, semua itu pecah ketika dia duduk di depanku dan hanya
memandangku dengan diam. Dalam batinku berkata “Apa-apaan ini? Eye contact-
nya. Kenapa dia terus-menerus menatapku dengan tatapan itu?” . Akupun langsung
memecahkan suasana itu dengan meringis dan melambaikan tangan kepadanya,
seolah aku juga salah satu dari mahasiswi-mahasiswi yang mengaguminya. Ah, itu
hanyalah sebuah keterpaksaan. Berkat yang kulakukan itu, diapun menyapaku.
“Ehhhm, kamu mahasiswi dari jurusan Ekonomi yang waktu itu menelponku untuk
meminta bantuan, ya? Jadi, ternyata kamu.”

“I…ii..ya. Hehehe”, aku gugup sekali, tak tahu mengapa.

“Baik. Kau pasti mengetahuiku, sehingga kau bisa menelponku. Benar kan?”

Wah, dia benar-benar sombong, dengan PD-nya dia yakin dia sepopuler itu.
Membuatku makin ingin meluruskan jidatku sebelum makin mengerut seperti ini. Aku
berusaha tetap tersenyum agar misiku tidak gagal.

“Ha…ha…ha… Kau memang pintar ya. Seperti yang aku kira. Iya, memang benar
aku mengetahuimu karena kepopuleranmu”

Kemudian, aku menceritakan mengenai tugasku. Dengan serius dia


memperhatikanku. Mendengarkan apa yang kubicarakan. Dan memberiku saran-
saran mengenai kesulitan yang aku hadapi dalam mengerjakan tugas itu. Selagi dia
menjelaskan kepadaku, dia menjelaskan dengan penuh karisma, aura
kesempurnaannya pun muncul. Juga, dia bercerita tentang dirinya yang sebenarnya
tak kumengerti. Lagi – lagi, jantungku berdegup kencang, keringatku mengalir
dengan derasnya, wajahku memerah, tubuhku serasa kaku untuk digerakkan. Ada
apa denganku? Apakah aku jatuh hati padanya? Tidak mungkin! Selama ini yang
kutahu adalah aku membencinya. Namun, perasaan apa yang seperti ini? Tetapi aku
mulai berpikir bahwa yang kupikirkan selama ini adalah sebuah kesalahan.
Nampaknya dia benar-benar orang baik. Setelah semuanya telah aku ceritakan,
akupun berdiri dan berniat untuk kembali ke kelas, tapi… tiba-tiba dia bergumam.

“Bisakah kau di sini sebentar untuk menemaniku berbicara? Hanya kali ini saja.
Kuharap kau tidak keberatan.”

Aku heran, bisa-bisanya dia meminta seperti itu pada orang yang baru dia
kenal. Ya, memang benar dia telah membantuku, tapi masih ada keraguan di hati ini
terhadapnya. Tapi, aku tidak sekejam orang jahat yang langsung menolak sesuatu
dengan alasan yang dapat menggoreskan luka di hati orang lain. Akupun
menolaknya karena memang aku masih ada kelas saat itu.

*****
Pagi itu, ketika aku baru saja datang di kampus, aku mendengar beberapa
celotehan dari orang-orang di sekitar.Di telingaku terdengar berisik sekali. Hampir
sepanjang jalan aku mendengarnya. Aku mendengar bahwa si Kiki sedang
mencariku akhir-akhir ini. Pantas saja mereka terus nyerocos sambil memandangiku
ketika aku lewat. Nampaknya mereka sedang iri. Mendengar hal itu, akupun
penasaran dan bergegas mencari Kiki. Aku langsung tahu di mana Kiki sedang
berada. Tentu di kantin, tempat dia menebarkan karismanya.

“Eehhm, apakah kau baik-baik saja?”

“Kau, kemana saja beberapa hari ini? Aku sudah mengerjakan tugasmu. Juga, ada
yang ingin kukatakan padamu.”

“Oh, terimakasih. Beberapa hari ini aku ada kepentingan. Apa yang hendak kau
katakan?”

“Sesuatu yang membuatku kagum. Bukan sesuatu, seseorang tepatnya.


Memandangku dengan cara yang berbeda dari kebanyakan orang. Dia
mengetahuiku lebih dari yang orang lain tahu. Tapi, nampaknya dia tak sadar akan
hal itu. “

Aku tidak mengerti apa yang dia katakan. Tiiittt . . . Ketika Kiki hendak
bercerita lebih dalam, alarm jam tanganku berbunyi, alarm yang telah kuatur sebagai
pengingat bahwa tiba waktunya untuk mengerjakan tugas kelompok. Terpaksa aku
harus memotong pembicaraan itu dan segera pergi meninggalkannya.

Di sepanjang jalan, otakku terus berputar-putar meresapi apa yang Kiki


katakan. Dia sungguh membingungkan. Tapi aku heran, mengapa seolah rasa
benciku kepadanya kian memudar? Padahal dia hanya membantuku mengerjakan
satu tugas, tak ada yang lebih dari itu. Puluhan pertanyaan terus berlarian di
kepalaku.

*****

Beberapa hari berlalu. Siang itu, aku melihat Kiki menundukkan kepalanya di
sebuah meja di kantin kampus dengan buku sebagai alasnya. Nampaknya dia
sedang dalam kondisi yang buruk.
“Kau . . . ada apa? Mengapa kau selalu menyendiri di sini? Mengapa tak di
perpustakaan saja? Bukankah jauh lebih baik jika kau belajar di perpustakaan?”

“Aku tak apa. Hanya saja, aku benci perpustakaan karena aku benci kesunyian.
Tetapi aku tidak membenci buku yang pada dasarnya berasal dari perpustakaan,
karena buku mampu meredupkan kesunyianku. Setidaknya berada di kantin mampu
meredam kesunyianku meskipun aku hanya membaca sendiri. Teman – temanku
selama ini menganggap aku belajar di kantin hanyalah sebuah cara untuk menarik
perhatian kepada orang-orang. Padahal tujuanku belajar adalah untuk membuktikan
bahwa seseorang yang kesepian ini mampu melakukan apa yang tidak bisa
dilakukan oleh orang lain. Hidupku selama ini telah dipenuhi oleh kesunyian.
Kemanapun aku pergi, kesunyian mengikutiku. Jika hanya dipandang oleh mata,
memang benar banyak orang yang mengagumiku. Mengagumi kelebihanku. Tapi,
jika dipandang dengan hati, maka kau akan tahu bahwa kesunyianlah yang selalu
menemaniku.”

“Apa maksud dari perkataanmu?”

“Aku lelah. Benar semuanya seolah berpihak padaku. Tapi, mereka tidak selalu ada
untukku. Mereka hanya melihat sisi positifku, tidak pada sisi negatifku. Mereka tahu
bahwa aku membenci kesunyian. Aku membenci kesunyian karena aku kini memang
hidup sendirian. Aku ingin memiliki orang yang selalu bisa menemaniku di kala
senang dan gundah. Namun, mereka hanya menemuiku untuk sekedar menyapa
ataupun meminta bantuan mengerjakan tugas. Mereka mengagumiku hanya untuk
kepentingan tersebut. Di kala sedih, tak ada seorang pun yang datang menemuiku.
Mengapa mereka begitu kejam?”

“Hmmm. Aku . . . aku . . . tak mengerti sepenuhnya. Yang terpenting adalah


lakukanlah hal-hal yang menurut hatimu paling benar, maka kau akan bisa kuat.
Lalu, dengan curahan hatimu ini, apa yang bisa kulakukan?”

“Kau tak perlu melakukan apapun. Kau hanya perlu menjadi seseorang yang selalu
menemaniku. Apakah kau baik-baik saja jika aku menaruh hati kepadamu?”

“Hah? Apa yang kau maksud? Kau, mengapa bisa kau mengatakan itu padaku. Kita
belum lama saling mengenal. Kau bahkan belum mengetahui namaku.”
“ Putri. Ya, itu namamu. Jangan kau berpikir pendek dulu kepadaku. Kumohon
dengarkan aku.”

Aku langsung pergi meninggalkan Kiki. Memang, aku sempat luluh


mendengarkan ceritanya. Tapi aku juga sangat kesal. Seperti pecah rasanya
kepalaku. Jadi, selama ini benar yang aku pikirkan mengenai laki-laki tampanlah
yang membahayakan wanita. Aku tidak habis pikir tentangnya. Berani-beraninya dia
mengatakan hal seperti itu kepadaku. Tapi, terselip rasa yang tak kumengerti di hati
ini. Aku melihat kepedihan di matanya. Aku bingung karenanya.

*****

Malam itu, ketika aku sedang merebahkan tubuhku untuk sekedar


merilekskan badan dan pikiranku, ponselku tiba-tiba bergetar. Seseorang
menelponku. Tak tahu siapa. Kuraih ponselku yang kuletakkan di sebuah meja
bundar di samping tempat tidurku.

“Iya. Ini Putri. Maaf, dengan siapa saya berbicara?”

“……”, tak menjawab. Lalu aku menutup teleponnya. Tak lama kemudian seseorang
itu menelepon lagi. Kuangkat. Tapi, aku hanya diam, kubiarkan dia berbicara dahulu.

“Putri. Dengarkan aku baik-baik. Aku mencintaimu. Mencintaimu dalam diam. Aku
telah memperhatikanmu selama ini. Bahkan kau tak menghiraukanku. Kau, kau tak
sama seperti orang lain. Mereka hanya segerombol orang yang memujaku. Mereka
hanya mampu melihat kelebihanku. Mereka, tak ada yang mau mendengarkan keluh
kesahku sepertimu. Kau berbeda dengan yang lain. Maukah kau menemaniku
mememecahkan kesunyian- kesunyianku?”

Seketika, air mataku mengalir perlahan di pipiku. Perasaan bersalahpun


menyelimutiku. Benar, yang kupikirkan tentangnya selama ini adalah salah. Ternyata
senyum yang terpancar dalam dirinya itu, menyembunyikan kesunyian yang dalam
di hatinya. Tak lupa kuberpikir mengenai perasaanku. Apakah benar aku juga telah
jatuh hati padanya sehingga setiap kali kubertemu dengannya selalu merasakan hal-
hal yang tak kurasakan sebelumnya? Setelah berpikir dalam-dalam, aku kembali
menjawab telepon darinya.

“ Bagaimana jika ternyata aku seperti orang-orang itu? Apakah itu tak apa-apa?”
“ Tidak mungkin. Aku mengerti seperti apa dirimu, Putri. Kau tidak akan seperti itu.
Aku yakin. Kuharap kau mau menjadi satu-satunya orang yang mau menemaniku
dalam melewati hitam dan putih kehidupan ini.”

“ Sejujurnya aku tak tahu harus bagaimana. Tapi, akan kucoba. Aku tak berjanji
untuk selalu bisa mengenai hal itu, tapi aku akan selalu mencoba mengenai hal itu.”

Seketika, suara di telepon itu kian meredup. Aku mendengarnya menangis


jauh di sana. Aku baru tahu bahwa dia sebenarnya membutuhkan kekuatan di
sampingnya. Kisah cinta pertamaku yang berawal dari keraguan, akan kugunakan
untuk mempelajari semua hal tentang kehidupan ini. Dan lagi, ku tak akan menilai
orang hanya berdasarkan yang aku lihat.

Kebencian yang lahir tanpa alasan,


Kini tumbuh menjadi cinta.
Cinta yang lahir tanpa alasan.

*****

Anda mungkin juga menyukai