Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sebagai makhluk sosial selalu

melakukan hubungan dengan manusia lainnya dalam rangka untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat materiil maupun immateriil. Dari sekian

banyak hubungan yang dilakukan antar individu itu, salah satu berupa perjanjian

yang diatur dan diberi akibat oleh hukum.

Perjanjian, merupakan salah satu hubungan hukum yang sering dilakukan

dalam pergaulan hidup di dalam masyarakat. Hampir semua bentuk kegiatan dan

hubungan yang dilakukan antara orang yang satu dengan yang lain dalam

masyarakat adalah berupa perjanjian.

Dalam hukum perjanjian, dikenal ada tiga asas dimana antara asas yang

satu dengan yang lainnya saling berkaitan yakni asas konsensualisme (the

principle of consensualism), asas kekuatan mengikatnya kontrak atau asas Pacta

Sunt Servanda (the principle of the binding force of contract), dan asas kebebasan

berkontrak (the principle of freedom of contarct). Sedangkan yang dianut dalam

sistem hukum perjanjian di Indonesia adalah asas “Konsensual”, artinya

perjanjian itu sudah terjadi (ada) sejak tercapainya kata sepakat antara para pihak.

Dengan kata lain perjanjian itu sudah dan mengikat serta mempunyai akibat

hukum sejak saat tercapai kata sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok

perjanjian.1

1
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 85.

1
Menurut Abdulkadir Muhammad, berdasarkan asas konsensual tersebut

dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang dibuat itu dapat dilakukan secara lisan

dan dapat pula dituangkan dalam bentuk tulisan berupa akte, jika dikehendaki

sebagai alat bukti. Dengan demikian, perjanjian yang dibuat menurut sistem

hukum perjanjian di Indonesia tidak harus tertulis, kecuali perjanjian-perjanjian

tertentu yang memang diwajibkan oleh Undang-Undang untuk dalam bentuk

tertulis misalnya perjanjian hibah, perjanjian perdamaian dan sebagainya. Namun

untuk perjanjian-perjanjian lainnya, misalnya jual-beli, sewa menyewa, tukar-

menukar, pemberian kuasa, dan lain- lainnya bisa dibuat secara lisan bisa juga

dalam bentuk tulisan.

Asas ini sangat erat kaitannya dengan asas kebebasan mengadakan

perjanjian,2 yang sering disebut dengan asas kebebasan berkontrak.

Dalam asas kebebasan berkontrak setiap orang diakui memiliki kebebasan untuk

membuat kontrak dengan siapapun juga, menentukan isi kontrak, memilih hukum

yang berlaku bagi kontrak yang bersangkutan, akan tetapi dalam

perkembangannya terutama dalam kegiatan bisnis, pada umumnya perjanjian

dilakukan secara tertulis, yang tentunya dimaksudkan untuk dijadikan alat bukti

bilamana dikemudian hari terjadi suatu permasalahan yang berkenaan dengan

perjanjian yang bersangkutan.

Kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas penting dalam hukum

perikatan. Pada abad kesembilan belas, kebebasan berkontrak sangat diagungkan

dan mendominasi. Keberadaan asas kebebasan berkontrak tidak dapat dilepaskan

dari pengaruh aliran filsafat ekonomi liberal. Di mana dalam bidang ekonomi

2
Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan
Penjelasannya, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 113.

2
berkembang aliran Laissez Faire, yang dipelopori oleh Adam Smith yang

menekankan kepada prinsip non intervensi pemerintah dalam kegiatan ekonomi

dan bekerjanya pasar.3 Di bidang hukum perjanjian, pengaruh aliran Laissez Faire

diwujudkan dalam bentuk pembatasan campur tangan pemerintah terhadap

kontrak-kontrak privat yang mengatur hubungan di antara subyek hukum, baik

individu maupun badan hukum. Sepanjang kontrak-kontrak privat tersebut tidak

bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umum, kepatutan dan

kesusilaan.

Asas kebebasan berkontrak memberi peluang pada subjek hukum untuk

dapat membuat perjanjian yang baru yang belum diatur di dalam KUH Perdata,

agar dapat mengikuti kebutuhan masyarakat akibat adanya perkembangan jaman.

Walaupun demikian, asas kebebasan berkontrak tidaklah bersifat mutlak,

bekerjanya asas ini dibatasi agar perjanjian yang dibuat tidak merugikan salah satu

pihak di dalam suatu perjanjian.

Berkaitan dengan latar belakang di atas, penulis bermaksud untuk

mencoba menganalisis aspek-aspek hukum serta pembatasan-pembatasan yang

ada di dalam asas kebebasan berkontrak pada hukum perjanjian di Indonesia. Oleh

karena itu, sebelum membahas lebih dalam mengenai pembatasan pada asas

kebebasan berkontrak hendaknya dapat diawali pembahasan mengenai aspek-

aspek hukum yang meliputi pengertian, ketentuan yang mengatur dan

implementasi asas kebebasan berkontrak.

3
Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Fakultas Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hlm. 234.

3
B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana ketentuan asas kebebasan berkontrak di dalam KUH Perdata?

2. Bagaimana pembatasan asas kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan utama dari penulisan makalah ini adalah untuk menganalisis

ketentuan asas kebebasan berkontrak di dalam KUH Perdata dan untuk

mengetahui pembatasan asas kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian.

Selain tujuan utama, terdapat tujuan khusus dari penulisan makalah ini yaitu untuk

memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perikatan pada semester IV di Sekolah

Tinggi Hukum Bandung.

D. Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah analisis

deskriptif serta interpretasi melalui beberapa buku sumber referensi dan peraturan

perundang-undangan. Pada beberapa bagian terdapat kutipan berupa buku dan

jurnal online yang merupakan sumber referensi.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Asas Kebebasan Berkontrak

Menurut pasal 1338 jo. 1337 KUH Perdata, asas kebebasan berkontrak

adalah kebebasan seluas-luasnya yang oleh Undang-Undang diberikan kepada

masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban

umum. Kebebasan berkontrak adalah asas yang esensial, baik bagi individu dalam

mengembangkan diri baik di dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan social

kemasyarakatan, sehingga beberapa pakar menegaskan kebebasan berkontrak

merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus di hormati.

Menurut Subekti, pasal tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan

(proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan

mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap

kebebasan itu hanya berupa apa saja yang dinamakan "ketertiban umum dan

kesusilaan". Istilah "semua" di dalamnya terkandung asas partij autonomie,

freedom of contract, beginsel van de contract vrijheid, menyerahkan sepenuhnya

kepada para pihak mengenai isi maupun bentuk perjanjian yang akan mereka buat,

termasuk penuangan ke dalam bentuk kontrak standar.

Asas konsensualisme yang terdapat di dalam pasal 1320 KUH Perdata

mengandung arti kemauan para pihak untuk saling berpartisipasi, ada kemauan

untuk saling mengikatkan diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa

perjanjian itu di penuhi. Asas kepercayaan ini merupakan nilai etis yang

bersumber pada moral.

5
Asas konsensualisme ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas

kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat didalam pasal

1338 ayat (1) KUH Perdata. Ketentuan ini berbunyi “Semua persetujuan yang

dibuat secara sah berlaku sebagai Undang- undang bagi mereka yang

membuatnya”. Semua mengandung arti meliputi seluruh perjanjian,

baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh Undang-Undang.

Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan

menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan perjanjian yang

diperbuat sesuai dengan pasal 1320 KUHPerdata ini mempunyai kekuatan

mengikat.

Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting dalam

hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas,

pancaran hak asasi manusia. Kebebasan berkontrak ini berlatar belakang pada

induvidualisme yang secara embrional dalam zaman yunani, diteruskan dalam

kaum epicuristem dan berkembang pesat dalam zaman reinaissance melalui antara

lain Hugo de Groot, Thomas Hobbes, Jhon locke dan Rousseau. Puncak

perkembangannya tercapai dalam periode setelah revolusi prancis.

Pada penyusunan kontrak terdapat salah satu asas yang terkenal, yaitu asas

kebebasan berkontrak, sebagai asas universal yang dipakai oleh hukum perjanjian

hampir di seluruh negara saat ini. Asas kebebasan berkontrak ini disebut pula

dengan Freedom of Contract, Liberty of Contract atau Party Autonomy,

sedangkan di negara common law dikenal dengan Laissez faire. Berdasarkan asas

ini suatu pihak dapat memperjanjikan dan/ atau tidak memperjanjikan apa-apa

yang dikehendakinya dengan pihak lain.

6
Menurut Ridwan Khairandy, asas ini merupakan asas umum yang bersifat

universal. ”Asas kebebasan berkontrak merupakan asas dalam hukum perjanjian

yang dikenal hampir semua sistem hukum”. Asas kebebasan berkontrak telah

menjadi asas hukum utama dalam hukum perdata, khususnya dalam hukum

perjanjian, dikenal dalam civil law system maupun dalam common law system,

bahkan dalam sistem hukum Islam.

Pengertian kebebasan berkontrak dalam civil law system berasal dan

dikembangkan dari konsep dan perkembangan perikatan atau obligatio yang untuk

pertama kali dipergunakan di dalam civil law tradition pada zaman Romawi oleh

Kaisar Justianus, di dalam Corpus Iuris Civilis pada tahun 533, bagian

Institutiones.4

Sedangkan pengertian kebebasan berkontrak dalam common law yaitu:5

1. Tidak seorang pun terikat untuk membuat kontrak apapun jika ia tidak

menghendakinya (nobody was bound to enter into any contracts at all if

hedidnot chose todo so);

2. Setiap orang memiliki pilihan orang dengan siapa ia akan membuat kontrak

(everyone had a choice of persons with whom he could contract);

3. Orang dapat membuat pelbagai macam (bentuk) kontrak (people could make

virtually any kind of contract);

4. Orang dapat membuat berbagai kontrak dengan isi dan persyaratan yang

dipilihnya (people could make any kind of contract on an term they chose).

4
Johannes Gunawan, “Kajian Ilmu Hukum Tentang Kebebasan Berkontrak dalam Butir-Butir
Pemikiran dalam Hukum, Memperingati 70 Tahun Prof.Dr.B.Arief Sidharta, S.H., (Bandung:
Refika Aditama, 2011), hlm. 259.
5
Ibid., hlm. 165.

7
Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan dalam hal

membuat perjanjian. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata

yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang

dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak lain dari pernyataan bahwa setiap

perjanjian mengikat kedua belah pihak. Tetapi dari pasal ini kemudian dapat

ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja asal

tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan. Orang tidak saja leluasa untuk

mebuat perjanjian apa saja, bahkan pada umumnya juga diperbolehkan

mengeyampingkan peraturan -peraturan yang termuat dalam KUH Perdata. Sistem

tersebut lazim disebut dengan sistem terbuka (openbaar system).

Kebebasan berkontrak dapat diartikan sebagai kebebasan para subjek

hukum untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian, kebebasan untuk

menentukan dengan siapa mengadakan perjanjian dan kebebasan untuk

berkontrak bersumber pada kebebasan subjek hukum dalam memenuhi

kepentingan individu tersebut. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa guna

memenuhi kepentingan individu dimaksud diberikan kebebasan untuk membuat

suatu perjanjian.

Menurut Subekti bahwa cara menyimpulkan asas kebebasan berkontrak

(beginsel der contractsvrijheid) adalah dengan jalan menekankan pada perkataan

"semua" yang ada di muka perkataan "perjanjian".6 Dikatakan bahwa Pasal 1338

ayat (1) tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita

diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita.

6
Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Cetakan Keenam Belas,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hlm. 5.

8
sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu

hanya berupa apa yang dinamakan "ketertiban umum dan kesusilaan".

Sedangkan menurut Mariam Darus Badrulzaman,7 kata "semua"

mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun

yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas kebebasan berkontrak (contract-

vrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan "apa"

dan "siapa" perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan Pasal

1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan mengikat.

Kebebasan berkontrak dapat diartikan sebagai kebebasan para subjek

hukum untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian, kebebasan untuk

menentukan dengan siapa mengadakan perjanjian dan kebebasan untuk

berkontrak bersumber pada kebebasan subjek hukum dalam memenuhi

kepentingan individu tersebut. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa guna

memenuhi kepentingan individu dimaksud diberikan kebebasan untuk membuat

suatu perjanjian.

B. Dasar Hukum Berlakunya Asas Kebebasan Berkontrak

Asas merupakan dasar, landasan fundamen, prinsip dan jiwa atau cita-cita,

juga merupakan pengertian-pengertian dan nilai-nilai sebagai titik tolak berfikir

tentang sesuatu. Asas didefinisikan sebagai suatu dalil umum yang dinyatakan

dalam istilah umum dengan cara pelaksanaannya.8

7
Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Cetakan Pertama, (Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 84.
8
The Liang Gie, Teori-Teori Keadilan, (Jakarta: Penerbit Super, 1997), hlm. 9.

9
Selain itu, asas hukum dapat disebut landasan atau alasan bagi

terbentuknya suatu peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari suatu

peraturan hukum yang memuat nilai-nilai, jiwa, cita-cita sosial atau pandangan

etis yang ingin diwujudkan, karena itu asas hukum merupakan jantung atau

jembatan suatu peraturan hukum yang menghubungkan antara peraturan-peraturan

hukum positif dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat.9

Beberapa ahli hukum memberikan pendapat mengenai definisi asas

hukum, Bellefroid mendefinisikan asas hukum umum adalah norma yang

dijabarkan dari hukum positif dan oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari

aturan-aturan yang lebih umum, yang merupakan pengendapan dari hukum positif

dalam suatu masyarakat. Pengertian asas hukum umum yang dirumuskan oleh

Bellefroid, merupakan pengertian yang berbeda dengan rumusan asas dalam ilmu

hukum. Sementara itu, Van Eikema Hommes mendefinisikan pengertian yang

berbeda dengan rumusan asas dalam ilmu hukum, yaitu menyatakan asas hukum

tidak boleh dianggap sebagai norma-norma yang konkret tetapi harus dipandang

sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan

hukum harus bertoleransi pada asas-asas hukum tersebut sehingga menjadi dasar

atau penunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.10 Berdasarkan kedua

pendapat dari ahli hukum diatas mempunyai perbedaan yang prinsip, karena yang

dimaksud oleh Bellefroid merupakan asas hukum umum adalah asas dalam

hukum, sedangkan yang dimaksud oleh Van Elkema Hommes yaitu asas hukum

adalah asas dalam ilmu hukum.

9
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 85-86.
10
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar,(Yogyakarta:Liberty,1991), hlm. 32

10
Dengan demikian, asas hukum dapat merupakan norma hukum konkret

yang bersifat normatif termasuk hukum positif yang mempunyai kekuatan

mengikat, yang dirumuskan oleh pembuat undang-undang maupun hakim. Asas

hukum demikian ini disebut asas dalam hukum, selain itu asas hukum dapat pula

merupakan norma hukum abstrak yang merupakan dasar landasan, prinsip,

fundamen, nilai-nilai atau cita-cita yang ingin diwujudkan melalui peraturan

hukum konkret. Asas hukum seperti ini disebut asas hukum dalam ilmu hukum.

Karena itu fungsi dari asas hukum tersebut dapat pula dibedakan antara fungsinya

dalam hukum dan fungsinya dalam ilmu hukum.11

Pengaturan Hukum Perdata di Indonesia masih mengacu pada apa yang

terdapat di dalam KUH Perdata. Berlakunya ketentuan ini secara yuridis

didasarkan pada pasal 2 Peraturan Peralihan UUD 1945. Dalam KUH Perdata

maupun dalam peraturan perundang-undangan lainnya tidak terdapat satu pasal

pun yang secara tegas menyatakan berlakunya asas kebebasan berkontrak.

Namun, hal ini bukan berarti bahwa Hukum Perdata di Indonesia tidak mengenal

asas kebebasan berkontrak.

Di Indonesia asas kebebasan berkontrak disimpulkan dari Pasal 1338

ayat (1) KUH Perdata, yang menerangkan bahwa perjanjian yang dibuat secara

sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Asas

kebebasan berkontrak ini diletakan sebagi asas utama hukum perjanjian,

sebagaimana pendapat Mariam Darus Badrulzaman yang mengatakan bahwa asas

kebabasan berkontrak tetap perlu dipertahankan sebagai dasar utama dalam

hukum perjanjian nasional.12 Asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian

11
Ibid, hlm. 34.
12
Mariam Badrulzaman, Op. Cit., hlm.85.

11
nasional adalah sebagai penanggungjawab, yang mampu memelihara

keseimbangan, yaitu pengembangan kepribadian untuk mencapai kesejahteraan

dan kebahagiaan hidup lahir dan batin yang serasi, selaras, dan seimbang dengan

kepentingan masyarakat.13

Kebebasan berkontrak dalam hukum positif di Indonesia dapat ditemukan

dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa “semua

persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka

yang membuatnya”. Dari kata “semua” dapat ditafsirkan bahwa setiap subjek

hukum dapat membuat perjanjian dengan isi apapun, ada kebebasan subjek hukum

untuk menentukan bentuk perjanjian. Dengan perkataan lain bahwa melalui asas

kebebasan berkontrak, subjek hukum mempunyai kebebasan dalam membuat

perjanjian.

Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga

yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan

demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya

kebebasan untuk berkontrak .

Berlakunya Asas kebebasan berkontrak dimantapkan dengan berlakunya

asas konsensualisme. Tanpa ada sepakat dari salah satu pihak yang membuat

suatu perjanjian, maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Seseorang tidak

dapat dipaksakan untuk memberikan sepakatnya, sedangkan yang dimaksud

dalam kalimat yang dibuat secara sah dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata

berarti bahwa apa yang disepakati antara para pihak, berlaku sebagai

13
Ibid, hlm. 86-87.

12
Undang-Undang selama apa yang disepakati itu adalah sah. Artinya tidak

bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

Menurut hukum perjanjian Indonesia seseorang bebas untuk membuat

perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya. Undang-Undang hanya

mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian,

pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam pasal 1330 KUH Perdata.

Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih

pihak yang ia inginkan untuk membuat perianjian, asalkan pihak tersebut bukan

pihak yang tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam pasal 1331, ditentukan bahwa

apabila seseorang membuat perjianjian dengan pihak yang dianggap tidak cakap

menurut pasal 1330 KUH Perdata tersebut, maka perjanjian itu tetap sah selama

tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap.

C. Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian

Berdasarkan pendekatan sistem, norma hukum yang dianut di dalam

Hukum Perdata (KUH Perdata), perjanjian adalah bagian dari hukum harta

kekayaan. Artinya semua perjanjian pada dasarnya adalah berkaitan dan

berhubungan dengan kekayaan yang mempunyai nilai ekonomi yaitu yang dapat

dijadikan objek perdagangan (in de handel). Oleh karena itulah, perjanjian

merupakan titel untuk memperoleh dan mengalihkan kekayaan dari dan untuk

seseorang.

Pada dasarnya setiap orang bebas melakukan perjanjian. Hal ini sebagai

realisasi dari asas kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak pada dasarnya

adalah implementasi dari alam pikiran faham individualis. Mariam Darus

13
Badrulzaman mensinyalir bahwa kebebasan berkontrak yang dituangkan ke dalam

Buku III KUH Perdata berlatarbelakang pada paham individualisme yang secara

Embrional lahir dalam zaman Yunani, diteruskan oleh kaum Eficuristen dan

berkembang pesat pada abad ke XVIII melalui pemikiran Huge de Groot

(Grotius), Thomas Hobbes, John Locke dan Rousseau. Puncak perkembangannya

dalam periode setelah revolusi Perancis. Paham individualis mengutamakan dan

menjunjung tinggi nilai-nilai dan eksistensi individu di dunia ini, termasuk dalam

memenuhi kebutuhannya.

Dalam sistem hukum nasional Indonesia, asas ini ini diimplementasikan

pada hukum perjanjian sebagaimana diatur di dalam Pasal 1338 KUH Perdata

yang menentukan kebebasan bagi setiap orang untuk melakukan perjanjian

dengan siapa yang dikehendakinya dan bebas menentukan isi perjanjian yang

akan dilakukan. Berdasarkan prinsip asas inilah maka Buku III KUH Perdata

menganut sistem terbuka.

Asas kebebasan berkontrak pada prinsipnya sebagai sarana hukum yang

digunakan subjek hukum untuk memperoleh hak kebendaan dan mengalihkan hak

kebendaan demi pemenuhan kebutuhan diri pribadi subjek hukum. Dalam

KUHPerdata yang menganut sistem kontinental kebebasan untuk melakukan

kontrak dan menentukan isi kontrak dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH

Perdata. Wujud kebebasan berkontrak baru dapat diketahui dalam praktiknya pada

saat melakukan perjanjian. Dalam memenuhi kebutuhan manusia, termasuk

kebutuhan akan benda ekonomi, peranan perjanjian ini sangat penting karena

perjanjian oleh hukum disebutkan sebagai titel untuk memperoleh hak

kepemilikan

14
Setiap aturan hukum yang dirumuskan oleh pembuat Undang-Undang

di derivasi dari asas-asas hukum sebagai latar belakangnya, sehingga tujuan ideal

dibentuknya aturan hukum tersebut dapat dijelaskan mengacu kepada asas hukum

yang melatarbelakanginya tersebut.

Salah satu asas hukum yang dianut dalam hukum perjanjian adalah

“asas kebebasan berkontrak”, yang artinya bahwa setiap orang bebas untuk

mengadakan suatu perjanjian yang memuat syarat-syarat perjanjian macam

apapun, sepanjang perjanjian itu dibuat secara sah dan beritikad baik, serta tidak

melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Kebebasan ini adalah perwujudan

dari kehendak bebas, pancaran hak dan Hak Asasi Manusia.

Dengan adanya asas kebebasan berkontrak, para subjek hukum dapat

memenuhi kebututuhannya dalam bidang perikatan. Oleh karena itu, dapat

dikatakan bahwa asas kebebasan berkontrak difungsikan sebagai salah satu cara

untuk mengisi kekosongan hukum dalam bidang perikatan guna menyelesaikan

kebutuhan yang dihadapinya. Adanya keleluasaan yang diperoleh para pihak

berdasarkan asas kebebasan berkontrak, telah banyak dimanfaatkan oleh mereka.

Hal ini dapat terlihat dalam kontrak atau akta notaris yang dalam klausul-klausul

perjanjiannya sebenarnya belum ada pengaturannya dalam peraturan perundang-

undangan nasional.14

14
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta,
2003), hlm. 32.

15
Menurut H.S. Salim, kebebasan berkontrak diartikan sebagai suatu asas

yang memberikan kebebasan kepada para pihak yang membuat suatu perjanjian

untuk:

a. membuat atau tidak membuat perjanjian;

b. mengadakan perjanjian dengan siapapun;

c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya;

d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Asas kebebasan berkontrak yang dimaksud di atas meliputi bentuk dan isi

dari perjanjian. Bentuk perjanjian berupa kata sepakat (konsensus) saja

sebenarnya sudah cukup untuk dikatakan sebagai sebuah kontrak. Apabila

dituangkan dalam suatu akta, hal itu dimaksudkan sebagai alat bukti semata.

Menurut Richard Burton Simatupang mengenai isi dari sebuah kontrak bahwa

para pihak pada dasarnya bebas menentukan sendiri apa yang mereka ingin

tuangkan.

Namun demikian, ada beberapa macam perjanjian yang hanya sah apabila

dituangkan dalam bentuk akta autentik yang dibuat di hadapan pejabat umum

atau Notaris dan PPAT misalnya akta perjanjian menghibahkan saham,

akta pendirian PT dan lain sebagainya. Agar perjanjian hibah tersebut sah,

pembuat Undang-Undang sengaja mengharuskan dipatuhinya bentuk akta autentik

guna melindungi kepentingan para pihak terhadap perbuatan terburu-buru yang

dapat merugikan mereka sendiri.

Para pihak dapat mengatur apapun dalam kontrak tersebut

(catch all) sebatas yang tidak dilarang oleh Undang-Undang, Yurisprudensi atau

kepatutan. Jadi yang dimaksud asas kebebasan berkontrak ialah suatu asas dimana

16
para pihak bebas membuat kontrak dan mengatur isi kontrak tersebut sepanjang

memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. Memenuhi syarat sebagai kontrak

Agar suatu kontrak oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua

belah pihak maka kontrak tersebut haruslah memenuhi syarat tertentu, yakni:15

i. Syarat sah yang umum, terdiri dari syarat sah umum berdasarkan pasal 1320

KUH Perdata dan berdasarkan pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata;

ii. Syarat sah yang khusus, terdiri dari:

- syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu;

- syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu;

- syarat akte pejabat tertentu (bukan notaris) untuk kontrak-kontrak

tertentu;

- syarat izin dari pihak berwenang.

b. Tidak dilarang oleh Undang-Undang

Artinya bahwa para pihak dibolehkan dengan bebas atas bentuk dan isi

suatu perjanjian asal tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

c. Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku

Pasal 1339 KUH Perdata menentukan pula bahwa suatu kontrak tidak

hanya mengikat terhadap isi dari kontrak tersebut, melainkan mengikat dengan

hal-hal yang merupakan kebiasaan;

15
Munir Fuady, Hukum Kontrak, Buku Kedua, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 33-34.

17
d. Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik

Menurut Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata suatu kontrak haruslah

dilaksanakan dengan itikad baik. Rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) tersebut

mengindikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat

sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH

Perdata. Unsur itikad baik hanya disyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari

suatu kontrak, bukan pada pembuatan suatu kontrak, sebab unsur “itikad baik”

dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsur “klausa

yang legal“ dari pasal 1320 tersebut. Dengan demikian dapat saja suatu kontrak

dibuat secara sah, dalam arti memenuhi semua syarat sahnya kontrak (antara

lain sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata) dan karenanya kontrak tersebut

dibuat dengan itikad baik, tetapi justru dalam pelaksanaannya misalnya

dibelokkan ke arah yang merugikan pihak ketiga. Dalam hal ini dapat

dikatakan bahwa kontrak tersebut telah dilaksanakan secara bertentangan

dengan itikad baik. Asas kebebasan berkontrak ini merupakan refleksi

dari sistem terbuka (open system) dari hukum kontrak tersebut. Dasar hukum

dari asas ini adalah Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Semua perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang

membuatnya.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, asas kebebasan berkontrak menurut

hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:

a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;

b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian;

18
c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan

dibuatnya;

d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;

e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;

f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan Undang-Undang

yang bersifat opsional (aanvullend,optional).

D. Pembatasan Terhadap Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak adalah salah satu asas atau prinsip dasar dalam

hukum perjanjian yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada setiap

orang untuk mengadakan suatu kontrak (perjanjian) yang berisi apa saja, asalkan

tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.16 Ini berarti bahwa pada

asasnya para pihak dalam suatu perjanjian diperbolehkan mengatur sendiri

kepentingan-kepentingan mereka dan menurut kehendak mereka sendiri.

Meskipun demikian, bukan berarti bahwa dengan adanya asas kebebasan

berkontrak para pihak bebas membuat perjanjian apapun isi dan bentuknya tanpa

batas. Asas kebebasan berkontrak yang dianut dalam hukum perjanjian di

Indonesia bukan tidak terbatas, melainkan ada daya atau kekuatan yang

membatasinya. Pembatasan itu dapat berupa ketentuan perundang-undangan,

kesusilaan atau ketertiban umum.

Kebebasan berkontrak bukan berarti bebas sebebas-bebasnya melakukan

perjanjian dengan siapa pun yang dikehendakinya, namun ada batasan-batasan

16
Subekti, Hukum Perikatan, (Jakarta: Intermasa, 1984), hlm. 13.

19
yang harus diperhatikan sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata,

yang menyatakan syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu :

a. Kesepakatan para pihak dalam perjanjian;

b. Kecakapan para pihak dalam perjanjian;

c. Suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal.

Larangan kepada seseorang untuk membuat perjanjian dalam bentuk

tertentu yang dikehendakinya juga tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata Indonesia maupun ketentuan perundang-undangan lainnya.

Ketentuan yang ada adalah bahwa untuk perjanjian tertentu harus dibuat dalam

bentuk tertentu misalnya perjanjian kuasa memasang hipotek harus dibuat dengan

akta Notaris atau perjanjian jual beli tanah harus dibuat oleh PPAT. Dengan

demikian dapat diindikasikan bahwa sepanjang ketentuan perundang-undangan

tidak menentukan bahwa suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertentu,

maka para pihak bebas untuk memilih bentuk perjanjian yang dikehendaki, yaitu

apakah perjanjian akan dibuat secara lisan atau tertulis atau perjanjian dibuat

dengan akta di bawah tangan atau akta autentik.

Perlu juga diperhatikan bahwa tidak semua perjanjian bisa dikatakan

menganut asas kebebasan berkontrak secara penuh karena dalam sistem hukum

perjanjian di Indonesia mengenal perikatan yang bersumber dari Undang-Undang,

yang artinya para pihak harus tunduk kepada peraturan atau ketentuan yang telah

ditentukan oleh Undang-Undang atau berdasarkan pasal-pasal dalam KUH

Perdata.

20
Dalam perkembangannya, asas kebebasan berkontrak semakin sempit

dilihat dari beberapa segi yaitu:

a. dari segi kepentingan umum;

b. dari segi perjanjian baku;

c. dari segi perjanjian dengan pemerintah.

Dengan demikian meskipun dalam pelaksanaannya asas kebebasan

berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak dalam membuat suatu

perjanjian baik dalam isi maupun bentuknya, akan tetapi dalam perkembangannya

peraturan-peraturan baru yang telah diterbitkan dan diundangkan pemerintah

mengatur secara rinci mengenai bentuk dan isi dari perjanjian tersebut, yang

artinya perjanjian kedepannya memiliki bentuk bakunya tersendiri.

Menurut Johanes Gunawan, berdasarkan definisi dalam Black’s Law

Dictionary Freedom of Contract atau Liberty of Contract menunjukkan bahwa

kebebasan yang tak terbatas (absolut), sebenarnya tidak dikenal dalam pembuatan

suat perjanjian atau kontrak, melainkan justru dalam kebebasan tersebut

mengandung batas-batas (limit), yang tidak boleh dilampaui dalam pembuatan

kontrak. Maka meskipun berasaskan kebebasan berkontrak didalam KUH Perdata

pun ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal terhadap asas ini

yang membuat asas ini merupakan asas yang tidak tak terbatas. Seperti Kebebasan

Berkontrak yang dapat diberikan dari pasal 1338 (1) KUH Perdata dibatasi oleh

ketentuan yang ada dalam Pasal 1320 (1), yang menentukan bahwa perjanjian atau

kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau kesepakatan

diantara para pihak yang membuatnya.Ketentuan tersebut memberikan petunjuk

bahwa hukum perjanjian/ kontrak dikuasai oleh “asas konsensualisme”. Ketentuan

21
Pasal 1320 ayat (1) tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu

pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya.

Dari Pasal 1320 ayat (2) dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang

untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapan untuk membuat perjanjian.

Bagi seseorang yang menurut Undang-Undang tidak cakap untuk membuat

perjanjian, sama sekali tidak mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian.

Menurut pasal 1330, orang yang belum dewasa dan mereka yang diletakkan

dibawah pengampuan tidak mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian.

Kemudian Pasal 1320 ayat (4) jo Pasal 1337 menentukan bahwa para pihak tidak

bebas membuat perjanjian yang menyangkut causa yang dilarang oleh Undang-

Undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban

umum. Bahwa perjanjian yang dibuat harus memenuhi causa yang halal.

Perjanjian yang dibuat dengan causa yang tak halal atau terlarang menurut

ketentuan pasal 1335 atau yang dibuat berdasarkan causa-causa yangdilarang oleh

Undang-Undang bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan maupun ketertiban

umum adalah tidak sah.17

Pasal 1332, 1333, 1334 KUH Perdata meberikan arah mengenai kebebasan

para pihak untuk membuat perjanjian sepanjang yang menyangkut objek

perjanjian. Menurut pasal-pasal tersebut, adalah tidak bebabs untuk

memperjanjikan setiap barang apapun, hanya barang-barang yang dapat

diperdagangkan atau mempunyai nilai ekonomis, barang-barang tertentu/ dapat

ditentukan dan barang-barang yang masih akan ada kecuali barang-barang warisan

yang belum jatuh meluang yang dapat dijadikan objek perjanjian.

17
Johannes Gunawan, “Kajian Ilmu Hukum Tentang Kebebasan Berkontrak dalam Butir-butir
Pemikiran dalam Hukum, Memperingati 70 Tahun Prof.Dr.B.Arief Sidharta, S.H., (Bandung:
Refika Aditama, 2011), hlm. 48.

22
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menentukan berlakunya “asas iktikad

baik” dalam melaksanakan perjanjian. Berlakunya asas iktikad baik ini bukan saja

mempunyai daya kerja pada waktu perjanjian dilaksanakan, tetapi juga sudah

mulai bekerja pada waktu perjanjian itu dibuat. Artinya bahwa perjanjian bahwa

perjanjian yang dibuat dengan berlandaskan iktikad buruk misalnya atas dasar

penipuan, maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian asas iktikad baik

mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak dalam membuat perjanjian

tidak dapat diwujudkan sekehendaknya tetapi dibatasi oleh iktikad baiknya.

Sehubungan dengan pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak,

Zainal Asikin Kusumaatmadja menyatakan bahwa Hakim berwenang untuk

memasuki/meneliti isi suatu kontrak apabila diperlukan karena isi dan

pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat.

Dengan demikian asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam pasal 1338

tidak lagi bersifat absolut, yang berarti dalam keadaan tertentu hakim berwenang

melalui tafsiran hukum untuk meneliti dan menilai serta menyatakan bahwa

kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian berada dalam keadaan yang tidak

seimbang sedemikian rupa, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk

menyatakan kehendaknya.

Lebih lanjut, beliau mengatakan bahwa kebebasan berkontrak yang

murni/mutlak karena para pihak kedudukannya seimbang sepenuhnya praktis

tidak ada, selalu ada pihak yang lebih lemah dari pihak yang lain. Beliau

mengilustrasikan dengan suatu cerita lama yang mengandung moral yang ada

kaitannya dengan tafsiran perjanjian. Ada seorang gadis yang orang tuanya miskin

dan mempunyai hutang yang besar karena meminjam uang untuk menyekolahkan

23
anak gadis tersebut. Kalau hutangnya tidak segera dibayar maka satu-satunya

harta berupa rumah dan pekarangannya akan dilelang. Sang penolong yang

mempunyai kekuasaan ekonomis datang dan mengadakan perjanjian dengan

orang tua gadis tersebut bahwa hutang akan dilunasi asal gadis tersebut

dikawinkan dengan anak lelaki sang penolong, sedangkan anak gadis tersebut

telah mempunyai tunangan. Kemudian terjadilah perjanjian antara sang penolong

dengan orang tua yang miskin tersebut. Apakah aneh kalau orang tua miskin

tersebut kemudian mengingkari janjinya. Moral disini janganlah mencari

kesempatan dalam kesempitan atau jangan menyalahgunakan kesempatan.

Menurut J.H. Nieuwenhuis, untuk mencegah penggunaan kebebasan

kontrak yang menjurus kepada hubungan-hubungan hukum dengan isi yang tidak

diperbolehkan, maka undang-undang memberikan pembatasan. Pembatasan itu

antara lain ketentuan yang terdapat pada pasal 1320 ayat (4) KUH Perdata,

yang menentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah harus dengan

“causa” yang diperbolehkan (halal). Atas dasar itu maka undang-undang

menggariskan bahwa apa yang ingin dicapai oleh para pihak dalam suatu

perjanjian (causa) adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang,

kesusilaan, atau ketertiban umum (pasal 1337 KUH Perdata). Ini berarti asas

kebebasan berkontrak yang dianut dalam hukum perjanjian kita bukanlah tanpa

batas, melainkan ada batasnya baik mengenai isi maupun bentuknya. Jika

berhadapan dengan hukum memaksa (dwingen recht) maka kebebasan itu tidak

ada, dan para pihak tidak boleh atau dilarang mengatur hubungan-hubungan

hukum mereka menyimpang dari aturan-aturan hukum yang memaksa tersebut.

24
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian dalam pembahasan tersebut di atas, dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata kita merupakan refleksi dari

sistem terbuka (open system) dari hukum perjanjian sebagaimana diatur dalam

Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang tidak lain merupakan

terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW). Asas yang terkandung dalam Pasal

1338 ayat (1) BW ini pada intinya bermakna bahwa setiap orang bebas

membuat perjanjian dengan orang lain, apapun isinya dan apapun bentuknya.

2. Keberadaan asas kebebasan berkontrak sebagai bagian dari hak asasi setiap

orang untuk membuat perjanjian menurut kehendak dan pilihan para pihak itu

sifatnya universal. Tidak hanya dikenal dan diakui dalam sistem hukum

perdata Barat, tetapi juga dikenal dan diakui dalam sistem hukum perdata di

negara beradab manapun, termasuk dalam sistem hukum Islam.

3. Meskipun pada prinsipnya para pihak dalam perjanjian memiliki kebebasan

membuat perjanjian dan perjanjian yang mereka buat mengikat seperti

Undang-Undang. Namun, Undang-Undang itu sendiri (pasal 1337 KUH

Perdata) membatasi daya berlakunya asas tersebut manakala perjanjian yang

mereka buat bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban

umum. Dengan demikian asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam pasal

1338 KUH Perdata tidak bersifat absolut. Dalam keadaan tertentu, bahkan

hakim berwenang menilai dan menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat

para pihak dalam keadaan yang tidak seimbang sedemikian rupa sehingga salah

25
satu pihak dianggap tidak memiliki kebebasan untuk menyatakan kehendaknya

dapat dibatalkan, meskipun hal itu dibuat berdasarkan asas kebebasan

berkontrak. Seseorang yang dalam keadaan terpaksa pada hakikatnya tidak lagi

memiliki kebebasan untuk membuat kontrak sesuai dengan kehendak bebasnya

(free will).

26

Anda mungkin juga menyukai