Padahal jawaban saya akan selalu sederhana saja: kerja keras, tajamkan
intuisi dan fokus.
Ketika saya membuka kelopak mata pertama kali, saya telah belajar
tentang hidup susah. Hidup dalam sebuah rumah kontrakan sederhana di
gang kecil kawasan Petojo yang keseharian saya diwarnai oleh
kesederhanaan.
Saya berusaha untuk tidak sakit karena saya tahu orangtua saya tidak
akan punya cukup uang untuk membawa saya ke dokter.
Di sisi kemiskinan itu, saya dianugerahi kesehatan dan tekad yang begitu
kuat.
Saya tidak pernah gentar menghadapi Realita hidup yang begitu keras.
Dari seorang anak yang menjaga warung di pasar kumuh dan becek,
saya melangkah menjadi penjaga toko kelontong yang lebih baik
kondisinya.
68 tahun berlalu, saya bisa melihat usaha yang saya rintis telah berjalan
dalam bentuk yang tidak pernah saya duga.
Terlalu luar biasa bagi orang yang berpikiran simpel seperti saya.
Setiap kali saya melihat deretan Alfamart di mana pun, tidak pernah saya
lupa pada bayangan masa lalu.
Acapkali saya merasa apa yang saya raih hari ini adalah sebuah
keajaiban.