Tifoid Fever
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN
Dengan hormat,
Presentasi kasus pada kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi periode 27 Mei 2015 -
1 Agustus 2015 dengan judul “ Tifoid Fever ” disusun oleh :
Nama : Angelika
NIM : 030.09.020
Pembimbing :
Menyetujui,
PENDAHULUAN
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang berkepanjangan, ditopang
dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri
sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus,
dan Peyer’s patch. Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid
dan demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan
demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini biasanya disebabkan oleh spesies
Salmonella enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun
demam paratifoid.1
Istilah typhoid berasal dari kata Yunani typhos. Terminologi ini dipakai pada
penderita yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu. Penyakit ini juga
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat
dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang
buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 14 Juni 2015.
Keluhan Utama :
Pasien datang dengan keluhan demam tinggi 39 oC sejak 1 minggu SMRS, demam timbul
mendadak, biasanya timbul pada sore hari. Pasien juga mengeluh pusing, mual dan muntah. Muntah
sebanyak 3x berisi makanan. Batuk dan pilek disangkal. Nafsu makan menurun,BAB (-) 3 hari. BAK
normal.
Psikomotor
Kesan :
Riwayat Makanan
Riwayat Imunisasi :
Riwayat Keluarga :
Tinggal dirumah sendiri. Terdapat tiga kamar. Ventilasi baik, cahaya matahari cukup, air minum dan
air mandi berasal dari air tanah.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : tampak sakit ringan.
Kesadaran : AVPU : alert
Vital Sign
o Tekanan Darah : 120/70 mmHg
o Nadi : 76 x/reguler, cukup
o Nafas : 20x/ireguler
o Suhu : 38,5 oC
antropometri
o tinggi 140 cm BB : 40 kg
Kulit : Pucat (-), sianosis (-), ikterik (-)
Kepala : Normosefal.
Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut.
Mata
- Konjungtiva : Anemis (+/+)
- Sclera : Tidak ikterik
- Pupil : Bulat, isokhor Ɵ 3 mm/ 3 mm
- Reflek cahaya : +/+
Telinga : Sekret -/-
Hidung : Sekret -/-, tidak ada tanda-tanda perdarahan
Pemeriksaan leher :
- pembesaran KGB tidak ada
- Kaku kuduk tidak ditemukan.
Pemeriksaan Thoraks :
- Paru : Inspeksi gerakan dada simetris kiri dan kanan,retraksi(-)
Perkusi sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi bronkhovesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
- Jantung : Inspeksi ictus cordis tidak terlihat
Auskultasi bunyi jantung normal, bising jantung (-).
Pemeriksaan Abdomen :
- Inspeksi buncit, distensi (+)
- Palpasi supel, organomegali (-)
- Perkusi tympani
- Auskultasi bising usus (+), normal.
Pemeriksaan alat kelamin : laki - laki, dalam batas normal
Pemeriksaan Ekstremitas : CRT < 3 detik, akral dingin.
Diagnosis Banding :
Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Follow up
14 Juni 2015
S : Demam (+), Muntah 3 x berisi makanan, Mual (+), Pusing (+)
O : Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 76x/mnt
Nafas : 20x/mnt
Suhu : 38,5 0C
Mata : CA(+/+), SI (- /-)
Thorax : ves +/+, rh -s/-, wh -/-
S1-S2 reguler, m -, g –
Abdomen : buncit, LP 80 cm, distensi +
Extremitas : hangat pada ke4 extremitas, oedem -
A : tifoid fever
P : KAEN 3B 30 tpm
Colsancetine 4 x 500 mg
Kalmethasone 3 x 1 amp
Sanmol 3 x 1 tab
Diet lunak TKTP
15 Juni 2015
S : -
O : Tekanan Darah : 120/80mmHg
Nadi : 80x/mnt
Nafas : 20x/mnt
Suhu : 36,5 0C
Mata : CA(+/+), SI (- /-)
Thorax : ves +/+, rh -/-, wh -/-
S1-S2 reguler, m -, g –
Abdomen : buncit, LP 80 cm, distensi +
Extremitas : hangat pada ke4 extremitas, oedem -
A : tifoid fever
P : KAEN 3B 30 tpm
Colsancetine 4 x 500 mg
Kalmethasone 3 x 1 amp
Sanmol 3 x 1 tab
Diet lunak TKTP
BLPL
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever.
Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan
pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1
II. Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data
World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta
kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap
tahun.4 Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit
endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya
adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus
ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan
358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun
atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.3
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya
melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi.
Salmonella typhi yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu
apabila berada didalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian.
Akan tetapi S. Typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan
mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63°C).1
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan
yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya
keluar bersama – sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalurr oro-fekal).
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada
dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari
seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan
sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.1
III. Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella
typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S.
paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H)
yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida.
Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar
dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh
plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.1
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan
ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan
menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer
Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di
lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening
mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati
dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali
masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai
tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada
anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang
terjadi dalam 3 hari berturut- turut.1,4
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor
sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi
makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk
memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat
menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil,
demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologis.1,4
Bagan 2.1. Patofisiologi Demam Tifoid
V. Manifestasi klinik
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda
klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama
pada penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi
terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai
korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status
imunologis penderita.1,4,5
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar
gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :
Demam satu minggu atau lebih.
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut
pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare,
konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.
Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten,
lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai ganguan
kesadaran dari yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang
dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat
pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler
terutama pada bayi yang tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan
tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian belakang
tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin
progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm, berwarna
merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman yang
didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut,
dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama
dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada
demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 – 5
mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada
orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini
muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.1,4,5
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan
diagnosis demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam darah dan 85% telah
mendapatkan terapi antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa
memperhitungkan dimensi waktu sakit penderita, didapatkan keluhan dan gejala klinis
pada penderita sebagai berikut : panas (100%), anoreksia (88%), nyeri perut (49%),
muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare (31%). Dari pemeriksaan fisik didapatkan
kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan sopor (1%) serta lidah kotor (54%),
meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%).10 Hal ini sesuai
dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (39,47%), sembelit (15,79%),
sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%), mual (42,11%),
gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium (2,63%).9 Sedangkan
tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah disorientasi, bradikardi relatif, ronki,
sangat toksik, kaku kuduk, penurunan pendengaran, stupor dan kelainan neurologis
fokal.6
Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B, C)
memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang
dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu
(false positive).
Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).
b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan
pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut
karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi
IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh
Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.15
Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar
89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di
negara berkembang.6
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-
tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan
dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif
yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa
Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan
kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda
dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi
dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi
sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai
reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah
distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat
yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. 4,20
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila
dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai
prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap
30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan
spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata
sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang
menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid.22 Uji ini
terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin
lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis
tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika
tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.6
3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa
faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah
yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu
pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk
kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit
dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat
menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana
dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.
typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi
risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur
teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang
bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah
serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi
dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis
masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya
masih terbatas dalam laboratorium penelitian.6
VII. Diagnosis
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan
bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang
timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran
pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap
dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise,
anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta
gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan
kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu
panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan
diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh
tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose
spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan
abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika
tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun
malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala
klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam
menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang
diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan bakteriologis.4,5
VIII. Diagnosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis
dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan
bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme
intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis
dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia,
limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis banding.1
IX. Penatalaksanaan
9.1. Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi,
penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit
dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan
cairan rumatannya.
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh
yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal
ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka
terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang
memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah
diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah
pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya
vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit
meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga
mencapai keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang
dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu
(thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat
pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya.7
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk
menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran
cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk
diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat
diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,4,5
Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari.
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian
Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau
didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan
dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai
syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit
untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.
X. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :4
1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin.
Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda
– tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian
distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat
udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat
dalam keadaan tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang,
dan nyeri tekan.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam
tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier
temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada
10% pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3
minggu setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki
bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik
karier adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan
cholelithiasis. Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal, seperti
schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang
lama.
XI. Pencegahan
Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam
tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air
mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau
setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak
tersedia air.
Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid, berikut
beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:
XII. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi
antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan
pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan
hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi ≥
3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada
anak – anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari
seluruh pasien demam tifoid.1
BAB III
ANALISIS KASUS
Diagnosis tifoid fever ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari
anamnesis didapatkan pasien mengalami demam disertai pusing, mual dan muntah sebanyak
3x dan BAB (-) 3 hari.
◦ Nadi : 76 x/menit
◦ RR : 20 x/menit
◦ Suhu : 38,5°C
1
Pemeriksaan penunjang serologi widal, didapatkan S. Typhi O dimana
160
pemeriksaan ini mendeteksi antibody terhadap kuman salmonella.
1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis.
Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
2. Rezeki, Sri. Demam tifoid. 2008. Diunduh dari
http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang_Perlu_Diketahui.ht
ml. 22 Januari 2012.
3. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S,
Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba
Medika, 2002:1-43.
4. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A
Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000.
5. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20.
6. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak.
Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.
7. Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan demam pada
pasien Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota
Gorontalo. 2012. Diunduh dari
http://journal.ung.ac.id/filejurnal/JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwaty_JHSVol05No01_08_2012
.pdf. 22 Januari 2012