Anda di halaman 1dari 38

BAB I

STATUS PASIEN

A IDENTITAS
Nama Pasien : An. S
Usia : 4 tahun 2 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : TK
Alamat : Dewo Pucangmiliran Tulung
Tanggal Masuk RS : 16 Agustus 2016

Nama Ayah : Tn. S


Usia : 28 Tahun
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Dewo Pucangmiliran Tulung

Nama Ibu : Ny. R


Usia : 25 Tahun
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan :-
Alamat : Dewo Pucangmiliran Tulung

1
B ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu dan ayah pasien pada
tanggal 19 Agustus 2106 pukul 20.00 WIB di Bangsal Hamka.
1. Keluhan Utama
Demam
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Ibu pasien mengatakan 4 hari yang lalu SMRS pasien mengeluhkan
demam seluruh tubuh. Pada hari pertama pasien merasakan demam, demam
dirasakan timbul bertahap. Kemudian pada hari kedua, pasien diberikan obat
penurun demam oleh orang tuanya, setelah pasien meminum obat penurun
demam, pasien merasakan suhu tubuh pasien turun dan sudah merasa lebih
baik, namun sore hari pasien demam kembali disertai nyeri perut, mual,
muntah, dan nafsu makan menurun. Pada hari ketiga, pasien diperiksakan oleh
orang tuanya ke dokter umum dan mendapatkan obat. Pada hari keempat
keadaan pasien masih belum baik, demam semakin tinggi dan turun hanya saat
diberikan obat penurun demam.
Hari kelima (selasa) demam atau satu hari MRS tanggal 16 Agustus
2016 pukul 19.00 WIB pasien dibawa oleh orang tuanya ke RSU PKU
Muhammadiyah Delanggu. Saat di IGD didapatkan suhu tubuh 37,6°C dan
badan terasa lemas. Kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium dan
didapatkan hasil Hb 12,2 g/dl, AL 2500/ul, AT 172.000, Ht 36,6% dan Widal
1/320. Setelah itu pasien dipindahkan ke bangsal hamka untuk rawat inap.
Malam harinya pasien mengeluhkan mual, muntah 1x, dan nafsu makan
menurun. Hari pertama Rawat Inap pasien di evaluasi dan didapatkan suhu
tubuh turun mencapai 36°C, badan tidak lemas, mual (-), muntah (-) dan
tenggorokan sakit. Hari kedua Rawat Inap pasien dievaluasi dan didapatkan
suhu tubuh masih tetap 36°C dan tenggorokan sakit (-). Hari ketiga Rawat Inap
suhu tubuh pasien sudah stabil dan tidak ada keluhan.

2
Pasien tidak merasakan pusing, kejang, batuk pilek, melena, diare,
hematemesis, hematuria, disuria, nyeri telinga, nyeri retro-orbital, nyeri otot,
nyeri kepala, mimisan, gusi berdarah, dan penurunan kesadaran.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat kejang : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat pengobatan lama : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal
- Riwayat typhoid : disangkal
- Riwayat batuk pilek : disangkal
- Riwayat demam berdarah : disangkal
- Riwayat isnfeksi saluran kencing : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat yang sama : disangkal
- Riwayat kejang : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat diabetes : disangkal
5. Riwayat Lingkungan dan Sosial Ekonomi
Pasien tinggal dengan kedua orang tuanya. Dalam satu keluarga tidur
berbarengan. Pasien selalu membeli jajan di pinggir jalan depan sekolahnya dan
sebelum makan tidak pernah cuci tangan. Depan rumah terdapat selokan dan
banyak terdapat sampah, namun sampah keluarga diangkut oleh petugas sampah.
Ayah pasien bekerja sebagai swasta, sedangkan ibu merupakan ibu rumah
tangga. Ayah pasien perokok. Pembayaran menggunakan biaya sendiri. Tetangga
dan teman pasien tidak ada yang terkena demam typoid.

3
6. Data Khusus
a. Riwayat kehamilan
- ANC : rutin setiap bulan, periksa di Bidan
- Perdarahan : tidak ada
- Hipertensi kehamilan : disangkal
- Mempunyai anak 1
b. Riwayat persalinan
Pasien lahir spontan di bidan, cukup bulan, langsung menangis, berat
badan 3 kg, panjang, badan 49cm.
c. Riwayat pasca persalinan/post natal:
Pasien tidak IMD, mendapat suntikan vitamin K, imunisasi Hepatitis
B, dan tetes mata profilaksis.
d. Riwayat imunisasi
Dari alloanamnesis yang dikatakan oleh ibu pasien, imunisasi dasar
sudah lengkap
e. Riwayat KIPI
Tidak ada
f. Riwayat makan dan minum
Umur Makanan dan minuman
0-6 bulan ASI eksklusif
7 bulan Mulai pertama kali MP-ASI
s/d 2 tahun MP-ASI dengan ASI
Kesan: konsumsi makan dan minum baik

4
g. Riwayat perkembangan dan pertumbuhan
Perkembangan :
- Angkat kepala : 4 bulan
- Tengkurap : 4 bulan
- Merangkak : 8 bulan
- Duduk : 9 bulan
- Berdiri : 1 tahun
- Bicara : 1 tahun
- Jalan : 1,5 tahun
- Menendang bola : 2 tahun
- Memakai sepatu sendiri : 3 tahun
- Naik sepeda roda tiga : 4 tahun

Pertumbuhan
- Status gizi: Tidak pernah berada di Bawah Garis Merah
- Berat badan saat balita sering naik turun.

C PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 19 Agustus 2016 pukul 20.00 WIB

1. Keadaan umum : cukup


Kesadaran : kompos mentis
Pengukuran :
Tanda vital : Nadi : 90 x/menit, tegangan cukup, reguler
Tekanan darah: tidak dilakukan
Suhu : 36oC
Respirasi : 23 x/menit
Berat badan : 15 kg
Tinggi badan : 98 cm
BMI : 15,6

5
2. Thorak :
a. Dinding dada/paru :
ANTERIOR POSTERIOR
KIRI KANAN KIRI KANAN
Inspeksi Pergerakan Pergerakan Pergerakan Pergerakan
pernafasan simetris pernafasan simetris pernafasan simetris pernafasan simetris
Palpasi Fremitus taktil Fremitus taktil Fremitus taktil Fremitus taktil
simetris simetris simetris simetris
Perkusi Sonor Sonor Sonor Sonor
Auskultasi Suara nafas Suara nafas Suara nafas Suara nafas
Vesikuler vesikuler vesikuler vesikuler
Ronkhi (-) Ronkhi (-) Ronkhi (-) Ronkhi (-)
Wheezing (-) Wheezing (-) Wheezing (-) Wheezing (-)

b. Jantung :
Inspeksi : Iktus : Tidak terlihat
Palpasi : Pulsus sternalif : (-)
Pulsus epigastrium : (-)
Pulsus parasternal : (-)
Thrill : (-)
Perkusi : Konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi :
Frekuensi : 90 x/menit, Irama : Reguler
Suara dasar : S1 dan S2 normal
Bising : tidak ada
3. Abdomen
Inspeksi : Bentuk : Datar
Palpasi : Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba

6
Masa : Tidak ada
Nyeri tekan : Tidak ada
Turgor kulit : <2 detik
Perkusi : Timpani/pekak : Timpani
Asites : Tidak ada
Auskultasi : peristaltik 4x/ menit
4. Kepala : Bentuk mesosefali, rambut hitam tidak ada kelainan.
5. Mata : Palpebra edema(-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
mata cekung(-/-), pupil : Bulat, Central, Reguler 3mm, Reflek pupil (+/+)
6. Telinga : Bentuk simetris (+/+), sekret (-/-), nyeri (-/-)
7. Hidung : Bentuk simetris, sekret (-) , deformitas (-), nafas cuping hidung(-)
8. Mulut : sianosis (-), kering (-), anemis (-), stomatitis (-) , gigi karies (-)
9. Lidah : lidah tifoid (+), tremor (-)
10. Tonsil : Pembesaran(-), hiperemis(-), T1-T1
11. Leher : KGB (-), otot bantu napas (-)
12. Ekstremitas :
Pemeriksaan Superior Inferior

Akral hangat (+) (+)

Odema (-) (-)

Sianosis (-) (-)

Gerak (+) (+)

Reflek fisiologis (+) (+)

Reflek patologis (-) (-)

CRT < 2 detik < 2 detik

7
D USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan 16 Agustus 2016
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
HEMATOLOGI
Hemoglobin 12.2 g/dl 9,5-14.0
Leukosit 2.5 10^3/ul 4.0-12.0
Trombosit 172.0 10^3/ul 150.0-400.0
Eritrosit 3.58 10^6/ul 4.00-5.00
Hematokrit 36.6 % 37.0-43.0
HITUNG JENIS
Granulosit 43.0 % 50.0-80.0
Limfosit 47.2 % 20.5-51.1
Monosit 10 % 2-9
MCV, MCH, MCHC
MCV 86.5 fL 78.6-102.2
MCH 34.1 Pg 25.2-34.7
MCHC 39.4 g/dl 31.3-35.4
Widal test
Widal S.typhi O 1/320 <1/160

Pemeriksaan 17 Agustus 2016


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
HEMATOLOGI
Hemoglobin 12.6 g/dl 9,5-14.0
Leukosit 2.0 10^3/ul 4.0-12.0
Trombosit 151.0 10^3/ul 150.0-400.0
Eritrosit 3.64 10^6/ul 4.00-5.00
Hematokrit 31.7 % 37.0-43.0
HITUNG JENIS
Granulosit 39.3 % 50.0-80.0
Limfosit 52.7 % 20.5-51.1
Monosit 8 % 2-9
MCV, MCH, MCHC
MCV 86.5 fL 78.6-102.2
MCH 34.1 Pg 25.2-34.7
MCHC 39.7 g/dl 31.3-35.4

8
Pemeriksaan 18 Agustus 2016
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
HEMATOLOGI
Hemoglobin 12.7 g/dl 9,5-14.0
Leukosit 2.4 10^3/ul 4.0-12.0
Trombosit 187.0 10^3/ul 150.0-400.0
Eritrosit 4.51 10^6/ul 4.00-5.00
Hematokrit 38.1 % 37.0-43.0
HITUNG JENIS
Granulosit 35.7 % 50.0-80.0
Limfosit 50.5 % 20.5-51.1
Monosit 14 % 2-9
MCV, MCH, MCHC
MCV 84.4 fL 78.6-102.2
MCH 28.2 Pg 25.2-34.7
MCHC 33.3 g/dl 31.3-35.4

E STATUS ANTROPOMETRI
Anak perempuan, Usia 4 tahun 2 bulan
Lingkar lengan atas : 15,3 cm
Tinggi badan : 98 cm
Berat badan : 15 kg
Kurva WHO : BB/U = -2SD < x < 0SD (status gizi baik)
TB/U = -2SD < x < 0SD (tinggi baik)
IMT/U = -0SD < x < 1SD (gizi baik)
F RESUME
Pasien datang ke IGD RSU PKU Muhammadiyah Delanggu dengan keluhan
demam. Demam dirasakan sejak 4 hari yang lalu SMRS, demam turun ketika
meminum obat penurun demam, kemudian demam kembali, biasanya demam
terjadi pada sore atau malam hari, disertai dengan nyeri perut, mual, muntah, dan
nafsu makan menurun. Sebelumnya pasien sudah diperiksa di dokter umum,
demam sempat turun namun naik kembali. Kemudian orang tua membawa pasien
ke RSU PKU Muhammadiyah Delanggu dan dokter menyarankan untuk

9
pemeriksaan laboratorium dan hasilnya Hb 12,2 g/dl, AL 2500/ul, AT 172.000, Ht
36,6% dan Widal 1/320. Dokter menyarankan langsung dirawat inap.
Pasien tidak merasakan pusing, kejang, batuk pilek, melena, diare,
hematemesis, hematuria, disuria, nyeri telinga, nyeri retro-orbital, nyeri otot, nyeri
kepala, mimisan, gusi berdarah, dan penurunan kesadaran.
MRS pasien mengeluhkan demam, mual, muntah 1x, nafsu makan menurun,
dan sakit tenggorokan. Pasien mempunyai kebiasaan membeli jajan di pinggir
jalan dan tidak pernah cuci tangan sebelum makan.
Dari pemeriksaan fisik diperoleh kesadaran pasien cukup baik, ditemukan
adanya lidah kotor, tidak ditemukan adanya pembesaran hepar dan splen, tidak
ditemukan adanya suara tambahan paru, dan tidak ditemukan tanda dehidrasi. Dari
pemeriksaan penunjang diperoleh pasien leukopenia dan pemeriksaan Widal titer
1/320.

G DAFTAR MASALAH
Masalah Aktif
1. Demam naik bertahap
2. Nyeri perut
3. Mual
4. Muntah
5. Nafsu makan turun
6. Sakit tenggorokan
7. Sering jajan di pinggir jalan
8. Sebelum makan tidak pernah cuci tangan
9. Lidah typoid
10. Leukopenia
11. Widal titer 1/320

10
H Inisial Plan :
1. Diagnosis klinis : Demam Typoid
2. Diagnosis pertumbuhan : Perawakan normal
3. Diagnosis perkembangan : Sesuai usia
4. Diagnosis imunisasi : Sudah lengkap
5. Diagnosis sosial : Ekonomi cukup
6. Terapi :
 Infus RL 12 tpm/menit
 Vicellin 250mg inj. / 8jam (iv)
 Dexamethasone ¼ Amp. / 8jam (iv)
 Kloramphenicol syr 3 cth. 2 (oral)
 Paracetamol syr 3 cth. 1 (oral)

I PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever.
Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1

B Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella
typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A,
S. paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).1
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-
negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif
anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar
antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri
polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi
juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik.1

Gambar 1. Mikroskopik Salmonella Typhi

12
C Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti
ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2)
bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus
limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial
3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang
meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas
membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal1,3
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2)
banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang
biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk
dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja
meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria,
post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton
Pump Inhibitor.1,3
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan
ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman
akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang
melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke
lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-
sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika.1,3
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag
ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang
sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh

13
terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel
fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia
kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.1,3
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen
usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke
dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis
kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya
akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise,
mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan
mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini
biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut-
turut.1,4
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.1,3
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan
otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel
di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti
gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ
lainnya.1,3
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi
makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika

14
untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang
dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang
tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis.1,4

Patogenesis (serotipe invasif)


Epitel usus
fagositosis
Lamina propria respons inflamasi
endotoxin (lokal, sistemik)

multiplikasi Plaque Payeri Lokal: inflamasi


Sistemik: pengeluaran
Makrofag sitokin ->
Duktus torasikus Demam,depp SSTl

bakteriemi primer sirkulasi

Organ target RES (hati,limpa,ss.tl)


bakteriemi sekunder

Organ lain ( fenomena metastasis)

Gambar 2. Patofisiologi Demam Tifoid

D Manifestasi klinik
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi
bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala
atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada
anak, terutama pada penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital
ataupun tifoid pada bayi.1,2
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi
terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi
mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status
gizi serta status imunologis penderita.1,4,5
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar
gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :
1. Demam satu minggu atau lebih.

15
2. Gangguan saluran pencernaan
3. Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi
akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare,
konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.
Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam
remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai
ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat.1,3
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada
orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise
pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula
bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital.1,3
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan
tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian
belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila
penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih
prominen.1,3
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu
kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm,
berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli
kuman yang didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan
di daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan
atas.1,3
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu
pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran
limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.1,3
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1
– 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan

16
punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak
Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.1,4,5

E Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :2,5
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai
sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom
normositer, yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau
perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia
disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila
disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis
didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift
to the right bergantung pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT
seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh.
Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan
mieloid sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.1,4,6
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi
maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk
uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa
antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai
nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih
didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada

17
deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis
spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut,
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan
waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan
penyakit).6
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
a. Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi
terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun
1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi
dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum
penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi
aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi
menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi
O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai
beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang
yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan,
sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun.
Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita

18
sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat.
Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi,
tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan
memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan
waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil
tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif
tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O
aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4
kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak
dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi
aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya
sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti
biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang
berhubungan dengan penderita dan faktor teknis.
1. Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
a. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
b. Gangguan pembentukan antibodi.
c. Saat pengambilan darah.
d. Daerah endemik atau non endemik.
e. Riwayat vaksinasi.
f. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan
demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
2. Faktor teknik, yaitu
a. Akibat aglutinin silang.
b. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
c. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.

19
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
Negatif Palsu
1. Pemeriksaan terlalu dini  a.b. Belum terbentuk
2. gizi buruk,imunodefisensi,keganasan
3. Th/ a.b. Dini  antibodi tdk terbentuk
Positif Palsu
1. salmonella grup D e.g. Enteritidis
2. Enterobacteriaceae
3. Antigen dari pabrik yg berbeda
4. Silent infection (endemis )
5. Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
b. Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif
yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan
partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas
ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat
dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM
dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.5
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX®
ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.5
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di
negara berkembang.5

20
Ada 4 interpretasi hasil :
 Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi
demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari
kemudian.
 Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
 Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:
 Immunodominan yang kuat
 Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen
Vi dan H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat
kuat terhadap sel B.
 Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T
sehingga respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
 Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan
cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang
lain.
 Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang
ditemukan baik di alam maupun diantara mikroorganisme
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :
 Mendeteksi infeksi akut Salmonella
 Muncul pada hari ke 3 demam
 Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
 Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
 Hasil dapat diperoleh lebih cepat
c. Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi
spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi
terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut
sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada

21
fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat
transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG
spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen
dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari
metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan
antigen terhadap Ig M spesifik.5
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-
tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan
dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur
positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif.
Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila
digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam
tifoid akut yang cepat dan akurat.5
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi
silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen
dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus
sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai
fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman.
Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan
nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6
bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3
jam setelah penerimaan serum pasien.5
d. Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG
terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi.
Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi

22
dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA.
Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian
lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila
dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu
diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.5
e. Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda
dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S.
typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung
antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human
immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan
komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan
dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium
yang lengkap.5
Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan
dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan
gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana
penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan
kultur secara luas.5

F Diagnosis
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan
bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang
timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran
pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya
bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala,
malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan
limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan
gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya

23
terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang
terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia,
penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai
depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih
sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular)
ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-
80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam
2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi
menetap sampai 1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala
klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam
menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium
yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan
diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan
bakteriologis.4,5

G Diagnosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara
klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis,
bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh
mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik,
bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam
tifoid yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai
dignosis banding.1

H Penatalaksanaan
1. Non Medika Mentosa
a. Tirah baring

24
b. Nutrisi
c. Cairan
d. Kompres air hangat
2. Medika Mentosa
a. Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi
antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman
dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum,
sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna
yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah
mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral,
obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu
antrain atau Novalgin.
b. Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,4,5
 Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi
tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak
50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena
biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai
7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler tidak dianjurkan
oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat
suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari
antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan
carier.
 Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim
dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10

25
mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis.
Untuk pemberian secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5
mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek samping
dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya gangguan
sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan
granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini
sudah dilaporkan resisten.
 Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah
dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk
anak- anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif.
Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4
dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama
dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.
 Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime),
merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih
dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap
Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100
mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7
hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-
4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime 10-
15 mg/kg/hari selama 10 hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma
sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg
dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48
jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-
kadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi

26
harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika
metronidazol.

I Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :4
1. Komplikasi pada usus halus
a. Perdarahan usus
b. Perforasi usus
c. Peritonitis
2. Komplikasi diluar usus halus
a. Bronkitis dan bronkopneumonia
b. Kolesistitis
c. Typhoid ensefalopati
d. Meningitis
e. Miokarditis
f. Infeksi saluran kemih
g. Karier kronik

J Pencegahan
Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:2
1. Cuci tangan.
2. Hindari minum air yang tidak dimasak.
3. Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.
Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi
Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan
mencegah dan mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman,
perbaikan sanitasi, dan perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai.
Untuk alasan itu, beberapa ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi
berisiko tinggi merupakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid.1,2

27
Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:
 Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)
Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral
tiga kali dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini
dikontraindikasikan pada wanita hamil, menyusui, penderita
imunokompromais, sedang demam, sedang minum antibiotik, dan anak kecil 6
tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Lama
proteksi dilaporkan 6 tahun.
 Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)
Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang
mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk
dewasa 0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang
diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan
subkutan. Efek samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan
bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini di kontraindikasikan
pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam pada pemberian pertama.
Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat efek samping yang ditimbulkan
dan lama perlindungan yang pendek.
 Vaksin polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai
daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama
3 tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram
antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular
dan diperlukan pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini
dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui, sedang
demam, dan anak kecil 2 tahun.

28
K Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan
terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang,
angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan,
dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau
perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser.
Typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi
karier pada anak – anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi
pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.1

29
BAB III

PEMBAHASAN

A Penjelasan Tanda dan Gejala


Pasien datang ke IGD RSU PKU Muhammadiyah Delanggu dengan keluhan
demam. Demam dirasakan sejak 4 hari yang lalu SMRS, demam turun ketika
meminum obat penurun demam, kemudian demam kembali, biasanya demam
terjadi pada sore atau malam hari, disertai dengan nyeri perut, mual, muntah,
dan nafsu makan menurun. Sebelumnya pasien sudah diperiksa di dokter umum,
demam sempat turun namun naik kembali. Kemudian orang tua membawa pasien
ke RSU PKU Muhammadiyah Delanggu dan dokter menyarankan untuk
pemeriksaan laboratorium dan hasilnya Hb 12,2 g/dl, AL 2500/ul, AT 172.000, Ht
36,6% dan Widal 1/320. Dokter menyarankan langsung dirawat inap.
Pasien tidak merasakan pusing, kejang, batuk pilek, melena, diare,
hematemesis, hematuria, disuria, nyeri telinga, nyeri retro-orbital, nyeri otot, nyeri
kepala, mimisan, gusi berdarah, dan penurunan kesadaran.
MRS pasien mengeluhkan demam, mual, muntah 1x, nafsu makan menurun,
dan sakit tenggorokan. Pasien mempunyai kebiasaan membeli jajan di pinggir
jalan dan tidak pernah cuci tangan sebelum makan.
Dari pemeriksaan fisik diperoleh kesadaran pasien cukup baik, ditemukan
adanya lidah kotor, tidak ditemukan adanya pembesaran hepar dan splen,
tidak ditemukan adanya suara tambahan paru, dan tidak ditemukan tanda
dehidrasi. Dari pemeriksaan penunjang diperoleh pasien leukopenia dan
pemeriksaan Widal titer 1/320.

30
PATHWAY DEMAM TIFOID

31
B Apakah penegakan diagnosa kasus tersebut sudah tepat?
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, memberikan
hasil positif terhadap demam typhoid, yaitu:
1. Demam yang dialami penderita sudah hari ke-5 dengan demam yang terjadi
meningkat terutama pada sore dan malam hari dan menurun pada pagi hari
namun tidak sampai batas normal.
2. Penderita juga merasakan nyeri perut, mual, muntah, nyeri tenggorokan, dan
penurunan nafsu makan
3. Pada penderita didapatkan lidah tifoid
4. Pasien tidak merasakan pusing, kejang, batuk pilek, melena, diare,
hematemesis, hematuria, disuria, nyeri telinga, nyeri retro-orbital, nyeri otot,
nyeri kepala, mimisan, gusi berdarah, dan penurunan kesadaran
5. Tidak ditemukan adanya pembesaran hepar dan splen, tidak ditemukan
adanya suara tambahan paru, dan tidak ditemukan tanda dehidrasi.

Penderita juga dilakukan pemeriksaan penunjang darah yang menghasilkan:


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
Leukosit 2.5 10^3/ul 4.0-12.0
Widal S.typhi O 1/320 <1/160
Namun dari hasil pemeriksaan darah rutin tidak menghasilkan trombositopeni.

Diagnosis Banding pada kasus ini adalah


1. Demam Dengue
2. Malaria
3. Infeksi Saluran Kemih

32
C Apakah pemeriksaan penunjang yang dilakukan sudah tepat?
Uji serologi Widal adalah suatu metode serologik yang memeriksa antibodi
aglutinasi antigen somatik (O), flagela (H) banyak dipakai untuk membuat
diagnosis demam tifoid. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40
dengan memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan
waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes
positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak
menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali
periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis
demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca
imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi
pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji
serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus
demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan
dengan penderita dan faktor teknis.
1. Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu :
a. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
b. Gangguan pembentukan antibodi.
c. Saat pengambilan darah.
d. Daerah endemik atau non endemik.
e. Riwayat vaksinasi.
f. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan
demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
2. Faktor teknik, yaitu :
a. Akibat aglutinin silang.
b. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
c. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.

33
D Apakah penatalaksanaan awal pada kasus ini sudah tepat?
Terapi cairan yang diberikan pasien ini dengan menggunakan ringer laktat.
Pemberian RL sudah sesuai untuk mengatur keseimbangan elektrolit. Pada kasus
ini dengan BB = 15 kg, Kebutuhan cairan = 1000 cc + (5x50)/kgBB/hari = 1250
ml/kgBB/hari. Maka : (1250x20)/(24x60) = 17 tetes/menit (makro). Pada kasus ini
diberikan 12 tetes/menit. Jumlah pemberian tetesan kurang sesuai untuk memenuhi
kebutuhan cairan maintenance.
Terapi pemberian Paracetamol pada pasien untuk mengatasi demam sudah
sesuai, paracetamol diberikan selama pasien mengalami demam yaitu dengan dosis
10-15mg/kgBB/kali minum dapat diulang 4-6 jam. Dengan BB 15 Kg maka
paracetamol yang dapat diberikan 150-225 mg/kali pemberian. Pada pasien ini
diberikan paracetamol 3 kali 1,5 sendok takar saat di rawat inap
Pengobatan lini pertama demam tifoid adalah kloramfenikol dengan dosis
100 mg/kgBB/hari dibagi 4 kali pemberian selama 10-14 hari atau sampai 5-7 hari
bebas demam.
Pemberian Vicillin pada pasien ini dirasa tidak perlu, karena isi dari Vicillin
itu sendiri adalah golongan penicillin yang termasuk antibiotik. Sehingga
pemberian kloramfenikol bersamaan dengan vicillin dapat mengakibatkan
resistensi ganda.
Pemberian dexamethasone yang termasuk dalam kortikosteroid pada pasien
ini dirasa tidak perlu, karena pasien tidak mengalami penurunan kesadaran. Obat
tersebut dapat diberikan apabila kasus demam tifoid yang sampai mengakibatkan
pasien mengalami gangguan kesadaran.

34
E Tatalaksana Non Farmakologi
1. Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.5
2. Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat
adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak
memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk
mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid,
basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
3. Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada
infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
4. Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu
tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan
memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika
reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor
mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer.
Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla
oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior
sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan
pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat (berkeringat),
diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai keadaan
normal kembali. Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu
berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya.

35
F Pencegahan
1. Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan
demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air
(diutamakan air mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau
mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet. Bawalah
pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia air.
2. Hindari minum air yang tidak dimasak.
Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik
tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian
luar botol atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa
menambahkan es di dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk menyikat
gigi dan usahakan tidak menelan air di pancuran kamar mandi.
3. Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada
yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah
buah dan sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah
dan sayuran tersebut masih segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang
tidak segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air
untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat dikupas.
4. Pilih makanan yang masih panas.
Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang.
Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu
57°C beberapa menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella
typhi. Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu
aman, hindari membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin
terkontaminasi.

36
Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam
tifoid, berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:
1. Sering cuci tangan.
Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari
penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir)
dan sabun, kemudian gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama
sebelum makan dan setelah menggunakan toilet.
2. Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.
Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya
sekali sehari.
3. Hindari memegang makanan.
Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata
bahwa anda tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan
atau fasilitas kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes
memperlihatkan anda tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.
4. Gunakan barang pribadi yang terpisah.
Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan
cuci dengan menggunakan air dan sabun.

DAFTAR PUSTAKA

37
1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
2. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1.
Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.
3. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa
Indonesia: A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ;
2000.
4. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam
Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta :
2003. h. 2-20.
5. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada
anak. Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.

38

Anda mungkin juga menyukai