Snakebite Lapsus-1
Snakebite Lapsus-1
SNAKE BITE
Oleh
dr. M.Bagus Rifnaputra
Pembimbing:
dr. M.Arif Heriawan, Sp.B
dr. Anita Fadhilah
dr. Ricky Septafianty
Diperkirakan 15 persen dari 3000 spesies ular yang ditemukan di seluruh dunia
dianggap berbahaya bagi manusia. Dalam tiga tahun terakhir, American Association of
Poison Control Centers telah melaporkan rata-rata terdapat 6000 kasus gigitan ular (snake
bites) per tahun nya, dan 2000 kasus diantaranya disebabkan oleh ular berbisa1.
Untuk Indonesia, tidak terdapat data reliabel yang tersedia untuk mengetahui angka
mortalitas dan morbiditas gigitan ular. Gigitan ular dan kematian di laporkan pada beberapa
pulau, misalnya Komodo, namun kurang dari 20 kematian dicatat setiap tahunnya2.
Terkena bisa ular (envenomed) dan kematian yang disebabkan gigitan ular, merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang utama pada pedalaman tropis. Masyarakat pada daerah
ini mengalami mortalitas dan morbiditas yang tinggi karena akses yang buruk menuju sarana
kesehatan3.
Ular berbisa –yang terdapat hampir di semua negara, kecuali antartika- melumpuhkan
mangsanya dengan menyuntikkan air liur yang telah dimodifikasi (bisa) yang mengandung
racun ke dalam jaringan mangsa mereka melalui taring-taringnya-gigi berongga khusus. Ular
juga menggunakan bisanya untuk membertahankan diri dan akan menggigit mereka yang
mengancam, mengejutkan, atau memancingnya. Gigitan ular yang disebabkan oleh famili
Viperidae ( contohnya pit viper) dan Elapidae ( contohnya krait dan kobra) adalah yang
utama berbahaya bagi manusia. Pengobatan terbaik untuk gigitan ular manapun adalah
membawa korban ke rumah sakit secepat mungkin di mana antibisa (campuran antibodi yang
menetralkan bisa) dapat diberikan3.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka kami mengangkat kasus mengenai gigitan
ular (snake bite), agar dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai bahaya dan cara
penanganan terhadap gigitan ular, khususnya ular berbisa.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Luka gigitan adalah cidera yang disebabkan oleh mulut dan gigi hewan atau manusia.
Hewan mungkin menggigit untuk mempertahankan dirinya, dan pada kesempatan khusus
untuk mencari makanan. Gigitan dan cakaran hewan yang sampai merusak kulit kadang kala
dapat mengakibatkan infeksi. Beberapa luka gigitan perlu ditutup dengan jahitan, sedang
beberapa lainnya cukup dibiarkan saja dan sembuh dengan sendirinya4.
Luka gigitan penting untuk diperhatikan dalam dunia kedokteran. Luka ini dapat
menyebabkan4 :
a. Kerusakan jaringan secara umum,
b. perdarahan serius bila pembuluh darah besar terluka
c. infeksi oleh bakteri atau patogen lainnya, seperti rabies
d. dapat mengandung racun seperti pada gigitan ular
e. awal dari peradangan
Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa
yang bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar, yaitu taring, pada bagian depan
dari rahang atasnya. Taring-taring ini mengandung saluran bisa (seperti jarum hipodermik)
atau alur, dimana bisa dapat dimasukkan jauh ke dalam jaringan dari mangsa alamiahnya.
Bila manusia tergigit, bisa biasanya disuntikkan secara subkutan atau intramuskuler. Ular
kobra yang meludah dapat memeras bisanya keluar dari ujung taringnya dan membentuk
semprotan yang diarahkan terhadap kedua mata penyerang 2,5.
Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies, ukuran
ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring
menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi5.
3
intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan ular king
kobra (Ophiophagus hannah). Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat
dilipat ke bagian rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada
dua subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ
untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung
dan mata.
Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah (Calloselasma
rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris)5
Gambar 1. Jenis ular Cobra(kiri) dan viper(kanan) yang banyak terdapat di Indonesia
(Sumber : Poisonus Snake in Indonesia, 2010)
4
Tabel 1. Perbedaan Ular Berbisa dan Ular Tidak Berbisa
Tidak berbisa Berbisa
Bentuk Kepala Bulat Elips, segitiga
Gigi Taring Gigi Kecil 2 gigi taring besar
Bekas Gigitan Lengkung seperti U Terdiri dari 2 titik
Warna Warna-warni Gelap
C. BISA ULAR
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan
sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang
termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa
merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi
kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi
merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik5.
a. Komposisi Bisa Ular
Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, sebagian besar adalah protein, termasuk
enzim dan racun polipeptida. Berikut beberapa unsur bisa ular yang memiliki efek klinis2 :
a. Enzim prokoagulan (Viperidae) dapat menstimulasi pembekuan darah namun dapat
pula menyebabkan darah tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari ular Russel mengandung
beberapa prokoagulan yang berbeda dan mengaktivasi langkah berbeda dari kaskade
pembekuan darah. Akibatnya adalah terbentuknya fibrin di aliran darah. Sebagian
besar dapat dipecah secara langsung oleh sistem fibrinolitik tubuh. Segera, dan
terkadang antara 30 menit setelah gigitan, tingkat faktor pembekuan darah menjadi
sangan rendah (koagulopati konsumtif) sehingga darah tidak dapat membeku.
b. Haemorrhagins (zinc metalloproteinase) dapat merusak endotel yang meliputi
pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan sistemik spontan (spontaneous
systemic haemorrhage).
c. Racun sitolitik atau nekrotik – mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan
fosfolipase A) racun polipentida dan faktor lainnya yang meningkatkan permeabilitas
membran sel dan menyebabkan pembengkakan setempat. Racun ini juga dapat
menghancurkan membran sel dan jaringan.
d. Phospholipase A2 haemolitik and myolitik – ennzim ini dapat menghancurkan
membran sel, endotel, otot lurik, syaraf serta sel darah merah.
e. Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa Viperidae) –
merupakan phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf, pada awalnya melepaskan
transmiter asetilkolin lalu meningkatkan pelepasannya.
5
f. Post-synaptic neurotoxins (Elapidae) –polipeptida ini bersaing dengan asetilkolin
untuk mendapat reseptor di neuromuscular junction dan menyebabkan paralisis yang
mirip seperti paralisis kuraonium2
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase,
5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini
menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis
atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan
dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun6.
6
mangsanya. Lubang hidung merespon terhadap emisi panas dari mangsa, yang dapat
memungkinkan ular untuk mengubah jumlah bisa yang dikeluarkan.
Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan bahan-bahan
penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase telah diidentifikasi pada
bisa pit viper. Efek lokal dari bisa ular merupakan penanda potensial untuk kerusakan
sistemik dari fungsi sistem organ. Salah satu efeknya adalah perdarahan lokal, koagulopati
biasanya tidak terjadi saat venomasi. Efek lainnya, berupa edema lokal, meningkatkan
kebocoran kapiler dan cairan interstitial di paru-paru.
Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek akhirnya berupa
kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder terhadap perubahan
status volume dan membutuhkan peningkatan minute ventilasi. Efek blokade neuromuskuler
dapat menyebabkan perburukan pergerakan diafragma. Gagal jantung dapat disebabkan oleh
asidosis dan hipotensi. Myonekrosis disebabkan oleh myoglobinuria dan gangguan ginjal7.
Gigitan Viporidae/Crotalidae
(misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo)
1. Gejala lokal timbul dalam 15 menit, setelah beberapa jam berupa bengkak di dekat
gigitan yang menyebar ke seluruh anggota tubuh.
2. Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam
7
3. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2
jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
Gigitan Hydropiridae
(misalnya ular laut)
1. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh,
dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobinuria yang ditandai dengan
urin berwarna coklat gelap (penting untuk diagnosis), kerusakan ginjal, serta henti
jantung
F. DIAGNOSA KLINIK
Anamnesis2 :
Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala dan tanda baik lokal dan
sistemik merupakan hal yang sangat penting.
Empat pertanyaan awal yang bermanfaat :
1. pada bagian tubuh mana anda terkena gigitan ular?
Dokter dapat melihat secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular (misalnya, adanya
bekas taring) serta asal dan perluasan tanda envenomasi lokal.
2. kapan dan pada saat apa anda terkena gigitan ular?
Perkiraan tingkat keparahan envenomasi bergantung pada berapa lama waktu berlalu sejak
pasien terkena gigitan ular. Apabila pasien tiba di rumah sakit segera setelah terkena gigitan
ular, bisa didapatkan sebagian kecil tanda dan gejala walaupun sejumlah besar bisa ular telah
diinjeksikan. Bila pasien digigit ular saat sedang tidur, kemungkinan ular yang menggigit
adalah Kraits (ular berbisa), bila di daerah persawahan, kemungkinan oleh ular kobra atau
8
russel viper (ular berbisa), bila terjadi saat memetik buah, pit viper hijau (ular berbisa), bila
terjadi saat berenang atau saat menyebrang sungai, kobra (air tawar), ular laut (laut atau air
payau).
3. perlakuan terhadap ular yang telah menggigit anda?
Ular yang telah menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan dijauhkan dari pasien.
Apabila ular yang telah menggigit berhasil ditemukan, sebaiknya ular tersebut dibawa
bersama pasien saat datang ke rumah sakit, untuk memudahkan identifikasi apakah ular
tersebut berbisa atau tidak. Apabila spesies terbukti tidak berbahaya (atau bukan ular
samasekali) pasien dapat segera ditenangkan dan dipulangkan dari rumah sakit.
4. apa yang anda rasakan saat ini?
Pertanyaan ini dapat membawa dokter pada analisis sistem tubuh yang terlibat. Gejala gigitan
ular yang biasa terjadi di awal adalah muntah. Pasien yang mengalami trombositopenia atau
mengalami gangguan pembekuan darah akan mengalami perdarahan dari luka yang telah
terjdi lama. Pasien sebaiknya ditanyakan produksi urin serta warna urin sejak terkena gigitan
ular. Pasien yang mengeluhkan kantuk, kelopak mata yang serasa terjatuh, pandangan kabur
atau ganda, kemungkinan menandakan telah beredarnya neurotoksin.
Pemeriksaan fisik
Tidak ada cara yang sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa yang berbahaya. Beberapa
ular berbisa yang tidak berbahaya telah berkembang untuk terlihat hampir identik dengan
yang berbisa. Akan tetapi, beberapa ular berbisa yang terkenal dapat dikenali dari ukuran,
bentuk, warna, pola sisik, prilaku serta suara yang dibuatnya saat merasa terancam.2.
Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kelapa segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada
luka bekas gigitan tedapat bekas gigi taring.
9
Gambar 3. Bekas gigitanan ular. (A) Ular tidak berbisa tanpa bekas taring, (B) Ular berbisa
dengan bekas taring (Sumber : Sentra Informasi Keracunan Nasional adan POM, 2012)
Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada korbannya.
Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya dapat
menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi
pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang
menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda
tersebut antara lain adalah tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan lokal,
memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis
jaringan (terutama akibat gigitan ular dari famili Viperidae)2.
Tanda dan Gejala Lokal pada daerah gigitan2:
a. Tanda gigitan taring (fang marks)
b. Nyeri lokal
c. Perdarahan lokal
d. Kemerahan
e. Limfangitis
f. Pembesaran kelenjar limfe
g. Inflamasi (bengkak, merah, panas)
h. Melepuh
i. Infeksi lokal, terbentuk abses
j. Nekrosis
10
Gambar 4. Gejala Umum Gigitan Ular (Sumber : www.doctorsecret.com)
Tanda dan gejala sistemik2 :
a. Umum (general)
mual, muntah, nyeri perut, lemah, mengantuk, lemas.
b. Kardiovaskuler (viperidae)
gangguan penglihatan, pusing, pingsan, syok, hipotensi, aritmia jantung, edema paru, edema
konjunctiva (chemosis)
c. Perdarahan dan gangguan pembekuan darah (Viperidae)
perdarahan yang berasal dari luka yang baru saja terjadi (termasuk perdarahan yang terus-
menerus dari bekas gigitan (fang marks) dan dari luka yang telah menyembuh sebagian
(oldrus-mene partly-healed wounds), perdarahan sistemik spontan – dari gusi, epistaksis,
perdarahan intrakranial (meningism, berasal dari perdarahan subdura, dengan tanda
lateralisasi dan atau koma oleh perdarahan cerebral), hemoptisis, perdarahan perrektal
(melena), hematuria, perdarahan pervaginam, perdarahan antepartum pada wanita hamil,
perdarahan mukosa (misalnya konjunctiva), kulit (petekie, purpura, perdarahan diskoid,
ekimosis), serta perdarahan retina.
d. Neurologis (Elapidae, Russel viper)
mengantuk, parestesia, abnormalitas pengecapan dan pembauan, ptosis, oftalmoplegia
eksternal, paralisis otot wajah dan otot lainnya yang dipersarafi nervus kranialis, suara sengau
11
atau afonia, regurgitasi cairan melaui hidung, kesulitan untuk menelan sekret, paralisis otot
pernafasan dan flasid generalisata.
e. destruksi otot Skeletal ( sea snake, beberapa spesies kraits, Bungarus niger and B.
candidus, western Russell’s viper Daboia russelii)
nyeri seluruh tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, myoglobinuria, hiperkalemia, henti
jantung, gagal ginjal akut.
f. Sistem Perkemihan
nyeri punggung bawah, hematuria, hemoglobinuria, myoglobinuria, oligouria/anuria, tanda
dan gejala uremia ( pernapasan asidosis, hiccups, mual, nyeri pleura, dan lain-lain)
g. gejala endokrin
insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan infark hipofisis anterior. Pada fase
akut : syok, hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan hingga tahun setelah gigitan) :
kelemahan, kehilangan rambut seksual sekunder, kehilangan libido, amenorea, atrofi testis,
hipotiroidism
12
1 2
3 4
5 6
2. Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang aman dan
senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah
13
peningkatan penyerapan bisa. Beberapa alat transportasi yang dapat digunakan untuk
membawa pasien adalah tandu, sepeda, motor, kuda, kereta, kereta api, atau perahu,
atau pasien dapat dipikul (dengan fireman’s metode). Pasien diposisikan miring
(recovery posotion) bila ia muntah dalam perjalanan
14
b. Bisa ular Bungarus fascinatus 25-50 LD50
c. Bisa Ular Naya sputatrix 25-50 LD50
d. Dan mengandung Fenol 0,25% sebagai pengawet
15
1. Siapkan alat suntik, adrenalin 1:1000, sediakan kortikosteroid dan antihistamin
2. Jangan menyuntik serum dalam keadaan dingin, yang baru dikeluarkan dari lemari es,
apalagi dalam jumlah besar. Hangatkan lebih dahulu hingga suhunya sama dengan
suhu badan
3. Waktu disuntik penderita harus dalam keadaan “relax”
4. Penyuntikan harus perlahan-lahan, sesudahnya amati penderita paling sedikit 30 menit
16
Keadaaan ini tidak memerlukan tindakan apa-apa, karena akan cepat menghilang
dalam 24 jam.
4. Rasa nyeri pada tempat suntikan
Keadaan ini tidak memerlukan tindakan apa-apa, karena akan menghilang dengan
sendirinya.
17
III ++ + +++ >25cm/12jam ++,syok,
petekie,ekimosis
Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika derajat
meningkat maka diberikan SABU
Derajat II: 3-4 vial SABU
Anti bisa ular harus diberikan segera setelah memenuhi indikasi. Anti bisa ular dapat
melawan envenomasi (keracunan) sistemik walaupun gejala telah menetap selama beberapa
hari, atau pada kasus kelainan haemostasis, yang dapat belangsung dua minggu atau lebih.
Untuk itu, pemberian anti bisa tepat diberikan selama terdapat bukti terjadi koagulopati
persisten. Apakah antibisa ular dapat mencegah nekrosis lokal masih menjadi kontroversi,
namun beberapa bukti klinins menunjukkan bahwa agar antibisa efektif pada keadaan ini, anti
bisa ular harus diberikan pada satu jam pertama setelah gigitan.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium :
1. Penghitungan jumlah sel darah
2. Pro trombine time dan activated partial tromboplastin time
3. Fibrinogen dan produk pemisahan darah
4. Tipe dan jenis golongan darah
5. Kimia darah, termasuk elektrolit, BUN dan Kreatinin
6. Urinalisis untuk myoglobinuria
18
7. Analisis gas darah untuk pasien dengan gejala sistemik
b. Pemeriksaan radiologis :
1. Thorax photo untuk pasien dengan edema pulmonum
2. Radiografi untuk mencari taring ular yang tertinggal
c. Pemeriksaan lainnya :
a. Tekanan kompartemen dapat perlu diukur. Secara komersialtersedia alat yang steril,
sederhana untuk dipasang atau dibaca, dan dapat dipercaya (seperti Styker pressure
monitor). Indikasi pengukuran tekanan kompartemen adalah bila terdapat
pembengkakan yang signifikan, nyeri yang sangat hebat yang menghalangi
pemeriksaan, dan jika parestesi muncul pada ekstremitas yang tergigit
TINDAK LANJUT
Perawatan pasien lebih lanjut di rumah sakit :
Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper, observasi di Instalasi
gawat Darurat selama 8-10 jam; namun, hal ini sering tidak mungkin dilaksanakan. Pasien
dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan perawatan khusus di ICU
untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan monitoring yang invasif, dan
memastikan proteksi jalan nafas. Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.
Buat evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindroma
kompartemen. Tergantung pada skenario klinik, ukur tekanan kompartemen setiap 30-120
menit. Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg. Tergantung dari
derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin dibutuhkan, seperti waktu
pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level fibrinogen.
19
b. Perdarahan sistemik spontan (misalnya dari gusi) : biasanya terhenti pada 15-30
menit.
c. Koagulasi darah : biasanya terhenti dalam 3-9 jam. Perdarahan dari luka yang
menyembuh sebagian terhenti lebih cepat
d. Pada pasien syok : tekanan darah dapat meningkat antara 30-60 menit pertama dan
aritmia seperti sinus bradikardi dapat teratasi
e. Pada pasien dengan neurotoksisitas tipe post sinaps (gigitan ular kobra) akan
membaik dalam 30 menit setelah pemberian antibisa, namun biasanya membutuhkan
waktu bebeerapa jam. Pada keracunan tipe pre sinaps (Kraits dan ular laut) tidak
tampak respon.
f. Hemolisis aktif dan rhabdomyolisis menurun dalam beberapa jam dan warna urin
akan kembali ke warna normal.
Pada pasien yang terkena bisa ular viper, setelah terjadi respon awal terhadap antibisa
ular (perdarahan berkurang, koagulopati darah terhenti), tanda keracunan sistemik dapat
terjadi kembali dalam 24-48 jam. Hal ini dapat terjadi karena :
a. Absorbsi bisa yang berlanjut dari ‘depot’ pada lokasi gigitan, kemungkinan didukung
oleh peningkatkan aliran darah setelah koreksi syok, hipovolemia, dsb, setelah terjadi
eliminasi antibisa (tergantung waktu paruh antibisa : IgG 45 jam, F(ab’) 2 80-100 jam;
Fan 12-18 jam)
b. Redistribusi bisa dari jaringan ke dalam ruang intravaskuler, diakibatkan oleh terapi
antibisa.
20
d. Pada kasus perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler, dosis
awal antibisa harus diulang setelah 1-2 jam dan perawatan pendukung harus
dipertimbangkan.
21
DIAGRAM PENANGANAN GIGITAN ULAR
PASIEN DG RIWAYAT
GIGITAN ULAR
PERTOLONGAN PERTAMA:
- TENANGKAN PASIEN
- IMMOBILISASI DAERAH GIGITAN
YA
TIDAK
- TRANSPOR PASIEN KE RS
YA
TIDAK TIDAK
ULAR DIBAWA KE
RS
TERDAPAT ULAR DAPAT
YA
TIDAK TERIDENTIFIKASI
TANDA
ENVENOMASI
RAWAT (KERACUNAN) Insisi cross bila memenuhi
kriteria ULAR DITETAPKAN
OBSERVASI* DI RS YA TIDAK BERBISA RAWAT
SELAMA 24 JAM TIDAK
YA
TERDAPAT TANDA TENANGKAN KORBAN,
TERDAPAT TANDA DIAGNOSTIK ENVENOMASI ((KERACUNAN)
YA BERI SERUM
DARI ENVENOMASI TIDAK ANTITETANUS,
(KERACUNAN) ULAR YANG RAWAT
PULANGKAN KORBAN
UMUM BERADA DI AREA
GEOGRAFIS YANG SAMA TANDA MEMENUHI
YA
KRITERIA PEMBERIAN OBSERVASI* DI
TIDAK ANTIBISA
YA RS SELAMA 24
JAM
TANDA MEMENUHI
KRITERIA PEMBERIAN
ANTIBISA1
TIDAK
TERSEDIA ANTIBISA
MONOSPESIFIK /
TIDAK YA POLISPESIFIK
RAWAT RAWAT
YA
OBSERVASI* DI BERIKAN TERAPI
RS SELAMA 24 ANTIBISA KONSERVATIF**
JAM POLISPESIFIK BERIKAN
UNTUK SPESIES ANTIBISA
ULAR YANG MONOSPESIFIK /
BERADA DI AREA POLISPESIFIK
GEOGRAFIS
YANG SAMA
LIHAT RESPON2
RAWAT RAWAT
TIDAK YA RAWAT
TANDA
OBSERVASI* DI RS ULANGI DOSIS INISIASI
ENVENOMASI
ANTIBISA (MAX 80-100
SISTEMIK
ml)
MENETAP
Disadur dari WHO Guidelines for The Clinical TIDAK ADA PERBAIKAN : ADA PERBAIKAN :
Management of Snake Bite in The South East Asia RUJUK SEGERA OBSERVASI* DI RS
Region 2005
22
KETERANGAN SKEMA
CROSS INSISI
Setelah tergigit Bisa yang dapat terbuang
3 menit 90%
15-30 menit 50%
1 jam 1%
23
1
KRITERIA PEMBERIAN SERUM ANTI BISA ULAR
DERAJAT PARRISH
24
CARA PENYUNTIKAN SERUM ANTIBISA ULAR
injeksi 0,2 ml serum encerkan
1: 10 (subkutan)
Amati 30 menit
Amati 30 menit
KETERANGAN :
Reaksi Hipersensitivitas (anafilaktik) dini : pucat, kepala pusing, perasaan panas, Amati respon terhadap
batuk-batuk, kenaikan suhu, mual atau muntah-muntah, pembengkakan lidah atau serum antibisa ular
bibir, denyut nadi cepat, tekanan darah menurun, gatal-gatal, rasa tidak nyaman di
perut, sesak nafas, kesadaran menurun atau kejang
(Disadur dari Serum Anti Bisa Ular Biofarma, Bandung)
25
c. Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan cepat, dosis antibisa harus diulang
antara 1-2 jam.
Pada kasus perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler, dosis awal
antibisa harus diulang setelah 1-2 jam dan perawatan pendukung harus dipertimbangkan
2
RESPON TERHADAP PEMBERIAN ANTIBISA ULAR
a. Umum : pasien merasa lebih baik, mual, muntah dan nyeri secara keseluruhan dapat
hilang secara cepat.
b. Perdarahan sistemik spontan (misalnya dari gusi) : biasanya terhenti pada 15-30
menit.
c. Koagulasi darah : biasanya terhenti dalam 3-9 jam. Perdarahan dari luka yang
menyembuh sebagian terhenti lebih cepat
d. Pada pasien syok : tekanan darah dapat meningkat antara 30-60 menit pertama dan
aritmia seperti sinus bradikardi dapat teratasi
e. Pada pasien dengan neurotoksisitas tipe post sinaps (gigitan ular kobra) akan
membaik dalam 30 menit setelah pemberian antibisa, namun biasanya membutuhkan
waktu bebeerapa jam. Pada keracunan tipe pre sinaps (Kraits dan ular laut) tidak
tampak respon.
f. Hemolisis aktif dan rhabdomyolisis menurun dalam beberapa jam dan warna urin
akan kembali ke warna normal.
* OBSERVASI
Keadaan umum dan vital sign, tanda envenomasi (keracunan) bisa ular, pemeriksaan
penunjang,
Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper, observasi di
Instalasi gawat Darurat selama 8-10 jam, dilanjutkan observasi di ruangan
Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan perawatan
khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan monitoring yang
invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas.
Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.
Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindroma
kompartemen.
- Ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit.
26
- Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg. Tergantung
dari derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin dibutuhkan,
seperti waktu pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level fibrinogen
** PERAWATAN KONSERVATIF
1. Bed rest
2. Perawatan luka dengan iodine, hibitane
3. Akses intravena (cairan dan obat-obatan)
4. Pemberian obat-obatan sedatif (Diazepam, Promethazine)
5. Pemberian obat-obatan analgesik (ASA, Paracetamol, Ibuprofen, Indomethacin,
Petidine)
6. Pemerian Antibiotika profilaksis (PPF, Amoxicillin, Ampicillin, Gentamicin)
7. Pemberian toxoid Tetanus
8. Pemberian Steroid (Hidrocortison, Dexamethasone)
27
H. KOMPLIKASI GIGITAN ULAR
Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular pit viper.
Komplikasi luka lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit. Komplikasi kardiovaskuler,
komplikasi hematologis, dan kolaps paru dapat terjadi. Jarang terjadi kematian. Anak-anak
mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya kematian atau komplikasi serius karena
ukuran tubuh mereka yang lebih kecil. Perpanjangan blokade neuromuskuler timbul dari
envenomasi ularkoral.
Komplikasi yang terkait dengan antivenin termasuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat
(anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness, tipe III). Anafilaksis terjadi dimediasi
oleh immunoglobulin E (IgE), berkaitan dengan degranulasi sel mast yang dapat berakibat
laryngospasme, vasodilatasi, dan kebocoran kapiler. Kematian umumnya pada korban tanpa
intervensi farmakologis. Serum sickness dengan gejala demam, sakit kepala, bersin,
pembengkakan kelenjar lymph, dan penurunan daya tahan, muncul 1 – 2 minggu setelah
pemberian antivenin. Presipitasi dari kompleks antigen-immunoglobulin G (IgG) pada kulit,
sendi, dan ginjal bertanggung jawab atas timbulnya arthralgia, urtikaria, dan
glomerulonephritis (jarang). Biasanya lebih dari 8 vial antivenin harus diberikan pada
sindrom ini. Terapi suportif terdiri dari antihistamin dan steroid7.
28
sama dengan orang dewasa yang sehat. Ketersediaan perawatan medis darurat dan, yang
paling penting, antibisa ular, dapat mempengaruhi bagaimana keadaan korban.
Efek bisa yang serius dapat tertunda untuk beberapa jam. Seorang korban yang awalnya
terlihat baik kondisinya dapat menjadi sangat kesakitan. Seluruh korban yang tergigit oleh
ular berbisa harus segera mendapat perawatan medis tanpa harus ditunda-tunda6.
BAB III
LAPORAN KASUS
29
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. N
Jenis kelamin : Wanita
Tgl Lahir /Umur : 16-7-1975 / 42 tahun
Alamat : Jl. KalingsaIII/8, Jember
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
No. RM : 115262
Tgl. Periksa : 28 Maret 2017 jam 14.00 WIB
Tgl. MRS : 27 Maret 2017 jam 08.12 WIB
II. ANAMNESA
1. Keluhan Utama :
Nyeri jari tangan kanan setelah tergigit ular
5. Riwayat Psikososial
30
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga.
31
V. RESUME
Anamnesa
Pasien mengeluh nyeri dan bengkak jari ketiga tangan kanan setelah tergigit
ular sekitar pukul 07.00 WIB, pasien mengaku ular yang menggigit berukuran kecil
berwarna kehijauan dengan ekor hitam dan kepala berbentuk segitiga, segera setelah
tergigit ular pukul 08.00 WIB pasien ke IGD RS Jember Klinik. Keluhan lain seperti
sukar berbicara, susah menelan, otot lemas, sakit kepala, kulit dingin, muntah,
pandangan kabur disangkal oleh pasien.
Pemeriksaan Fisik
Status generalis : Dalam batas normal.
Status Lokalis : Oedem R.antebrachii Dextra + R.digiti III Manus Dextra
Pemeriksaan Penunjang
DL dalam batas normal
GDA 191mg/dl
32
DL, GDA
TERAPI
Non medikamentosa:
Edukasi kepada pasien tentang penyakitnya
Medikamentosa:
Inf RL 20 tpm
Inj. Antrain 3x1a
Inj. SABU 2 vial drip dalam D5 100cc
MONITORING
Keluhan penderita berkurang, tetap atau makin memberat.
Observasi tanda-tanda perdarahan
Komplikasi yang dapat muncul
IX. PROGNOSIS
Dubia ad bonam
X. FOLLOW UP
SOAP/
28/03/2017 29/03/2017 30/03/2017
TANGGAL
S Keluhan nyeri bekas Keluhan nyeri bekas Keluhan nyeri pada
gigitan masih gigitan mulai berkurang bekas gigitan berkurang,
dirasakan, tangan kanan keluhan lain (-)
agak berat, bengkak
33
Dextra Dextra Dextra
P Inf RL 20 tpm Terapi dilanjutkan ACC KRS
Inj Tetagam 250iu (1x) Kontrol ulang 5 hari lagi
Inj Futaxon 1x 2gram Terapi Pulang :
Metronidazol 3x500mg -Cefila 200mg 2 x 1
Inj.Sanexon 3x125 mg -Mefinal 3 x 1
Inj. Antrain 3x1a - Sanexon 8mg 3 x 1
DAFTAR PUSTAKA
1) Gold, Barry S.,Richard C. Dart.Robert Barish. 2002. Review Article : Current Concept
Bites Of Venomous Snakes. N Engl J Med, Vol. 347, No. 5·August 1, 2002
2) WHO. 2005. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South East
Asia Region.
3) Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK, Pathmeswaran A, et
al. 2008. The Global Burden of Snakebite: A Literature Analysis and Modelling Based
on Regional Estimates of Envenoming and Deaths. PLoS Med 5(11): e218.
doi:10.1371/journal.pmed.0050218
4) SMF Bedah RSUD DR. R.M. Djoelham Binjai. 2000. Gigitan Hewan. Availabke from :
www.scribd.com/doc/81272637/Gigitan-Hewan
5) Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM, 2012. Penatalaksanaan Keracunan
Akibat Gigitan Ular Berbisa. Available from : www.pom.id (diakses pada 30 Maret
2012)
6) Hafid, Abdul, dkk., 1997. Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana : Gigitan Ular. Buku
Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta. Hal. 99-100
7) Daley, Brian James MD. 2010. Snake bite : patophysiology. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview#a0104
8) Emedicine Health. 2005. Snakebite. available from :
http://www.emedicinehealth.com/snakebite/article_em.htm#Snakebite
9) Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes
RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
34
10) Wangoda R., Watmon B. Kisige M. 2002. Snakebite Management : Experience From
Gulu Regional Hospital Uganda.
35