Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks


(pendengaran dan keseimbangan). Indera pendengaran berperan penting pada
partisipasi seseorang dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Sangat penting untuk
perkembangan normal dan pemeliharaan bicara, dan kemampuan berkomunikasi
dengan orang lain melalui bicara tergantung pada kemampuanmendengar.Indra
pengindraan dan keseimbangan serta penghantar suara terletak dalam tulang
temporal, yang ikut membentuk kubah tengkorak dan tulang pipi. Tulang temporal
terdiri dari bagian skuamosa, bagian timpani, bagian mastoid, dan pars petrosa.
Bagian skuamosa os temporal sebagian besar tipis dan cembung kearah luar sebagai
tempat perlengketan muskulus temporalis. Bagian timpani berbentuk suatu silinder
yang tidak sempurna, bersama-sama dengan bagian skuama membentuk liang telinga
luar bagian tulang. Bagian terbesar os temporal dibentuk oleh bagian mastoid.
Bagian mastoid mengalami pneumatisasi yang luas. Pars petrosa yang disebut
sebagai pyramid petrosa yang berisi labirin telinga. Bagian superior tulang ini
membentuk permukaan inferior fossa kranii media.1,2.
Terdapat berbagai kelainan telinga yang penyebabnya dapat digolongkan
dalam infeksi, trauma telinga, congenital serta neoplasma yang memerlukan berbagai
pemeriksaan penunjang dalam membantu penegakkan diagnosis. Pemeriksaan
penunjang meliputi mikrobiologi, audiometric serta imaging radiologi.
Pemeriksaan radiologi berperan penting membantu menentukan diagnosis
awal dan perkembangan penyakitselanjutnya. Jenis pemeriksaan radiologi meliputi
pemeriksaan konvensional sederhana sampai canggih. Modalitas radiologi harus
digunakan dengan tepat sesuai kasus. Pemeriksaan radiologi yang dilakukan dapat
berupa radiologi konvensional dengan sinar X ( rontgen), CT Scan dan MRI., Oleh
karena itu tujuan pembuatan referat ini adalah memberikan informasi mengenai
pemeriksaan imaging sebagai radiodiagnostik dalam kelaianan pada telinga.

1
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA
2.1.Anatomi Telinga
2.1.1. Telinga Luar

Telinga luar terdiri atas auricula dan meatus akustikus eksternus, sampai
membran timpani. Auricula mempunyai bentuk yang khas dan berfungsi
mengumpulkan getaran udara, auricula terdiri atas lempeng tulang rawan elastis
tipis yang ditutupi kulit. Auricula juga mempunyai otot intrinsic dan ekstrinsik,
yang keduanya dipersarafi oleh N.facialis.3
Bagian selanjutnya adalah meatus akustikus eksternus atau dikenal juga
dengan liang telinga luar. Meatus akustikus eksternus merupakan sebuah tabung
berkelok yang menghubungkan auricula dengan membran timpani. Pada orang
dewasa panjangnya lebih kurang 1 inchi atau kurang lebih 2,5 cm, dan dapat
diluruskan untuk memasukkan otoskop dengan cara menarik auricula keatas dan
belakang. Pada anak kecil auricula ditarik lurus kebelakang, atau kebawah dan
belakang. Bagian meatus yang paling sempit adalahkira-kira 5 mm dari
membran timpani.3
Rangka sepertiga bagian luar meatus adalah kartilago elastis, dan dua pertiga
bagian dalam adalah tulang yang dibentuk oleh lempeng timpani. Meatus
dilapisi oleh kulit, dan sepertiga luarnya mempunya irambut, kelenjar sebasea,
dan glandula seruminosa. Glandula seruminosa ini adalah modifikasi kelenjar
keringat yang menghasilkan secret lilin berwarna coklat kekuningan. Rambut
dan lilin ini merupakan barier yang lengket, untuk mencegah masuknya benda
asing.2
Saraf sensorik yang melapisi kulit pelapis meatus berasal dari auriculo
temporalis dan ramus auricularis n. vagus. Sedangkan aliran limfe menuju nodi
parotidei superficiales, mastoidei, dan cervicales superficiales.2

2
Gambar 1 Telinga Luar
2.1.2 Telinga Tengah
Telinga tengah adalah ruang berisi udara di dalam pars petrosa ossis
temporalis yang dilapisi oleh membrana mukosa. Ruang ini berisi tulang-tulang
pendengaran yang berfungsi meneruskan getaran membran timpani (gendang
telinga) ke perilympha telinga dalam. Kavum timpani berbentuk celah sempit
yang miring, dengan sumbu panjang terletak lebih kurang sejajar dengan bidang
membran timpani. Di depan, ruang ini berhubungan dengan nasopharing melalui
tuba eustachius dan di belakang dengan antrum mastoid.2
Telinga tengah mempunyai atap, lantai, dinding anterior, dinding posterior,
dinding lateral, dan dinding medial. Atap dibentuk oleh lempeng tipis tulang,
yang disebut tegmen timpani, yang merupakan bagian dari pars petrosa ossis
temporalis. Lempeng ini memisahkan kavum timpani dan meningens dan lobus
temporalis otak di dalam fossa kranii media. Lantai dibentuk di bawah oleh
lempeng tipis tulang, yang mungkin tidak lengkap dan mungkin sebagian diganti
oleh jaringan fibrosa. Lempeng ini memisahkan kavum timpani dari bulbus
superior V. jugularis interna. Bagian bawah dinding anterior dibentuk oleh lem-
peng tipis tulang yang memisahkan kavum timpani dari a. carotis interna. Pada
bagian atas dinding anterior terdapat muara dari dua buah saluran. Saluran yang

3
lebih besar dan terletak lebih ba- wah menuju tuba auditiva, dan yang terletak
lebih atas dan lebih kecil masuk ke dalam saluran untuk m. tensor tympani.
Septum tulang tipis, yang memisahkan saluran-saluran ini diperpanjang ke bela-
kang pada dinding medial, yang akan membentuk tonjolan mirip selat. Di bagian
atas dinding posterior terdapat sebuah lubang besar yang tidak beraturan, yaitu
auditus antrum. Di bawah ini terdapat penonjolan yang berbentuk kerucut,
sempit, kecil, disebut pyramis. Dari puncak pyramis ini keluar tendo m.
stapedius. Sebagian besar dinding lateral dibentuk oleh membran timpani. 2,3
Membran timpani adalah membrana fibrosa tipis yang berwarna kelabu mutiara.
Membran ini terletak miring, menghadap ke bawah, depan, dan lateral.
Permukaannya konkaf ke lateral. Pada dasar cekungannya terdapat lekukan
kecil, yaitu umbo, yang terbentuk oleh ujung manubrium mallei. Bila membran
terkena cahaya otoskop, bagian cekung ini menghasilkan "refleks cahaya", yang
memancar ke anterior dan inferior dari umbo.2
Membran timpani berbentuk bulat dengan diameter lebih-kurang 1 cm.
Bagian atas disebut pars flaksida. Bagian bawah disebut pars tensa. Pars flaksida
hanya berlapis dua, bagian luar adalah lanjutan epitel kulit liang telinga dan
bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia. Pars tensa memiliki satu lapis lagi
di bagian tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari kolagen dan sedikit serat elastin
yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam.
Membran tympan sangat peka terhadap nyeri dan permukaan luarnya dipersarafi
oleh n.auriculotemporalis dan ramus auricularis n. vagus.2,3
Dinding medial dibentuk oleh dinding lateral telinga dalam. Bagian terbesar
dari dinding memperlihatkan penonjolan bulat, disebut promontorium, yang
disebabkan oleh lengkung pertama cochlea yang ada di bawahnya. Di atas dan
belakang promontorium terdapat fenestra vestibuli, yang berbentuk lonjong dan
ditutupi oleh basis stapedis. Pada sisi medial fenestra terdapat perilympha scala
vestibuli telinga dalam. Di bawah ujung posterior promontorium terdapat
fenestra cochleae, yang berbentuk bulat dan ditutupi oleh membran timpani
sekunder. Pada sisi medial dari fenestra ini terdapat perilympha ujung buntu
scala timpani.2,3
Di bagian dalam rongga ini terdapat 3 jenis tulang pendengaran yaitu tulang

4
maleus, inkus dan stapes. Ketiga tulang ini merupakan tulang kompak tanpa
rongga sumsum tulang.Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling
berhubungan. Prosessus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus
melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap
lonjong yang berhubungan dengan koklea.3
Ada 2 otot kecil yang berhubungan dengan ketiga tulang pendengaran. Otot
tensor timpani terletak dalam saluran di atas tuba auditiva, tendonya berjalan
mula-mula ke arah posterior kemudian mengait sekeliling sebuah tonjol tulang
kecil untuk melintasi rongga timpani dari dinding medial ke lateral untuk
berinsersi ke dalam gagang maleus. Tendo otot stapedius berjalan dari tonjolan
tulang berbentuk piramid dalam dinding posterior dan berjalan anterior untuk
berinsersi ke dalam leher stapes. Otot-otot ini berfungsi protektif dengan cara
meredam getaran-getaran berfrekuensi tinggi.2
Tuba eustachius terbentang dart dinding anterior kavum timpani ke bawah,
depan, dan medial sampai ke nasopharynx. Sepertiga bagian posteriornya adalah
tulang dan dua pertiga bagian anteriornya adalah cartilago. Tuba berhubungan
dengan nasopharynx dengan berjalan melalui pinggir atas m. constrictor
pharynges superior. Tuba berfungsi menyeimbangkan tekanan udara di dalam
cavum timpani dengan nasopharing.2

Gambar 2. Telinga Tengah

5
2.1.3 Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan
vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak
koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfe skala timpani dengan
skala vestibuli.3
Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala
timpani di sebelah bawah, dan skala media (duktus koklearis) di antaranya.
Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi
endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Reissneijs
membrane) sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada
membran ini terletak organ Corti.3
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari
sel rambut dalam, sel rambut luar, dan kanalis Corti, yang membentuk organ
Corti.3

Gambar 3. Telinga Dalam

6
2.2 Fisiologi
2.2.1 Fisiologi Pendengaran
Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Daun telinga
yang berfungsi untuk mengumpulkan gelombang suara dan menyalurkannya ke
dalam canalis auditory eksternal. Karena bentuknya daun telinga secara parsial
menahan gelombang suara yang mendekati telinga dari arah belakang, sehingga
dapat membantu seseorang membedakan apakah suara datang dari arah depan
atau belakang.
Membran timpani meregang dan bergetar sewaktu mengenai gelombang
suara. Daerah-daerah gelombang suara yang bertekanan tinggi dan rendah
berselang seling menyebabkan gendang telinga bergetar seirama dengan
frekuensi gelombang suara. Selanjutnya gelombang bunyi merambat melalui
rantai ossicula (malleus-incus-stapes). Rantai ossicula juga bergerak dengan
frekuensi yang sama memindahkan frekuensi gerakan tersebut ke fenestra ovale.
Tekanan di fenestra ovale akibat setiap getaran yang dihasilkan menimbulkan
gerakan seperti gelombang pada cairan telinga dalam dengan frekuensi yang
sama. Namun diperlukan tekanan yang lebih besar untuk menggerakkan cairan.2,
Terdapat dua mekanisme yang berkaitan dengan sistem osikuler yang
memperkuat intensitas gelombang suara dan udara untuk menggetarkan cairan
di koklea. Pertama, karena luas membran timpani jauh lebih besar daripada luas
permukaan fenestra ovale dengan pembagian 17 : 1, terjadi peningkatan tekanan
ketika gaya yang bekerja di membran timpani di salurkan ke fenestra ovale.
Kedua, efek pengungkit tulang-tulang pendengaran menghasilkan keuntungan
mekanis tambahan dengan menyumbangkan 1,3 kali.2
Kedua mekanisme ini bersama-sama meningkatkan gaya yang timbul pada
fenestra ovale sebesar dua puluh dua kali dan menyebabkan pergerakan cairan di
kokhlea. Gerakan cairan di dalam perilimfe ditimbulkan oleh getaran fenestra
ovale melalui skala vestibuli dimana getaran akan diteruskan melalui membran
Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif
antara membran basilaris dan membran tektoria.2
Hal ini mencetuskan pengaktifan reseptor untuk suara, dengan
mendefleksikan rambut di sel-sel rambut sewaktu organ corti pada bagian atas

7
membrana basilaris yang bergetar secara maksimal pada frekuensi yang
berbeda-beda. Ujung membrana basilaris yang pendek dan kaku, yang terletak
paling dekat dengan fenestra ovale, bergetar maksimum pada nada berfrekuensi
tinggi. Membrana basilaris yang lebar dan luntur dekat helikotrema bergetar
maksimum pada nada-nada berfrekuensi rendah.1
Organ corti terletak diatas membrana basilaris yang terdiri dari sel-sel
rambut luar dan sel rambut dalam. Sel – sel rambut tersebut akan defleksi ke
depan dan belakang sewaktu membrana basilaris menggeser posisinya terhadap
membrana tektorial. Perubahan bentuk mekanis rambut yang maju mundur ini
menyebabkan saluran-saluran ion gerbang mekanis di sel-sel rambut terbuka dan
tertutup secara bergantian. Hal ini menyebakan potensial depolarisasi yang
bergantian.1,2
Depolarisasi sel-sel rambut meningkatkan kecepatan pengeluaran zat
perantara mereka, yang menaikkan kecepatan potensial aksi di serat – serat
aferen, sehingga mengakibatkan perubahan kecepatan pembentukan potensial
aksi yang merambat ke otak. Dengan cara ini, gelombang suara dirubah menjadi
sinyal saraf yang dapat melalui sel-sel saraf pendengar menuju ke otak sebagai
sensasi suara.2

Gambar 4 Alur Persepsi Pendengaran

8
2.2.2 Fisiologi Keseimbangan
Telinga dalam merupakan tempat dari 2 sistem sensorik yang berbeda;
cochlea yang memiliki reseptor untuk mengkonversi gelombang suara menjadi
impuls saraf, dan aparatus vestibular, yang penting dalam sensasi keseimbangan
Sistem vestibular terdiri dari 5 organ sensori yang berbeda : 3 kanalis
semi-sirkularis yang sensitif terhadap perubahan kecepatan angular (rotasi
kepala) dan dua otolit yang sensitif terhadap perubahan kecepatan linear (seperti
pergerakan kendaraan atau elevator).5
Aparatus vestibular mendeteksi perubahan posisi dan pergerakan dari
kepala. Seperti cochlea, semua komponen dari aparatus vestibular memiliki
endolymph dan dikelilingi oleh perilymph. Selain itu, sama dengan organo corti,
setiap komponen vestibular memiliki sel rambut yang merespon deformasi
mekanikal yang dipicu oleh pergerakan tertentu dari endolymph.4
Kanalis semi-sirkularis merupakan alat keseimbangan dinamik,
mendeteksi gerakan berputar atau akselerasi dan deselerasi angular dari kepala,
seperti ketika mulai atau berhenti berputar, jungkir balik, atau memutar kepala,
sehingga kemana saja arah gerakan kepala, asal gerakan itu membentuk putaran,
maka gerakan tersebut akan tertangkap oleh salah satu, dua, atau oleh ketiga
kanalis semi-sirkularis bersama-sama. Pada manusia, kss horizontal fungsinya
paling dominan dibandingkan dengan kanalis yang lain. Hal ini sesuai dengan
hidup manusia yang banyak bergerakhorizontal.2

Gambar 5. AparatusVestibularis

Sel-sel rambut reseptor pada setiap kanalis semi-sirkularis terletak di


ampulla, bagian yang menebal di bagian bawah kanal. Sel-sel rambut tersebut
9
melekat pada cupula, yang menonjol ke arah endolymph. Kupula akan
bergoyang sesuai dengan gerakan cairan endolymph.4
Organ-organ otolit, yang disebut utrikulus dan sakulus merupakan alat
keseimbangan statik. Alat ini terangsang oleh gerak percepatan atau perlambatan
yang lurus arahnya, dan juga oleh gravitasi. Utrikulus mendeteksi : (1)
perubahan posisi kepala yang menjauh dari medan vertikal dan (2) akselerasi
dan deselerasi linear horizontal. Sakulus mendeteksi : (1) perubahan posisi
kepala yang menjauh dari medan horizontal dan (2) akselerasi dan deselerasi
linear vertikal.2

Gambar 6. Pergerakan Kanalis


Semisirkuralis

10
BAB III
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Pemeriksaan radiologi merupakan alat penunjang diagnostik yang penting dalam
diagnosis penyakit telinga. Setelah memperoleh riwayat lengkap dan pemeriksaan
telinga tengah dan mastoid yang cermat dengan otoskop, maka dapat diputuskan
perlu tidaknya pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan radiologi pada telinga berfungsi
untuk menentukan struktur anatomi tulang mastoid, meliputi sel udara mastoid,
diploe dan sklerotik mastoid. Mendeteksi adanya perubahan patologis seperti
perselubungan pada sel mastoid, erosi pada tulang dan pembentukan kavitas.
Keadaan telinga dalam, kanalis auditorius interna, kanalis semisirkularis dan nervus
fasialis. Keadaan tulang-tulang pendengaran pada telinga tengah.
Pemeriksaan radiologi yang penting adalah pemeriksaan tulang temporal. Oleh
karena, tulang temporal mempunyai struktur anatomi yang overlapped dengan
beberapa struktur tulang tengkorak lainnya. Tulang temporal merupakan struktur
yang unik karena ukurannya yang kecil yang dikelilingi oleh sistem sel pneumatisasi
yang ekstensif. Oleh karena densitas berlainan dari komponen tulangnya dan ruang
yang berisi udara dan cairan disekeliling dan didalamnya, tulang temporal
memperlihatkan gambaran radiografi yang akurat. Hal ini dapat dibuat dengan
pemeriksaan radiografi konvensional atau dengan teknik tomografi yang khas.6,7

3.1 Pemeriksaan Radiologi Konvensional


Pemeriksaan radiologi konvensional yakni menggunakan sinar-X (rontgen)
pada tulang temporal mempunyai nilai penyaring serta dapat menentukan status
pneumatisasi mastoid dan pyramid tulang petrosa. Dengan pemeriksaan
radiologi konvensional ini dapat dinilai besar dan perluasan suatu lesi besar
yang berasal dari tulang temporal atau yang merupakan perluasan dari lesi-lesi
struktur sekitar tulang temporal kearah tulang temporal.8 Hal ini bermanfaat
untuk mempelajari mastoid, telinga tengah, labirin dan kanalis akustikus
internus.4

11
Radiologi konvensional merupakan suatu pemeriksaan sederhana
menggunakan sinar X dengan berbagai posisi pemeriksaan. Konvensional
juga disebut automatic processing merupakan cara pemprosesan film secara
konvensional dengan alat yang memerlukan langkah-langkah dalam
pencucian film yakni, film – developing-rinsing-fixing-washing-drying.
Radiologi tipe ini dapat dilakukan dengan menggunakan kontras atau tanpa
kontras [9,10]

Pemeriksaan radiologi pada hidung dapat meliputi foto polos, foto


dengan kontras, dan pemeriksaan dengan radionuklir. Gambaran yang terlihat
pada foto polos dapat meliputi 2 hal, yaitu :

- Radiolusen : Benda yang mudah ditembus sinar x akan memberikan


gambaran hitam : - gas
- udara
- Radioopak :Benda-benda yang sukar ditembus sinar x akan memberi
gambaran putih. : - tulang
- jaringan ikat
- otot
- darah
- kartilago, dll[3,6,10]
Tanpa Kontras
Pemeriksaan konvensional tanpa kontras, yaitu pemeriksaan
sederhana menggunakan sinar Roentgen (Sinar X) dengan berbagai
posisi pemeriksaan.
Dengan Kontras
Media kontras merupakan suatu bahan atau media yang
dimasukkan ke dalam tubuh pasien untuk membantu menegakkan
diagnose dalam pemeriksaan radiografi, sehingga media yang
dimasukkan tampak lebih radiopaque atau lebih radiolucent pada
organ tubuh yang diperiksa []

12
3.1.1 Posisi schuller
3.1.1.1. Posisi
Beberapa proyeksi radiologik meliputi Posisi Schuller. Posisi ini
menggambarkan penampakan lateral mastoid. Proyeksi foto dibuat
dengan bidang sagital kepala terletak sejajar meja pemeriksaan dan
sinar-X ditujukan dengan membentuk sudut 30o cephalo-caudal. Pada
posisi ini perluasan pneumatisasi mastoid serta struktur trabekulasi
dapat tampak dengan jelas. Posisi ini juga memberikan informasi dasar
tentang besarnya kanalis auditorius eksterna dan hubungannya dengan
sinus lateralis.
3.1.1.2 Gambaran

1. frontal sinus

2. maxillary sinus

3. ethmoid sinus

4. sphenoid sinus

5. sella turcica

6.mastoid air cell

7 meatus acusticus externus

Gambar 7. Schuller view

13
3.1.2. Posisi Transorbital
3.1.2.1.Posisi
transorbital merupakan proyeksi yang menampilkan skull dalam
posisi anteroposterior, film pada sudut kanan orbitomeatal line.
3.1.2.2 Gambaran dan Interpretasi
1. external auditory Canal

2. Air cell

3.Mastoid process

4. vestibulocochlearis

5. rima orbita

Gambar 8. Transorbital view

3.1.3. Posisi Town


3.1.3.1.Posisi
Gambaran dan interpretasi

Mastoid

Petrosus ridge

Posterior Clinoid Processs

Occipital Bone

Gambar 9. Town View

14
3.1.4. Posisi Stenvers
3.1.4.1. Posisi
Kepala terletak sejajar meja pemeriksaan atau film lalu wajah
diputar 45o menjauhi film dan berkas sinar-X Posisi Stenvers
memperlihatkan sumbu panjang pyramid petrosus dengan kanalis
akustikus internus, labirin dan antrum.
3.1.4.2 .Gambaran dan Interpretasi
16. eminentia arcuata

17. Canalis Semicircularis


superior

18.Canalis semicircularis
horizontal

20. Porus acustcus internus

29. vestibulum

21. rima orbita


Gambar 10. Stenver view

3.1.5. Posisi Law


3.1.5.1. Posisi
Pada posisi law film ditmpakan secara parallel pada proyeksi
sagital pasien. X-ray diproyeksikan 15 o secara cephalocaudal
3.1.5.2 .Gambaran dan Interpretasi
Mastoid Air Cell

Temporomanibular Joint

Tympanc cavity and ossice

Sinus Plate

Gambar 11. Law View

15
3.1. Pemeriksaan Radiologi Non Konvensional
3.2.1 CT Scan
CT Scan adalah singkatan dari Computerized Tomography Scan, suatu
alat pencitraan atau prosedur medis untuk menggambarkan bagian-bagian
tubuh tertentu menggunakan bantuan sinar-X khusus. Dibandingkan
dengan foto rongsen, CT scan lebih detil karena mengambil gambar dari
potong-potongan organ yang diperiksa. Pemeriksaan CT Scan ini
menggabungkan serangkaian gambar yang diperoleh dari sinar-X, diambil
dari berbagai macam sudut, kemudian mengggunakan sistem
komputerisasi untuk menggabungkan potongan-potongan gambar tersebut
dan menciptakan suatu kesatuan gambar organ tubuh yang akan diperiksa
dengan arah tertentu, selapis demi selapis. CT Scan memberikan hasil
pencitraan yang jauh lebih baik dan jelas dibandingkan pemeriksaan
dengansinar-Xbiasa.

Kegunaan CT San CT Scan memiliki berbagai macam kegunaan,


namun biasanya dilakukan untuk pemeriksaan yang membutuhkan hasil
dengan cepat. Sebagai contoh, pada kasus pasien yang mengalami
kecelakaan atau trauma. Selain itu CT Scan juga digunakan untuk
menegakkan diagnosis suatu penyakit, sehingga dapat ditentukan langkah
pengobatan selanjutnya. CT Scan dapat dilakukan untuk mengetahui
beberapa hal seperti : Menegakan diagnosis kelainan tulang dan otot,
seperti adanya tumor pada tulang, patah tulang atau kelainan tulang
belakang. Menentukan secara pasti lokasi adanya sel kanker, infeksi, atau
bekuan darah Memantau perjalanan suatu penyakit atau efektivitas suatu
terapi pengobatan Ada tidaknya perdarahan di dalam organ tubuh,
misalnya pendarahan otak. Bisa dilihat melalui CT Scan kepala. Prosedur
Pemeriksaan CT Scan Pemeriksaan CT Scan hanya membutuhkan waktu
yang sebentar, hanya sekitar 30 menit dan hasilnya pun cepat didapatkan.
Pasien tidak perlu menginap di rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan
ini. Pasien dapat diberikan obat sedatif agar pasien tenang dan tidak gerak-
gerak. Apabila pasien gerak-gerak, maka hasil pemeriksaan menjadi tidak

16
jelas dan tidak akurat. Pasien yang akan menjalani pemeriksaan CT Scan
harus berbaring di atas ranjang yang dapat bergerak secara otomatis
melewati mesin besar yang bagian tengahnya berongga seperti donat.

CT Number Untuk memperjelas suatu struktur yang satu dengan


struktur yang lainnya yang mempunyai nilai perbedaan koefisien atenuasi
kurang dari 10% maka dapat digunakan window width untuk memperoleh
rentang yang lebih luas. CT Number Pada CT Scanner mempunyai
koefisien atenuasi linear yang mutlak dari suatu 16 jaringan yang diamati,
yaitu berupa CT Number. Tulang memiliki nilai besaran CT Number yang
tertinggi yaitu sebesar 1000 HU (Hounsfield Unit) Udara mempunyai nilai
CT Number yang terendah yaitu -1000 HU (Hounsfield Unit) Sebagai
standar digunakan air yang memiliki CT Number 0 HU (Hounsfield Unit).
Citra yang dihasilkan oleh CT Scan secara matematis dapat dipandang
sebagai peta distribusi spasial parameter fisis f(x,y) dalam bidang dua
dimensi tampang lintang obyek, tegak lurus sumbu z. Parameter fisis ini,
yang besarnya dinyatakan dengan angka-angka, ditampilkan pada
perangkat display dalam representasi warna, biasanya dalam derajat
keabuan (grayscale) sehingga peta ini tampak sebagai gambar hitam putih
di layar monitor. Bagian gambar yang memiliki warna paling gelap atau
derajat keabuan paling tinggi merepresentasikan nilai parameter fisis yang
kecil, sebaliknya bagian gambar yang paling terang atau derajat keabuan
paling kecil merepresentasikan nilai parameter fisis yang besar. Parameter
fisis yang ditampilkan ini bersesuaian dengan besaran fisis yang disebut
koefisien atenuasi linear (linear attenuation coefficient) dan diberi
lambang mu. Besarnya mu ditentukan oleh jenis bahan yang merujuk pada
nomor atom (Z) dan energi radiasi (E). Jumlah intensitas radiasi terusan,
selain ditentukan oleh tebal bahan, juga ditentukan oleh harga mu ini.

17
Dasar dari pemberian nilai ini adalah air dengan nilai 0 HU. Untuk
tulang mempunyai nilai +1000 HU kadang sampai +3000 HU.
Sedangkan untuk kondisi udara nilai yang dimiliki -1000 HU. Diantara
rentang tersebut merupakan jaringan atau substansi lain dengan nilai
yang berbeda-beda pula tergantung pada tingkat perlemahannya.
Dengan demikian, penampakan tulang dalam layar monitor menjadi
putih dan penampakan udara hitam. Jaringan dan substansi lain akan
dikonversi menjadi warna abu-abu yang bertingkat yang disebut gray
scale. Khusus untuk darah yang semula dalam penampakannya
berwarna abu-abu dapat menjadi putih jika diberi media kontras
(Bontrager, 2010).

Gambar 12. CT Scan

18
Pemeriksaan tomografi komputerisasi diperlukan untuk dapat
melakukan penilaian struktur kecil dari tulang temporal yang memerlukan
ketajaman yang tinggi dan irisan yang tipis, serta dapat menentukan detil-
detil tulang yang jelas seperti osikel, fenestra ovale dan kanalis fasialis.
Adapun proyeksi CT tulang temporal adalah dengan potonganaksial,
potongan koronal dan potongan sagittal

3.2.1.1 Potongan axial

1, mastoid air cells; 2, carotid canal; 3, jugular foramen;4, sigmoid


sinus; 5, stylomastoid foramen;6, clivus;7, foramen ovale;8, foramen
spinosum; 9, petro-occipital fissure; 10, mandibular condyle; 11, bony
eustachian tube; 12, external auditory canal;
18, horizontal facial nerve canal; 19, geniculate ganglion; 20,
labyrinthine facial nerve canal; 21, basal turn of cochlea; 22, middle
Gambar
turn of cochlea; 23, 13.ofCT
apical turn scan Axial
cochlea; View 25, round
24, modiolus;
window; 26, vestibule; 27, lateral semicircular canal; 28, posterior
semicircular canal; 29, superior semicircular canal; 30, crus commun;
3.2.1.2. Potongan Coronal
31,internal auditory canal;32,porus acusticus;33,vestibular aqueduct.

1, head of malleus;
2, external auditory canal;
3, scutum;
4,carotid canal;
5, labyrinthine facial nerve
canal;
6, tympanic facial nerve
canal;
8, tensor tympani muscle at
cochleariform process;
pical turn cochlea; 10,
middle turn cochlea; 11,
Gambar 14 Ct Scan coronal
basal turn cochlea; 12,
View tegmen tympani; 13,
vestibule; 14, lateral
semicircular 19
canal; 15, superior
semicircular canal; 16,
cochlear promontory; 17,
internal auditory
3.3.1.3. Potongan sagital

CT scan of the right ear.


MPR of the ossicular
chain, sagittal plan

1: incus body,

2: malleus head,

4: long crus of the incus,

5: short crus of the incus

Gambar 15. Ct Scan Sagital


View

3.2.2. MRI
MRI (Magneting Resonance Imaging)

Pemeriksaan MRI bertujuan mengetahui karakteristik morfologik


(lokasi, ukuran, bentuk, perluasan, dan lain-lain dari keadaan patologis).
Tujuan tersebut dapat diperoleh dengan menilai salah satu atau
kombinasi gambar penampang tubuh aksial, sagittal. Coronal atau oblik
tergantung pada letak organ dan kemungkinan patologinya. .Pada
pemeriksaan kepala untuk melihat kelainan pada kelenjar pituitary,
lubang telinga dalam, rongga mata dan sinus. Pemeriksaan otak untuk
mendeteksi : stroke / infark, gambaran fungsi otak, pendarahan, infeksi;
tumor, kelainan bawaan, kelainan pembuluh darah seperti aneurisma,
angioma, proses degenerasi, atrofi. Pemeriksaan tulang belakang untuk
melihat proses Degenerasi (HNP), tumor, infeksi, trauma, kelainan
bawaan. Pemeriksaan Musculo-skeletal untuk organ : lutut, bahu , siku,
pergelangan tangan, pergelangan kaki, kaki, untuk mendeteksi robekan
tulang rawan, tendon, ligamen, tumor, infeksi/abses dan lain lain.
Pemeriksaan Abdomen untuk melihat hati , ginjal, kantong dan saluran

20
empedu, pakreas, limpa, organ ginekologis, prostat, buli-buli.
Pemeriksaan Thorax untuk melihat : paru –paru, jantung

Ada beberapa kelebihan MRI dibandingkan dengan pemeriksaan CT


Scan yaitu : 1. MRI lebih unggul untuk mendeteksi beberapa kelainan
pada jaringan lunak seperti otak, sumsum tulang serta muskuloskeletal.
2. Mampu memberi gambaran detail anatomi dengan lebih jelas. 3.
Mampu melakukan pemeriksaan fungsional seperti pemeriksaan difusi,
perfusi dan spektroskopi yang tidak dapat dilakukan dengan CT Scan. 4.
Mampu membuat gambaran potongan melintang, tegak, dan miring
tanpa merubah posisi pasien. 5. MRI tidak menggunakan radiasi pengion

MRI bila ditinjau dari tipenya terdiri dari :


a. MRI yang memiliki kerangka terbuka (open gantry) dengan ruang
yang luas dan
b. MRI yang memiliki kerangka (gantry) biasa yang berlorong sempit.
Sedangkan bila ditinjau dari kekuatan magnetnya terdiri dari
a. MRI Tesla tinggi ( High Field Tesla ) memiliki kekuatan di atas 1 –
1,5 T ;
b. MRI Tesla sedang (Medium Field Tesla) memiliki kekuatan 0,5 – T ;
c. MRI Tesla rendah (Low Field Tesla) memiliki kekuatan di bawah 0,5
T.
Pada MRI, Ada 3 macam intensitas :
Hipointes (gelap) : apabila signal MRI melemah
Isointens
Hiperintens (terang) : bila signal MRI kuat
Air : hipointens pada T1 dan menjadi Hiperintens pada T2
Lemak atau darah : hiperintens pada T1 dan T2
Klasifikasi : hipointens pada T1 dan T2[9.10]

21
Gambar 16. MRI View

T1 Recovery
Disebabkan oleh inti-inti atom yang memberikan energinya pada
lingkungan sekitarnya atau lattice, dan disebut spin lattice relaksasi.
Energi yang dibebaskan pada sekeliling lattice menyebabkan inti-inti
atom untuk recoveri ke magnetisasi longitudinal. Rate recoveri adalah
proses eksponensial dengan waktu yang konstan yang disebut T1. T1
adalah waktu pada saat 63% magnetisasi longitudinal untuk recoveri.
T2 Decay
Disebabkan oleh pertukaran energi inti atom dengan atom yang lain.
Pertukaran energi ini disebabkan oleh medan magnet dari tiap-tiap inti
atom berinteraksi dengan inti atom lain. Seringkali di namakan spin-spin
relaksasi dan menghasilkan decay atau hilangnya magnetisasi transverse.
Rate decay juga merupakan proses eksponensial, sehingga waktu
relaksasi T2 dari jaringan soft tissue konstan. T2 adalah waktu pada saat
63% magnetisasi transverse menghilang. Besarnya dan proses waktu
frekuensi T1 dan T2 sangat berpengaruh pada sinyal keluaran yang akan
ditransformasikan sebagai kontras gambar, sebab kurva T1 akan
menentukan magnetisasi transversal. Peluruhan T2 ( waktu relaksasi T2 )
adalah efek yang paling berkontribusi pada gambar citra, sebab pada
proses dephase proton akan dihasilkan suatu induksi sinyal. Pengulangan
pulsa sekuen terjadi sebelum kurva recovery menjadi maksimal sehingga
obyek jaringan dengan T1 pendek (cepat kembali ke kondisi

22
kesetimbangan ) akan mempunyai jumlah recovery yang banyak
dibandingkan dengan jaringan yang mempunyai waktu yang panjang,
sehingga dalam citra MRI akan di dapatkan gambar yang hitam pada
pembobotan T1 spin echo. Setelah pulsa RF 90o diberikan pada obyek,
magnetisasi longitudinal akan diputar 90o ke bidang transversal dan
terjadi proses relaksasi T2. Jaringan yang mempunyai nilai T2 pendek,
dephase yang terjadi sangat cepat sehingga intensitas sinyal yang
dihasilkan sangat besar dan jaringan dengan waktu relaksasi T2 pendek
ini akan kelihatan hitam pada pembobotan nilai T2. Proses relaksasi T1
dan T2 adalah suatu kerja yang berlawanan yaitu pada saat proses
pertumbuhan kembali magnetisasi longitudinal diimbangi dengan
peluruhan yang cepat pada kurva relaksasi T2. Dua efek relaksasi T1 dan
T2 terjadi ketika objek diberikan gelombang radio RF yang merupakan
bentuk pulsa sekuen. Pulsa sekuen dalam pencitraan MRI dibentuk untuk
mengetahui bagaimana efek T1 pada pembobotan citra T1, efek T2 pada
pembobotan citra T2 dan pembobotan citra proton density. Rangkaian
pulsa RF dephasing phase echo dalam mendapatkan citra MRI dilakukan
pengulangan untuk satu pemeriksaan. Waktu pengulangan antara pulsa
sekuen yang satu dengan yang berikutnya disebut dengan Time
Repetition (TR), sedangkan waktu tengah antara pulsa 90o dan sinyal
maksimum (echo) disebut dengan Time Echo (TE). Parameter T1 dan T2
sebagai sifat intrinsik jaringan serta TE dan TR sebagai parameter teknis
yang digunakan akan mengontrol derajat kehitaman pada citra MRI.
Pada T2 Weighting derajat kehitaman gambar akan dikontrol oleh TE
dan T2, sedangkan untuk T1 Weighting derajat kehitaman akan dikontrol
oleh TR dan T1 serta proton density weighting akan tergantung dari
densitas proton dalam jaringan yang menentukan besar kecilnya sinyal.
Secara umum T1 weighting akan menunjukkan struktur anatomi, dan
T2 weighting menunjukkan struktur patologi 8

23
Media Kontras Positif
Gadolinium adalah paramagnetik elemen yang terkuat krn dia
mempunyai 7 elektron tdk berpasangan yang ada di orbit terluar.
Elektron berpasangan akan mempunyai magnetik momen yang arahnya
berlawanan satu sama lain, hasilnya magnetik momennya menjadi nol.
Sementara itu elektron tidak berpasangan tidak demikian. Karakternya
adalah mempunyai sifat kemagnetan intrinsik. Tetapi sifat kemagnetan
intrinsik ini tidak tampak karena arahnya acak dan saling berlawanan
satu sama lain. Dan ketika terpengaruh medan magnet kuat, maka kutub
magnetnya secara mayoritas menjadi sama dengan arah kutub magnet
luar yang mempengaruhinya. Sebagai molekul yang mempunyai ion
paramagnetik, gadopentetate mempunyai sifat kemagnetan yang besar,
sebagai akibatnya gadopentate menghasilkan medan magnet yang
berfluktuasi secara acak pada lingkungannya Dan ini sangat terlihat
pengaruhnya pada semakin singkatnya waktu T1 relaksasi. Ini
menjadikannya tampak enhance pada citra MRI.

Media Kontras Negatif


Ferrites disebut sebagai media kontras negatif, karena memberi efek
tidak enhance pada T2, dan ini tampak pada pencitraan MRI hati dan
spleen, dengan memperpendek T2 relaxation time dan memperbesar efek
spin-spin relaxation. Ada berberapa jenis media kontras negatif yaitu:
 Intravena: Superparamagnetic Iron Oxide, Superparamagnetic Iron
Platinum
 Oral : Superparamagnetic Iron Platinum, Bleberry Juice, Grean Tea

24
Magnetic Resonance Imaging Auricula

Gambar 17. MRI Auricula

25
BAB IV
CONTOH KASUS

4.1 Kelainan Radiologi Pada Telinga


4.1.1. Mastoiditis

Pembuatan foto radiologic untuk mestoiditis akut biasanya digunakan


posisi Schuller a tau Owen, sedangkan Chausse III digunakan untuk
memeriksa telinga tengah.Gambaran radiologic mastoiditis akut
bergantung pada lamanya proses inflamasi dan proses pneumatisasi tulang
temporal. Mastoiditis dini mastoiditis akut adalah berupa perselubungan
ruang telinga tengah dan sel udara mastoid, dan bila proses inflamasi terus
berlanjut akan terjadi perselubungan difus pada kedua daerah tersebut.

Tampak
perselubungan
pada cavum
timpani dan
antrum
mastoid cell

Gambar 18. X Foto Temporal


Mastoiditis

4.1.2 Kolesteatoma
Kolesteatoma adalah kista epitelia yang berisi deskuamasi epitel
(keratin).Deskuamasi terbentuk terus menerus, menumpuk sehingga
kolesteatoma bertambah besar. Kolesteatoma juga disebut sebagai epitel
kulit di tempat yang salah atau epitel kulit yang terperangkap.

Kolesteatoma merupakan media yang baik untuk tumbuhnya kuman,


yang paling sering adalah Pseudomonas Aeruginosa.Bila terjadi infeksi,
pembesaran kolesteatoma menjadi lebih cepat sehingga menekan dan

26
mendesak organ disekitarnya, menyebabkan nekrosis tulang. Proses
nekrosis tulang ini mempermudah timbulnya komplikasi seperti labirinitis,
meningitis dan abses otak.
Pada kolesteatoma yang menyebar kearah mastoid akan menyebabkan
destruksi struktur trabekulae mastoid dan pembentukan kavitas besar yang
berselubung dengan dinding yang licin. Kolesteatoma yang meluas ke sel
udara mastoid tanpa merusak trabekulasi tulang membentuk gambaran
perselubungan pada sel udara mastoid dan sulit dibedakan dari mastoiditis
biasa.

Kolesteatoma yang
meluas ke sel udara
mastoid tanpa
merusak trabekulasi
tulang membentuk
gambaran
perselubungan pada
sel udara mastoid dan
sulit dibedakan dari
mastoiditis biasa.

Gambar 19. Kolesteatoma

4.1.3 Fraktur os temporal


Fraktur os temporal merupakan diskontinuitas tulang temporal,
biasanya akibat trauma tumpul kepala. Fraktur longitudinal berjalan
parallel dengan aksis panjang tulang petrosus.Perlu diperhatikan
keterlibatan telinga tengah, kanalis karotikus, labirintus osesus, dan
kanalis auditoris eksternus.Fraktur transversal membentuk sudut dengan
aksis panjang os petrosus, perlu diperhatikan keterlibatan struktur telinga
dalam dan nervus fasialis.

27
Foto polos kepala dapat menunjukkan opasitas pada ruang mastoid
udara intrakranial dan gambaran lusen pada garis fraktur, namun
garis fraktur ini biasanya jarang terlihat.

Gambar 20. Fraktur Os


Temporal

4.1.4 Otosclerosis

Gambar CT aksial melalui tingkat koklea dan jendela oval menunjukkan


daerah halus demineralisasi / lucency yang berdekatan ke jendela oval
(panah kecil) di wilayah fissula ante fenestram (panah besar) konsisten
dengan otosklerosis fenestral.

Gambaran Otosclerosis

Gambar 21 Otosclerosis

28
Gambar CT aksial melalui tingkat koklea menunjukkan luas daerah
demineralisasi / lucencies sekitarnya koklea (panah putih dan hitam)
paling banyak konsisten dengan otosklerosis koklea berat

4.1.5 Timpanosclerosis

On the left an 11-year old girl with bilateral ear infections.


There is calcification of the eardrum (white arrow) and calcific
deposits on the stapes and the tendon of the stapedius muscle
(black arrow).

Gambar 22.Timpanosclerosis

4.1.6 Acoustic Neuroma

Intracanalicular vestibular schwannoma.


MR images show small enhancing mass within the IAC (arrows).

Gambar 23. Acoustic Neuroma

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Austin D. Telinga dalam Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.
Ballenger JJ (ed). Jakarta: Binarupa Aksara,1994; 101-19.
2. Soetirto I, Hendramin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran dan Kelainan
Telinga dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok dan Kepala
Leher Edisi Ke Enam. Soepardi EA, Iskandar N(Ed). Jakarta: FKUI. 2006; 9-12.
3. Encarta. Anatomy of The Ear. http://www.encarta.msn.com/anatomy-of-the
ear.html. [diakses tanggal 24 September 2009].
4. Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid
dalam: Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Adam, Boeis, Highler (eds). Jakarta:
EGC.1997;99-105.
5. Kumar De S. Fundamentals of Ear, Nose and Throat Diseases and Head-Neck
Surgery. Calcuta: The New Book Stall. 1996;537-9.
6. Valvassori, GE. Radiologi Tulang Temporal dalam: Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Ballenger JJ (ed). Jakarta: Binarupa Aksara,1994;73-
97.
7. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear Nose, and Throat Disease. New York:
Thieme Medical Publishers. 1994; 38-40.
8. Makes D. Pemeriksaan Radiologi Mastoid dalam: Radiologi Diagnostik Edisi
Kedua. Ekayuda I (ed). Jakarta: FKUI. 2006; 447-52.
9. Dobyarta L. Cronik Purulent Otitis. http://www.fulspesialist.hu/image [diakses
tanggal 23 September 2009].
10. Kim SK, Capp MP. Jugular Foramen and Early Roentgen Diagnosis of Glomus
Jugulare Tumor. Department of Radiology Duke University Medical Center,
Durham California. 1966; vol.7, No.3; 597-600

11. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Boies: Buku Ajar Penyakit THT (Boies
Fundamentals of Otolaryngology). Jakarta: EGC; 1997.
12. Snell Richard.Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi 6. Jakarta:
EGC;2006.

30

Anda mungkin juga menyukai