Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP DASAR LANSIA


2.1.1 Pengertian Lansia
Menurut Saparinah (2003) lansia yang berusia lebih dari 60 tahun
merupakan kelompok umur yang mencapai tahap pensiun, pada tahap ini akan
mengalami berbagai penurunan daya tahan tubuh atau kesehatan dan berbagai
tekanan psikologis. Dengan demikian akan timbul perubahan-perubahan dalam
hidupnya. Lansia merupakan kelompok orang yang sedang mengalami suatu
proses perubahan bertahap dalam jangka waktu beberapa decade terjadinya
suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan
yang diderita (Nugroho, 2008).
Menurut Hardywinoto (1999) periode kemunduran pada masa lanjut usia
dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu lanjut usia potensial dan lanjut usia tidak
potensial. Lanjut usia potensial adalah lanjut usia yang masih mampu memenuhi
segala kebutuhan hidup tanpa harus menggantungkan diri pada orang lain.
Lanjut usia tidak potensial adalah lanjut usia yang tidak berdaya mencari nafkah
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
Depkes (2001) menyatakan batasan lansia dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Kelompok pra senelis atau pra lansia
Kelompok pralansia adalah kelompok usia dalam fase persiapan
masa lanjut usia yang menampakkan keperkasaan fisik dan
kematangan jiwa (45-59 tahun).
b. Kelompok usia lanjut
Kelompok usia lanjut adalah kelompok dalam masa senium (60 tahun
keatas).
c. Kelompok usia lanjut dengan risiko tinggi
Kelompok usia lanjut dengan risiko tinggi adalah kelompok berusia
lebih dari 70 tahun atau lebih atau seseorang dengan usia 60 tahun
lebih dengan masalah kesehatan.

2.1.2 Gangguan Kesehatan Pada Lansia di Komunitas

5
Banyak terjadi kemunduran pada fungsi fisiologis lansia sehingga
berakibat pada munculnya berbagai macam gangguan kesehatan. Nugroho
(2000) menyatakan gangguan kesehatan yang biasa dialami oleh lansia yaitu:
a. Masalah fisik umum
Masalah fisik umum yang biasa dialami oleh lansia adalah
mudah jatuh dan mudah lelah. Banyak faktor yang menyebabkan
lansia mudah jatuh. Faktor instrinsik yang menyebabkan lansia
mudah jatuh adalah gangguan gaya berjalan, kelemahan otot
ekstrimitas bawah, kekakuan sendi, dan sinkope atau pusing. Faktor
ekstrinsik misalnya lantai yang terlalu licin dan tidak rata, tersandung
benda, dan cahaya kurang terang. Mudah lelah pada lansia
disebabkan oleh faktor psikologi (perasaan bosan, keletihan, dan
depresi), pengaruh obat, gangguan organis yang meliputi anemia,
kekurangan vitamin, perubahan pada tulang (Osteomalasia),
gangguan pencernaan, kelainan metabolisme (diabetes militus,
hipertiroid), gangguan ginjal dengan uremia, gangguan faal hati,
gangguan sistem peredaran darah dan jantung.
b. Gangguan kardiovaskuler
Jantung dan pembuluh darah memberikan oksigen dan nutrien
pada setiap sel hidup yang diperlukan untuk bertahan hidup.
Penurunan fungsi kardiovaskuler akan berdampak pada fungsi yang
lainnya. Peningkatan usia menyebabkan jantung dan pembuluh
darah mengalami perubahan baik secara struktural maupun
fungsional. Secara umum, perubahan yang disebabkan oleh penuaan
berlangsung lambat dan tidak disadari (Steanly & Beare, 2007).
Perubahan pada sistem kardiovaskuler meliputi:
 Ventrikel kiri menebal.
 Katup jantung menebal dan membentuk penonjolan.
 Jumlah sel peacemaker yang berfungsi menghasilkan impuls
listrik menurun.
 Arteri menjadi kaku dan tidak lurus pada kondisi dilatasi
(pelebaran atau peregangan struktur tabular).
 Vena mengalami dilatasi, katup menjadi tidak kompeten.

Manifestasi klinis penuaan pada sistem kardiovaskuler menurut (Steanly


& Beare, 2007) adalah:
a. Tekanan darah tinggi
Tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan faktor risiko
utama terjadinya penyakit kardiovaskuler. Kombinasi hipertensi

6
dengan diabetes atau hiperlipidemia semakin meningkatkan risiko
penyakit kardiovaskuler. Hipertensi dibagi menjadi dua yaitu
hipertensi esensial dan hipertensi non esensial. Hampir 90% tekanan
darah tinggi tergolong tekanan darah tinggi esensial atau tekanan
darah tinggi yang tidak diketahui penyebabnya. Tekanan darah tinggi
esensial biasanya menyerang anak muda. Tekanan darah tinggi
untuk lansia cenderung hipertensi non esensial.
b. Aterosklerosis
Aterosklerosis merupakan proses patofisiologis yang paling
sering mempengaruhi fungsi kardiovaskuler. Aterosklerosis adalah
proses penyakit yang secara umum memiliki dampak pada hampir
semua arteri. Aterosklerosis pada lansia dan orang masih muda
hampir sama, akan tetapi dampak pada lansia lebih berat karena
proses akumulasi yang lebih lama (Steanly & Beare, 2007).
c. Disritmia
Disritmia meningkat pada lansia karena perubahan struktural
dan fungsional pada proses penuaan. Disritmia dipicu oleh tidak
terkoordinasinya jantung dan sering dimanifestasikan sebagai
perubahan perilaku, palpitasi, sesak napas, keletihan, dan jatuh
(Steanly & Beare, 2007). Gangguan kardiovaskuler dapat berupa
nyeri dada, sesak napas pada kerja fisik, palpitasi, dan edema kaki
(Nugroho, 2010).
d. Berat badan menurun
Berat badan menurun pada lansia disebaban oleh:
 Nafsu makan menurun karena kurang adanya gairah hidup
atau kelesuan.
 Penyakit kronis.
 Gangguan pada saluran pencernaan sehingga penyerapan
makanan terganggu.
 Faktor sosio ekonimis (pensiunan).
e. Gangguan eliminasi
Gangguan eliminasi lansia terkait dengan gangguan pada sistem
ekskresi pada tubuh manusia, meliputi:
 Gangguan pada sistem alat kemih
Penyimpanan dan pengeluaran urin dalam interval yang
sesuai adalah suatu proses koordinasi volunter dan involunter
yang rumit. Sistem tersebut harus utuh secara fisik, neurologis,

7
harus terdapat kesadaran kognitif, keinginan untuk berkemih,
dan tempat serta situasi yang tepat untuk melakukannya
(Staenly & Beare, 2007). Perubahan yang biasa menyertai
penuaan adalah kapasitas kandung kemih yang lebih kecil,
peningkatan volume residu, dan kontraksi kandung kemih yang
tidak disadari. Perubahan yang terjadi pada wanita lansia
adalah penurunan produksi estrogen menyebabkan atrofi
jaringan uretra dan efek setelah melahirkan dapat dilihat pada
melemahnya otot dasar panggul. Perubahan pada lansia pria
adalah hipertrofi prostat menyebabkan tekanan pada leher
kandung kemih dan uretra (Staenly & Beare, 2007).
Pemeriksaan mikroskopik ginjal lansia menunjukkan hanya
30% ginjal yang utuh. Kondisi seperti itu menyebabkan daya
kerja ginjal berkurang. Gangguan pada sistem alat kemih biasa
ditandai dengan:
 Inkontinensia uri
Inkontinensia uri (gangguan terlalu sering kencing)
dihubungkan dengan keinginan yang kuat dan mendesak
untuk berkemih dengan kemampuan yang kecil untuk
menunda berkemih. Proses inkontinensia uri terjadi apabila
kandung kemih hampir penuh sebelum kebutuhan untuk
berkemih dirasakan sehingga berakibat sebagian kecil
sampai sedang urin keluar sebelum seseorang mencapai
toilet (Staenly & Beare, 2007). Nugroho (2000) menyatakan
penyebab inkontinensia uri adalah melemahnya otot dasar
panggul yang menyangga kendung kemih dan memperkuat
sfingter uretra, konstraksi abnormal pada kandung kemih,
obat diuretik dan obat penenang yang terlalu banyak,
radang kandung kemih dan saluran kemih, kelainan kontrol
dan persarafan pada kandung kemih, hipertrofi prostat,
dan faktor psikologi.
 Retensio urine
Retensio urine adalah suatu keadaan penumpukan urin
dikandung kemih dan tidak mempunyai kemampuan untuk
mengosongkan secara sempurna (Staenly & Beare, 2007).
Tanda dan gejala dalam retensio urine adalah urin mengalir
lambat, poliuria yang makin lama menjadi parah karena

8
pengosongan kendung kemih tidak efisien, distensi
abdomen akibat dilatasi kandung kemih, terasa ada
tekanan.
 Inkontinensia alvi
Incontinensia alvi adalah ketidakmampuan untuk
mengontrol buang air besar yang menyebabkan tinja
(feses) bocor tidak terduga dari dubur. Kondisi tersebut
dapat terjadi karena penurunan fungsi usus yang
sebelumya bertugas sebagai penyerap dan pengeluaran
feses (Staenly & Beare, 2007).
f. Gangguan pada sistem musculoskeletal
Perubahan normal muskuloskeletal pada lansia meliputi penurunan
tinggi badan, redistribusi massa otot dan lemak subkutan,
peningkatan porositas tulang, atrofi otot, pergerakan yang lambat,
pengurangan kekuatan, dan kekauan sendi (Staenly & Beare, 2007).
Masalah muskuloskeletal yang sering terjadi adalah:
 Osteoporosis
Osteoporosis adalah suatu kondisi penurunan massa tulang
secara keseluruhan sehingga seseorang tidak mampu berjalan
atau bergerak. Osteoposisis sering ditemukan pada wanita,
walaupun pria juga masih mengalami osteoporosis. Hilangnya
substansi tulang menyebabkan tulang menjadi lemah secara
mekanis dan cenderung untuk mengalami fraktur baik spontan
maupun akibat trauma. Ketika kemampuan menahan berat
badan normal menurun atau tidak ada sebagai konsekuensi
dari penurunan atau gangguan mobilitas maka akan terjadi
osteoporosis karena tulang jarang digunakan (Staenly & Beare,
2007).
 Osteoartritis
Osteoartritis adalah gangguan yang berkembang secara
lambat, tidak simetris, dan non inflamasi. Osteoarthritis terjadi
pada sendi yang dapat digerakkan khususnya pada sendi yang
menahan berat tubuh. Kerusakan sendi akibat penuaan
memainkan peranan dalam perkembangan osteoartritis
(Staenly & Beare, 2007).
 Artritis reumatoid (penyakit radang sendi)
Staenly & Beare (2007) menyatakan artritis reumatoid (AR)
adalah penyakit inflamasi artikuler yang paling sering pada

9
lansia. AR adalah suatu penyakit kronis sistemik yang
berkembang secara perlahan dan ditandai oleh adanya radang
yang sering kambuh pada sendi diartrodial dan struktur yang
berhubungan. AR sering disertai dengan nodul reumatoid,
arthritis (radang sendi), neuropati (gangguan saraf), skleritis
(radang pada bagian putih mata), perikarditis (radang pada
perikardium), limfadenopati (pembesaran kelenjar getah
bening), dan splenomegali (pembesaran limfa).
g. Gangguan fungsi paru dan jantung
Hubungan antara jantung dan paru sangat dekat sehingga apabila
salah satu terganggu maka akan menganggu fungsi yang lainnya.
Paru memiliki struktur gelembung sangat halus yang dinamakan
alveolus, apabila terjadi kerusakan pada alveolus tersebut maka akan
menyebabkan darah antara paru dan jantung terbendung. Gejala
yang timbul apabila terjadi penyakit paru yaitu; batuk, sesak nafas,
kulit membiru karena kekurangan oksigen, dan sakit dada.
2.1.3 Asuhan Keperawatan pada Lansia di Komunitas
Kegiatan Asuhan Keperawatan Dasar bagi Lansia menurut Depkes,
dimaksudkan untuk memberikan bantuan, bimbingan pengawasan, perlindungan
dan pertolongan kepada lanjut usia secara individu maupun kelompok, seperti di
rumah/lingkungan keluarga, Panti Werda maupun Puskesmas, yang diberikan
oleh perawat. Adapun asuhan keperawatan dasar yang diberikan, disesuaikan
pada kelompok lanjut usia, apakah lanjut usia aktif atau pasif, antara lain:
a. Untuk lanjut usia yang masih aktif, asuhan keperawatan dapat berupa
dukungan tentang personal hygiene: kebersihan gigi dan mulut atau
pembersihan gigi palsu: kebersihan diri termasuk kepala, rambut,
badan, kuku, mata serta telinga: kebersihan lingkungan seperti
tempat tidur dan ruangan : makanan yang sesuai, misalnya porsi
kecil bergizi, bervariai dan mudah dicerna, dan kesegaran jasmani.
b. Untuk lanjut usia yang mengalami pasif, yang tergantung pada orang
lain. Hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan asuhan
keperawatan pada lanjut usia pasif pada dasarnya sama seperti pada
lanjut usia aktif, dengan bantuan penuh oleh anggota keluarga atau
petugas. Khususnya bagi yang lumpuh, perlu dicegah agar tidak
terjadi dekubitus (lecet).
2.1.4 Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian

10
Meliputi aspek :
 Fisik
Wawancara meliputi pandangan lanjut usia tentang kesehatan, kegiatan
yang mampu di lakukan lanjut usia, kebiasaan lanjut usia merawat diri
sendiri, kekuatan fisik lanjut usia yakni otot, sendi, penglihatan, dan
pndengaran. Kebiasaan makan, minum, istirahat/tidur, BAB / BAK,
Kebiasaan gerak badan / olahraga / senam lanjut usia, perubahan-
perubahan fungsi tubuh yang sangat bermakna dirasakan, kebiasaan
lanjut usia dalam memelihara kesehatan dan kebiasaan dalam minum
obat, masalah-masalah seksual yang telah di rasakan.
 Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan di lakukan dengan cara inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi untuk mengetahui perubahan sistem
tubuh.
 Sosial ekonomi meliputi darimana sumber keuangan lanjut usia, apa saja
kesibukan lanjut usia dalam mengisi waktu luang, dengan siapa dia
tinggal, kegiatan organisasi apa yang di ikuti lanjut usia, bagaimana
pandangan lanjut usia terhadap lingkungannya, berapa sering lanjut usia
berhubungan dengan orang lain di luar rumah. Siapa saja yang bisa
mengunjungi, seberapa besar ketergantungannya. Apakah dapat
menyalurkan hobi atau keinginannya dengan fasilitas yang ada.
 Spiritual meliputi apakah secara teratur melakukan ibadah sesuai
dengan keyakinan agamanya. Apakah secara teratur mengikuti atau
terlibat aktif dalam kegiatan keagamaan, misalnya pengajian dan
penyantunan anak yatim atau fakir miskin. Bagaimana cara lanjut usia
menyelesaikan masalah apakah dengan berdoa. Apakah lanjut usia
terlihat tabah dan tawakal.
b. Pengkajian Dasar
 Temperatur
 Pulse (denyut nadi) : Kecepatan, irama, volume.
 Respirasi (pernapasan) : Kecepatan, irama, dan kedalaman.
 Tekanan darah: saat baring, duduk, berdiri. Hipotensi akibat posisi tubuh.
 Berat badan
 Tingkat orientasi
 Memori (ingatan)
 Pola tidur

11
 Penyesuaian psikososial.
 Sistem persyarafan : kesimetrisan raut wajah, tingkat kesadaran adanya
perubahan-perubahan dari otak, kebanyakan mempunyai daya ingatan
menurun atau melemah. Mata : pergerakan, kejelasan melihat, adanya
katarak. Pupil : kesamaan, dilatasi. Cek kondisi mata sensory
deprivation.
 Ketajaman pendengaran : apakah menggunakan alat bantu dengar,
tinutis, serumen telinga bagian luar, adanya rasa sakit atau nyeri.
 Sistem kardiovaskuler : Sirkulasi perifer, warna, dan kehangatan,
auskultasi denyut nadi apical, periksa adanya pembengkakan vena
jugularis, pusing, sakit, edema
 Sistem Gastrointestinal : status gizi, pemasukan diet, anoreksia, mual,
dan muntah, mengunyah dan menelan, keadaan gigi, rahang dan rongga
mulut , auskultasi bising usus, palpasi apakah perut kembung ada
pelebaran kolon, apakah ada konstipasi (sembelit), diare, dan
inkontinensia alvi
 Sistem Genitourinarius : warna dan bau urine, distensi kandung kemih,
inkontinensia, frekuensi, tekanan, desakan, pemasukan dan pengeluaran
cairan, disuria, seksualitas.
 Sistem kulit / Integumen kulit : temperatur, tingkat kelembaban, keutuhan
luka, luka terbuka, robekan, perubahan pigmen, adanya jaringan parut,
keadaan kuku, keadaan rambut.
 Sistem Muskuloskeletal : kontraktur, atrofi otot, ketidakadekuatannya
gerakan sendi
 Tingkat mobilisasi : ambulasi dengan atau tanpa bantuan / peralatan,
keterbatasan gerak, kekuatan otot, kemampuan melangkah atau berjalan.
2.1.5 Pendekatan Keperawatan Lanjut Usia
a. Pendekatan fisik
Perawatan yang memperhatikan kesehatan obyektif, kebutuhan, kejadian-
kejadian yang dialami klien lanjut usia semasa hidupnya, perubahan fisik
pada organ tubuh, tingkat kesehatan yang masih bisa dicapai dan
dikembangkan, dan penyakit yang dapat dicegah atau ditekan
progresivitasnya. Perawatan fisik secara umum bagi klien lanjut usia dapat
dibagi atas dua bagian, yakni :

12
 Klien lanjut usia yang masih aktif, yang keadaan fisiknya masih mampu
bergerak tanpa bantuan orang lain sehingga untuk kebutuhan sehari-hari
masih mampu melakukan sendiri.
 Klien lanjut usia yang pasif atau tidak dapat bangun, yang keadaan
fisiknya mengalami kelumpuhan atau sakit. perawat harus mengetahui
dasar perawatan klien lanjut usia ini terutama tentang hal-hal yang
berhubungan dengan keberhasilan perorangan untuk mempertahankan
kesehatannya. kebersihan perorangan (personal hygiene) sanga penting
dalam usaha mencegah timbulnya peradangan, mengingat sumber infeksi
dapat timbul bila keberihan kurang mendapat perhatian.
b. Pendekatan psikis
Perawat mempunyai peranan penting untuk mengadakan pendekatan
edukatif pada klien lanjut usia, perawat dapat berperan sebagai supporter,
interpreter terhadap segala sesuatu yang asing, sebagai penampung
rahasia yang pribadi dan sebagai sahabat yang akrab. Perawat hendaknya
memiliki kesabaran dan ketelitian dalam memberikan kesempatan dan
waktu yang cukup banyak untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar
para lanjut usia merasa puas. Perawat harus selalu memegang prinsip
“Triple S”, yaitu sabar, simpatik, dan service. Bila perawat ingin mengubah
tingkah laku dan pandangan mereka terhadap kesehatan, perawat bisa
melakukannya secara perlahan dan bertahap, perawat harus dapat
mendukung mental mereka kearah pemuasan pribadi sehingga seluruh
pengalaman yang dilaluinya tidak menambah beban, bila perlu diusahakan
agar dimasa lanjut usia ini mereka dapat merasa pua dan bahagia.
c. Pendekatan sosial
Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan salah satu
upaya perawat dalam pendekatan social. Memberi kesempatan untuk
berkumpul bersama dengan sesame klien lanjut usia berarti menciptakan
sosialisasi mereka. Pendekatan social ini merupakan suatu pegangan bagi
perawat bahwa orang yang dihadapinya adalah mahluk social yang
membutuhkan orang lain. Dalam pelaksanaannya perawat dapat
menciptakan hubungan social antara lanjut usia dan lanjut usia maupun
lanjut usia dan perawat sendiri. Perawat memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada para lajut usia untuk mengadakan komunikasi dan
melakukan rekreasi, misalnya jalan pagi, menonton film, atau hiburan-
hiburan lain. Para lanjut usia perlu dirangsang untuk mengetahui dunia luar,
seperti menonton tv, mendengar radio, atau membaca majalah dan surat

13
kabar. Dapat disadari bahwa pendekatan komunikasi dalam perawatan
tidak kalah pentingnya dengan upaya pengobatan medis dalam proses
penyembuhan atau ketenangan para klien lanjut usia.
d. Pendekatan spiritual
Perawat harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan batin dalam
hubungannya dengan Tuhan atau agama yang di anutnya, terutama bila
klien lanjut usia dalam keadaan sakit atau mendekati kematian.
Sehubungan dengan pendekatan spiritual bagi klien lanjut usia yang
menghadapi kematian, seringkali kematian menggugah rasa takut. Rasa
takut semacam ini didasari oleh berbagai macam factor, seperti
tidakpastian akan pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit / penderitaan
yang sering menyertainya, kegelisahan untuk tidak kumpul lagi dengan
keluarga / lingkungan sekitarnya.

2.2 HIPERTENSI PADA LANSIA


2.2.1 Pengertian
Hipertensi merupakan penyakit yang sangat berbahaya, karena tidak ada
gejala atau tanda khas sebagai peringatan dini. Hipertensi adalah peningkatan
tekanan darah sistolik dan diastolik dengan konsisten di atas 140/90 mmHg.
Diagnosis hipertensi tidak berdasarkan atas peningkatan tekanan darah yang
hanya sekali. Tekanan darah harus di ukur dalam posisi duduk dan berbaring
(Baradero, 2008).
Pada populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik
160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Sheps,2005). Pada Lansia,
Hipertensi dengan peningkatan sistole tanpa disertai dengan peningkatan
diastole lebih sering terjadi, sedangkan hipertensi peningkatan diastole tanpa
disertai peningkatan sistole lebih sering terdapat pada dewasa muda
(Tambayong, 2000).
Pada keadaan hipertensi, tekanan darah meningkat yang ditimbulkan
karena darah dipompakan melalui pembuluh darah dengan kekuatan berlebih
(WHO, 2011). Tekanan darah merupakan gaya yang diberikan darah terhadap
dinding pembuluh darah dan ditimbulkan oleh desakan darah terhadap dinding
arteri ketika darah tersebut dipompa dari jantung ke jaringan. Besar tekanan
bervariasi tergantung pada pembuluh darah dan denyut jantung. Tekanan darah
paling tinggi terjadi ketika ventrikel berkontraksi (tekanan sistolik) dan paling
rendah ketika ventrikel berelaksasi (tekanan diastolik).
2.2.2 Penyebab Hipertensi

14
Tekanan darah tidak konstan namun dipengaruhi oleh banyak faktor
secara kontinu sepanjang hari. Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan
darah menurut William & Hopper (2007) adalah :
a. Usia
Tingkat normal tekanan darah bervariasi sepanjang kehidupan. Tekanan
darah akan meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Hal ini
berhubungan dengan berkurangnya elastisitas pembuluh darah arteri.
Dinding arteri akan semakin kaku, sehingga tahanan pada arteri akan
semakin besar yang menyebabkan jantung bekerja keras untuk memompa
darah melewati pembuluh darah. Perubahan itu akan meningkatkan beban
kerja jantung dan mengakibatkan tekanan darah meningkat.
b. Keturunan (Genetik)
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akanmenyebabkan keluarga
itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan
peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara
potasium terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi
mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada
orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi.
Seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan
hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi.
c. Stress
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf
simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara
intermiten (tidak menentu). Stress yang berkepanjangan dapat
mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum
terbukti akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi
dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan
pengaruh stress yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota.
Stres akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah
jantung sehingga akan menstimulasi aktivitas saraf simpatis. Adapun stres
ini dapat berhubungan dengan pekerjaan, kelas sosial, ekonomi, dan
karakteristik personal.
d. Obesitas
Diperkirakan faktor utama penyebab dari hipertensi dan diabetes mellitus
adalah diet. Dapat diterangkan pula bahwa pada individu yang mengidap
obesitas jumlah darah yang beredar akan meningkat sehingga curah
jantung akan naik dan pada akhirnya mengakibatkan tekanan darah
meningkat (William & Hopper, 2007).

15
e. Konsumsi garam
Tingginya tekanan darah berhubungan dengan tingginya pemasukan
garam. Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena ion
Natrium akan menarik cairan di luar sel agar tidak keluar sehingga akan
meningkatkan volume dan tekanan darah. Asupan Natrium yang berlebihan
menyebabkatubuh meretensi cairan yang akhirnya akan meningkatkan
volume darah (William & Hopper, 2007).
f. Konsumsi alkohol
Konsumsi regular dari 3 gelas atau lebih minuman keras dapat
meningkatkan resiko hipertensi dan menyebabkan resistensi pada obat
antihipertensi. Tekanan darah dapat turun ke normal saat konsumsi alkohol
dimodifikasi (William & Hopper, 2007).

g. Olahraga
Orang – orang dengan pola hidup yang menetap akan meningkatkan resiko
hipertensi. Latihan fisik dapat membantu mencegah dan mengontrol
hipertensi dengan menurunkan berat badan, menurunkan resistensi perifer
dan menurunkan lemak tubuh (William & Hopper, 2007).
h. Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan
hipertensi, sebab rokok mengandung nikotin. Menghisap rokok
menyebabkan nikotin terserap oleh pembuluh darah kecil dalam paru-paru
dan kemudian akan diedarkan hingga ke otak. Di otak, nikotin akan
memberikan sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin atau
adrenalin yang akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung
untuk bekerja lebih berat karena tekanan darah yang lebih tinggi (William &
Hopper, 2007).
2.2.3 Tanda dan Gejala Hipertensi
Penderita hipertensi mungkin tidak akan menunjukkan gejala selama
bertahun-tahun. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan tekanan darah yang
tinggi. Penderita biasanya akan mengalami seperti sakit kepala dan pusing. Hal
ini yang mengakibatkan hipertensi sering disebut silent killer. Sebagian besar
gejala klinis dari penderita hipertensi adalah nyeri kepala, kadang disertai mual
dan muntah akibat peningkatkan tekanan intracranial, penglihatan kabur karena
kerusakan retina, nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerulus, edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan

16
darah kapiler serta tengkuk terasa pegal – pegal (Corwin, 2000 dalam Irza,
2009).
2.2.4 Penatalaksanaan Hipertensi
Pasien dengan hipertensi harus tahu akan pentingnya mengontrol
tekanan darah sebagai contoh monitor tekanan darah di rumah adalah salah satu
aspek penting dalam manajemen hipertensi. Demikian juga dengan melakukan
pola hidup sehat dan edukasi ke pasien hipertensi adalah metode yang sangat
efektif dalam meningkatkan hasil tekanan darah yang terkontrol.
Penatalaksanaan hipertensi ada dua yakni farmakologi dan non farmakologi.

a. Non farmakologi
 Olahraga
Olahraga adalah suatu aktivitas yang dapat menurunkan tekanan
darah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh
Psffenbarger dari Universitas Stanford yang meneliti 15.000 tamatan
Universitas Havard untuk 6-10 tahun. Selama pendidikan berlangsung
didapatkan bahwa 681 tamatan Havard tersebut menderita peningkatan
tekanan darah (160/95). Ternyata alumni yang tidak terlibat olahraga dan
kegiatan mempunyai resiko untuk mendapat peningkatan tekanan darah
35% lebih besar dari mereka yang berolah raga. Olahraga dapat
menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah kapiler yang baru sehingga
dapat mengurangi penyumbatan dalam pembuluh darah yang berarti
dapat menurunkan tekanan darah. Walaupun kesanggupan jantung untuk
melakukan pekerjaannya bertambah melalui olah raga, pengaruh dari
berkurangnya hambatan tersebut memberikan penurunan tekanan darah
yang berarti. Prinsip yang penting dalam olahraga untuk mereka yang
menderita tekanan darah tinggi ialah melalui dengan olahraga ringan lebih
dahulu sepert jalan kaki atau senam. Berjalan kaki secara teratur sekitar
30-45 menit setiap hari dan makin lama jalan dapat dipercepat akan
menurunkan tekanan darah. Dengan olah raga seperti senam maka sel,
jaringan membutuhkan peningkatan oksigen dan glukosa untuk
membentuk ATP (Adenosin Triphosphate). Terkait dengan pembuluh darah
maka dapat digambarkan bahwa pembuluh darah mengalami pelebaran

17
(vasodilatasi), serta pembuluh darah yang belum terbuka akan terbuka
sehingga aliran darah ke sel, jaringan meningkat. (Darmojo, 2006).
 Penurunan konsumsi garam
Pengurangan asupan garam dan upaya penurunan berat badan
dapat digunakan sebagai langkah awal pengobatan hipertensi. Jumlah
garam dibatasi sesuai dengan kesehatan penderita dan jenis makanan
dalam daftar diet. Pembatasan asupan garam sampai 60 mmol per hari
atau dengan kata lain konsumsi garam dapur tidak lebih dari seperempat
sampai setengah sendok teh garam per hari. Penderita hipertensi
dianjurkan menggunakan mentega bebas garam dan menghindari
makanan yang sudah diasinkan. Adapun yang disebut diet rendah garam,
bukan hanya membatasi konsumsi garam dapur tetapi mengkonsumsi
makanan rendah sodium atau natrium. Pedoman diet merekomendasikan
orang dengan hipertensi harus membatasi asupan garam kurang dari
1.500 miligram sodium sehari (Hanifa, 2010).
 Diet rendah Lemak Jenuh
Lemak dalam diet meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis
yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah, sehingga diet rendah
lemak jenuh atau kolesterol dianjurkan dalam penanganan hipertensi.
Tubuh memperoleh kolestrol dari makanan sehari-hari dan dari hasil
sintesis dalam hati. Kolestrol dapat berbahaya apabila dikonsumsi lebih
banyak dari yang dibutuhkan oleh tubuh (Sagala, 2011).
 Bebas rokok
Merokok sangat besar perananya dalam meningkatkan tekanan
darah, hal tersebut disebabkan oleh nikotin yang terdapat didalam rokok
yang memicu hormon adrenalin yang menyebabkan tekanan darah
meningkat. Tekanan darah akan turun secara perlahan dengan berhenti
merokok. Selain itu merokok dapat menyebabkan obat yang dikonsumsi
tidak bekerja secara optimal (Sagala, 2011).
 Penurunan BB jika BMI ≥ 27
Mengurangi berat badan dapat menurunkan risiko hipertensi,
diabetes, dan penyakit kardiovaskular. Penerapan pola makan seimbang
dapat mengurangi berat badan dan menurunkan tekanan darah.
Berdasarkan hasil penelitian eksperimental, pengurangan sekitar 10 kg
berat badan menurunkan tekanan darah rata-rata 2-3 mmHg per kg berat
badan (Sagala, 2011).

18
Diet rendah kalori dianjurkan bagi orang dengan kelebihan berat
badan atau obesitas yang berisiko menderita hipertensi, terutama pada
orang berusia sekitar 40 tahun yang mudah terkena hipertensi. Dalam
perencanaan diet, perlu diperhatikan asupan kalori agar dikurangi sekitar
25% dari kebutuhan energi atau 500 kalori untuk penurunan 0,5 kg berat
badan per minggu (Sagala, 2011).
Menurut Lindsay tahun 2015, penalaksanaan non farmakologis
dapat menstabilkan tekanan darah seperti pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Kestabilan Tekanan Darah Berdasarkan Penatalaksanaan


Non Farmakologis
Topik Objektif Rekomendasi Penurunan
Tekanan
darah
Aktivitas fisik Akumulasi 30-60 menit pada Harus -3,1/-1,8
lebih aktivitas dinamik dengan diresepkan pada mmHg
intensitas sedang (seperti orang dengan
berjalan, bersepeda, hipertensi untuk
berenang) 4-7 hari pencegahannya
perminggu. Aktivitas dengan dan manajemen
Intensitas yang tinggi tidak hipertensi
efektif menurunkan TD tetapi
mungkin memproduksi
keuntungan system
kardiovaskuler yang lain
Penurunan BMI (18,5-24,9 kg/m2) dan Anjurkan displin -6,0/-4,8
BB lingkar pinggang (<102 cm dalam mmHg
untuk laki-laki dan <88 cm penurunan BB, untuk
untuk perempuan) termasuk setiap
edukasi tentang penurunan
diet, BB 4,5 kg
meningkatkan
aktivitas fisik dan
modifikasi gaya
hidup
Penurunan Laki-laki : <14 Harus -3,4/-3,4

19
intake minuman/minggu diresepkan mmHg
alkohol Perempuan : <9
minuman/minggu
Makanan Tinggi konsumsi buah, sayur, Harus direpkan Untuk
sehat dan serat, protein nabati (kedelai) makanan
mengurangi dan rendah lemak. Lemak sehat :
intake garam dengan saturasi rendah dan -11,4/-5,5
kolesterol. Mengurangi intake mmHg
garam menjadi 1500 mg/hari Untuk
pada dewasa umur 50 tahun rendah
ke bawah, menjadi 1300 garam :
mg/hari pada dewasa umur -5,4/-2,8
51-70 tahun dan menjadi mmHg
1200 mg/hari untuk lansia
diatas 70 tahun
Mengurangi Teknik relaksasi Manajemen -5,5/-3,5
stress stress yang mmHg
dipilih pasien
Merokok Bebas rokok Strategi n/a
penurunan
resiko
kardiovaskuler
global
Sumber: Lindsay, P & Poirier, L. 2015..Canadian Recommendations for the
Management of Hypertension. Canadian Hypertension Education Program.
Janssen Inc.
b. Farmakologi
Penatalaksanaan dengan obat antihipertensi bagi sebagian besar
pasien dimulai dengan dosis rendah kemudian ditingkatkan secara titrasi
sesuai dengan umur, kebutuhan, dan usia. Dosis tunggal lebih
diprioritaskan karena kepatuhan lebih baik dan lebih murah. Sekarang
terdapat obat yang berisi kombinasi dosis rendah dua obat dari golongan
berbeda. Kombinasi ini terbukti memberikan efektivitas tambahan dan
mengurangi efek samping. Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi
farmakologis hipertensi yang dianjurkan adalah diuretik, beta blockers
(carvedilol, nebivolol, dan celiprolol), Calcium antagonist, ACEIs

20
(angiotensin-converting enzyme inhibitors), dan ARBs (angiotensin
receptor blockers) (ESC/ESH, 2013).
Menurut JNC 8 (2014) dalam Evidence-Based Guideline for the
Management of High Blood Pressure in Adults Report From the Panel
Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8)
menunjukkan rekomendasi pengobatan yakni:

 Rekomendasi 1
Populasi penderita hipertensi umur 60 tahun, pengobatan farmakologi
untuk menurunkan tekanan darah dengan harapan sistolik <150 mmHg
dan diastolic <90 mmHg.
 Rekomendasi 2
Populasi penderita di bawah umur 60 tahun, pengobatan farmakologi
untuk menurunkan tekanan darah dengan harapan diastolik <90
mmHg.
 Rekomendasi 3
Populasi penderita di bawah umur 60 tahun, pengobatan farmakologi
untuk menurunkan tekanan darah dengan harapan sistolik <140
mmHg.
 Rekomendasi 4
Populasi penderita berumur 18 tahun dengan chronic kidney disease
(CKD), pengobatan farmakologi untuk menurunkan tekanan darah
dengan harapan sistolik < 140 mmHg dan diastolik < 90 mmHg.
 Rekomendasi 5
Populasi penderita berumur 18 tahun dengan diabetes, pengobatan
farmakologi untuk menurunkan tekanan darah dengan harapan sistolik
< 140 mmHg dan diastolik < 90 mmHg.
 Rekomendasi 6
Populasi umum termasuk dengan diabetes, pengobatan antihipertensi
meliputi diuretik thiazide-type, calcium channel blocker (CCB),
angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEI), atau angiotensin
receptor blocker (ARB).
 Rekomendasi 7
Populasi umum termasuk dengan diabetes, pengobatan antihipertensi
meliputi diuretik thiazide-type atau CCB
 Rekomendasi 8
Populasi penderita berumur 18 tahun dengan CKD, pengobatan
antihipertensi harus termasuk ACEI atau ARB untuk meningkatkan
kerja ginjal. Aplikasi ini untuk semua pasien CKD dengan tanpa
hipertensi atau status diabetik.
 Rekomendasi 9

21
Tujuan utama dari pengobatan hipertensi adalah untuk mencapai dan
mempertahankan sasaran tekanan darah. Jika sasaran tekanan darah
tidak tercapai dengan beberapa pengobatan, direkomendasikan untuk
meningkatkan dosis obat atau menambah pilihan obat kedua dari satu
kelas. Jika sasaran tekanan darah tidak tercapai dengan 2 obat,
tambahkan dan tetapkan obat ketiga. Jangan gunakan ACEI dan ARB
bersamaan pada pasien yang sama. Jika sasaran tekanan darah tidak
tercapai dengan obat dalam rekomendasi 6 karena kontraindikasi atau
kebutuhan lebih dari 3 obat dalam mencapai tekanan darah, obat
antihipertensi dari kelas lain boleh digunakan.

2.3 INSOMNIA PADA LANSIA


2.3.1 Pengertian Insomnia
Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders fourth edition
(DSM IV), insomnia didefinisikan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk
mengawali tidur, mempertahankan tidur, bangun terlalu dini atau tidur yang tidak
menyegarkan. Kejadian ini berlangsung lebih dari 1 bulan (Hirshkowitz M., et al,
2009). Melalui pemeriksaan polysomnography pada pasien insomnia didapatkan
sleep latency ≥ 30 menit, wake time after sleep onset ≥ 30 menit, sleep efficiency
< 85%, atau total sleep time (TST) < 6-6,5 jam. Menurut International
Classification of Sleep Disorder-2 (ICSD-2), insomnia adalah kesulitan
mengawali tidur, berkurangnya durasi dan kualitas tidur meskipun memiliki waktu
yang cukup untuk melakukannya. Hai ini menyebabkan gangguan pada aktivitas
sehari-hari (Galimi R, 2010).
2.3.2 Klasiikasi Insomnia
Menurut Galimi R., (2010), insomnia dapat diklasifikasikan menjadi 2. Yaitu
berdasarkan durasi dan berdasarkan etiologi.
a. Insomnia Berdasarkan Durasi
Insomnia berdasarkan durasi dibagi menjadi 3, yaitu :
 Transient insomnia (Insomnia Akut)
Transient insomnia adalah insomnia yang dapat sembuh secara
spontan, berlangsung ≤ 7 hari. Penyebab insomnia akut adalah
ketidaknyaman secara fisik maupun emosional. Insomnia akut dapat
berkembang menjadi insomnia kronis apabila tidak ditangani dengan
tepat.
 Short-term insomnia

22
Short-term insomnia adalah insomnia yang berlangsung dalam 1- 3
minggu.
 Insomnia kronis
Insomnia kronis adalah insomnia yang berlangsung > 3 minggu.
Sesuai dengan definisinya insomnia kronik berlangsung minimal
selama 1 bulan, akan tetapi menurut beberapa dokter insomnia
kronis berlangsung ≥ 3 bulan (Galimi R., 2010).
b. Insomnia Berdasarkan Etiologi
Insomnia berdasarkan etiologi dibagi menjadi 2, yaitu :
o Insomnia primer
Insomnia primer adalah insomnia yang penyebabnya tidak diketahui
dengan jelas/idiopatik. Pada pasien tidak ditemukan gangguan
medis, gangguan psikiatri, atau karena faktor lingkungan.
o Insomnia sekunder
Insomnia sekunder adalah insomnia yang disebabkan oleh kondisi
medis tertentu dan juga oleh obat-obatan. Ada beberapa faktor yang
menyebababkan insomnia sekunder misalnya penyakit jantung dan
paru, nyeri, gangguan cemas dan depresi serta obat-obatan seperti
beta-bloker, bronkodilator, dan nikotin (Galimi R., 2010).
2.3.3 Tanda dan Gejala Insomnia
 Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari
 Sering terbangun pada malam hari
 Bangun tidur terlalu awal
 Kelelahan atau mengantuk pada siang hari
 Iritabilitas, depresi atau kecemasan
 Konsentrasi dan perhatian berkurang
 Peningkatan kesalahan dan kecelakaan
 Ketegangan dan sakit kepala
 Gejala gastrointestinal
2.3.4 Etiologi Insomnia
• Stres. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga
dapat membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk
tidur. Peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti kematian atau
penyakit dari orang yang dicintai, perceraian atau kehilangan pekerjaan,
dapat menyebabkan insomnia.

23
• Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan
kimia dalam otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.
• Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur,
termasuk beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat
alergi, stimulan (seperti Ritalin) dan kortikosteroid.
• Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang
mengandung kafein adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan
stimulan yang dapat menyebabkan insomnia. Alkohol adalah obat
penenang yang dapat membantu seseorang jatuh tertidur, tetapi
mencegah tahap lebih dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun di
tengah malam.
• Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan
bernapas dan sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk
mengalami insomnia lebih besar dibandingkan mereka yang tanpa gejala
tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia akibat artritis, kanker,
gagal jantung, penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux disease
(GERD), stroke, penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer.
• Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauh
atau pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama
sirkadian tubuh, sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak
sebagai jam internal, mengatur siklus tidur-bangun, metabolisme, dan
suhu tubuh.
• 'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan
tentang tidak bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk
jatuh tertidur. Kebanyakan orang dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika
mereka berada jauh dari lingkungan tidur yang biasa atau ketika mereka
tidak mencoba untuk tidur, seperti ketika mereka menonton TV atau
membaca.
2.3.5 Faktor Resiko Insomnia
Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi
resiko insomnia meningkat jika terjadi pada:
 Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan
hormon selama siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan
peran. Selama menopause, sering berkeringat pada malam hari dan hot
flashes sering mengganggu tidur.
 Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur,
insomnia meningkat sejalan dengan usia.

24
 Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk
depresi, kecemasan, gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder,
mengganggu tidur.
 Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka
panjang seperti kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat
menyebabkan insomnia kronis. Menjadi miskin atau pengangguran juga
meningkatkan risiko terjadinya insomnia.
 Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja. Bekerja di malam
hari sering meningkatkan resiko insomnia.
2.3.6 Penyebab Insomnia pada Usia Lanjut
Pertambahan umur menyebabkan terjadinya perubahan pola tidur. Hal ini
meningkatkan resiko terjadinya insomnia akan tetapi pertambahan umur tidak
menjadi faktor mutlak timbulnya insomnia pada usia lanjut. Perubahan pola tidur
yang terkait dengan usia terjadi pada Sleep Architecture dan Ritme sirkadian
(Endeshaw Y., dan Bliwise DL., 2006).
a) Sleep Architecture
Tidur normal terdiri dari 5 tahap yaitu tahap 1 sampai 4 adalah
non-rapid eye movement (NREM) dan tahap yang terakhir adalah Rapid
eye movement (REM) (Galimi R., 2010. dan Endeshaw Y., dan Bliwise
DL., 2006). Tahap 1 dan 2 disebut tidur ringan sedangkan tahap 3 dan 4
disebut tidur dalam/slow wave sleep/delta sleep. Dari tahap 1-4 akan
terjadi peningkatan kedalaman tidur. REM memiliki perbedaan dengan
NREM karena pada REM terdapat peningkatan aktivitas simpatetik,
pergerakan mata yang cepat, bermimpi dan peningkatan kedalaman
serta frekuensi nafas (Galimi R., 2010. dan Endeshaw Y., dan Bliwise
DL., 2006). Tidur normal diawali dengan tidur NREM dilanjutkan dengan
tidur REM. Siklus NREM dan REM berulang secara periodik setiap 90-
120 menit (Galimi R., 2010).
Pertambahan umur menyebabkan terjadinya perubahan dalam
tahapan tidur. Pada kenyataanya, meskipun mereka mempunyai waktu
yang cukup untuk tidur tetapi terjadi penurunan kualitas tidur. Pada usia
lanjut terjadi penurunan tidur tahap 3, tahap 4, tahap REM dan REM
laten tetapi mengalami peningkatan tidur tahap 1 dan 2. Perubahan ini
menimbulkan beberapa efek yaitu: kesulitan untuk mengawali tidur,
menurunnya total sleep time, sleep efficiency, transient arousal dan
bangun terlalu dini (Endeshaw Y., dan Bliwise DL., 2006).

25
b) Ritme sirkadian
Fungsi dari sistem organ makhluk hidup diatur oleh ritme sirkadian
selama 24 jam. Ritme sirkadian mengatur siklus tidur, suhu tubuh,
aktivitas saraf otonum, aktivitas kardiovaskuler dan sekresi hormon.
Pusat pengaturan ritme sirkadian adalah suprachiasmatic nucleus
(SCN) di hipotalamus. Faktor yang mempengaruhi kerja dari SCN
adalah cahaya, aktivitas sosial dan fisik. Pada saat cahaya masuk ke
retina maka neuron fotoreseptor SCN akan teraktivasi. SCN akan
merangsang pineal gland untuk mensekresikan melatonin, yang
menimbulkan rasa lelah. Penurunan fungsi dari SCN berkaitan dengan
pertambahan umur. Pada usia lanjut yang mengalami penurunan fungsi
SCN akan menyebabkan terjadinya gangguan pada ritme sirkadian.
Gejala akibat gangguan ritme sirkadian adalah ketidakmampuan untuk
tidur meskipun terdapat rangsangan. Hal ini menyebabkan pasien
bangun dan tidur pada waktu yang tidak tepat, peningkatan resiko
insomnia dan peningkatan frekuensi tidur. Penurunan fungsi SCN
diduga disebabkan oleh penurunan paparan cahaya, aktivitas fisik dan
sosial saat memasuki usia lanjut.
Insomnia pada usia lanjut bersifat multifaktorial, selain faktor
biologik diatas ada beberapa faktor komorbid yang dapat menyebabkan
terjadinya insomnia pada usia lanjut. Insomnia sekunder pada usia lanjut
dapat disebabkan oleh faktor komorbid yang terdiri dari: nyeri kronis,
sesak nafas pada penyakit paru obstruktif kronis, gangguan psikiatri
(gangguan cemas dan depresi), penyakit neurologi (Parkinson’s
disease, Alzheimer disease), dan obat-obatan (beta-bloker,
bronkodilator, kortikosteroid dan diuretik) (Galimi R., 2010).

26
2.3.7 Penatalaksanaan
A. Non Farmakoterapi
a. Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru
dan mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah
laku ini umumnya direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk
penderita insomnia. Terapi tingkah laku meliputi :
o Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.
o Teknik Relaksasi.
Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat biofeedback,
dan latihan pernapasan. Cara ini dapat membantu mengurangi
kecemasan saat tidur. Strategi ini dapat membantu Anda mengontrol
pernapasan, nadi, tonus otot, dan mood.
o Terapi kognitif.
Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan
pemikiran yang positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling
tatap muka atau dalam grup.
o Kontrol stimulus
Terapi ini dimaksudakan untuk membatasi waktu yang dihabiskan
untuk beraktivitas.
o Restriksi Tidur.
Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di
tempat tidur yang dapat membuat lelah pada malam berikutnya.
b. Gaya hidup dan pengobatan di rumah
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :
 Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari libur
 Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.
 Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa.
 Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.
 Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca,
latihan pernapasan atau beribadah
 Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan
tidur pada malam hari.
 Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti
menghindari kebisingan
 Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30
menit setiap hari sekitar lima hingga enam jam sebelum tidur.
 Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin

5
 Menghindari makan besar sebelum tidur
 Cek kesehatan secara rutin
 Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik.
B. Farmakologi
Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan
yaitu benzodiazepine dan non-benzodiazepine.
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)
Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :
- Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti-insomnia”
yaitu golongan benzodiazepine (Short Acting). Misalnya pada
gangguan anxietas.
- Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk
kembali ke proses tidur selanjutnya)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Prolong latent phase Anti-
Insomnia”, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan
Tetrasiklik). Misalnya pada gangguan depresi.
- Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan
terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-
Insomnia”, yaitu golongan phenobarbital atau golongan
benzodiazepine (Long acting). Misalnya pada gangguan stres
psikososial.
Pengaturan Dosis
- Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi
tidur.
- Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan
dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off
(untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat)
- Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih
perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi
- Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3
kali seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia
lanjut
Lama Pemberian
- Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja,
tidak lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil.

6
Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan
“Sleep EEG” yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.
- Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological
Dependence” (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah
gangguan tidur dapat ditanggulangi.
Efek Samping
Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur. Efek samping
dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-insomnia
(waktu paruh) :
- Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam)  gejala
rebound lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi
panik.
- Waktu paruh sedang, seperti Estazolam  gejala rebound lebih
ringan.
- Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam  menimbulkan gejala
“hang over” pada pagi harinya dan juga “intensifying daytime
sleepiness”.
- Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat
terjadi “disinhibiting effect” yang menyebabkan “rage reaction”.
Interaksi obat
- Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan
potensiasi efek supresi SSP yang dapat menyebabkan “oversedation
and respiratory failure”
- Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal
enzyme atau “produce protein binding displacement” sehingga jarang
menimbulkan interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.
- Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol
atau “CNS Depressant” lain, resiko kematian akan meningkat.

Perhatian Khusus
- Kontraindikasi :
o Sleep apneu syndrome
o Congestive Heart Failure
o Chronic Respiratory Disease
Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko
menimbulkan “teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities)
khususnya pada trimester pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan
melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP).

7
2.4 POSYANDU LANSIA
2.4.1 Pengertian Posyandu Lansia
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Lanjut Usia adalah suatu wadah
pelayanan kepada lanjut usia di masyarakat, yang proses pembentukan dan
pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat bersama Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), Lintas sector pemerintah dan non pemerintah, swasta,
organisasi dan lain–lain dengan menitikberatkan pelayanan kesehatan upaya
promotif dan preventif (Hutabarat, 2012).
Disamping pelayanan kesehatan, di posyandu lanjut usia juga dapat
diberikan pelayanan social, agama, pendidikan, ketrampilan, olahraga, dan seni
budaya serta pelayanan lain yang dibutuhkan para lanjut usia dalam rangka
meningkatkan kualitas hidup melalui peningkatan kesehatan dan kesejahteraan
mereka. Selain itu mereka dapat beraktifitas dan mengembangkan potensi diri
(Hutabarat, 2012).
2.4.2 Tujuan
Tujuan pembentukan dan pelayanan posyandu lansia menurut azizah
tahun 2011 adalah:
a. Meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan lansia di masyarakat,
sehingga terbentuk pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan
lansia
b. Mendekatkan pelayanan dan meningkatkan peran serta masyarakat dan
swasta dalam pelayanan kesehatan disamping meningkatkan komunikasi
antar masyarakat usia lanjut.
c. Meningkatkan kesadaran pada lansia untuk mengenali masalah kesehatan
dirinya sendiri dan bertindak untuk mengatasi masalah tersebut terbatas
kemampuan yang ada dan meminta pertolongan keluarga atau petugas jika
diperlukan.
d. Meningkatkan mutu derajat kesehatan lansia.
e. Meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku positif dari lansia
2.4.3 Manfaat Posyandu Lansia
Secara umum posyandu lansia, menurut Departemen Kesehatan tahun
2010 memiliki beberapa menfaat sebagai berikut:
a. Meningkatkan status kesehatan lansia
b. Meningkatkan kemandirian pada lansia
c. Memperlambang aging proses
d. Deteksi dini gangguan kesehatan pada lansia
e. Meningkatkan harapan hidup.
2.4.4 Sasaran Posyandu Lansia

8
Sasaran posyandu lansia menurut Departemen kesehatan tahun 2010
terdiri dari sasaran langsung dan tidak langsung. Adapun sasaran yang
dimaksud adalah:
a. Sasaran Langsung
 Kelompok Pra Usia Lanjut (45-59 tahun)
 Kelompok Lanjut Usia (60-69 tahun)
 Kelompok Lanjut usia dengan risiko tinggi (70 tahun keatas)
b. Sasaran Tidak Langsung
 Keluarga dimana lanjut usia berada
 Masyarakat dilingkungan lanjut usia
 Organisasi social yang peduli terhadap pembinaan kesehatan lanjut
usia
 Petugas kesehatan yang melayani kesehatan lanjut usia
 Petugas lain yang menangani kelompok lanjut usia

Anda mungkin juga menyukai