Anda di halaman 1dari 250

PSIKOLOGI

KLINIS
PERKEMBANGAN TEORI, PRAKTEK,
dan BUDAYA
EKO YULIANTO, CHt, CI, S.Psi,MKM
PSIKOLOGI KLINIS
Perkembangan Teori, Praktek dan Budaya

EKO YULIANTO, CHt, CI, S.Psi,MKM

Jakarta 2017

2
Penulis
Eko Yulianto, CHt, CI, S.Psi,MKM

Editor
Ali Nurdiman
Albifa Naparinas
Deden Kurniawan
Elok Faiqoh

Desain
Galih Rakasiwi
Fadhilatul M
Reni Yulianti
Priyadi

Setting
Rika Oktaviani
Linda Panjilie
Fildzah Irsalina
Agung Saputra

3
PSIKOLOGI KLINIS
Perkembangan Teori, Praktek dan Budaya
EKO YULIANTO, CHt, CI, S.Psi,MKM

Hak Cipta © 2017 Pada Penulis

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip


atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin
tertulis dari penerbit

Sanksi Pelanggaran Pasal 22


Undang-undang Nomor No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau
pasal 49 ayat(1) dan ayat (2) di pidana dengan pidana penjara
masing masing paling singkat (satu) bulan dan atau denda
paling sedikit Rp 1000.000 (satu juta rupiah) Atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 5000.000.000 (lima milyar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud
DAFTAR PUSTAKA
dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

4
DAFTAR isi

Penyusun ........................................................................................... 3
Daftar isi ....................... .................................................................... 5
Kata Pengantar ................................................................................ 9

BAB I PSIKOLOGI KLINIS .......................................................... 11


A. Definisi dan Ruang Lingkup Psikologi Klinis 12
B. Pengertian Assesmen Menurut Para Ahli ........ 15
C. Karakteristik Psikologi Klinis ............................... 42
D. Clinical Attitude ........................................................ 43
E. Sejarah Psikologi Klinis .......................................... 43

F. Psikologi Klinis di Tengah Perang Dunia II .... 54

G. Pasca Perang Dunia ................................................. 59

H. Psikologi Klinis pada Abad 21.............................. 61

I. Perkembangan Psikologi Klinis ........................... 62

J. Profesi dalam Psikologi Klinis .............................. 68

K. Psikologi Klinis dalam Dunia Kerja ................... 69

5
BAB II PSIKOLOGI KLINIS ANAK/PEDIATRIK ................... 72
A. Definisi ......................................................................... 73

B. ASPEK PSIKOLOGI ANAK ...................................... 75

C. PENDEKATAN DALAM PSIKOLOGI ANAK ..... 76

D. METODE PENANGANAN ...................................... 90

BAB III PSIKOLOGI KLINIS REMAJA .................................... 99

A. Definisi ...................................................................... 100

B. Permasalahan Fisik dan Kesehatan ................. 104

C. Permasalahan Alkohol dan Obat-Obatan

Terlarang .................................................................. 107

D. Penanganan ............................................................. 113

BAB IV PSIKOLOGI KLINIS DEWASA ................................ 117

A. Definisi ...................................................................... 118

B. Karakteristik Perkembangan pada Fase

Dewasa ............................................................. 120

C. Cara Penanganan ......................................... 135

6
1. Suasana Terapi .................................... 135

2. Terapi Dalam Psikiatri ...................... 137

BAB V PSIKOLOGI KLINIS LANSIA ........................ 155

A. Definisi ................................................................ 156

B. Profisensi Di Bidang Geropsikologi .......... 160

C. Psikopatologi Pada Lansia ............................ 163

1. Depresi .................................................... 163

2. Kecemasan ............................................. 164

3. Demensia ................................................ 166

D. Masalah-masalah Lain yang Dapat

Menjadi Fokus Penang ............................... 169

1. Kesehatan ............................................... 169

2. Penganiayaan Lansia .......................... 170

3. Insomnia ................................................. 171

4. Masalah-masalah Seksual ............... 173

7
5. Isu- isu yang Terkait dengan Kematian

dan Menjelang Ajal ............................ 175

6. Intervensi psikologis .......................... 177

BAB VI PSIKOLOGI KESEHATAN ............................. 184

A. Definisi .............................................................. 185

B. Pengertian Neuropsikologi ........................ 187

C. Jenis Tanaman Obat dan Manfaatnya ... 190

D. Mengenal Psikologi Forensik ................... 195

E. Peran Psikologi Forensik Dalam Proses

Hukum Di Indonesia ....................................................... 200

F. Kode Etik Psikologi Indonesia ................... 225

Penutup ............................................................................. 228

Daftar Pustaka ................................................................ 233

Tentang Penulis............................................................... 246

8
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang


telah melimpahkan rahmat taufiq dan hidayah-Nya
kepada kita semua, amin ya Rabbal Alamin. Selain
daripada itu bahwa susunan materi “ Psikologi
Klinis “ ini telah dapat kami selesaikan. Susunan
materi ini adalah hasil dari pemahaman penyusun
tentang beberapa buku yang terbit sebelumnya,
mencoba untuk mengulas kembali demi memenuhi
materi Psikologi Klinis pada Fakultas llmu Psikologi.
Kami himpun dari beberapa sumber materi yakni
dari buku-buku psikologi klinis lain dan bantuan
internet serta dari perpustakaan.

9
Akhir kata, penyusun berharap semoga buku
ini dapat bermanfaat terutama bagi mahasiswa
Fakultas Psikologi dimana penyusun menempuh
pendidikan dan bagi pembaca sekalian yang
budiman.

Wassalamualakum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Jakarta, Februari 2017


Penulis

10
BAB I
PSIKOLOGI KLINIS

11
A. Definisi dan Ruang Lingkup Psikologi Klinis

Psikologi klinis adalah cabang psikologi yang

berfokus pada penanganan, penganalisisan, dan

diagnosa penyakit-penyakit jiwa. Psikologi Klinis

merupakan bidang yang membahas kajian,

diagnosis dan penyembuhan (treatment) masalah-

masalah psikologis, gangguan (disorder) atau

tingkah laku abnormal (Phares :1992). Dalam

American Psychological Association (1935),

Psikologi klinis merupakan psikologi terapan untuk

menentukan kapasitas dan karakteristik tingkah

laku individu dengan menggunakan metode

pengukuran assessment, analisa dan observasi serta

uji fisik dan riwayat sosial agar dapat diperoleh

saran dan rekomendasi untuk membantu

12
penyesuaian diri individu secara tepat. Psikologi

klinis merupakan integrasi dari sains, teori, dan

pengetahuan klinis.

Psikologi Klinis dapat diartikan secara sempit

maupun luas, yaitu mempelajari orang-orang

abnormal dengan menggunakan assessmen sebagai

bagian integral yang biasa digunakan, membahas

kesulitan-kesulitan maupun rintangan emosional

pada manusia tanpa memandang normal atau

abnormal serta melihat gejala yang dapat

memungkinkan mengurangi kebahagiaan manusia.

Psikologi Klinis menggunakan konsep-konsep

psikologi abnormal, psikologi perkembangan,

psikopatologi dan psikologi kepribadian, serta

prinsip-prinsip dalam asessmen dan intervensi,

13
untuk dapat memahami dan memberi bantuan bagi

mereka yang mengalami masalah-masalah

psikologis. Permasalahan psikologis yang ditangani

oleh psikologi klinis meliputi banyak hal, mulai

dari Kelainan emosi jangka pendek, seperti

konflik keluarga, hingga kelainan mental yang

sangat parah, seperti schizophrenia.

Psikologi klinis adalah suatu bagian dalam

ilmu Psikologi yang kegiatannya melakukan

penelitian terhadap perilaku manusia, menerapkan

hasil penelitian tersebut dan melakukan asessmen.

Psikologi klinis menggunakan konsep-konsep

psikologi abnormal, psikologi perkembangan,

psikopatologi dan psikologi kepribadian serta

prinsip-prinsip dalam asesmen dan intervensi

14
untuk dapat memahami masalah-masalah

psikologis, gangguan penyesuaian diri dan tingkah

laku abnormal.

B. Pengertian Asesmen Menurut Para Ahli

Angelo T.A.(1991): Classroom Assessment is a

simple method faculty can use to collect feedback,

early and often, on how well their students are

learning what they are being taught. (Artinya:

asesmen Kelas adalah suatu metode yang sederhana

dapat digunakan untuk mengumpulkan umpan

balik, baik di awal maupun setelah pembelajaran

tentang seberapa baik siswa mempelajari apa yang

telah diajarkan kepada mereka.)

15
Kizlik, Bob (2009): Assessment is a process by

which information is obtained relative to some

known objective or goal. Assessment is a broad term

that includes testing. A test is a special form of

assessment. Tests are assessments made under

contrived circumstances especially so that they may

be administered. In other words, all tests are

assessments, but not all assessments are tests.

(Artinya : asesmen adalah suatu proses dimana

informasi diperoleh berkaitan dengan tujuan

pembelajaran. Asesmen adalah istilah yang luas

yang mencakup tes (pengujian). Tes adalah bentuk

khusus dari asesmen. Tes adalah salah satu bentuk

asesmen. Dengan kata lain, semua tes merupakan

asesmen, namun tidak semua asesmen berupa tes)

16
Overton, Terry (2008): Assesment is a process

of gathering information to monitor progress and

make educational decisions if necessary. As noted in

my definition of test, an assesment may include a

test, but also include methods such as observations,

interview, behavior monitoring, etc. (Artinya:

sesmen adalah suatu proses pengumpulan

informasi untuk memonitor kemajuan dan bila

diperlukan pengambilan keputusan dalam bidang

pendidikan. Sebagaimana disebutkan dalam definisi

saya tentang tes, suatu asesmen bisa saja terdiri dari

tes, atau bisa juga terdiri dari berbagai metode

seperti observasi, wawancara, monitoring tingkah

laku, dan sebagainya).

17
Asesmen merupakan cara salah satu kegiatan

pengukuran. Dalam konteks bimbingan konseling,

asesmen yaitu mengukur suatu proses konseling

yang harus dilakukan konselor sebelum, selama,

dan setelah konseling tersebut

dilaksanakan/berlangsung. Asesmen merupakan

salah satu bagian terpenting dalam seluruh

kegiatan yang ada dalam konseling (baik konseling

kelompok maupun konseling individual). Karena

itulah maka asesmen dalam bimbingan dan

konseling merupakan bagian yang terintegral

dengan proses terapi maupun semua kegiatan

bimbingan/konseling itu sendiri. Asesmen

dilakukan untuk menggali dinamika dan faktor

penentu yang mendasari munculnya masalah. Hal

18
ini sesuai dengan tujuan asesmen dalam bimbingan

dan konseling, yaitu mengumpulkan informasi

yang memungkinkan bagi konselor untuk

menentukan masalah dan memahami latar

belakang serta situasi yang ada pada masalah klien.

Asesmen yang dilakukan sebelum, selama dan

setelah konseling berlangsung dapat memberi

informasi yang dapat digunakan untuk

memecahkan masalah yang dihadapi konselee.

Dalam prakteknya, asesmen dapat digunakan

sebagai alat untuk menilai keberhasilan sebuah

konseling, namun juga dapat digunakan sebagai

sebuah terapi untuk menyelesaikan masalah

konselee.

19
Hood & Johnson (1993) menjelaskan ada beberapa

fungsi asesmen, diantaranya adalah untuk:

1. Menstimulasi konselee maupun konselor

mengenai berbagai isu permasalahan

2. Menjelaskan masalah yang senyatanya

3. Memberi alternatif solusi untuk masalah

4. Menyediakan metode untuk dengann

memperbandingkan alternatif sehingga dapat

diambil keputusan

5. Memungkinkan evaluasi efektivitas konseling

Kesimpulan Tentang Pengertian Asesmen:

 Asesmen merupakan metode dan proses

yang digunakan untuk mengumpulkan

20
umpan balik tentang seberapa baik siswa

belajar.

 Dapat dilakukan di awal, di akhir

(sesudah), maupun saat pembelajaran

sedang berlangsung.

 Asesmen dapat berupa tes atau nontes.

 Asesmen berupa nontes misalnya

penggunaan metode observasi,

wawancara, monitoring tingkah laku, dsb.

 Hasilnya dapat digunakan untuk

pengambilan keputusan.

 Bertujuan meningkatkan belajar

(pembelajaran) dan perkembangan siswa.

21
Tujuan Assesmen

Hood & Johnson (1993) menjelaskan

bahwa asesmen dalam bimbingan dan

konseling mempunyai beberapa tujuan, yaitu:

1. Orientasi masalah, yaitu untuk membuat

konselee mengenali dan menerima

permasalahan yang dihadapinya, tidak

mengingkari bahwa ia bermasalah

2. Identifikasi masalah, yaitu membantu baik

bagi konselee maupun konselor dalam

mengetahui masalah yang dihadapi konselee

secara mendetil

22
3. Memilih alternatif solusi dari berbagai

alternatif penyelesaian masalah yang dapat

dilakukan oleh konselee

4. Pembuatan keputusan alternatif pemecahan

masalah yang paling menguntungkan

dengan memperhatikan konsekuensi paling

kecil dari beberapa alternatif tersebut

5. Verifikasi untuk menilai apakah konseling

telah berjalan efektif dan telah mengurangi

beban masalah konselee atau belum.

Selain itu, asesmen digunakan pula untuk

menentukan variabel pengontrol dalam

permasalahan yang dihadapi konselee, untuk

memilih/mengembangkan intervensi terhadap

area yang bermasalah, atau dengan kata lain

23
menjadi dasar untuk mendesain dan mengelola

terapi, untuk membantu mengevaluasi

intervensi, serta untuk menyediakan informasi

yang relevan untuk pertanyaan-pertanyaan

yang muncul untuk setiap fase konseling. Pada

asesmen berbasis individu, asesmen dipakai

untuk mengumpulkan informasi asli atau

autentik mengenai konselee sehingga

diperoleh informasi menyeluruh tentang diri

konselee secara utuh, dan untuk memberikan

penilaian yang objektif. Selain itu, secara

terperinci asesmen berbasis individu

bertujuan untuk:

24
1. Mengembangkan cara konselee merespon

(verbal dan/atau non verbal) pertanyaan-

pertanyaan yang disampaikan oleh guru

BK.

2. Melatih konselee untuk berpikir dalam

upaya pemecahan masalah

3. Membentuk kemandirian konselee dalam

berbagai masalah atau membentuk

individu menjadi mandiri.

4. Melatih konselee mengemukakan apa

yang dipikirkan dan apa yang dirasakan.

melalui proses konseling.

5. Membentuk individu yang terbuka dalam

berbagai hal, termasuk membuka diri

dalam konseling

25
6. Membina kerjasama yang baik dalam

memecahkan masalah yang dihadapi.

7. Membelajarkan konselee untuk menilai

terhadap cara melaksanakan

keputusannya secara konsekuen.

Asesmen berbasis individu akan

mengukur seluruh kemampuan konselee, baik

keterampilan personal (personal skills),

keterampilan social (social skills), keterampilan

memecahkan masalah (problem solving skills),

dan keterampilan memilih alternative (Choice

alternative skills). Jika hal ini dilakukan maka

asesmen akan dapat:

26
a. Membantu sekolah dan guru dalam

melaksanakan pembelajaran karena

konselee sebagai siswa dapat berkonsentrasi

dalam mengikuti pembelajaran

b. Memudahkan guru dalam pembelajaran

di kelas karena siswa tidak banyak masalah

c. Memudahkan guru bimbingan dan

konseling dalam melaksanakan tugas

bimbingan dan konseling – khususnya

dalam konseling

d. Membantu kepala sekolah dalam

penyelenggaraan pendidikan di sekolah

e. Mendorong konselee untuk memanfaatkan

layanan bimbingan dan konseling dalam

berbagai hal (seperti mendapatkan

27
informasi studi, pekerjaan, dan

memecahkan masalah (masalah pribadi,

sosial, belajar, dan karir), dan

f. Menyajikan informasi berkesinambungan

tentang kegiatan kegiatan layanan

bimbingan dan konseling.

Dalam tiap fase konseling, asesmen

(menurut Hood & Johnson, 1993) mempunyai

tujuan yang bisa jadi berbeda-beda. Hal ini

terlihat dalam tabel berikut ini:

28
Fase Pertanyaan yang ditujukan bagi

tritmen assesmen

Skrining o Apakah konselee tepat untuk

awal layanan ini?

o Jika tidak tepat, dirujuk kemana?

Identifikasi o Apa masalah konselee?

dan o Apakah masalah konselee

analisis mengundang masalah tritmen?

masalah o Faktor apa yang membuat

masalah konselee terus

berlangsung?

Seleksi o Alternatif tritmen apa yang

tritmen membuat konselee nyaman?

o Alternatif tritmen apa yang

29
membuat lingkungan konselee

nyaman?

o Alternatif tritmen apa yang

membuat terapis nyaman?

o Tritmen mana yang optimum

dalam menyelesaikan masalah

konselee?

o Apakah evaluasi tritmen dapat

dipercaya?

o Perubahan apa yang terjadi pada

Evaluasi masalah dan perilaku?

tritmen o Apakah perubahan terjadi karena

tritmen?

o Biaya apa yang harus dikeluarkan

30
untuk tritmen?

o Apakah keuntungan yang didapat

dari tritmen memadai dengan

biayanya?

o Apakah tritmen harus dihentikan

atau dilanjutkan?

Proses Assesmen

Apapun bentuk dan jenis asesmen yang

dilakukan, hal ini tetap menuntut suatu

perencanaan, termasuk pada saat melakukan

analisis. Dengan demikian maka akan diperoleh

alat ukur atau instrumen yang benar-benar dapat

diandalkan (valid) dan dapat dipercaya (reliabel)

31
dalam mengukur apa yang seharusnya diukur.

Berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu

dilakukan dalam melakukan asesmen:

Perencanaan

Aspek yang harus ada dalam perencanaan

asesmen adalah:

 Memilih fokus asesmen pada aspek tertentu

dari diri konselee.

Salah satu penentu keberhasilan

konseling adalah kemauan dan kemampuan

konselee itu sendiri. Dalam konseling,

keputusan akhir untuk pemecahan masalah

yang dihadapi ada pada diri konselee.

Konselor/guru BK bukan pemberi nasihat,

32
bukan pengambil keputusan mengenai apa

yang harus dilakukan konselee dalam

memecahkan masalah yang dihadapinya.

Karena itu, untuk keberhasilan konseling,

konselee dapat bekerjasama dengan guru

BK/konselor, dan dengan bantuan guru BK

maka konselee diharapkan mampu

memunculkan ide-ide pemecahan masalah,

dan konselee memiliki keberanian serta

kemampuan untuk mengambil keputusan,

mampu memahami diri sendiri, dan mampu

menerima dirinya sendiri. Berdasarkan hal

tersebut di atas, maka konselor menentukan

akan melakukan asesmen dengan

33
memfokuskan pada salah satu aspek dalam

diri konselee saja.

 Memilih instrumen yang akan digunakan.

Setelah ditentukan fokus area asesmen,

Anda dapat merencanakan instrumen yang

akan digunakan dalam asesmen. Banyak

instrumen yang dapat digunakan dalam

asesmen seperti tes psikologis, observasi,

inventori, dan sebagainya. Tetapi untuk

menentukan instrumen sangat tergantung

pada aspek apa yang akan diasesmen.

Misalnya Anda akan melihat kerjasama

konselee dalam konseling, maka instrumen

dapat menggunakan checklist, tetapi apabila

Anda memfokuskan asesmen tentang

34
kemampuan konselee dalam memecahkan

masalah, maka Anda dapat mempergunakan

tes psikologis.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam

memilih instrumen dalam asesmen

diantaranya yaitu: (i) kemampuan guru BK

sendiri, (ii) kewenangan guru BK (baik dalam

mengadministrasikan maupun dalam

interpretasi hasilnya), (iii) ketersediaan

instrumen, (iv) waktu yang tersedia, dan (v)

dana yang tersedia.

 Penetapan waktu

Perencanaan waktu yang dimaksud

adalah kapan asesmen akan dilakukan.

Penetapan waktu ini sangat erat berhubungan

35
engan persiapan pelaksanaan asesmen.

Persiapan akan banyak menentukan

keberhasilan suatu asesmen, misalnya

mempersiapkan instrumen, tempat, dan

peralatan lain yang diperlukan dalam

pelaksanaan asesmen. Apalagi jika pelaksana

asesmen tersebut bukan guru BK itu sendiri,

misalnya karena instrumen yang digunakan

untuk asesmen adalah tes psikologis (tes

intelegensi, inventori kepribadian, tes minat

jabatan, dan sebagainya).

 Validitas dan reliabilitas

Apabila instrumen yang kita gunakan

adalah buatan sendiri atau dikembangkan

sendiri, maka instrumen itu perlu diuji

36
validitas dan reliabilitasnya. Karena validitas

dan reliabilitas merupakan suatu syarat

mutlak suatu instrumen asesmen. Namun

apabila kita menggunakan instrumen yang

sudah terstandar, Anda tidak perlu mencari

validitas dan reliabilitas karena instrumen

tersebut sudah jelas memenuhi persyaratan

sebagai suatu instrumen.

Asesmen Kepribadian & Perilaku

 Asesmen Kepribadian

Asesmen ini berupaya untuk menemukan pola

perilaku dan pola pikiran atau penyesuaian diri

seseorang secara khas terhadap lingkungannya.

Asesmen kepribadian ini sendiri dibagi menjadi

37
dua, yakni Projective Assessement dan Objective

Assessement.

a) Projective Assessement

Dalam asesmen proyektif ini subjek diberi

kesempatan untuk dapat memproyeksikan

dirinya.

b) Objective Assessement

Asesmen objektif ini bertujuan untuk

menggambarkan karakteristika atau sifat-

sifat individu atau kelompok sebagai alat

untuk memprediksi perilaku.

Menurut Butcher, 1971, ada tiga perbedaan

mendasar antara kedua assesmen tersebut. Pertama,

asesmen proyektif sangat menaruh perhatian pada

38
dinamika intraphisik sedangkan asesmen objektif

mencari deskripsi sifat atau karakteristik

seseorang. Kedua, tes proyektif memiliki kebebasan

untuk menjawab sedangkan tes objektif memiliki

stimuli yang dirancang secara jelas dan jawaban

yang terbatas. Ketiga, isi respons tes proyektif

secara tipikal ditafsir tiap orang tanpa referensi

norma. Skor tes objektif membandingkan hasil

seseorang dengan yang lain.

i. Asesmen Perilaku

Asesmen ini berpusat pada

mengidentifikasikan perilaku spesifik klien atau

sistem lingkungan yang mungkin memerlukan

perubahan. Asesmen perilaku merupakan

39
pendekatan situasi spesifik, di mana variasi spesifik

dalam keadaan lingkungan dengan teliti dan

periksa untuk menentukan peranan mereka

terhadap pemfungsian klien. Adapun landasan

penggunaan asesmen perilaku adalah perspektif

perilaku di mana pemfungsian manusia dilihat

sebagai produk dari interaksi yang terus menerus

antara pribadi dan situasi.

Asesmen Intelektual & Neuro Psikologis

i. Asesmen Intelektual

Asesmen ini bertujuan untuk mengukur

kemampuan dan atau kekurangan intelektual

seseorang yang kemudian digunakan untuk

40
mengarahkan individu tersebut. Contohnya, tes TPA

yang biasa dilakukan di SMA saat mendekati

penjurusan.Beberapa alat tes intelegensi yang

sering digunakan di Indonesia, yakni:

- Stanford – Binet Intelligence Scale

- Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS)

ii. Asesmen Neuro Psikologis

Asesmen ini melibatkan pengukuran tanda-

tanda perilaku yang mencerminkan kesehatan atau

kekurangan dalam fungsi otak. Ada delapan jenis

tes asesmen neuropsikologis, yaitu:

 Tes persepsi visual

 Tes-tes persepsi pendengaran

 Test of Tactile Perception

 Test of Motor Coordination and Steadiness

41
 Test of Sensomotor Construction Skill

 Tests of Memory

 Tests of Verbal

 Tests of Conceptual Reasoning Skills

C. Karakteristik Psikologi Klinis:

 Merupakan bagian psikologi yang tertarik

pada perilaku dan proses mental, khususnya

manusia.

 Melakukan penelitian mengenai perilaku dan

proses mental.

 Terlibat dalam asessmen dianalisis dan

ditafsirkan (kesimpulan).

 Psikologi klinis menolong orang yang

masalah atau kesulitan psikologis.

42
D. Clinical Attitude

1. Psikologi klinis berusaha memahami manusia

dan menolong individu yang mengalami

masalah & tekanan psikologis.

2. Seorang klinisi tidak berhenti pada hasil-hasil

penelitian mengenai perilaku dan proses

mental, tetapi juga berusaha menerapkan hasil

penelitian dan mengupayakan asessmen

individual untuk memahami, menolong, dan

mnyembuhkan individu tertentu yang

mengalami tekanan.

E. Sejarah Psikologi Klinis

Ditelisik dari sisi sejarah, psikologi klinis

ditemukan oleh pria berkebangsaan Amerika,

43
Lightner Witmer. Dia merupakan alumni

Universitas Pensylvana tahun 1988. Witmer

bekerja di program doktoral bidang psikologi

bersama Wilhem Wundt di Leipzig. Setelah

menyelesaikan program doktoralnya, dia langsung

ditunjuk sebagai direktur laboratorium psikologi

Universitas Leipzig.

Dimulai ketika ada seorang guru sekolah

bernama Margareth Maguire yang meminta

Witmer untuk membantu salah seorang

muridnya Charles Gilman yang didiagnosa

mengalami kesulitan dalam mengeja. Witmer

kemudian menerima tawaran tersebut. Tak

disangka, hal ini menghantarkan dia sebagai

psikolog klinis pertama, dan pada saat yang sama,

44
ia memulai usaha untuk mendirikan klinik

psikologi pertama di dunia.

Pendekatan yang pertama kali dilakukan oleh

Witmer adalah dengan asesmen (menilai) masalah

Charles disusul menyusun rangkaian pengobatan

yang tepat. Penilaian psikologis menunjukkan

bahwa Charles mengalami kerusakan visual, baik

dalam hal membaca dan masalah mengingat. Hal

tersebut diberi istilah oleh Witmer dengan "amnesia

verbal-visual, atau sekarang disebut disleksia.

Witmer menggunakan tutorial yang intensif guna

membantu si anak dalam mengenal kata tanpa

terlebih dahulu mengejanya. Cara ini berhasil

sehingga Charles bisa kembali normal membaca.

45
Tidak semua yang dilakukan oleh Witmer

berpengaruh secara merata, artinya bisa diterapkan

di segala umur, akan tetapi ada beberapa aspek

klinis terbarunya yang diperuntukkan untuk

pekerjaan klinis berikutnya:

1. Kebanyakan kliennya adalah anak-anak,

perkembangan natural sejak Witmer

menawarkan kursus tentang psikologi anak,

telah mempublikasikan karyanya di jurnal

pediatris, dan telah menarik minat guru yang

memperhatikan masalah siswa mereka.

2. Rekomendasinya guna membantu para klien

didasari oleh asesmen diagnostik.

3. Dia tidak bekerja sendiri, akan tetapi dengan

pendekatan tim yang merekrut anggotanya

46
dari berbagai profesi, saling berkonsultasi dan

berkolaborasi dalam kasus-kasus tertentu.

4. Ada penekanan yang jelas pada pencegahan

masalah mendatang melalui diagnosa dan

pengobatan awal.

5. Dia menekankan bahwa psikologi klinis harus

dibangun di atas prinsip yang ditemukan atas

dasar psikologi ilmiah.

Pada tahun 1897, ada klinik baru yang

menawarkan kursus 4 pekan pada musim panas.

Kursus ini menawarkan presentasi kasus, instruksi

tes diagnosa, dan teknik demonstrasi pengobatan.

Pada tahun 1900, sebanyak 3 anak per hari

diberikan oleh staf klinis. Selama tahun akademik

47
1904-1905, Universitas Pensylvnia menawarkan

program psikologi klinis di bawah pengawasan

Witmer.

Akan tetapi, pengaruh klinik Witmer, sekolah,

jurnal, dan pelatihan-pelatihan menjadi terbatas.

Witmer merasa bahwa psikologi klinis berputar-

putar saja, stagnan. Akan tetapi Witmer memiliki

sedikit hal yang telah dilakukannya dan kemudian

mengendalikannya. Itu semua disebabkan karena ia

mengabaikan perkembangan-perkembangan yang

akan terjadi di kemudian hari. Sebagai contoh,

Witmer mengabaikan tes intelijensi Binet dan Skala

Binet-Simon ketika keduanya diperkenalkan di

Amerika Serikat. Seperti tes Binet terdahulu,

instrumen ini dirancang untuk mengukur proses

48
mental yang rumit, bukan untuk mengukur mental

biasa yang dilakukan oleh Witmer. Walaupun Binet

mengingatkan bahwa alatnya tidak menyediakan

pengukuran objektif keseluruhan intelijensi, tetapi

tes Binet-Simon ini mencuri perhatian banyak

kalangan. Henry H. Goddard dari Vineland (New

Jersey) Training School pernah mendengar hal itu

ketika dia berada di Eropa pada tahun 1908 dan

membawa skala Binet-Simon ke U.S untuk

melakukan asesmen kecerdasan anak yang

menderita “feeble minded” di klinik yang telah ia

bangun dua tahun sebelumnya. Popularitas

translasi Goddard terhadap skala Binet-Simon dan

revisi atas Lewis Terman pada tahun 1916 tumbuh

begitu cepat di Amerika Serikat sehingga

49
melampaui popularitas tes-tes intelijensi lain,

termasuk alat tes Witmer. Skala Binet menyediakan

fokusnya pada fungsi asesmen psikologi klinis yang

sudah tidak lagi diurus sampai tahun 1910.

Selain itu, Witmer juga mengabaikan asesmen

klinis orang dewasa, layanan yang digunakan ahli

klinis lain guna memberikan pertolongan kepada

para psikiater untuk mendiagnosa dan

merencanakan perawatan kerusakan dan masalah

lainnya. Malah, pengujian psikologis mental pada

pasien di beberapa rumah sakit menjadi hal yang

rutin dilakukan pada tahun 1907. Asesmen serupa

dilakukan di penjara untuk membantu anggota

agar bisa mengidentifikasikan narapidana yang

50
terganggu mentalnya atau merencanakan program

rehabilitasi.

Pada akhirnya Witmer tidak bergabung

dengan ahli klinis lain dalam praktek psikoterapi

atau dalam mengadopsi pendekatan Freudian

dalam menangani kasus gangguan. Pendekatan

Freud menjadi terkenal di kalangan psikologi

melalui perkumpulan psikiater di rumah sakit jiwa

serta melalui klinik bimbingan anak yang secara

rutin mempekerjakan para psikolog. Pergerakan

bimbingan anak di AS distimulasi oleh komite

nasional tentang kesehatan mental, sebuah

kelompok yang didirikan oleh mantan pasien jiwa,

Clifford James, dan didukung oleh William James,

psikolog Harvard, dan Adolf Meyer, psikolog kota

51
yang paling menonjol. Dengan sokongan dana dari

dermawan Henry Phips, komite tersebut bekerja

demi memperbaiki perawatan penyakit mental dan

untuk mencegah gangguan psikologis.

Klinik bimbingan pertama ditemukan di

Chicago pada 1909 oleh seorang psikiater

bernamaWilliam Healy. Dia mempunyai banyak

kesamaan dengan Witmer. Hanya saja dia lebih

fokus pada kasus-kasus perilaku menyimpang

anak-anak yang disebabkan oleh otoritas sekolah,

polisi atau pengadilan. Klinik Healy berlandaskan

pada asumsi bahwa pelanggaran yang dilakukan

anak kecil yang menderita penyakit mental yang

harus ditangani sebelum hal tersebut

menimbulakan masalah yang lebih serius. Kedua,

52
pendekatan yang diambil oleh staf di klinik

psikologi Healy di Chicago sangat dipengaruhi oleh

teori psikodinamik Freud.

Pendekatan dinamik ini menerima dorongan

yang kuat ketika pada tahun yang sama Healy

membuka klinik, G. Stanley Hall, seorang psikolog,

mengatur waktu Freud dan dua pengikutnya, Carl

Jung dan Sandor Ferenczi, untuk mendiskusikan

perayaan tahunan universitas Clark di Worcester,

Massachusetts. Acara dan materi yang digabungkan

ini menjual psikoanalisis kepada psikolog Amerika

(meskipun bukan pada Witmer, yang saat itu tidak

hadir: Routh, 1996).

Kiblat psikolog menjadi berubah ke arah model

Healy mengenai masalah psikologi klinis dan klinik

53
bimbingan anak. Fakta ini sejalan dengan

menyebarnya penggunaan tes intelijensi Binet,

meninggalkan Witmer dengan background

psikologi klinisnya. Tentu saja dia masih aktif, akan

tetpi dia lebih fokus pada fungsi dan klien yang

sudah lebih dulu ada, bergabung dengan psikologi

sekolah, konseling kejuruan, terapi bicara, dan

perbaikan pendidikan dengan menggunakan

psikologi klinis.

F. Psikologi Klinis di Tengah Perang Dunia II

Ketika Amerika memasuki PD I, militer dalam

jumlah besar direkrut dan harus diklasifikasikan

menjadi orang yang punya intelektual dan orang

yang stabil psikologisnya. Tidak ada teknik yang

54
digunakan untuk melakukan hal ini. Kemudian

pihak militer meminta Robert Yerkes (yang

kemudian menjadi presiden APA) untuk memimpin

komite psikolog eksperimental yang berorientasi

pada assesment yang mengembankan pengukuran

yang tepat. Untuk mengukur kemampuan mental,

komite tersebut mengeluarkan tes intelejensi Army

Alpha dan Army Betha, dan untuk membantu

mendeteksi gangguan perilaku. Selain itu, ini juga

merekomendasikan penemuan Psychoneurotic

Robert Woodworth's. Pada tahun 1918, para

psikolog telah mengevaluasi hampir 2 juta orang.

Ahli klinis menggunakan variasi yang lebih

luas mengenai tes intelijensi untuk anak dan

dewasa dan menambah pengukuran baru tentang

55
kepribadian, minat, kemampuan khusus, emosi, dan

perilaku. Mereka mengembangkan alat tes sendiri,

sambil mengadopsi dari alat tes lain yang diambil

dari psikiater Eropa yang orientasinya psikoanalisis.

Beberapa tes yang familiar pada masa ini

adalah Jung's Association Test (1919), Roschach

Inkblot Test (1921), the Miller Analogies

Test(1926), the Goodenough Draw-A-Man

Test (1926), the Strong Vocationl Interest

Test (1927), the Thematic Apperception Test

(TAT) (1935), the Bender-Gestalt Test (1938),

dan the Wechsler-Bellevue Intelligence

Scale (1939).

Pada tahun 1930, terdapat sekitar 50 klinik

psikologi dan sedikitnya sekitar 12 klinik

56
bimbingan anak di AS. Psikolog klinis dalam seting

ini menyadari bahwa mereka sedang berurusan

dengan dunia pendidikan, bukan dengan masalah

psikiatris. Akan tetapi, perbedaan ini tumbuh

lamban, secara perlahan, ahli klinis menambah

fungsi perawatan pada asesmen mereka, training-

training, dan alat-alat penelitian.

Pada 1930-an akhir, psikologi klinis tidak

hanya dikenal sebagai profesi. Pada permulaan PD

II, masih tidak terdapat program training untuk

ahli klinis, hanya sedikit sekali yang

menyelenggarakan program doktoral, M.A dan

paling banyak pada program B.A. Untuk

mendapatkan pekerjaan sebagai psikolog klinis,

dibutuhkan beberapa keahlian tentang tes,

57
psikologi abnormal, perkembangan anak, dan juga

tertarik dengan orang banyak. Departemen-

departemen psikologi Universitas enggan untuk

mengembangkan program pascasarjana dalam

psikologi klinis karena fakultas mereka

mempertanyakan penerapan psikologi dan mereka

khawatir dengan biaya pelatihan klinis yang cukup

mahal.

Seluruh materi pokok psikologi klinis modern

telah diadakan. Enam fungsinya (assesment,

treatment, research, teaching, consultation, dan

administrasi) sudah bermunculan. Psikologi klinis

telah berkembang melalui klinik-klinik aslinya

serta melalui rumah sakit, penjara dan setting-

58
setting lainnya. Parktisinya pun pada saat itu

bekerja dengan anak-anak dan orang dewasa.

G. Pasca Perang Dunia

Pasca perang dunia II pengenalan hukum

psikologi klinis sebagai profesi tumbuh dengan

baik. Pada masa pasca perang, hukum

menyediakan lisensi atau sertifikasi bagi para ahli

klinis yang punya kualifikasi tinggi, dan APA

membuat grup sertifikat mandiri untuk

mengidentifikasi individu yang telah mencicipi

banyak pengalaman dan mengusai banyak

keahlian.

Penelitian klinis juga meluas setelah PD II dan

menghasilkan banyak kesimpulan negatif pada

59
ketidakmanfaatan tes kepribadian, nilai keputusan

diagnostik dibandingkan dengan keputusan yang

statistik, dan efektifitas psikoterapi tradisional.

Penelitian ini membuat ketidakpuasan terhadap

metode standar penilaian klinis dan ini termotivasi

oleh perkembangan pendekatan-pendekatan baru

untuk merawat, termasuk pendekatan humanistik

dan behavioral.

Pada tahun 1980, hampir seluruh yng

berkaitan dengan psikologi klinis sebelum PD II

telah berubah. Psikolog klinis sebelum PD

merupakan ahli diagnosa yang kliennya adalah

anak-anak. Setelah 1945, fungsi, setting, dan klien

dari psikologi klinis berubah drastis. Sekarang, ahli

klinis bisa menikmati jangkauan yang lebih luas

60
tentang pendekatan teori dan alat-alat praktek

untuk melakukan asesemen dan untuk merubah

prilaku manusia.

H. Psikologi Klinis pada Abad 21

Perjalan sejarah psikologi klinis mengalami

kemajuan pesat selama lebih dari 100 tahun, akan

tetapi baik perkembangannya maupun

pengujiannya belum sempurna. Ketika memasuki

abad 21, psikologi klinis banyak menemui hal yang

belum pernah terjadi sebelumnya. Termasuk cara

melatih siswa, layanan yang disediakan ahli klinis,

seting yang digunakan, cara pembayaran, dan teori

yang membimbing mereka serta perawatan

gangguan psikologis.

61
I. Perkembangan Psikologi Klinis

Perkembangan Psikologi Klinis dapat dibagi

kedalam beberapa periode. Periode ini mulai dari

awal munculnya, hingga sekarang, perkembangan

psikologi sangat pesat. Dibawah ini, kita akan

mengklasifikasikan periode ini secara singkat,

kemudian mendeskripsikan sejarahnya secara

umum.

1. Periode I (Tahun-tahun awal)

· Psikologi sebagai ilmu peengetahuan di abad

XIX

· Pendirian laboratotium pertama di Lepzig tahun

1879

· Pengukuran dan statistic karakteristik manusia

oleh Francis Galton di Inggris.

62
· Sigmund Freud berpraktek di ina dan

menerbitkan “the interpretation of dreams”

· Lightmer Witmer menggunakan istilah

“Psikologi Klinis” untuk pertama kalinya

mendirikan klinis psikologi dan jurnal

psikologi pertama.

· Awal abad ke-20 merupakan periode reformasi

yang menggairahkan bagi ide, rencana, dan

alat-alat baru dalam bidang psikologi.

· Antara tahun 1900–1920 banyak ditemukan

alat pengukuran karakteristik baru, terutama

tes intelegensi, misal: Tes Binet, Tes Army

Alpha, dll.

63
2. Periode II (Waktu Konsolidasi)

· Masa antara perang dunia menumbuhkan

kemajuan dalam bidang psikologi dan

perkembangan pada standar pelayanan.

· Pada masa praktek lebih fokus pada masalah

anak dan pengembangan teori pada orang

dewasa.

· Selama dan setelah perang dunia kedua,

psikologi di Amerika sangat terlibat dalam

pekerjaan di rumah sakit bersama personal

dan veteran militer.

· Tahun 1930, kelompok psikolog terapan

mendirikan layanan konseling di kampus.

· Para psikolog menemukan berbagai teknik

assessment, antala lain MMPI, TAT, dan SVIB.

64
3. Periode III (Pertumbuhan Pesat)

· Dua hingga tiga decade setelah PD II, psikolog

klinis menjadi profesi yang mandiri.

· Sudah menetapkan standar, misalnya tahun

1952, APA menerbitkan DSM I (Diagnostic and

statistic manual of mental disorder ), di negara

lain ICD (International classification of

disorder).

· 1950–1960, Psikoterapi menjadi kegiatan yang

penting dan lebih menarik ketimbang

assessment.

· Perubahan dalam pola latihan, pendidikan, dan

standar etik bagi psikologi klinis.

65
4. Periode IV (Perkembangan yang Campur Aduk)

· Muncul kebutuhan akan kesehatan mental

orang Amerika dan menjadikannya sebagai

masalah nasional peluang meluas bagi psikolog

klinis dan pekerja kesehatan mental lainnya.

· Sebagian psikolog berkomitmen pada isu

penanganan yang tidak semata-mata

individual, missal isu, kesehatan masyarakat

dan pencegahan muncul bidang khusus

Psikologi komunitas.

· Tahun 1970, psikologi klinis diakui perusahan

asuransi kesehatan sebagai penyedia layanan

kesehatan independen.

· Perubahan dalam jalur dan gelar pendidikan

psikologi klinis.

66
5. Periode V (Perkembangan Mutakhir & Masa

Depan)

· Berkembang kajian lintas disiplin psikologi

klinis dengan disiplin ilmu lain, seperti

kedokteran.

· Teori dan riset terus berkembang pesat, antara

lain neuroimaging, penelitian untuk

memetakan karakteristik genetik manusia

(human genetic project).

· Berbagai kemungkinan muncul antara lain

penggunaan tes dan interpretasi tes dengan

sistem komputerisasi, konsultasi psikologi di

internet.

67
J. Profesi dalam Psikologi Klinis

Psikolog Psikiater

Konsultan Pengajaran

Terapis Eksekutif

Dalam dunia kerja tidak dipungkiri bahwa

psikologi klinis memiliki lahan pekerjaan sesuai

dengan peranan keahliannya dan fungsi

penggunaannya. Psikologi klinis memiliki peranan

dalam memahami, mencegah dan memulihkan

keadaan psikologis individu ke ambang normal.

Singkatnya, psikologi klinis memberikan bantuan

pada manusia yang mengalami masalah psikologis.

Tugas utama psikologi klinis adalah menggunakan

tes yang merupakan bagian integral suatu

68
pemeriksaan klinis yang biasanya dilakukan di

rumah sakit.

K. Psikologi Klinis dalam Dunia Kerja

1. Assessment, pengumpulan informasi

(observasi, wawancara, dan tes secara subyektif

dan obyektif) mengenai perilaku individu,

perilaku, masalah, karakteristik unik,

kemampuan, dan keberfungsian intelektual

untuk diagnosis, bimbingan karir, seleksi, dll.

2. Intervensi / Treatment, penanganan yang

dirancang untuk menolong orang yang

bermasalah agar lebih mampu memahami dan

menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi.

(Konseling dan Psikoterapi)

69
3. Research, psikologi klinis berorientasi pada

penelitian, melalui pelatihan dan kbiasaan.

Biasanya melibatkan juga profesi lain.

4. Teaching, menjadi staf pengajar, memberikan

sminar, kursus, bimbingan dan lain-lain.

5. Consultation, memberikan nasihat/bimbingan

bagi organisasi mengenai berbagai masalah ---

mengkombinasikan aspek pengajaran,

penelitian, assessment, dan penyembuhan.

6. Administration, keterlibatan dalam

manajemen/kegiatan harian organisasi, karena

kepekaan, keterampilan interpersonal, keahlian

dalam penelitian, dan kemampuan

organisasionalnya.

70
Bidang-bidang Terkait

· Psikopatologi: Ilmu yang mempelajari proses

terjadinya patologi atau kelainan dari proses

kejiwaan.

· Psikologi Medis: penjabaran dari psikologi umum

dan psikologi kepribadian untuk ilmu

kedokteran.

· Psikologi abnormal: ilmu yang mempelajari

perilaku abnormal atau gangguan psikologis dan

klasifikasi berbagai jenis gangguan.

· Kesehatan mental: Ilmu yang mempelajari upaya

mencegah munculnya gangguan mental.

71
BAB II
PSIKOLOGI KLINIS
ANAK/PEDIATRIK

72
A. Definisi

Psikologi anak klinis adalah suatu bidang

keahlian khusus dari psikologi profesional yang

mengintegrasikan prinsip-prinsip dasar psikologi

klinis, psikopatologi perkembangan, dan prinsip-

prinsip perkembangan anak dan keluarga, yang

digunakan untuk melaksanakan penelitian ilmiah

dan memberikan pelayanan psikologis kepada bayi,

anak-anak, dan remaja.

Penelitian dan pelayanan di bidang psikologi

klinis-anak difokuskan pada usaha memahami,

mencegah, dan menangani masalah keluarga,

kognitif, emosional, perkembangan, dan perilaku

anak. Yang sangat penting bagi para psikolog anak

klinis adalah pemahaman tentang kebutuhan

73
psikologis dasar anak dan konteks-konteks sosial

yang memengaruhi perkembangan anak. ( Sunberg,

2007).

Psikologi Pediatrik didefinisikan sebagai

“bidang interdisipliner yang menangani fungsi dan

perkembangan fisik, kognitif, sosial, dan emosional

dalam kaitannya dengan isu-isu kesehatan dan

penyakit pada anak-anak, remaja, dan keluarga”

(masthead [ pokok tulisan ] Journal of Pediatric

Psycology, 2000, vol. 25. hlm. 6; Norman D.

Sunberg, 2007: 256). Bidang keahlian khusus

psikologi pediatrik dikembangkan karena profesi

kedokteran pediatrik dan psikologi anak-klinis

yang sudah ada sebelumnya tidak mampu

memenuhi tantangan dari beberapa masalah anak

74
dalam kerangka-kerangka kerja yang sudah ada (

Roberts dan McNeal, 1995: Norman D. Sunberg,

2007). Psikologi pediatrik dengan paparan awal ke

peran unik psikologi di setting medis.

B. ASPEK PSIKOLOGI ANAK

Tiga aspek primer dalam psikologi anak

(Harper, 1997: Sunberg, 2007) adalah

1. Perspektif perkembangan

2. Pengumpulan data berdasarkan asesmen yang

komprehensif dan berkelanjutan

3. Pendekatan penanganan behavioral

Perkembangan normal dianggap sebagai titik

acuan (reference point) bagi konseptualisasi dan

intervensi klinis, dengan fokus khusus bagaimana

75
masalah medis memengaruhi anak-anak selama

proses perkembangan. Protokol asesmen terstandar

digunakan untuk mengumpulkan informasi

tentang perilaku anak dan sebagai sarana untuk

memantau penanganan. Intervensi behavioral dan

psikososial menjadi pendekatan yang paling efektif

untuk menangani berbagai gangguan terkait medis

pada anak-anak. Menurut Harper (1997) bahwa

psikolog pediatrik harus mempunyai multi

keterampilan di luar satu atau bidang spesialisasi.

C. PENDEKATAN DALAM PSIKOLOGI ANAK

1. Pendekatan Piagetian : Perkembangan Kognitif

Pendekatan Piagetian adalah pendekatan

untuk mempelajari perkembangan kognitif

76
yang mendeskripsikan tahap kualitatif

kefungsian kognitif.

Jean Piaget menggambarkan masa anak-

anak awal sebagai tahap praoperasional

(preoperational stage), yang artinya pada tahap

ini anak belum mampu untuk melakuakn

operasi mental yang logis. Tahap yang

berlangsung selama usia 2-7 tahun ini ditandai

dengan pengembangan pemikiran-pemikiran

simbolis atau kemampuan representasi, selain

itu juga terdapat kemajuan pada pemahaman

identitas, pemahaman sebab-akibat,

kemampuan mengklasifikasikan, pemahaman

terhadap angka, dan empati.

77
Karakterisktik utama dalam pemikiran

praoperasional adalah centration, yaitu

kecenderungan untuk fokus terhadap satu

aspek sehingga mengabaikan aspek-aspek

yang lainnya. Hal tersebut yang kemudian

memunculkan aspek-aspek ketidak matangan

pada pemikiran praoperasional, yaitu

egosentrisme (bentuk pengekspresian

centration), yang menimbulkan kegagalan

memahami konservasi.

Usia 7 tahun, anak memasuki tahap

operasional konkret (concrete operation), yaitu

tahap di mana anak dapat menggunakan

berbagai operasi mental, seperti penalaran dan

pemecahan masalah nyata. Pada tahap ini

78
anak-anak memiliki pemahaman yang lebih

baik dari pada pemahaman anak pada tahap

sebelumnya mengenai konsep ruang, sebab-

akibat, pengelompokan, penalaran induktif dan

deduktif, konservasi, dan angka.

2. Pendekatan Pemrosesan Informasi

:Perkembangan Ingatan

Pendekatan pemrosesan informasi adalah

pendekatan untuk mempelajari perkembangan

kognitif dengan menganalisis proses-proses yang

terlibat dalam pembuatan persepsi dan penerimaan

informasi.

Pada masa kanak-kanak awal, kecepatan,

perhatian dan efisiensi dalam memproses infromasi

meningkat dan dari sini mulai terbentuk ingatan

79
jangka panjang. Berbeda dengan orang dewasa

yang cenderung mengingat inti dari sebuah

kejadian, anak-anak ini lebih cenderung mengingat

detail dari suatu kejadian. Pada tahap ini tidak

mudah bagi anak untuk mengingat sesuatu, kecuali

hidup mereka sampai mereka mengenmbangkan

konsem tentang diri mereka. Partisipasi aktif anak

akan mempengaruhi ketahanan ingatan tersebut,

seperti ketika anak mampu mengunkapkan kembali

ingatan mereka dalam kata-kata, maka mereka

baru akan dapat menyimpannya dalam pikiran.

Anak pada masa kanak-kanak tengah, atau

pada usia sekolah (7 tahun) cenderung untuk

membuat kemajuan dalam memproses dan

mempertahankan informasi. Reaksi dan kecepatan

80
memproses meningkat, yang kemudian mengarah

pada peningkatan jumlah informasi yang bisa

disimpan. Anak pada tahap ini juga lebih

memahami fungsi ingatan dan tahu strategi atau

cara untuk mengingat. Mereka mulai menyadari

tentang pemilihan informasi yang sekiranya

penting untuk diperhatikan dan diingat.

3. Pendekatan Psikometrik

Pendekatan ini adalah pendekatan untuk

mempelajari perkembangan kognitif yang berusaha

mengukur secara kuantitatif faktor yang diduga

mempengaruhi kecerdasan yang dimiliki seseorang,

yang hasilnya akan digunakan untuk

81
memperkitasakan kinerja individu di masa

mendatang.

Alferd Binet dan rekannnya Theodore Simon

adalah pelopor tes psikometrik. Dua tes individu

yang paling sering di gunakan untuk anak pra-

sekolah adalah Stanford-Binet Intelligence Scale

dan Weschler Preschool and Primary Scale of

Intelligence. Sedangkan tes kecerdasan psikometrik

untuk anak usia sekolah yang cukup luas

penggunaannya adalah Otis-Lennon School Abilit

Test untuk test kelompok, dan Weschler

Intelligence Scale for Children untuk tes

perorangan.

82
4. Pendekatan Keseluruhan Bahasa

Pendekatan ini merupakan pendekatan untuk

mengajar membaca yang menekankan pada

penyimpanan dan pengingatan kembali visual dan

penggunaan isyarat kontekstual.

5. Pendekatan Sosial-Kultural

Pendekatan sosial-kultural adalah pendekatan

untuk mempelajari perkembangan kognitif dengan

berfokus pada pengaruh lingkungan, khususnya

orang tua dan pengasuh lainnya. Dimana pada

masa kanak-kanak keluarga masih tetap menjadi

fokus utama dalam kehidupan sosialnya, walaupun

teman-teman mulai menduduki posisi penting.

83
6. Pendekatan Neurosains Kognitif

Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk

mempelajari perkembangan kognitif yang

mengkaitkan fungsi otak dengan proses kognitif.

Dimana pada anak-anak perkembangan yang

terjadi adalah pada usia 5-6 tahun yaitu pada

kematangan wilayah kortikal, yang berhubungan

dengan bahasa.

7. Pendekatan Behaviorisme

Pendekatan yang bertujuan untuk mempelajari

perkembangan kognitif yang berkaitan dengan

mekanisme dasar pembelajaran.

8. Metode Assesmen

84
Asesman klinis merupakan sebuah proses yang

dapat memiliki bentuk berbeda-beda, seperti

wawancara klinis, tes psikologi, observasi perilaku,

dan review arsip merupakan pendekatan-

pendekatan sentral yang digunakan untuk

meengumpulkan informasi yang dibutuhkan untuk

memenuhi tujuan asesmen yang telah digariskan.

9. Metode Wawancara (Terstruktur)

Dalam metode wawancara terstruktur ini

pewawancara telah terlatih menyampaikan

sejumlah pertanyaan. Sebagian besar pertanyaan

tersebut berupa pertanyaan tertutup, seperti :

“Pernahkah Anda mengalami periode yang

berlangsung sehari-hari, dimana Anda merasa

85
depresi nyaris setiap hari ?” pertanyaan tersebut

dapat dijawab dengan ya atau tidak dengan

jawaban yang pendek dan pasti, berlawanan

dengan pertanyaan terbuka, seperti “Bagaimana

perasaan Anda hari ini?” Dengan menerapkan

kriteria yang telah ditetapkan, klinisi dapat

menggunakan jawaban-jawaban untuk

menegakkan diagnosis.

Wawancara terstruktur untuk anak disebut

Diagnostis Interview Shcedule for Children ,

Revised (DISC-R; Schaffer, Schwab-Stone, Fisher,

dan Cohen, 1993). Wawancara tersebut digunakan

untuk memiliki format-format yang paralel untuk

anak dan pengasuh primer untuk dijadikan alat

86
bantu dalam berbagai diagnosis gangguan pada

masa kanak-kanak.

10. Tes Intelegensi

Pengetesan intelegensi banyak dilakukan pada

anak-anak karena masalah retardasi mental atau

kemampuan yang tak lazim sudah nampak pada

awal kehidupan. Stanford Binnet Intelligence Scale.

Tes intelligensi komprehensif pertama adalah yang

diciptakan oleh Alfred Binet, ilmuwan Prancis yang

produktif, akhir abad ke-19 awal abad ke-20.

Stanford Binet edisi ke-4 memiliki empat maksud

sekaligus: diagnosis diferensial retardasi mental

versus diagnosis diferensial Learning Disabilities,

pemahaman tentang mengapa seorang siswa

87
memiliki kesulitan kognitif, pengidentifikasian

siswa berbakat, dan study mengenai perkembangan

keterampilan kognitif individi-individu yang

berumur 2 tahun ke atas (Thorndike, dan kawan-

kawan, 1986; Sundberg, 2007)

Wechsler Intelligence Scales dipublikasikan

pertama oleh David Wechsler pada 1939. Wechsler

Intelligence Scale for Children, Edisi ke-3 (WISC-

III, Wechsler 1998) digunakan pada anak-anak

berumur 6 tahun sampai 17 tahun 11 bulan.

Wechsler Presschool and Primary Scale of

Intelligence (WPPSI-R, Wechsler, 1989) untuk

digunakan pada anak-anak berumur 3 Tahun 7

Bulan sampai 7 Tahun 3 Bulan. Wechsler

Abbreviated Scale of Intelligence (WASI) dan

88
menjadi instrument popular yang diterapkan orang

dewasa dan anak-anak karena

pengadministrasiannya yang mudah dan cepat.

11. Defisit dan Disfungsi Serebral

Defisit dan Disfungsi Serebral mencakup

tugas-tugas seperti copying design from memory

(mengkopi desain dari ingatan), traching a path

between numbers and letters in sequence (melacak

sebuah jalan-jalan kecil diantara angka-angka dan

huruf-huruf yang berurutan), dan reporting shapes

by feeling objects (menyebutkan bentu benda

dengan merasakannya).

12. Tes Prestasi Umum dan Tes Bakat

89
Bagi anak-anak, pengukuran prestasi sekolah

sangat penting dalam memahami school ferrals.

Dalam tes ini yang menonjol adalah Differential

Aptitude Test (DAT). DAT terutama digunakan

untuk konseling oleh anak-anak SMA.

D. METODE PENANGANAN

Pertimbangan-pertimbangan yang diperlukan

dalam mengembangkan definisi tentang

kenormalan dan keabnormalan pada anak menurut

perspektif perkembangan oleh Garber (1984).

Pertimbangan tersebut meliputi :

1) Umur dan Trend terkait-Jenis Kelamin

Dalam mempertimbangkan perilaku anak

tipikal, penting untuk membedakan antara

90
symptom (gejala, masalah tertentu) dan syndrome (

sindroma, pola, atau klaster dari beberapa gejala

yang khas untuk sebuah gangguan).Study-study

epidemiologismemperlihatkan bahwa meskipun

berbagai macam gejala cukup lazim terlihat pada

usia-usia tertentu, tetapi sindroma jauh lebih

jarang terlihat.

Contoh : mimpi buruk yang melibatkan

monster (sebuah gejala) bukan hal yang tidak wajar

bagi anak-anak, dan jika itu muncul tidak akan

dianggap sebagai psikopatologi (Papalia, Olds, dan

Feldman, 1999, Sunberg, 2007)

2) Taraf Fungsi dan Progresi Perkembangan

Perilaku individu bersifat patologis atau tidak,

dapat ditentukan oleh salah satu kriteria, yaitu

91
dengan mempertimbangkan seberapa baik orang

itu menghadapi berbagai tuntunan lingkungannya.

Pada anak-anak, asesmen terhadap taraf fungsi

mereka saat ini dan progresi mereka seiring

perjalanan waktu harus dibandingkan dengan

garis-basal yang diharapkan. Sehingga ketika

melihat taraf fungsi anak saat ini, kita harus

menanyakan apakah hal itu khas untuk anak-anak

yang lebih muda atau lebih tua.

a) Metode Intervensi

Intervensi-intervensi psikologis terjadi di

berbagai macam setting seperti, klinik, rumah sakit

di rumah, atau di sekolah dan menangani berbagai

proses psikologis dan interpersonal untuk

memperbaiki bagaimana cara anak berpikir,

92
merasakan dan bertindak. Psikolog menggunakan

bermacam-macam pendekatan konseptual untuk

menangani anak-anak, termasuk dengan terapi

psikodinamika, behavioral, kognitif, bermain, dan

keluarga, dan bervariasi menurut siapa yang

menerima penanganan (misalnya anak, keluarga),

modalitas penanganannya (misalnya, berbicara,

bermain), dan settingnya (misalnya, klinik,

sekolah). Tabel strategi-strategi intervensi untuk

menangani masalah-masalah perilaku anak :

1. Konteks intervensi Type intervensi

2. Intervensi anak remaja Psikoterapi individual

3. Psikoterapi kelompok

4. Terapi bermain

5. Terapi behavioral dan kognitif behavioral

93
6. Latihan keterampilan

7. Psikofarmakologi

8. Intervensi orang tua Konsultasi

9. Latihan pendidikan

10. Intervensi keluarga Terapi keluarga

11. Dukungan pemberdayaan keluarga

12. Intervensi sekolah dan masyarakat Konsultasi

dengan pelayanan sosial

13. Konsultasi dengan sistem hukum

14. Konsultasi dengan setting medis

Mengidentifikasikan anak-anak yang

membutuhkan penanganan adalah tugas yang

kompleks karena anak-anak jarang merujuk

dirinya sendiri untuk mendapatkan penanganan

dan sering kali tidak mengenali kesulitan perilaku,

94
emosional, atau belajarnya sendiri. Orangtualah

yang biasayna mengetahui masalahnya dan

mengambil keputusan untuk mencari keputusan

dari profesional.

Tetapi untuk anak-anak dan remaja sering di

anggap “de facto family-context therapy” karena

masalah anak harus di tangani dalam konteks

sistem keluarga dan sistem sosial yang lebih besar

(Kazdin dan Weisz, 1998). Konsekuensinya,

gangguan pada anak-anak harus di lihat dalam

kerangka kerja masalah psikopatologi maupun

psikososial orang dan lingkungan dan bukan

mengatribusikan masalahnya pada salah satu

diantara kedua aspek itu (Adelman,1995).

95
b) Isu-Isu Perkembangan

Tantangan bagi psikolog yang berorientasi

klinis adalah mendapatkan pemahaman tentang

bagaimana perkembangan normal menyimpang

dari jalurnya, situasi atau variabel apa saja yang

mempertahankan penyimpangan itu, dan kondisi

apa saja yang memungkinkan untuk kembali ke

jalur normal (Serafica dan wenar, 1996).

Mendukung jalur perkembangan yang sehat dapat

di lakukan dengan mengajarkan ketrampilan

adaptif di bidang-bidang, seperti problem solving,

komunikasi dan interaksi sosial, sambil mendukung

sistem keluarganya.

96
Faktor-faktor perkembangan, seperti umur,

tingkat kognitif, pengalaman masa lalu, dan

pemahaman tentang isu-isu etis dan legal juga

akan memengaruhi bagaimana anak-anak

merespon berbagai kegiatan kesehatan mental

(misalnya, tes psikologis, terapi, penelitian). Ketika

menangani orang dewasa, ada asumsi bahwa

mereka memahami atau melalui penjelasan akan

memahami alasan di balik psikoterapi.

Ada banyak fungsi kognitif dan emosional yang

berubah di sepanjang proses perkembangan dan

dapat memengaruhi penanganan klinis pada anak-

anak. Proses perkembangan bahasa baik reseptif

maupun ekspresif, krusial untuk partisipasi dalam

penanganan. Tingkat berbahasa reseptif akan

97
berdampak pada kemampuan anak dalam

memahami instruksi dan penjelasan dari petugas

kesehatan mental. Kemampuan berbahasa ekspresif

akan memengaruhi bagaiman anak akan

membicarakan tentang pengalamannya sendiri.

98
BAB III
PSIKOLOGI KLINIS
REMAJA

99
A. Definisi

Menurut Hurlock (1981) remaja adalah

mereka yang berada pada usia 12-18 tahun.

Monks, dkk (2000) memberi batasan usia remaja

adalah 12-21 tahun. Menurut Stanley Hall (dalam

Santrock, 2003) usia remaja berada pada rentang

12-23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang

diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya

masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa

remaja sangat bervariasi. Bahkan ada yang dikenal

juga dengan istilah remaja yang diperpanjang, dan

remaja yang diperpendek.

Remaja adalah masa yang penuh dengan

permasalahan. Statemen ini sudah dikemukakan

jauh pada masa lalu yaitu di awal abad ke-20 oleh

100
Bapak Psikologi Remaja yaitu Stanley Hall. Pendapat

Stanley Hall pada saat itu yaitu bahwa masa remaja

merupakan masa badai dan tekanan (storm and

stress) sampai sekarang masih banyak dikutip

orang.

Menurut Erickson masa remaja adalah masa

terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas

diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh James

Marcia yang menemukan bahwa ada empat status

identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/

confussion, moratorium, foreclosure, dan identity

achieved (Santrock, 2003, Papalia, dkk, 2001,

Monks, dkk, 2000, Muss, 1988). Karakteristik

remaja yang sedang berproses untuk mencari

101
identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah

pada diri remaja.

Gunarsa (1989) merangkum beberapa

karakteristik remaja yang dapat menimbulkan

berbagai permasalahan pada diri remaja, yaitu:

1. Kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan

dalam gerakan.

2. Ketidakstabilan emosi.

3. Adanya perasaan kosong akibat perombakan

pandangan dan petunjuk hidup.

4. Adanya sikap menentang dan menantang

orang tua.

5. Pertentangan di dalam dirinya sering menjadi

pangkal penyebab pertentangan-pertentang

dengan orang tua.

102
6. Kegelisahan karena banyak hal diinginkan

tetapi remaja tidak sanggup memenuhi

semuanya.

7. Senang bereksperimentasi.

8. Senang bereksplorasi.

9. Mempunyai banyak fantasi, khayalan, dan

bualan.

10. Kecenderungan membentuk kelompok dan

kecenderungan kegiatan berkelompok.

Berdasarkan tinjauan teori perkembangan, usia

remaja adalah masa saat terjadinya perubahan-

perubahan yang cepat, termasuk perubahan

fundamental dalam aspek kognitif, emosi, sosial dan

pencapaian (Fagan, 2006). Sebagian remaja

mampu mengatasi transisi ini dengan baik, namun

103
beberapa remaja bisa jadi mengalami penurunan

pada kondisi psikis, fisiologis, dan sosial. Beberapa

permasalahan remaja yang muncul biasanya

banyak berhubungan dengan karakteristik yang

ada pada diri remaja. Berikut ini dirangkum

beberapa permasalahan utama yang dialami oleh

remaja.

B. Permasalahan Fisik dan Kesehatan

Permasalahan akibat perubahan fisik banyak

dirasakan oleh remaja awal ketika mereka

mengalami pubertas. Pada remaja yang sudah

selesai masa pubertasnya (remaja tengah dan akhir)

permasalahan fisik yang terjadi berhubungan

dengan ketidakpuasan/ keprihatinan mereka

104
terhadap keadaan fisik yang dimiliki yang biasanya

tidak sesuai dengan fisik ideal yang diinginkan.

Mereka juga sering membandingkan fisiknya

dengan fisik orang lain ataupun idola-idola

mereka. Permasalahan fisik ini sering

mengakibatkan mereka kurang percaya diri. Levine

& Smolak (2002) menyatakan bahwa 40-70%

remaja perempuan merasakan ketidakpuasan pada

dua atau lebih dari bagian tubuhnya, khususnya

pada bagian pinggul, pantat, perut dan paha.

Dalam sebuah penelitian survey pun

ditemukan hampir 80% remaja ini mengalami

ketidakpuasan dengan kondisi fisiknya (Kostanski &

Gullone, 1998). Ketidakpuasan akan diri ini sangat

erat kaitannya dengan distres emosi, pikiran yang

105
berlebihan tentang penampilan, depresi, rendahnya

harga diri, onset merokok, dan perilaku makan

yang maladaptiv (& Shaw, 2003; Stice & Whitenton,

2002). Lebih lanjut, ketidakpuasan akan body

image ini dapat sebagai pertanda awal munculnya

gangguan makan seperti anoreksia atau bulimia

(Polivy & Herman, 1999; Thompson et al).

Dalam masalah kesehatan tidak banyak remaja

yang mengalami sakit kronis. Problem yang banyak

terjadi adalah kurang tidur, gangguan makan,

maupun penggunaan obat-obatan terlarang.

Beberapa kecelakaan, bahkan kematian pada

remaja penyebab terbesar adalah karakteristik

mereka yang suka bereksperimentasi dan

berskplorasi.

106
C. Permasalahan Alkohol dan Obat-Obatan

Terlarang

Penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang

akhir-akhir ini sudah sangat memprihatinkan.

Walaupun usaha untuk menghentikan sudah

digalakkan tetapi kasus-kasus penggunaan narkoba

ini sepertinya tidak berkurang. Ada kekhasan

mengapa remaja menggunakan narkoba/ napza

yang kemungkinan alasan mereka menggunakan

berbeda dengan alasan yang terjadi pada orang

dewasa. Santrock (2003) menemukan beberapa

alasan mengapa remaja mengkonsumsi narkoba

yaitu karena ingin tahu, untuk meningkatkan rasa

percaya diri, solidaritas, adaptasi dengan

lingkungan, maupun untuk kompensasi.

107
 Pengaruh sosial dan interpersonal: termasuk

kurangnya kehangatan dari orang tua,

supervisi, kontrol dan dorongan. Penilaian

negatif dari orang tua, ketegangan di rumah,

perceraian dan perpisahan orang tua.

 Pengaruh budaya dan tata krama: memandang

penggunaan alkohol dan obat-obatan sebagai

simbol penolakan atas standar konvensional,

berorientasi pada tujuan jangka pendek dan

kepuasan hedonis, dll.

 Pengaruh interpersonal: termasuk kepribadian

yang temperamental, agresif, orang yang

memiliki lokus kontrol eksternal, rendahnya

harga diri, kemampuan koping yang buruk, dll.

 Cinta dan Hubungan Heteroseksual

108
 Permasalahan Seksual

 Hubungan Remaja dengan Kedua Orang Tua

 Permasalahan Moral, Nilai, dan Agama

Lain halnya dengan pendapat Smith &

Anderson (dalam Fagan,2006), menurutnya

kebanyakan remaja melakukan perilaku berisiko

dianggap sebagai bagian dari proses perkembangan

yang normal. Perilaku berisiko yang paling sering

dilakukan oleh remaja adalah penggunaan rokok,

alkohol dan narkoba (Rey, 2002). Tiga jenis

pengaruh yang memungkinkan munculnya

penggunaan alkohol dan narkoba pada remaja:

Salah satu akibat dari berfungsinya hormon

gonadotrofik yang diproduksi oleh kelenjar

hypothalamus adalah munculnya perasaan saling

109
tertarik antara remaja pria dan wanita. Perasaan

tertarik ini bisa meningkat pada perasaan yang

lebih tinggi yaitu cinta romantis (romantic love)

yaitu luapan hasrat kepada seseorang atau orang

yang sering menyebutnya “jatuh cinta”.

Santrock (2003) mengatakan bahwa cinta

romatis menandai kehidupan percintaan para

remaja dan juga merupakan hal yang penting bagi

para siswa. Cinta romantis meliputi sekumpulan

emosi yang saling bercampur seperti rasa takut,

marah, hasrat seksual, kesenangan dan rasa

cemburu. Tidak semua emosi ini positif. Dalam

suatu penelitian yang dilakukan oleh Bercheid & Fei

ditemukan bahwa cinta romantis merupakan salah

satu penyebab seseorang mengalami depresi

110
dibandingkan dengan permasalahan dengan

teman.

Tipe cinta yang lain adalah cinta kasih sayang

(affectionate love) atau yang sering disebut cinta

kebersamaan yaitu saat muncul keinginan individu

untuk memiliki individu lain secara dekat dan

mendalam, dan memberikan kasih sayang untuk

orang tersebut. Cinta kasih sayang ini lebih

menandai masa percintaan orang dewasa daripada

percintaan remaja.

Dengan telah matangnya organ-organ seksual

pada remaja maka akan mengakibatkan

munculnya dorongan-dorongan seksual. Problem

tentang seksual pada remaja adalah berkisar

masalah bagaimana mengendalikan dorongan

111
seksual, konflik antara mana yang boleh dilakukan

dan mana yang tidak boleh dilakukan, adanya

“ketidaknormalan” yang dialaminya berkaitan

dengan organ-organ reproduksinya, pelecehan

seksual, homoseksual, kehamilan dan aborsi, dan

sebagainya (Santrock, 2003, Hurlock, 1991).

Di antara perubahan-perubahan yang terjadi

pada masa remaja yang dapat mempengaruhi

hubungan orang tua dengan remaja adalah :

pubertas, penalaran logis yang berkembang,

pemikiran idealis yang meningkat, harapan yang

tidak tercapai, perubahan di sekolah, teman sebaya,

persahabatan, pacaran, dan pergaulan menuju

kebebasan.

112
Beberapa konflik yang biasa terjadi antara

remaja dengan orang tua hanya berkisar masalah

kehidupan sehari-hari seperti jam pulang ke

rumah, cara berpakaian, merapikan kamar tidur.

Konflik-konflik seperti ini jarang menimbulkan

dilema utama dibandingkan dengan penggunaan

obat-obatan terlarang maupun kenakalan remaja.

Beberapa remaja juga mengeluhkan cara-cara

orang tua memperlakukan mereka yang otoriter,

atau sikap-sikap orang tua yang terlalu kaku atau

tidak memahami kepentingan remaja.

D. PENANGANAN

Akhir-akhir ini banyak orang tua maupun

pendidik yang merasa khawatir bahwa anak-anak

113
mereka terutama remaja mengalami degradasi

moral. Sementara remaja sendiri juga sering

dihadapkan pada dilema-dilema moral sehingga

remaja merasa bingung terhadap keputusan-

keputusan moral yang harus diambilnya.

Walaupun di dalam keluarga mereka sudah

ditanamkan nilai-nilai, tetapi remaja akan merasa

bingung ketika menghadapi kenyataan ternyata

nilai-nilai tersebut sangat berbeda dengan nilai-

nilai yang dihadapi bersama teman-temannya

maupun di lingkungan yang berbeda.

Pengawasan terhadap tingkah laku oleh orang

dewasa sudah sulit dilakukan terhadap remaja

karena lingkungan remaja sudah sangat luas.

Pengasahan terhadap hati nurani sebagai

114
pengendali internal perilaku remaja menjadi sangat

penting agar remaja bisa mengendalikan

perilakunya sendiri ketika tidak ada orang tua

maupun guru dan segera menyadari serta

memperbaiki diri ketika dia berbuat salah.

Dari beberapa bukti dan fakta tentang remaja,

karakteristik dan permasalahan yang

menyertainya, semoga dapat menjadi wacana bagi

orang tua untuk lebih memahami karakteristik

anak remaja mereka dan perubahan perilaku

mereka. Perilaku mereka kini tentunya berbeda

dari masa kanak-kanak. Hal ini terkadang yang

menjadi stressor tersendiri bagi orang tua. Oleh

karenanya, butuh tenaga dan kesabaran ekstra

115
untuk benar-benar mempersiapkan remaja kita

kelak menghadapi masa dewasanya.

116
BAB IV
PSIKOLOGI klinis
DEWASA

117
A. Definisi

Pengertian kedewasaan sebagai susatu fase

dalam perkembangan dipandang dari beberapa

segi sebetulnya kurang tepat. Dewasa dalam bahasa

Belanda adalah “volwassen” vol = penuh dan

wassen = tumbuh, sehingga volwassen berarti

sudah tumbuh dengan penuh atau selesai tumbuh.

Istilah “dewasa” berasal dari kata latin yaitu

adults yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan

dan ukuran yang sempurna atau telah menjadi

dewasa. Oleh karena itu, orang dewasa adalah

individu yang telah menyelesaikan

pertumbuhannya dan telah siap menerima

kedudukan dalam masyarakat bersamaan dengan

orang dewasa lainnya. Jadi psikologi

118
perkembangan fase dewasa yaitu salah satu bidang

psikolog yang memfokuskan pembahasannya

mengenai perubahan tingkah laku dan proses

perkembangan pada fase dewasa.

Di Indonesia batas kedewasaan adalah 21

tahun. Hal ini berarti bahwa pada usia itu

seseorang sudah dianggap sudah mempunyai

tanggung jawab terhadap perbuatan-

perbuatannya. Ia mendapat hak-hak tertentu

sebagai orang dewasa, misalnya hak untuk memilh

Dewan Perwakilan Rakyat, dapat nikah tanpa wali

dan sebagainya.

Jadi peraturan hukum tadi hanya untuk

menetapkan hal-hal yang diperoleh seorang warga

negara dalam suatu masyarakat. Dengan begitu

119
maka istilah kedewasaan lebih menunjuk pada

suatu pengertian sosiologis daripada

perkembanagan sosiologisnya. Dapat pula

dikatakan bahwa tugas-tugas perkembangaan pada

massa ini ditentukan oleh masyarakat yaitu kawin,

membangun suatu keluarga, mendidik anak,

memikul tanggung jawab sebagai warga negara,

membuat hubungan dengan suatu kelompok sosial

tertentu, dan melakukan suatu pekerjaan.

B. Karakteristik Perkembangan pada Fase Dewasa

Setiap kebudayaan memuat pembedaan usia

kapan seseorang mencapai status dewasa secara

resmi. Masa dewasa dapat dikatakan sebagai masa

yang paling lama dalam rentang hidup. Selama

120
masa yang panjang ini, perubahan fisik dan

psikologis terjadi pada waktu-waktu yang dapat

diramalkan yang menimbulkan masalah-masalah

penyesuaian diri, tekanan-tekanan, serta harapan-

harapan. Saat terjadinya peubahan-perubahan fisik

dan psikis tertentu, masa dewasa biasanya dibagi

menjadi tiga periode yang menunjuk pada

perubahan-perubahan tersebut. Yaitu :

1. Masa Dewasa Dini (Dewasa Awal)

Masa dewasa dini merupakan periode

penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan

baru dan harapan-harapan baru. Periode ini secara

umum berusia sekitar 18-25 dan berakhir sekitar

35-40 tahun. Dewasa dini, memiliki ciri-ciri yaitu :

121
a) Kognitif : masa dewasa produktifitasnya tinggi

dan pemikiran pada masa dewasa cenderung

tampak fleksibel, terbuka, adaptif, dan

individualistis. Hal tersebut didasarkan kepada

intuisi dan emosi serta logika untuk membantu

orang-orang menghadapi dunia yang tampak

kaotis ini.

b) Emosional : kecerdasan emosional bisa jadi

memainkan peran dalam kemampuan

mendapatkan dan menggunakan pengetahuan

implisit. Stabilitas emosi masih mengalami naik

turun, namun tetap terkontrol dan cenderung

mengarah ke titik keseimbangan dan bisa

menerima tanggung jawab.

122
c) Bahasa : orang yang menginjak masa dewasa

awal akan lebih anggun dalam bertutur kata,

menggunakan bahasa yang tepat seuai dengan

lawan bicaranya. keterampilan berbahasa lebih

dikuasai dan lebih supel serta mudah

berkomunikasi dengan orang lain.

d) Sosial : masa dewasa ini biasanya akan lebih

supel dalam berteman namun seringkali

kondisi mereka seringkali mengubah cara

berteman kerah kelompok-kelompok.

e) Moral : masa dewasa dini selalu memiliki

keinginan untuk bisa mengikuti nilai-nilai adat

istiadat yang berlaku.

f) Spiritual : pada tahap ini mulai muncul sintesis

kepercayaan dan tanggung jawab individual

123
terhadap kepercayaan tersebut. Pengalaman

personal pada tahap ini memainkan peranan

penting dalam kepercayaan seseorang.

g) Motorik : pada usia ini, orang memiliki

kecepatan respon yang maksimal dan mereka

dapat menggunakan kemampuan ini dalam

situasi tertentu dan lebih luas.

h) Peran jenis kelamin : golongan dewasa muda

semakin memiliki kematangan fisiologis

(seksual) sehingga mereka siap melakukan

tugas reproduksi, yaitu mampu melakukan

hubungan seksual dengan lawan jenisnya. Dia

mencari pasangan untuk bisa menyalurkan

kebutuhan biologis.

124
2. Masa Dewasa Madya (Dewasa Pertengahan)

Usia madya berusia sekitar 35-40 tahun &

berakhir sekitar 60 tahun. Masa tersebut pada

akhirnya ditandai dengan adanya perubahan-

perubahan jasmani dan mental. Pada usia 60 tahun

biasanya terjadi penurunan kekuatan fisik, sering

pula diiringi oleh penurunan daya ingat. Usia

madya merupakan periode yang panjang dalam

rentang kehidupan manusia, biasanya usia tersebut

dibagi dalam dua sub bagian, yaitu: (1) Usia madya

dini dari usia sekitar 35-50 tahun, dan (2) Usia

madya lanjut dari 50-60 tahun. Pada periode usia

madya lanjut, perubahan fisik dan psikologis

menjadi lebih kelihatan. Ciri- ciri dari masa dewasa

madya yaitu:

125
a) Kognitif : secara kognitif, orang-orang paruh

bayah sedang berada dalam kondisi puncak.

Para periset menyimpulkan “tidak adanya

pola umum perubahan yang berkaitan

dengan usia bagi semua kemampuan

intelektual”. Walaupun penurunan konsisten

kemampuan perseptual telah dimulai sejak

25 tahun, dan kemampuan numerik mulai

menurun pada usia sekitar 40 tahun,

performa puncak dalam empat dari enam

keterampilan, penalaran induktif, orientasi

spasial, kosakata, dan memori verbal terjadi

sekitar pertengahan masa paruh bayah.

b) Emosional : stabilitas emosionalnya sudah

seimbang. Dewasa tengah mengatur diri

126
mereka sendiri, dan mereka cenderung

memilih atau membentuk lingkungan yang

sesuai dengan kebutuhan mereka dan

membuat mereka merasa nyaman.

c) Bahasa : usia madya ini mengalami

kemunduran dalam segi bahasa setelah

mengalami puncaknya. Kosa kata tinggi yang

dulu pernah dimengerti, kini sedikit demi

sedikit mulai terlupakan akibat faktor

kemunduran ingatan. keterampilan

berbahasa lebih sopan, agak bijak dan lebih

dewasa.

d) Sosial : Masa dewasa madya awal biasanya

lebih fokus pada kegiatannya masing-

masing, berteman dengan kelompok telah

127
mereka bina, namun pada akhir masa madya

perubahan respon sosial mulai naik, lebih

giat bermasyarakat dan mengenal tetangga.

e) Moral : masa dewasa ini selalu memiliki

keinginan untuk bisa mengikuti dan

menghargai adat istiadat yang berlaku dan

daya tarik kearah religi mulai terlihat apalagi

diusia madya akhir.

f) Spiritual : Tahap ini ditandai dengan

perasaan terintegrasi dengan simbol-simbol,

ritual-ritual dan keyakinan agama. Dalam

tahap ini seseorang juga lebih terbuka

terhadap pandangan-pandangan yang

paradoks dan bertentangan, yang berasal dari

128
kesadaran akan keterbatasan dan pembatasan

seseorang.

g) Motorik : memiliki kecepatan respon yang

baik, tetapi diakhir usia dewasa madya

kecepatan respon mengalami penurunan.

h) Peran jenis kelamin : pria paruh baya lebih

terbuka tentang perasaanya, lebih tertarik

kepada relasi intim, dan lebih mengayomi

(karakteristik yang secara tradisional dilabeli

feminin) dibandingkan usia sebelumnya.

Sedangkan wanita paruh baya lebih asertif,

percaya diri, dan berorientasi pada prestasi

(karakteristik yang secara tradisional dilabeli

maskulin).

129
3. Masa Dewasa Akhir

Usia lanjut ditandai dengan perubahan fisik

dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut

menentukan apakah pria atau wanita usia lanjut

akan melakuan penyesuaian diri secara baik atau

buruk. Akan tetapi, ciri-ciri usia lanjut cendrung

menuju dan membawa penyesuaian diri yang

buruk daripada yang baik dan kepada

kesengsaraan dari pada kebahagiaan. Ciri-ciri usia

lanjut yaitu:

Kognitif : Studi Longitudinal Seattle

menemukan bahwa fungsi kognitif pada lansia

sangat bervariasi. Sedikit orang yang menurun

kemampuan pada semua atau sebagaian besar

bidang, dan banyak orang mehningkat pada

130
bidang tertentu. Pada usia dewasa akhir

meskipun adanya penurunan dalam bidang

kognitifnya mereka masih bisa menunjukkan

performanya dengan adanya pelatihan-

pelatihan.

Emosional : para lansia dapat mengontrol

emosi dengan lebih baik. Dalam menangani

sebuah masalah lansia lebih bijaksana yaitu

dengan memilih strategi pengaturan emosi

cenderung menarik diri pada posisi melihat

suatu kejadian dari segi positifnya.

Bahasa : usia dewasa akhir dari segi bahasa

juga mengalami kemunduran dengan ditandai

pelafalan kosa kata yang kurang jelas. Hal ini

131
dikarenakan telah menanggalnya beberapa

gigi yang membuat artikulasi kurang jelas.

Sosial : dengan semakin lanjut usia seseorang

secara berangsur-angsur ia mulai melepaskan

diri dari kehidupan sosialnya karena berbagai

keterbatasan yang dimilikinya. Pada usia ini

justru lebih membutuhkan perhatian yang

lebih dari keluarga terdekat untuk menguatkan

diri meskipun mulai terjauh dari lingkungan

masyarakat.

Moral : usia dewasa akhir lebih cenderung

tidak perduli lagi dengan norma-norma atau

aturan–aturan yang ada di lingkungan

tersebut. Hal ini dikarenakan banyaknya

132
terjadi kemunduran dalam fisiknya yang

berakibat berdampak pada moralnya.

Spiritual : Perkembangan agama pada masa ini

ditandai dengan munculnya sistem

kepercayaan transcendental untuk mencapai

perasaan ketuhanan, serta adanya

desentransasi diri dan pengosongan diri.

Peristiwa-peristiwa konflik tidak selamanya

dipandang sebagai paradoks, sebaliknya, pada

tahap ini orang mulai berusaha mencari

kebenaran universal. Dalam proses pencarian

kebenaran ini, seseorang akan menerima

banyak kebenaran dari banyak titik pandang

yang berbeda serta berusaha menyelaraskan

perspektifnya sendiri dengan perspektif orang

133
lain yang masuk dalam jangkauan universal

yang paling luas.

Motorik : kelenturan otot-otot tangan bagian

depan dan otot-otot yang menopang tegaknya

tubuh , Penurunan kecepatan dalam bergerak

mulai melemah, Kekuatan orang usia lanjut

cendrung menjadi canggung dan kagok.

Peran jenis kelamin : lansia wanita cenderung

leih tinggi untuk hidup sendiri dibandingkan

lansia pria. Lansia lebih menikmati

menghabiskan waktu bersama teman daripada

bersama keluarga, akan tetapi keluarga

merupakan sumber dukungan emosional

utama. Di negara berkembang, para lansia

biasanya tinggal bersama anak cucu. Di negara

134
maju mayoritas lansia tinggal bersama

pasangan.

C. Cara Penanganan

1. Suasana Terapi

Dasar semua pengobatan adalah suasana terapi

yang diciptakan oleh dokter bersama pasiennya.

dan yang memegang peranan penting dalam hal ini

adalah hubungan antara pasien dan dokter. selama

pasien masih tetap merupakan manusia yang

holistic, masih berperasaan, masih bisa merasakan

emosi, mempunyai cinta-kasih, ia harus dihadapi

pula oleh seorang manusia yang lain, yaitu seorang

pengobat atau dokter yang mempunyai emosi juga.

135
Hubungan ini sangat berbeda sekai antara

mesin dan ahli tehnik,atau robot dengan komputer.

Dalam suasana terapi ini, faktor sugesti dan

persuasi, serta keyakinan dan kepercayaan pada

sang pengobat sampai sekarang masih merupakan

faktor yang penting yang bersifat empatik tanpa

perasaan sentimental atau simpati yang berlebihan.

Penderitaan dapat menimbulkan perilaku yang

sifatnya dipengaruhi oleh berbagai faktor , yang

penting ialah:

o Asal genetic orang tersebut;

o Persepsi masa kecil tentang penderitaan;

o Pengalaman tentang rasa sakit dan nyeri;

o Keadaan hidup sekarang;

136
o Keinginan dan harapannya untuk masa

depan;

Dengan memerhatikan faktor-faktor diatas, dokter

akan lebih menilai hakiki perilaku pasiennya,

sehingga pendekatannya terhadap pasien itu akan

lebih membantu suasana terapi.

2. Terapi Dalam Psikiatri

Pengobatan dalam psikiatri pada umumnya

dapat dibagi menjadi tiga golongan besar,yaitu:

a) Somatoterapi

Sasaran utama pengobatan ini adalah tubuh

manusia dengan harapan bahwa pasien itu

akan sembuh karena reaksinya secara holistik.

Somatoterpi secara umum dapat dibagi

137
menjadi : farmakologi, pembadahan dan

fisioterapi. Selanjutnya yang dipakai dalam

bidang ilmu kedoteran jiwa, yaitu:

 Electro Convulsive Therapy (ECT)

ECT merupakan bentuk terapi kepada klien

dengan menimbulkan kenjang dengan cara

mengalirkan arus listrik melalui electrode yang

ditempelkan pada pelipis klien untuk

memberikan rangsangan elektrik secara

eksternal untuk terapi gangguan jiwa

tertentu.ECT membangkitkan efek pada

hipotalamus didaerah limbic yang

mengakibatkan mood pasien.

Alat dalam penggunaan ECT berupa

elektrokonvulsator. Pada terapi umumnya

138
penggunaan alat tersebut berkisar 100-150

volt selama 2-3 detik terjadi konvulsi. Bila

tidak terjadi maka langsung diulang dengan

voltase yang sama atau lebih tinggi dan dapat

diulang sampai tiga kali.

Indikasi dalam penggunaan ECT adalah untuk

depresi yang resistant dengan obat,

kecenderungan bunuh diri, menolak makan

dan minum, kehamilan, skizofrenia katakonik,

skizofrenia bentuk akut, paranoid, Efek

samping dalam penggunaan terapi ECT adalah

robekan otot, sakit kepala, demensia, delirium,

amnesia retrograde, dll.

 Terapi Kejutan Insulin (Insulin Shock

Therapy).

139
Pada tahun 1933, M.J Sakel dia menggunakan

insulin dalam merawat orang yang kecanduan

morfin. Keadaan koma yang terjadi secara

kebetulan dan tidak disengaja yang timbulkan

oleh insulin ternyata berpengaruh baik pada

kepribadian. Terapi ini menjadi salah satu

bentuk somatoterapi yang sangat penting

untuk skizofrenia. Dalam terapi ini psikiater

memberikan pasien dosis insulin yang setiap

harinya semakin bertambah sampai pada kadar

dosis tertentu yang diperlukan untuk

menimbulkan keadaan kejutan. Psikiater

berpendapat bahwa peran utama dari bentuk-

bentuk somatoterapi, misalnya kejutan insulin

dan obat-obat penenang adalah untuk

140
membuat pasien lebih mudah diberi

psikoterapi.

 Pengobatan psikotropik (Terapi

Farmakologi)

Sesudah menciptakan suasana terapi, maka

dalam suasana inilah dokter itu melakukan

sesuatu yang menurut si sakit dapat

menolongnya. Bila diberi obat, maka pengaruh

obat tidak terlepas pula dari suasana terapi itu,

sehingga efek placebo dapat setinggi 30%-

50%, bukan saja obat psikotoropik, tetapi juga

dari umpamanya obat antihipertensi, anti-

diabetes, anti-kholesterol. Obat dapat juga

dipergunakan sebagai alat untuk memelihara

hubungan pasien-dokter , sebagai jembatan

141
dalam hubungan pasien dan dokter supaya

tidak terputus .

Kita melihat bahwa farmakoterapi atau

terapi dengan pemberian obat merupakan

hanya salah satu cara terapi di antara banyak

cara lain. Penggunaan obat psikotropik

ataupun psikofarmakoterapi merupakan

bidang yang lebih kecil lagi dari lapangan

pengobatan yang begitu luas .adapun dalam

psikiatri yang mempelajari serta memakai obat

psikotropik dinamakan farmakopsikiatri.

Obat psikotropik adalah obat yang

mempunyai efek terapetik pada proses mental

pasien karena efeknya pada otak . akan tetapi

kita harus ingat bahwa gangguan mental itu

142
disebabkan oleh suatu masalah psikologik

ataupun social , maka tidak ada satupun obat

yang dapat menyelesaikan persoalan tersebut ,

kecuali diri sendiri dan dokter serta obat hanya

sebagai fasilitator yang membantu kea rah

penyelesaian atau kea rah penyesuaian diri

yang lebih baik .

Pembagian obat psikotropik.

I. Tranquilazer, mempunyai efek anti-

cemas, anti-tegang dan anti-agitasi

II. Neroleptika, mempunyai efek

antipsikosa dan antiskizofrenia, serta

juga efek anti-cemas, anti-tegang.

III. Antidepresant, mempunyai efek

antidepresi dan anti-cemas dan tegang

143
serta efek aktivasi dan efek

menghilangkan hambatan.

IV. Psikotomimetika, dapat menimbulkan

gejala-gejala psikosa, tetapi reversible,

umpamanya meskalin dan LSD (tidak

akan dibicarakan disini karena tidak

dipakai buat pengobatan, tetapi dipakai

untuk penelitian gejala-gejala psikosa).

b) Terapi Psiko-edukatif

 Psikoterapi (Terapi Psikologi)

Psikoterapi (psychotherapy) adalah pengobatan

alam pikiran atau dapat dikatakan sebagai

pengobatan dan perawatan gangguan psikis

melalui metode psikologis. Istilah ini mencakup

144
berbagai teknik yang bertujuan untuk membantu

individu dalam mengatasi gangguan emosionalnya,

dengan cara memodifikasi perilaku, pikiran, dan

emosinya, sehingga individu tersebut mampu

mengembangkan dirinya dalam mengatasi masalah

psikisnya.

Psikoterapi juga merupakan suatu interaksi

sistematis antara klien dan terapis yang

menggunakan prinsip-psinsip psikologis untuk

membantu menghasilkan perubahan dalam

tingkah laku, pikiran dan perasaan klien supaya

membantu klien mengatasi tingkah laku abnormal

dan memecahkan masalah-masalah dalam hidup

atau berkembang sebagai seorang individu.

Psikoterapis menggunakan prinsip-prinsip

145
penelitian, dan teori-teori psikologis serta

menyusun interaksi teraupetik. Psikoterapi

biasanya digunakan dalam terapi psikiatri pada

orang-orang yang mengalami masalah-masalah

tingkah laku yang abnormal, seperti gangguan

suasana hati, gangguan penyesuaian diri, gangguan

kecemasan atau skizofrenia. Untuk beberapa

gangguan ini, terutama gangguan bipolar dan

skizofrenia, terapi biologis umumnya memegang

peranan utama dalam perawatan. Meskipun

demikian, selain perawatan biologis, psikoterapi

membantu pasien belajar tentang dirinya sendiri

dan memperoleh keterampilan-keterampilan yang

akan memudahkannya menanggulangi tantangan

hidup dengan lebih baik.

146
 Behavioral Therapy (Terapi Perilaku)

Suatu terapi yang berfokus untuk memodifikasi

atau mengubah perilaku. Seperangkat perilaku atau

respon yang dilakukan dalam suatu lingkungan

dan menghasilkan konsekuensi-konsekuensi

tertentu. Terapi perilaku berusaha menghilangkan

masalah perilaku khusus secepat-cepatnya dengan

mengawasi perilaku belajar si pasien. Operan

conditioning adalah modifikasi perilaku yang

dipertajam atau ditingkatkan frekuensi terjadinya

melalui pemberian reinforcement. Lingkungan

sosial digunakan untuk membantu seseorang dalam

meningkatkan kontrol terhadap perilaku yg

berlebihan atau berkurang (Murray & Wilson).

147
Indikasi utama dari terapi perilaku ialah

gangguan fobik dan perilaku kompulsif, disfungsi

sexual (misalnya: impotensi dan frigiditas) dan

deviasi sexual (misalnya: exhibisionisme). Dapat

dicoba pada pikiran-pikiran obsesif, gangguan

kebiasaan atau pengawasan impuls (misalnya

gagap, enuresis, dan berjudio secara kompulsif),

gangguan nafsu makan (obesitas dan anorexia) dan

reaksi konversi. Terapi perilaku tidak berguna pada

skizofrenia akut, depresi yang hebat dan (hipo)

mania.

Perkembangan Terapi Perilaku

 Dialectical Behavior Therapy (DBT)

DBT telah berhasil digunakan pada pasien

dengan gangguan kepribadian ambang.

148
Terapi ini bersifat selektif, dan mengambil

metode dari terapi suportif, kognitif dan

perilaku. Fungsi DBT adalah :

1. Meningkatkan dan memperluas daftar

pola perilaku terlatih pasien

2. Meningkatkan matovasi pasien untuk

berubah dengan mengurangi dorongan

pada perilaku maladaptif, termasuk

disfungsi (kognisi dan emosi).

3. Meyakinkan bahwa pola perilaku baru

dikembangkan dari lingkungan

terapeutik ke lingkungan alami.

4. Membuat struktur lingkungan

sedemikian rupa sehinggaperilaku efektif

149
bukannya perilaku disfungsi yang

didorong

5. Meningkatkan motivasi dan kemampuan

terapis sehingga diperoleh terapi efektif.

 Terapi Kognitif-Perilaku (Cognitive

Behavioural Therapy)

Terapi kognitif-perilaku (sering disingkat CBT)

menampilkan usaha yang relatif baru untuk

menyatukan aspek terapi perilaku yang berguna

dengan terapi kognitif dan memiliki tujuan utama

membantu pasien mendapatkan perubahan yang

mereka harapkan dalam kehidupannya. Asumsi

dasar yang melatarbelakangi terapi-kognitif

perilaku meliputi:

150
a. Respons pasien lebih berdasarkan kepada

interpretasi ketimbang pada realitasnya.

b. Pikiran, perilaku, dan emosi saling terkait.

c. Tindakan terapeutik perlu diklarifikasi dan

diubah menurut pikiran pasien

d. Manfaat perubahan proses kognitif dan

perilaku pasien lebih besar daripada manfaat

perubahan salah satunya saja.

c) Sosioterapi

 Terapi Lingkungan

Terapi lingkungan adalah pengobatan

gangguan mental atau ketidakmampuan

menyesuaikan diri dengan melakukan perubahan

substansial dalam keadaan langsung pasien

151
kehidupan dan lingkungan dengan cara yang akan

meningkatkan efektivitas bentuk lain dari terapi.

Tujuan terapi lingkungan adalah untuk

memanipulasi lingkungan sehingga semua aspek

pengalaman rumah sakit klien dianggap terapeutik.

Konsep terapi lingkungan dikembangkan dari

keinginan untuk melawan efek negatif regresif

institusionalisasi: mengurangi kemampuan untuk

berpikir dan bertindak secara independen, adopsi

nilai-nilai kelembagaan dan sikap, dan hilangnya

komitmen di dunia luar. Terapi lingkungan dalam

pengobatan yang dilakukan pasien melibatkan baik

keluarga dan lingkungan tempat tinggal pasien

agar dapat membantu menciptakan lingkungan

152
yang kondusif untuk perkembangan proses

pengobatan pasien.

 Terapi Keluarga

Terapi keluarga adalah model terapi yang

bertujuan mengubah pola interaksi keluarga

sehingga bisa membenahi masalah-masalah dalam

keluarga (Gurman, Kniskern & Pinsof, 1986).

Terapi keluarga muncul dari observasi bahwa

masalah-masalah yang ada pada terapi individual

mempunyai konsekwensi dan konteks social.Tujuan

pertama adalah menemukan bahwa masalah yang

ada berhubungan dengan keluarganya, kemudian

dengan jalan apa dan bagaimana anggota keluarga

tersebut ikut berpartisipasi. Ini dibutuhkan untuk

menemukan siapa yang sebenarnya terlibat,

153
karenanya perlu bergabung dalam sesi keluarga

dalam terapi ini, juga memungkinkan apabila

diikutsertakan tetangga, nenek serta kakek, atau

keluarga dekat yang berpengaruh.

154
BAB V
PSIKOLOGI klinis
LANSIA

155
A. Definisi

Dengan semakin besar proporsi populasi

orang-orang lanjut usia (lansia) beserta

heterogenitas, pengalaman hidup yang kompleks,

dan perubahan demografis dalam populasi, penting

bagi professional kesehatan mental untuk bersiap-

siap mengakses dan menagngani klien-klien lansia.

Terlepas dari kecenderungan untuk memandang

lansia sebagai populasi yang homogen dilihat dari

nilai-nilai, motif, status social psikologis serta

perilakunya, penelitian menunjukkan bahwa lansia

adalah populasi yang sangat beragam dan

heterogen (Jackson, Chatter, dan Taylor, 1993;

Williams, Lavizzo-Mourey, dan Warren, 1994).

Mereka memiliki karakteristik-karakteristik yang

156
sama dan yang berbeda dengan kelompok-

kelompok usia lainnya.

Dalam mengonseptualisasikan penuaan,

pembedaan yang berfaedah adalah dengan

membedakan antara the young-old dan the oldest-

old (Berger dan Thompson, 1998). Istilah oldest-old

mengacu pada orang-orang yang berumur 85

tahun keatas. Tetapi, sebagian peneliti khawatir

apabila pembedaan itu dapat menjadikan

pensetereotipan terhadap kelompok the oldest-old

(Binstock, 1992). Ini poin yang penting karena

umur kronologis bukan satu-satunya faktor yang

menentukan bagaimana orang menyesuaikan diri

terhadap penuaannya. Keadaan pikiran, kebiasaan

terkait kesehatan, dan pandangan social dan

157
psikologis secara umum tentang hidup juga

menentukan penyesuaian terhadap penuaan. Di

Amerika jumlah penduduk berusia 65 tahun atau

lebih deperkirakan akan meningkat dari 35 juta

pada tahun 2000 menjadi 78 juta pada tahun

2050, peningkatan jumlah tertinggi dibandingkah

kelompok usia lain. Di seluruh dunia jumlah

individu berusia di atas 65 tahun mencapai 750

juta pada tahun 2050.

Menurut Bernice Neugarten (1968) James C.

Chalhoun (1995) masa tua adalah suatu masa

dimana orang dapat merasa puas dengan

keberhasilannya. Tetapi bagi orang lain, periode ini

adalah permulaan kemunduran. Usia tua

dipandang sebagai masa kemunduran, masa

158
kelemahan manusiawi dan sosial sangat tersebar

luas dewasa ini. Pandangan ini tidak

memperhitungkan bahwa kelompok lanjut usia

bukanlah kelompok orang yang homogen. Usia tua

dialami dengan cara yang berbeda-beda. Ada orang

berusia lanjut yang mampu melihat arti penting

usia tua dalam konteks eksistensi manusia, yaitu

sebagai masa hidup yang memberi mereka

kesempatan-kesempatan untuk tumbuh

berkembang dan bertekad berbakti. Ada juga lanjut

usia yang memandang usia tua dengan sikap-sikap

yang berkisar antara kepasrahan yang pasif dan

pemberontakan, penolakan, dan keputusasaan.

Lansia ini menjadi terkunci dalam diri mereka

159
sendiri dan dengan demikian semakin cepat proses

kemerosotan jasmani dan mental mereka sendiri.

B. Profisensi Di Bidang Geropsikologi

Tren dalam penggunaan pelayanan psikologis

oleh lansia telah mengalami perubahan. Kohort-

kohort (sejumlah orang yang lahir pada tahun

lebih kurang sama) suksesif memiliki tingkat

pendidikan dan sikap penerimaan yang lebih tinggi

terhadap psikologi. Rokke dan Scorgin (1995),

misalnya menunjukkan bahwa lansia menganggap

terapi kognitif lebih kredibel dan akseptabel dari

pada terapi obat untuk depresi. Pendapat ini

berlawanan dengan pemikiran yang sering

dilontarkan bahwa lansia lebih menyukai terapi

160
obat dan merasa terstigmatisasi bila diberi

rekomendasi psikoterapi. Jadi, psikolog dapat

bertindak lebih aktif dalam menjangkau lansia

untuk diberi pelayanan dan dapat berharap bahwa

lansia itu akan menyambutnya dengan baik.

Untuk menjawab isu-isu tanggung jawab dan

kompetensi dalam memberikan perhatian pada

psikologi dan penuaan. American Psychological

Association telah mengembangkan berbagai

pedoman terkait dengan kompetensi-kompetensi

yang dibutuhkan untuk menjadi profesien dibidang

geropsikologi (APA Interdivisional Task Force,

1999). 13 bidang yang disebutkan meliputi:

1. Penelitian dan teori tentang penuaan

2. Psikologi kognitif dan perubahan

161
3. Aspek-aspek sosial psikologis penuaan

4. Aspek-aspek biologis penuaan

5. Psikopatologi dan penuaan

6. Masalah-masalah kehidupan sehari-hari

7. Faktor-faktor sosiokultural dan sosial-ekonomi

8. Isu-isu khusus dalam asesmen lansia

9. Penanganan lansia

10. Pencegahan dan pelayanan intervensi krisis

pada lansia

11. Konsultasi

12. Interface dengan disiplin-disiplin lain

13. Isu-isu etik khusus dalam menyediakan

pelayanan kepada lansia

162
C. Psikopatologi Pada Lansia

Angka psikopatologi dalam populasi lansia

yang hidup di masyarakat maupun di berbagai

institusi kira-kira 22% (Gatz dan Smyer, 1992).

1. Depresi

Diagnosis Major Despressive Disorder

(gangguan depresi berat) dalam DSM-IV

mensyaratkan keberadaan suasana perasaan

berupa depresi atau kehilangan minat pada

berbagai kegiatan, letih, kehilangan nafsu makan,

gangguan tidur, dan perasaan tidak berharga.

Dysthimia, sebuah gangguan suasana perasaan

yang sering muncul sebelum episode-episode

depresif berat, mensyaratkan lebih sedikit gejala

163
tetapi durasi “feeling blue” yang lebih panjang

(American Psychiatric Association, 1994).

Depresi tidak hanya menyerang lansia yang

memiliki riwayat masalah emosional saja, tetapi

hampir semua lansia bisa terkena depresi. Hal ini

karena depresi bisa dipicu oleh trauma, penyakit,

kesepian, sakit kronis, keuangan, kematian orang

terdekat, kehilangan pekerjaan, atau perubahan

dalam kehidupan.

2. Kecemasan

Informasi yang ada tentang gangguan

kecemasan pada lansia sangat terbatas, meskipun

gangguan ini lebih banyak terjadi dalam populasi

ini dibanding depresi (Beck dan Stenley, 1997).

Kriteria diagnosis untuk gangguan kecemasan yang

164
menjadi focus perhatian pada lansia didefinisikan

sebagai berikut (American Psychiatric Association,

1994):

1. Gangguan panik dideskripsikan sebagai

episode-episode aprehensi intens, palpitasi,

nyeri dada, dan napas pendek yang mendadak,

yang berulang kali muncul.

2. Fobia ditandai oleh ketakutan dan

penghindaran yang melampaui besarnya

bahaya riilnya.

3. Generalized Anxiety Disorde (GAD) (gangguan

kecemasan menyeluruh) menyangkut

kecemasan dan kekhawatiran yang persisten

dan tak terkontrol.

165
4. Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD)

(Gangguan Stes Paska-Trauma) mengacu pada

pengalaman emosional yang dirasakan kembali

seperti saat mengalami kejadian traumatis

intens, yang disertai dengan penghindaran

rangsangan fisiologis dari hal-hal yang

berhubungan dengan trauma itu.

Angka preferensi gangguan kecemasan dikalangan

lansia adalah 5,5% (Regier, dkk., 1988).

3. Demensia

Demensia ditandai oleh kehilangan fungsi

sedemikian rupa sehingga menghendaya performa

dalam kegiatan sehari-hari. Kriteria diagnostik

mensyaratkan bahwa orang itu memiliki ingatan

yang terhendaya (paling tidak dua deviasi standar

166
dibawah rata-rata untuk umur dan pendidikan

tertentu dari berbagai tes) dan penurunan, paling

tidak, pada satu ranah fungsi kognitif lain yang

mempengaruhi fungsi sehari-hari (American

Psychiatric Association, 1994).

Pada umur 65 tahun, hanya 1% diantara

populasi yang akan mengalami demensia; pada

umur 85 tahun, 30% - 35% akan mengalami

demensia; dan 50% lansia yang berumur 90 tahun

keatas akan menerima diagnosis demensia.

Ada beberapa indikasi demensia atau cognitive

slippage (kecenderungan berbagai pikiran untuk

saling mengikuti dengan cara-cara yang tidak logis

atau tidak dapat diprediksi) pada lansia, yaitu:

167
1. Kesulitan dalam mempelajari dan mengingat

informasi baru.

2. Problem salving dirumah dan ditempat kerja

yang terhendaya.

3. Bermasalah dalam menangani tugas-tugas

yang kompleks.

4. Berbagai masalah yang mengikuti rentetan

pikiran yang kompleks.

5. Mengalami kesulitan pada tugas-tugas yang

sebelumnya dapat dilakukan dengan mudah

(misalnya menulis cek).

6. Mengalami kesulitan untuk pergi keberbagai

tempat dilingkungan yang sangat dikenalnya.

7. Mengalami masalah dalam menemukan kata-

kata.

168
8. Perubahan perilaku (apati, disengagement,

kepasifan, iritabilitas, kecurangan yang

meningkat).

D. Masalah-masalah lain yang Dapat Menjadi

Fokus Penanganan

1. Kesehatan

Satu hal yang perlu dicatat adalah lansia

memiliki lebih banyak masalah kesehatan, dan

status psikologisnya terkait erat dengan status fisik

dan fungsionalnya (Zeiss, dkk., 1996). Masalah-

masalah kesehatan sering menjadi bagian penting

dari dari terapi lansia. Banyak lansia yang memiliki

masalah-maslah kesehatan kronis. Psikolog

menerapkan beberapa strategi yang membantu

169
mengelola rasa sakit, termasuk teknik-teknik

relaksasi dan biofeedback (ini akan didiskusikan

lagi dibab berikutnya). Kepatuhan terhadap aturan

minum obat dan adaptasi terhadap perubahan

hidup juga merupakan topik yang sering muncul

dalam terapi lansia.

2. Penganiayaan Lansia

Elder abuse (penganiayaan lansia) di Amerika

pada tahun 1970-an ada penekanan pada usaha

menetapkan istilah penganiayaan, cara melapor,

dan strategi penanganan yang tepat untuk itu. Lima

macam penganiayaan yang sering teridentifikasi

adalah:

170
Penganiayaan dan penelantaran secara

fisik.

Penganiayaan finansial.

Pelanggaran hak asai.

Pelanggaran process rights (oleh orang

lain dengan menggunakan guardianships

atau conserfatorships).

Penganiayaan psikologis.

3. Insomnia

Insomnia/sulit tidur adalah masalah yang

lazim dialami lansia; sleep-maintenance insomnia

adalah kondisi terkait umur dan membuat

penderitanya lemah (Bootzin, Engle-Friedman, dan

Hazelwood).

171
Dalam sleep education, terapis mengajari klien

tentang perubahan-perubahan tidur terkait umur;

efek kafein, nikotin, alkohol, bantuan tidur olah

raga, dan nutrisi; dan efek minimal dari

deprivasi/kekurangan tidur bagi kebanyakan orang.

Kebanyakan orang bisa kehilangan waktu tidur

tanpa mengakibatkan masalah kesehatan.

Bagi sebagian klien, komponen terapi kognitif

yang diadaptasi untuk imsomnia juga dapat

ditambahkan. Ini membantu klien dalam;

1. Mengidentifikasi pikiran-pikiran atau

kekhawatiran-kekhawatiran disfungsionalnya.

2. Menantang keyakinan dan sikap

maladaptifnya tentang tidur dan dampak

172
kehilangan jam tidur pada fungsinya disiang

hari.

3. Mengganti pikiran-pikiran itu dengan

alternative-alternatif yang lebih realistis.

4. Masalah-masalah Seksual

Hasrat dan perilaku seksual pada lansia sering

diasumsikan jarang terjadi, ternyata tidak

sepenuhnya benar (Pedersen, 1998). Terlepas dari

berbagai perubahan fisiologis pada perempuan dan

laki-laki, seperti menopause pada perempuan dan

laki-laki, minat seksual pada lansia sampai umur

80 tahunan ternyata masih cukup tinggi.

Ada pendapat (misalnya, Zeiss dan Zeiss, 1990;

Zeiss, Zeiss, dan Davies, 2000) bahwa klinisi

173
seharusnya menggunakan intervensi-intervensi

yang dirancang secara individual, yang difokuskan

pada kombinasi elemen-elemen berikut:

meningkatkan pengetahuan seksual, mengurangi

kecemasan seksual, dan memperbaiki etni-etnik

seksual. Ini termasuk membantu pasangan untuk

memperbanyak ragam aktifitas seksual yang

mereka anggap akseptabel dan menyenangkan.

Adaptasi yang dilakukan agar sesuai dengan

berbagai keterbatasan yang dialami oleh salah satu

pasangan juga dibutuhkan. Bahkan dalam kasus-

kasus tatkala hubungan seksual tak dapat

dilakukan, kebanyakan pasangan menganggap

cuddling (kelon), saling memijati, dan saling

174
menyentuh sebagai tindakan yang sangat

rewarding.

5. Isu- isu yang Terkait dengan Kematian dan

Menjelang Ajal

Saat ini ada dua tren yang mengharuskan

perlunya fokus pada isu-isu kematian dan

menjelang ajal pada lansia.

1. Orang yang hidup lebih lama, dan semakin

panjangnya umur manusia berimplikasi

bahwa kebanyakan kematian akan terjadi

pada usia yang sangat lanjut.

2. Penggunaan berkelanjutan dari teknik-teknik

memperpanjang umur membuat proses

175
menjelang ajal semakin dapat dikontrol dan

semakin dapat dinegosiasikan (Riley, 1992).

Elizabeth Kubler-Ross (1969), mendiskusikan

tentang 5 tahap menjelang ajal yang dialami orang

setelah tahuu bahwa sakitnya akan membawa

kematian. Tahap-tahap kesedihan yang

diikhtisarkan oleh Kubler-Ross, sebagai berikut;

1. Pengingkaran: pasien tidak mau percaya

bahwa dirinya akan meninggal.

2. Marah: pasien marah kepada Tuhan atau sang

nasib.

3. Tawar-menawar: pasien mencoba

menawarkan sebuah alternatif dengan Tuhan

atau sang nasib.

4. Menerima: pasien menerima kematiaannya.

176
6. Intervensi psikologis

a) Asesmen: Bersikap Sensitif terhadap Isu-isu

Penuaan

Seperti halnya orang-orang dewasa yang lebih

muda teknik-teknik yang digunakan dalam

asesmen psikologisnya termasuk wawancara klinis,

review data dan catatan riwayat hidup, evaluasi

kognitif dan neuropsikologis, asasmen perilaku,

dan observasi situasional (Kaszniak, 1996). Tetapi,

untuk lansia, psikolog perlu untuk berbagai tes dan

lebih sering memasukkan tes kognitif dalam

asesmen. American Psychiatric Association (1994)

menyediakan pedoman untuk evaluasi demensia

dan kemunduran kognitif terkait umur.

177
Untuk pasien-pasien yang memperlihatkan

perilaku yang bersifat merugikan (misalnya;

berkeliaran, berteriak-teriak, menyerang) asesmen

perilaku dapat berguna dalam menetapkan tipe

teknik yang berguna bagi pasien dan/atau staf yang

menangani pasien (misalnya dipanti jompo)

(Burgio, Flynn, dan Martin, 1987; Rader, 1994).

b) Psikoterapi: Observasi Umum tentang Adaptasi

dan Efektifitas

Kebanyakan penelitian tentang psikoterapi

untuk lansia menggunakan pendekatan-

pendekatan kognitif-behavioral, dan ini telah

terbukti efektif untuk berbagai macam masalah

(Scorgin dan Mc Elreath, 1994; Zarith dan Knight,

1996).

178
Cognitive and Behavioral Therapies (CBT)/Terapi

kognitif dan behavioral, didasarkan pada

pendekatan-pendekatan teoritis yang menekankan

pada belajar seumur hidup dan keyakinan yang

optimistic bahwa orang mampu menciptakan

perubahan penting dalam pikiran, perasaan, dan

tindakannya (misalnya, Goldfried dan Davison,

1994).

c) Psikoterapi Untuk Lansia

Ketika menangani lansia, penting untuk tidak

berasumsi bahwa adaptasi tertentu pada terapi

kognitif-behavioral selalu dibutuhkan. Setiap

individu dalam terapi akan berfungsi dengan cara

yang unik. Asesmen terhadap masing-masing klien

seharusnya tidak hanya memasukkan informasi

179
tentang presenting complaint, tetapi juga berbagai

kekuatan dan deficit, guna menetapkan adaptasi

mana yang lebih tepat.

d) Adaptasi-adaptasi yang Lazim

Disisi positif beberapa perubahan dalam terpai

sering kali dibutuhkan untuk merespon kekuatan-

kekuatan ini dapat dianggap sebagai wisdom

(kearifan) (Baltes dan Staudinger, 1993). Bahkan

klien-klien yang tidak memenuhi kriteria mungkin

pernah mengalami pengalaman hidup yang sulit.

Kebanyakan lansia dapat mengabstraksikan

informasi yang sangat membantu dari

pengalaman-pengalaman itu dan mendiskripsikan

ketrampilan-ketrampilan pribadi yang pernah

membantu mereka dalam mengatasi kesulitan.

180
Menunjukkan respek dan minat yang tulus

terhadap akumulasi pengalaman klien dapat

mendukung terapi.

Adaptasi-adaptasi kunci terhadap terapi yang

perlu dipertimbangkan untuk masing-masing klien

lansia, yakni:

a) Menggunakan pembelajaran multimodel

(dengan banyak cara).

b) Menanamkan kesadaran interdisipliner.

c) Menyajikan informasi yang lebih jelas (more

clearly).

d) Mengembangkan pengetahuan (knowledge)

tentang berbagai tantangan dan kekauatan

terkait-penuaan.

181
e) Menyuguhkan materi terapi dengan lebih

lambat (more slowly).

e) Intervensi-intervensi Psikologi dalam Konteks

Tim Interdisipliner

Keluarga kadang-kadang merupakan kekuatan

primer dibelakang lansia yang mencari perawatan

kesehatan mental (Zeiss dan Steffen, 1996).

Keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan oleh

semua anggota tim meliputi:

a) Pengetahuan dan respek terhadap kemampuan

anggota tim lainnya.

b) Kemampuan untuk berbagi informasi secara

jelas dengan professional-profesional yang

182
memiliki latar belakang pendidikan dan

latihan serta jargon yang berbeda.

c) Kapasitas untuk mengonseptualisasikan kasus

secara holistic, termasuk kecakapan dalam

mengembangkan rencana penanganan tim

secara tertulis.

d) Keterampilan kepemimpinan.

e) Keterampilan mengatasi konflik.

183
BAB VI
PSIKOLOGI KESEHATAN

184
A. Definisi

Psikologi kesehatan adalah aspek-aspek ilmu

psikologi yang bermanfaat ketika digunakan di

dalam dunia kesehatan. Sebagai contoh, seorang

dokter harus bisa mengendalikan psikis pasiesnnya

dan bukan hanya sebagai orang yang dibayar dan

harus memberi resep obat.

Ketika pasien mempunyai sakit parah, maka

sebagai dokter yang baik, ia harus dapat

membangkitkan semangat dan motivasi pasien

untuk dapat sembuh dari penyakitnya. Lebih dari

itu, dokter juga harus mengetahui bagaimana

keadaan mental pasien berkaitan dengan

kesehatannnya.

185
Sesuai dengan Matarazzo, psikologi kesehatan

adalah adalah suatu agregat dari specific

educational, dan kontribusi scientific professional,

dari disiplin psikologi, untuk memajukan atau

memelihara kesehatan, termasuk juga didalamnya

penanganan penyakit dan aspek-aspek lain yang

terkait dengannya.

Psikologi kesehatan dipandang sebagai

pengetahuan psikis dan sosial yang dapat

digunakan dan bermanfaat untuk mengurangi

stress psikis yang disebabkan oleh penyakit.

Psikologi kesehatan dapat dimanfaatkan untuk

berbagai situasi dan kondisi.

186
B. PENGERTIAN NEUROPSIKOLOGI

Neuropsikologi adalah suatu ilmu yang

mempelajari hubungan antara otak dan perilaku,

disfungsi otak dan perilaku, dan melakukan

assesmen dan treatment untuk perilaku dengan

fungsi otak yang terganggu. Sedangkan asesmen

neuropsikologis adalah sebuah metode untuk

menggambarkan fungsi otak berdasarkan pada

performance pasien melalui test-test yang

distandarisasi, yang telah terbukti memiliki

indicator akurat mengenai hubungan otak perilaku.

Dalam lima tahun terakhir, neuropsikologi

berkembang pesat. Ini terlihat dari jumlah anggota

asosiasi Neuropsikologi, program pelatihan,

makalah-makalah yang dipublikasikan, dan posisi-

187
posisi tugas berkaitan dengan Neuropsikologi di

Amerika Serikat yang meningkat (Phares 1992).

Sebagai ilmu, Neuropsikologi dianggap sebagai

salah satu bagian dari Biopsikologi. Bidang lain

yang termasuk dalam biopsikologi antara lain;

psikologi faal, psikofisiologi, dan psikologi

perbandingan.

Neuropsikologi adalah interface neurologi dan

neurosains, yang dipacu oleh kemajuan yang

sangat pesat dalam penelitian biokimia, ilmu faal,

histologi susunan syaraf pusat. Neuropsikolog atau

neurology berasumsi bahwa perilaku mausia,

kepribadiannya, proses psikopatologi dan strategi

kognitif diantarai (mediated) oleh otak (Carlson

1992). Neuropsikologi klinis yang bertujuan

188
mendeteksi dan mendiagnosis proses

neuropatologi, dan menjembatani gap antara

dengan ilmu-ilmu perilaku. Neuropsikologi klinis

melakukan evaluasi kekuatan dan kelemahan aspek

kognitif, aspek psikologis, serta menentukan

hubungannya dengan fungsi otak.

Para ahli neuropsikologi memiliki fungsi dalam

sejumlah peran yang berbeda. Peran-peran para

neurology adalah,

o Mambantu menegakkan peraturan dalam

melakukan diagnosis tertentu

o Membuat prediksi mengenai prognosis

maupun penyembuhannya

o Neurology meiliki peran utama dalam

memberikan intervensi dan rehabilitasi.

189
C. JENIS TANAMAN OBAT DAN MANFAATNYA

Indonesia adalah negara agraris yang terkenal

akan kekayaan rempah rempah dan berbagai jenis

tanaman. Dari dulu hingga sekarang tanaman

herbal ataupun tanaman obat dapat

menyembuhkan berbagai macam penyakit. Tapi

sayang sekali banyak warga Indonesia saat ini

malah lebih memilih produk kesehatan luar negri

dibanding negri sendiri. Padahal tak perlu jauh -

jauh ke negri orang dengan biaya yang sangat

mahal sekali, di negri kita jauh lebih kaya dan

alami dalam segi pengobatan. Yuk kenali berbagai

macam jenis tanaman obat diindonesia dan

manfaatnya.

190
Tanaman Obat atau yang biasa kita sebut

Tanaman herbal sangat banyak sekali jenisnya dan

manfaatnya, dari mulai mampu mengobati

penyakit kelas ringan bahkan penyakit sampai ke

penyakit kelas berat. Selain itu Tanaman obat juga

sudah banyak teruji ampuh dibandingkan dengan

obat - obatan yang dicampur bahan kimia. Kalau

begitu langsung saja ini dia beberapa tanaman obat

yang bisa anda pakai sebagai Pengobatan Alternatif

dirumah.

1. Seledri (Apium Graviolens)

Mungkin tanaman yang satu ini tidak asing lagi

bagi kita, selain enak dipakai sebagai penyedap rasa

ternyata seledri juga berfungsi sebagai obat alami

191
karena kaya akan kalsium, fosfor dll.

Contohnya seledri bisa dipakai sebagai Obat Asam

Urat. Caranya Cukup rebus beberapa biji seledri

untuk segelas air didihkan lalu minum setiap pagi.

2. Mengkudu (Morinda Citrifolia)

Mengkudu memiliki nama yang berbeda - beda di

setiap daerah contohnya di Sunda disebut

Cangkudu, di Aceh disebut Keumeude, dan di Jawa

diseut kudu. Tanaman ini biasa ditanam di aceh

pada setiap rumah warga (walau tidak semua)

karena biasa dipakai sebagai bahan rujak ataupun

menu buka puasa khas aceh. Tapi taukah anda

bahwa Mengkudu bisa menjadi Obat Jantung

Koroner dan membantu mencegah penyakit

192
jantung koroner. Caranya sangat mudah cukup jus

mengkudu lalu saring air sarinya tambahkan

sedikit madu dan minum 2 kali sehari setelah

makan.

3.Lidah Buaya (Aloe Vera)

Lidah buaya sejak zaman dahulu telah dipercaya

sebagai bahan perawatan kecantikan dan obat. Saat

ini dijepang sedang mengembangkan penelitian

lidah buaya sebagai Obat Kanker. Saat ini sangat

banyak sekali cara untuk memakan lidah buaya

seperti Cendol ala Pontianak.

193
4. Belimbing (Averrhoa Carambola)

Belimbing manis banyak mengandung vitamin C, B,

A, Protein, Kalsium dll. Belimbing. Selain rasanya

yang enak juga mampu mejadi Obat Kolestrol

Tinggi dan Penurun Darah Tinggi. caranya cukup

makan buah belimbing setiap hari sesudah makan.

5. Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza)

Temulawak merupakan tanaman obat indonesia

yang memiliki kandungan Kurkumin yang berguna

sebagai Anti Radang ataupun Anti Keracunan

Empedu. Walaupun temulawak tidak mampu

menjadi Obat Kanker Hati, namun temulawak

mampu mencegahnya karena temulawak mampu

194
mengobati Penyakit Hepatitis B yang berperan

sebagai faktor utama Penyakit Kanker Hati.

D. MENGENAL PSIKOLOGI FORENSIK

Psikologi forensik adalah penelitian dan teori

psikologi yang berkaitan dengan efek-efek dari

faktor kognitif, afektif, dan perilaku terhadap

proses hukum.

Praktek psikologi forensik banyak dijumpai dalam

proses pengusutan dan pengolahan kasus-kasus

hukum dan tindak kejahatan seperti pembunuhan,

penyiksaan, pemerkosaan, money laundering, dan

sebagainya.

Para praktisi psikologi forensik biasanya

dilibatkan ke dalam tim detektif maupun kepolisian

195
untuk membantu menyelidiki dan melakukan

asasmen terhadap perilaku para tersangka, pelaku,

dan juga perilaku korban (apabila masih hidup)

dengan tujuan agar proses hukum dapat berjalan

secara lancar dan menghasilkan sebuah keputusan

peradilan yang seutuhnya.

Dalam praktek psikologi forensik, para pakar

psikologi forensik melakukan pengkajian terhadap

motif para pelaku dengan melakukan berbagai

macam tes psikologi seperti tes-tes yang

menggunakan prinsip neuropsikologi untuk

mengetahui kerusakan otak, retardasi mental,

fungsi intelektual, gangguan mental, atau trauma.

Selain itu tes kepribadian juga merupakan tes dasar

yang digunakan dalam psikologi forensik yang

196
bertujuan untuk mengetahui karateristik dasar

individu-individu yang terlibat dalam sebuah kasus

hukum.

Psikologi forensik adalah aplikasi metode, teori,

dan konsep-konsep psikologi dalam sistem hukum.

Setting dan kliennya bervariasi, mencakup anak-

anak maupun orang dewasa. Semua jenis institusi,

mencakup korporasi, lembaga pemerintah,

universitas, rumah sakit dan klinik, serta lembaga

pemasyarakatan, dapat terlibat sebagai klien atau

obyek kesaksian dalam berbagai macam kasus

hukum.

Dalam psikologi forensik, bidang psikologi

yang secara mendasar digunakan dalam

prakteknya adalah psikologi klinis. Hal ini

197
berkaitan dengan sejarah awal psikologi forensik

pada tahun 1901.

Pada tahun 1901, seorang ilmuwan psikologi

klinis bernama William Stern meneliti ketepatan

ingatan orang sebagai suatu rintisan awal dalam

penelitian yang banyak dilakukan pada masa kini

tentang ketepatan kesaksian seorang saksi. Dalam

ceramahnya kepada sejumlah hakim Austria pada

tahun 1906, Sigmund Freud menguatkan praktek

yang dilakukan oleh William Stern dengan

mengatakan bahwa psikologi dapat diaplikasikan

pada hukum.

Sejak saat itu, ilmu psikologi mulai secara

konsisten diaplikasikan ke dalam berbagai proses

atas kasus hukum. Dalam perjalanannya, masuknya

198
praktek psikologi ke dalam bidang hukum

menemui berbagai macam dinamika serta pro dan

kontra. Beberapa tokoh hukum menganggap

masuknya praktek psikologi ke dalam sebuah

proses hukum dianggap tidak relevan, dan lebih

cenderung menggunakan pendekatan ilmu sosial

dalam membantu menyelesaikan sebuah kasus

hukum.

Seiring dengan dinamikan jaman dan segala

tekanan sosial di dalamnya, semakin banyak kasus

hukum yang terjadi berlatarkan oleh ketertekanan

psikis dan mental. Hal ini membuat para psikolog

kini selalu dilibatkan sebagai saksi ahli dalam

hampir semua bidang hukum termasuk kriminal,

perdata, keluarga, dan hukum tatausaha. Di

199
samping itu, para ahli di bidang psikologi forensik

juga berperan sebagai konsultan bagi berbagai

lembaga dan individu dalam sistem hukum.

E. PERAN PSIKOLOGI FORENSIK DALAM PROSES

HUKUM DI INDONESIA

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari

jiwa/psikis manusia, sehingga dalam setiap

kehidupan manusia maka psikologi berusaha

untuk menjelaskan masalah yang dihadapi. Tak

terkecuali dalam permasalahan hukum. Di

Indonesia, psikologi kemudian membagi

bidangnya menjadi 6 yaitu psikologi klinis,

perkembangan, psikologi umum dan eksperimen,

psikologi sosial, psikologi pendidikan, psikologi

200
industri dan organisasi. Pada kenyataannya di

Amerika, pembagian ini sudah menjadi lebih dari

50 bagian, mengikuti semakin kompleksnya

permasalahan yang dihadapi manusia. Salah

satunya

adalah permasalahan dalam bidang hukum,

bagian dari psikologi yang menanganinya sering

dikenal sebagai psikologi forensik.Apa itu psikologi

forensik ?

The committee on ethical Guidelines for forensic

psychology (Putwain & Sammons, 2002)

mendefinisikan psikologi hukum sebagai semua

bentuk pelayanan psikologi yang dilakukan di

dalam hukum. Bartol & Bartol (dalam

201
Wrightsman, 2001) menyatakan psikologi hukum

dapat dibedakan menjadi :

a) Kajian/ penelitian yang terkait dengan

aspek-aspek perilaku manusia dalam

proseshukum (seperti ingatan saksi,

pengambilan keputusan juri/hakim,

perilaku kriminal)

b) Profesi psikologi yang memberikan

bantuan berkaitan dengan hukum. Profesi

ini di Amerika sudah sedemikian

berkembangnya, seperti Theodore Blau, ia

merupakan ahli psikologi klinis yang

merupakan konsultan Kepolisian.

Spealisasinya adalah menentukan

202
penyebab kematian seseorang karena

dibunuh atau bunuh diri. Ericka B. Gray,

ia seorang psikolog yang bertugas

melakukan mediasi terutama pada

perkara perdata. Sebelum perkara masuk

ke pengadilan, hakim biasanya menyuruh

orang yang berperkara ke Gray untuk

dapat memediasi perkara mereka. John

Stap adalah seorang psikolog sosial, ia

bekerja pada pengacara. Tugasnya adalah

sebagai konsultan peradilan, ia akan

merancang hal-hal yang akan dilakukan

pengacara maupun kliennya agar dapat

memenangkan perkara. Richard Frederic,

203
adalah seorang ahli rehabilitasi

narapidana.

Dengan mengamati rofesi-profesi tersebut,

kita dapat membayangkan betapa psikolog

berperan penting dalam sistem hukum di Amerika.

Begitu luasnya bidang kajian psikologi hukum

maka Blackburn (dalam Bartol & Bartol, 1994;

Kapardis, 1995) membagi bidang tersebut menjadi

tiga bidang, psychology in law, psychology and

law, psychology of law. Psychology in law,

merupakan aplikasi praktis psikologi dalam

bidang hukum seperti psikolog diundang menjadi

saksi ahli dalam proses peradilan. Psychology and

204
law, meliputi bidang psycho-legal research yaitu

penelitian tentang individu yang terkait dengan

hukum seperti hakim, jaksa, pengacara, terdakwa.

Psychology of law, hubungan hukum dan

psikologi lebih abstrak, hokum sebagai penentu

perilaku. Isu yang dikaji antara lain bagaimana

masyarakat mempengaruhi hukum dan

bagaimana hukum mempengaruhi masyarakat.

Hampir setiap hari koran maupun telivisi

memberitakan kasus-kasus kriminalitas yang

menimpa masyarakat. Bentuknya beragam. Ada

perampokan, pemerasan, perampasan,

penjambretan, pembunuhan, perkosaan,

pencopetan, penganiayaan, dan kata lain yang

205
mengandung unsur pemaksaan, atau kekerasan

terhadap fisik ataupun harta benda korban.

Berikut ini salah satu contoh berita yang

dikutip dari salah satu media di Surabaya.

“Tembak Mati Polisi, Gasak Rp. 1,9 Miliar

Perampokan di Bank Mandiri Capem Jl. Bukit Kota,

Kota Pinang, Labuhan Batu. Bandit-bandit jalanan

itu menembak dua polisi dan satu diantaranya

kabur dengan membawa uang hasil rampokan.

Polisi sulit mengetahui identitas pada perampok.

Sebab mereka menutupi wajahnya dengan kain

sebo ketika menjalankan aksinya. Aksi perampokan

yang terjadi pukul 10.000 WIB pagi itu diawali

dengan kedatangan sebuah Daihatsu Troper

206
berplat BM. Begitu berhenti di parkiran, beberapa

penumpang mobil itu berhamburan turun. Mereka

langsung memberondongkan tembakan ke udara.

“Empat orang menenteng senpi laras panjang dan

dua senpi genggam,”ujar saksi mata di tempat

kejadian. Setelah merobohkan Bripda Lauri, enam

perampok masuk ke bank. Mereka menodong kasir

lalu memaksanya untuk mengumpulkan uang

yang ada di bank. Kasir yang ketakutan buru-buru

mengambil semua uang seperti yang diminta

perampok (JP, 26 Oktober 2004). Kengerian,

ketakutan, keheranan, kebencian dan bahkan

trauma psikologis barangkali yang menjadi kata-

kata yang terungkap setelah melihat atau

207
mengalami peristiwa tersebut.

Banyak sudut pandang yang digunakan untuk

memberikan penjelasan fenomena tindakan

kriminal yang ada. Pada kesempatan ini saya

mencoba dari sisi psikologis pelakunya. Sudut

pandang ini tidak dimaksudkan untuk memaklumi

tindakan kriminalnya, melainkan semata-mata

hanya sebagai penjelasan.

Coba kita cermati Ragam Pendekatan Teori

Psikologis Perilaku Kriminalitas yang sebetulnya

berawal dari penjelasan yang diberikan oleh

folosof, ahli genetika, dokter, ahli fisika, dan

sebagainya. Bermula dari berdirinya psikologi

sebagai ilmu pengetahuan, dan beberapa kajian

208
sebelumnya yang terkait dengan perilaku kriminal,

maka pada tulisan ini disampaikan beberapa

padangan tentang perilaku Kriminal.

1. Pendekatan Tipologi Fisik / Kepribadian yang

memandang bahwa sifat dan karakteristik fisik

manusia berhubungan dengan perilaku

kriminal. Tokoh yang terkenal dengan konsep

ini adalah Kretchmerh dan Sheldon:

Kretchmer dengan constitutional personality,

melihat hubungan antara tipe tubuh dengan

kecenderungan perilaku. Menurutnya ada tiga

tipe jarigan embrionik dalam tubuh, yaitu

endoderm berupada sistem digestif

(pencernaan), Ectoderm: sistem kulit dan

209
syaraf, dan Mesoderm yang terdiri dari tulang

dan otot. Menurutnya orang yang normal itu

memiliki perkembangan yang seimbang,

sehingga kepribadiannya menjadi normal.

Apabila perkembangannya imbalance, maka

akan mengalami problem kepribadian.

William Shldon (1949) , dengan teori Tipologi

Somatiknya, ia bentuk tubuh ke dalam tiga

tipe.

Endomorf: Gemuk (Obese ), lembut (soft ),

and rounded people, menyenangkan dan

sociabal.

Mesomorf : berotot (muscular ), atletis

(athletic people), asertif, vigorous, and

210
bold.

Ektomorf : tinggi (Tall ), kurus (thin ), and

otak berkembang dengan baik (well

developed brain), Introverted, sensitive,

and nervous Menurut Sheldon, tipe

mesomorf merupakan tipe yang paling

banyak melakukan tindakan kriminal.

Berdasarkan dari dua kajian di atas, banyak

kajian tentang perilaku kriminal saat ini yang

didasarkan pada hubungan antara bentuk fisik

dengan tindakan kriminal. Salah satu simpulannya

misalnya, karakteristik fisik pencuri itu memiliki

kepala pendek (short heads), rambut merah (blond

211
hair), dan rahang tidak menonjol keluar

(nonprotruding jaws), sedangkan karakteristik

perampok misalnya ia memiliki rambut yang

panjang bergelombang, telinga pendek, dan wajah

lebar. Apakah pendekatan ini diterima secara

ilmiah? Barangkali metode ini yang paling mudah

dilakukan oleh para ahli kriminologi kala itu,

yaitu dengan mengukur ukuran fisik para pelaku

kejahatan yang sudah ditahan/dihukum, orang

lalu melakukan pengukuran dan hasil pengukuran

itudisimpulkan.

2. Pendekatan Pensifatan / Trait

Teori tentang kepribadian yang menyatakan

bahwa sifat atau karakteristik kepribadain

212
kepribadian tertentu berhubungan dengan

kecenderungan seseorang untuk melakukan

tindakan kriminal. Beberapa ide tentang

konsep ini dapat dicermati dari hasil-hasil

pengukuran tes kepribadian. Dari beberapa

penelitian tentang kepribadian baik yang

melakukan teknik kuesioner ataupun teknik

proyektif dapatlah disimpulkan

kecenderungan kepribadian memiliki

hubungan dengan perilaku kriminal.

Dimisalkan orang yang cenderung

melakukan tindakan kriminal adalah rendah

kemampuan kontrol dirinya, orang yang

cenerung pemberani, dominansi sangat kuat,

213
power yang lebih, ekstravert, cenderung

asertif, macho, dorongan untuk memenuhi

kebutuhan fisik yang sangat tinggi, dan

sebagainya. Sifat-sifat di atas telah diteliti

dalam kajian terhadap para tahanan oleh

beragam ahli. Hanya saja, tampaknya masih

perlu kajian yang lebih komprehensif tidak

hanya satu aspek sifat kepribadian yang

diteliti, melainkan seluruh sifat itu bisa di

profilkan secara bersama-sama.

3. Pendekatan Psikoanalisis

Dengan tokoh sentral Sigmund Freud yang

melihat bahwa perilaku kriminal

merupakan representasi dari “Id” yang tidak

214
terkendalikan oleh ego dan super ego. Id ini

merupakan impuls yang memiliki prinsip

kenikmatan (Pleasure Principle). Ketika

prinsip itu dikembangkannya Super-ego

terlalu lemah untuk mengontrol impuls

yang hedonistik ini. Walhasil, perilaku

untuk sekehendak hati asalkan

menyenangkan muncul dalam diri

seseorang. Mengapa super-ego lemah? Hal

itu disebabkan oleh resolusi yang tidak baik

dalam menghadapi konflik Oedipus, artinya

anak seharusnya melakukan belajar dan

beridentifikasi dengan bapaknya, tapi malah

dengan ibunya. Penjelasan lainnya dari

215
pendekatan psikoanalis yaitu bahwa

tindakan kriminal disebabkan karena rasa

cemburu pada bapak yang tidak

terselesaikan, sehingga individu senang

melakukan tindak kriminal untuk

mendapatkan hukuman dari bapaknya.

Psikoanalist lain (Bowlby:1953) menyatakan

bahwa aktivitas kriminal merupakan

pengganti dari rasa cinta dan afeksi.

Umumnya kriminalitas dilakukan pada saat

hilangnya ikatan cinta ibu-anak.

4. Pendekatan Teori Belajar Sosial

Yang dimotori oleh Albert Bandura (1986).

Bandura menyatakan bahwa peran model

216
dalam melakukan penyimpangan yang

berada di rumah, media, dan subcultur

tertentu (gang) merupakan contoh baik

tuntuk terbentuknya perilaku kriminal

orang lain. Observasi dan kemudian imitasi

dan identifikasi merupakan cara yang biasa

dilakukan hingga terbentuknya perilaku

menyimpang tersebut. Ada dua cara

observasi yang dilakukan terhadap model

yaitu secara langsung dan secara tidak

langsung (melalui vicarious reinforcement)

Tampaknya metode ini yang paling

berbahaya dalam menimbulkan tindak

kriminal. Sebab sebagian besar perilaku

217
manusia dipelajari melalui observasi

terhadap model mengenai perilaku tertentu.

5. Pendekatan Teori Kognitif

Yang selalu menuntut kita untuk

menanyakan apakah pelaku kriminal

memiliki pikiran yang berbeda dengan

orang “normal”? Yochelson & Samenow

(1976, 1984) telah mencoba meneliti gaya

kognitif (cognitive styles) pelaku kriminal

dan mencari pola atau penyimpangan

bagaimana memproses informasi. Para

peneliti ini yakin bahwa pola berpikir lebih

pentinfg daripada sekedar faktor biologis

dan lingkungan dalam menentukan

218
seseorang untuk menjadi kriminal atau

bukan.

Dengan mengambil sampel pelaku kriminal

seperti ahli manipulasi (master manipulators), liar

yang kompulsif, dan orang yang tidak bisa

mengendalikan dirinya mendapatkan hasil

simpulan bahwa pola pikir pelaku kriminal itu

memiliki logika yang sifatnya internal dan

konsisten, hanya saja logikanya salah dan tidak

bertanggung jawab. Ketidaksesuaian pola ini sangat

beda antara pandangan mengenai realitas.

Lantas, apakah sebetulnya faktor penyebab

perilaku kriminal? Banyak ahli yang telah

memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa

219
orang melakukan tindakan kriminal. Berikut ini

kami kutipkan dari beberapa pendapat ahli

sebelum orang psikologi membuat penjelasan

teoritis seputar hal ini. Kemiskinan merupakan

penyebab dari revolusi dan kriminalitas

(Aristoteles). Kesempatan untuk menjadi pencuri

(Sir Francis Bacon, 1600-an). Kehendak bebas,

keputusan yang hedonistik, dan kegagalan dalam

melakukan kontrak sosial (Voltaire & Rousseau,

1700-an) . Atavistic trait atau Sifat-sifat antisosial

bawaan sebagai penyebab perilaku kriminal

(Cesare Lombroso, 1835-1909). Hukuman yang

diberikan pada pelaku tidak proporsional (Teoritisi

Klasik Lain).

220
Kiranya tidak ada satupun faktor tunggal yang

menjadi penyebab dan penjelas semua bentuk

kriminalitas yang terjadi di masyarakat. Oleh

karena itu pada kesempatan ini, saya mencoba

mengangkat dua teori yang mencoba menjelaskan

mengapa seseorang berperilaku. Teori pertama

yaitu dari Deutsch & Krauss, 1965) tentang level of

aspiration. Teori ini menyatakan bahwa keinginan

seseorang melakukan tindakan ditentukan oleh

tingkat kesulitan dalam mencapai tujuan dan

probabilitas subyektif pelaku apabila sukses

dikurangi probabilitas subjektif kalau gagal. Teori

ini dapat dirumuskan dalam persama seperti

berikut:

221
V = (Vsu X SPsu) – (Vf X SPf)

Dimana:

V = valensi = tingkat aspirasi seseorang

su= succed = sukses = failure = gagal

SP=SubjectiveProbability

Teori di atas, tampaknya cocok untuk

menjelaskan perilaku kriminal yang telak

direncanakan. Karena dalam rumus di atas peran

subyektifitas penilaian sudah dipikirkan lebih

dalam akankah seseorang melakukan tindakan

kriminal atau tidak. Sedangkan perilaku yang

222
tidak terencana dapat dijelaskan dengan

persamaan yang diusulkan oleh kelompok gestalt

tentang Life Space yang dirumuskan B=f(PE).

Perilaku merupakan fungsi dari life-spacenya.

Life space ini merupakan interaksi antara

seseorang dengan lingkungannya. Mengapa model

perilaku Gestalt digunakan untuk menjelaskan

perilaku kriminal yang tidak berencana? Pertama,

pandangan Gestalt sangat mengandalkan aspek

kekinian. Kedua, interaski antara seseorang dengan

lingkungan bisa berlangsung sesaat. Ketiga,

interaksi tidak bisa dilacak secara partial.

Dengan demikian bagaimana cara penanganan

perilaku kriminal? Banyak pendapat menyatakan

223
bahwa kriminalitas tidak bisa dihilangkan dari

muka bumi ini. Yang bisa hanya dikurangi melalui

tindakan-tindakan pencegahan.

a) Hukuman selama ini hukuman ( punishment )

menjadi sarana utama untuk membuat jera pelaku

kriminal. Dan pendekatan behavioristik ini

tampaknya masih cocok untuk dijalankan dalam

mengatasi masalah kriminal. Hanya saja, perlu

kondisi tertentu, misalnya konsisten, fairness,

terbuka, dan tepat waktunya.

b) Penghilang Model melalui tayangan Media masa

itu ibarat dua sisi mata pisau . Ditayangkan nanti

penjahat tambah ahli, tidak ditayangkan

masyarakat tidak bersiap-siap.

224
c) Membatasi Kesempatan Seseorang bisa

mencegah terjadinya tindakan kriminal dengan

membatasi munculnya kesempatan untuk mencuri.

Kalau pencuri akan lewat pintu masuk dan kita

sudah menguncinya, tentunya cara itu termasuk

mengurangi kesempatan untuk mencuri.

d) Jaga diri. Jaga diri dengan keterampilan beladiri

dan beberapa persiapan lain sebelum terjadinya

tindak kriminal bisa dilakukan oleh warga

masyarakat.

F. Kode Etik Psikologi Indonesia

Penelitian dan publikasi Pasal 45 Pedoman

Umum :

225
(1) Penelitian adalah suatu rangkaian proses

secara sistematis berdasar pengetahuan yang

bertujuan memperoleh fakta dan/atau menguji

teori dan/atau menguji intervensi yang

menggunakan metode ilmiah dengan cara

mengumpulkan, mencatat dan menganalisis data.

(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam

melaksanakan penelitian diawali dengan

menyusun dan menuliskan rencana penelitian

sedemikian rupa dalam proposal dan protokol

penelitian sehingga dapat dipahami oleh pihak-

pihak lain yang berkepentingan. Psikolog dan/atau

Ilmuwan Psikologi membuat desain penelitian,

melaksanakan, melaporkan hasilnya yang disusun

226
sesuai dengan standar atau kompetensi ilmiah dan

etika penelitian. .

227
PENUTUP

228
Pada umumnya ilmu pengetahuan merupakan

ilmu yang sering digunakan dalam medis sebagai

panduan dalam pengobatan secara fisik. Dalam

bidang ilmu psikologi ilmu tersebut sangat

bermanfaat pula dalam bidang pengobatan yaitu

pengobatan psikis. Psikologi semakin banyak

ditemukan di posisi-posisi manajemen di

organisasi pelayanan kemanusiaan dan di

pemerintahan, peluang-peluang yang

mensyaratkan latihan formal yang jarang mereka

miliki. Mereka membutuhkan berbagai

keterampilan untuk melihat organisasi sebagai

sebuah sistem yang hidup dan dengan tujuan-

tujuannya sendiri. Mereka juga membutuhkan

229
pemahaman tentang tanggung jawab manajerial

dan kemampuan untuk menggunakan

keterampilan klinisnya hanya bila dianggap perlu.

Psikolog perlu memahami perbedaan antara

penanganan klinis terhadap klien dan penanganan

instrumental berorientasi tugas terhadap kolega

dan lain-lain, yang mungkin membutuhkan

manajemen konflik.

Komunitas didefinisikan dengan banyak cara

berdasarkan lokalitasnya, berdasarkan pola

komunikasinya, atau sebagai jaringan-jaringan

yang memenuhi berbagai macam kebutuhan dasar.

Sumber daya komunitas yang berbeda

menawarkan berbagai macam pelayanan untuk

230
memenuhi berbagai macam kebutuhan dan

kondisi di sepanjang siklus kehidupan. Dalam

iklim ekonomi dan politis, organisasi-organisasi

berusaha memperoleh berbagai sumber daya dan

menghindari atau meminimalkan liability. Dengan

tekanan-tekanan ini, berbagai subsistem komunitas

sebagian publik, sebagian swasta mendefinisikan

permasalahannya dengan cara yang berbeda dan

kadang-kadang tumpang-tindih, bertentangan

atau mengabaikan klien. Model-model untuk

mendorong kolaborasi tumbuh dengan lambat.

Psikolog komunitas, banyak diantaranya bekerja di

bidang kesehatan mental, menyadari

membludaknya masalah psikologis di segmen-

231
segmen besar dalam populasi, seperti diperlihatkan

oleh studi-studi epidemiologis.

232
DAFTAR PUSTAKA

Acosta, F. X., Yamamoto, J. & Evans, L. A (1982).

Effective Psychotherapy For Low-In-Come And

Minority Patients. New York: Plenum Press.

Acuff, C., Bennett, B. E., Bricklin, P. M., Canter, M.

B., Knapp, S. J., Moldawsky, S., Dkk. (1999).

Consideration For Ethical Practice In Managed

Care. Professional Psychology: Research And

Practice, 30, 563-575.

Aguilera, A., Garza, M. J. & Muños, R. F.(2010).

Group Cognitive-Behavioral Therapy For

Depression In Spanish: Culture-Sensitive

Manualized Treatment In Practice. Journal Of

Clinical Psychology, 66, 857-867.

233
Ahmed, S. & Amer, M. M.(Penyunting).(2012).

Counseling Muslims: Handbook Of Mental

Helath Issues And Interventions, New York:

Routledge.

Ahrons, C. R. (2011). Divorce: An Unscheduled

Family Transition. Dalam M. Mc Goldrick, B.

Carter & N. Garcia-Preto (Penyunting),The

Expanded Family Life Cycle: Individual, Family

And Social Perspective (Edisi Ke-4, Hlm. 292-

306). Boston:Pearson.

Bailey, J. & Burch, M. (2006).How To Think Like A

Behavior Analyst. Mahwah, NJ: Lawrence

Erlbaum.

Baker, D. C. & Bufka, L. F. (2011). Preparing For

234
The Telehealth World:Navigating Legal,

Regulatory, Reimbursement And Ethical Issues

In An Electronic Age. Professional Psychology:

Research And Practice, 42, 405-411.

Baker, K. D. & Ray, M. (2011). Online Counseling:

The Good, The Bad, And The Possibilities.

Counseling Psychology Quarterly,24(4), 341-

346.

Baker, R. R. & Pickren, W. E. (2011). Training

System And Sites: Department Of Veterans

Affairs. Dalam J. C. Norcross, G. R. Vandenbos

& D. K. Freedheim (Penyunting), History Of

Psychotherapy: Continuity And Change (Edisi

Kedua, Hlm.673-683). Washington, Dc:

235
American Psychological Association.

Balon, R., Martini, S. & Singareddy, R. K. (2004).

Patient Perspective On Collaborative

Treatment. Psychiatric Services, 55, 945-946.

Bandura, A. (1997). Social Learning Theory. New

York: Prentice Hall.

Barez, M., Blasco, T., Fernandez-Castro, J. &

Viladrich, C. (2009). Perceived Control And

Psychological Distress In Women With Breast

Cancer: A Longitudinal Study. Journal Of

Behavioral Medicine, 32, 187-196.

Barnett, J. E. (2011). Utilizing Technological

Innovation To Enhance Psychotherapy

Supervision, Training And Outcome.

236
Psychotherapy, 48, 103-108.

Barnett, J. E. & Campbell, L. F. (2012). Ethics Issues

In Scholarship. Dalam S.J. Knapp (Penyunting),

APA Handbook Of Ethics In Psychology,

Vol.2:Practice, Teaching And Research

(Hlm.309-333). Washington, Dc: American

Psychological Association.

Barnett, J. E. & Cooper, N. (2009). Creating A

Culture Of Self-Care. Clinical Psychology:

Science And Practice, 16, 16-20.

Corey, G. (2009). Therapy And Practice Of

Counseling And Psychotherapy (Edisi

Kedelapan). Belmont CA: Thomson.

Cosgrove, L. & Krimsky, S. (2012). A Comparison

237
Of DSM-IV And DSM-5 Panel Member’s

Financial Associations With Industry: A

Pernicious Problem Persists. Public Library Of

Science Medicine, 9(3).

Cosgrove, L. & Krimsky, S., Vijayaghavan, M. &

Schneider, L.(2006). Financial Ties Between

DSM-IV Panel Members And The

Pharmaceutical Industry. Psychotherapy And

Psychosomatics, 75, 154-160.

Engle, V. & Graney, M. (2000). Biobehavioral

Effects Of Therapeutic Touch. Journal Of

Nursing Scholarship, 32, 287-293.

Eonta, A. M., Christon, L. M., Hourigan, S. E.,

Ravindran, N., Vrana, S. R. & Southam Gerow,

238
M. A. (2011). Using Everyday Technology To

Enhance Evidense-Based Treatments.

Professional Psychology: Research And

Practice, 42, 513-520.

Epp, A. M., Dobson, K. S. & Cottraux, J. (2009).

Applications Of Individual Cognitive

Behavioral Therapy To Specific Disorders.

Dalam G. O. Gabbard (Penyunting), Texbook

Of Psychotherapeutic Treatment (Hlm. 239-

262). Washington, DC: American Psychiatric

Publishing.

Eriksen, K. (2005). Beyond The DSM Story.

Thousand Oaks, CA: Sage.

Eriksen, K. & Kress, V. E. (2005). Beyond The DSM

239
Story: Ethical Quandries, Challenges, And Best

Practices. Thousand Oaks, CA: Sage.

Grothberg, E. H. (2003). What Is Resilience? How

Do You Promote It? How Do You Use It?

Dalam E. H. Grotberg (Penyunting), Resilience

For Today: Gaining Strength From Adversity

(Hlm.1-29). Westport, CT: Praeger.

Groth-Marnat, G. (2009). Handbook Of

Psychological Assessment (Edisi Kelima).

Hoboken, NJ:Wiley.

Grove, W. M., Zald, D. H., Lebow, B. S., Snitz, B. E. &

Nelson C. (2000). Clinical Versus Mechanical

Prediction: A Meta-Analysis. Psychological

Assessment, 12, 19-30.

240
Grus, C. L. (2011). Training, Credentialing, And

New Roles In Clinical Psychology: Emerging

Trends. Dalam D. H. Barlow (Penyunting), The

Oxxford Handbook Of Clinical Psychology

(Hlm. 150-168).

Kendall, P & Norton-Ford. J. 1982. Clinical

Psychology, Scientific And Professions. New

York, John Willey & Sons

Korchin, S J. 1976. Modern Clinical Psychology,

Principles Of Intervention In The Clinic And

Community. New York : Basic Books Inc.

Rummell, C. M. & Joyce, N. R. (2010). “So Wat Do U

Want To Wrk On 2day?”: The Ethical

Implications Of Online Counseling. Ethics &

241
Behavior, 20, 482-496.

Russ, S. W. & Freedheim, D. K. (2002).

Psychotherapy With Chiledren. Dalam C.E.

Walker & M. C. (Penyunting), Handbook Of

Child Clinical Psychology (Edisi Ketiga, Hlm.

840-859). New York: Wiley.

Sageman, M. (2003). Three Types Of Skills For

Effective Forensic Psychological Assessments.

Assessment, 10, 321-328.

Saks, E. R., Jeste, D. V., Granholm, B. W., Palmer, B.

W. & Schneiderman, L. (2002). Ethical Issues

In Psychosocial Interventions Research

Involving Controls. Ethics & Behavior, 12, 87-

101.

242
Slamet, S. I. S. & Markam, S. 2005. Pengantar

Psikologi Klinis. Jakarta : Universitas Indonesia.

Trull, T J. & Phares E J. 2001. Clinical Psychology.

Concepts, Method, And Profession. Stamfort;

Thomson Learning.

Wheelis, J. (2009). Theory And Practice Of

Dialectical Behavioral Therapy. Dalam G.O.

Gabbard (Penyunting), Textbook Of

Psychotherapeutic: Treatments (Hlm. 727-

756). Washington, DC: American Psychiatric

Publishing.

White,J. H., Lester, D. Gentile, M. & Rosebleeth, J.

(2011).The Utilization Of Forensic Sience And

Criminal Profiling For Capturing Serial Killers.

243
Forensic Science International, 209, 160-165.

White, M. & Epston, D. (1990). Narrative Means To

Therapeutic Ends. New York: W. W. Norton.

Widiger, T. A. & Mullins-Sweatt, S. N. (2008).

Classification. Dalam M. Hersen &A. M. Gross.

(Penyunting), Handbook Of Clinical

Psychology(Jil. 1, Hlm. 340-370). Hoboken, N.

J. Wiley.

Widiger, T. A. & Mullins-Sweatt, S. N. (2009).Five-

Factor Model Of Personality Disorder: A

Proposal For DSM-V. Annual Review Of

Clinical Psychology, 5, 197-220.

Widiger, T. A. & Trull, T. J. (2007). Plate Tectonics

In The Classification Of Personality Disorders:

244
Shifting To A Dimensional Model. American

psychologist, 62, 71-83.

245
Tentang Penulis

Eko Yulianto, CHt, CI,

S.Psi,MKM lahir di

Semarang pada tanggal 24

Juli 1972. Dimana telah

memiliki sertifikasi

Hypnoterapist yang terdaftar di IBH (The

Indonesian Board Of Hypnoterapy) dengan

pengalaman lebih dari 10 tahun sebagai praktisi

HRD dan dosen. Di bidang pengembangan individu

beliau telah bekerja sama dengan perusahaan

nasional dan multi nasional serta terlibat dengan

pimpinan-pimpinan perusahaan tersebut. Klien-

kliennya berasal dari berbagai industri bidang

246
pendidikan, manufacture, jasa, trading, maupun

individu seperti PT. Energisindo, KPUD Batam dan

Kepulauan Riau, Kementrian Agama RI, Universitas

Muhammadiyah Jakarta, Rumah Sakit Islam

(group) Jakarta, SMP Muhammadiyah 50 Jakarta,

dan lain-lainnya.

Saat ini, bekerja sebagai Manager HRD Rumah

Sakit Islam Pondok Kopi Jakarta, dosen fakultas

psikologi Universitas Azzahra Jakarta, dosen

fakultas ekonomi Institut Bisnis Muhammadiyah

Bekasi. Beliau mendapatkan beasiswa untuk

pendidikannya di sekolah perawat kesehatan

daerah Ngawi (1989-1992) dan melanjutkan S1

Psikologi (1995-2000), mendapatkan beasiswa

kembali saat melanjutkan pendidikan S2

247
Manajemen Perumahsakitan (2010-2012). Beliau

pernah juga mengikuti pendidikan kepesantrenan

(1995-2003).

Beliau memiliki pengalaman kerja di berbagai

bidang rumah sakit. Diantaranya Rumah Sakit

Kasih Murni di Ngawi Jawa Timur (1992-1993),

dan Rumah Sakit Harapan Jayakarta Jakarta (1993-

1994).

Selama karirnya beliau mendapatkan beberapa

penghargaan diantaranya pegawai teladan 2 RSI

Pondok Kopi Jakarta (2000), Finalis PERSI AWARD

(Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia)

materi HRD “Segenggam Berlian” (2011), Finalis

PERSI AWARD materi HRD “ Penilaian Kinerja

Pejabat” (2011), Finalis PERSI AWARD materi HRD

248
“Analisa Beban Kerja”(2012), dan Pegawai terbaik 1

Satya Bakti 20th (2014).

249
PSIKOLOGI KLINIS
PERKEMBANGAN TEORI,
PRAKTEK, dan BUDAYA
EKO YULIANTO, CHt, CI, S.Psi,MKM

Psikologi Klinis dapat diartikan secara sempit


maupun luas, yaitu mempelajari orang-orang
abnormal dengan menggunakan assessmen sebagai
bagian integral yang biasa digunakan. Psikologi
Klinis menggunakan konsep-konsep psikologi
abnormal, psikologi perkembangan, psikopatologi
dan psikologi kepribadian, serta prinsip-prinsip
dalam asessmen dan intervensi, untuk dapat
memahami dan memberi bantuan bagi mereka
yang mengalami masalah-masalah psikologis.

250

Anda mungkin juga menyukai