Definisi Alergi Obat
Definisi Alergi Obat
Alergi obat adalah reaksi berlebihan sistem kekebalan tubuh terhadap obat-obatan tertentu yang Anda
gunakan. Kondisi ini berbeda dengan efek samping obat yang umumnya tercantum pada kemasan
maupun keracunan obat akibat overdosis.
Pada umumnya, alergi obat terjadi karena sistem kekebalan tubuh berusaha memerangi zat tertentu
yang terkandung dalam obat tersebut. Hal ini terjadi karena sistem kekebalan tubuh menganggap obat
sebagai substansi yang bisa menyakiti tubuh.
Reaksi alergi obat umumnya muncul secara bertahap seiring sistem kekebalan tubuh yang membangun
antibodi untuk melawan obat tersebut. Reaksi ini mungkin tidak muncul secara langsung saat pertama
menggunakan obat.
Pada tahap penggunaan pertama, sistem kekebalan tubuh akan menilai obat sebagai substansi
berbahaya bagi tubuh kemudian mengembangkan antibodi secara perlahan-lahan. Pada penggunaan
berikutnya, antibodi ini akan mendeteksi dan menyerang substansi dari obat tersebut. Proses inilah yang
bisa memicu gejala-gejala alergi obat.
Sebagian besar alergi obat memiliki gejala yang ringan dan biasanya akan reda dalam beberapa hari
setelah Anda berhenti meminum obat tersebut. Berikut ini adalah beberapa gejala umum dari alergi
obat yang bisa Anda cermati.
Gatal-gatal.
Hidung beringus.
Batuk-batuk.
Demam.
Pembengkakan.
Meski demikian, reaksi alergi yang parah juga dapat memicu anafilaksis (reaksi alergi yang menyebabkan
kegagalan fungsi sistem tubuh secara luas). Kondisi ini sangat serius dan bisa berakibat fatal sehingga
memerlukan penanganan secepat mungkin.
Berhati-hatilah jika Anda mengalami reaksi alergi. Periksakan segera diri Anda ke dokter untuk
mengetahui penyebabnya sehingga bisa dihindari.
Hampir semua obat bisa memicu reaksi yang tidak diinginkan dari tubuh, tapi tidak semua reaksi
termasuk alergi. Alergi obat disebabkan oleh reaksi sistem kekebalan tubuh pada obat tertentu.
Beberapa jenis obat yang berpotensi memicu reaksi alergi meliputi:
Aspirin.
Antikonvulsan.
Insulin.
Vaksin.
Tidak semua orang akan mengalami reaksi alergi akibat obat. Para pakar menduga ada beberapa faktor
yang bisa meningkatkan risiko alergi obat pada seseorang. Faktor-faktor risiko tersebut meliputi:
Peningkatan pajanan terhadap obat tertentu, misalnya karena penggunaan yang berulang,
berkepanjangan, atau dengan dosis tinggi.
Faktor keturunan. Risiko Anda untuk mengalami alergi obat akan meningkat jika ada anggota keluarga
Anda memiliki alergi terhadap obat-obatan tertentu.
Memiliki alergi terhadap obat lain. Contohnya, jika alergi terhadap penisilin, Anda juga berpotensi untuk
mengalami alergi terhadap amoxicillin.
Mengidap penyakit yang menyebabkan tubuh rentan terhadap reaksi alergi obat, misalnya HIV.
Sama seperti penyakit lain, tahap awal diagnosis alergi obat adalah dengan memeriksa kondisi
kesehatan dan fisik Anda. Terutama, waktu kemunculan gejala, jenis obat yang digunakan, maupun
tingkat keparahan serta perubahan pada gejala yang dialami. Jika dibutuhkan, dokter juga bisa
menganjurkan pemeriksaan yang mendetail untuk memastikan diagnosis, misalnya:
Tes kulit. Obat-obatan yang dicurigai menyebabkan alergi akan diaplikasikan ke kulit dengan jarum,
suntikan atau tempelan. Hasil positif memperlihatkan kulit memerah, gatal-gatal, atau muncul benjolan.
Jika hal itu terjadi, Anda hampir pasti mempunyai alergi terhadap obat tersebut.
Tes darah. Tes ini jarang digunakan karena tingkat akurasi terhadap alergi obat sangat terbatas. Tapi,
jika dokter menduga akan ada reaksi yang parah bila tes kulit dilakukan pada Anda, maka dokter
kemungkinan akan melakukan tes darah. Tes ini juga berfungsi untuk mengetahui kondisi lain yang bisa
memunculkan gejala yang Anda alami.
Penanganan utama untuk alergi obat adalah dengan mengatasi dan meredakan gejala-gejala yang
dialami. Langkah ini bisa dilakukan dengan berhenti mengonsumsi atau menggunakan obat yang
menyebabkan alergi.
Pemberian antihistamin mungkin disarankan untuk menghalangi unsur kimia sistem kekebalan tubuh
yang diaktifkan tubuh saat terjadi reaksi alergi. Penggunaan kortikosteroid dapat mengatasi inflamasi
akibat reaksi alergi yang lebih serius.
Bagi yang mengalami anafilaksis, penderita membutuhkan penanganan secepatnya dengan suntikan
epinefrin. Pasien juga sebaiknya menjalani perawatan di rumah sakit agar bisa mendapatkan bantuan
pernapasan dan menstabilkan tekanan darah.
Selain mengobati, kita juga dapat mencegah munculnya alergi obat. Langkah utama dalam mencegah
alergi obat adalah dengan menghindari obat yang menjadi sumber alergi. Contohnya dengan
mengenakan gelang atau kalung penanda alergi jika memungkinkan, memberi tahu dokter atau tenaga
medis tentang jenis obat yang bisa memicu reaksi alergi pada Anda. Apabila telah terjadi reaksi
anafilaksis atau reaksi alergi obat yang berat, dokter mungkin akan meresepkan suntikan epinefrin.
Bawalah selalu untuk berjaga-jaga apabila terjadi reaksi serupa.
Tanya
DISKUSI TERBARU
Kunjungi Komunitas
mengatasi mimisan..
By Ekawati Sulastri
dok saya mau tanya.. saya seorang pekerja pabrik.. d sana pekerjaan saya lumayan berat.. dan suhu d
sana sering naik...
1 Balasan
By Agung323
dok saya mau tanya saya menikah hampir 5thn tapi sampe sekarang setiap saya berhubungan intim
seperti mati rasa dan tidak pernah erasa klimaks...
2 Balasan
By Ifah Alifah
Dok saya seminggu yg lalu abis dijahit didaerah dagu,tp saya tidak tahu benang yg dipakai itu menjadi
daging atau wajib dibuka,itu gmna ya...
1 Balasan
Lebih Lanjut
Kesehatan
Hidup Sehat
Keluarga
Tentang Kami
Advertise with us
Privasi
Kontak Kami
OBAT
(ADR)
Kulit Organ
(erupsi obat)
ERUPSI OBAT
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit atau daerah mukokutan
yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik.
Erupsi obat alergik (EOA) merupakan reaksi hipersensitivitas yang ditandai oleh satu atau lebih makula
yang berbatas jelas, berbentuk bulat atau oval dengan ukuran lesi bervariasidari beberapa milimeter
sampai beberapa sentimeter. Gambaran yang khas dari EOA adalah kecenderungannya untuk berulang
di tempat lesi yang sama bila terpapar kembali dengan obat yang sama.
B. EPIDEMIOLOGI
Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi alergi obat, tetapi berdasarkan data
yang berasal dari rumah sakit, studi epidemiologi, uji klinis terapeutik obat dan laporan dari dokter
diperkirakan kejadian alergi obat adalah 2% dari total pemakaian obat – obatan atau sebesar 15 – 20%
dari keseluruhan efek samping pemakaian obat – obatan.
C. ETIOLOGI
Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu, tempat dan jenis penelitian
yang dilaporkan. Tingginya angka kejadian alergi obat tampak berhubungan erat dengan kekerapan
pemakaian obat tersebut. Diduga risiko terjadinya reaksi alergi sekitar 1 – 3% terhadap sebagian besar
jenis obat. Pada umumnya laporan tentang obat tersering penyebab alergi adalah golongan penisilin,
sulfa, salisilat dan pirazolon. Obat lain yang sering pula dilaporkan adalah analgetik lain (asam
mefenamat), antikonvulsan (dilantin, mesantoin, tridion), sedatif (terutama luminal) dan trankuilizer
(fenotiazin, fenergan, klorpromazin, meprobamat). Tetapi, alergi obat dengan gejala klinis berat paling
sering dihubungkan dengan penisilin dan sulfa.
Adapun faktor – faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat antara lain :
1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan pria.
2. Sistem Imunitas
Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan sistem imun.
3. Usia
Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama anak – anak dan orang dewasa. Pada
anak – anak disebabkan perkembangan sistem imunologi yang belum sempurna. Sebaliknya, pada orang
dewasa disebabkan karena lebih seringnya berkontak dengan bahan antigenetik.
4. Dosis
Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan timbulnya sensitisasi. Tetapi,
jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi.
Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat yang disertai dengan
keganasan.
6. Atopik
Keterangan :
Mekanisme terjadinya erupsi alergi obat dapat terjadi secara nonimunologik dan imunologik (alergik),
tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Pada mekanisme imunologik, erupsi alergi obat
terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang sudah tersensitasi dengan obat tersebut. Obat dengan
berat molekul yang rendah awalnya berperan sebagai antigen yang tidak lengkap (hapten). Obat atau
metabolitnya yang berupa hapten ini harus berkonjugasi dahulu dengan protein, misalnya jaringan,
serum atau protein dari membran sel untuk membentuk antigen yaitu kompleks hapten protein. Obat
dengan berat molekul yang tinggi dapat berfungsi langsung sebagai antigen lengkap. Sehingga
mengakibatkan terjadinya erupsi obat.
F. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau menurut mekanisme
kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell danCoombs (tipe I sampai dengan IV).
Manifestasi klinis renjatan anafilatik dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah pemberian obat,
karena hal tersebut mengenai beberapa organ dan secara potensial membahayakan. Reaksi ini sering
disebut sebgai anafilaksis. Penyebab yang tersering adalah penisilin.
b. Fase aktivasi yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik. Akibat aktivasi ini sel
mast basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk granual yang dapat menimbulkan reaksi;
c. Fase efektor yaitu fase terjadinya respon imun yang kompleks akibat pelepasan mediator.
2. Tipe II
Reaksi hipersensivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi karena terbentuknya IgM atau IgG oleh
pajanan antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel – sel yang memiliki reseptornya (FcgR).
Ikatan antibodi antigen juga dapat mengaktifkan komplemen melalui reseptor komplemen.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti anemia hemolitik,
trombositopena, eosinofilia dan granulasitopenia. Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi alergi
tipe ini.
3. Tipe III
Reaksi ini disebut reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila kompleks ini mengendap pada jaringan.
Antibodi yang berperan di sini ialah IgM dan IgG. Kompleks ini akan mengaktifkan pertahanan tubuh
yaitu dengan penglepasan komplemen.
a. Demam;
b. Limfadenopati;
d. Urtikaria, angiodema, eritema, makulopapula, eritema multiforme. Gejala tersebut sering disertai
pruritis;
e. Lainnnya seperti kejang perut, mual, neuritis optik, glomerulonefritis, sindrom lupus eritematosus
sistemk serta vaskulitis.
Gejala tadi timbul 5 – 20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah mendapat obat
tersebut gejalanya dalam waktu 1 – 5 hari.
4. Tipe IV
Reaksi tipe IV disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga dikenal sebagai Cell Mediated
Imunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi. Reaksi terjadi karena respon sel
T yang telah disensitasi oleh antigen tertentu.
c. Reaksi tuberkulin;
d. Reaksi granuloma.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk,
infiltrat paru dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofurantion, nefritis
intersyisial, ensefalomielitis dan hepatitis. Namun, dermatitis merupakan manifestasi yang paling sering.
Kadang – kadang gejala baru timbul bertahun – tahun setelah sensitasi. Contohnya, pemakaian obat
tropikal (sulfa, penisilin atau antihistamin). Bila pasien telah sensitif, gejala dapat muncul 18 – 24 jam
setelah obat dioleskan.
1. Bercak kemerahan akibat barbiturate mungkin terdapat pada telapak tangan dan kaki;
2. Biasanya berupa eritema atau morbiliform, kadang – kadang disertai dengan demam,
limfadenopati dan nyeri pada mulut.
H. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Wawancara mengenai riwayat penyakit (anamnesis) merupakan cara yang paling penting untuk
diagnosis alergi obat karena cara – cara pemeriksaan yang ada sekarang masih rumit dan hasilnya juga
belum memuaskan. Kesulitan yang sering timbul yaitu apakah gejala yang dicurigai timbul sebagai
manfestasi alergi obat. Masalah tersebut lebih sulit lagi bila pada saat yang sama pasien mendapat lebih
dari satu macam obat.
Hal – hal yang perlu diperhatikan pada anamnesis pasien alergi obat adalah :
a. Riwayat pemakaian obat masa lalu dan catat bila ada reaksi;
b. Manifestasi klinis alergi obat sering dihubungkan dengan jenis obat tertentu;
c. Pemakaian obat topikal (salep) antibiotik jangka lama merupakan salah satu jalan terjadinya
sensitasi obat yang harus diperhatikan;
d. Diagnosis alergi obat sangat mungkin bila gejala menghilang setelah obat dihentikan dan timbul
kembali bila pasien diberikan obat yang sama;
e. Catat semua obat yang dipakai pasien termasuk vitamin, tonikum dan obat yang sebelumnya
sering dipakai, tetapi tidak menimbulkan gejala alergi obat;
f. Catat lama pemakaian serta riwayat obat obat sebelumnya. Alergi obat sering timbul bila obat
diberikan secara berselang – seling, berulang – ulang serta dosis tinggi secara parental;
g. Lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat sampai timbulnya gejala. Pada reaksi
anafilaksis gejala timbul segera, tetapi kadang – kadang gejala alergi obat baru timbul 7 – 10 hari setelah
pemakian pertama.
2. Uji Kulit
Uji kulit yang ada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat (penisilin, insulin, sediaan serum),
sedangkan untuk obat – obatan yang lain masih diragukan nilainya. Hal ini dikarenakan :
a. Beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya histamin (kodein, tiamin) sehingga uji
positif yang terjadi adalah semu;
b. Konsentrasi obat terlalu tinggi juga menimbulkan hasil positif semu. Sebagian besar obat
mempunyai berat molekul kecil sehingga hanya merupakan hapten. Oleh sebab itu, sukar untuk
menentukan antigennya;
c. Kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil metabolismenya dan bukan oleh obat aslinya,
sehingga bila kita melakukan uji kulit dengan obat aslinya hasilnya kurang dapat dipertanggung
jawabkan kecuali penisilin yang diketahui hasil metabolismenya serta obat – obat yang mempunyai
berat molekul besar (insulin, ACTH, serum serta vaksin yang mengandung protein telur).
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat alergi adalah
:
a. Pemeriksaan in vivo
Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu determinan antigen dari
obat atau metabolitnya. Bahan uji kulit harus bersifat non iritatif untuk menghindari positif palsu. Uji ini
manfaatnya sangat terbatas karena baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui
dan tersedia untuk uji kulit. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makro molekul
seperti insulin, antisera, ekstrak organ, sedangkan untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat
diidentifikasi alergi terhadap penisilin saja. Uji ini antara lain :
Uji tempel sering dipakai untuk membuktikan dermatitis kontak. Suatu seri sediaan uji tempel yang
mengandung berbagai obat ditempelkan pada kulit (biasanya daerah punggung) untuk dinilai 48 – 72
jam kemudian. Uji tempel dikatakan positif bila terjadi erupsi pruritus, eritema dan vesikular yang
serupa dengan reaksi. Klinis alergi sebelumnya, tetapi dengan intensitas dan skala lebih ringan.
Uji tusuk dapat digunakan untuk mengkonfirmasi adanya reaksi tipe I, dengan adanya deteksi kompleks
antigen IgE spesifik. Uji kulit dapat dilakukan dengan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu
determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan untuk uji kulit harus bersifat non iritatif untuk
menghindarkan positif palsu. Uji kulit sebetulnya merupakan cara yang efektif untuk diagnosis penyakit
atopik, tetapi manfaatnya terbatas untuk alergi obat karena pada saat ini baru sedikit sekali determinan
antigen obat yang sudah diketahui. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap
makromolekul (insulin, antisera, ekstrak organ), sedangkan untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat
mengidentifikasi alergi terhadap penisilin saja. Hasil negatif hanya berarti pada uji kulit penisilin.
Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat, tetapi merupakan prosedur diagnostik terbatas
karena mengandung resiko yang berbahaya yaitu terjadinya anafilaksis sehingga hanya dianjurkan
dilakukan ditempat yang memiliki fasilitas dan tenaga yang memadai. Karena itu maka uji provokasi
merupakan kontra indikasi untuk alergi obat yang berat misalnya anafilaksis, sindroma Steven Johnson,
dermatitis eksfoliatif, kelainan hematologi, eritema vesiko bulosa. Uji provokasi dilakukan setelah
eliminasi yang lamanya tergantung dari masa paruh setiap obat.
b. Pemeriksaan in vitro
Uji in vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian. Pemeriksaan yang dilakukan antara
lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi dan lisis sel darah merah, RAST, uji pelepasan histamin, uji
sensitisasi jaringan (basofil atau lerkosit serta esai sitokin dan reseptor sel), sedangkan pemeriksaan
rutin seperti IgE total dan spesifik, uji Coomb’s, uji komplemen dan lain – lain bukanlah untuk konfirmasi
alergi obat. Tujuan dari uji ini untuk membantu membedakan apakah reaksi kulit yang terjadi pada
individu tersebut disebabkan karena obat atau bukan.
J. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Umum
a. Melindungi kulit, pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi kulit harus dihentikan
segera;
b. Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk mendeteksi kemungkinan
timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps setelah berada pada fase pemulihan;
c. Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2 – 3 hari, khususnya pada kasus yang
disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500
mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik;
d. Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya. Berikan cairan via infus
bila perlu. Pengaturan keseimbangan cairan elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak
dapat menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat
diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5% dan larutan Darrow.
2. Penatalaksanaan Khusus
a. Sistemik
1) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat kortikosteroid yang sering
digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura,
eritema nodosum, eksantema fikstum dan PEGA karena erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang
dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari. Pengobatan eryhema multiforme major, SSJ dan NET
pertama kali adalah menghentikan obat yang diduga penyebab dan pemberian terapi yang bersifat
suportif seperti perawatan luka dan NET perawatan gizi penderita. Penggunaan glukortikoid untuk
pengobatan SSJ dan masih kontroversial. Pertama kali dilakukan pemberianintravenous
immunoglobulin (IVIG) terbukti dapat menurunkan progresifitas penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam.
Untuk selanjutnya IVIG diberikan sebanyak 0.2 – 0.75 g/kg selama 4 hari pertama.
2) Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa gatal, kecuali pada urtikaria,
efeknya kurang jika dibandingkan dengan kortikosteroid.
b. Topikal
Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau basah. Jika dalam
keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol ½ -
1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan
asam salisilat 1%.
Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada eksantema
fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan krim kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1% – 2 ½%.
Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat
diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian – sebagian. Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat
berupakenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim sulfadiazin
perak.
Analisis Data
DS :
- Klien mengatakan hal ini terjadi setelah klien minum obat antibiotik
DO :
- Pada kulit dan mukosa mulut terdapat bula yang luas dan sebagian terdapat krusta
1. DS : Gangguan pertukaran
gas.
- Klien mengatakan sesak nafas
Definisi : kelebihan
dan kekurangan
oksigenasi dan atau
eliminasi
karbondioksida di
membran kapiler –
aveolar.
2. DS : Kerusakan integritras
jaringan
- Klien mengatakan hal ini terjadi
setelah klien minum obat antibiotik Definisi : suatu
kerusakan pada
Do : membran mukossa
- Pada kulit dan mukosa mulut jaringan korneal
terdapat bula yang luas dan sebagian integumen atau
terdapat krusta subkutan seseorang
suatu perubahan
pada jaringan tubuh
seseorang.
2. Kerusakan integritas jaringan b/d Kulit dan membran Perawatan luka pencegahan
kulit dan mukosa mulut yang di mukosa keutuhan komplikasi luka dan
tandai dengan : struktural dan fungsi peningkatan penyembuhan
fisiologis normal luka.
DS : dari kulit serta
- Klien mengatakan hal ini membran mukosa.
terjadi setelah klien minum obat
antibiotik
DO :
Hari/ Diagnosa
No Tujuan Tindakan Rasional
Tanggal Keperawatan
DO :
- Pada
kulit dan
mukosa
Intervensi
P:
Q:
R:
S : 10 - 0
T : Terus – menerus
A :
R :
DO :
P:
Q:
R:
S:
T:
A:
R:
Evaluasi
O:-
P : Lanjutan Intervensi
2. Selasa, 5 Juni 2012 S : Klien mengatakan hal ini terjadi setelah klien
minum obat antibiotik
P : Lanjutan Intervensi
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit atau daerah mukokutan
yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik dan diperkirakan kejadiannya 2% dari
total pemakaian obat – obatan atau sebesar 15 – 20% dari keseluruhan efek samping pemakaian obat –
obatan. Penyebab alergi obat yang tersering adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat dan pirazolon.
Adapun faktor risiko alergi obat antara lain jenis kelamin, sistem imunitas, usia, dosis, infeksi dan
keganasan serta atopik.Manifestasi alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau
menurut mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell dan Coombs (tipe I sampai dengan
IV). Tanda dan gejala erupsi obat yaitu bercak kemerahan, eritema, demam, limfadenopati dan nyeri
pada mulut. Diagnosis erupsi obat adalah anamnesis dan uji kulit. Pemeriksaan penunjang erupsi obat
dengan pemeriksaan in vivo serta in vitro. Sedangkan untuk penatalaksanannya bisa secara umum dan
khusus.