Anda di halaman 1dari 19

PITFALL DIET KETOGENIK UNTUK

PENURUNAN BERAT BADAN PADA ANAK DAN


REMAJA
BAB I
PENDAHULUAN

Diet ketogenik adalah suatu pola diet dengan prinsip rendah karbohidrat, rendah
protein dan tinggi lemak, yang selama ini digunakan untuk penanganan epilepsi refrakter
pada anak. Diet ketogenik akan menimbulkan suatu keadaan yang menyerupai keadaan
kelaparan pada tubuh, dimana tubuh akan dipaksa untuk membakar lemak sebagai sumber
energi, dan bukannya membakar karbohidrat.(1)
Pada keadaan normal, karbohidrat yang terkandung dalam makanan akan diubah
menjadi glukosa, yang kemudian akan dibawa ke seluruh tubuh dan menjadi sumber energi
yang penting untuk fungsi otak. Tetapi apabila diet/makanan hanya mengandung karbohidrat
yang sangat sedikit, maka hati akan mengubah lemak menjadi asam lemak dan badan keton.
Badan keton akan masuk ke otak dan menjadi sumbar energi menggantikan glukosa. Suatu
keadaan dengan adanya peningkatan badan keton dalam darah disebut dengan ketosis, dan
selama ini sudah terbukti dapat mengurangi frekuensi bangkitan kejang pada epilepsi
refrakter(1)
Prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas, yang didefinisikan sebagai indeks
massa tubuh (BMI, kg / m2) > persentil ke-95, menjadi > 2x lipat di antara anak-anak dan
remaja dalam tiga dekade terakhir ini. Follow up jangka panjang dari pasien anak-anak
obesitas sampai dewasa menunjukkan bahwa mereka yang paling overweight cenderung
menjadi obese saat usia dewasa nanti. Sequelae obesitas pada populasi remaja antara lain
kelainan biokimia atau penyakit termasuk dislipidemia, resistensi insulin, gangguan toleransi
glukosa, dan diabetes mellitus tipe 2. Peningkatan massa lemak tubuh pada remaja juga
dikaitkan dengan gangguan psikososial mayor, termasuk isolasi, depresi, harga diri yang
rendah, dan munculnya gangguan makan. Dengan mempertimbangkan adanya peningkatan
prevalensi obesitas pada anak-anak dan remaja, diperlukan suatu evaluasi pendekatan baru
untuk mengatasi masalah ini. Misalnya, diet sangat rendah karbohidrat (ketogenik), diet
rendah karbohidrat (LC) dan rendah lemak (LF) telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi
dengan baik untuk penurunan berat badan jangka pendek pada anak-anak dan dewasa.(2)
Pada tahun 1970an, ''carbo-caloric diet'' adalah jenis diet yang populer, menganjurkan
asupan tak terbatas dari semua jenis bahan makanan kecuali karbohidrat yang dibatasi. Diet
rendah karbohidrat tinggi lemak ini menyebabkan ketosis ringan dan penurunan berat badan,
namun sayangnya juga menghasilkan kadar lemak jenuh plasma yang tinggi. Seiring
masyarakat menjadi lebih sadar akan bahaya peningkatan trigliserida dan kolesterol, program

2
diet ini akhirnya ditinggalkan. Baru-baru ini, sebagian besar akibat popularitas diet Atkins,
diet rendah lemak tinggi karbohidrat menjadi populer kembali sebagai instrumen untuk
menurunkan berat badan. Studi melaporkan penurunan berat badan yang signifikan pada diet
tinggi protein, tinggi lemak, rendah karbohidrat tanpa peningkatan serum kolesterol yang
signifikan. Studi yang membandingkan diet Atkins versus diet pembatasan kalori klasik
semakin banyak muncul dan menjadi subyek penelitian yang signifikan.(3)

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Diet Ketogenik


Diet ketogenik (KD) telah digunakan sejak tahun 1920 untuk anak-anak dengan
epilepsi yang sulit diobati, dengan popularitas meningkat selama 15 tahun terakhir (tanpa ada,
2008). Penggunaan KD dan variannya meningkat sebesar 50% di Inggris antara tahun 2000
dan 2007 (Lord & Magrath, 2010), namun perawatan diet masih jarang digunakan pada orang
dewasa. Data tentang perawatan diet diterbitkan dari> 1.300 anak-anak <12 tahun, namun
dari hanya 178 orang dewasa dan 92 remaja yang belajar open-label memberikan usia. Tujuh
orang dewasa tambahan dan satu remaja disertakan dalam laporan dan seri kasus.(4)
KD bisa menjadi pilihan pengobatan yang efektif pada anak-anak. Setelah laporan
awal mengenai efek puasa pada penghentian pengobatan (Guelpa & Marie, 1911), diet rendah
lemak dan rendah karbohidrat digunakan untuk meniru keadaan kelaparan dan menghasilkan
ketosis (Wilder, 1921). Hal ini menyebabkan diperkenalkannya apa yang disebut '' diet
ketogenik klasik ', biasanya dengan perbandingan lemak (gram) 4: 1 untuk protein dan
karbohidrat (dalam gram), untuk orang dengan epilepsi yang resistan terhadap obat.
Kemudian, dalam usaha untuk membuat makanan lebih enak, trigliserida rantai menengah (''
MCT '') KD diperkenalkan dengan anggapan bahwa MCT lebih ketogenik per kalori, dan diet
tersebut memungkinkan protein yang lebih besar dan karbohidrat (Huttenlocher et al., 1971;
Huttenlocher, 1976). Diet MCT awalnya menghasilkan 60% kalori dari minyak MCT. Diet
MCT yang dimodifikasi, yang dirancang untuk mengurangi efek samping gastrointestinal,
menghasilkan 30% kalori dari minyak MCT dan 30% dari lemak rantai panjang (Schwartz et
al., 1989).(4)
Bentuk variasi diet yang lebih santai telah disusun, yaitu termasuk Diet Atkins
Modifikasi (MAD) dan Perlakuan Indeks Glikemik Rendah (LGIT), yang bertujuan untuk
meningkatkan fleksibilitas dan palatabilitas. MAD didasarkan pada rasio 1: 1, meskipun hal
ini tidak diperlukan dalam semua makanan, dan termasuk 10-30 g karbohidrat / hari (Kossoff
& Dorward, 2008) tanpa pembatasan cairan, kalori, atau protein. Hal ini memungkinkan
pengguna lebih fleksibel dan tidak memerlukan penimbangan porsi makanan atau tinggal di
rumah sakit sejak awal (Kossoff et al., 2009). LGIT mencakup proporsi karbohidrat yang
lebih tinggi (sekitar 40-60 g / hari) dibandingkan dengan KD klasik, dengan 60% kalori
diambil dari lemak, namun hanya karbohidrat dengan indeks glisemik <50 yang relatif
terhadap glukosa.(4)
4
2.2 Mekanisme aksi diet ketogenik
2.2.1 Peran badan keton
Ketika lemak dipakai dan dimetabolisme sebagai sumber energi primer, hati akan
memproduksi badan keton, yaitu beta-hidroxibutirat (BHB), asetoasetat dan aseton. BHB
adalah badan keton dominan yang dapat diukur dalam darah, dan telah digunakan sebagai
ukuran klinis dari implementasi diet ketogenik.

Gambar 1. Jalur metabolik yang menghasilkan badan keton pada diet ketogenik.(5)

Keadaan ketosis yang dominan inilah yang membuat para ahli menganggap bahwa
badan keton memiliki efek antikonvulsi. Pada tahun 1933, Keith mengadakan penelitian
dengan menginduksi kejang pada kelinci dengan senyawa thujone, dan ternyata asetoasetat
dapat memblok efek thujone tersebut. Efek antikonvulsi aseton pertama kali ditemukan oleh
Likhodii pada tahun 2003, yang berhasil mencegah terjadinya kejang pada empat model
kejang (kejang tonik klonik, absence tipikal dan atipikal, dan kejang parsial kompleks) pada
hewan coba. Dan ternyata pada pasien-pasien epilepsi yang memiliki respon yang baik
terhadap diet ketogenik didapatkan peningkatan konsentrasi aseton di otak yang diukur
dengan magnetic resonance spectroscopy. Sementara BHB sendiri sampai saat ini belum
berhasil dibuktikan memiliki efek antikonvulsan langsung, walaupun BHB memiliki struktur
yang sama dengan GABA, yaitu neurotransmitter inhibisi dan merupakan antikonvulsan yang
poten.(6)

5
2.3. Jenis-Jenis Diet Ketogenik
A. Diet ketogenik klasik
Diet ketogenik klasik adalah tipe diet yang pertama kali dibuat dan digunakan di RS
John Hopkins, yaitu sejak tahun 1920-an. Diet ini menggunakan trigliserida rantai panjang
(LCT) sebagai sumber lemak yang utama, dengan rasio lemak berbanding karbohidrat dan
protein yaitu 4:1. Trigliserida rantai panjang terutama dapat diperoleh dari mentega,
mayonnaise, minyak zaitun dan sebagian besar diet lemak lain.(7)
Pada diet ketogenik, ada beberapa parameter biokemikal yang harus dianalisis dari
sampel darah, diantaranya adalah badan keton (asetoasetat, BHB), glukosa serum, piruvat,
dan laktat. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa semua tipe diet ketogenik menimbulkan
peningkatan level badan keton yang signifikan, tetapi efek peningkatan badan keton ini
paling jelas terlihat pada diet ketogenik klasik.(7)

B. Diet Medium Chain Triglyceride (MCT)


Pada pertengahan abad ke-20, diet ketogenik mulai ditinggalkan karena ditemukannya
jenis OAE yang baru dan diet ketogenik yang sulit untuk diterima sebagian pasien. Dr. Peter
Huttenlocher dari Universitas Chicago berusaha untuk menemukan dan mengembangkan
bentuk diet ketogenik yang baru, dengan membuat formula makanan yang mirip diet normal.
Tim dr.Huttenlocher menyebut formula ini dengan diet medium-chain triglycerides (MCT).
Mereka mengganti trigliserida rantai panjang (LCT) pada diet ketogenik klasik dengan MCT.
MCT dibuat dalam bentuk minyak yang tidak berbau, tidak berwarna, dan tidak berasa. MCT
juga harus dihitung terlebih dulu untuk kemudian dapat dimasukkan dalam dafter diet, tapi
MCT bersifat lebih ketogenik dibandingkan LCT. Akibat sifatnya yang lebih ketogenik maka
seorang pasien dengan diet MCT dapat mengkonsumsi makanan-makanan anti-ketogenik
yang lebih bervariasi, seperti buah daan sayur dengan porsi lebih besar. Konsumsi cairan juga
tidak dibatasi dalam diet MCT. Jenis makanan yang lebig bervariasi dalam diet MCT
diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani diet, dan pasien
diharapkan dapat menjalani diet yang lebih normal walaupun harus mempertahankan keadaan
ketosis.(8)
Diet MCT, seperti juga diet klasik, diinisiasi dengan puasa biasanya mulai
menunjukkan hasil dalam beberapa hari setelah dimulai. Jika diet MCT berhasil, maka pasien
dipertahankan dengan diet ini selama 2 tahun. Walaupun pada beberapa penelitian diet MCT
dilaporkan memiliki efektivitas yang sama dengan diet klasik, tetapi pada terapi diet
ketogenik di RS John Hopkins, didapatkan bahwa diet MCT memiliki efek kontrol kejang
6
yang lebih rendah dibandingkan diet klasik, yang kemungkinan diakibatkan jumlah kalorinya
yang cukup tinggi dibanding diet klasik. Selain itu, pada diet MCT sering didapatkan keluhan
berupa kram perut, diare persisten dan berat, dan mual muntah, sehingga bila pasien tidak
kuat, diet ini tidak akan efektif. Sehingga biasanya minyak MCT ini ditambahkan pada diet
klasik untuk meningkatkan keadaan ketosis dan mengurangi konstipasi.(1)

C. Diet modifikasi Atkins


Tipe diet yang ketiga adalah diet modifikasi Atkins. Dengan restriksi karbohidrat, diet
Atkins dapat menginduksi ketosis dan tidak perlu dilakukan restriksi protein, cairan atau
kalori, dan tidak didahului oleh fase puasa. Bahkan diet Atkins ini sudah tersedia di toko-toko
makanan tertentu, sehingga keluarga pasien tidak perlu lagi mengukur atau menakar makanan
yang akan dikonsumsi. Keadaan ketosis pada urin dapat dijumpai dalam empat hari setelah
diet dimulai.(9)
Selama beberapa hari pertama, seperti pada tahap inisiasi diet klasik, pasien dapat
menjadi ketosis dengan sangat cepat, sehingga muncul efek samping mengantuk, dehidrasi
atau muntah. Beberapa pasien mungkin akan harus diopname untuk pemberian cairan
intravena. Setelah bulan pertama, maintenance untuk diet Atkins adalah sama dengan diet
ketogenik klasik. Jika efek kontrol kejang yang diharapkan masih kurang, maka sumber-
sumber lemak seperti mayonais, mentega, krim atau minyak MCT dapat ditambahkan ke
dalam diet. Jika pasien terlalu ketosis (mengantuk dan tampak kurang bertenaga), karbohidrat
dapat sedikit dinaikkan.(1)

Tabel 1. Perbedaan antara diet klasik dan diet modifikasi Atkins.(9)

7
d. Low Glycaemic Index Treatment (LGIT)

LGIT adalah suatu upaya untuk mencapai kadar glukosa darah yang stabil pada anak-
anak dengan diet ketogenik klasik dengan menggunakan rejimen yang lebih tidak restriktif.
Hipotesisnya adalah bahwa glukosa darah yang stabil dapat menjadi salah satu mekanisme
aksi yang terlibat pada diet ketogenik, yang terjadi karena absorbsi karbohidrat yang terbatas
akan diperlambat oleh kandungan lemak yang tinggi. Meskipun merupakan diet tinggi lemak
(60% kalori dari lemak), LGIT mengizinkan lebih banyak karbohidrat dibandingkan diet
ketogenik klasik atau diet modifikasi Atkins, kira-kira 40-60 g per hari. Namun, jenis
karbohidrat yang dikonsumsi terbatas pada yang memiliki indeks glikemik < 50. Seperti diet
modifikasi Atkins, LGIT dimulai di klinik rawat jalan dan tidak memerlukan penimbangan
makanan yang tepat atau dukungan ahli diet secara intensif dan sering menjadi diet utama
bagi remaja.(10)
Hasil jangka pendek dari LGIT mengindikasikan setelah satu bulan, sekitar setengah
dari pasien mengalami penurunan frekuensi kejang > 50%, dengan angka keseluruhan
mendekati yang dicapai diet ketogenik. Data (berasal dari pengalaman satu pusat dengan 76
anak-anak sampai tahun 2009) juga menunjukkan lebih sedikit efek samping dibandingkan
diet ketogenik dan lebih baik ditoleransi, dengan makanan yang lebih enak.(11)

2.4. Mitos-Mitos Seputar Diet Ketogenik(12)

Mitos # 1. Ketosis yang Timbul Dari Rasa Lapar dan Dari Diet Ketogenik Berbahaya
dan Mirip Dengan Ketoasidosis Diabetes

Diet ketogenik dan ketosis yang menyertainya tidaklah berbahaya. Banyak dokter
bingung mengenai ketosis dan ketonemia dan percaya, berdasarkan pengetahuan mereka
tentang ketoasidosis diabetik, bahwa ketosisitu adalah keadaan yang berbahaya dan patologis.
Namun, ketosis adalah mekanisme pertahanan hidup manusia dan berbeda dengan keadaan
patologis yang terkait dengan ketoasidosis diabetik.
Berbeda dengan kelaparan atau kekurangan karbohidrat, ketoasidosis diabetik
disebabkan oleh defisiensi insulin. Kekurangan ini menyebabkan tubuh memetabolisme
trigliserida dan protein otot, bukan glukosa untuk energi. Defisiensi insulin juga
menghasilkan kelebihan glukagon dan merangsang sintesis badan keton yang biasanya
dihambat oleh insulin, sehingga terjadi peningkatan badan keton yang cepat dan banyak.
Selain itu, hiperglikemia yang disebabkan oleh kekurangan insulin menghasilkan diuresis

8
osmotik dan menyebabkan kehilangan air dan elektrolit yang jelas. Sebaliknya, lambatnya
inisiasi diet ketogenik akan menghindari efek samping ini. Ketosis pada diabetes, yang
membuat ketoasidosis diabetik sebagai keadaan darurat yang mengancam jiwa, hanyalah
pertanda dari banyaknya perubahan metabolik yang terjadi pada orang diabetes yang
kekurangan insulin. Potensi mortalitasnya adalah dari kombinasi ketosis, hiperglikemia,
kehilangan kalium, dan dehidrasi, dan kecepatan dimana proses ini terjadi.

Mitos # 2. Diet Ketogenik Tidak Enak dan Sulit Untuk Dihitung Dan Dipersiapkan
Karena diet ketogenik tinggi lemak dianggap tidak enak oleh beberapa orang tua dan
dokter (tapi tidak sering oleh anak-anak), diet MCT, diet modifikasi Atkins, dan pengobatan
indeks glikemik rendah telah dikembangkan. Remaja dan orang dewasa kadang-kadang
memulai diet modifikasi Atkins dan beralih ke makanan ketogenik klasik jika diet Atkins
tidak cukup efektif. Banyak resep tersedia di internet dan dapat menggunakan KetoCalculator
(www.ketocalculator.com), dan diet spesifik budaya telah dirancang untuk menarik beragam
budaya dan selera.

Mitos # 3. Diet Ketogenik Berbahaya pada Bayi dan Anak Usia Muda.
Bayi dan anak kecil dapat dan tumbuh dengan baik menggunakan diet ketogenik yang
dihitung dnegan cermat. Adalah anggapan yang salah bahwa otak hanya menggunakan
glukosa untuk bahan bakar, bahwa ketosis tidak dapat dicapai selama minggu-minggu atau
bulan-bulan awal kehidupan, dan nutrisi bagi usia sangat muda dapat terpengaruh secara
negatif oleh diet ketogenik. Untuk alasan inilah, ada anggapan yang salah dimana diet
ketogenik tidak boleh digunakan pada bayi baru lahir atau pada 2 tahun pertama kehidupan.
Namun, otak bayi baru lahir akan banyak menggunakan badan keton dan selama
perkembangan janin menggunakannya untuk sintesis mielin. Diet ketogenik dengan jelas
diwajibkan pada bayi kejang yang disebabkan oleh defisiensi transportasi glukosa kongenital
(defisiensi GLUT-1) dan defisiensi kompleks piruvat dehidrogenase. Diet ini juga efektif, dan
mungkin merupakan pengobatan pilihan, pada epilepsi mioklonik infantil, seperti sindrom
West, Dravet, dan Lennox-Gastaut.
Untuk alasan ini, dan dengan ketersediaan beberapa formula makanan diet ketogenik
untuk bayi (misalnya KetoCal, Ross Carbohydrate Free), populasi bayi adalah salah satu
kelompok usia yang paling cepat berkembang yang menggunakan diet ketogenik. Bukti
terbaru juga menunjukkan bahwa diet ini mungkin membantu untuk perburukan kejang dan
status epileptikus. Bila digunakan pada bayi dan anak kecil, pertumbuhan dan penambahan
9
berat badan harus dipantau dengan hati-hati. Bukti menunjukkan bahwa anak-anak kurang
dari 2 tahun yang mendapat diet ketogenik bertumbuh kurang baik dibandingkan anak-anak
yang lebih tua, dan rasio diet ketogenik dan ketosis mungkin perlu disesuaikan.

Mitos # 4. Diet Ketogenik Tinggi Lemak akan Menyebabkan Kegemukan


Obesitas disebabkan oleh asupan kalori yang berlebihan dari sumber apapun,
bukanlah karena konsumsi lemak. Diatur dengan benar, asupan kalori dari diet ketogenik
akan dihitung dan dipantau secara hati-hati. Jika anak berat badan anak naik atau turun tidak
proporsional terhadap pertumbuhan, kalori bisa disesuaikan dengan tepat. Epidemi obesitas
saat ini telah ditinjau oleh Taubes, yang percaya bahwa epidemi obesitas berasal dari asupan
makanan yang kurang memuaskan dan cepat metabolisme dengan cepat dan menghindari
lemak diet yang menekan nafsu makan. Diet ketogenik, diet Atkins, dan diet rendah
karbohidrat lainnya banyak digunakan untuk mengobati obesitas.

Mitos # 5. Diet Ketogenik Tinggi Lemak Akan Menyebabkan Hiperkolesterolemia Dan


Aterosklerosis Yang Signifikan
Studi telah menunjukkan bahwa anak-anak yang mendapatkan diet ketogenik hanya
mengalami sedikit peningkatan lemak dan kolesterol (misalnya sebesar 20%), dan
peninggian tersebut tampaknya berkurang secara spontan seiring waktu. Tidak ada bukti yang
menunjukkan efek jangka panjang terhadap aterosklerosis, dan anak-anak yang difollowup
selama beberapa tahun setelah berhenti diet ketogenik mengalami normalisasi kadar lipid
serum tanpa laporan adanya penyakit jantung. Peningkatan lemak juga tampak sedikit pada
anak-anak yang menerima formula diet ketogenik.

Mitos # 6. Diet Ketogenik Buruk untuk Kesehatan Anak


Hipoproteinemia, infeksi, dan kematian akibat kardiomiopati atau pankreatitis telah
dilaporkan pada anak-anak dengan diet ketogenik, namun hubungan dari masing-masing
komplikasi tersebut dengan diet ini belumlah jelas. Diet ini sering digunakan sebagai upaya
terakhir pada anak-anak yang sangat rapuh dengan kejang yang tidak terkontrol. Komplikasi
memang dapat dan terjadi pada anak-anak dengan diet ketogenik dan modifikasi Atkins
namun sebagian besar dapat dicegah dan diobati tanpa perlu penghentian diet.

10
Mitos # 7. Diet Ketogenik Haruslah Digunakan Hanya Sebagai Cara Terakhir
Banyak ahli syaraf mengklaim bahwa diet ketogenik sangatlah restriktifsehingga
hanya bisa digunakan bila semua obat telah gagal. Bagi sebagian besar anak-anak dengan
epilepsi, direkomendasikan untuk mencoba mengendalikan dengan satu atau paling banyak
dua obat, sebelum menggunakan diet ketogenik. Bukti menunjukkan bahwa diet ketogenik
bekerja paling baik untuk spasme infantil jika diberikan sebelum usia 1 tahun dan sebelum
dicoba beberapa antikonvulsan. Freeman, dkk (2010) secara rutin menggunakan diet ini
sebagai pengobatan lini pertama untuk spasme infantil, dan 62% bayi ini telah bebas spasme
dalam 2 minggu. Diet ini mungkin juga merupakan pengobatan lini pertama yang masuk akal
untuk sindroma Doose (epilepsi mioklonik-astatik).

2.5. Diet Ketogenik untuk Penurunan Berat Badan

Gambar 2. Penggunaan Terapeutik dari Diet Ketogenik.(13)


Tidak semua diet rendah karbohidrat bersifat ketogenik. Meskipun saat ini tidak ada
konsensus mengenai jumlah pembatasan karbohidrat yang dibutuhkan untuk menginduksi

11
ketosis, istilah '' diet ketogenik '' seringkali terbatas pada diet dengan <50 g karbohidrat
perhari karbohidrat. Namun, peningkatan kadar keton serum atau urine juga telah dilaporkan
pada subyek pada diet dengan asupan karbohidrat harian rata-rata antara 58 dan 192 g / hari.
Ada beberapa mekanisme yang diusulkan dimana diet ketogenik rendah karbohidrat
dapat menyebabkan penurunan berat badan. Beberapa penurunan berat badan awal
disebabkan oleh diuresis, sebagai akibat deplesi glikogen dan ketonuria, yang meningkatkan
kehilangan natrium dan air di ginjal. Sekitar 100 g glikogen disimpan didalam hati, dan 400 g
di otot, setiap gramnya disimpan dengan kira-kira 2 g air. Juga telah dikemukakan bahwa
keton menekan nafsu makan, dan bahwa diet ketogenik mungkin memiliki 'keuntungan
metabolik' 'dengan meningkatkan glukoneogenesis (kurang hemat energi dibanding jalur
glikolitik), dan mengatur protein pembelah mitokondria yang menyebabkan pembuangan
ATP sebagai panas. Mekanisme lain yang sudah diajukan termasuk terbatasnya pilihan
makanan, penurunan palatabilitas diet rendah karbohidrat, efek kepuasan akibat asupan
protein yang relatif tinggi, meningkatnya efek thermogenik protein, peningkatan lipolisis
jaringan adiposa sebagai akibat berkurangnya kadar insulin sirkulasi, dan meningkatnya
oksidasi asam lemak, pada umumnya dapat diaplikasikan pada diet rendah karbohidrat, tidak
secara spesifik pada yang menginduksi ketosis.(14) Suatu tinjauan sistematis terhadap diet
rendah karbohidrat menyebutkan bahwa penurunan berat badan dihubungkan dengan restriksi
asupan kalori, durasi diet yang lebih lama dan berat badan awal yang lebih tinggi, namun
tidak dengan rendahnya kandungan karbohidrat.(15)

2.6. Pitfall
A. Keamanan Jangka pendek
Efek samping ringan biasa dilaporkan dalam penelitian diet ketogenik untuk
menurunkan berat badan. Dalam sebuah penelitian yang membandingkan diet ketogenik
dengan diet rendah lemak pada 119 orang dewasa dengan obesitas, efek samping ringan lebih
sering terjadi pada diet ketogenik, antara lain konstipasi (68% vs 35%), sakit kepala (60%
banding 40%), halitosis (38% banding 8%), kram otot (35% vs 7%), diare (23% 7%),
kelemahan umum (25% vs 8%) dan ruam (13% vs 0%). Studi lain menemukan penurunan
dalam tes neuropsikologis yang memerlukan pemrosesan dan fleksibilitas mental yang lebih
tinggi pada subyek dengan diet ketogenik 28 hari dibandingkan diet sangat rendah energi
non-ketogenik, yang terburuk terjadi pada minggu pertama diet.(14)
Ada laporan kasus terjadinya efek samping serius pada orang dewasa dengan diet
ketogenik, yaitu pankreatitis akut, munculnya gangguan panik, asidosis metabolik berat, dan
12
hipokalemia berat, kemungkinan terkait dengan kematian jantung mendadak pada subyek
berusia 16 tahun.(16) Studi tentang diet ketogenik pada anak-anak epilepsi telah menemukan
tingginya kejadian efek samping yang serupa, disertai efek tambahan seperti dehidrasi,
gangguan elektrolit, infeksi, kelainan hematologi dan hepatitis. Penting untuk menekankan
komposisi diet ketogenik yang berbeda untuk pengobatan epilepsi anak, dan frekuensi yang
lebih tinggi dari perburukan kesehatan, morbiditas dan polifarmasi yang signifikan dalam
kelompok ini dibandingkan dengan diet ketogenik untuk menurunkan berat badan. Obat anti-
epilepsi tertentu telah dilaporkan berinteraksi dengan diet ketogenik, berkontribusi pada efek
samping.(14)

B. Keamanan Jangka Panjang


Studi jangka panjang mengenai risiko kardiovaskular pada anak-anak epilepsi dengan
diet ketogenik tinggi lemak telah menemukan peningkatan yang signifikan pada kolesterol
total, VLDL, LDL, trigliserida dan apo B, dengan penurunan HDL dibandingkan dengan nilai
basal. Perubahan paling tampak pada 6 bulan, namun bertahan pada 12 dan 24 bulan. Ada
laporan munculnya pemanjangan interval QT dan kardiomiopati dilatasi pada anak-anak
dengan diet ketogenik. Pada satu pasien yang menghentikan diet, perubahan jantung ini
teratasi.(14)
Diet ketogenik tinggi protein dapat menyebabkan asidosis metabolik subklinis kronis,
yang mendorong mobilisasi kalsium dari tulang. Namun, dibandingkan dengan diet yang
lebih rendah protein, diet protein tinggi menyebabkan konten mineral tulang lebih terjaga
dengan baik selama penurunan berat badan. Diet tinggi protein memiliki banyak efek pada
fungsi ginjal dan metabolisme tulang, termasuk peningkatan ekskresi kalsium urin,
peningkatan penanda resorpsi tulang tanpa peningkatan kompensasi dari penanda
pembentukan tulang, peningkatan laju filtrasi glomerulus dan volume ginjal, berkurangnya
sitrat urin, hiperurisemia, hiperurikosuria dan berkurangnya pH urin. Banyak dari perubahan
ini diperburuk dengan pembatasan karbohidrat, dan meningkatkan nefrolitiasis.(14) Sebuah
studi oleh Reddy, dkk. menemukan bahwa peningkatan ekskresi kalsium urin yang diinduksi
oleh diet rendah karbohidrat tinggi protein tidak dikompensasikan dengan peningkatan
penyerapan kalsium usus, dan penanda pembentukan tulang berkurang.(17)

13
Gejala gastrointestinal
Muntah sering terjadi saat inisiasi diet dikarenakan ketosis namun akan menghilang
saat anak menjadi toleran terhadap lipid dan ketonemia. Jika parah, muntah bisa dikontrol
dengan sejumlah kecil glukosa. Konstipasi juga umum terjadi pada diet dan mungkin
diredakan dengan pencahar atau penambahan sedikit minyak MCT.(12)

Ginjal
Matthew, dkk (1974) dalam laporan kasusnya menemukan adanya hiperurisemia pada
anak perempuan 10 tahun dengan obesitas yang diberikan rejimen diet ketogenik.
Peningkatan kadar asam urat dalam serum telah dihubungkan dengan kombinasi beberapa
faktor, termasuk berkurangnya klirens asam urat pada ginjal, berkurangnya laju filtrasi
glomerulus dan perubahan transportasi asam urat pada tubular. Sejumlah penelitian telah
menunjukkan bahwa ketosis berhubungan dengan retensi asam urat pada ginjal.
Mekanismenya masih belum dipahami secara jelas. Telah dipostulasikan bahwa adanya
ketonemia akan menghambat sekresi asam urat oleh tubulus ginjal. Adanya akumulasi beta-
hidroksibutirat, atau acetoasetat bertanggung jawab untuk mempertahankan kadar asam urat
pada periode lapar. Hiperurisemia yang berpotensi bahaya bisa menjadi hal yang sangat
penting pada anak-anak dengan riwayat keluarga kadar asam urat tinggi, asam urat, atau batu
asam urat.(18)
Batu kalsium oksalat atau asam urat pada ginjal telah dilaporkan terjadi pada 13% -
20% anak-anak dengan diet ketogenik klasik. Batu kalsium oksalat adalah hasil dari
hiperkalsiuria sekunder akibat demineralisasi tulang, peningkatan ekskresi kalsium oleh
ginjal, dan asidosis. Batu ginjal dapat dicegah dengan pemberian profilaksis atau terapeutik
dari potasium sitrat. Urin anak-anak yang menjalani diet ketogenik haruslah diperiksa secara
berkala untuk mendeteksi adanya peningkatan rasio kalsium terhadap kreatinin dan adanya
hematuria mikroskopis, suatu indikasi batu ginjal.(12)
Johnston, dkk (2006) menemukan bahwa walaupun nilainya tidak melebihi nilai basal
pada minggu ke-6, klirens kreatinin berfluktuasi secara signifikan selama penelitian, dan
nilainya pada subyek dengan diet ketogenik pada minggu ke 2 adalah 20% di atas nilai basal.
Tingkat klirens kreatinin yang lebih tinggi menggambarkan cadangan fungsional ginjal dan
dianggap sebagai respons fisiologis normal, namun pada pasien dengan fungsi ginjal yang
terganggu dapat berpotensi menyebabkan glomerulosklerosis. Sehingga, pasien yang berisiko
kelainan ginjal harus mempertimbangkan dengan seksama diet ketogenik.(19)

14
Pertumbuhan
Meskipun anak-anak dengan diet ketogenik tetap tumbuh bertambah tinggi, tingkat
pertumbuhannya mungkin lebih lambat dari anak normal. Pola ini paling menonjol pada
anak-anak usia muda dan memerlukan pengamatan ketat.(12)
Goyens, dkk (2002) menyimpulkan bahwa diet ketogenik trigliserida rantai panjang
dapat menyebabkan failure to thrive dikarenakan malabsorpsi lemak dan insufisiensi
pankreas fisiologis tidak boleh diabaikan saat mempertimbangkan untuk pemberian diet
ketogenik pada bayi dikarenakan penyerapan lemak pada neonatus dan bayi diketahui kurang
efisien dibandingkan anak-anak yang lebih tua. Selain itu, kapasitas pencernaan telah terbukti
berkurang pada malnutrisi protein-kalori sekunder, dikarenakan perubahan struktural dan
fungsional pada mukosa usus dan pankreas.(20)

Defisien Vitamin dan Mineral


Diet ketogenik akan defisien dalam vitamin larut air Thiamine (vitamin B1), iboflavin
(vitamin B2), niasin, vitamin B6, asam folat, vitamin B12, biotin, dan asam pantotenat
sehingga harus disuplementasi dalam bentuk yang bebas gula. Suplementasi mineral juga
perlu diberikan, walaupun defisiensi zinc, selenium, dan kalsium yang menimbulkan
simptom jarang terjadi.(12)

Lemak / Lipid
Sudah banyak anggapan yang salah bahwa diet tinggi lemak akan meningkatkan
kadar lipid dan aterosklerosis secara drastis. Satu studi mendokumentasikan peningkatan
kolesterol dan lipid lain dan lipoprotein setelah 6 bulan menjalani diet ketogenik, tetapi
dislipidemia ini hanya sedikit lebih tinggi dari rentang kadar yang dapat diterima, dan
nilainya menurun saat diukur pada bulan ke 12 dan 24 dari anak yang sama mendapatkan diet
ketogenik. Karena hanya sedikit anak yang tetap diet lebih dari 2 tahun, signifikansi nilai
tersebut dari kenaikan dalam menyebabkan aterosklerosis di masa depan tidaklah jelas dan
haruslah dengan mempertimbangkan dari keuntungan diet.(12)

Densitas Tulang
Kekhawatiran lain tentang diet ketogenik adalah kemungkinan efeknya pada densitas
tulang. Satu studi menunjukkan bahwa kepadatan mineral tulang menurun selama diet
ketogenik, bahkan dengan suplementasi kalsium dan vitamin D. Hal ini diduga karena adanya
peningkatan ekskresi kalsium urin akibat ketosis. Kelompok lain yang mempelajari wanita
15
pramenopause melaporkan penurunan kepadatan tulang yang lebih rendah dengan asupan
lemak yang tinggi dalam diet, relatif terhadap kelompok kontrol dengan persentase konsumsi
lemak harian lebih rendah. Penelitian lain menemukan bahwa diet tinggi protein, rendah
karbohidrat, tinggi lemak tidak menyebabkan efek yang berarti pada kepadatan tulang.
Menurut hasil yang bertentangan ini, (dengan populasi studi yang berbeda) kehilangan
kepadatan tulang dapat dikurangi dengan meningkatkan persentase asupan karbohidrat atau
lemak, sehingga efek diet ketogenik pada homeostasis kalsium tetaplah tidak jelas. Jika
ketonaemia memang menyebabkan penurunan kepadatan mineral tulang, hal ini akan menjadi
perhatian serius bagi mereka yang melakukan diet ketogenik. Penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk mengkonfirmasi atau menyangkal temuan dari penelitian ini.(21)

Rekomendasi dari Obesity in Children and Adolescents: Working Group Report of the
Second World Congress of Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition(22)
Anak-anak dengan obesitas berat mungkin juga mendapat manfaat dari diet hipokalori
dan ketogenik yang ketat. Manfaat diet ini termasuk penurunan berat badan yang cukup cepat
(1 sampai 2 kg / minggu) dan pengurangan asupan makanan, yang dianggap berhubungan
dengan ketosis. Komplikasi dapat mencakup kehilangan protein, hipokalemia, asupan
kalsium yang tidak adekuat, cholelithiasis, dan hipotensi ortostatik. Secara keseluruhan,
regimen ini tampaknya cukup efektif bila dilakukan di bawah pengawasan medis, dan
menghasilkan penurunan berat badan yang lebih cepat dibandingkan terapi diet konvensional,
setidaknya dalam jangka pendek. Namun, tidak ada data mengenai hasil jangka panjang pada
anak-anak. Selain itu, tidak ada panduan tentang lamanya pembatasan diet atau tentang
pendekatan diet / perilaku untuk mempertahankan penurunan berat badan setelah diet ini.
Kebanyakan orang dewasa dengan diet ini akan dengan cepat mendapatkan kembali berat
badan yang hilang. Studi diperlukan untuk menentukan hasil jangka panjang dari diet
hipokalorik dan ketogenik pada anak-anak dengan obesitas berat dan rekomendasi
keseimbangan optimal dari lemak, gula, karbohidrat, dan karbohidrat kompleks untuk
pencegahan obesitas.

16
BAB III
RINGKASAN

Secara umum, hanya ada sedikit artikel / jurnal yang memberikan referensi secara
jelas bagi kegunaan diet ketogenik untuk program penurunan berat badan, namun hampir
semua mengatakan bahwa diet ketogenik metode baru ini cukup aman digunakan sebagai
salah satu terapi penurunan berat badan. Namun ada beberapa pitfall dan rekomendasi yang
harus diperhatikan dalam menerapkan diet ini, yaitu :
 Beberapa gangguan pada fungsi ginjal, yaitu : hiperurisemia, batu ginjal (kalsium
oksalat atau asam urat ), peningkatan klirens kreatinin, sehingga diperlukan
pemantauan fungsi ginjal yang ketat pada pasien dengan diet ketogenik.
 Gangguan pada pertumbuhan, sehingga direkomendasikan pemantauan pertumbuhan
pada anak-anak yang mendapatkan diet ketogenik
 Adanya peningkatan dari kadar kolesterol dan lipid dalam darah pada anak-anak yang
mendapatkan diet tinggi lemak.
 Adanya penurunan densitas tulang
 Komplikasi lain seperti kehilangan protein, hipokalemia, asupan kalsium yang tidak
adekuat, cholelithiasis, dan hipotensi ortostatik.
 Rekomendasi untuk pemberian thiamine (vitamin B1), iboflavin (vitamin B2), niasin,
vitamin B6, asam folat, vitamin B12, biotin, dan asam pantotenat dalam bentuk bebas
gula. Suplementasi mineral juga perlu diberikan, walaupun defisiensi zinc, selenium,
dan kalsium yang menimbulkan simptom jarang terjadi.
 Beberapa hal diatas memberikan suatu rekomendasi bahwa pelaksanaan diet
ketogenik untuk penurunan berat badan membutuhkan pengawasan yang ketat oleh
suatu tim multidisiplin.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Stafstrom CE, Rho JM. Epilepsy and the ketogenic diet: Springer Science & Business
Media; 2004.
2. Sondike SB, Copperman N, Jacobson MS. Effects of a low-carbohydrate diet on weight
loss and cardiovascular risk factor in overweight adolescents. The Journal of pediatrics.
2003;142(3):253-8.
3. Veech RL. The therapeutic implications of ketone bodies: the effects of ketone bodies
in pathological conditions: ketosis, ketogenic diet, redox states, insulin resistance, and
mitochondrial metabolism. Prostaglandins, leukotrienes and essential fatty acids.
2004;70(3):309-19.
4. Payne NE, Cross JH, Sander JW, Sisodiya SM. The ketogenic and related diets in
adolescents and adults—a review. Epilepsia. 2011;52(11):1941-8.
5. Bough KJ, Rho JM. Anticonvulsant mechanisms of the ketogenic diet. Epilepsia.
2007;48(1):43-58.
6. Politi K, Shemer-Meiri L, Shuper A, Aharoni S. The ketogenic diet 2011: how it works.
Epilepsy research and treatment. 2011;2011.
7. Neal EG, Chaffe H, Schwartz RH, Lawson MS, Edwards N, Fitzsimmons G, et al. The
ketogenic diet for the treatment of childhood epilepsy: a randomised controlled trial.
The Lancet Neurology. 2008;7(6):500-6.
8. Huffman J, Kossoff EH. State of the ketogenic diet (s) in epilepsy. Current neurology
and neuroscience reports. 2006;6(4):332-40.
9. Freeman JM, Kossoff EH, Hartman AL. The ketogenic diet: one decade later.
Pediatrics. 2007;119(3):535-43.
10. Kossoff EH, Zupec‐Kania BA, Amark PE, Ballaban‐Gil KR, Christina Bergqvist A,
Blackford R, et al. Optimal clinical management of children receiving the ketogenic
diet: recommendations of the International Ketogenic Diet Study Group. Epilepsia.
2009;50(2):304-17.
11. Muzykewicz DA, Lyczkowski DA, Memon N, Conant KD, Pfeifer HH, Thiele EA.
Efficacy, safety, and tolerability of the low glycemic index treatment in pediatric
epilepsy. Epilepsia. 2009;50(5):1118-26.
12. Freeman JM, Kossoff EH. Ketosis and the ketogenic diet, 2010: advances in treating
epilepsy and other disorders. Advances in pediatrics. 2010;57(1):315-29.

18
13. Paoli A. Ketogenic diet for obesity: friend or foe? International journal of
environmental research and public health. 2014;11(2):2092-107.
14. Sumithran P, Proietto J. Ketogenic diets for weight loss: a review of their principles,
safety and efficacy. Obesity Research & Clinical Practice. 2008;2(1):1-13.
15. Bravata DM, Sanders L, Huang J, Krumholz HM, Olkin I, Gardner CD, et al. Efficacy
and safety of low-carbohydrate diets: a systematic review. Jama. 2003;289(14):1837-
50.
16. Jaster JH, Tobias JD. Sudden cardiac death of an adolescent during dieting. Author's
reply. Southern medical journal. 2003;96(3):322-3.
17. Reddy ST, Wang C-Y, Sakhaee K, Brinkley L, Pak CY. Effect of low-carbohydrate
high-protein diets on acid-base balance, stone-forming propensity, and calcium
metabolism. American Journal of Kidney Diseases. 2002;40(2):265-74.
18. Mathew G, Lifshitz F. Hyperuricemia in a child: A complication of treatment of
obesity. Pediatrics. 1974;54(3):370-1.
19. Johnston CS, Tjonn SL, Swan PD, White A, Hutchins H, Sears B. Ketogenic low-
carbohydrate diets have no metabolic advantage over nonketogenic low-carbohydrate
diets. The American journal of clinical nutrition. 2006;83(5):1055-61.
20. Goyens P, De Laet C, Ranguelov N, Ferreiro C, Robert M, Dan B. Pitfalls of ketogenic
diet in a neonate. Pediatrics. 2002;109(6):1185-6.
21. Pittier A, Corrigan F. The Ketogenic Diet: Healthy or Harmful? A Review In Light Of
Its Renewed Popularity. Trinity Student Medical Journal. 2001;2.
22. Fisberg M, Baur L, Chen W, Hoppin A, Koletzko B, Lau D, et al. Obesity in children
and adolescents: Working Group report of the second World Congress of Pediatric
Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition. Journal of pediatric gastroenterology and
nutrition. 2004;39:S678-S87.

19

Anda mungkin juga menyukai