Makalah Hepatitis

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 51

MAKALAH VIROLOGI

Hepatitis Virus

Disusun oleh:
Lia Murdaningrum P27834114005
Kholisna N. I. P27834114006
Berlian Duta Krisna P27834114007
Nindy Febriana Safitri P27834114008
Arum Shofia Panca R. R. P27834114009

DIV/ SEMESTER 6
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
POLTEKKES KEMENKES SURABAYA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hati adalah salah satu organ yang paling penting. Organ ini berperan sebagai gudang
untuk menimbun gula, lemak, vitamin dan gizi. Memerangi racun dalam tubuh seperti
alkohol, menyaring produk-produk yang tidak berguna lagi dari darah dan bertindak sebagai
semacam pengaruh bagian tubuh yang menjamin terjadinya keseimbangan zat-zat kimia
dalam sistem itu.
Salah satu penyakit yang menyerang hati adalah penyakit hapatitis. Hepatitis
didefinisikan sebagai suatu penyakit yang ditandai dengan terdapatnya peradangan pada
organ tubuh yaitu hati. Hepatitis merupakan suatu proses terjadinya inflamasi atau nekrosis
pada jaringan hati yang dapat disebabkan oleh infeksi, obat-obatan, toksin, gangguan
metabolik, maupun kelainan autoimun. Infeksi yang disebabkan virus merupakan penyebab
ter sering dan terbanyak dari hepatitis akut. Terdapat 6 jenis virus hepatotropik penyebab
utama infeksi akut, yaitu virus hepatitis A, B, C, D, E, dan G (Arief, 2012). Manifestasi
penyakit hepatitis akibat virus bisa akut (Hepatitis A), bisa kronik (Hepatitis B & Hepatitis C)
dan bisa juga kemungkinan menjadi kanker hati (Hepatitis B). Perbedaan antara virus
hepatitis ini terlatak pada kronisitas infeksi dan kerusakan jangka panjang yang ditimbulkan.
Di antara penyakit hepatitis yang disebabkan oleh virus, hepatitis B menduduki
tempat pertama dalam hal jumlah dan penyebarannya. Hepatitis B menjadi masalah kesehatan
dunia karena selain prevalensinya yang sangat tinggi, virus hepatitis B juga dapat
menimbulkan problem pasca akut bahkan dapat terjadi sirosis hati dan karsinoma
hepatoseluler primer (hepatoma). Sekitar 10% dari infeksi virus hepatitis B akan menjadi
kronik dan 20% penderita hepatitis kronik ini dalam waktu 25 tahun sejak tertular akan
mengalami sirosis hati dan karsinoma hepatoseluler. Pada saat ini sekitar 1 juta kematian per
tahun akibat penyakit hati berhubungan dengan hepatitis B. Oleh sebab itu, karena tingginya
morbiditas dan mortalitas dari penyakit hepatitis B, penyakit ini sangat mengancam di dunia
(Siregar, 2010).
World Health Organization (WHO) memperkirakan adanya lebih dari 2 miliar
penduduk dunia terinfeksi virus hepatitis B dan 400 juta orang diantaranya menjadi pengidap
kronik pada tahun 2000 (IDAI, 2012). Sedangkan prevalensi infeksi hepatitis B di Asia
Pasifik cukup tinggi yaitu melebihi 8% dan penularannya pada umumnya terjadi secara
vertikal (pada periode perinatal) dan horizontal (pada masa anak-anak). Diperkirakan lebih
dari 350 juta diantaranya menjadi kronik dan sekitar 75% karier hepatitis B kronik berada di
Asia Pasifik. Indonesia (1981) digolongkan sebagai negara dengan kategori endemisitas
sedang sampai tinggi, dengan kekerapan rata -rata 5.5% dengan variasi 3,5 sampai 9,1%. \
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan dari 10.391 serum yang
diperiksa, prevalensi HBsAg positif adalah 9 .4% yang berarti diantara 10 penduduk di
Indonesia terdapat satu orang penderita (Depkes RI, 2011). Sedangkan di Medan, penelitian
dengan menggunakan pemeriksaan EIA (Enzyme Immuno Assay), didapat kekerapan HBsAg
positif sebesar 6% yaitu sekitar 200 orang di antara donor darah Rumah Sakit Dr. Pringadi
Medan (Kosasih, dan Sukiman, 1992). Hepatitis B dapat ditularkan dengan berbagai macam
cara. Hepatitis B dapat ditularkan secara vertikal dari ibu ke anak atau secara horizontal dari
anak ke anak. Sumber utama penularan virus hepatitis B adalah darah. Hepatitis B juga dapat
ditularkan melalui kontak dengan cairan tubuh dari orang yang terinfeksi. Semua cairan
tubuh bisa menular , namun hanya darah, cairan vagina, dan air mani yang telah terbukti
menular . Selain itu, penularan bisa terjadi melalui perkutan dan permukosa cairan tubuh
yang menular . Paparan yang menyebabkan transmisi hepatitis B adalah transfusi dari darah
yang belum diskrining , jarum suntik yang tidak steril pada prosedur hemodialisa , akupuntur,
tato dan pada petugas kesehatan yang tertusuk jarum suntik yang mengandung darah pasien
yang terinfeksi hepatitis B (WHO, 2011).
Perkiraan Organisasi Kesehatan Dunia menunjukkan bahwa 1 dari 10 petugas
kesehatan di seluruh dunia mendapatkan luka akibat jarum setiap tahunnya. Sekitar 14,4%
dan 1,4% dari pekerja rumah sakit terinfeksi virus hepatitis B. Prevalensi tertinggi petugas
kesehatan yang tertular virus hepatitis B adalah dokter gigi. Sedangkan perawat adalah kedua
yang paling sering terinfeksi yaitu sekitar 41%, diikuti oleh dokter sekitar 31% (Askarian, et
al., 2011).
Untuk mendeteksi adanya penyakit hepatitis perlu dilakukan serangkaian tes fungsi hati
dan sifatnya enzimatik (menguji kadar enzim), yaitu :
1. Enzim yang berkaitan dengan kerusakan hati antara lain SGOT, SGPT, GLDH,
LDH.
2. Enzim yang berhubungan dengan adanya penanda adanya sumbatan pada kantung
empedu, yaitu gamma GT dan alkali phosfatase.
3. Enzim yang berhubungan dengan kapasitas sintesis hati, yaitu
kolinesterase.
Pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan serologi (sel), yaitu : HbSAg, HbeAg,
anti Hbe dan anti HBv DNA. Jika serangkaian tes menandakan adanya gangguan hati dan
diagnosa menunjukan adanya hepatitis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Hepatitis

Hepatitis adalah penyakit peradangan hati yang dapat disebabkan oleh infeksi
virus atau pajana ke bahan – bahan toksik. Pada hepatitis virus, Peradangan hati yang
berkepanjangan atau berulang, yang biasanya berkaitan dengan alkoholisme kronik,
dapat menyebabkab sirosis, suatu keadaan berupa penggantian hepatosit yang rusak
secara permanen oleh jaringan ikat. Jaringan hati memiliki kemampuan mengalami
regenerasi, dan dalam keadaan normal mengalami pertukaran sel yang bertahap.
Apabila sebagian jaringan hati rusak, jaringan yang rusak tersebut dapat diganti
melalui peningkatan kecepatan pembelahan sel – sel yang sehat. Tampaknya terdapat
suatu faktor dalam darah yang bertanggung jawab mengatur proliferasi sel hati,
walaupun sifat dan mekanisme factor pengatur ini masih merupakan misteri. Namun,
seberapa cepat hepatosit dapat diganti memiliki batas. Selain hepatosit, di antara
lempeng – lempeng hati juga ditemukan beberapa fibroblast ( sel jaringan ikat ) yang
membentuk jaringan penunjang bagi hati. Bila hati berulang – ulang terpajan ke bahan
– bahan toksik, misalnya alcohol, sedemikian seringnya, sehingga hepatosit baru tidak
dapat beregenerasi cukup cepat untuk mengganti sel – sel yang rusak, fibroblast yang
kuat akan memanfaatkan situasi dan melakukan proliferasi berlebihan. Tambahan
jaringan ikat ini menyebabkan ruang untuk pertumbuhan kembali hepatosit berkurang.
Hepatitis adalah suatu proses peradangan difusi pada jaringan yang dapat
disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan serta bahan-
bahan kimia. (Sujono Hadi, 1999). Hepatitis adalah peradangan dari sel-sel liver
yang meluas/ menyebar , hepatitis virus merupakan jenis yang paling dominan. Luka
pada organ liver dengan peradangan bisa berkembang setelah pembukaan untuk
sejumlah farmakologi dan bahan kimia dari inhalasi, ingesti, atau pemberian obat
secara parenteral (IV) . Toxin dan Drug induced Hepatitis merupakan hasil dari
pembukaan atau terbukanya hepatotoxin, seperti : industri toxins, alkohol dan
pengobatan yang digunakan dalam terapi medik.
Istilah "Hepatitis" dipakai untuk semua jenis peradangan pada hati (liver).
Penyebabnya dapat berbagai macam, mulai dari virus sampai dengan obat-obatan,
termasuk obat tradisional. Virus hepatitis juga ada beberapa jenis, hepatitis A,
hepatitis B, C, D, E, F dan G. Manifestasi penyakit hepatitis akibat virus bisa akut
( hepatitis A ) dapat pula hepatitis kronik (hepatitis B,C) dan adapula yang kemudian
menjadi kanker hati ( hepatitis B dan C ). hepatitis yang biasanya disebabkan oleh
obat-obatan, alkohol (hepatitis alkoholik), dan obesitas serta gangguan metabolisme
yang menimbulkan nonalkoholik steatohepatitis (NASH) disebut Hepatitis Nonvirus.
Pengertian hepatitis mempunyai beragam makna dan arti yang pada
umumnya adalah merupakan gangguan pada fungsi hati atau dapat disebut juga
berupa gangguan dan peradangan pada sel – sel hati. Pengertian hepatitis dapat juga
diartikan sebagai peradangan pada hati yang diakibatkan oleh bermacam – macam
penyebab. Hepatitis dapat ditularkan juga oleh infeksi yang bernama
‘Cytomegalovirus ( CMV )’ dan virus yang bernama ‘monoknukleosis infeksiosa’.
Adapun jenis hepatitis yang disebabkan bukan dari virus atau non-virus adalah karena
seseorang gemar mengkonsumsi alkohol serta obat-obatan terlarang.
Selain seperti yang dijelaskan di atas, pengertian hepatitis juga dapat
dibedakan dari beberapa jenis hepatitis yang umumnya ditentukan oleh faktor
penyebabnya. Penyebab hepatitis adalah virus, yang terbagi ke dalam lima jenis dan
ditambah 2 jenis, yaitu jenis hepatitis A, B, C, D, E, F, dan G. Pengertian hepatitis
secara lebih dalam dapat diartikan sebagai peradangan pada fungsi hati yang
diakibatkan oleh agen yang menjadi penyebab infeksi, serta toksin, dan obat termasuk
senyawa kimia lainnya.Berikut beberapa pengertian hepatitis yang dapat Anda
pelajari, yaitu:
 Hepatitis Akut:
Hepatitis yang kelangsungan penyakitnya terhitung dalam kurun waktu kurang
dari 6 bulan yang disebabkan oleh minuman keras dan beralkohol. Penyakit
hepatitis akut ini disebabkan oleh racun yang masuk ke dalam jaringan tubuh.
 Hepatitis Kronis:
Hepatitis yang kelangsungan penyakitnya terjadi dalam kurun waktu lebih dari 6
bulan. Hepatitis kronis ini disebabkan oleh faktor keturunan, tetapi dapat juga
disebabkan oleh penggunaan alkohol atau minuman keras.

2. Gambaran klinis secara umum


Gambaran klinis hepatitis virus dapat berkisar dari asimtomatik sampai penyakit
yang mencolok, kegagalan hati, dan kematian. Terdapat tiga stadium pada semua jenis
hepatitis yaitu:
a. Stadium prodromal
Disebut periode praikterus, dimulai setelah periode masa tunas virus selesai dan
pasien mulai memperlihatkan tanda-tanda penyakit. Stadium ini disebut praikterus
karena ikterus belu muncul. Antibodi terhadap virus biasanya belum dijumpai,
stdium ini berlangsung 1-2 minggu dan ditandai oleh:
 Malese umum
 Anoreksia
 Sakit kepala
 Rasa malas
 Rasa lelah
 Gejala-gejala infeksi saluran nafas atas
 Mialgia (nyeri otot)
b. Stadium ikterus.
Dapat berlangsung 2-3 minggu atau lebih, pada sebagia besar orang stadium ini
ditandai oleh timbulnya ikterus, manifestasi lainnya adalah:
 Memburuknya semua gejala yang ada pada stadium prodromal
 Pembesaran dan nyeri hati
 Splenomegali
 Mungkin gatal ( pruritus ) dikulit
c. Stadium pemulihan.
Biasanya timbul dalam 2-4 bulan, selama periode ini:
 Gejala-gejala mereda termasuk ikterus
 Nafsu makan pulih
 Apabila tedapat splenomegali, akan segera mengecil
3. Jenis Hepatitis
3.1 Hepatitis A

3.3.1 Definisi Hepatitis A Virus

Hepatitis adalah proses peradangan difus pada sel hati. Hepatitis A


adalah hepatitis yang disebabkan oleh infeksi Hepatitis A Virus. Infeksi
virus hepatitis A dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi,
diantaranya adalah hepatitis fulminant, autoimun hepatitis, kolestatik
hepatitis, hepatitis relaps, dan sindroma pasca hepatitis (sindroma kelelahan
kronik). Hepatitis A tidak pernah menyebabkan penyakit hati kronik.

3.1.2 Sejarah Hepatitis A Virus

Hepatitis virus dikenal sejak ribuan tahun lalu, sebagai penyakit kuning
yaitu sejak abad ke 5 SM di Babilonia dan kemudian Hipocrates seorang
tabib Yunani (460-375) yang menemukan bahwa penyakit kuning ini
menular. Pada tahun 752, Paus Zaccharias menemukan bentuk – bentuk dari
penyakit kuning yang infeksius dan dapat menular sehingga penyakit
tersebut dinamakan sebagai icterus infectiosa.
Sejak tahun 1820-1892 lebih dari 50 epidemi hepatitis yang tercatat di
Eropa dan beberapa diantaranya mungkin disebabkan oleh virus hepatitis A
yang terjadi saat peperangan.
Pada tahun 1912 Cockayne memberikan nama hepatitis infectiosa
untuk bentuk penyakit kuning menular tersebut. Tahun 1923 Blummer telah
berhasil membuat suatu ringkasan yang sempurna mengenai penyakit ini
berdasarkan analisa 63 letupan epidemic jaundice yang terjadi di amerika
Serikat antara 1912 – 1923. Observasi berikutnya menyatakan terdapat
eksistensi dua bentuk utama virus hepatitis yaitu infectious hepatitis dan
serum hepatitis.
Meskipun beberapa kejadian penyakit kuning yang terjadi sejak zaman
Hippocrates sangat mungkin disebabkan oleh virus hepatitis, namun baru
tahun 1960 terbukti ketika ditemukan hepatitis B dan kemudian hepatitis A.
Pada tahun 1950 – 1970 pola sereoepidemiologi penyakit ini diteliti
oleh Murray,Krugman dan kawan – kawan yangb menuntun kita kearah
pencegahan. Tahun 1973 Feinstone SM dkk, mnemukan virus hepatitis A
dengan pemeriksaan immune electron microscope pada specimen tinja dan
selanjutnya dikembangkan berbagai cara pemeriksaan “immunoassay” yang
sangat sensitive untuk mendeteksi antigen dan antibody hepatitis virus A.
Tahun 1979 Provost dan Hilleman berhasil membiakkan virus hepatitis
A dalam kultur sel. Replikasi dapat terjadi dalam sel epitel usus dan epitel
hati. Virus hepatitis A ditemukan di tinja berasal dari empedu dan epitel
usus

3.1.3 Struktur Antigen Hepatitis A Virus

Virus Hepatitis A merupakan virus RNA yang tergolong dalam virus


Picorna dengan diameter 27 nm, berbentuk ikosa-hedral,dan tidak
mempunyai pembungkus (envelop) dengan satu nukleokapsid yang
merupakan ciri khas dari antigen virus hepatitis A.
Virus ini terdiri dari sarung protein luar yang disebut capsid yang akan
mengelilingi core yang terbuat dari single standed RNA yang mengandung
kode genetic tersebut. Protein capsid tersebut akan berikatan satu sama
lainnya secara simetrik kubik bebas dari lipid maupun glikoprotein. Seuntai
molekul RNA terdapat dalam kapsid, satu ujung dari RNA ini disebut Viral
Protein Genomic (VPG) yang berfungsi menyerang ribosom sitoplasma sel
hati. RNA dari pembungkus ini diliputi oleh kapsid dimana pada bagian
permukaan terdiri dari tiga poli-peptida virus yaitu : VP 1, VP 2, VP 3, dan
peptide internal:VP 4 yang terikat dengan virus RNA. Tampil sebagai suatu
bentuk geometric khas (icosahedral).
Di bawah mikroskop electron tampak “penuh” atau “kosong”. Lipid
bukan merupakan komponen integral dari virus Hepatitis A yang stabil
terhadap pengolahan dengan eter, asam, dan panas (56 C selama 30 menit).
Infektivitasnya dapat dipertahankan selama bertahun-tahun pada-20 C.

Gambar struktur antigen virus hepatitis A:


Antihuman IgM dari domba yang dilapiskan pada butiran
(beads)polisteren, dimaksukkankedalam sumuran dari lempengan
mikrotiter yang telah diisi dengan pengenceran serum/plasma panderita.
Selama waktu inkubasi IgM dari serum/plasma penderita akan diikuti
oleh antihuman IgM yang melapisi butiran polisteren. Setelah dicuci, dan
dipisahkan dari bagiab serum penderita yang tak terikst, ditambahkan
antigan HAV. Bila dalam serum penderita terdapat IgM anti-HAV, maka
antigan HAV akan terikat pada IgM anti-HAV yang terikat pada kompleks
yang melapisi butiran polisteren.
Setelah dicuci, dan dipisahkan dari beberapa bagian yang tak terikat,
ditambahkan anti-HAV yang berlabel peroksidase (HRP) sehingga
terbentuk kompleks seperti tampak pada gambar diatas. Bila selanjutnya
ditambahkan substrat (H2O2) yang berkromogen (OPD) akan terbentuk
warna kuning. Derajat perubahan warna ditentukan dengan
spektrofotometer atau microELISA reader, pada = 492 nm

3.1.4 Etiologi Hepatitis A Virus

Hepatitis A disebabkan oleh hepatitis A virus. Virus ini termasuk virus


RNA, serat tunggal, dengan berat molekul 2,25-2,28 x 106 dalton, simetri
ikosahedral, diameter 27-32 nm dan tidak mempunyai selubung.
Mempunyai protein terminal VPg pada ujung 5’nya dan poli(A) pada ujung
3’nya. Panjang genom HAV: 7500-8000 pasang basa. Hepatitis A virus
dapat diklasifikasikan dalam famili picornavirus dan genus hepatovirus.

3.1.5 Transmisi / Penularan Hepatitis A Virus

Penyakit ini ditularkan secara fekal-oral dari makanan dan


minuman yang terinfeksi. Dapat juga ditularkan melalui hubungan seksual.
Penyakit ini terutam menyerang golongan sosial ekonomi rendah yang
sanitasi dan higienenya kurang baik.
Masa inkubasi penyakit ini adalah 14-50 hari, dengan rata-rata 28
hari dan penularan berlangsung cepat sejak pemaparan hingga munculnya
ikterus pada penderita. Titer HAV tertinggi di dalam tinja adalah menjelang
awitan terjadinya kenaikan bilirubin. Meskipun virus dapat dikenali di
dalam tinja selama beberapa hari setelah awitan ikterus, selama masa ini
belum digambarkan tentang sifat penularan penyakit.
3.1.6 Epidemiologi Hepatitis A Virus

Diperkirakan sekitar 1,5 juta kasus klinis dari hepatitis A terjadi di


seluruh dunia setiap tahun, tetapi rasio dari infeksi hepatits A yang tidak
terdeteksi dapat mencapai sepuluh kali lipat dari jumlah kasus klinis
tersebut. Seroprevalensi dari hepatitis A virus beragam dari beberapa negara
di Asia. Pada negara dengan endemisitas sedang seperti Korea, Indonesia,
Thailand, Srilanka dan Malaysia, data yang tersedia menunjukan apabila
rasio insidensi mungkin mengalami penurunan pada area perkotaan, dan
usia pada saat infeksi meningkat dari awal masa kanak-kanak menuju ke
akhir masa kanak-kanak, dimana meningkatkan resiko terjadinya wabah
hepatitis A.
Di Amerika Serikat, angka kejadian hepatitis A telah turun
sebanyak 95% sejak vaksin hepatitis A pertama kali tersedia pada tahun
1995. Pada tahun 2010, 1.670 kasus hepatitis A akut dilaporkan; Incidence
rate sebanyak 0,6/100.000, rasio terendah yang pernah tercatat. Setelah
menyesuaikan untuk infeksi asimtomatik dan kejadian yang tidak
dilaporkan, perkiraan jumlah infeksi baru ialah sekitar 17.000 kasus.
Gambar 2. Insidensi hepatitis A di Amerika Serikat, Dikutip dari kepustakaan

Hepatitis A masih merupakan suatu masalah kesehatan di negara


berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan data yang berasal dari rumah
sakit, hepatitis A masih merupakan bagian terbesar dari kasus-kasus
hepatitis akut yang dirawat yaitu berkisar dari 39,8-68,3%.2 Incidence rate
dari hepatitis per 10.000 populasi sering kali berfluktuasi selama beberapa
tahun silam. Suatu studi di Jakarta melaporkan bahwa anti-HAV kadang
kadang ditemukan pada bayi baru lahir, dan ditemukan pada 20% bayi.
Angka prevalensi ini terus meningkat pada usia di atas 20 tahun.
Di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2010, KLB hepatitis A terjadi
di 2 desa dengan jumlah penderita sebanyak 32 orang dengan attack rate
sebesar 1,35%, kondisi ini mengalami peningkatan dimana pada tahun 2009
kasus hepatitis A menyerang pada satu desa. Sementara di Kota Semarang
selama tahun 2011 tidak di temukan KLB hepatitis A. Pada tahun 2013,
kasus hepatitis di Kota Semarang meningkat tajam. Menurut Dinas
Kesehatan Kota (DKK) Semarang, ada 47 kasus hepatitis yang diketahui
hingga bulan Agustus tahun 2013.

3.1.7 Patogenesis Hepatitis A Virus

HAV didapat melalui transmisi fecal-oral; setelah itu orofaring


dan traktus gastrointestinal merupakan situs virus ber-replikasi. Virus HAV
kemudian di transport menuju hepar yang merupakan situs primer replikasi,
dimana pelepasan virus menuju empedu terjadi yang disusul dengan
transportasi virus menuju usus dan feses. Viremia singkat terjadi
mendahului munculnya virus didalam feses dan hepar. Pada individu yang
terinfeksi HAV, konsentrasi terbesar virus yang di ekskresi kedalam feses
terjadi pada 2 minggu sebelum onset ikterus, dan akan menurun setelah
ikterus jelas terlihat. Anak-anak dan bayi dapat terus mengeluarkan virus
selama 4-5 bulan setelah onset dari gejala klinis. Berikut ini merupakan
ilustrasi dari patogenesis hepatitis A.
Gambar 3. Patogenesis hepatitis A. Dikutip dari kepustakaan

Kerusakan sel hepar bukan dikarenakan efek direct cytolytic dari


HAV; Secara umum HAV tidak melisiskan sel pada berbagai sistem in vitro.
Pada periode inkubasi, HAV melakukan replikasi didalam hepatosit, dan
dengan ketiadaan respon imun, kerusakan sel hepar dan gejala klinis tidak
terjadi.
Banyak bukti berbicara bahwa respon imun seluler merupakan hal
yang paling berperan dalam patogenesis dari hepatitis A. Kerusakan yang
terjadi pada sel hepar terutama disebabkan oleh mekanisme sistem imun
dari Limfosit-T antigen-specific. Keterlibatan dari sel CD8+ virus-specific,
dan juga sitokin, seperti gamma-interferon, interleukin-1-alpha (IL-1-α),
interleukin-6 (IL-6), dan tumor necrosis factor (TNF) juga berperan
penting dalam eliminasi dan supresi replikasi virus. Meningkatnya kadar
interferon didalam serum pasien yang terinfeksi HAV, mungkin
bertanggung jawab atas penurunan jumlah virus yang terlihat pada pasien
mengikuti timbulnya onset gejala klinis. Pemulihan dari hepatitis A
berhubungan dengan peningkatan relatif dari sel CD4+ virus-specific
dibandingkan dengan sel CD8+6.
Immunopatogenesis dari hepatitis A konsisten mengikuti gejala
klinis dari penyakit. Korelasi terbalik antara usia dan beratnya penyakit
mungkin berhubungan dengan perkembangan sistem imun yang masih
belum matur pada individu yang lebih muda, menyebabkan respon imun
yang lebih ringan dan berlanjut kepada manifestasi penyakit yang lebih
ringan.
Dengan dimulainya onset dari gejala klinis, antibodi IgM dan IgG
anti-HAV dapat terdeteksi. Pada hepatitis A akut, kehadiran IgM anti-HAV
terdeteksi 3 minggu setelah paparan, titer IgM anti-HAV akan terus
meningkat selama 4-6 minggu, lalu akan terus turun sampai level yang
tidak terdeteksi dalam waktu 6 bulan infeksi. IgA dan IgG anti-HAV dapat
dideteksi dalam beberapa hari setelah timbulnya gejala. Antibodi IgG akan
bertahan selama bertahun-tahun setelah infeksi dan memberikan imunitas
seumur hidup. Pada masa penyembuhan, regenerasi sel hepatosit terjadi.
Jaringan hepatosit yang rusak biasanya pulih dalam 8-12 minggu.

Gambar 4. Ringkasan temuan gejala klinis, serologi dan virologi pada hepatitis A
akut tanpa komplikasi. Dikutip dari kepustakaan

3.1.8 Manifestasi Klinis Hepatitis A Virus

Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi mulai dari


infeksi asimptomatik tanpa ikterus sampai yang sangat berat yaitu hepatitis
fulminant yang dapat menimbulkan kematian hanya dalam beberapa hari.
Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu fase inkubasi, fase
prodromal (pra ikterik), fase ikterus, dan fase konvalesen (penyembuhan).
Fase Inkubasi. Merupakan waktu antara masuknya virus dan
timbulnya gejala atau ikterus. Fase ini berbeda-beda lamanya untuk tiap
virus hepatitis. Panjang fase ini tergantung pada dosis inokulum yang
ditularkan dan jalur penularan, makin besar dosis inokulum, makin pendek
fase inkubasi ini. Pada hepatitis A fase inkubasi dapat berlangsung selama
14-50 hari, dengan rata-rata 28-30 hari.
Fase Prodromal (pra ikterik). Fase diantara timbulnya keluhan-
keluhan pertama dan timbulnya gejala ikterus. Awitannya dapat singkat atau
insidious ditandai dengan malaise umum, nyeri otot, nyeri sendi, mudah
lelah, gejala saluran napas atas dan anorexia. Mual muntah dan anoreksia
berhubungan dengan perubahan penghidu dan rasa kecap. Demam derajat
rendah umunya terjadi pada hepatitis A akut. Nyeri abdomen biasanya
ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrium, kadang
diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan kolesistitis.
Fase Ikterus. Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga
muncul bersamaan dengan munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini
tidak terdeteksi. Setelah tibul ikterus jarang terjadi perburukan gejala
prodromal, tetapi justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata.
Fase konvalesen (penyembuhan). Diawali dengan menghilangnya
ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati
tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan.
Keadaan akut biasanya akan membaik dalam 2-3 minggu. Pada hepatitis A
perbaikan klinis dan laboratorium lengkap terjadi dalam 9 minggu. Pada 5-
10% kasus perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, hanya <1%
yang menjadi fulminant.

3.1.9 Diagnosis Hepatitis A Virus

Untuk menegakan diagnosis HAV diperlukan beberapa


pemeriksaan. Pemeriksaan tersebut antara lain adalah:

a. Pemeriksaan Klinis
Diagnosis klinik ditegakan berdasarkan keluhan seperti demam,
kelelahan, malaise, anorexia, mual dan rasa tidak nyaman pada perut.
Beberapa individu dapat mengalami diare. Ikterus (kulit dan sclera
menguning), urin berwarna gelap, dan feses berwarna dempul dapat
ditemukan beberapa hari kemudian. Tingkat beratnya penyakit beraragam,
mulai dari asimtomatik (biasa terjadi pada anak-anak), sakit ringan, hingga
sakit yang menyebabkan hendaya yang bertahan selama seminggu sampai
sebulan.

b. Pemeriksaan Serologik
Adanya IgM anti-HAV dalam serum pasien dianggap sebagai gold
standard untuk diagnosis dari infeksi akut hepatitis A. Virus dan antibody
dapat dideteksi dengan metode komersial RIA, EIA, atau ELISA.
Pemeriksaan diatas digunakan untuk mendeteksi IgM anti-HAV dan
total anti-HAV (IgM dan IgG). IgM anti-HAV dapat dideteksi selama fase
akut dan 3-6 bulan setelahnya. Dikarenakan IgG anti-HAV bertahan
seumur hidup setelah infeksi akut, maka apabila seseorang terdeteksi IgG
anti-HAV positif tanpa disertai IgM anti-HAV, mengindikasikan adanya
infeksi di masa yang lalu. Pemeriksaan imunitas dari HAV tidak
dipengaruhi oleh pemberian passive dari Immunoglobulin/Vaksinasi,
karena dosis profilaksis terletak di bawah level dosis deteksi.

Rapid Test
Deteksi dari antibodi dapat dilakukan melalui rapid test menggunakan
metode immunochromatographic assay, dengan alat diagnosis komersial
yang tersedia. Alat diagnosis ini memiliki 3 garis yang telah dilapisi oleh
antibodi, yaitu “G” (HAV IgG Test Line), “M” (HAV IgM Test Line), dan
“C” (Control Line) yang terletak pada permukaan membran. Garis “G”
dan “M” berwarna ungu akan timbul pada jendela hasil apabila kadar IgG
dan/atau IgM anti-HAV cukup pada sampel. Dengan menggunakan rapid
test dengan metode immunochromatographic assay didapatkan spesifisitas
dalam mendeteksi IgM anti-HAV hingga tingkat keakuratan 98,0% dengan
tingkat sensitivitas hingga 97,6%.

c. Pemeriksaan Penunjang Lain


Diagnosis dari hepatitis dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan
biokimia dari fungsi liver (pemeriksaan laboratorium dari: bilirubin urin
dan urobilinogen, total dan direct bilirubin serum, alanine transaminase
(ALT) dan aspartate transaminase (AST), alkaline phosphatase (ALP),
prothrombin time (PT), total protein, serum albumin, IgG, IgA, IgM, dan
hitung sel darah lengkap). Apabila tes lab tidak memungkinkan,
epidemiologic evidence dapat membantu untuk menegakan diagnosis.

3.1.10 Definisi Kasus Hepatitis A Virus


Deskripsi Klinis: Onset yang mendadak dari demam, kelelahan,
malaise, anorexia, mual dan rasa tidak nyaman pada perut; beberapa
individu dapat mengalami diare. Ikterus (kulit dan sclera menguning), urin
berwarna gelap, dan feses berwarna dempul dapat ditemukan beberapa hari
kemudian. Tingkat beratnya penyakit beraragam, mulai dari asimtomatik
(biasa terjadi pada anak-anak), sakit ringan, hingga sakit yang
menyebabkan hendaya yang bertahan selama seminggu sampai sebulan.
Secara umum, tingkat beratnya gejala meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Anak berusia kurang dari 3 tahun jarang terlihat gejala,
namun 80-90% orang dewasa timbul gejala apabila terinfeksi. Hepatitis
yang berulang dan berkepanjangan (relaps) sampai dengan 1 tahun terjadi
pada 15% kasus. Hepatitis A fulminan jarang terjadi, orang tua dengan
penyakit hati kronis berada pada resiko yang lebih besar terkena hepatitis A
fulminan.
Secara klinis hepatitis A tidak dapat dibedakan dengan jenis hepatitis
lainnya, maka dari itu diperlukan definisi kasus hepatitis A, berikut ini
merupakan definisi kasus hepatitis A:
 Kasus suspect
 Individu dengan gejala penyakit hepatitis A ATAU peningkatan
enzim hepar dengan etiologi yang tidak diketahui DAN tanpa
hubungan epidemiologis yang berhubungan dengan kasus
Confirmed hepatitis A akut.
 Individu dengan titer antibodi IgM anti-HAV positif tanpa gejala
penyakit hepatitis A ATAU tanpa peningkatan kadar ALT dan AST
dalam serum.

 Probable
Individu tanpa gejala klinis penyakit hepatitis A, disertai dengan titer
antibodi IgM anti-HAV positif DAN pasien secara epidemiologis
memiliki hubungan dengan kasus Confirmed hepatitis A akut.
(hubungan epidemiologis dapat didefinisikan sebagai tinggal dalam
satu rumah atau kontak seksual, atau mendapat paparan yang sama
dengan yang diduga menjadi sumber infeksi hepatitis A)
 Confirmed
 Individu dengan gejala klinis hepatitis A, disertai dengan ikterus
ATAU peningkatan kadar AST dan ALT dalam serum DAN antibodi
IgM anti-HAV positif.
 Individu dengan gejala klinis hepatitis A, disertai dengan ikterus
ATAU peningkatan AST dan ALT dalam serum DAN memiliki
hubungan epidemiologis dengan kasus Confirmed hepatitis A akut.
(hubungan epidemiologis dapat didefinisikan sebagai satu rumah
tangga atau kontak seksual, atau mendapat paparan yang sama
dengan yang diduga menjadi sumber infeksi hepatitis A).

3.1.11 Pencegahan Hepatitis A Virus


Suplai air bersih yang adekuat dengan pembuangan kotoran yang baik
dan benar didalam komunitas, dikombinasikan dengan praktik higiene
personal yang baik, seperti teratur mencuci tangan, dapat mengurangi
penyebaran dari HAV.
Imunisasi pasif dengan immunoglobulin normal atau immune serum
globulin prophylaxis dapat efektif dan memberi perlindungan selama 3
bulan. Akan tetapi, dengan penemuan vaksin yang sangat efektif,
immunoglobulin tersebut menjadi jarang digunakan. Imunisasi pasif ini
diindikasiskan untuk turis yang berkunjung ke daerah endemik dalam waktu
singkat, wanita hamil, orang yang lahir di daerah endemis HAV, orang
dengan immunocompromised yang memiliki resiko penyakit berat setelah
kontak erat, dan pekerja kesehatan setelah terpajan akibat pekerjaan. Ketika
sumber infeksi HAV teridentifikasi, contohnya makanan atau air yang
terkontaminasi HAV, immune serum globulin prophylaxis harus diberikan
kepada siapa saja yang telah terpapar dari kontaminan tersebut. Hal ini
terutama berlaku untuk wabah dari HAV yang terjadi di sekolah, rumah
sakit, penjara, dan institusi lainnya.
Imunisasi aktif dengan vaksin mati memberikan imunitas yang sangat
baik. Imunisasi ini diindikasikan untuk turis yang berkunjung ke daerah
endemik, untuk memusnahkan wabah, dan untuk melindungi pekerja
kesehatan setelah pajanan atau sebelum pajanan bila terdapat risiko akibat
pekerjaan. Vaksinasi HAV memberikan kemanjuran proteksi terhadap HAV
sebesar 94-100% setelah 2-3 dosis suntikan yang diberikan 6-12 bulan
secara terpisah, dengan efek samping yang minimal.

3.1.12 Penatalaksanaan Hepatitis A Virus


Penatalaksanaan hepatitis A virus sebagian besar adalah terapi suportif,
yang terdiri dari bed rest sampai dengan ikterus mereda, diet tinggi kalori,
penghentian dari pengobatan yang beresiko hepatotoxic, dan pembatasan
dari konsumsi alkohol.
Sebagian besar dari kasus hepatitis A virus tidak memerlukan rawat
inap. Rawat inap direkomendasikan untuk pasien dengan usia lanjut,
malnutrisi, kehamilan, terapi imunosupresif, pengobatan yang mengandung
obat hepatotoxic, pasien muntah berlebih tanpa diimbangi dengan asupan
cairan yang adekuat, penyakit hati kronis/didasari oleh kondisi medis yang
serius, dan apabila pada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
didapatkan gejala-gejala dari hepatitis fulminan. Pasien dengan gagal hati
fulminant, didefinisikan dengan onset dari encephalopathy dalam waktu 8
minggu sejak timbulnya gejala. Pasien dengan gagal hati fulminant harus
dirujuk untuk pertimbangan melakukan transplantasi hati.
Tujuan utama penatalaksanaan Hepatitis virus Akut secara umum
adalah : Mengurangi angka kematian, menghilangkan keluhan dan gejala
klinik yang ada serta memperpendek perjalanan penyakit dan mencegah
terjadinya komplikasi. Sampai saat ini belum ada obat yang mempunyai
kasiat spesifik yang dapat merubah perjalanan penyakit Hepatitis akut, jadi
pada dasarnya penatalaksanaan infeksi virus Hepatitis A hanya bersifat
suportif, tidak ada yang spesifik. Pasien dirawat bila ada dehidrasi berat
dengan kesulitan masukkan per oral, kadar SGOT-SGPT > 10 kali nilai
normal, perubahan perilaku atau penurunan kesadaran akibat ensefalopati
hepatits fulminan, dan prolong atau relapsing hepatitis.
Tidak adanya terapi medikamentosa khusus karena pasien dapat
sembuh sendiri (self limiting disease). Pemeriksaan kadar SGOT-SGPT dan
bilirubin terkonyugasi diulang pada minggu ke-2 untuk melihat proses
penyembuhan dan ke-3 untuk kemungkinan prolonged atau relapsing
hepatitis.pembatasan aktivitas fisik terutama yang bersifat kompetitif
selama kadar SGOT-SGPT masih .3 kali batas atas nilai normal.
Diet disesuaikan dengan kebutuhan dan hindarkan makanan yang
sudah berjamur, yang mengandung zat pengawet yang hepatotoksik ataupun
zat hepatotoksik lainnya. Biasanya antiemetik tidak diperlukan dan makan 6
atau 6 kali dalam porsi kecil lebih baik daripada 3 kali dalam porsi besar.
Bila muntah berkepanjangan, pasien dapat diberikan antiemetik seperti
metoklopramid, tetapi bila demikian perlu berhati - hati terhadap efak
samping yang timbul karena dapat mengacaukan gejalah klinis perburukan.
Dalam keadaan klinis terdapat mual atau muntah pasien diberikan diet
rendah lemak. Vitamin K diberikan bila terdapat pemanjangan masa
protrombin. Kortiosteroid tidak boleh digunakan. Pencegahan infeksi
terhadap lingkungan harus diperhatikan.
3.2 Hepatitis B

3.2.1 Definisi Hepatitis B Virus


Hepatitis B adalah penyakit hati yang disebabkan oleh "Virus
Hepatitis B” (HBV), suatu anggota famili Hepadnavirus yang
menyebabkan peradangan hati akut atau menahun yang pada sebagian
kecil kasus dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati.
Virus hepatitis utuh adalah suatu virus DNA yang berlapis ganda
(double shalled), dengan diameter 42 nm. Bagian luar virus ini terdiri dari
HBsAg, sedang bagian dalam adalah nukleo kapsid yang terdiri dari
HBcAg. Didalam nukleokapsid didapatkan kode genetic VHB yang terdiri
dari DNA untai ganda (double stranded) dengan panjang 3200 nukleotida.
Virus hepatitis mempunyai 3 bentuk yaitu: partikel bentuk sphaeris
berdiameter 22 nm, partikel Dane dengan diameter 42 nm, partikel
berbentuk tubuler (filament) berdiameter 22 nm dan panjang 200-499 nm.
Virus hepatitis terdiri dari dua bagian. Selubung luar (Hepatitis B surface
antigen = HBsAg) yang membungkus bagian dalam virus, dan bagian
dalam terdiri dari inti dikenal sebagai hepatitis B core antigen (HBcAg),
dan hepatitis B e antigen (HBeAg), partially double stranded DNA
polimerase (DNA-p) serta suatu aktivitas protein kinase.
HBsAg mempunyai paling sedikit 5 determinan antigenik yaitu
determinan grup spesifik a yang terdapat pada semua HBsAg, dua pasang
sub determinan subtipe yaitu d, y dan w, r. dengan ditemukannya
determinan subtipe maka subtipe HBsAg pun bertambah yaitu : adw2;
adw4; adr ayr, ayw2, ayw3, ayw4, adyw, adyr, adwr, aywr. Ternyata
subtipe tidak menentukan berat ringan perjalanan penyakit, tetapi lebih
berarti secara epidemiologi.
Apabila seseorang terinfeksi virus hepatitis B akut maka tubuh
akan memberikan tanggapan kekebalan (immune response). Ada 3
kemungkinan tanggapan kekebalan yang diberikan oleh tubuh terhadap
virus hepatitis B pasca periode akut. Kemungkinan pertama, jika
tanggapan kekebalan tubuh adekuat maka akan terjadi pembersihan virus,
pasien sembuh. Kedua, jika tanggapan kekebalan tubuh lemah maka
pasien tersebut akan menjadi carrier inaktif. Ke tiga, jika tanggapan tubuh
bersifat intermediate (antara dua hal di atas) maka penyakit terus
berkembang menjadi hepatitis B kronis.
Pada kemungkinan pertama, tubuh mampu memberikan tanggapan
adekuat terhadap virus hepatitis B (HBV), akan terjadi 4 stadium siklus
HBV, yaitu fase replikasi (stadium 1 dan 2) dan fase integratif (stadium 3
dan 4). Pada fase replikasi, kadar HBsAg (hepatitis B surface antigen),
HBV DNA, HBeAg (hepatitis B antigen), AST (aspartate
aminotransferase) dan ALT (alanine aminotransferase) serum akan
meningkat, sedangkan kadar anti-HBs dan anti HBe masih negatif. Pada
fase integratif (khususnya stadium 4) keadaan sebaliknya terjadi, HBsAg,
HBV DNA, HBeAg dan ALT/AST menjadi negatif/normal, sedangkan
antibodi terhadap antigen yaitu: anti HBs dan anti HBe menjadi positif
(serokonversi). Keadaan demikian banyak ditemukan pada penderita
hepatitis B yang terinfeksi pada usia dewasa di mana sekitar 95-97%
infeksi hepatitis B akut akan sembuh karena imunitas tubuh dapat
memberikan tanggapan adekuat.
Sebaliknya 3-5% penderita dewasa dan 95% neonatus dengan
sistem imunitas imatur serta 30% anak usia kurang dari 6 tahun masuk ke
kemungkinan dua dan tiga; akan gagal memberikan tanggapan imun yang
adekuat sehingga terjadi infeksi hepatitis B persisten, dapat bersifat
carrier inaktif atau menjadi hepatitis B kronis

3.2.2 Etiologi
Infeksi virus hepatitis B (HBV) sebelumnya dinamai “hepatitis
serum” disebabkan oleh virus kelompok hepadnavirus. Virus tersebut
mengandung DNA.

3.2.3 Epidemiologi
Hepatitis B adalah penyakit infeksi virus hati yang menurut
perkembangannya apabila tidak ditangani dengan baik dapat berkembang
menjadi sirosis hati, karsinoma hepatoseluler bahkan tidak jarang
menyebabkan kematian. Menurut WHO, sedikitnya 350 juta penderita
carrier hepatitis B terdapat di seluruh dunia, 75%-nya berada di Asia
Pasifik. Diperkirakan setiap tahunnya terdapat 2 juta pasien meninggal
karena hepatitis B. Hepatitis B mencakup 1/3 kasus pada anak. Indonesia
termasuk negara endemik hepatitis B dengan jumlah yang terjangkit antara
2,5% hingga 36,17% dari total jumlah penduduk.
Tabel: Prevalensi HBeAg pada wanita hamil
Daerah Jumlah HBsAg (%) HBeAg + (%) Peneliti Tahun
Ibu

Jakarta 200 4 62,5 Noer 1981

736 5,2 38,8 Wiharta 1985

jogyakarta 524 2,1 18,2 Soebodo 1984

Bandung 300 4,7 35,7 Ali Usman 1985

Surabaya 100 3 33,3 Hendara R 1981

1016 4,6 66,6 Edison 1989

Denpasar 569 2,46 - Montessori 1991

1552 2,58 47,5 Surya 1991

Mataram 3078 3,8 50,9 Soewignyo 1993

Solo 1800 3,4 - Suparyatmo 1993

3.2.4 Masa inkubasi


Pada umumnya infeksi virus hepatitis B terjadi lebih lambat
dibandingkan dengan infeksi virus hepatitis A. Hepatitis B cenderung
relatif lebih ringan pada bayi dan anak-anak serta mungkin tidak diketahui.
Beberapa penderita infeksi terutama neonatus akan menjadi karier kronis.
Masa inkubasi hepatitis B dimulai sejak pemaparan hingga awitan ikterus
selama 2-5 bulan. Pada penyakit ini tidak terdapat prevalensi yang
berhubungan dengan musim

3.2.5 Penularan
Kontak dengan penderita melalui parenteral yang berasal dari
produk-produk darah secara intravena, kontak seksual, dan perinatal secara
vertikel (dari ibu ke janin). Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan
virus hepatitis B ini menular yaitu secara vertikal dan horizontal. Secara
vertikal, cara penularan vertikal terjadi dari ibu yang mengidap virus
hepatitis B kepada bayi yang dilahirkan yaitu pada saat persalinan atau
segera setelah persalinan manakala secara horisontal, dapat terjadi akibat
penggunaan alat suntik yang tercemar, tindik telinga, tusuk jarum,
transfusi darah, penggunaan pisau cukur dan sikat gigi secara bersama-
sama serta hubungan seksual dengan penderita.
Sumber penularan
 Darah
 air seni
 tinja dan sekresi usus
 air liur dan sekresi nasofarink
 semen, sekresi vagina da darah menstrusi
 air susu, keringat dan berbagai cairan tubuh.
Cara penularan
Penularan virus hepatitis B dapat melalui berbagai cara:
 melalui kulit (perkutan)
 melalui selaput lendir (peroral, seksual) atau penularan antara satu
orang keorang lain yang “sederajat”.
penularan dengan cara tersebut diatas dikenal dengan istilah penularan
horizontal
 masa persalinan (perinatal)
penularan dari ibu keanaknya pada masa perinatal dinamakan juga
penularan vertikal.

Penularan perkutan
Penularan perkutan nyata :
Terjadi jika bahan yang infeksius masuk melewati kulit. Yang
disebabkan tusukan yang jelas (penularan parenteral) misalnya melalui
suntikan, transfusi darah, atau bahan ysg berasal dari darah, baik secara
intervena ataupun tusukan jarum. Contoh: hepatitis pasca transfusi,
hemodialisa, alat suntik yang tercemar.
Penularan perkutan tidak nyata:
Banyak penderita mendapat hepatitis B, tidak pernah dapat mengingat
bahwa mereka pernah mendapat trauma pada kulit atau hal lain (adanya
microleasi). Virus hepatitis B tidak dapat menembus kulit yang sehat,
namun dapat melalui kulit yang sakit seperti luka, koreng, dan lain-lain.

Penularan melalui selaput lendir


a. Penularan melalui peroral
penularan ini dapat terjadi jika bahan yang infeksius mengenai
selaput lendir mulut. Agaknya penulran melalui mulut hanya terjadi
padamereka dimana terjadi luka didalam mulutnya. Hal ini berlaku
bagi kemungkinan penyebaran dalam praktek dokter gigi, dimana
penularan terjadi jika terjadi luka traumatik terbuka dalam mulut.
b. Penyebaran melalui kontak seksual
cara ini melalui kontak dengan selaput lendir saluran genital,
sebagai akibat kontak seksual dengan individu yang mengidap HBsAg
positip yang bersifat infeksius. Infeksi dapat terjadi melalui hubungan
seksual baik heteroseksual maupun homoseksual. Hal ini
dimungkinkan oleh karena cairan secret vagina dapat mengandung
HBsAg.

Penularan perinatal (transmisi vertikal)


penularan perinatal ini disebut juga sebagai penularan maternal neonatal
dan merupakan cara penularan yang unik. Penularan dapat terjadi:
a. dalam uterus (in utero)
b. sewaktu persalinan
c. pasca persalinan
Mekanisme penularan infeksi virus hepatitis B secara vertikal, dikenal
beberapa teori yang memungkinkan terjadinya penularan infeksi hepatitis
B dari ibu keanak.
Transmisi Materno Faetal
Dalam keadaan normal partikel utuh virus hepatitis B tidak dapat
menembus barier plasenta. Adanya HBsAg di darah tali pusat tidak selalu
menunjukkan adanya transmisi maternofetal, kemungkinan terjadinya
suatu pencampuran darah (difusi) dari ibu mungkin saja terjadi. Hal ini
misalnya dapat terjadi pada partus yang lama. Maka untuk pemeriksaan
darah sebaiknya diambil dari vena fermoralis dan bukan dari tali pusat.
Perpindahan Virus melalui Plasenta.
Dengan ditemukan adanya bayi yang menjadi positif kurang dari masa
tunas terpendek (kurang dari 6 minggu), maka sangat mungkin penularan
telh terjadi melalui plasenta, ada beberapa pendapat mengenai hal ini :
a. terdapat robekan plasentaa
b. terdapat kelainan plasenta
c. HBeAg bebas tidak dapat menembus plasenta tetapi HBeAg yang
berikatan dengan IgG dapat menembusnya.
Inokulum yang tertelan oleh Janin
Di dalam kandungan cairan yang tertelan oleh janin, ternyata
didapatkan HBsAg positidari pemeriksaan cairan lambung pada bayi –
bayi yang baru dilahirkan dari ibu dengan pengidap hepatitis B.
Kontaminasi Abrasi/laserasai pada kilit/selaput lender
Pada waktu persalinan, simbah darah ibu, cairan amnion dari ibu
dengan pengidap hepatitis B dapat mengkontamanasi mikrolaesi pada
kulit / selaput lendir bayi yang terjadi pada waktu melalui jalan lahir.
Melalui Klostrum
Meskipun HBsAg dapat ditemukan pada air susu ibu, tetapi tidakda
perbedaan yang bermakna antara bayi yang dapat asi pada kelompok ibu
pengidap hepatitis B dengan bayi yang mendapat asi pda kelompok sehat.
Pada penelitian yang sama ternyata pada klostrum tidak ditemukan adanya
virus hepatitis B.
Penelitian lain telah melaporkan HBsAg didalam contoh cairan
ammonium 33%, pada contoh darah tali pusat 50%, dari air susu ibu 71%,
dan 95% pada cairan lambung.

3.2.6 Patogenesis
Setelah virus masuk ke tubuh manusia, ia akan berkembang biak
didalam sel hati (hepatosit) melalui beberapa tahap yang dimulai dengan
melekatnya virus pada hepatosit, kemudian masuk kedalam sel. Proses
selanjutnya setelah pelepasan selubung virus, pembuatan MRNA
(messenger ribonucleic acid), pembuatan DNA virus dan nukleokapsid,
perakitan kompenen virus serta pelepasan virus baru dari sel, setelah
memperoleh selubung dari membran sel. Sampai saat ini dianggap bahwa
pelepasan virus baru tidak disertai pecahnya hepatosit. Kerusakan pada
hepatosit disebabkan oleh respon kekebalan yang terjadi. Virus baru akan
dilepas kedalam darah. Adanya keaktifan replikasi HBV dapat dideteksi
dengan cara memeriksa HBeAg (tes srologik), HBV DNA (tes hibridasi)
Atau HBV DNA polymerase (tes RIA/radioimmunoassay).
Pada seseorang individu yang terkena hepatitis B, proses perjalanan
infeksi virus hepatitia B bergantung pada aktivitas terpadu
sistimpertahanan tubuh individu yang terdidri dari interferon dan respon
imun. Bila aktifitas sistem pertahanan ini baik, akan terjadi infeksi virus
hepatitis B.akut yang diikuti oleh proses penyembuhan. Sebaliknya bila
salah satu sistem pertahanan ini terganggu akan terjadi proses infeksi virus
hepatitis B kronik.

Mekanisme terjadinya hepatitis virus B akut


Merupakan infeksi sistemik yang terutama mengenai hati dan bersifat
akut. Gejala awal pada periode perikterik adalah demam yang bervariasi
tergantung dari virus penyebab, malaise pada 95% kasus, anoreksia pada
90%, nausea pada 80% dan nyeri pada sendi, otot serta kepala. Urin
berwana gelap mungkin terdapat 1-5 hari sebelum terjadi fase ikterus.
Pada infeksi virus hepatitis B akut reaksi immunologik yang timbul di
dalam tubuh individu dapat bersifat humoral maupun seluler. Reaksi
humoral dapat dilihat dengan timbulnya anti HBs, anti HBe maupun anti
HBc. Reaksi immunologik seluler ditandai dengan aktifasi sel sitotoksik
yang dapat menghancurkan HBcAg atau HBsAg yang terdapat pada
didnding sel hati yang telah dikenalnya dengan bantuan major-Histo
Compatibility (MHC) kelas1.
Mula-mula pada tahap awal infeksi akut, sel hati memproduksi MHC
dalam jumlah cukup banyak bersamaan dengan produksi alfa interferon.
Interferon dapat mengaktifkan beberapa enzym, termasuk diantaranya 2-
5A oligoadgenylate synthetase yang mempunyai peran menghambat
sintesa protein virus dan diduga melindungi sel hati yang masih sehat
terhadap infeksi virus hepatitis B. Sel hati yang mengalami infeksi virus
hepatitis B dapat memproduksi protein yang disebut liver spesifik protein
(LSP) yang bersifat antigenik. Protein ini menempel pada dinding sel hati
dan dapat berperan sebagai antigen sasaran target antigen olehsel T
sitotoksik.
Pada saat tejadi infeksi virus hepatitis B, didalam sirkulasi darah virion
mengadakan ikatan dengan PHSA (polymerized human serum albumin)
untuk selanjutnya menuju hepatosit dengan perantara pSHA yang telah
terikat ini. Terbentuk pula ikatan dengan reseptor pSHA yang terdapat
pada dinding sel hati. Tahap berikutnya adalah proses endositosis.
Dalam proses penghancuran sel hati ini berlangsung suatu komponen
antara sel T sitotoksik dengan faktor-faktof penghambat. Faktor
penghambat disini yang berfungsi adalah anti HBc dan faktor-faktor yang
terdapat didalam serum misalnya Rosette Inhibiting Factor yang keduanya
diproduksi oleh limfosit serta faktor-faktor yang dikeluarkan oleh sel hati
sendiri yaitu liver Derived Inhibition Protein (LIP). Hasil akhir ditentukan
oleh resultan dari kedua komponen yang berkompetisi
Pada kasus akut sel T sitotoksik berhasil membersihkan semua sel hati
yang terinfeksi berhasil membersihkan semua sel hati yang kemudian
diakhiri dengan proses penyembuhan. Bila sel T ini tidak berhasil
menghancurkan seluruh sel hati yang mengalami infeksi, maka proses
akan berkepanjangan hingga menjadi kasus kronik.
Hepatitis kronik
Pada sebagian besar pasien dengan hepatitis akut, penyakit akan
berkembang menjadi kronik. Ada 3 bentuk hepatitis kronis haitu hepatitis
kronik aktif, hepatitis kronik persisten dan hepatitis kronik lobular yang
perbedannya hanya dapat dilakukan dengan biopsi hati.

Pada hepatitis kronik aktif ditemukan nekrosis hati yang berlangsung


terus menerus, peradangan aktif dan fibrosis yang mungkin menuju atau
disertai gagal hati, sirosis dan kematian. Pemeriksaan biokimiawi
menunjukkan kenaikan dan fluktuasi aminotansferase, sedangkan
bilirubun sedikt meninggi pada kasus yang berat.

Sirosis
Sebagian kasus hepatitis oleh virus akan berkembang kearah sirosis
hati. Adalah istilah patologik yang ada hubungannya dengan spektrum
manifestasi klinik yang khas. Gambaran patologik yang utama adalah
kerusakan kronik parenkim hati yang ireversibel dan terdiri dari fibrosis
ektensif yang berkaitan dengan pembentukan nodul regeneratif. Hal ini
terjadi akibat nekrosis hepatosit, kolaps jaringan penunjang retikulin,
distrosi system vaskuler dan regenerasi noduler dari parekim hati yang
tersisa.

Kanker Hati / Karsinoma Hepatoseluler


Merupakan kanker primer pada sel hati. Penyakit ini sering tidak
terdeteksi secara dini pada pasien yang sebelumnya menderita sirosis.
Adanya pembesaran hati disertai nyeri tekan yang ringan merupakan
keluhan utama pada setengan dari kasus.

Manifestasi klinik dan diagnois


Hepatitis B akut
Gejala klinis didahului dengan masa tunas yang berkisar sekitar28-180
hari. Perjalanan klinik infeksi hepatitis B sangat beraneka ragam sehingga
sering menimbulkan kekeliruan pada waktu mendiagnosa, diagnosis
sering baru ditegakkan setelah menjalani pemeriksaan kesehatan umum.
Setelah virus masuk kedalam tubuh akan masuk kedalam sirkulasi dan
menuju hati, didalam hati terjadi proses replikasi pada perjalanan hepatitis
akut, HBsAg sudah ditemukan 1-2 bulan sebelum timbul gejala dan tanda,
dan bahkan satu minggu setelah infeksi. Pada saat timbul gejal klinis
HBsAg umumnya masih ditemukan dan menetap sampai 6 minggu, dan
pada 59% kasus dan akan menghilang setelah 3 bulan ddalam perjalanan
infeksi akut. Dan apabila dalam 6 bulan HBsag masih menetap, maka
perjalanan klinik akan masuk ke fase kronik.

Manifestasi klinik yang tampak adalah


a. Selera makan hilang
b. Rasa tidak enak di perut
c. Nyeri dan bengkak pada sisi kanan atas perut (lokasi hati).
d. Demam tidak tinggi
e. Kadang-kadang disertai nyeri sendi
f. Keluhan dan gejala diatas mirip dengan gejala flu dikenal sebagai flu
like syndrome
g. Setelah 1 minggu, timbul gejala utama:
h. Tubuh menjadi kuning
i. Bagian putih mata tampak kuning
j. Air seni berwarna coklat seperti air the

Hepatitis B kronik
Keluhan dan gejala hepatitis B kronik sering kali tidak jelas . kalupun
ada sering hanya berupa gejala yang tidak khas seperti rasa lesu dan cepat
lelah, rasa ngantuk dan ingin tidur. Kadang – kadang gejala gastro
intestinal seperti mual, kembung. Yang paling sering terjadi rata–rata
penderita tidak mengetahui keluhan an gejala awal terkena penyakit.
Diagnosis sering baru ditegakkan sebagai lanjutan pemeriksaan medical
check up dimana sering ditemukan peniggian transminase atau HBsAg
positif. Tidak jarang pasien dengan penyakit hati kronik berat seperti
sirosis hati, hipertensi portal atau bahkan tumor hati.

3.2.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang ditemui dan
didukung oleh pemeriksaan laboratorium. Riwayat ikterus pada para
kontak keluarga, kawan-kawan sekolah, pusat perawatan bayi, teman-
teman atau perjalanan ke daerah endemi dapat memberikan petunjuk
tentang diagnosis.
Hepatitis B kronis merupakan penyakit nekroinflamasi kronis hati
yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B persisten. Hepatitis B kronis
ditandai dengan HBsAg positif (> 6 bulan) di dalam serum, tingginya
kadar HBV DNA dan berlangsungnya proses nekroinflamasi kronis hati.
Carrier HBsAg inaktif diartikan sebagai infeksi HBV persisten hati tanpa
nekroinflamasi. Sedangkan hepatitis B kronis eksaserbasi adalah keadaan
klinis yang ditandai dengan peningkatan intermiten ALT>10 kali batas atas
nilai normal (BANN).
Diagnosis infeksi hepatitis B kronis didasarkan pada pemeriksaan
serologi, petanda virologi, biokimiawi dan histologi. Secara serologi
pemeriksaan yang dianjurkan untuk diagnosis dan evaluasi infeksi
hepatitis B kronis adalah: HBsAg, HBeAg, anti HBe dan HBV DNA.
Adanya HBsAg dalam serum merupakan petanda serologis infeksi
hepatitis B. Titer HBsAg yang masih positif lebih dari 6 bulan
menunjukkan infeksi hepatitis kronis. Munculnya antibodi terhadap
HBsAg (anti HBs) menunjukkan imunitas dan atau penyembuhan proses
infeksi. Adanya HBeAg dalam serum mengindikasikan adanya replikasi
aktif virus di dalam hepatosit. Titer HBeAg berkorelasi dengan kadar HBV
DNA. Namun tidak adanya HBeAg (negatif) bukan berarti tidak adanya
replikasi virus, keadaan ini dapat dijumpai pada penderita terinfeksi HBV
yang mengalami mutasi (precore atau core mutant). Penelitian
menunjukkan bahwa pada seseorang HBeAg negatif ternyata memiliki
HBV DNA >105 copies/ml. Pasien hepatitis kronis B dengan HBeAg
negatif yang banyak terjadi di Asia dan Mediteranea umumnya
mempunyai kadar HBV DNA lebih rendah (berkisar 104-108copies/ml)
dibandingkan dengan tipe HBeAg positif. Pada jenis ini meskipun HBeAg
negatif, remisi dan prognosis relatif jelek, sehingga perlu diterapi.
Secara serologi infeksi hepatitis persisten dibagi menjadi hepatitis
B kronis dan keadaan carrier HBsAg inaktif. Yang membedakan keduanya
adalah titer HBV DNA, derajat nekroinflamasi dan adanya serokonversi
HBeAg. Sedangkan hepatitis B kronis sendiri dibedakan berdasarkan
HBeAg, yaitu hepatitis B kronis dengan HBeAg positif dan hepatitis B
kronis dengan HBeAg negatif.
Pemeriksaan virologi untuk mengukur jumlah HBV DNA serum
sangat penting karena dapat menggambarkan tingkat replikasi virus. Ada
beberapa persoalan berkaitan dengan pemeriksaan kadar HBV DNA.
Pertama, metode yang digunakan untuk mengukur kadar HBV DNA. Saat
ini ada beberapa jenis pemeriksaan HBV DNA, yaitu: branched DNA,
hybrid capture, liquid hybridization dan PCR. Dalam penelitian, umumnya
titer HBV DNA diukur menggunakan amplifikasi, seperti misalnya PCR,
karena dapat mengukur sampai 100-1000 copies/ml. Ke dua, beberapa
pasien dengan hepatitis B kronis memiliki kadar HBV DNA fluktuatif. Ke
tiga, penentuan ambang batas kadar HBV DNA yang mencerminkan
tingkat progresifitas penyakit hati. Salah satu kepentingan lain penentuan
kadar HBV DNA adalah untuk membedakan antara carrier hepatitis
inaktif dengan hepatitis B kronis dengan HBeAg negatif: kadar
<105copies/ml lebih menunjukkan carrier hepatitis inaktif. Saat ini telah
disepakati bahwa kadar HBV DNA>105copies/ml merupakan batas
penentuan untuk hepatitis B kronis.
Salah satu pemeriksaan biokimiawi yang penting untuk
menentukan keputusan terapi adalah kadar ALT. Peningkatan kadar ALT
menggambarkan adanya aktifitas nekroinflamasi. Oleh karena itu
pemeriksaan ini dipertimbangkan sebagai prediksi gambaran histologi.
Pasien dengan kadar ALT yang meningkat menunjukkan proses
nekroinflamasi lebih berat dibandingkan pada ALT yang normal. Pasien
dengan kadar ALT normal memiliki respon serologi yang kurang baik pada
terapi antiviral. Oleh sebab itu pasien dengan kadar ALT normal
dipertimbangkan untuk tidak diterapi, kecuali bila hasil pemeriksaan
histologi menunjukkan proses nekroinflamasi aktif.
Tujuan pemeriksaan histologi adalah untuk menilai tingkat
kerusakan hati, menyisihkan diagnosis penyakit hati lain, prognosis dan
menentukan manajemen anti viral. Ukuran spesimen biopsi yang
representatif adalah 1-3 cm (ukuran panjang) dan 1,2-2 mm (ukuran
diameter) baik menggunakan jarum Menghini atau Tru-cut. Salah satu
metode penilaian biopsi yang sering digunakan adalah dengan Histologic
Activity Index score.
Pada setiap pasien dengan infeksi HBV perlu dilakukan evaluasi
awal. Pada pasien dengan HBeAg positif dan HBV DNA > 105copies/ml
dan kadar ALT normal yang belum mendapatkan terapi antiviral perlu
dilakukan pemeriksaan ALT berkala dan skrining terhadap risiko KHS,
jika perlu dilakukan biopsi hati. Sedangkan bagi pasien dengan keadaan
carrier HBsAg inaktif perlu dilakukan pemantauan kadar ALT dan HBV
DNA
3.2.8 Gambaran klinis
Sebelum timbulnya ikterus biasanya didahului oleh suatu masa
prodormal seperti malaise, anoreksia, dan sering gejala gastrointestinalis,
disertai nyeri perut atas. Pemeriksaan laboratorium menunjukan
hiperbilirubinemia, kenaikan kadar transaminase serum. Pada tes serologis
didapatkan HBsAg (+), Ig M Anti HBc (+). Berdasarkan gejala klinis dan
petunjuk serologis, manifestasi klinis hepatitis B dibagi 2 yaitu :
1. Hepatitis B akut yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap
individu yang sistem imunologinya matur sehingga berakhir dengan
hilangnya virus hepatitis B dari tubuh. Hepatitis B akut terdiri atas 3
yaitu :
a. Hepatitis B akut yang khas
b. Hepatitis Fulminan
c. Hepatitis Subklinik
2. Hepatitis B kronis yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap
individu dengan sistem imunologi kurang sempurna sehingga
mekanisme untuk menghilangkan VHB tidak efektif dan terjadi
koeksistensi dengan VHB.

3.2.9 Pengobatan Hepatitis B Kronis

Tujuan pengobatan infeksi virus hepatitis B.


1. Menghilangkan infeksi virus
2. Mengurangi kemungkinan kejadian komplikasi jangka panjang seperti
sirosis hati atau karsinoma hepatoseluler (KHS)
3. Mengurangikeadaan infektivitas atau tingkat replikasi virus, dalam hal
ini dapat dilihat dengan menghilangnya HBeAg, DNA polymerase dan
HBV DNA.

Pengobatan anti-virus
1. Interferon
2. Nucleosida analog
3. Adenine arabinoside
4. Lamivudine
5. Famciclovir
6. Lobucavir, adenovir dipivoxil

Macam pengobatan:
Secara garis besar ada tiga bentuk pengobatan yang ditujukan terhadap
hepatitis kronik B:
1. Pengunaan obat-obat yang mencegah proses replikasi virus.
Obat yang tergolong kedalam anti-virus adalah: interferon,
acyclovir, ribavirin, phosponoformic acid (PFA), intercalating agents
9quinacrine). Dari golongan ini yang banyak diteliti dan dipakai oleh
lamivudin: interferondan adenine arabinoside.
2. Pengunaan obat-obat yang dapat memodulasi keadaan system imun
(imuno modulasi).
Obat yang tergolong dalam golongan imunomodulator adalah
plasma peresis, hepatitis mune RNA, leva misole, Bacillus Calmette
Guerrin, imuno suppresif. Dari kelompok ini yang dianggap
mempunyai khasiat baik ialah transfer factor, immune RNA, immuno
sippresif.
3. Biological Response Modifiers, termasuk obat baru Thymosin alfa.

3.2.10 Pencegahan Hepatitis B


Pencegahan terhadap hepatitis virus ini adalah sangat penting karena
sampai saat ini belum ada obat yang dapat membunuh virus, sehingga satu-
satunya jalan untuk mencegah hepatitis virus adalah dengan vaksinasi,
tetapi pada saat ini baru ada vaksin hepatitis B saja, karena memang
Hepatitis B sajalah yang paling banyak diselidiki baik mengenai perjalanan
penyakitnya maupun komplikasinya.
Saat ini di seluruh dunia terdapat 200 juta orang pengidap hepatitis B
yang tidak menampakkan gejala, tetapi merupakan sumber penularan bagi
manusia sehat. Agarc tubuh menjadi kebal diperlukan vaksinassi dasar
mengenai dasar sebanyak tiga kali vaksinassi hepatitis B. Mengenai jarak
waktu pemberian vaksinasi dasar tergantung dari jenis vaksinasi yang
dipakai. Ada dua vaksin hepatitis B yaitu vaksin yang dibuat dari darah
manusia yang telah kebal Hepatitis B dan vaksin hepatitis yang dibuat dari
perekayasaan sel ragi. Vaksin hepatitis yang di buat dari darah manusia
kebal hepatitis di suntikkan kepada orang sehat sekali sebulan sebanyak
tiga kali, sedangan vaksin hepatitis b yang di rekayasa dari sel ragi diberi
kepada penderita sebulan sekali sebanyak dua kali, lalu suntikan ke tiga
baru di beri 5 bulan kemudian.
Untuk memperkuat kekebalan yang telah ada, perllu diberi vaksinasi
penguat. Caranya bermacam-macam ada vaksin yang perlu di ulang setahun
kemudian satu kali, lalu 4 tahun kemudian diberi sekali lagi, selanjutnya
setiap 5 tahun sekali. Ada pula jenis vaksin yang perlu diberikan hanya
setiap 5 tahun sekali saja. Vaksinasi hepatitis B sebaiknya dilakukan sedini
mungkin. Bayi yang lahir dari ibu yang mengidap penyakit hpatitis B, harus
di vaksinasi hepatitis B segera setelah lahir, sedangkan bayi lainnya boleh
diberi setelah berumur sebulan.
Secara keseluruhan tindakan pencegahan terhadap hepatitis adalah
dengan memakai sarung tangan bila berkontak dengan darah /cairan tubuh
lainnya, dan harus hati-hati memasang kembali tutup jarum suntik.
Perhatikan cara pembuangan bahan-bahan terkontaminasi dan pembersihan
alat-alat dan permukaan yang terkontaminasi. Bahan pemeriksaan untuk
laboratorium harus diberi label jelas bahwa bahan berasal dari pasien
hepatitis. Perlu juga menjelaskan pentingnya mencuci tangan kepada
pasien, keluarga, dan lainnya.
3.3 Hepatitis C

3.3.1 Definisi Hepatitis C Virus


Hepatitis C adalah penyckit hati yang disebabkan oleh virus hepatitis C
(HCV). Terdiri dari hepatitis C akut dan kronik, dari tingkat keparahan yang
ringan yang berlangsung beberapa minggu menjadi kronik dan menyebabkan
komplikasi yang serius (WHO, 2014).
Infeksi akut HCV adalah terdeteksinya anti-HCV dan HCV RNA yang
kurang dari 6 bulan pasca paparan HCV. Sebagian besar penderita akan
menyebabkan infeksi kronik, yaitu bila anti-HCV dan HCV RNA terdeteksi
didalam darah selama ≥ 6 bulan. Hepatitis C kronik dapat menyebabkan
sirosis hati dan kanker hati primer (hepatocellular carcinoma) (CDC, 2014).
Prevalensi hepatitis C di Indonesia berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2007 didapatkan anti-HCV positif sebesar 1,7% dari 12.715 laki-
laki dan 2,4% dari 14.821 perempuan (Mihardja, 2012; PPHI, 2014).
Sebelum ditemukannya HCV, dunia medis mengenal 2 jenis virus
penyebab hepatitis, yaitu : virus hepatitis A (HAV) dan virus hepatitis B
(HBV). Ditemukan peradangan hati yang tidak disebabkan oleh kedua virus
tersebut dan tidak dikenal pada saat itu sehingga dinamakan hepatitis Non-A
Non-B (NANB). Hepatitis NANB tersebut, pada dekade tahun 1970-an
dikenal sebagai kasus hepatitis yang sebagian besar atau lebih dari 90%
kejadian hepatitis paska transfusi, yang sekarang disebut virus hepatitis C
(HCV). Sejak ditemukannya HCV pada tahun 1989, virus ini telah menjadi
salah satu penyebab utama penyakit hati kronik di seluruh dunia. (Gani, 2009;
Arief, 2011)
Hanya 20-30% penderita hepatitis C akut yang sembuh setelah fase akut.
Sebagian besar (80%) akan menetap menjadi hepatitis C kronik, yang ditandai
dengan gejala klinis minimal atau ringan dan tidak spesifik seperti rasa lelah,
lemah, mual, nafsu makan turun, dan mialgia. (Arief, 2011; PPHI 2014).
HCV adalah virus RNA dari keluarga Flaviviridae. Memiliki partikel untuk
menyelimuti untaian tunggal RNA yang panjangnya 9600 basa nukleotida.
Genom HCV terdiri dari protein struktural (C, E1 dan E2) dan protein non-
struktural (NS1, NS2, NS3, NS4A, NS4B, NS5A, dan NS5B) yang terletak di
dalam poliprotein 5’NTR dan 3’NTR. Protein non-struktural dan RNA virus
hepatitis C telah terbukti ditemukan pada hati pasien yang terinfeksi HCV
sehinga membuktikan bahwa hati adalah tempat replikasi virus HCV
(Bartensclager dan Lohmann, 2000; PPHI, 2014).
Pemeriksaan genotip dan subtipe HCV penting dilakukan untuk
epidemiologi, menentukan jenis dan durasi terapi, respons terapi, termasuk
memperkirakan risiko terjadinya resistensi terapi antiviral.
Ada 7 genotip virus hepatitis C dari nomor 1 sampai 7 dengan 67 subtipe,
akan tetapi belum ada kesepakatan secara internasional sehingga tetap
menggunakan pembagian 6 genotipe dan 50 subtipe.
Genotip 1a dan 1b paling sering dijumpai, meliputi hampir 60% infeksi
HCV, predominan di wilayah Eropa (genotip 1b), Amerika Utara (genotip 1a
di Amerika Serikat) dan Jepang. Genotip 2 ditemukan di gugusan wilayah
Mediterania, lebih jarang dijumpai dan umumnya berhubungan dengan faktor
risiko infeksi HCV dari transfusi darah. Genotip 3 banyak dijumpai di wilayah
Asia Tenggara. Genotip 3a mempunyai prevalensi yang tinggi di Eropa,
khususnya pada populasi orang yang menyuntikkan narkoba. Kelompok ini
(saat ini) mengalami peningkatan insidensi dan penyebarluasan infeksi dengan
HCV genotip 4. Genotip 4 banyak dijumpai di Timur Tengah, Mesir, Afrika
Utara dan Afrika Tengah.
Genotip 5 dan 6 jarang ditemukan di Eropa. Genotip 5 hanya dijumpai di
wilayah Afrika Selatan sedangkan genotip 6 tersebar merata di seluruh
wilayah Asia. Genotip 7 yang tidak diketahui, teridentifikasi pada pasien-
pasien dari Kanada dan Belgia, yang kemungkinan terjangkit dari wilayah
Afrika Tengah. (Sievert, et. al., 2011; EASL, 2014; PPHI, 2014).

3.3.2 Patogenesis
Proses patogenesis HCV dapat dilihat pada gambar 2.1

Gambar 2.1. Patogenesis Hepatitis C

HCV yang masuk kedalam darah akan mencari hepatosit (HCV hanya
bisa berkembang biak di dalam sel hati) dan kemungkinan sel limfosit B. Virus
masuk kedalam hepatosit dengan mengikat suatu reseptor permukaan sel yang
spesifik. Reseptor ini belum teridentifikasi secara jelas, namun protein
permukaan sel CD81 adalah suatu HCV binding protein yang memainkan
peranan khusus yang dikenal sebagai protein E2 menempel pada reseptor site
dibagian luar hepatosit. Protein inti virus ini menembus dinding sel dimana
selaput lemak bergabung dengan dinding sel dan selanjutnya akan melingkupi
dan menelan virus serta membawanya kedalam hepatosit. Di dalam hepatosit,
selaput virus (nukleokapsid) melarut dalam sitoplasma dan keluarlah RNA
virus (virus uncoating) yang selanjutnya mengambil alih peran bagian dari
ribosom hepatosit dalam membuat bahan-bahan untuk proses reproduksi.
Virus menyebabkan sel hati memperlakukan RNA virus seperti
miliknya sendiri, lalu menutup fungsi normal hepatosit atau menginfeksi
hepatosit yang lain. Virus kemudian membajak mekanisme sintesis protein
hepatosit dalam memproduksi protein yang dibutuhkannya untuk berfungsi
dan berkembang biak. RNA virus dipergunakan sebagai cetakan (template)
untuk produksi masal poliprotein (proses translasi). Poliprotein dipecah
menjadi unit-unit protein. Protein ini ada 2 jenis, yaitu protein struktural dan
regulatori. Protein regulatori memulai sintesis kopi virus RNA asli. RNA virus
mengopi dirinya sendiri dalam jumlah besar (miliaran) untuk menghasilkan
virus baru.
Proses ini berlangsung terus dan dapat membuat terjadinya mutasi
genetik yang menghasilkan RNA untuk strain baru virus dan subtipe virus
hepatitis C. Virus dewasa kemudian dikeluarkan dari dalam hepatosit menuju
pembuluh darah menembus membran sel. Dalam sehari replikasi HCV sangat
banyak. Seorang penderita dapat menghasilkan hingga 10 triliun virion per
hari (bahkan dalam fase infeksi kronik sekalipun) (Sulaiman, 2007).
Reaksi inflamasi yang dilibatkan melalui sitokin-sitokin pro-inflamasi
seperti TNF-α, TGF-β1, akan menyebabkan rekrutmen sel-sel inflamasi
lainnya dan menyebabkan aktivasi sel-sel stelata diruang disse hati. Sel-sel
yang khas ini sebelumnya dalam keadaan tenang (quiscent) kemudian
berproliferasi dan menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblas yang dapat
menghasilkan matriks kolagen sehingga terjadi fibrosis dan berperan aktif
dalam menghasilkan sitokin-sitokin pro-inflamasi. Mekanisme ini dapat
timbul terus menerus karena reaksi inflamasi yang terjadi tidak berhenti
sehingga fibrosis semakin lama semakin banyak dan sel-sel hati yang ada
semakin sedikit. Proses ini dapat menimbulkan kerusakan hati lanjut dan
sirosis hati (Gani, 2009).

3.3.3 Hubungan faktor risiko terhadap terjadinya Hepatitis C


Virus hepatitis C merupakan blood-borne virus yang cara penularannya
terutama melalui paparan media darah atau cairan tubuh yang terkontaminasi
HCV. Angka infeksi hepatitis C meningkat pada beberapa populasi tertentu
seperti narapidana, pengguna narkoba suntik, para gelandangan, pasien
hemodialisis dan pasien yang mendapatkan transfusi produk darah rutin
sebelum tahun 1992 (Arief, 2011).
Sejak tahun 1989, semua darah telah dites untuk pemeriksaan anti-
HCV, sehingga suplai darah dianggap aman. Risiko infeksi melalui transfusi
darah sekarang hanya sekitar 0,001% per unit transfusi, atau sekitar 0,075%
per penerima (ALF, 2012). Di negara berkembang, transfusi darah atau produk
darah berisiko tinggi tertular HCV. Berdasarkan WHO’s Global Database of
Blood Safety diperkirakan 43% produk darah di negara berkembang tidak
mendapatkan skrining HCV yang adekuat (PPHI, 2014; WHO, 2014).
Faktor risiko lainnya adalah peralatan medis yang terpapar HCV
seperti jarum suntik pada pengguna narkoba suntikan (penasun). Secara
global, prevalensi infeksi HCV adalah 67% di antara para pengguna narkoba.
Kalangan tenaga medis juga perlu hati-hati agar tidak tertusuk jarum yang
terpapar. Risiko akibat tertusuk jarum berkisar 3-10%. Risiko infeksi HCV
tergantung pada frekuensi prosedur medis (jumlah suntikan per orang per
tahun) dan tingkat praktek pengendalian infeksi (WHO, 2014).
Infeksi HCV dapat menyebar melalui kontak seksual, meskipun
risikonya diyakini rendah. Risiko meningkat bagi mereka yang memiliki
banyak pasangan seks, memiliki penyakit menular seksual, terlibat dalam seks
yang bebas, dan laki-laki yang terinfeksi HIV yang berhubungan seks dengan
laki-laki (LSL) maupun orang lain yang terinfeksi HIV. Wabah HCV telah
dilaporkan pada LSL penderita HIV di Amerika Utara, Eropa dan Asia. Bukti
transmisi diyakini disebabkan oleh hasil dari pajanan terhadap darah selama
kontak seksual. Pada mereka yang terinfeksi HIV, infeksi HCV akut lebih
mungkin untuk menjadi kronik (CDC, 2014; WHO, 2014).
Penularan vertikal HCV dapat terjadi pada proses kelahiran, baik
pervaginam maupun operasi. Transmisi perinatal dari ibu yang tertular
hepatitis C ke bayi mempunyai prevalensi sekitar 5%. Sekitar 4 dari setiap 100
bayi yang lahir dari ibu dengan hepatitis C terinfeksi dengan virus. Namun,
risiko menjadi lebih besar jika ibu memiliki infeksi HIV dan hepatitis.
Dihipotesiskan bahwa ibu yang mengidap infeksi HIV mengalami penurunan
daya imunitas sehingga mengalami viral load dari HCV yang lebih tinggi
menyebabkan mudahnya penularan secara vertikal (Arief, 2011; CDC, 2014).
Salah satu faktor risiko yang dapat memperberat kerusakan hati adalah
kebiasaan mengkonsumsi alkohol. Kecanduan alkohol (Alkoholisme) adalah
masalah umum di Amerika dengan perkiraan 17-20 juta orang. Dalam hal ini
pria lebih sering mengkonsumsi daripada wanita. Konsumsi alkohol yang lama
dan berlebihan dapat menyebabkan masalah hati termasuk penumpukan lemak
di hati (fatty liver), hepatitis alkoholik (peradangan pada hati) dan sirosis
(jaringan parut permanen hati). (ACG, 2014).
Pembuatan tato dan body piercing (tindik) juga dapat menjadi metode
transmisi HCV meskipun dengan angka kejadian yang lebih rendah, terutama
di kalangan pemuda, namun belum ditemukan cukup bukti dan ada temuan
yang bertentangan dalam literatur. Hal ini diakibatkan oleh penggunaan
instrumen yang tidak steril. Di Amerika Serikat, pemakaian tato dan tindik
yang tidak steril sering terjadi di penjara dan situasi informal lainnya. Studi
menunjukkan tidak ada bukti definitif untuk peningkatan risiko infeksi HCV
bila tato dan tindikan dikerjakan pada fasilitas tato/tindik komersial yang
berlisensi profesional. (Tohme, 2012; CDC, 2014; WHO, 2014).
Faktor-faktor lainnya juga berpengaruh seperti transplantasi organ dari
donor terinfeksi / pengidap HCV kronik, asupan alkohol, koinfeksi dengan
virus hepatitis B (HBV) atau virus Human Immunodeficiency Virus (HIV),
jenis kelamin laki-laki, dan usia tua saat terjadinya infeksi (Gani, 2009).
Jika seseorang pernah diuji positif terinfeksi HCV, direkomendasikan
untuk tidak pernah menyumbangkan darah, organ, atau air mani (hubungan
seksual) karena dapat menularkan kepada penerima atau pasangan seksual.
Seseorang juga bisa terinfeksi HCV melalui berbagi barang-barang perawatan
pribadi yang mungkin berkontak dengan darah, seperti pisau cukur atau sikat
gigi, tapi penularan ini kurang umum (CDC, 2014).
Hepatitis C tidak dapat ditularkan melalui ASI, makanan atau air atau
melalui kontak biasa seperti memeluk, mencium dan berbagi makanan atau
minuman dengan orang yang terinfeksi. (WHO, 2014).
3.3.4 Gejala Klinis
a. Infeksi HCV akut
Umumnya infeksi akut HCV tidak memberi gejala atau hanya bergejala
minimal. Masa inkubasi hepatitis C adalah 2 minggu sampai 6 bulan. Setelah
infeksi awal, sekitar 70-80% penderita HCV tidak menunjukkan gejala.
Sebagian kecil penderita dapat memiliki gejala ringan sampai berat segera
setelah terinfeksi demam, kelelahan, nafsu makan menurun, mual, muntah,
sakit perut (biasanya pada perut kanan atas), urin gelap, kotoran berwarna abu-
abu, nyeri sendi dan jaundice (WHO, 2014).

b. Infeksi HCV kronik


Infeksi akan menjadi kronik pada 70-90% kasus dan sering kali tidak
menimbulkan gejala walaupun proses kerusakan hati berjalan terus. Dalam
banyak kasus, tidak ditemukan gejala penyakit sampai timbulnya masalah
pada hati pasien. Beberapa penderita menunjukkan gejala-gejala ekstrahepatik
seolah-olah tidak berhubungan dengan penyakit hati. Gejala ekstrahepatik bisa
meliputi gejala hematologis, autoimun, mata, persendian, kulit, ginjal, paru,
dan sistem saraf. Sekitar 30% penderita menunjukkan kadar ALT serum yang
normal sedangkan yang lainnya meningkat sekitar 3 kali nilai normal. Kadar
bilirubin dan fosfatase alkali serum biasanya normal kecuali pada fase lanjut.
HCV sering terdeteksi selama tes darah rutin untuk mengukur fungsi hati dan
tingkat enzim hati. Hilangnya HCV setelah terjadinya hepatitis kronik sangat
jarang terjadi. Diperlukan waktu 20-30 tahun untuk terjadinya sirosis hati yang
akan terjadi pada 15-20% pasien infeksi HCV. Dari setiap 100 orang yang
terinfeksi,, sekitar 75-85 orang akan mengembangkan infeksi HCV, 60-70
orang mengembangkan penyakit hati kronik, 5-20 orang akan berlanjut
menjadi sirosis selama periode 20-30 tahun, 1-5 orang akan meninggal akibat
sirosis atau kanker hati (Gani, 2009; Arief, 2011; CDC, 2014).

3.3.5 Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting dalam menegakkan
diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan anti-HCV
merupakan pilihan utama alat diagnostik untuk mendeteksi infeksi hepatitis C.
Apabila pemeriksaan awal terdeteksi anti-HCV positif harus
dilanjutkan dengan pemeriksaan HCV RNA. Diagnosis hepatitis C kronik
harus dibuktikan dengan keberadaan anti-HCV dan HCV RNA positif > 6
bulan dan atau disertai dengan gejala penyakit hati kronik.
Infeksi HCV akut dapat dicurigai jika tanda-tanda klinis dan gejala
yang kompatibel dengan hepatitis C akut (alanine aminotransferase [ALT]
>10x diatas normal, adanya jaundice) tanpa adanya riwayat penyakit hati
kronik atau penyebab lain dari hepatitis akut, dan/atau jika dalam sumber
sekarang kemungkinan penularan dapat diidentifikasi. Dalam semua kasus,
HCV RNA dapat terdeteksi selama fase akut meskipun kebanyakan jarang
terjadi (EASL, 2014).

a. Pemeriksaan laboratorium
Untuk pemeriksaan anti-HCV, tes enzyme immunoassay (EIA)
merupakan pemeriksaan yang mudah dikerjakan dan relatif tidak mahal, dan
merupakan tes skrining awal terbaik. Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi
anti-HCV dengan menggunakan teknik enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) atau chemiluminescent immunoassay (CLIA). Bila didapatkan hasil
anti-HCV positif maka dapat dinyatakan orang tersebut terinfeksi virus
hepatitis C dan pemeriksaan selanjutnya yaitu HCV RNA (EASL, 2014).
Anti-HCV mempunyai masa serokonversi sekitar 5-10 minggu pasca
paparan HCV, ada juga yang baru terdeteksi setelah 3 bulan sehingga
pemeriksaan anti-HCV saja dapat menimbulkan kesalahan diagnosis sebesar
30% kasus hepatitis C akut. Selain itu pada pasien HIV, pasien hemodialisis,
dan pengguna obat imunosupresan, pemeriksaan anti HCV dapat
menghasilkan negatif palsu. Pada keadaan tersebut ataupun bila ada
kecurigaan infeksi hepatitis C maka diperlukan pemeriksaan lanjutan yaitu
HCV RNA.
Pemeriksaan HCV RNA dengan real time-PCR dapat mendeteksi
keberadaan jumlah virus HCV sampai muatan virus minimal <50 IU/mL atau
<15 IU/mL. Pemeriksaan tersebut penting untuk menegakkan diagnosis serta
pemantauan terapi antivirus.
Pada infeksi akut serum ALT meninggi, dan jarang lebih dari 1000
IU/L, alkaline phospatase (ALP) 2x batas atas nilai normal, kecuali pada kasus
dengan komplikasi kolestasis. Prothrombin time jarang melebihi 5 detik dari
nilai normal. Pada infeksi HCV kronik pada kebanyakan kasus, kelainan
laboratorium berupa peningkatan ringan serum ALT, (biasanya <dari 100
IU/L) dan pada sepertiga kasus pemeriksaan tes faal hati bisa normal. (Ghany,
2009; Brook, 2010; PPHI, 2014).

Tabel 2.1. Interpretasi Hasil Anti-HCV dan HCV RNA

Sumber : EASL, 2014

b. Biopsi hati dan fibroscan


Biopsi hati secara umum direkomendasikan untuk penilaian awal
seorang pasien dengan infeksi HCV kronik. Biopsi berguna untuk menentukan
derajat beratnya penyakit (tingkat fibrosis) dan menentukan derajat nekrosis
dan inflamasi. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya penyebab penyakit hati yang lain, seperti fitur alkoholik,
non-alcoholic steatohepatitis (NASH), hepatitis autoimun, penyakit hati drug-
induced atau overload besi (Sulaiman, 2007). Saat ini dengan fibroscan dapat
dilakukan pemeriksaan untuk menilai fibrosis hati sehingga dapat dipakai pada
pasien-pasien yang menolak untuk dilakukannya biopsi hati.

3.3.6 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah untuk mengeliminasi atau eradikasi virus
HCV dan mencegah progresifitas penyakit menjadi sirosis maupun karsinoma
hepatoselular dan sebagai endpoint therapy adalah mencapai sustained
virologic response (SVR).
 Tatalaksana hepatitis C akut:
Dari saat identifikasi infeksi HCV akut, pasien harus dipantau tiap 4
minggu untuk serokonversi atau terbentuknya HCV RNA viremia. Pada 12
minggu, sekitar 15-30% akan sembuh disertai pembersihan HCV tanpa
pengobatan. Mereka yang tidak sembuh harus segera mendapat pegylated
interferon selama 24 minggu. Oleh karena itu, tatalaksana dapat ditunda
selama 12-16 minggu menunggu terjadinya resolusi spontan terutama pada
yang simptomatik. Pada pasien genotip IL28B non-CC pemberian antivirus
dapat lebih awal yaitu 12 minggu karena kemungkinan terjadinya resolusi
spontan lebih rendah. Pemberian monoterapi dengan Peg-IFN dapat
diberikan pada tatalaksana hepatitis C akut. Lama terapi hepatitis C akut
pada genotip 1 dilanjutkan selama 24 minggu dan pada genotip 2 dan 3
selama 12 minggu. Ini akan mencegah terjadinya infeksi HCV kronik pada
kebanyakan pasien (Muslu, 2010; PPHI, 2014).

 Tatalaksana hepatitis C kronik :


Penatalaksanaan hepatitis C lebih tertuju pada hepatitis C kronik.
Umumnya pasien hepatitis C datang berobat sudah dalam fase kronik.
Target terapi antivirus adalah pencapaian SVR, yaitu muatan virus HCV
RNA <50 IU/mL atau tetap tidak terdeteksi setelah 24 minggu setelah
pemberian terapi antivirus selesai. Untuk mengetahuinya, dilakukan
pemeriksaan HCV RNA secara berkala. Bila rapid virological response
(RVR) tercapai, yaitu muatan virus HCV RNA <50 IU/mL atau tidak
terdeteksi setelah pemberian terapi antivirus selama 4 minggu, dapat
diperkirakan 72,5-100% akan tercapai (Poordad, 2009).
Pilihan terapi standar untuk hepatitis C kronik adalah kombinasi
antara Pegylated Interferon-α (Peg-INFα) dan ribavirin (RBV). Pada
genotip 1 memberikan respon 40-50% mencapai SVR, pada genotip 2 dan 3
sekitar 80% mencapai SVR. Telah ditemukan agen direct acting antivirus
(DAA) yaitu boceprevir (BOC), telaprevir (TVR), simeprevir, sofosbuvir,
dll. Di Indonesia yang baru tersedia adalah boceprevir (PPHI, 2014).

 Pilihan terapi hepatitis C kronik genotip 1 & 4 Naive :


Pada genotip 1, dengan kombinasi dual therapy Peg-IFN dan RBV
atau kombinasi triple therapy dengan penambahan BOC. Pemberian triple
therapy pada pasien genotip 1 naive dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan IL28B alel non-CC. Pada pasien naive genotip 4, dual therapy tetap
merupakan standar.
(Untuk jelas nya dapat dilihat pada gambar 2.2 dan gambar 2.3)
Gambar 2.2. Algoritme dual therapy pada genotip 1 dan 4 Ket: DVR (Delayed
Virological Response); EVR (Early Virological Response); NR (Null Response); PR
(Partial Response)
Sumber : PPHI, 2014

Gambar 2.3. Algoritme triple therapy dengan boceprevir menggunakan response guided
therapy (RGT)
Ket: ER (Early Response); LR (Late Response), ***(Stop Terapi)

Dual therapy adalah standard of care (SOC) untuk hepatitis C naive


genotip 1 di Indonesia. Pemberian SOC pada naive genotip 1, bila tercapai
RVR, lama pengobatan dilanjutkan 48 minggu pada pasien dengan viral load
tinggi dan 24 minggu pada pasien dengan viral load rendah. Bila tidak tercapai
EVR, dapat dipertimbangkan triple therapy, pengobatan diperpanjang 72
minggu atau dihentikan dengan memperhatikan berbagai faktor (IL28B,
ketaatan pasien, obesitas, resistensi insulin, dll). Pada triple therapy,
pemberian terapi harus dihentikan bila didapatkan kondisi dimana muatan
virus HCV RNA >100 IU/mL pada terapi minggu ke-12 atau masih tetap
terdeteksi pada minggu ke-24.

 Pilihan terapi hepatitis C genotip 1 yang sudah pernah mendapat terapi :


Dapat dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu :
a) Null responders
Pasien dengan muatan virus tidak mencapai penurunan minimal 2log
IU/mL setelah pemberian antivirus 12 minggu
b) Partial responders
Berhasil mencapai penurunan HCV RNA minimal 2log IU/mL setelah
terapi 12 minggu, akan tetapi HCV RNA masih terdeteksi pada minggu
ke 24 terapi
c) Relapser
Berhasil mencapai muatan virus HCV RNA yang tidak terdeteksi pada
saat akhir terapi, tetapi virus kembali terdeteksi setelah terapi
dihentikan.

Berdasarkan studi ini maka keputusan untuk memberikan terapi


kembali pada pasien yang pernah mendapatkan terapi sebelumnya
sangat ditentukan oleh respons pada terapi sebelumnya. Pasien dengan
kriteria relapse atau partial responders merupakan kandidat terbaik
untuk kembali mendapatkan terapi antivirus kombinasi triple therapy.
Untuk kembali memberikan terapi pada kelompok null responders
bersifat individual mengingat hanya sedikit sekali yang berhasil
mencapai SVR (28-38%) dan cenderung menimbulkan resistensi
terhadap antivirus. Pemberian kembali antivirus pada pasien sirosis
hati kompensata sebaiknya dengan durasi 48 minggu.

 Pilihan terapi pada genotip 2, 3, 5 dan 6


Untuk kelompok ini, pilihan terapi adalah Peg-IFN/RBV. Kedua
jenis Peg-IFN dapat dijadikan pilihan terapi. Genotip 2 dan 3 dapat
mencapai SVR 76% dan 82%. Algoritme dual therapy pada genotip 2, 3, 5,
dan 6 dapat dilihat pada gambar 2.4.

Gambar 2.4. Algoritme dual therapy pada genotip 2, 3, 5, dan 6


Ket: * : Kurang efektif karena tingkat menjadi relapser tinggi, khususnya pada
genotip 3 dengan muatan virus HCV RNA tinggi.
--- : Bila ada faktor risiko dianjurkan untuk diterapi selama 48 minggu
Sumber : PPHI, 2014

 Pilihan terapi pada sirosis hati :


Pada sirosis hati kompensata, terapi antivirus dapat diberi selama
tidak ada kontra indikasi. Ini bertujuan untuk mencapai SVR serta
menurunkan insiden terjadinya komplikasi sirosis hati. Pada sirosis hati
dekompensata Child Pugh C, CTP skor ≥10 atau MELD skor 18 adalah
kontraindikasi pemberian antivirus, dan sebaiknya segera dirujuk untuk
transplantasi hati. Pemberian pada Child Pugh B bersifat individual dengan
mempertimbangkan risiko dan manfaatnya.
Efek samping penggunaan interferon adalah demam dan gejala-
gejala menyerupai flu (nyeri otot, malaise, tidak nafsu makan, dan
sejenisnya), depresi dan gangguan emosi, kerontokan rambut lebih dari
normal, depresi sumsum tulang, hiperurisemia, kadang-kadang timbul
tiroiditis. Ribavirin dapat menyebabkan penurunan Hb. Maka dari itu,
pemantauan pasien mutlak perlu dilakukan. Pada awal pemberian interferon
dan ribavirin dilakukan pemantauan klinis, laboratoris (Hb, lekosit,
trombosit, asam urat, dan ALT) setiap 2 minggu yang kemudian dilakukan
setiap bulan. Terapi tidak boleh dilanjutkan pada pasien bila Hb 8 g/dL,
lekosit 1500/uL atau kadar netrofil<500/uL, trombosit <50.000/uL, depresi
berat yang tidak teratasi dengan pengobatan anti-depresi, atau timbul
gejala-gejala tiroiditias yang tidak teratasi (Gani, 2009).
Kontraindikasi pemberian terapi interferon pada pasien hepatitis C
dapat dilihat di tabel 2.
Tabel 2.2 Kontraindikasi Peg-interferon-α dan Ribavirin

Sumber : EASL, 2014


3.3.7 Komplikasi
Sekitar 75-85% penderita hepatitis C akut berkembang menjadi kronik.
Dari hepatitis C kronik 10-20% akan berlanjut menjadi sirosis hati dalam 15-
20 tahun, dan setelah menjadi sirosis hati sebanyak 1-5% per tahun
berkembang menjadi karsinoma hati seluler (PPHI, 2014).

a. Sirosis hati
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium
akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan
distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif (Gani,
2009). Gejala-gejala sirosis hati dapat serius dan mengancam jiwa, tapi
banyak dari mereka berhasil ditangani. Keluhan dapat berupa berkurangnya
nafsu makan, mual, penurunan berat badan, nyeri perut, gatal-gatal, dan perut
membesar. Gejala yang dijumpai yaitu asites, edema pretibial, ginekomastia,
hepatomegali, jaundice, malnutrisi, adanya Spider Naevi, palmar eritem, dan
haid yang tidak teratur (ALF, 2012).

b. Karsinoma hati
Perkiraan insidens karsinoma hati sekitar 0,25-1,2 juta kasus baru
setiap tahunnya, sebagian besar berasal dari penderita dengan sirosis hati.
Risiko terjadinya karsinoma hati pada penderita sirosis akibat hepatitis C
kronik diperkirakan sekitar 1-4%. Perkembangan sejak terjadinya infeksi
HCV sampai timbulnya karsinoma hati berkisar antara 10-50 tahun.
DiBisceglie memperkirakan bahwa antara 1,9–6,7% penderita sirosis HCV
berkembang menjadi karsinoma setelah 10 tahun (Arief, 2011).
Manifestasi klinisnya bervariasi. Gejala yang paling sering
dikeluhkan adalah nyeri atau perasaan tak nyaman di kuadran kanan-atas;
atau teraba pembengkakan lokal dihepar. Terjadinya karsinoma hati perlu
diduga bila tidak terjadi perbaikan pada asites, perdarahan varises atau pre-
koma setelah diberi terapi yang adekuat; atau pasien penyakit hati kronik
dengan HbsAg atau anti-HCV positif yang mengalami perburukan kondisi
secara mendadak. Juga harus diwaspadai bila ada keluhan rasa penuh di
abdomen disertai penurunan berat badan dengan atau tanpa demam
(Budihusodo, 2009).

3.3.8 Pencegahan
a. Pencegahan primer
Tidak ada vaksin untuk hepatitis C, oleh karena itu pencegahan
infeksi HCV ditujukan pada mengurangi risiko terpaparnya dengan HCV.
Daftar berikut memberikan contoh terbatas intervensi pencegahan primer
yang direkomendasikan oleh WHO:
 Kebersihan tangan: persiapan bedah, mencuci tangan dan penggunaan
sarung tangan.
 Penanganan yang aman dan pembuangan benda tajam dan limbah.
 Pembersihan yang aman dari peralatan.
 Pengujian darah yang disumbangkan.
 Edukasi kepada masyarakat.
 Meningkatkan akses terhadap darah yang aman.
 Pelatihan tenaga kesehatan.
b. Pencegahan sekunder
Bagi orang-orang yang terinfeksi dengan virus hepatitis C, WHO
merekomendasikan:
 Pendidikan dan konseling tentang pilihan untuk perawatan dan
pengobatan
 Imunisasi dengan vaksin hepatitis A dan B untuk mencegah koinfeksi
dari virus hepatitis ini untuk melindungi hati mereka
 Manajemen medis awal dan tepat termasuk terapi antiviral jika sesuai,
dan
 Pemantauan rutin untuk diagnosis awal penyakit hati kronik
(WHO, 2014).

3.4 Hepatitis D

3.4.1 Definisi Hepatitis D Virus


Hepatitis D (hepatitis delta) adalah inflamasi hati yang disebabkan
oleh infeksi virus hepatitis D (HDV), merupakan suatu partikel virus yang
menyebabkan infeksi hanya bila sebelumnya telah ada infeksi hepatitis B.
HDV dapat timbul sebagai infeksi yang bersamaan dengan HBV ( Price,
1994). Hepatitis D merupakan penyakit peradangan pada hati yang
disebabkan oleh virus hepatitis D (VHD atau Agen Delta) yang merupakan
hybrid DNA virus Hepatitis B. Virus ini memerlukan selubung HB sAg, karena
itu VHD merupakan parasit VHB (Markum, 1999).
Hepaitis D (HDV) disebut hepatitis Delta adalah suatu peradangan
pada hati sebagai akibat virus hepatitis D yang sebenarnya adalah suatu virus
detektif yang ia sendiri tidak dapat menginfeksi hepatosit untuk menimbulkan
hepatitis, virus ini melakukan koinfeksi dengan HBV sehingga HBV
bertambah parah . infeksi oleh HDV juga dapat timbul belakangan pada
individu yang mengidap infeksi kronik HBV (Corwin, 2000).
Hepatitis D adalah virus yang bergantung pada virus hepatitis B yang
lebih kompleks untuk bertahan, hepatitis D hanya merupakan resiko untuk
mereka yang mempunyai antigen permukaan hepatitis B positif (Smeltzer ,
2001).
Hepatitis D adalah penyakit yang disebabkan Virus ( HDV ) atau virus
delta, virus yang unik, yang tidak lengkap dan untuk replikasi memerlukan
keberadaan virus hepatitis B. Penularan melalui hubungan seksual, jarum
suntik dan transfusi darah. Gejala penyakit hepatitis D bervariasi, dapat
muncul sebagai gejala yang ringan (ko-infeksi) atau amat progresif (Silalahi,
2004).
Hepatitis D adalah suatu penyakit peradangan pada hati yang
disebabkan oleh Virus bernama antigen delta, merupakan virus RNA yang
tidak sempurna. VHD dapat dijumpai dalam darah penderita hepatitis B karena
untuk hidup dan mengadakan replikasi di dalam tubuh manusia memerlukan
virus pembantu yaitu VHB. Oleh karena itu, hepatitis D hanya ditemukan pada
pasien yang sedang menderita hepatitis B akut atau pada hepatitis B kronis
(Selamihardja/G.Sujayanto, 2007).

3.4.2 Etiologi
Penyebab penyakit hepatitis D adalah virus hepatitis tipe D atau
antigen Delta yang berukuran 35-37 nm dan merupakan virus RNA yang tidak
sempurna. Virus tersebut dari nukleo protein RNA merupakan hybrid DNA
virus Hepatitis B. Virus ini juga memerlukan selubung HBSAg. Virus
hepatitis D tidak terdapat dalam serum atau darah tetapi anti HVD Ig M dapat
ditemukan dalam sirkulasi (Selamihardja/G.Sujayanto (2007).
Menurut Dinas Kesehatan DKI Jakarta (2007),
Selamihardja/G.Sujayanto (2007), Silalahi, (2004), Smeltzer (2001), Penyakit
hepatitis D yang menyerang anak- anak umumnya diperoleh melalui :
1. Menggunakan jarum suntik dan obat-obatan secara bersamaan. Hepatitis D
paling sering terjadi pada penderita hemofilia.
2. Apabila individu mengadakan kontak dengan darah atau cairan tubuh
(seperti : air ludah, air mani, cairan vagina) dari individu yang terinfeksi
3. Bayi dari wanita penderita hepatitis D ( hepatitis yang didapat atau
congenital)
4. Virus ini dapat menular sendiri secara langsung dari penderita hepatitis D,
bersifat hepatotoksik. Namun bila HVD bersama-sama dengan HBSAg
pada anak yang lebih besar akan menyebabkan hepatitis fulminan,
sedangkan pada bayi lebih banyak kearah penyakit kronik
5. Virus Hepatitis D juga dapat ditularkan melalui transmisi vertikal sehingga
tidak jarang infeksi HVD pada bayi baru lahir disertai oleh infeksi VHD,
hal ini akan memperbanyak bentuk hepatitis kronik.
Menurut Selamihardja/G.Sujayanto (2007), cara penularan VHD
sama dengan VHB, kecuali transmisi vertikal sebab HVD tidak ditularkan
secara vertikal. Hubungan seksual merupakan salah satu cara penularan
yang cukup berperan. Penularan hepatitis D bisa melalui bermacam-
macam media atau cara. Adapun cara penularannya antara lain :
1. Dapat melalui barang yang tercemar VHD sesudah digunakan para
carrier positif atau penderita hepatitis D, seperti jarum suntik yang
tidak sekali pakai, pisau cukur, jarum tato, jarum tusuk kuping, sikat
gigi, bahkan jarum bor gigi.
2. Akibat berhubungan seksual atau berciuman dengan penderita
3. Akibat transfusi darah yang terkontaminasi VHD.
4. Cara penularan yang terakhir ini memasukkan para penderita kelainan
darah seperti hemofilia (kadar protein faktor VIII atau zat pembeku
dalam darah sangat rendah), thalasemia, leukemia, atau melakukan
dialisis ginjal ke dalam kelompok rawan atau berisiko tinggi terkena
penyakit hepatitis D, apalgi jika sebelumnya ia penderita hepatitis B.
5. VHD memang tidak menular melalui singgungan kulit, namun kalau
ada luka terbuka di di kulit lalu terkontaminasi darah yang
mengandung VHD, penularan bisa terjadi.

3.4.3 Patofisiologi
Menurut Price (1994), Silalahi (2004), Smeltzer (2001), patofisiologi
penyakit hepatitis D adalah sebagai berikut :
Penyakit ini dapat timbul karena adanya ko-infeksi atau super-infeksi
dengan VHB. Ko-infeksi berarti infeksi VHD dan VHB terjadi bersamaan.
Adapun super-infeksi terjadi karena penderita hepatitis B kronis atau pembawa
HBsAg terinfeksi oleh VHD. Ko-infeksi umumnya menyebabkan hepatitis
akut dan diikuti dengan penyembuhan total. Koinfeksi dengan hepatitis D
meningkatkan beratnya infeksi hepatitis B, perjalanan penyakitnya lebih
membahayakan dan meningkatkan potensi untuk menjadi penyakit hati kronik.
Sementara super-infeksi sering berkembang ke arah kronis dengan tingkat
penyakit yang lebih berat dan sering berakibat fatal.
Mula-mula virus tersebut melekatkan diri pada reseptor-reseptor
spesifik yang terletak pada membran sel-sel hepar kemudian melakukan
replikasi. Untuk dapat bereplikasi, virus tersebut memerlukan keberadaan
virus hepatitis B.
Virus hepatitis yang menyerang hati menyebabkan peradangan dan
infiltrate pada hypatocytes oleh sel mononukleus. Proses ini dapat
menyebabkan degenerasi dan nekrosis sel parenkim hati. Respon peradangan
menyebabkan pembengkakan dan memblokir system drainase hati sehingga
terjadi destruksi pada sel hati. Keadaan ini menjadikan empedu tidak dapat
diekskresikan kedalam kantong empedu dan bahkan kedalam usus sehingga
meningkat dalam darah sehingga terjadi peningkatan bilirubin direk maupun
indirek sebagai hiperbilirubinemia, dalam urine sebagai urobillinogen dan kulit
hepatocelluler jaundice, kemudian diikuti dengan munculnya gejala yang lain.
Virus hepatitis D ini menyebabkan infeksi hepatitis B menjadi lebih
berat. Bila HBsAg menghilang dari darah maka VHD akan berhenti
bereplikasi dan penyakit menjadi sembuh. Virus hepatitis D (VHD) bersifat
patogen, dapat menimbulkan penyakit yang lebih parah dari hepatitis virus
lainnya.

3.4.4 Manifestasi Klinik


Gejala penyakit hepatitis D bervariasi, dapat muncul sebagai gejala
yang ringan (ko-infeksi) atau amat progresif. Masa inkubasi 1-90 hari atau 4-7
minggu. Gejalanya biasanya muncul secara tiba-tiba gejala seperti flu,
demam, penyakit kuning, urin berwarna hitam dan feses berwarna hitam
kemerahan, Pembengkakan pada hati.
Menurut Cecily (2002), manifestasi klinik pada anak penderita
hepatitis D adalah :
1. Awitan tersembunyi dan berbahaya : Ikterus , Anoreksia, mual, Malaise,
Akrodermatitis popular (Sindrom Gianotti-Crosti)
2. Gejala Prodnormal : Artralgia, Artritis, Ruam eritema makulopopular,
poliarteritis nodosa, Glomerolunefritis.
3. Hepatitis D memperhebat gejala hepatitis B dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya kondisi kronik.
Menurut Afifah, dkk (2005), Reeves (2001), gambaran klinis pada
hepatitis D terdapat 3 fase antara lain :
1. Masa tunas (inkubasi) → terjadi sejak virus masuk kedalam tubuh sampai
menimbulkan gejala. Belum ada gejala klinik yang tampak pada stadium
ini meskipun sudah terjadi kerusakan sel-sel hati.
2. Preicterik (prodnormal) → Anoreksia, mual, ketidaknyamanan diperut
bagian atas (kuadran kanan atas), terasa berbau logam, malaise, sakit
kepala, letih, demam tingkat rendah, hepatomegali, urin lebih pekat.
3. Icterik → Air kencing gelap seperti teh karena peningkatan pengeluaran
billirubin pruritus tinja seperti dempul jika “conjugated billirubin” tidak
mengalir keluar dari hati ke usus, timbul ikterik, hati membesar jika
diraba (hepatomegali) dan terdapat nyeri tekan pada hati.
4. Post icterik (penyembuhan) → Hilangnya ikterik, tidak enak badan,
mudah letih, warna urin dan tinja menjadi normal kembali.

3.4.5 Gejala – Gejala Hepatitis D

Tanda dan gejala Hepatitis D yang mungkin timbul:


1. Air seni berwarna pekat
2. Kehilangan selera makan
3. Kelelahan
4. Mual
5. Muntah-muntah
6. Sakit perut
7. Resiko Hepatitis D
8. Melakukan hubungan seks dengan orang yang terinfeksi
9. Menerima Transfusi Darah atau produk darah sebelum 1987
10. Komplikasi
11. Mungkin memiliki resiko yang lebih tinggi untuk Kanker Hati
12. Mungkin memiliki resiko yang lebih tinggi untuk Sirosis Hati

3.4.6 Penanganan dan Pencegahan Hepatitis D


Virus hepatitis D ini merupakan virus RNA dengan defek, artinya virus
ini tidak mampu bereplikasi secara sempurna tanpa bantuan virus lain, yaitu
virus hepatitis B. Penularannya mengikuti perjalanan penyakit hepatitis B
(parenteral), artinya jika virus hepatitis B akut yang diderita sembuh, maka
VHD juga akan hilang. Hepatitis D, juga disebut virus delta, adalah virus cacat
yang memerlukan pertolongan virus hepatitis B untuk berkembang biak
sehingga hanya ditemukan pada orang yang terinfeksi hepatitis B. Virus
hepatitis D (HDV) adalah yang paling jarang tapi paling berbahaya dari semua
virus hepatitis. Pola penularan hepatitis D mirip dengan hepatitis B.
Diperkirakan sekitar 15 juta orang di dunia yang terkena hepatitis B (HBsAg
+) juga terinfeksi hepatitis D.
Infeksi hepatitis D dapat terjadi bersamaan (koinfeksi) atau setelah
seseorang terkena hepatitis B kronis (superinfeksi). Orang yang terkena
koinfeksi hepatitis B dan hepatitis D mungkin mengalami penyakit akut serius
dan berisiko tinggi mengalami gagal hati akut. Orang yang terkena
superinfeksi hepatitis D biasanya mengembangkan infeksi hepatitis D kronis
yang berpeluang besar (70% d- 80%) menjadi sirosis. Tidak ada vaksin
hepatitis D, namun dengan mendapatkan vaksinasi hepatitis B maka otomatis
Anda akan terlindungi dari virus ini karena HDV tidak mungkin hidup tanpa
HBV.
Hepatitis D adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan
peradangan pada hati dan hanya mengenai orang-orang yang pernah terinfeksi
oleh virus hepatitis B. Hal ini biasanya memperburuk kondisi penderita yang
sudah terlebih dahulu terinfeksi oleh virus hepatitis B. Ketika seseorang
terinfeksi oleh virus hepatitis B dan D, virus mampu memasuki sel hati dan
menggunakan sel-sel tersebut untuk memperbanyak virus hepatitis D. Karena
semakin banyaknya virus hepatitis D yang terbentuk di dalam sel hati, sel-sel
hati tersebut dapat mengalami kerusakan dan bahkan mati. Hepatitis D
biasanya menyebar melalui transfusi darah yang terkontaminasi, sewaktu
persalinan dari ibu ke bayi atau melalui kontak seksual. Ada dua tipe hepatitis
D tergantung dari durasi infeksi. Infeksi mula-mula dikenal sebagai hepatitis
D Akut, sedangkan infeksi yang berlangsung lebih dari enam bulan dikenal
dengan hepatitis D Kronis. Hepatitis D Kronis dapat menyebabkan kerusakan
hati, kanker hati, dan bahkan kematian.
Pencegahan hepatitis D, yaitu :
1. Berhubungan seks dengan perlindungan.
2. Hindari berbagi barang-barang pribadi dengan orang yang terinfeksi.
3. Hindari paparan terhadap darah orang yang terinfeksi.
4. Hindari penyalahgunaan obat intravena.
5. Ibu yang terinfeksi harus diimunisasi terhadap virus tersebut pada waktu
kelahiran.
6. Jangan berbagi jarum suntik, gunting dan pisau cukur dengan orang lain.
7. Pergi untuk melakukan Vaksinasi Hepatitis B.
8. Penanganan dan pengobatan.
9. Antivirus.
10. Istirahat Tidur.
11. Transplantasi Hati.

3.4.7 Insidens Dan Diagnosa


1. Insidens :
Insiden hepatitis D sulit ditetapkan karena muncul bersamaan
dengan hepatitis B dan tidak mudah didiagnosis. Tingkat keparahan
mencapai 2-70% (Cecily, 2002).
2. Diagnosa :
Ditanyakan gejalanya bila ternyata ditemukan hepatitis virus maka
akan dilakukan tes darah untuk memastikan diagnosis dan jenis virus. Bila
terjadi hepatitis kronis, maka dianjurkan dilakukan biopsi. Diagnosis secara
pasti diperoleh jika ada VHD pada bagian jaringan hati. Diagnosis infeksi
hepatitis D kronis dan akut yang terjadinya bersamaan ditandai dengan
ditemukannya Ig M anti HBC yang merupakan tanda serologis untuk
hepatitis B akut dan IgM anti HVD. Diagnosis hepatitis D akut pada
pengidap VHB adalah terdeteksinya HbsAg (+), dan IgM anti VHD dengan
titer tinggi dan Ig anti HBC (-). (Markum ,1999).
3.4.7 Komplikasi
Menurut Afifah, dkk (2005), Cecily (2002), komplikasi hepatitis D
adalah :
1. Hepatitis Fulminans → Hepatis yang berlangsung progresif atau cepat
menjadi berat dan berakhir dengan kematian.
2. Gagal hati
3. Status Carrier
4. Sirosis hati → Keadaan ini terjadi akibat infeksi virus hepatitis yang
menyebabkan peradangan hati yang luas. Akibatnya seluruh struktur
jaringan hati mengalami perubahan dan menjadi tidak teratur, bentuk hati
juga berubah dengan disertai penekanan pada pembuluh darah.
5. Karsinoma hepatoselular (KHS)/ Hepatoma → Penyakit hati primer yang
berasal dari sel-sel hati, penyakit ini belum diketahui secara pasti
penyebabnya.

3.4.8 Penatalaksanaan
Menurut Afifah, dkk (2005), Cecily (2002), Markum (1999), Price
(1994), Smeltzer (2001), pokok penanganan penderita hepatitis D mencakup :
1. Konfirmasi diagnosis yang tepat.
2. Pengobatan Suportif dan pemantauan massa akut. Pengobatan yang
dilakukan antara lain :
a. Terutama bersifat dukungan dan mencakup istirahat yang adekuat.
b. Hidrasi (Asupan cairan, bila masih menyusui ibu maka tingkatkan ASI
serta perbanyak asupan cairan) dan asupan makanan yang adekuat
(Diet dengan gizi seimbang, makanan berkarbohidrat tinggi, berprotein
atau berlemak tinggi memang tidak dilarang secara khusus, tapi
hendaknya dibatasi. Demikian juga garam).
c. Hospitalisasi diindikasikan bila terdapat muntah, dehidrasi, factor
pembekuan abnormal, atau tanda-tanda gagal hati yang membahayakan
(gelisah, perubahan kepribadian, letargi, penurunan tingkat kesadaran,
perdarahan).
d. Tujuan penatalaksanaan rumah sakit adalah terapi Intravena untuk
memperbaiki keseimbangan cairan, studi laboratorium yang
berulangkali dan pemeriksaan fisik terhadap perkembangan penyakit.
3. Pencarian kearah penyakit kronik
4. Pencegahan pada masa akut meliputi : tirah baring total tidak dianjrkan
kecuali pada keadaan gawat, makanan diterima sesuai dengan daya terima
anak, obat kortikosteroid dan antiemetik tidak boleh diberikan,
pemeriksaan HVD Ig M dilakukan paling cepat setelah 1 bulan.
5. Sampai saat ini pengobatan hepatitis D masih belum ada yang
memuaskan. Namun, dapat dicoba pemakaian interferon.
6. Transplantasi hati jika perlu.
3.5 HEPATITIS E

3.5.1 Definisi
Virus hepatitis E (HEV) adalah suatu RNA Virus, diameter 32-34 nm,
berasal dari famili Calici virus, diidentifikasi pertama kali pada tahun 1983.
Seperti HAV, infeksi HEV juga ditularkan melalui fekal-oral, dan telah
dikaitkan dengan epidemic lewat air di Negara yang sedang berkembang.
Insiden pertama kali dilaporkan di India pada tahun 1955 yang mengenai
29.000 orang. Adanya kasus di negara Barat sangat dikaitkan dengan kasus
kunjungan ke daerah endemik. Paling sering menyerang pada dewasa muda
sampai setengah umur dan pada wanita hamil angka mrtalitas yang sangat
tinggi (20%). Menurut Chin J (2006), Hepatitis E akibat virus disebut juga
Hepatitis non-A non-B yang ditularkan secara enterik (ET-NANB), Hepatitis
non-A non-B Epidemika, Hepatitis non-A non-B fekal-oral.
Gejala klinis penyakit ini mirip dengan hepatitis A, tidak ditemukan
bentuk kronis. Case fatality rate penyakit ini mirip dengan hepatitis A kecuali
pada wanita hamil, dimana angkanya dapat mencapai 20% dari ibu-ibu hamil
yang terinfeksi selama trimester ketiga kehamilan. Kasus muncul secara
sporadis dan dalam bentuk wabah.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan gambaran
epidemiologis serta dengan cara menyingkirkan etiologi lain dari hepatitis,
khususnya hepatitis A dengan pemeriksaan serologis. Pemeriksaan serologis
sedang dikembangkan saat ini untuk mendeteksi antibodi HEV, tetapi belum
tersedia secara komersial di Amerika Serikat. Meskipun demikian, beberapa
jenis tes diagnostik tersedia di berbagai laboratorium riset antara lain : enzyme
immunoassay dan Western blot assay untuk mendeteksi IgM dan IgG anti
HEV dalam serum; tes PCR untuk mendeteksi HEV RNA dalam serum darah
dan tinja, dan immunofluorescent antibody blocking assay untuk mendeteksi
antibodi terhdap HEV antigen didalam serum darah dan hati.
3.5.2 Penyebab Hepatitis E
Menurut Chin J (2006), penyebab penyakit hepatitis E adalah Virus
hepatitis E (HEV), berbentuk sferis, tidak bersampul, single stranded RNA
virus yang berdiameter 32 sampai dengan 34 nm. HEV dikelompokkan
kedalam famili Caliciviridae. Meskipun demikian, organisasi/struktur genome
HEV berbeda secara mendasar dengan calicivirus yang lain dan HEV
seharusnya dikelompokkan kedalam famili tersendiri.
HEV merupakan penyebab utama hepatitis non-A non-B enterik di
seluruh dunia. KLB hepatitis E dan kasus sporadis telah terjadi meliputi
wilayah yang sangat luas, terutama timbul di negara-negara dengan sanitasi
lingkungan yang kurang baik. KLB sering muncul sebagai wabah yang
ditularkan melalui air, tetapi pernah dilaporkan terjadi kasus sporadis dan
wabah tidak jelas kaitannya dengan air. Di Amerika Serikat dan sebagian
besar negara maju lainnya, kasus hepatitis E dilaporkan terjadi diantara
wisatawan yang kembali dari daerah endemis HEV. KLB ditemukan di India,
Myanmar (Burma), Iran, Bangladesh, Ethiopia, Nepal, Pakistan, Republik
Asia Tengah dari bekas Uni Soviet, Algeria, Libya, Somalia, Meksiko,
Indonesia dan China. KLB akibat penularan melalui air yang luas dengan
korban 3,682 penderita terjadi pada tahun 1993 di Uttar Pradesh.

3.5.3 Reservoir dan Cara Penularan Hepatitis E


Berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa yang
kemungkinan menjadi reservoir hepatitis E adalah binatang domestik,
termasuk babi; namun, belum terbukti. HEV dapat ditularkan kepada
simpanse, cynomolgus macaque, tamarin dan babi. HEV terutama ditularkan
melalui jalur fekal-oral; air minum yang tercemar tinja merupakan media
penularan yang paling sering terjadi. Penularan mungkin juga terjadi dari
orang ke orang dengan jalur fekal-oral, namun kasus sekunder dilingkungan
rumah tangga jarang terjadi selama KLB. Dari berbagai penelitian yang
dilakukan saat ini menunjukkan bahwa hepatitis E kemungkinan merupakan
infeksi zoonotic yang secara kebetulan menyebar dengan manusia secara
cepat.
Semantara masa inkubasi hepatitis E berkisar antara 15 sampai dengan
64 hari.; masa inkubasi rata-rata bervariasi dari 26 sampai dengan 42 hari
pada KLB yang berbeda. Sedangkan masa penularan tidak diketahui secara
pasti. Namun demikian, HEV ditemukan dalam tinja 14 hari setelah timbulnya
gejala icterus (jaundice) dan rata-rata 4 minggu setelah mengkonsumsi
makanan atau air yang tercemar dan bertahan selama sekitar 2 minggu.
Tingkat kerentanan seseorang pada hepatitis E juga tidak diketahui.
Menurut Chin J (2006), lebih 50% dari infeksi HEV mungkin anicteric, gejala
icterus meningkat dengan bertambahnya usia. Wanita pada kehamilan
trimester ketiga sangat rentan untuk terjadinya penyakit fulminan. Terjadinya
beberapa KLB besar yang pernah terjadi pada kelompok usia dewasa muda di
beberapa daerah dimana virus enterik yang lain endemis tinggi diwilayah itu
dan sebagian besar penduduk mendapatkan infeksi pada masa bayi, belum
dapat dijelaskan secara tuntas.
3.5.4 Gejala
Virus Hepatitis E memiliki masa inkubasi 15-60 hari (rata-rata 40 hari).
Keadaan hepatitis virus akut dibagi dalam 3 stadium klinis, yaitu:
 Fase prodormal
Fase ini terjadi 1-10 hari dengan gejala yang tidak spesifik seperti
malaise, kelelahan, demam, diare, nausea dan muntah.
 Fase ikterik
Pada fase ikterik umumnya terjadi peningkatan kadar bilirubin dan
enzim transaminase.
 Fase konvalesens
Selama fase kovalesens, penurunan berat badan segera terkoreksi,
tetapi rasa lelah akan terus terjadi selama beberapa bulan.

3.5.5 Patofisiologi Hepatitis E


Bila virus hepatitis masuk ke dalam hepatosit dan melakukan replikasi
maka terjadi pengaktifan imun seluler terutama sel limfosit T yang bersifat
sitotoksik (Anthony F. E, 2005). Sifat dari sel limfosit T tersebut akan merusak
sel hepatosit sehingga makin banyak sel yang rusak secara bersamaan. Virus
hepatitis A akan keluar dari tubuh penderita melalui feses setelah 14 sampai 30
hari penderita terinfeksi virus. Setelah keluar dari tubuh maka penularan dapat
terjadi bila buruknya kualitas hygiene dan sanitasi penderita.
Perubahan morfologik pada hati seringkali serupa untuk berbagai virus
yang berlainan. Pada kasus yang klasik, ukuran dan warna hati tampak normal,
tetapi kadang-kadang sedikit edema, membesar dan berwarna seperti empedu.
Secara histologik, terjadi susunan hepatoselular menjadi kacau, cedera dan
nekrosis sel hati dan peradangan perifer. Perubahan ini reversibel sempurna,
bila fase akut penyakit mereda. Pada beberapa kasus, nekrosis submasif atau
massif dapat mengakibatkan gagal hati yang berat dan kematian.

3.5.6 Diagnosa dan Pengobatan

Pemeriksaan laboratoris dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis,


yaitu meliputi pemeriksaan: serum transaminase, bilirubin, serologis, dengan
metode ELISA seperti antibodi, IgG dan IgM anti HEV serta PCR dari serum
dan kotoran untuk mendeteksi adanya RNA hepatitis E, selain itu dapat pula
digunakan “immunofluorescent antibody blocking assays” untuk mendeteksi
adanya antibodi terhadap antigen HEV di serum dan sel hati.

Dan belum ada pengobatan yang tepat dan menyembuhkan penyakit


hepatitis akut, pengobatan hanya bersifat supportif. Pencegahan adalah
pendekatan yang paling efektif terhadap penyakit ini.

3.5.7 Pencegahan

Pencegahan hepatitis E khususnya di daerah endemik dapat dilakukan


dengan menjaga kebersihan pasokan makanan, minuman serta sanitasi
lingkungan. Selain itu penggunaan vaksin juga dapat mencegah penularan
Hepatitis E.

3.6 HEPATITIS F

Identifikasi virus penyakit Hepatitis F sampai sekarang masih belum jelas.


Hepatitis F merupakan sebuah hipotesis, artinya jika ada virus Hepatitis yang belum
teridentifikasi dengan jelas untuk sementara akan digolongkan sebagai virus Hepatitis
F.
Berdasarkan data kesehatan, pada tahun 1994 pernah masuk sebuah laporan
dari salah satu organisasi kesehatan bahwa telah ditemukan sesuatu mirip virus dalam
dalam darah pasien yang menjalani transfusi. Virus tersebut bukan masuk virus HAV,
HBV, HCV maupun HEV. Tetapi setelah disuntikkan pada seekor kera, ternyata
binatang tersebut mempunyai penyakit Hepatitis yang kemudian untuk sementara
disebut sebagai Hepatitis F atau virus Toga. Tidak tertutup kemungkinan saat itulah
telah diketemukan virus Hepatitis baru. Hingga sampai sekarang semua itu masih
terus dalam penelitian.

3.7 HEPATITIS G
3.7.1 DEFINISI

Hepatitis G adalah penyakit inflamasi hati yang baru ditemukan.


Penyebarannya adalah virus hepatitis G yang menyerupai dengan virus hepatitis C.
Penularannya melaui kontak darah dengan pasien. Gejalanya sama dengan jenis
hepatitis lainnya.Tidak ada perawatan khusus untuk hepatitis G ini. Hanya saja
disarankan untuk istirahat yang cukup, menghindari minuman alkohol, dan konsumsi
makanan dengan kandungan nilai gizi dan nutrisi yang seimbang. Tak lupa tetap
menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar.

3.7.2 PENYEBAB

Disebabkan oleh hepatitis G virus (HGV), yang mirip dengan virus hepatitis
C. Kontak dengan darah yang terinfeksi HGV.

3.7.3 GEJALA

Kebanyakan orang tidak memiliki gejala akut. Sebanyak 20 % dari penderita


hepatitis C juga menderita hepatitis ini.

3.7.4 DIAGNOSA

Metode yang digunakan untuk mendeteksi HGV sangat komplek untuk


mengetahui adanya antibodi HGV. Namun ketika antibodi telah ditemukan, virus itu
sendiri telah menghilang.

3.7.5 PENGOBATAN

Tidak ada perawatan spesifik untuk penyakit hepatitis akut ini. Penderita harus
banyak istirahat, menghindari alkohol dan makan makanan bergizi.

3.7.6 PENCEGAHAN

Hepatitis G ditularkan melalui infeksi melalui darah. Pencegahannya dengan


menghindari kontak dengan darah yang terkontaminasi. Jangan gunakan jarum suntik
atau peralatan lain secara bersamaan.
DAFTAR PUSTAKA

http://dedymeliala.blogspot.co.id/2014/04/ulasan-tentang-hepatitis-b-c-d-e-f-g.html
http://documents.tips/documents/dhaneswara-adhyatama-w-22010110120016-bab2kti.html
http://dokumen.tips/documents/70239385-makalah-hepatitispdf.html
http://egaarsita97.blogspot.co.id/2014/05/makalah-hepatitis_23.html
http://kamusaskep.blogspot.co.id/2013/01/hepatitis-d.html
http://majalahkesehatan.com/hepatitis-a-b-c-d-e-apa-bedanya/
http://makalahhepatitis009.blogspot.co.id/
http://marchosong.blogspot.co.id/2015/04/makalah-hepatitis.html
http://obat-hepatitis.com/hepatitis-a-hepatitis-b-hepatitis-c-hepatitis-d-hepatitis-e-hepatitis-g/
http://pbh-batusangkar.blogspot.co.id/2011/06/makalah-tentang-hepatitis.html
http://pengobatanhepatitis.web.id/bahaya-penyakit-hepatitis-d-e-dan-f/
http://penyakithepatitisa.com/
http://penyakithepatitisc.com/
http://pphi-online.org/alpha/?p=928
http://putrisilvianita.blogspot.co.id/2014/01/makalah-hepatitis-d.html
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/62186/Chapter%20II.pdf?sequence=4
http://sakitnyaapa.blogspot.co.id/p/hepatitis-e.html
http://sri-oktavia.blogspot.co.id/2010/02/makalah-hepatitis.html
http://www.atlm.web.id/2017/03/makalah-hepatitis.html
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-hepatitis.pdf
http://www.indonesian-publichealth.com/epidemiologi-hepatitis-e/
http://www.indonesian-publichealth.com/epidemiologi-hepatitis-e/
http://www.referensibebas.com/2015/11/penyakit-hepatitis-peyebab-gejala-jenis.html
http://www.spesialis.info/?gejala-hepatitis-g,669
http://www.spesialis.info/?gejala-hepatitis-g,669
https://www.deherba.com/apa-itu-penyakit-hepatitis-e.html

Anda mungkin juga menyukai