Anda di halaman 1dari 23

Kajian Utama Edisi No.

05

Asy Syari’ah Page | 0

MENYIKAPI KEJAHATAN
PENGUASA

Kompilasi pdf: Maktabah IMU


(http://islamicandmedicalupdates.blogspot.com)
Sumber: http://asysyariah.com
Kewajiban Taat Kepada Pemerintah

Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 005

(ditulis oleh: Al-Ustadz Muhammad Umar as-Sewed) Page | 1

Kewajiban taat kepada pemerintah merupakan salah satu prinsip Islam yang agung. Namun
di tengah karut-marutnya kehidupan politik di negeri-negeri muslim, prinsip ini menjadi bias
dan sering dituding sebagai bagian dari gerakan pro status quo. Padahal, agama yang
sempurna ini telah mengatur bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap
pemerintahnya, baik yang adil maupun yang zalim.

KKN, represivitas penguasa, kedekatan pemerintah dengan Barat (baca: kaum kafir),
seringkali menjadi isu yang diangkat sekaligus dijadikan pembenaran untuk melawan
pemerintah. Dari yang ‘sekadar’ demonstrasi, hingga yang berujud pemberontakan fisik.
Meski terkadang isu-isu itu benar, namun sesungguhnya syariat yang mulia ini telah
mengatur bagaimana seharusnya seorang muslim bersikap kepada pemerintahnya, sehingga
diharapkan tidak timbul kerusakan yang jauh lebih besar.
Yang menyedihkan, Islam atau jihad justru yang paling laris dijadikan tameng untuk
melegalkan gerakan-gerakan perlawanan ini. Di antara mereka bahkan ada yang menjadikan
tegaknya khilafah Islamiyah sebagai harga mati dari tujuan dakwahnya. Mereka pun
berangan-angan, seandainya kejayaan Islam di masa khalifah Abu Bakr dan Umar bin
al-Khaththab c dapat tegak kembali di masa kini.
Jika diibaratkan, apa yang dilakukan kelompok-kelompok Islam ini seperti “menunggu hujan
yang turun, air di bejana ditumpahkan”. Mereka sangat berharap akan tegaknya khilafah
Umar bin al-Khaththab z, namun kewajiban yang Allah l perintahkan kepada mereka
terhadap penguasa yang ada di hadapan mereka, justru dilupakan. Padahal dengan itu, Allah
l akan mengabulkan harapan mereka dan harapan seluruh kaum muslimin.

Wajibnya Taat kepada Penguasa Muslim


Allah k telah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk taat kepada penguasanya
betapa pun jelek dan zalimnya mereka. Tentunya dengan syarat, selama para penguasa
tersebut tidak menampakkan kekafiran yang nyata. Allah k juga memerintahkan agar kita
bersabar menghadapi kezaliman mereka dan tetap berjalan di atas As-Sunnah.
Karena barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah dan memberontak kepada
penguasanya maka matinya mati jahiliah. Yakni mati dalam keadaan bermaksiat kepada
Allah l seperti keadaan orang-orang jahiliah.1 (Lihat ucapan al-Imam an-Nawawi t dalam
Syarah Shahih Muslim)
Page | 2
Dari Ibnu Abbas c, dia berkata, Rasulullah n bersabda:
ٌ ِ‫ت َِ َ ٌ 'َ ِه‬
َ ََ ‫ ْ ًا‬
ِ َ 
َ َ
َ ْ ‫ق ا‬
َ ‫ ِ ْ َِ ُ َْ َ َر‬
ْ َ َْ ُ ‫ ْ"ً َ! ْ َ ُه‬
َ #ِ ِ ِ‫َْ َرأَى ِْ َأ‬
“Barang siapa melihat sesuatu yang tidak dia sukai dari penguasanya, maka bersabarlah!
Karena barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja, maka ia akan mati
dalam keadaan mati jahiliah.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan dari Junadah bin Abu Umayyah t, dia berkata, “Kami masuk ke rumah Ubadah
bin ash-Shamit z ketika beliau dalam keadaan sakit dan kami berkata kepadanya,
‘Sampaikanlah hadits kepada kami—aslahakallah (semoga Allah l memperbaiki
keadaanmu)—dengan hadits yang kau dengar dari Rasulullah n yang dengannya Allah l akan
memberikan manfaat bagi kami!’ Maka ia pun berkata,
(
ِ ‫لا‬
ُ ْ*+
ُ ‫ َدَ َ َر‬n ، َ ِ 4
ْ !ُ ‫ ِ َ َو‬4
ُْ ‫ َو‬، َ-‫ َو َ ْ َ ِه‬-َ .
ِ/َ -ْ َ ْ0ِ ،ِ
َ  .‫ وَا‬3ِ ْ 4
 ‫ ا‬5َ
َ َ-6ْ !َ َ7 ْ‫َ َأن‬-ْ َ
َ 9َ :
َ ‫ن ِ َْ َأ‬
َ َ َ َ ،َ -َ 6َ َ! ََ
ٌ‫ ْهَ ن‬7ُ ِ ْ ِ (
ِ ‫ا‬
َ ِ ْD‫ ُآ‬Fَ -ْ 
ِ ًG‫*َا‬7َ ‫ َا‬Hْ ‫ َ وْا ُآ‬Iَ ْ‫? َأن‬
 ‫ ِإ‬:‫ل‬
َ َ; ،َُ‫ع ا ْ َ< ْ َ َأ ْه‬
َ ‫َ ِز‬-ُ ?
َ ْ‫ َوَأن‬، َ-َْ
َ ‫ َ ٍة‬Bَ ‫َوَأ‬
“Rasulullah n memanggil kami kemudian membai’at kami. Dan di antara bai’atnya adalah
agar kami bersumpah setia untuk mendengar dan taat ketika kami semangat ataupun tidak
suka, ketika dalam kemudahan ataupun dalam kesusahan, ataupun ketika kami
diperlakukan secara tidak adil. Dan hendaklah kami tidak merebut urusan kepemimpinan
dari orang yang berhak—beliau berkata—kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata,
yang kalian memiliki bukti di sisi Allah l.” (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya juz 13 hlm.192,
cet. Maktabatur Riyadh al-Haditsah, Riyadh. HR. Muslim dalam Shahih-nya, 3/1470, cet.
Daru Ihya’ut Turats al-Arabi, Beirut, cet. 1)

Wajib Taat Walaupun Jahat dan Zalim


Kewajiban taat kepada pemerintah ini, sebagaimana dijelaskan Rasulullah n, adalah
terhadap setiap penguasa, meskipun jahat, zalim, atau melakukan banyak kejelekan dan
kemaksiatan. Kita tetap bersabar mengharapkan pahala dari Allah l dengan memberikan hak
mereka, yaitu ketaatan walaupun mereka tidak memberikan hak kita.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud z, dia berkata, Rasulullah n bersabda:
‫<ْ ُ ُ َ ؟‬Iَ N
َ ْ ‫( َآ‬
ِ ‫لا‬
َ *ُ+‫ !َ َر‬:‫َ ;َ ُ*ا‬Kَ ‫ ِ ُو‬-ْ Iُ ٌ‫ َ ةٌ َوُأُ*ر‬Bَ ‫ِي َأ‬F6ْ 7َ ُ‫ َ ُ*ن‬+
َ َK ‫ِإ‬
“Akan muncul setelahku atsarah (orang-orang yang mengutamakan diri mereka sendiri dan
tidak memberikan hak kepada orang yang berhak, red.) dan perkara-perkara yang kalian
ingkari.” Mereka (para sahabat, red.) bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami,
wahai Rasulullah?” Beliau n berkata,
Page | 3
ْDُ َ ْ‫ي‬9ِ ‫( ا‬
َ ‫نا‬
َ ْ*ُ<َ 4
ْ Iَ ‫ْ َو‬Dُ ْ َ
َ ْ‫ي‬9ِ ‫ ا‬O
P
َ ْ ‫ن ا‬
َ ْ‫دو‬Q Rَ Iُ
“Tunaikanlah kewajiban kalian kepada mereka dan mintalah hak kalian kepada Allah.”
(Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)
Diriwayatkan pula dari ‘Adi bin Hatim z, dia berkata, “Kami mengatakan, ‘Wahai Rasulullah,
kami tidak bertanya tentang ketaatan kepada orang-orang yang takwa, tetapi orang yang
berbuat begini dan begitu… (disebutkan kejelekan-kejelekan).’ Maka Rasulullah n bersabda:
‫*ْا‬6ُ ْ S
ِ ‫*ْا َوَأ‬6ُ َ +
ْ ‫( وَا‬
َ ‫ُ*ا ا‬TI‫وَا‬
‘Bertakwalah kepada Allah! Dengar dan taatlah!’.” (Hasan lighairihi, diriwayatkan oleh Ibnu
Abu ‘Ashim dalam as-Sunnah dan lain-lain. Lihat al-Wardul Maqthuf, hlm. 32)
Ibnu Taimiyah t berkata, “Bahwasanya termasuk ilmu dan keadilan yang diperintahkan
adalah sabar terhadap kezaliman para penguasa dan kejahatan mereka, sebagaimana ini
merupakan prinsip dari prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dan sebagaimana
diperintahkan oleh Rasulullah n dalam hadits yang masyhur.” (Majmu’ Fatawa juz 28, hlm.
179, cet. Maktabah Ibnu Taimiyah Mesir)
Sedangkan menurut al-Imam an-Nawawi t, “Kesimpulannya adalah sabar terhadap
kezaliman penguasa dan bahwasanya tidak gugur ketaatan dengan kezaliman mereka.”
(Syarah Shahih Muslim, 12/222, cet. Darul Fikr Beirut)
Ibnu Hajar t berkata, “Wajib berpegang dengan jamaah muslimin dan penguasa-penguasa
mereka walaupun mereka bermaksiat.” (Fathul Bari Bi Syarhi Shahihil Bukhari)

Tetap Taat Walaupun Cacat


Meskipun penguasa tersebut cacat secara fisik, Rasulullah n tetap memerintahkan kita
untuk tetap mendengar dan taat. Walaupun hukum asal dalam memilih pemimpin adalah
laki-laki, dari Quraisy, berilmu, tidak cacat, dan seterusnya. Namun jika seseorang yang tidak
memenuhi kriteria tersebut telah berkuasa—baik dengan pemilihan, kekuatan (kudeta), dan
peperangan—maka ia adalah penguasa yang wajib ditaati dan dilarang memberontak
kepadanya. Kecuali, jika mereka memerintahkan kepada kemaksiatan dan kesesatan, maka
tidak perlu menaatinya (pada perkara tersebut, red.) dengan tidak melepaskan diri dari
jamaah.
Diriwayatkan dari Abu Dzar z bahwa dia berkata:
‫ف‬
ِ ‫ َا‬S
ْ <َ ْ‫ع ا‬
َ F 
َ ُ ‫ًا‬Fْ 
َ ‫ن‬
َ َ‫ َوِإنْ آ‬،َ3ْ S
ِ َ‫ َو أ‬3َ َ +
ْ ‫ َأنْ َأ‬0ِ َVْ‫ْ َأو‬0ِْ ِ:
َ ‫ن‬
 ‫ِإ‬
“Telah mewasiatkan kepadaku kekasihku agar aku mendengar dan taat walaupun yang
Page | 4
berkuasa adalah bekas budak yang terpotong hidungnya (cacat).2” (Sahih, HR. Muslim
dalam Shahih-nya, 3/467, cet. Daru Ihya’ut Turats al-Arabi, Beirut. HR. al-Bukhari dalam
al-Adabul Mufrad, hlm. 54)
Juga diriwayatkan dari Suwaid bin Ghafalah t, dia berkata, “Berkata kepadaku ‘Umar z,
‘Wahai Abu Umayyah, aku tidak tahu apakah aku akan bertemu engkau lagi setelah tahun
ini… Jika dijadikan amir (pemimpin) atas kalian seorang hamba dari Habasyah, terpotong
hidungnya maka dengarlah dan taatlah! Jika dia memukulmu, sabarlah! Jika mengharamkan
untukmu hakmu, sabarlah! Jika ingin sesuatu yang mengurangi agamamu, maka katakanlah
aku mendengar dan taat pada darahku bukan pada agamaku, dan tetaplah kamu jangan
memisahkan diri dari jamaah!”
Wallahu a’lam.

1 Maksudnya seperti keadaan matinya orang-orang jahiliah yaitu di atas kesesatan dan tidak
memiliki pemimpin yang ditaati karena mereka dahulu tidak mengetahui hal itu. (Fathul
Bari, 7/13, dinukil dari Mu’amalatul Hukkam hlm. 166, red.)
2 Kalimat mujadda’ bermakna terpotong anggota badannya atau cacat, seperti terpotong
telinga, hidung, tangan, atau kakinya. Namun sering kalimat mujadda’ dipakai dengan
maksud terpotong hidungnya. Sedangkan mujadda’ul athraf, Ibnu Atsir t dalam an-Nihayah
berkata, “Maknanya adalah terpotong-potong anggota badannya, ditasydidkan huruf
‘dal’-nya untuk menunjukkan banyak.” (pen.)

--------------------
Cara Menasehati Penguasa

Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 005

(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc) Page | 5

Mungkin akan muncul pertanyaan, apakah dalam menyikapi kesalahan-kesalahan penguasa


kita harus selalu sabar, diam, dan menerima sepenuhnya apa yang dilakukan penguasa?
Lantas bagaimana dengan anjuran untuk melakukan ingkarul mungkar dan memberikan
nasihat kepada penguasa, yang notabene keduanya adalah bagian dari prinsip-prinsip Islam
yang tidak mungkin ditinggalkan?
Untuk menjawabnya, kita harus memulai dengan memahami bersama bahwa memberikan
nasihat kepada penguasa adalah sebuah perkara besar karena menyangkut kemaslahatan
atau mafsadah total (menyeluruh) menyangkut masyarakat/rakyat. Di dalamnya terkait
keamanan atau ketakutan rakyat serta terlindungi atau tertumpahkannya darah mereka.
Sehingga sangat mustahil bila Nabi n tidak menerangkan masalah yang demikian prinsip ini
dan sangat dibutuhkan umatnya sepanjang mereka hidup, sementara di sisi lain beliau telah
menerangkan perkara yang mungkin dianggap remeh oleh banyak orang seperti adab buang
hajat.
Dalam sebuah hadits Rasulullah n bersabda:
ِ ْ َ
َ ْ‫ي‬9ِ ‫ْ َأدى ا‬F;َ ‫ن‬
َ َ‫? آ‬
 ‫ك َوِإ‬
َ ‫َا‬9َ ُ -ْ ِ [
َ ِ ;َ ْ‫ ِ َِن‬7ِ ْ*ُW
ْ َ َ #ِ Fِ َ 7ِ ْ9:
ُ ْ<َ ِ ِْ َ‫ ِ َ ً َو‬X
ِ
َ #ِ Fِ ْ !ُ X
َ َ ‫ن‬
ٍ َ.ْ +
ُ ْ‫ي‬9ِ ِ Y
َ
َ ْ-!َ ْ‫َْ َأرَا َد َأن‬
“Barang siapa ingin menasihati seorang penguasa maka jangan ia tampakkan
terang-terangan, akan tetapi hendaknya ia mengambil tangan penguasa tersebut dan
menyendiri dengannya. Jika dengan itu, ia menerima (nasihat) darinya maka itulah (yang
diinginkan, red.) dan jika tidak menerima maka ia (yang menasihati) telah melaksanakan
kewajibannya.” (Sahih, HR. Ahmad, Ibnu Abu ‘Ashim dan yang lain, disahihkan oleh
asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah, no. 1096—1098, lihat pula takhrijnya dalam kitab
Mu’amalatul Hukkam, hlm. 143—151)
Ketika membawakan hadits di atas, al-Imam Ahmad t menyebutkan sebuah kisah. Kata
beliau, seorang sahabat Nabi n bernama ‘Iyadh bin Ghunm z yang menjadi penguasa di
wilayah Syam (Siyar A’lamin Nubala, 2/354) mencambuk seorang pemilik rumah ketika
rumah itu dibuka (karena masalah kharaj [semacam pajak], wallahu a’lam, red.). Maka
seorang sahabat yang lain yaitu Hisyam bin Hakim z lewat dan menasihati dengan begitu
keras kepadanya sehingga ‘Iyadh pun marah. Berlalulah beberapa malam. Lalu Hisyam
datang dan beralasan seraya mengatakan kepada ‘Iyadh, “Tidakkah engkau mendengar Nabi
n mengatakan, ‘Sesungguhnya manusia yang termasuk paling keras azabnya adalah yang
paling keras menyiksa manusia di dunia’.”
Page | 6
Maka ‘Iyadh pun menjawab, “Wahai Hisyam bin Hakim, kami telah mendengar apa yang
engkau dengar dan telah melihat apa yang kamu lihat. Apakah kamu tidak mendengar
Rasulullah n bersabda, … (lalu menyebut hadits di atas). Sesungguhnya engkau wahai
Hisyam, benar-benar nekat jika engkau berani terhadap penguasa Allah l. Tidakkah engkau
takut untuk dibunuh oleh penguasa Allah l sehingga engkau menjadi korban pembunuhan
penguasa Allah l?!”
Dalam kisah yang berlangsung antara dua orang sahabat Nabi yang mulia itu terkandung
bantahan yang sangat telak bagi orang yang berdalil dengan perbuatan Hisyam bin Hakim z
yang mengingkari penguasa dengan terang-terangan atau berdalil dengan sahabat lain, di
mana sahabat ‘Iyadh mengingkari perbuatan itu atas mereka lalu menyebutkan dalil yang
menjadi pemutus dalam masalah ini, maka tiadalah bagi Hisyam kecuali menerima dalil itu
yang sangat jelas maksudnya. Dan hujjah itu adalah hadits Nabi n, bukan ucapan siapa pun
dari kalangan manusia. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 151—152)
Atas dasar hadits itu berarti penguasa mempunyai perlakuan khusus ketika diingkari
kemungkarannya atau diberi nasihat. Sehingga salah bila dikatakan: “Adapun tuntutan
syari’ah dalam menentang kemungkaran yang ada pada pemerintah itu adalah sebagaimana
tuntunan dalam mencegah kemungkaran pada umumnya.” (Majalah Salafy edisi 02 tahun V)
Di atas manhaj ini pula para sahabat berjalan sebagaimana tampak dari ucapan dan
perbuatan mereka. Di antaranya:
1. Bahwa Sa’id bin Jahman bertemu dengan Abdullah bin Abu Aufa z (seorang sahabat Nabi
n). Abdullah bin Abu Aufa pun bertanya, “Siapa engkau?” Aku pun menjawab, “Aku adalah
Sa’id bin Jahman.” Beliau bertanya, “Apa yang terjadi pada ayahmu?” Jawabnya, “Ia dibunuh
oleh al-Azariqah (sempalan kelompok Khawarij pimpinan Nafi’ Ibnul Azraq).” Maka beliau
berkata, “Semoga Allah l melaknati al-Azariqah. Semoga Allah l melaknati al-Azariqah,
semoga Allah melaknati al-Azariqah. Rasulullah n mengatakan kepada kami bahwa mereka
adalah anjing-anjing ahli neraka.” Sa’id mengatakan, “Al-Azariqah saja atau Khawarij
seluruhnya?” Beliau menjawab, “Bahkan Khawarij seluruhnya.” Sa’id mengatakan,
“Sesungguhnya penguasa melakukan kezaliman terhadap manusia dan melakukan
(kejahatan, red.) terhadap manusia.” Maka dia mengambil tangan saya dan dicoleknya
dengan kuat lalu mengatakan, “Kasihan kamu wahai putra Jahman. Ikuti as-Sawadul A’zham,
ikuti as-Sawadul A’zham (kaum muslimin dan penguasanya yang muslim). Jika penguasa
mau mendengar nasihatmu maka datangi rumahnya, kabarkan kepadanya apa yang kamu
Page | 7
ketahui. Kalau dia menerimamu (maka itu yang diinginkan, red.). Jika tidak, maka tinggalkan
dia. Sesungguhnya kamu tidak lebih tahu darinya.” (Riwayat Ahmad dalam al-Musnad,
4/382—383, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanadnya hasan”, Zhilalul Jannah, 2/508)
2. Ibnu ‘Abbas c ditanya tentang amar ma’ruf dan nahi mungkar terhadap penguasa, maka
beliau menjawab, “Jika kamu mesti melakukannya, hendaknya (dilakukan) antara kamu dan
dia (secara sembunyi).” (Disebutkan oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ul Ulum di akhir syarah
hadits ketujuh. Riwayat tersebut disebutkan oleh Ibnu Abu Syaibah dalam al-Mushannaf,
lihat Mu’amatul Hukkam, hlm. 160)
3. Bahwa Usamah bin Zaid c ditanya, “Tidakkah engkau masuk dan mendatangi ‘Utsman
agar kamu memberikan nasihat kepadanya?” Jawab Usamah bin Zaid c, “Apakah kalian
berpendapat bahwa aku tidak menasihatinya kecuali aku harus mengabarkan kepada
kalian?! Demi Allah, aku telah menasihatinya antara aku dan dia, tanpa aku membuka
urusan yang aku tidak suka menjadi orang pertama yang membukanya.” (Sahih, HR. Muslim)
Asy-Syaikh al-Albani t mengatakan, “Maksudnya membuka (mengekspos) pengingkaran
secara terang-terangan kepada para penguasa di hadapan umum. Karena dalam
pengingkaran secara terang-terangan mengandung sesuatu yang dikhawatirkan dampaknya,
sebagaimana terjadi pengingkaran tersebut terang-terangan terhadap ‘Utsman lalu
mengakibatkan terbunuhnya …” (dinukil dari Mu’amalatul Hukkam, hlm. 159)
Masih banyak lagi riwayat yang lain bisa dibaca dalam kitab Mu’amatul Hukkam karya
asy-Syaikh Abdussalam Barjas.
Sikap yang ditunjukkan oleh para sahabat itu kemudian diwarisi oleh para ulama Ahlus
Sunnah sebagaimana tertera dalam kitab-kitab mereka, baik mereka menyebut secara
langsung maupun dengan menukilkan ucapan ulama yang lain, sebagaimana disebutkan
oleh Ibnu Abu ‘Ashim, ‘Iyadh, Ibnu Nahas, Ibnu Muflih, Ibnu Rajab, asy-Syaukani dalam
kitabnya as-Sailul Jarrar, asy-Syaikh al-Albani, asy-Syaikh Ibnu Baz, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin,
dan lain-lain (lihat nukilan-nukilan ucapan mereka dalam kitab al-Wardul Maqthuf hlm.
69—75).
Sehingga, seorang penasihat, mubaligh, atau da’i hendaknya menelusuri jalan ini dan
menujukan nasihatnya kepada dua arah. Arah pertama ditujukan kepada penguasa dengan
cara yang telah disebutkan di atas, bisa dengan bicara secara langsung, melalui surat, atau
memberi nasihat melalui orang-orang dekatnya untuk disampaikan kepada penguasa
dengan memerhatikan rambu-rambu di atas. Arah kedua, ia menujukan nasihat kepada
Page | 8
rakyat.
Hendaknya para da’i menerangkan kepada rakyat cara bersikap yang benar terhadap
penguasa, memberikan pengertian tentang kemungkaran-kemungkaran yang bersifat umum
seperti haramnya khamr, judi, pelacuran, loyal kepada orang kafir, permusuhan mereka
terhadap Islam, dan semacamnya. (Lihat al-Wardul Maqthuf, hlm. 74 dan 70, dari nukilan
Fatwa asy-Syaikh Ibnu Baz)
Jika seseorang membolehkan mengritik penguasa di depan umum baik melalui lisan maupun
tulisan dengan alasan sebagian sahabat Nabi n melakukannya, maka untuk menanggapi
pendapat tersebut saya kemukakan beberapa hal.
1. Telah dijelaskan bahwa hadits dalam permasalahan ini memiliki derajat sahih, maka tidak
ada alasan bagi siapa pun untuk menyelisihinya. Orang yang menghargai hadits Nabi n tentu
akan sangat menerima prinsip ini. Karena Allah l berfirman:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan
atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63)
“Dan tidaklah patut bagi seorang mukmin atau mukminah apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan
mereka.” (al-Ahzab: 36)
Al-Imam asy-Syafi’i t berkata, “Kaum muslimin berijma’ bahwa barang siapa yang telah
terang baginya Sunnah Nabi n maka tidak boleh ia menolaknya karena mengikuti ucapan
seseorang, siapa pun dia.” (Shifat Shalat an-Nabi oleh al-Albani, hlm. 50)
Ibnu ‘Abbas c mengatakan, “Hampir-hampir bebatuan dari langit akan menghujani kalian,
karena aku katakan kepada kalian bahwa Rasulullah n bersabda demikian, lalu kalian
mengatakan bahwa Abu Bakr dan ‘Umar mengatakan demikian!!” (Riwayat Ahmad dalam
al-Musnad, lihat Fathul Majid dengan tahqiq al-Furayyan, hlm. 451)
2. Kemungkinan sahabat yang melakukan kritikan terhadap penguasa di depan umum
disebabkan belum tahu atau lupa, seperti kejadian dalam hadits di atas bahwa Hisyam bin
Hakim z diingatkan atau diberi tahu tentang hadits tersebut, lalu menerimanya. Atau ada
udzur-udzur lain sebagaimana disebut oleh Ibnu Taimiyah t dalam kitabnya Raf’ul Malam
‘anil Aimmatil A’lam. Semua itu dalam rangka berbaik sangka terhadap para sahabat.
3. Seandainya pun hadits itu (tentang tata cara menasihati penguasa dengan diam-diam)
lemah—dan sesungguhnya tidak lemah—maka di hadapan kita ada dua sisi.
Sisi pertama, ucapan para sahabat yang jelas melarang perbuatan tersebut sebagaimana
Page | 9
telah dinukilkan sebagiannya dari Abdullah bin Abu Aufa, Usamah bin Zaid, dan Ibnu ‘Abbas
g, ditambah lagi dengan perbuatan dan praktik mereka. Sisi kedua, ucapan sebagian sahabat
yang tidak jelas membolehkan hal itu, yang demikian tidak tegas dalam menentukan hukum
karena membawa kemungkinan-kemungkinan sebagaimana dalam poin kedua di atas. Lain
halnya dengan ucapan para sahabat yang tegas dan jelas melarang hal itu, yang memang
sedang berbicara masalah hukum.
4. Sebagaimana masalah-masalah fiqih yang lain, tatkala kita menghadapi perbedaan
pendapat dari kalangan sahabat, kita tidak boleh mengambil salah satunya tanpa alasan
atau tanpa pendukung. Bahkan kita harus mengambil pendapat yang terdekat kepada
kebenaran melalui pertimbangan-pertimbangan lain.
5. Atas dasar poin keempat maka yang tampak bagi saya, pendapat yang melarang itulah
yang semestinya diambil, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut ini:
- Kaidah saddu adz-dzara’i’, yakni menutup jalan-jalan yang menyampaikan kepada hal yang
haram. Sebagaimana diketahui, dalam syariat ini ada hal-hal yang diharamkan karena hal
tersebut menjadi wasilah atau sarana kepada sesuatu yang diharamkan (Muharram
Bidzatihi, dengar kaset Silsilatul Huda Wannur no. 41/1, al-Albani, lihat juga Ighatsatul
Lahfan tentang penjelasan saddu adz-dzara’i’). Dengan melihat kaidah ini dan kenyataan
yang ada, bahwa seringkali seseorang yang berbicara terhadap penguasa terjatuh dalam
hal-hal yang dilarang, karena yang masuk dalam kancah ini banyak dari kalangan
orang-orang yang tidak mengerti hukum.
- Banyak ulama Ahlus Sunnah menjadikan hal ini sebagai pendapat mereka, bahkan dengan
jelas mereka mengatakan bahwa inilah manhaj (jalan) Ahlus Sunnah, sebagaimana telah kita
sebut sebagian nama-nama mereka di atas.
- Pengingkaran para ulama sejak para sahabat terhadap orang yang mengingkari penguasa
dengan terang-terangan. (Lihat Mu’amalatul Hukkam, hlm. 154)
- Dengan melihat maslahat dan mafsadahnya, melarang masalah tersebut akan lebih banyak
mendatangkan maslahat bagi penguasa dan rakyat. Sebaliknya, membolehkan hal itu akan
banyak mendatangkan mafsadah. Di antaranya membuka pintu bagi orang-orang yang
menyembunyikan niat/kepentingan jahat atau orang-orang yang bodoh terhadap hukum.
- Dengan dibolehkan menyebutkan kejelekan penguasa di depan umum akan terjadi
kesamaran antara seorang Ahlus Sunnah dengan seorang yang berpemahaman Khawarij.
- Atas dasar itu, maka tidak ada alasan bagi kita untuk mengingkari seorang yang
Page | 10
mengingkari penguasa secara terang-terangan, sama saja baik dia itu seorang Ahlus Sunnah
maupun Khawarij, di mana yang membedakan mereka berdua adalah tujuannya. Yaitu
Khawarij melakukannya dalam rangka ambisi merebut kekuasaan… Sedang Ahlus Sunnah
dalam rangka semata-mata amar ma’ruf dan nahi mungkar. (Majalah Salafy edisi 02 tahun
V)
Hal ini karena tujuan adalah niat di dalam hati yang tidak tampak secara nyata, sedangkan
yang tampak bahwa kedua orang tersebut melakukan hal yang sama. Tentu konsekuensi
semacam ini menunjukkan batilnya pendapat itu, karena Khawarij pun meyakininya sebagai
amar ma’ruf nahi mungkar, di samping juga bertentangan dengan perbuatan sahabat yang
mengingkari Khawarij.
Al-Imam at-Tirmidzi t meriwayatkan dengan sanadnya kepada Ziyad bin Kusaib al-‘Adawi
katanya, “Saya bersama sahabat Abu Bakrah di bawah mimbar Ibnu ‘Amir yang sedang
berkhutbah dengan memakai pakaian yang tipis. Maka (seseorang bernama) Abu Bilal
mengatakan, ‘Lihatlah kepada pemimpin kita, dia memakai pakaian orang fasiq.’ Maka Abu
Bakrah pun menimpali, ‘Diamlah kamu. Aku mendengar Rasulullah n mengatakan, ‘Barang
siapa yang menghinakan penguasa Allah l di muka bumi maka Allah l akan
menghinakannya’.” (Sunan at-Tirmidzi, “Kitabul Fitan”, 4/435 no. 2224 cet. Darul Kutub.
At-Tirmidzi mengatakan, “Hasan Gharib”, Mu’amalatul Hukkam, hlm. 174—185, lihat pula
al-Wardul Maqthuf, hlm. 58, tentang pengingkaran Ibnu ‘Abbas c terhadap Abu Jamrah)
Maka di hadapan kita ada dua kemungkinan, apakah sahabat tersebut salah dalam
mengingkari orang tersebut atau benar? Bagi saya, dengan alasan apa kita menyalahkan
sahabat tersebut? Sungguh sangat berat untuk menyalahkannya.
6. Melihat kenyataan umum yang ada di masyarakat kita bahwa mereka yang melakukan
pengingkaran terhadap para penguasa melakukan kesalahan-kesalahan sebagai berikut:
- Menghinakan penguasa, dan perbuatan ini dilarang oleh Nabi n sebagaimana sabda Nabi n
di atas. Namun bukan berarti yang dimaksud menghargai mereka adalah dengan
mengagung-agungkan penguasa itu. Penguasa dihargai karena besarnya tugas yang
diemban dan dengan dihinakannya mereka maka tugas yang menjadi kewajibannya tidak
akan terlaksana dengan baik sehingga terjadi banyak kerusakan. (Mu’amalatul Hukkam, hlm.
177)
- Melakukan celaan terhadap penguasa, dan ini juga dilarang oleh Nabi n. Anas bin Malik z
mengatakan, “Para pembesar sahabat di antara kami melarang kami dengan perkataan
Page | 11
mereka, ‘Jangan kalian cerca para pemimpin kalian, jangan berbuat curang terhadap
mereka, dan jangan kalian membenci mereka. Bertakwalah kalian kepada Allah l dan
bersabarlah!.” (Riwayat Ibnu Abu ‘Ashim, no.1015, asy-Syaikh al-Albani mengatakan,
“Sanadnya jayyid.” [bagus, yakni sahih—wallahu a’lam])
- Melakukan ghibah terhadap penguasa, dan ghibah hukumnya haram apalagi kepada
penguasa tentu lebih haram karena mafsadahnya akan lebih besar.
- Tidak menerangkan manhaj Ahlus Sunnah dalam menyikapi penguasa yang zalim yaitu
sabar dalam menyikapi kezaliman penguasa dan menyerahkan masalah kepada Allah l.
Mereka biasanya hanya menyebutkan sisi-sisi negatif penguasa.
- Tidak memperingatkan dari haramnya memberontak kepada penguasa muslim baik
dengan senjata maupun lisan. Bahkan dengan lisan lebih berbahaya karena bisa menyulut
tindakan anarkis.
- Tidak membantah kelompok Khawarij terutama ciri khas mereka yaitu suka memberontak
terhadap penguasa.
- Memprovokasi massa untuk membenci para pemimpin mereka dan ini jelas terlarang
sebagaimana ucapan Anas bin Malik z di atas. Juga bertolak belakang dengan manhaj Ahlus
Sunnah yaitu melunakkan hati masyarakat dan membimbing mereka supaya taat kepada
para penguasa.
Al-Imam an-Nawawi t mengatakan, “Adapun menasihati para pemimpin kaum muslimin
artinya membantu mereka dalam kebenaran, menaati mereka dalam kebenaran, dan
memerintahkan mereka untuk itu, serta mengingatkan mereka dengan lemah lembut dan
memberitahukan kepada mereka tentang hak-hak kaum muslimin yang mereka lalaikan dan
belum menyampaikannya kepada kaum muslimin. Termasuk nasihat kepada mereka adalah
tidak melakukan pemberontakan kepada mereka serta melunakkan hati manusia agar taat
kepada mereka.” (Syarah Shahih Muslim, dinukil dalam al-Wardul Maqthuf, hlm. 72 dan
lihat hlm. 74)
- Tidak mendoakan kebaikan untuk penguasa. Yang dilakukan kebanyakan orang justru
kebalikannya. Al-Imam al-Barbahari t mengatakan, “Jika kamu melihat seseorang
mendoakan kejelekan terhadap penguasa maka ketahuilah bahwa dia adalah ahli bid’ah dan
jika kamu melihat seseorang mendoakan kebaikan untuk penguasa maka ketahuilah bahwa
dia adalah pengikut As-Sunnah, insya Allah.” Al-Fudhail bin ‘Iyadh t mengatakan,
“Seandainya saya punya doa yang terkabul maka tidak akan saya berikan kecuali untuk
Page | 12
penguasa.” (Syarhus Sunnah, dinukil dari al-Wardul Maqthuf, hlm. 54)
- Tidak melihat sisi maslahat dan mafsadah yang diakibatkan dari perbuatannya yang
seolah-olah hanya luapan emosi, sehingga mengakibatkan banyak korban sampai-sampai
yang tidak tahu apa-apa juga terkena imbasnya.
- Itu semua lepas dari apa yang tersembunyi dalam hati mereka dari niat dan keyakinan,
namun Allah Mahatahu.
- Tidak ada satu pun ulama Ahlus Sunnah yang menganggap riwayat dari ‘Ali, Abu Sa’id
al-Khudri, Asma’, dan Ibnu ‘Umar g sebagai manhaj yang tetap dan menganjurkan umat
untuk mengingkari penguasa/pemerintah secara terang-terangan. Justru sebaliknya, mereka
menganjurkan umat untuk sabar dan tidak menjamah penguasanya ketika zalim, dengan
dalil riwayat dari para sahabat di atas. Bila riwayat-riwayat di atas tetap dipaksakan sebagai
dalil tentang bolehnya membicarakan kemungkaran penguasa di depan umum, maka orang
yang seperti ini persis seperti yang Allah l sebutkan dalam ayat:
“Sementara orang orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka
mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk
mencari-cari takwilnya.” (Ali ‘Imran: 7)
- Tidak satu pun kitab-kitab ulama dalam pembahasan ushuluddin (pokok agama) yang
melewatkan pembahasan ini, yaitu manhaj al-haq (adalah) bersabar dalam menyikapi
kezaliman penguasa dan tidak membicarakan kejelekan mereka di depan umum.
7. Melihat makna nasihat yaitu iradatul khair lilmanshuh lahu, yakni menginginkan kebaikan
untuk yang dinasihati (Jami’ul Ulum wal Hikam, 1/207, tahqiq Thariq ‘Iwadhullah).
Menasihati penguasa artinya menginginkan kebaikan baginya. Sedangkan dengan
keterangan di atas tampaknya perbuatan mereka bukan termasuk nasihat sama sekali
walaupun mereka sebut demikian. Oleh karena itu, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin t mengatakan, “Sesungguhnya menyelisihi penguasa pada perkara yang bukan
darurat dari masalah agama dengan terang-terangan dan mengingkarinya di forum-forum,
masjid-masjid, media massa, mimbar-mimbar, dan sebagainya, bukan termasuk nasihat
sama sekali. Maka jangan tertipu dengan siapa saja yang melakukan demikian walaupun
niatnya baik, karena hal itu menyelisihi perbuatan as-salafush shalih yang menjadi teladan.”
(Mu’amalatul Hukkam, hlm. 156)
Sebagai penutup, perhatikan baik-baik ucapan seorang tabi’in al-Hasan al-Bashri t dalam
masalah pemerintah, “Mereka mengurusi lima urusan kita: (shalat) Jum’at, (shalat) jamaah,
Page | 13
‘Id (hari raya), perbatasan, dan hukum had. Demi Allah, agama ini tidak akan tegak kecuali
dengan mereka, walaupun mereka itu zalim dan curang. Demi Allah, sungguh apa yang Allah
l perbaiki dengan mereka lebih banyak dari apa yang mereka rusak…” (Mu’amalatul
Hukkam, hlm. 7—8)
Pembahasan ini bukanlah bertujuan untuk membela kezaliman penguasa atau karena
ketidaktahuan atas kezaliman mereka, namun untuk membela syariat Allah l dalam masalah
ini.
Wallahu a’lam.

1 Sebagian ahlul ilmi melemahkannya, namun asy-Syaikh al-Albani mensahihkannya.


2 Seperti pengingkaran Abu Sa’id al-Khudri terhadap Marwan ibnul Hakam, pengingkaran
Asma’ terhadap al-Hajjaj, ‘Ali bin Abu Thalib terhadap ‘Utsman, dan Ibnu ‘Umar terhadap
al-Hajjaj sebagaimana disebutkan dalam majalah Majalah Salafy (edisi 02 tahun V, hlm.
17—26) oleh penulisnya, untuk melegitimasi perbuatannya dalam mencaci-maki
pemerintah dengan terang-terangan. Padahal sebagian besar perbuatan tersebut tidak
secara jelas menunjukkan bahwa mereka melakukannya di depan khalayak ramai. Atau tidak
tegas menunjukkan nasihat kepada penguasa secara langsung dan ta’yin (tertentu). Maka,
berdalil dengannya berarti istidlal fi ghairi mahallin niza’ (berdalil dengan dalil yang tidak
berbicara dalam permasalahan yang diperselisihkan).
---------
Pemberontakan Tidak Akan Membawa Dampak Positif

Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 005

(ditulis oleh: Al-Ustadz Muhammad Umar as-Sewed) Page | 14

Hadits-hadits yang telah dijelaskan sebelumnya mengingatkan kaum muslimin, jika


mengharapkan munculnya penguasa yang baik dan saleh, maka harus menjadi rakyat yang
baik dan saleh. Jalanilah apa yang Allah l perintahkan, ikutilah apa yang Rasulullah n
sunnahkan, sebarkanlah ilmu, dan anjurkanlah agar manusia beramal dengannya, baik
mereka sebagai penguasa maupun sebagai rakyat jelata. Niscaya dengan ini, Allah l akan
memberikan apa yang kita harapkan, karena Rasulullah n menyatakan bahwa urusannya
sangat dekat.
Emosi dan pemberontakan hanya akan melahirkan dampak negatif. Selain itu,
pemberontakan hanya akan menghasilkan kekacauan, penjarahan, dan pertumpahan darah.
Bahkan yang diperintahkan kepada kaum muslimin adalah bersabar atas kezaliman
penguasa dan menghadapi gangguan mereka dengan tabah. Karena yang demikian dapat
mencegah timbulnya kerusakan yang lebih besar baik kerusakan pada agama maupun
kerusakan materi, yang terjadi akibat ketidaksabaran dan pemberontakan.
Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi t berkata, “Adapun keharusan taat kepada mereka walaupun jahat
adalah karena dengan memberontak kepada mereka (justru) akan mengakibatkan
kerusakan yang berlipat ganda lebih daripada kejahatan mereka. Sungguh dalam kesabaran
(terhadap kejahatan mereka), ada penghapusan terhadap dosa-dosa dan pahala yang
berlipat-lipat, karena sesungguhnya Allah l menguasakan mereka (yang jahat, pen.) atas kita
karena amalan-amalan kita yang jelek. Sedangkan suatu balasan adalah sesuai dengan
bentuk amalannya. Maka wajib atas kita untuk bersungguh-sungguh dalam meminta ampun
kepada Allah l dan bertaubat serta memperbaiki amalan. Allah l berfirman:
“Dan tidaklah menimpa kalian suatu musibah kecuali disebabkan perbuatan kalian sendiri,
dan Allah memaafkan banyak (yang lainnya).” (asy-Syura: 30)
Abu Bakr al-Marwadzi t berkata, “Aku mendengar Abu Abdillah (al-Imam Ahmad t)
memerintahkan untuk menahan/mencegah tertumpahnya darah dan mengingkari
pemberontakan dengan pengingkaran yang keras.” (Riwayat al-Khallal dalam as-Sunnah
dengan sanad yang sahih, hlm. 131, cet. Darur Rayyah ar-Riyadh)
Menyikapi Penguasa Yang Kejam

Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 005

(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.) Page | 15

Catatan sejarah membuktikan, setiap pemberontakan yang tidak dibimbing oleh ilmu syar’i
selalu melahirkan kerusakan dan berakhir dengan kekacauan yang lebih besar daripada
kezaliman penguasa itu sendiri. Maka, sikap sabar sebagaimana diamanatkan Rasulullah n
dan para sahabatnya, mesti kita miliki ketika kita dihadapkan kepada pemerintahan yang
zalim.

Sabar terhadap kezaliman penguasa adalah salah satu prinsip dari prinsip-prinsip Ahlus
Sunnah wal Jamaah. (Majmu’ Fatawa, 28/179, dinukil dari Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 163)
Itulah salah satu ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t yang terlupakan atau tidak diketahui
oleh kaum muslimin yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah. Hampir seluruh kelompok
pergerakan yang muncul di abad ini atau sebelumnya melalaikan prinsip ini. Entah karena
lupa, tidak tahu, atau karena sengaja.
Barangkali akan ada yang mengatakan, “Penguasa sekarang lain dengan penguasa dahulu!”
Untuk menjawab pernyataan itu, seorang ulama bernama Abul Walid ath-Thartusi t berkata,
“Jika kamu berkata bahwa raja-raja (penguasa) di masa ini tidak seperti raja-raja di masa
lalu, maka (dijawab) bahwa rakyat sekarang pun tidak seperti rakyat di masa lalu. Kamu
tidak lebih berhak mencela penguasamu ketika kamu menengok (membandingkan dengan)
penguasa dahulu daripada penguasamu mencela kamu ketika dia menengok rakyat yang
hidup di masa lalu. Maka jika penguasamu berbuat zalim terhadap kamu, hendaknya kamu
bersabar dan dosanya ditanggung (penguasa itu).
Sejauh ini saya masih mendengar ucapan orang, ‘Amal-amal kalian adalah para penguasa
kalian,’ ‘Sebagaimana kalian, maka seperti itulah penguasa kalian,’ sampai pada akhirnya
saya mendapatkan makna semacam itu dalam Al-Qur’an (ketika) Allah l berfirman:
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menguasai sebagian
yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (al-An’am: 129)
Dahulu juga dikatakan, ‘Apa yang kamu ingkari pada masamu adalah karena dirusak oleh
amalmu’.”
Abdul Malik bin Marwan juga mengatakan, “Berbuat adillah kalian, wahai rakyat! Kalian
menginginkan kami untuk berjalan dengan perihidup Abu Bakr dan ‘Umar, padahal kalian
tidak berbuat demikian terhadap kami dan pada diri kalian.” (Sirajul Muluk, hlm. 100—101,
dinukil dari Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 165—166)
Page | 16
Inilah hakikat yang perlu diketahui dan selalu diingat, bahwa munculnya penguasa jahat
adalah karena amal kita yang jahat juga, seperti perbuatan maksiat, bid’ah, khurafat, dan
perbuatan syirik kepada Allah l. Camkan ini wahai para tokoh pergerakan!
Sikap kalian dengan memberontak, mencaci-maki, merendahkan, atau bahkan mengafirkan
para penguasa justru membuat penguasa semakin bengis. Bukan hanya kepada kalian,
namun juga kepada orang-orang yang tidak berdosa. Inilah akibat dari amalan bid’ah yang
bertentangan dengan prinsip Ahlus Sunnah.
Jangan kalian sangka bahwa dengan perbuatan itu kalian sedang berjihad dan menegakkan
Islam. Namun sebaliknya, kalian sungguh sedang menggerogoti Sunnah Nabi n untuk
meruntuhkan salah satu penyangga ajaran Islam.
Sikap yang benar untuk menyudahi kezaliman penguasa adalah dengan memperbaiki amal
kita baik dari sisi akidah, metode dakwah, ibadah, maupun akhlak serta mengikuti ajaran
Rasulullah n dalam menghadapi penguasa.
Al-Hasan al-Bashri t mengatakan, “Ketahuilah—semoga Allah l memberimu ‘afiyah
(keselamatan)—bahwa kezaliman para raja merupakan azab dari Allah l. Dan azab Allah l itu
tidak dihadapi dengan pedang, akan tetapi dihindari dengan doa, taubat, kembali kepada
Allah l, serta mencabut segala dosa. Sungguh azab Allah l jika dihadapi dengan pedang maka
ia lebih bisa memotong.” (asy-Syari’ah karya al-Imam al-Ajurri t, hlm. 38, dinukil dari Fiqih
Siyasah Syar’iyyah, hlm. 166—167).
Perlu pula diketahui bahwa munculnya penguasa-penguasa yang jahat bukan satu hal yang
baru. Dalam sejarah Islam tercatat sejak masa para sahabat masih hidup telah muncul
seorang pemimpin yang luar biasa bengisnya melebihi para penguasa di masa ini. Bahkan
penguasa itu sampai mendapat julukan resmi dari Rasulullah n sebagai al-Mubir
(pembinasa). Penguasa tersebut adalah al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi.
Bukan hanya ulama yang ia bunuh, bahkan sebagian sahabat pun ia bunuh. Jumlahnya pun
bukan sekadar ratusan, namun mencapai ribuan. Ibnu Hajar t menukilkan riwayat dari
Hisyam bin Hassan bahwa ia mengatakan, “Kami menghitung orang yang dibunuh Hajjaj
dengan cara shabran (dibunuh dengan cara tidak diberi makan dan minum) mencapai
120.000 jiwa.” (Tahdzibut Tahdzib, 2/211)
Jumlah tersebut belum termasuk orang-orang yang dibunuh dengan cara lainnya. Dalam
sejarah selalu ada orang semacam ini. Sesungguhnya Nabi n pun telah mengabarkan akan
adanya para penguasa semacam itu melalui sabda-sabda beliau berikut ini:
Page | 17
‫ل‬
َ َ;) .]
ٍ ْ ‫ن ِإ‬
ِ َ^ْ '
ُ 0ِ 
ِ ْ S
ِ َ/
 ‫ب ا‬
ُ ْ*ُ;ُ ْDKُ 7ُْ*ُ;ُ ٌ‫ْ ِر'َ ل‬DKِ ْ ِ ‫*ْ ُم‬Tُ َ +
َ ‫ َو‬0ِ- 4
ُ 7ِ ‫ن‬
َ ْ*Q-َ 4
ْ !َ ?
َ ‫ي َو‬
َ ‫َا‬FKُ 7ِ ‫ن‬
َ ْ‫و‬Fُ َ Kْ !َ ?
َ ٌ  \ِ ‫يْ َأ‬Fِ 6ْ 7َ ‫ن‬
ُ ْ*ُ َ!
d
َ ُ َ 9َ :
ِ ‫ك َوُأ‬
َ ُ Kْ g
َ ‫ب‬
َ ِ h
ُ ْ‫ ِ ْ َ< ِ ْ ِ َوِإن‬3ُ ْ .
ِ Iُ‫ َو‬3ُ َ 4
ْ Iَ :‫ل‬
َ َ; ‫َ؟‬dِ‫ َذ‬f
ُ ‫( ِإنْ َأدْ َر ْآ‬
ِ ‫لا‬
َ ْ*+
ُ ‫ !َ َر‬3ُ -َ V
ْ ‫ َأ‬N
َ ْ ‫ َآ‬:(ُ Hَ !ْ 9َ G
ُ
“Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku, tidak menjalani
sunnahku, dan akan berada pada mereka orang-orang yang hati mereka adalah hati-hati
setan yang berada dalam jasad manusia.” (Hudzaifah berkata), “Wahai Rasulullah, apa yang
aku perbuat jika aku menemui mereka?” Beliau menjawab, “Engkau dengar dan engkau
taati walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (Sahih, HR. Muslim)
ْDُ َ ْ‫ي‬9ِ ‫( ا‬
َ ‫نا‬
َ ْ*ُ<َ4
ْ Iَ ‫ْ َو‬Dُ ْ َ
َ ْ‫ي‬9ِ ‫ ا‬O
P
َ ْ ‫ن ا‬
َ ْ‫دو‬Q Rَ Iُ :‫ل‬
َ َ; ‫ ْ ُ ُ َ ؟‬Iَ ََ (
ِ ‫لا‬
َ ْ*+
ُ ‫ !َ َر‬:‫ ;َ ُ*ا‬. َKَ ْ‫ ِ ُ و‬-ْ Iُ ٌ‫ َ ةٌ َوُأ ُ*ْر‬Bَ ‫يْ َأ‬Fِ 6ْ 7َ ‫ن‬
ُ ْ*ُ َ +
َ َK ‫ِإ‬
“Sesungguhnya akan terjadi setelahku para pemimpin yang mementingkan diri mereka
(tidak memberikan hak kepada orang yang berhak) dan perkara-perkara yang kalian
ingkari.” Mereka mengatakan, “Wahai Rasullullah, apa yang engkau perintahkan kepada
kami?” Beliau menjawab, “Berikan hak mereka yang menjadi kewajiban kalian dan mintalah
kepada Allah hak kalian.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)
Salamah bin Yazid al-Ju’fi z berkata kepada Rasulullah n:
َ ْDKِ ْ َ
َ َِ َ ‫ُ*ا‬6ْ S
ِ ‫*ْا َوَأ‬6ُ َ +
ْ ‫ ا‬:‫ل‬
َ َ; … ‫<ْ ُ ُ َ ؟‬Iَ ََ َ-T G
َ ‫ن‬
َ ْ*6ُ -َ ْ !َ ‫ْ َو‬DKُ T G
َ َْ*ُ<َ 4
ْ !َ ‫َ ُأ َ َا ُء‬-ْ َ
َ ْfَ َ; ْ‫ ِإن‬f
َ !ْ ‫ َأ َرَأ‬،ِ(‫ل ا‬
َ ْ*+
ُ ‫!َ َر‬
ْDُ ِّْ G
ُ َ ْDُ ْ َ
َ ‫ ُِّ*ْا َو‬G
ُ
“Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika pemimpin kami adalah pemimpin yang meminta
kepada kami hak mereka dan tidak memberikan kepada kami hak kami?”… Beliau
menjawab, “Dengar dan taati, sesungguhnya kewajiban mereka apa yang dibebankan
kepada mereka dan kewajiban kalian apa yang dibebankan kepada kalian.” (Sahih, HR.
Muslim)
Maknanya bahwa Allah l mewajibkan dan membebani para penguasa untuk berlaku adil di
antara manusia. Jika tidak mereka lakukan, mereka berdosa. Dan Allah l wajibkan rakyat
untuk mendengar dan taat kepada penguasa. Jika mereka melakukannya, mendapat pahala;
dan jika tidak, berdosa. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 119)
‫ َ َأ;َ ُ*ْا‬،َ? :‫ل‬
َ َTَ ‫ِ؟‬Nْ 4
  ِ7 ْD‫ ُه‬9ُ 7ِ َ-ُ X
َ َ ‫ َأ‬،ِ(‫ل ا‬
َ ْ*ُ+‫ !َ َر‬:[
َ ْ ;ِ .ْDُ َ ْ*-ُ 6َ ْ !َ ‫ْ َو‬DKُ َ ْ*-ُ6َ ْ Iَ ‫ْ َو‬Dُ َ ْ*l
ُ mِ ْ !ُ ‫ْ َو‬DKُ َ ْ*l
ُ mِ ْ Iُ 
َ !ْ 9ِ ‫ ا‬Dُ ُ ِ  \ِ ‫ َا ُر َأ‬
ِ
ٍ 
َ َS ِْ ‫ًا‬F!َ ‫*ْا‬
ُ nِ -ْ Iَ ?
َ ‫ ََ ُ َو‬
َ ‫ ْ َ ُه*ْ َ ُ َ ْآ َ ُه*ْا‬Iَ ً"ْ 
َ ْDُ Iِ ?
َ ‫ْ ِْ ُو‬Dُ !ْ ‫ َوِإذَا َرَأ‬،َ‫ة‬X
َ
 ‫ ا‬Dُ ُ ْ ِ
“Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membencinya dan membenci kalian, yang
kalian melaknatinya dan melaknati kalian.” Dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah,
tidakkah kita melawannya dengan pedang?” Beliau mengatakan, “Jangan, selama ia
mendirikan shalat (di antara) kalian dan jika kalian melihat pada pemimpin kalian sesuatu
yang kalian benci maka bencilah amalnya dan jangan kalian cabut tangan kalian dari
Page | 18
ketaatan.” (Sahih, HR. Muslim)
Beliau ditanya tentang para penguasa oleh ‘Adi bin Hatim z:
‫*ْا‬6ُ ْ S
ِ ‫*ْا َوَأ‬6ُ َ +
ْ ‫( وَا‬
َ ‫ُ*ا ا‬TI‫ ا‬:‫ل‬
َ َTَ -  /
 ‫ َآ َ ا‬9َ َ – [
َ 6َ َ ‫[ َو‬
َ 6َ َ َْ ِْ َ‫ َو‬5َTI ‫ ا‬
ِ َ ِ 
َ َS ْ
َ d
َ ُ<َ 4
ْ َ ?
َ ،ِ(‫ل ا‬
َ ْ*+
ُ ‫ !َ َر‬: َ-ْ ;ُ
Kami katakan, “Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang taat kepada orang
yang bertakwa, akan tetapi tentang orang yang melakukan demikian dan demikian”—ia
menyebutkan kejelekan-kejelekan. Maka Nabi n menjawab, “Bertakwalah kepada Allah,
dengarkan dan taati (penguasa itu).” (HR. Ibnu Abu ‘Ashim, asy-Syaikh al-Albani t
mengatakan, “Hadits yang sahih”, dinukil dari Mu’amalatul Hukkam, hlm. 124)
Itulah penjelasan Rasulullah n yang terbukti kebenarannya. Dengan ilmu yang Rasulullah n
miliki itu, beliau tetap memerintahkan untuk sabar, taat, menunaikan hak, dan sebagainya,
sebagaimana disebutkan pada hadits-hadits di atas. Itulah jalan terbaik dan tidak ada yang
lebih baik selain itu.
Menyikapi penguasa yang zalim jangan hanya didasari oleh emosi atau alasan ghirah
(kecemburuan) keagamaan tanpa mengikuti ajaran Nabi n. Karena bagaimanapun, kita tidak
lebih cemburu dan tidak lebih panas ketika melihat maksiat dibanding Nabi n dan para
sahabatnya.
Nabi n bersabda, “Apakah kalian heran dari cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu
darinya dan Allah lebih cemburu dariku. Oleh karena itu, Allah haramkan hal-hal yang keji,
baik yang tampak maupun yang tidak.” (Muttafaqun ‘alaihi, dari sahabat Sa’d bin ‘Ubadah z)
Ketika Abu Dzar z keluar ke daerah Rabadzah karena menuruti perintah Khalifah ‘Utsman z
disebabkan ia memiliki sebuah permasalahan dengan seseorang, ia berjumpa dengan
serombongan orang Iraq yang mengatakan, “Wahai Abu Dzar, sungguh telah sampai kepada
kami perlakuan yang menimpamu. Maka tegakkanlah bendera (maksudnya ajakan untuk
memberontak), niscaya akan datang kepadamu orang-orang dari mana saja kamu mau.”
Maka beliau menjawab, “Pelan-pelan wahai kaum muslimin. Sungguh saya mendengar
Rasulullah n bersabda, ‘Akan datang setelahku para penguasa maka muliakanlah dia. Barang
siapa yang menghinakannya berarti ia telah membuat satu lubang dalam Islam dan tidak
akan diterima taubat darinya sampai ia mengembalikannya seperti sebelumnya’.” (Riwayat
Ibnu Abu ‘Ashim dalam as-Sunnah no. 1079, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanadnya
sahih.”)
Wallahu a’lam.

--------------- Page | 19
1 Dalam ayat ini ada empat tafsir, salah satunya sebagaimana dalam terjemahan tersebut.
Kapan Dibolehkan Memberontak?

Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 005

(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.) Page | 20

Asy-Syaikh Muhammad Ibnu ‘Utsaimin t mengatakan, “Hendaknya diketahui bahwa


memberontak (kudeta) kepada penguasa adalah tidak diperbolehkan kecuali dengan
syarat-syarat. Rasulullah n telah menerangkannya sebagaimana dalam hadits ‘Ubadah bin
ash-Shamit z:
(
ِ ‫لا‬
َ ْ*+
ُ ‫َ َر‬-6ْ !َ َ7 n ?
 ‫ ِإ‬:‫ل‬
َ َ; ،َُ‫ع ا َْ< ْ َ َأ ْه‬
َ ‫َ ِز‬-ُ ?
 ‫ َوَأ‬-َْ
َ ‫ َ ٍة‬Bَ ‫ ِ َ َوَأ‬4
ْ !ُ َ‫ ِ َ و‬4
ُْ ‫َ َو‬-‫َ َو َ ْ َ ِه‬-.
ِ/َ -ْ َ 0ِ ِ 
َ .‫ وَا‬3ِ ْ 4
 ‫ ا‬5
َ َ
ٌ‫ ْهَ ن‬7ُ (
ِ ‫ا‬
َ ِ ِ ْ ِ ْD‫ ُآ‬Fَ -ْ 
ِ ًG‫*َا‬7َ ‫ ًا‬Hْ ‫ َ وْا ُآ‬Iَ ْ‫َأن‬
“Kami berbai’at kepada Rasulullah untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan kami giat
atau tidak suka, susah atau mudah, dalam keadaan mereka mengutamakan diri mereka
daripada kami dan agar kami tidak merebut urusan (kepemimpinan) dari pemiliknya. Beliau
bersabda, ‘Kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata yang kalian memiliki bukti padanya
dari Allah’.”
Dari hadits di atas kita bisa mengambil pelajaran tentang syarat-syarat kapan dibolehkan
melakukan pemberontakan kepada pemerintah.
Syarat pertama: Kita melihat, yang maknanya kita mengetahui dengan ilmu yang yakin
bahwa penguasa telah melakukan kekafiran.
Syarat kedua: Apa yang dilakukan oleh penguasa adalah benar-benar kekafiran. Bila masih
tergolong perbuatan kefasikan maka tidak boleh memberontak bagaimanapun besar
kefasikan yang dilakukan penguasa.
Syarat ketiga: Dilakukan dengan terang dan jelas, tanpa mengandung penafsiran lain.
Syarat keempat: Kita memiliki bukti dari Allah l dalam hal ini, yakni hal itu berdasarkan bukti
yang pasti dari dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’ umat.
Syarat kelima: Diambil dari dasar-dasar umum agama Islam yaitu kemampuan mereka
(rakyat) untuk menumbangkan penguasa. Jika tidak punya kemampuan, maka akan terbalik,
sehingga malah mencelakakan rakyat yang justru menimbulkan mudarat yang jauh lebih
besar daripada mudarat yang akan diakibatkan jika mendiamkan penguasa tersebut… (Fiqih
Siyasah Syar’iyyah, hlm. 277—278)
Asy-Syaikh Ibnu Baz t mengatakan, “Tidak boleh memberontak kepada penguasa dan
memecah tongkat ketaatan kecuali jika didapati pada penguasa itu kekafiran yang nyata
yang ada buktinya dari Allah l di sisi para pemberontak dan mereka mampu untuk itu
(melakukan pemberontakan) dengan cara yang tidak menimbulkan kemungkaran dan
kerusakan yang lebih besar.” (Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 185)
Page | 21
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Adapun menyikapi penguasa yang kafir (jika
benar-benar kafir sebagaimana perincian di atas, red.) maka (menyikapinya) berbeda-beda
sesuai dengan keadaannya. Jika kaum muslimin punya kekuatan dan mereka mampu untuk
menyingkirkan (penguasa kafir itu) dari kekuasaannya serta menggantikan dengan penguasa
muslim maka hal itu wajib atas mereka, dan ini termasuk jihad di jalan Allah l. Adapun jika
mereka tidak mampu menyingkirkannya maka tidak diperbolehkan bagi mereka melawan
orang-orang zalim dan kafir, karena ini akan mengakibatkan kebinasaan kaum muslimin.
Nabi n hidup di Makkah selama 13 tahun setelah kenabian dalam keadaan kepemimpinan
waktu itu di tangan orang-orang kafir, dan bersama beliau (telah ada) para sahabat yang
masuk Islam akan tetapi beliau tidak melawan orang-orang kafir itu. Bahkan mereka (para
sahabat) dilarang untuk melawan orang-orang kafir di masa itu.” (Fiqih Siyasah Syar’iyyah,
hlm. 287—288)
Perlu diketahui bahwa berhukum dengan selain hukum Allah l tidak termasuk kekufuran
yang nyata akan tetapi termasuk kufrun duna kufrin atau kufur kecil (lihat pembahasan
tentang Kufur pada Majalah Syariah edisi 4) kecuali jika:
1. Meyakini bahwa selain hukum Allah l lebih baik dari hukum Allah l.
2. Meyakini bahwa berhukum dengan selain hukum Allah l boleh dan sama dengan hukum
Allah l.
3. Meyakini bahwa berhukum dengan selain hukum Allah l boleh walaupun meyakini bahwa
hukum Allah l lebih baik dari hukum selainnya. (Fatwa asy-Syaikh Ibnu Baz dalam Fiqih
Siyasah Syar’iyyah, hlm. 91)
Wallahu a’lam.

------------
Alhamdulillah,
Selesai pembuatan file pdf,
Surakarta, Sabtu 5 Mei 2012
Admin Maktabah IMU
Page | 22

Abdurahman Baharudin wahid


http://islamicandmedicalupdates.blogspot.com
baharudinwahida@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai