05
MENYIKAPI KEJAHATAN
PENGUASA
Kewajiban taat kepada pemerintah merupakan salah satu prinsip Islam yang agung. Namun
di tengah karut-marutnya kehidupan politik di negeri-negeri muslim, prinsip ini menjadi bias
dan sering dituding sebagai bagian dari gerakan pro status quo. Padahal, agama yang
sempurna ini telah mengatur bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap
pemerintahnya, baik yang adil maupun yang zalim.
KKN, represivitas penguasa, kedekatan pemerintah dengan Barat (baca: kaum kafir),
seringkali menjadi isu yang diangkat sekaligus dijadikan pembenaran untuk melawan
pemerintah. Dari yang ‘sekadar’ demonstrasi, hingga yang berujud pemberontakan fisik.
Meski terkadang isu-isu itu benar, namun sesungguhnya syariat yang mulia ini telah
mengatur bagaimana seharusnya seorang muslim bersikap kepada pemerintahnya, sehingga
diharapkan tidak timbul kerusakan yang jauh lebih besar.
Yang menyedihkan, Islam atau jihad justru yang paling laris dijadikan tameng untuk
melegalkan gerakan-gerakan perlawanan ini. Di antara mereka bahkan ada yang menjadikan
tegaknya khilafah Islamiyah sebagai harga mati dari tujuan dakwahnya. Mereka pun
berangan-angan, seandainya kejayaan Islam di masa khalifah Abu Bakr dan Umar bin
al-Khaththab c dapat tegak kembali di masa kini.
Jika diibaratkan, apa yang dilakukan kelompok-kelompok Islam ini seperti “menunggu hujan
yang turun, air di bejana ditumpahkan”. Mereka sangat berharap akan tegaknya khilafah
Umar bin al-Khaththab z, namun kewajiban yang Allah l perintahkan kepada mereka
terhadap penguasa yang ada di hadapan mereka, justru dilupakan. Padahal dengan itu, Allah
l akan mengabulkan harapan mereka dan harapan seluruh kaum muslimin.
1 Maksudnya seperti keadaan matinya orang-orang jahiliah yaitu di atas kesesatan dan tidak
memiliki pemimpin yang ditaati karena mereka dahulu tidak mengetahui hal itu. (Fathul
Bari, 7/13, dinukil dari Mu’amalatul Hukkam hlm. 166, red.)
2 Kalimat mujadda’ bermakna terpotong anggota badannya atau cacat, seperti terpotong
telinga, hidung, tangan, atau kakinya. Namun sering kalimat mujadda’ dipakai dengan
maksud terpotong hidungnya. Sedangkan mujadda’ul athraf, Ibnu Atsir t dalam an-Nihayah
berkata, “Maknanya adalah terpotong-potong anggota badannya, ditasydidkan huruf
‘dal’-nya untuk menunjukkan banyak.” (pen.)
--------------------
Cara Menasehati Penguasa
Catatan sejarah membuktikan, setiap pemberontakan yang tidak dibimbing oleh ilmu syar’i
selalu melahirkan kerusakan dan berakhir dengan kekacauan yang lebih besar daripada
kezaliman penguasa itu sendiri. Maka, sikap sabar sebagaimana diamanatkan Rasulullah n
dan para sahabatnya, mesti kita miliki ketika kita dihadapkan kepada pemerintahan yang
zalim.
Sabar terhadap kezaliman penguasa adalah salah satu prinsip dari prinsip-prinsip Ahlus
Sunnah wal Jamaah. (Majmu’ Fatawa, 28/179, dinukil dari Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 163)
Itulah salah satu ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t yang terlupakan atau tidak diketahui
oleh kaum muslimin yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah. Hampir seluruh kelompok
pergerakan yang muncul di abad ini atau sebelumnya melalaikan prinsip ini. Entah karena
lupa, tidak tahu, atau karena sengaja.
Barangkali akan ada yang mengatakan, “Penguasa sekarang lain dengan penguasa dahulu!”
Untuk menjawab pernyataan itu, seorang ulama bernama Abul Walid ath-Thartusi t berkata,
“Jika kamu berkata bahwa raja-raja (penguasa) di masa ini tidak seperti raja-raja di masa
lalu, maka (dijawab) bahwa rakyat sekarang pun tidak seperti rakyat di masa lalu. Kamu
tidak lebih berhak mencela penguasamu ketika kamu menengok (membandingkan dengan)
penguasa dahulu daripada penguasamu mencela kamu ketika dia menengok rakyat yang
hidup di masa lalu. Maka jika penguasamu berbuat zalim terhadap kamu, hendaknya kamu
bersabar dan dosanya ditanggung (penguasa itu).
Sejauh ini saya masih mendengar ucapan orang, ‘Amal-amal kalian adalah para penguasa
kalian,’ ‘Sebagaimana kalian, maka seperti itulah penguasa kalian,’ sampai pada akhirnya
saya mendapatkan makna semacam itu dalam Al-Qur’an (ketika) Allah l berfirman:
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menguasai sebagian
yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (al-An’am: 129)
Dahulu juga dikatakan, ‘Apa yang kamu ingkari pada masamu adalah karena dirusak oleh
amalmu’.”
Abdul Malik bin Marwan juga mengatakan, “Berbuat adillah kalian, wahai rakyat! Kalian
menginginkan kami untuk berjalan dengan perihidup Abu Bakr dan ‘Umar, padahal kalian
tidak berbuat demikian terhadap kami dan pada diri kalian.” (Sirajul Muluk, hlm. 100—101,
dinukil dari Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 165—166)
Page | 16
Inilah hakikat yang perlu diketahui dan selalu diingat, bahwa munculnya penguasa jahat
adalah karena amal kita yang jahat juga, seperti perbuatan maksiat, bid’ah, khurafat, dan
perbuatan syirik kepada Allah l. Camkan ini wahai para tokoh pergerakan!
Sikap kalian dengan memberontak, mencaci-maki, merendahkan, atau bahkan mengafirkan
para penguasa justru membuat penguasa semakin bengis. Bukan hanya kepada kalian,
namun juga kepada orang-orang yang tidak berdosa. Inilah akibat dari amalan bid’ah yang
bertentangan dengan prinsip Ahlus Sunnah.
Jangan kalian sangka bahwa dengan perbuatan itu kalian sedang berjihad dan menegakkan
Islam. Namun sebaliknya, kalian sungguh sedang menggerogoti Sunnah Nabi n untuk
meruntuhkan salah satu penyangga ajaran Islam.
Sikap yang benar untuk menyudahi kezaliman penguasa adalah dengan memperbaiki amal
kita baik dari sisi akidah, metode dakwah, ibadah, maupun akhlak serta mengikuti ajaran
Rasulullah n dalam menghadapi penguasa.
Al-Hasan al-Bashri t mengatakan, “Ketahuilah—semoga Allah l memberimu ‘afiyah
(keselamatan)—bahwa kezaliman para raja merupakan azab dari Allah l. Dan azab Allah l itu
tidak dihadapi dengan pedang, akan tetapi dihindari dengan doa, taubat, kembali kepada
Allah l, serta mencabut segala dosa. Sungguh azab Allah l jika dihadapi dengan pedang maka
ia lebih bisa memotong.” (asy-Syari’ah karya al-Imam al-Ajurri t, hlm. 38, dinukil dari Fiqih
Siyasah Syar’iyyah, hlm. 166—167).
Perlu pula diketahui bahwa munculnya penguasa-penguasa yang jahat bukan satu hal yang
baru. Dalam sejarah Islam tercatat sejak masa para sahabat masih hidup telah muncul
seorang pemimpin yang luar biasa bengisnya melebihi para penguasa di masa ini. Bahkan
penguasa itu sampai mendapat julukan resmi dari Rasulullah n sebagai al-Mubir
(pembinasa). Penguasa tersebut adalah al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi.
Bukan hanya ulama yang ia bunuh, bahkan sebagian sahabat pun ia bunuh. Jumlahnya pun
bukan sekadar ratusan, namun mencapai ribuan. Ibnu Hajar t menukilkan riwayat dari
Hisyam bin Hassan bahwa ia mengatakan, “Kami menghitung orang yang dibunuh Hajjaj
dengan cara shabran (dibunuh dengan cara tidak diberi makan dan minum) mencapai
120.000 jiwa.” (Tahdzibut Tahdzib, 2/211)
Jumlah tersebut belum termasuk orang-orang yang dibunuh dengan cara lainnya. Dalam
sejarah selalu ada orang semacam ini. Sesungguhnya Nabi n pun telah mengabarkan akan
adanya para penguasa semacam itu melalui sabda-sabda beliau berikut ini:
Page | 17
ل
َ َ;) .]
ٍ ْ ن ِإ
ِ َ^ْ '
ُ 0ِ
ِ ْ S
ِ َ/
ب ا
ُ ْ*ُ;ُ ْDKُ 7ُْ*ُ;ُ ٌْ ِر'َ لDKِ ْ ِ *ْ ُمTُ َ +
َ َو0ِ- 4
ُ 7ِ ن
َ ْ*Q-َ 4
ْ !َ ?
َ ي َو
َ َاFKُ 7ِ ن
َ ْوFُ َ Kْ !َ ?
َ ٌ \ِ يْ َأFِ 6ْ 7َ ن
ُ ْ*ُ َ!
d
َ ُ َ 9َ :
ِ ك َوُأ
َ ُ Kْ g
َ ب
َ ِ h
ُ ْ ِ ْ َ< ِ ْ ِ َوِإن3ُ ْ .
ِ Iُ َو3ُ َ 4
ْ Iَ :ل
َ َ; َ؟dِ َذf
ُ ( ِإنْ َأدْ َر ْآ
ِ لا
َ ْ*+
ُ !َ َر3ُ -َ V
ْ َأN
َ ْ َآ:(ُ Hَ !ْ 9َ G
ُ
“Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku, tidak menjalani
sunnahku, dan akan berada pada mereka orang-orang yang hati mereka adalah hati-hati
setan yang berada dalam jasad manusia.” (Hudzaifah berkata), “Wahai Rasulullah, apa yang
aku perbuat jika aku menemui mereka?” Beliau menjawab, “Engkau dengar dan engkau
taati walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (Sahih, HR. Muslim)
ْDُ َ ْي9ِ ( ا
َ نا
َ ْ*ُ<َ4
ْ Iَ ْ َوDُ ْ َ
َ ْي9ِ اO
P
َ ْ ن ا
َ ْدوQ Rَ Iُ :ل
َ َ; ْ ُ َُ ؟Iَ ََ (
ِ لا
َ ْ*+
ُ !َ َر: ;َ ُ*ا. َKَ ْ ِ ُو-ْ Iُ ٌ َةٌ َوُأ ُ*ْرBَ يْ َأFِ 6ْ 7َ ن
ُ ْ*ُ َ +
َ َK ِإ
“Sesungguhnya akan terjadi setelahku para pemimpin yang mementingkan diri mereka
(tidak memberikan hak kepada orang yang berhak) dan perkara-perkara yang kalian
ingkari.” Mereka mengatakan, “Wahai Rasullullah, apa yang engkau perintahkan kepada
kami?” Beliau menjawab, “Berikan hak mereka yang menjadi kewajiban kalian dan mintalah
kepada Allah hak kalian.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)
Salamah bin Yazid al-Ju’fi z berkata kepada Rasulullah n:
َ ْDKِ ْ َ
َ َِ َ ُ*ا6ْ S
ِ *ْا َوَأ6ُ َ +
ْ ا:ل
َ َ; … <ْ ُ َُ ؟Iَ ََ َ-T G
َ ن
َ ْ*6ُ -َ ْ !َ ْ َوDKُ T G
َ َْ*ُ<َ 4
ْ !َ َ ُأ ََا ُء-ْ َ
َ ْfَ َ; ْ ِإنf
َ !ْ َأ َرَأ،ِ(ل ا
َ ْ*+
ُ !َ َر
ْDُ ِّْ G
ُ َ ْDُ ْ َ
َ ُِّ*ْا َوG
ُ
“Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika pemimpin kami adalah pemimpin yang meminta
kepada kami hak mereka dan tidak memberikan kepada kami hak kami?”… Beliau
menjawab, “Dengar dan taati, sesungguhnya kewajiban mereka apa yang dibebankan
kepada mereka dan kewajiban kalian apa yang dibebankan kepada kalian.” (Sahih, HR.
Muslim)
Maknanya bahwa Allah l mewajibkan dan membebani para penguasa untuk berlaku adil di
antara manusia. Jika tidak mereka lakukan, mereka berdosa. Dan Allah l wajibkan rakyat
untuk mendengar dan taat kepada penguasa. Jika mereka melakukannya, mendapat pahala;
dan jika tidak, berdosa. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 119)
َ َأ;َ ُ*ْا،َ? :ل
َ َTَ ِ؟Nْ 4
ِ7 ْD ُه9ُ 7ِ َ-ُ X
َ َ َأ،ِ(ل ا
َ ْ*ُ+ !َ َر:[
َ ْ ;ِ .ْDُ َ ْ*-ُ 6َ ْ !َ ْ َوDKُ َ ْ*-ُ6َ ْ Iَ ْ َوDُ َ ْ*l
ُ mِ ْ !ُ ْ َوDKُ َ ْ*l
ُ mِ ْ Iُ
َ !ْ 9ِ اDُ ُ ِ \ِ َا ُر َأ
ِ
ٍ
َ َS ِْ ًاF!َ *ْا
ُ nِ -ْ Iَ ?
َ ََ ُ َو
َ ْ َ ُه*ْ َ ُ َ ْآ َ ُه*ْاIَ ً"ْ
َ ْDُ Iِ ?
َ ْ ِْ ُوDُ !ْ َوِإذَا َرَأ،َةX
َ
اDُ ُ ْ ِ
“Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membencinya dan membenci kalian, yang
kalian melaknatinya dan melaknati kalian.” Dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah,
tidakkah kita melawannya dengan pedang?” Beliau mengatakan, “Jangan, selama ia
mendirikan shalat (di antara) kalian dan jika kalian melihat pada pemimpin kalian sesuatu
yang kalian benci maka bencilah amalnya dan jangan kalian cabut tangan kalian dari
Page | 18
ketaatan.” (Sahih, HR. Muslim)
Beliau ditanya tentang para penguasa oleh ‘Adi bin Hatim z:
*ْا6ُ ْ S
ِ *ْا َوَأ6ُ َ +
ْ ( وَا
َ ُ*ا اTI ا:ل
َ َTَ - /
َآ َ ا9َ َ – [
َ 6َ َ [ َو
َ 6َ َ َْ ِْ َ َو5َTI ا
ِ َ ِ
َ َS ْ
َ d
َ ُ<َ 4
ْ َ ?
َ ،ِ(ل ا
َ ْ*+
ُ !َ َر: َ-ْ ;ُ
Kami katakan, “Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang taat kepada orang
yang bertakwa, akan tetapi tentang orang yang melakukan demikian dan demikian”—ia
menyebutkan kejelekan-kejelekan. Maka Nabi n menjawab, “Bertakwalah kepada Allah,
dengarkan dan taati (penguasa itu).” (HR. Ibnu Abu ‘Ashim, asy-Syaikh al-Albani t
mengatakan, “Hadits yang sahih”, dinukil dari Mu’amalatul Hukkam, hlm. 124)
Itulah penjelasan Rasulullah n yang terbukti kebenarannya. Dengan ilmu yang Rasulullah n
miliki itu, beliau tetap memerintahkan untuk sabar, taat, menunaikan hak, dan sebagainya,
sebagaimana disebutkan pada hadits-hadits di atas. Itulah jalan terbaik dan tidak ada yang
lebih baik selain itu.
Menyikapi penguasa yang zalim jangan hanya didasari oleh emosi atau alasan ghirah
(kecemburuan) keagamaan tanpa mengikuti ajaran Nabi n. Karena bagaimanapun, kita tidak
lebih cemburu dan tidak lebih panas ketika melihat maksiat dibanding Nabi n dan para
sahabatnya.
Nabi n bersabda, “Apakah kalian heran dari cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu
darinya dan Allah lebih cemburu dariku. Oleh karena itu, Allah haramkan hal-hal yang keji,
baik yang tampak maupun yang tidak.” (Muttafaqun ‘alaihi, dari sahabat Sa’d bin ‘Ubadah z)
Ketika Abu Dzar z keluar ke daerah Rabadzah karena menuruti perintah Khalifah ‘Utsman z
disebabkan ia memiliki sebuah permasalahan dengan seseorang, ia berjumpa dengan
serombongan orang Iraq yang mengatakan, “Wahai Abu Dzar, sungguh telah sampai kepada
kami perlakuan yang menimpamu. Maka tegakkanlah bendera (maksudnya ajakan untuk
memberontak), niscaya akan datang kepadamu orang-orang dari mana saja kamu mau.”
Maka beliau menjawab, “Pelan-pelan wahai kaum muslimin. Sungguh saya mendengar
Rasulullah n bersabda, ‘Akan datang setelahku para penguasa maka muliakanlah dia. Barang
siapa yang menghinakannya berarti ia telah membuat satu lubang dalam Islam dan tidak
akan diterima taubat darinya sampai ia mengembalikannya seperti sebelumnya’.” (Riwayat
Ibnu Abu ‘Ashim dalam as-Sunnah no. 1079, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanadnya
sahih.”)
Wallahu a’lam.
--------------- Page | 19
1 Dalam ayat ini ada empat tafsir, salah satunya sebagaimana dalam terjemahan tersebut.
Kapan Dibolehkan Memberontak?
------------
Alhamdulillah,
Selesai pembuatan file pdf,
Surakarta, Sabtu 5 Mei 2012
Admin Maktabah IMU
Page | 22