Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Persalinan preterm merupakan persalinan yang terjadi pada usia kehamilan


antara 20 minggu atau lebih sampai dengan kurang dari 37 minggu yang dihitung
menggunakan HPHT (hari pertama haid terakhir)1. Diagnosis persalinan preterm
ditegakkan menggunakan tiga kriteria, diantaranya usia kehamilan <37 minggu,
terjadi kontraksi 4 kali dalam 20 menit atau 8 kali dalam 60 menit diikuti dengan
perubahan serviks yang progresif, dan adanya pembukaan serviks ≥2 cm. Sampai
saat ini, angka kematian ibu dan bayi akibat persalinan preterm masih tinggi. Hal
ini berhubungan dengan tingkat kematangan organ pada bayi, seperti paru-paru,
otak dan gastrointestinal2.
WHO pada tahun 2012 melaporkan dalam laporannya yang berjudul Born
too Soon, pada persalinan preterm diperkirakan 15 juta bayi dilahirkan setiap
tahunnya dan angka ini terus meningkat. Selain itu, WHO juga melaporkan bahwa
Indonesia masuk dalam sebelas besar (peringkat ke-9) sebagai negara dengan
tingkat persalinan preterm lebih dari 15% kelahiran dan 10 besar (peringkat ke 5)
penyumbang 60% persalinan preterm di dunia dengan angka kelahiran preterm
15,5/100 kelahiran hidup. Kelahiran preterm merupakan penyebab dua pertiga dari
kasus kematian neonatus di Indonesia dan sekitar 48% diantaranya disebabkan
akibat persalinan preterm. Sedangkan di seluruh dunia, kematian neonatal
disebabkan 60-80% akibat kelahiran prematur3.
Banyak penelitan yang telah dilakukan dengan tujuan untuk mencari faktor-
faktor risiko penyebab persalinan preterm. Faktor risiko penyebab kelahiran
preterm diantaranya faktor usia ibu yang ekstrem yaitu 35 tahun sebanyak 64%.
Terdapat 40% persalinan prematur di USA yang disebabkan oleh status marital,
34% akibat KPD, 30% akibat interval persalinan yang terlalu dekat, kehamilan
multiple sebanyak 60%, persalinan prematur sebelumnya sebanyak 22% dan faktor
idiopatik yang belum diketahui jumlah pastinya4.

1
Angka Kematian Balita (AKBA) 97/1000 Kelahiran Hidup, Angka
Kematian Bayi (AKB) 71/1000 kelahiran hidup yaitu sebesar 20 per seribu
kelahiran hidup. Satu angka kematian bayi di Indonesia menurut SDKI (Survei
Demografi Kesehatan Indonesia) tahun 2002-2003 adalah 57 % jumlah kematian
bayi terjadi pada umur dibawah 1 bulan. Penyebab tersebut antara lain karena
gangguan perinatal dan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendafh (BBLR) dan
prematur merupakan penyebab kematian neonatal yang tinggi yaitu sebesar 30,3 %
dari AKB 35 per seribu kelahiran hidup5.
Tingginya angka kematian balita dan bayi akibat persalinan preterm yang
tinggi di Indonesia membuat penulis tertarik untuk menulis laporan ini. Laporan
diharapkan dapat menambah wawasan tenaga medis khususnya dokter umum dan
bidan agar bisa mencegah kejadian persalinan prematur di Indonesia.

2
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI
Nama : Ny. FF
Umur : 18 tahun
Tanggal lahir : 1 Juli 1999
Alamat : Dusun 4, Muara Padang, Banyuasin
Suku Bangsa : Sumatera
Warga Negara : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
MRS : 13 November 2017 pukul 15.20
No. RM : 1033350

II. ANAMNESIS (Tanggal 13 November 2017)


Keluhan Utama
Mau melahirkan dengan hamil kurang bulan

Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang dengan keluhan perut mules yang menjalar ke pinggang
makin lama makin kuat dan sering. Riwayat keluar darah lendir (+), riwayat
keluar air-air (-), riwayat minum obat atau jamu (-), riwayat jatuh (-), riwayat
diurut(-). Pasien sebelumnya ke bindan dan dikatakan hamil kurang bulan
dengan mau melahirkan. Riwayat darah tinggi (-), riwayat kencing manis (-).
Pasien mengaku gerakan anak masih dirasakan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat darah tinggi (-)
Riwayat darah tinggi pada kehamilan (-)
Riwayat kencing manis (-)

3
Riwayat asma (-)

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


Riwayat persalinan prematur dalam keluarga (-)
Riwayat darah tinggi dalam keluarga (-)
Riwayat kencing manis (-)

Riwayat Pengobatan
Os mengaku tidak mendapat pengobatan sebelumnya

Status Sosioekonomi dan Gizi : kurang


Status pernikahan : 1 kali, lamanya 8 bulan
Status reproduksi : menarhe 13 tahun, siklus teratur 28 hari,
lamanya 7 hari, HPHT 7 April 2017
Status persalinan : hamil ini

Riwayat Kehamilan Sekarang


HPHT : 7 April 2017
Taksiran persalinan : 14 Januari 2018
ANC : pasien tidak pernah melakukan asuhan antenatal
selama kehamilan

III. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 25 Mei 2017 di IGD RSMH)


PEMERIKSAAN FISIK UMUM
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
BB : 52kg
TB : 150 cm
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit, isi/kualitas cukup,irama reguler
Respirasi : 20 x/menit, reguler

4
Suhu :36,5oC

PEMERIKSAAN KHUSUS
Kepala : Normosefali
Mata :Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), edema palpebra
(-), pupil isokor diameter ±3mm, refleks cahaya (+/+)
Hidung : Kavum nasi dextra et sinistra lapang, sekret(-),
perdarahan(-)
Telinga : Liang telingalapang
Mulut :Perdarahan di gusi (-), sianosis (-), mukosa mulut dan
bibir kering (-), fisura (-), cheilitis(-)
Lidah : Atropi papil (-)
Faring/Tonsil :Dinding faring posterior hiperemis (-), tonsil T1-T1,
tonsil tidak hiperemis, detritus (-)
Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-), pembesaran
struma (-)

THORAX
Paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, retraksi intercostal,
subkostal, suprasternal (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
Perkusi :Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+), ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I-II normal, HR 85 x/menit, murmur (-), gallop (-)

ABDOMEN
Inspeksi : Cembung

5
EKSTREMITAS
Akral hangat (+), edema pretibial (-)

PEMERIKSAAN OBSTETRIK
Pemeriksaan Luar
FUT 4 jbpx (28 cm), letak memanjang, punggung kiri, presentasi kepala,
penurunan kepala 3/5, DJJ 126 x/menit, HIS 2x/10’/10”, TBJ 2325 gram.

Pemeriksaan Dalam
Vaginal toucher: portio lunak, anterior, eff 100%, dilatasi 5 cm, presentasi
kepala, Hodge I-II, ketuban (+), penunjuk SSL.

IV. PEMERIKSAAN TAMBAHAN


Pemeriksaan Laboratorium (13 November 2017, di IGD RSMH
Palembang)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi
Hb 9.8 g/dL 11,40-15,00 g/dL
RBC 3.49 x 106/mm3 4,00-5,70x106/mm3
WBC 22.7 x 103 /mm3 4,73-10,89x103 /mm3
Ht 30% 35-45%
Trombosit 90 x 103 /ul 189-436 x103/ul
Diff. Count
Basofil 0% 0-1%
Eosinofil 0% 1-6%
Neutrofil 94% 50-70%
Limfosit 5% 20-40%
Monosit 1% 2-8%

Pemeriksaan USG Fetomaternal (13 November 2017)


- Tampak janin tunggal hidup presentasi kepala
- Biometri:

6
 BPD : 8.51 cm
 HC : 29.82 cm
 AC : 28.86 cm
 FL : 6.01 cm
 EFW : 2226 gr
- Plasenta di corpus anterior
- Cairan ketuban cukup sp : 3.1
Kesan: Hamil 32 minggu, janin tunggal hidup, presentasi kepala

V. DIAGNOSIS KERJA
G1P0A0 hamil 32 minggu inpartu kala II Janin Tunggal Hidup Presentasi
Kepala (13 November 2017).

VI. PROGNOSIS
Prognosis Ibu :dubia ad bonam (vitam dan functionam)
Prognosis Janin :dubia ad bonam (vitam dan functionam)

VII. TATALAKSANA (Planning)


1. Konservatif
2. Observasi tanda vital ibu, HIS, DJJ
3. IVFD RL gtt xx/menit
4. Injeksi Dexamethasone 2x6 mg IV
5. Cek laboratorium darah rutin dan urin rutin.
6. Rencana partus pervaginam
7. Evaluasi dengan partograf WHO

FOLLOW UP
Tanggal 13 November 2017, pukul 15.30
S : pasien mau melahirkan dengan kurang bulan
O : Pemeriksaan fisik umum :
- Sensorium : compos mentis
- TD : 110/70 mmHg

7
- Nadi : 82x/m, isi dan tegangan cukup
- RR : 20x/m
- T : 36,7 C
Pemeriksaan spesifik
- Pemeriksaan luar : FUT 4 jbpx (28 cm), memanjang, punggung kiri,
presentasi kepala, DJJ = 126x/menit, HIS 1/10’/30”
- Vaginal toucher: portio lunak, anterior, eff 100%, dilatasi 5 cm,
presentasi kepala, Hodge I-II, ketuban (+).
A : G1P0A0 hamil 32 minggu inpartu fase aktif janin tunggal hidup, presentasi
kepala
P : Terapi lanjutkan

FOLLOW UP (13 November 2017 pukul 17.30 bayi lahir)


Pukul 17.30 WIB = lahir neonatus hidup laki-laki dengan BB 2200 g, PB 45 cm,
APGAR score 8/9. Dilakukan manajemen aktif kala III.
- Diberikan injeksi oksitosin 10 IU IM
- Peregangan tali pusat terkendali
- Masase fundus uteri
17.40 WIB = plasenta lahir lengkap, dengan berat plasenta 280 gram, panjang tali
pusat 48 cm, diameter 14x15 cm, dilakukan eksplorasi jalan lahir, tidak didapatkan
perluasan luka episiotomi, luka episiotomi dijahit secara jelujur sublentikuler,
keadaan umum ibu baik, perdarahan aktif (-).

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Persalinan preterm adalah persalinan yang berlangsung pada umur kehamilan 20-
37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir (ACOG 1995). Badan Kesehatan
Dunia (WHO) menyatakan bahwa bayi preterm adalah bayi yang lahir pada usia
kehamilan 37 minggu atau kurang. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di
semarang tahun 2005 menetapkan bahwa persalinan preterm adalah persalinan yang
terjadi pada usia kehamilan 22 -37 minggu 6,9,10.

3.2. Epidemiologi
Angka kejadian persalinan preterm pada umunya adalah sekitar 6 – 10%.Hanya
1,5% persalinan terjadi pada umur kehamilan kurang dari 32 minggu dan 0,5% pada
kehamilan kuran dari 28 minggu.Namun, kelompok ini merupakan duapertiga dari
kematian neonatal. Kesulitan utama dalam persalinan preterm ialah perawatan bayi
preterm, yang semakin muda usia kehamilannya semakin besar morbidatas dan
mortalitas. Penelitain lain menunjukkan bahwa umur kehamilan dan berat bayi lahir
saling berkaitan dengan risiko kematian perinatal. Pada kehamilan umur 32 minggu
dengan berat bayi > 1.500 gram keberhasilan hidup sekitar 85%, sedang pada umur
kehamilan sama dengan berat janin <1.500 gram angka keberhasilan sebesar 80%.
Pada umur kehamilan <32 minggu dengan berat lahir < 1.500 gram angka keberhasilan
hanya sekitar 59%. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan persalinan preterm tidak
hayna tergantung umur kehmilan, tetapi juga berat bayi lahir7.
Permasalahan yang terjadi pada prersalinan preterm bukan saja pada kematian
perinatalm melainkan bayi prematur ini sering pula disertai dengan kelainan, baik
kelainan jangka pendek maupun jangka panjang. Kelainan jangka pendek ynag sering
terjadi adalah: RDS (Respiratory Distress Syndrome), perdarahan intra/periventrikular,
NEC (Necrotizing Enetro Cilitis), displasi bronko-pulmonar, sepsis, dan patern duktus
arteriosus. Adapun kelainan jangka panjang seirng berupa kelainan neurologik seperti
serebral palsi, retinopati, retardasi mental, juga dapat terjadi disfungsi neurobehavoral
dan prestasi sekolah yang kurang baik7,8. Dengan melihat permasalahan yang dapat
terjadi pada bayi preterm, maka penundaan persalinan preterm bila mungkin masih
dapat memberikan suatu keuntungan.

9
Pemicu obstetri yang mengarah pada persalinan preterm antara lain: (1) persalinan
atas indikasi ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun seksio sesarea;
(2) persalinan preterm spontan dengan selaput amnion utuh; dan (3) persalinan preterm
dengan ketuban pecah dini, terlepas apakah akhirnya dilahirkan pervaginam atau
melalui seksio sesarea. Sekitar 30-35% dari persalinan preterm berdasarkan indikasi,
40-45% persalinan preterm terjadi secara spontan dengan selaput amnion utuh, dan 25-
30% persalinan preterm yang didahului ketuban pecah dini.7
Konstribusi penyebab persalinan preterm berbeda berdasarkan kelompok
etnis.Persalinan preterm pada wanita kulit putih lebih umum merupakan persalinan
preterm spontan dengan selaput amnion utuh, sedangkan pada wanita kulit hitam lebih
umum didahului ketuban pecah dini sebelumnya. Persalinan preterm juga bisa dibagi
menurut usia kehamilan: sekitar 5% persalinan preterm terjadi pada usia kehamilan
kurang dari 28 minggu (extreme prematurity), sekitar 15% terjadi pada usia kehamilan
28-31 minggu (severe prematurity), sekitar 20% pada usia kehamilan 32-33 minggu
(moderate prematurity), dan 60-70% pada usia kehamilan 34-36 minggu (near term).
Dari tahun ketahun, terjadi peningkatan angka kejadian persalinan preterm, yang
sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah kelahiran preterm atas indikasi8.

Gambar 2.1 Gambaran angka kejadian persalinan preterm di USA, 1989-200010

10
3.3. Etiologi
Persalinan preterm merupakan kelainan proses yang multifaktorial. Kombinasi
keadaan obstertrik, sosiodemografi, dan faktor medik mempunyai pengaruh terhadap
terjadinya persalinan preterm.Kadang hanya risiko tunggal dijumpai seperti distensi
berlebih uterus, ketuban peccah dini, atau trauma. Banyak kasus persalinan preamtur
sebagai akibat proses patogenik yang merupakan mediator biokimia yang mempunyai
dampak terjadinya kontraksi rahim dan perubahan serviks, yaitu8:
1) Aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal baik pada ibu maupun janin,
akibat stres pada ibu atau janin
2) Inflamasi desiuda-korioamnion atau sistemik akibat infeksi assenden dari traktus
genitourinari atau infeksi sistemik
3) Perdarahan desidua
4) Peregangan uterus patologik
5) Kelainan pada uterus atau serviks
Dengan demikian, untuk memprediksi kemungkinan terjadinya persalinan preterm
harus dicermati beberapa kondisi yang dapat menimbulkan kontraksi, menyebabkan
persainan preterm atau seorang dokter terpaksa mengakhiri kehamilan pada saat
kehamilan belum genap bulan15.
Kondisi selama kehamilan yang berisiko terjadinya persalinan preterm adalah6:
1) Janin dan plasenta
 Perdarahan trimester awal
 Perdarahan anterpartum (plasenta previa, solusio plasenta, vasa previa)
 Ketuban pecah dini (KPD)
 Pertumbuhan janin terhambat
 Cacat bawaan janin
 Kehamilan ganda/gemeli
 Polihdiramnion
2) Ibu
 Penyakit berat pada ibu
 Diabetes melitus
 Preeklamsia/ Hipertensi
 Infeksi saluran kemih/ genital/intrauterin
 Penyakit infeksi dengan demam
 Stres psikologik
 Kelainan bentuk uterus/ seviks

11
 Riwayat persalian preterm/ abortus berulang
 Inkompetensi serviks (panjang serviks kurang dari 1 cm)
 Pemakaian obat narkotik
 Trauma
 Perokok berat
 Kelainan imunologi/kelainan resus8
Drfe dan Magowan menyatakan bahwa 35% persalinan preterm terjadi
tanpa diketahui penyebab yang jelas, 30% akibat persalinan elektif, 10% pada
kehamilan ganda, dan sebagian lain sebagai akibat kondisi ibu atau janinnya6.
Infeksi korioamnion diyakini merupakan salah satu sebab terjadinya ketuban pecah
dini dan persalinan preterm.Patogenesis infeksi ini yang menyebabkan persalinan
belum jelas benar.Kemungkinan diawali dengan akitivtas fosfolipase A2 yang
melepaskan bahan asam arakidonat dari selapu amnion janin, sehingga asam
arakidonat bebas meningkat untuk sintesis prostaglandin. Endotoksi dalam air
ketuban akan merangsa sel desidua untuk menghasilkan sitokin dan prostaglandi
yang dapat menginisiasi proses persalinan. Proses persalinan preterm yang
dikaitkan dengan infeksi diperkirakan diawali dengan pengeluaran produk sebagai
hail ari aktivasi monosit. Berbagai sitokin, termasuk interleukin-1, tumor
nekrosing faktor (TNF), dan interleukin-6 adalah produk sekretorik yang dikaitkan
dengan persalinan preterm.Sementara itu, Platelet Activating Factor (PAF) yang
ditemukan dalam air ketuban terlibat secara sinergik pada kativitas jalinan sitokin
tadi.PAF diduga dihasilkan dari paru dan ginjal janin. Dengan demikian, janin
memaikna peran yang sinergi dalam mengawali proses persalinan preterm yang
disebabkan oleh infeksi. Bakteri sendir mungkin menyebabkan kerusakan
membran lewat pengaruh langsung dari protease6,8,9.
Vaginosis bakterialis adalah sebuah kondisi ketika flora normal vagina
predominan-laktobasilus yang menghasilkan hidrogen peroksida digantikan oleh
bakteri anaerob, Gardnerella vaginalis, spesies mobilunkus atau mikoplasma
hominis.Keadaan ini telah lama dikaitkan dengna ketuban pecah dini, persalinan
preterm, dan infeksi amnion, terutama bila pada pemeriksaan pH vagina lebih dari
5,0 8.
Pada hipertensi atau preeklampsia, penolong persalinan cenderung untuk
mengakhiri kehamilnan, Hal ini menimbulkan prevalensi preterm menginkat.
Kondisi medik lain yang sering menimbulkan persalinan preterm adalah

12
inkompetensi serviks. Penderita dengan inkompetensi serviks berisiko mengalam
persalinan preterm10.
Di samping faktor risiko di atas, faktor risiko lain yang perlu diperhatikan
adalah tingkat sosio—ekonomi, riwayat lahir mati, dan kehamilan di luar nikah.
Merupakan langkah penting dalam pencegahan persalinan preterm adlah
bagaimana mengidentifikasi faktor risko dan kemudian memberikan perawatan
antenatal serta penyuluhan agar ibu dapat mengurangi risiko tambahan9.

3.4. Patogenesis
Penyebab persalinan preterm multifaktorial dan dapat saling berinteraksi
satu sama lain. Berikut beberapa alur yang umum terjadi pada persalinan preterm:
6,7

3.4.1. Aktivasi aksis hypothalamic–pituitary–adrenal (HPA) janin atau ibu: stres


Stres yang didefinisikan sebagai tantangan baik psikologis atau fisik, yang
mengancam atau yang dianggap mengancam homeostasis pasien, akan
mengakibatkan akitivasi prematur hypothalamic–pituitary–adrenal (HPA) janin
atau ibu. Stres semakin diakui sebagai faktor risiko penting untuk persalinan
preterm. Beberapa penelitian telah menemukan50% hingga 100% kenaikan angka
kelahiran pretermberhubungan dengan stres pada ibu, dan biasanya merupakan
gabungan dari berbagai peristiwa kehidupan, kecemasan, atau depresi.
Neuroendokrin, kekebalan tubuh, dan proses perilaku(seperti depresi) telah
dikaitkan dengan persalinan preterm terkait stres. Namun, proses yang paling
penting, yang menghubungkan stres dan kelahiran preterm ialah neuroendokrin,
yang menyebabkan aktivasi prematur aksis HPA. Proses ini dimediasi oleh
corticotrophin-releasing hormone (CRH) plasenta .
3.4.2. Infeksi dan inflamasi
Patogenesis dari persalinan preterm masih belum dimengerti dengan
8
benar. Namun, infeksi tampaknya menjadi penyebab tersering dan paling penting
dalam persalinan preterm.1,8 Meskipun demikian, patogenesis infeksi hingga
menyebabkan persalinan preterm pun hingga kini belum jelas benar, namun diduga
berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh, dan diawali oleh aktivasi fosfolipase A2
yang dihasilkan oleh banyak mikroorganisme9,10.
Sumber infeksi yang telah dikaitkan dengan kelahiran prematur meliputi
infeksi intrauterin, infeksi saluran kelamin, infeksi sistemik ibu, bakteriuria
asimptomatik, dan periodontitis ibu10.Mikroorganisme yang umum dilaporkan

13
pada rongga amnion adalah genital Mycoplasma spp, dan Ureaplasma
urealyticum. Beberapa mikroorganisme yang umum pada saluran genitalia bawah,
seperti Streptococcus agalactiae, jarang tampak pada rongga amnion sebelum
selaput amnion pecah. Rongga amnion biasanya steril dari bakteri, dan adanya
bakteri yang jumlahnya cukup signifikan pada membran amnion diduga melalui
mekanisme sebagai berikut:6,7

1) Secara ascending dari vagina dan serviks


2) Penyebaran secara hematogen melalui plasenta
3) Penggunaan alat saat melakukan prosedur invasif
4) Penyebaran secara retrograde melalui tuba fallopi.
Dari beberapa cara yang telah disebutkan di atas, cara yang paling umum
ialah penyebaran secara ascending dari vagina dan serviks.Hal ini dapat
ditunjukkan oleh suatu kondisi yang disebut vaginosis bakterialis, yang merupakan
sebuah kondisi ketika flora normal vagina predominan-laktobasilus yang
menghasilkan hidrogen peroksida digantikan oleh bakteri anaerob, Gardnerella
vaginalis, spesies Mobilunkus, atau Mycoplasma hominis. Keadaan ini telah lama
dikaitkan dengan ketuban pecah dini, persalinan preterm, dan infeksi amnion,
terutama bila pada pemeriksaan pH vagina lebih dari 5,08.

Gambar 2.2 Jalur masuknya kuman penyebab infeksi

3.4.3. Perdarahan desidua (Decidual hemorrhage/thrombosis)


Perdarahan desidua dapat menyebabkan persalinan preterm.Lesi vaskular
dari plasenta biasanya dihubungkan dengan persalinan preterm dan ketuban pecah
dini. Lesi plasenta dilaporkan 34% dari wanita dengan persalinan preterm, 35%

14
dari wanita dengan ketuban pecah dini, dan 12% kelahiran term tanpa komplikasi.
Lesi ini dapat dikarakteristikan sebagai kegagalan dari transformasi fisiologi dari
arteri spiralis, atherosis, dan trombosis arteri ibu atau janin.Diperkirakan
mekanisme yang menghubungkan lesi vaskular dengan persalinan preterm ialah
iskemi uteroplasenta.Meskipun patofisiologinya belum jelas, namum trombin
diperkirakan memainkan peran utama8.
3.4.4. Distensi uterus yang berlebihan (uterine overdistension)
Distensi uterus yang berlebihan memainkan peranan kunci dalam memulai
persalinan preterm yang berhubungan dengan kehamilan multipel,
polihidramnion, dan makrosomia. Kehamilan multipel, sering disebabkan oleh
reproduksi yang dibantu oleh tekhnologi (assisted reproduction technologies
(ART)), termasuk induksi ovulasi dan fertilisasi in vitro, dan merupakan satu dari
penyebab yang paling penting dari persalinan preterm di negara-negara maju. Di
Amerika Serikat misalnya, ART merupakan 1% dari semua kelahiran hidup, tetapi
17% dari semua kehamilan multipel; 53% neonatus hasil dari ART pada tahun
2003 merupakan anak kembar. Mekanisme dari distensi uterus yang berlebihan
hingga menyebabkan persalinan preterm masih belum jelas. Namun diketahui,
peregangan rahim akan menginduksi ekspresi protein gap junction, seperti
connexin-43 (CX-43) dan CX-26, serta menginduksi protein lainnya yang
berhubungan dengan kontraksi, seperti reseptor oksitosin. 11
3.4.5. Insufisiensi serviks
Insufisiensi serviks secara tradisi dihubungkan dengan pregnancy losses
pada trimester kedua, tetapi baru-baru ini bukti menunjukan bahwa gangguan pada
serviks berhubungan dengan outcomes kehamilan yang merugikan dengan variasi
yang cukup luas, termasuk persalinan preterm.Insufisiensi serviks secara tradisi
telah diidentifikasi di antara wanita dengan riwayat pregnancy losses berulang
pada trimester kedua, tanpa adanya kontraksi uterus. Terdapat lima penyebab yang
diakui atau dapat diterima, yaitu: (1) kelainan bawaan; (2) in-utero
diethylstilbestrol exposure; (3) hilangnya jaringan dari serviks akibat prosedur
operasi seperti Loop Electrosurgical Excision Procedure (LEEP) atau conization;
(4) kerusakan yang bersifat traumatis; dan (5) infeksi.10
Selain berhubungan dengan beberapa hal di atas, risiko persalinan preterm
juga meningkat pada perokok.Mekanisme meningkatnya risiko persalinan preterm
pada wanita yang merokok sampai saat ini belum jelas.Terdapat lebih dari 3000
bahan kimia dalam batang rokok, yang masing-masing efek biologisnya sebagian

15
besar tidak diketahui.Namun, baik nikotin dan karbon monoksida merupakan
vasokonstriktor yang kuat dan dihubungkan dengan kerusakan plasenta serta
menurunnya aliran darah uteroplasenta. Kedua jalur tersebut mengarah pada
terhambatnya pertumbuhan janin dan persalinan preterm.10
3.5. Diagnosis
Sering terjadi kesulitan dalam emnentukan diagnosis ancaman persalinan preterm.
Tidak jarang kontraksi yang timbul pada kehamilan tidak benar-benar merupkana
ancaman proses perslainan. Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman
persalinan preterm, yaitu9:

 Kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7 – 8 menit sekali, atau 2 – 3 kali dalam
waktu 10 menit
 Adanya nyeri pada punggung bawah (low back pain)
 Perdarahan bercak
 Perasaan menekan daerah serviks
 Pemeriksaan serviks menunjukkan telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm, dan
penipisan 50-80%
 Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika
 Selaput ketuban pecah dapat merupakan tanda awal terjadinya persalinan preterm
 Terjadi pada suia kehamilan 22-37 minggu

3.6. Penatalaksanaan
Cara utama untuk mengurangi risiko persalinan preterm dapat dilakukan sejak
awal, sebelu tanda-tanda persalinan muncul.Dimulai dengan pengenalan pasien yang
berisiko untuk diberi penjelasan dan dilakukan penilaian klinik terhadap persalinan
preterm serta pengenalan kontraksi sedini mungkin, sehingga tindakan pencegahan
dapat segera dilakukan.Pemeriksaan serviks tidak lazim dilakukan pada kunjugnan
antenatal, sebenarnya pemeriksaan tersebut mempunyai manfaat cukup besar dalam
meramalkan terjadinyan persalinan preterm.Bila dijumpai serviks pendek (<1cm)
disertai dengan pembukaan yang merupakan tanda serviks matang/ inkompetensi
serviks, mempunyai risiko terjadinya persalinan preterm 3 – 4 kali9.
Beberapa indikator dapat dipakai untuk mendiagnosis terjadinya persalinan
preterm, sebagai berikut.
 Indikator klinik

16
Indikator klinik yang dapat dijumpai seperti timbulnya kontraksi dan
pemendekkan serviks (secara manual maupun ultrasonografi). Terjadinya ketuban
pecah dini juga meramalkan akan terjadinya persalinan preterm.
 Indikator laboratorik
Beberapa indikator laboratorik yang bermakna antara lain adalah: jumlah leukosit
dalam air ketuban (20/ml atau lebih), pemeriksaan CRP (>0,7 mg/ml), dan
pemeriksaan leukosit dalam serum ibu (> 13.000/ml).
 Indikator biokimia
- Fibronektin janin: peningkatan kadar fibronektin janin pada vagina,
serviks dan air ketuban memberikan indikasi adanya gangguan pada
hubungan antara korion dan desidua. Pada kehamilan 24 minggu atau
lebih, kada fibronektin janin 50 ng/ml atau lebih mengindikasikan risiko
persalinan preterm.
- Corticotropin releasing hormone (CRH): peningkatan CRH dini atau pada
trimester 2 merupakan indikator kuat untuk terjadinya persalinan preterm.
- Sitokin inflamasi: seperti IL-1β, IL-6, IL-8, dan TNF-α telah diteliti
sebagai mediator yang mungkin berperan dalam sintesis prostaglandin.
- Isoferitin plasenta: pada keadaan normal (tidak hamil) kadar isoferitin
sebesar 10 U/ml. Kadarnya meningkat secara bermakna selama kehamilan
dan mencapai puncak pada trimester akhir yaitu 54,8 ± 53 U/ml.
Penurunan kadar dalam serum akan berisiko terjadinya persalinan
preterm.
- Feritin: Rendahnya kadar feritin merupakn indikator yang sensitif untuk
keadaan kurang zat besi. Peningkatan ekspresi feritin berkaitan dengan
berbagai keadaan reaksi fase akut termasuk kondisi inflamasi. Beberapa
peneliti menyatakan adanya hubungan antara penginkatan kadar feritin
dan kejadian penyulit kehamilan, termasuk persalinan preterm 10.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah persalinan
preterm antara lain sebagai berikut.
 Hindari kehamilan pada ibu terlalu muda (kuran dari 17 tahun)
 Hindari jarak kehamilan terlalu dekat
 Menggunakan kesempatan periksa hamil dan memperoleh pelayanan antenatal
yang baik
 Anjuran tidak merokok maupun mengonsumsi obat terlarang (narkotik)
 Hindari kerja berat dan perlu cukup istirahat

17
 Obati penyakit yang dapat menyebabkan persalinan preterm
 Kenali dan obati infeksi genital/salurang kencing
 Deteksi dan pengamanan faktor risiko terhadap persalinan preterm

Pengelolaan10
Menjadi pemikirian pertama pada pengelolaan persalinan preterm adalah:
apakah ini memang persalinan preterm. Selanjutnya mencari penyebabnya dan
menilai kesejahteraan janin yang dapat dilakukan secara klinis, laboratoris,
ataupun ultrasonografi meliputi pertumbuhan/ berat janin, jumlah dan keadaan
cairan amnion, presentasi dan keadaan janin/kelainan kongenital/ Bila proses
persalinan kurang bulan masih tetap berlangsung atau mengancam, meski telah
dilakukan segala upaya pencegahan, makan perlu dipertimbangkan:
 Seberapa besar kemampuan klinik (dokter spesialis kebidanan, dokter spesialis
kesehatan anak, peralatan) untuk menjaga kehidupan bayi preterm atau beraa
persen yang akan hidup menurut berat dan usia gestasi tertentu.
 Bagaimana persalinan sebaiknya berakhir, pervaginam atau bedah sesar.
 Komplikasi apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau sindroma
gawat napas.
 Bagaimana pendapat pasien dan keluarga engenai konsekuensi perawatan bayi
preterm dan kemungkinan hidup atau cacat.
 Seberapa besar dana yang diperlukan untuk merawat bayi preter, dengan
rencana perawatan intensif neonatus 5.
Ibu hamil yang mempunyai risiko terjadi persalinan preterm dan/atau
menunjukkan tanda-tanda persalinan preterm perlu dialukan intervensi untuk
meningkatkan neonatal outcomes.
Manajemen persalinan preterm bergantung pada beberapa faktor.
 Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak dihambat bilamana
selaput ketuban sudah pecah.
 Pembukaan serviks. Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan mencapai 4
cm.
 Umur kehamilan. Makin muda usia kehamilan, upaya mencegah persalinan
makin perlu dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan berlangsung bila
TBJ > 2.000 atau kehamilan > 34 minggu.
Beberapa langkah yang dapat dilkaukan pada persalinan preterm, terutama
mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm adalah:

18
 Mengahambat proses persalinan preterm dengan pemberian tokolisis,
 Pematangan surfaktan paru janin dengan kortikosteroid, dan
 Bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi.

Tokolisis
Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk mengahmbat persalinan,
tidak ada yang benar-benar efektif.Namun, pemberian tokolisis masih perlu
dipertimbangkan bila dijumpai kontraksi uterus yang regular dengan perubahan
serviks.
Alasan pemeberian tokolisis pada persalinan preterm adalah:
 Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur
 Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir surfaktan
paru janin.
 Memberi kesempatan transfer intrauterin pada fasilitas lebih lengkap
 Optimalisasi personel
Beberapa macam obat yang dapat digunakan sebagia tokolisis adalah:
 Kalsium antagonis: Nifedipin 10 mg/oral diulang 2 – 3 kal/jam, dilanjutkan
tiap 8 jam sampai kontraksi hilang. Obat dapat diberikan lagi jika timbul
kontraksi berulang.
 Obatβ-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isokuprin, dan salbutamol, dapat
diugnakan, tetapi nifedipin mempunyai efek samping lebih kecil.
 Sulafs magnesikus dan antiprostagladin (indometasin): jarang dipakai karena
efek samping pada ibu ataupun janin.
 Untuk menghambat proses persalinan preterm selain tokolisis, perlu
membatasi aktivasi atau tirah baring4.
Kortikosteroid
Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan
paru janin, menurunkan insiden RDS, mencegah perdarahan intraventrikular, yang
akhirnya menurunkan kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bilamana
usia kehamilan kurang dari 35 minggu.
Obat yang diberikan adalah: deksametason atau betametason. Pemberian
steroid ini tidak diulang karena risiko terjadinyan pertumbuhan janin terhambat.
Pemberian sikls tunggal kortikosteroid adalah:
 Betametason: 2x12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam
 Deksametason: 4x6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam 9,13.

19
Antibiotika
Antibiotika hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko
terjadinya infeksi seperti pada kasus KPD. Obat iberikan per oral, yang dianjurkan
adalah: eritromisin 3x500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lain adalah ampisilin
3x500 mg selama 3 hari, atau dapat menggunakan antibiotika lain seperti
klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena risiko NEC 9.
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada pemeriksaan pasien dengan
KPD/ PPROM (Preterm premature rupture of the mebrane) adalah:
 Semua alat yang digunakan untuk periksan vagian harus steril.
 Periksa dalam vagian tidak dianjurkan, tetapi dilakukan dengan pemeriksaan
spekulum.
 Pada pemeriksaan USG jika dapat penurunan indeks cairan amnion (ICA)
tanpa adanya kecurigaan kelainan ginjal dan tidak adanya IUGR mengarah
pada kemungkinan KPD8.
Penderita dengan KPD/PPROM dilakukan pengakhiran persalinan pada
usia kehamilan 36 minggu. Untuk usia 32-35 minggu jika da bukti hasil
pemeriksaan maturitas paru, maka kemampuan rumah sakit (tenaga dan fasilitas
perinatologi) sangan menentukan kapan sebaiknya kehamilan diakhiri.
Akan tetapi, bila ditemukan adanya bukti infeksi (klinik ataupun
laboratorik), maka pengakhiran persalinan dipercepat/induksi, tanpa melihat usia
kehamilan.
Persiapan persalinan preterm perlu pertimbangan berdasarkan:
 Usia gestasi
- Usia gestasi 34 minggu atau lebih dapat melahirkan di tingkat dasar/
primer, mengingat prognosis relatif baik
- Usia gestasi kurang dari 34 minggu: harus dirujuk ke rumah sakit dengan
fasilitas perawatan neonatus yang memadai.
 Keadaan selaput ketuban
Bila didapat KPD/PPROM dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu
maka ibu dan keluarga dipersilakan untuk memilih cara pengelolaan
setelah diberi konseling dengan baik 10.

Cara persalinan

20
Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan
seperti: apakah sebaiknya persalinan berlangsung pervagianma atau seksio sesarea
terutama pada berat janin yang sangat rendah dan preterm subngsang, pemakaian
forseps untuk melindungi kepala janin, dan apakah ada manfaatnya dilkukan
episiotomi profilaksis yang luas untuk mengurangi trauma kepala.
Bila janin presentasi kepala, maka diperbolehkan partus
pervaginam.Seksio sesarea tidak memberi prognosis yang lebih baik bagi bayi,
bahkan merugikan ibu.Prematuritas anganlah dipakai sebagai indikasi untuk
melakukan seksio sesarea.Oleh karena itu seksio sesarea hanya dilakukan atas
indikasi obsterik 15-17.
Pada kehamilan letak sungsang 30-34 minggu, seksio sesarea dapat
dipertimbangkan. Setelah kehamilan lebih dari 34 minggu, persalinan dibiarkan
terjadi karena morbiditas dianggap sama dengan kehamilan aterm4.
Perawatan Neonatus
Untuk perawatan bayi preterm baru lahir perlu diperhatikan keadaan
umum, biometri, kemampuan bernapas, kelainan fisik dan kemapuan minum.
Keadaan kritis bayi prematur yang harus dihindari adalah kedinginan,
pernapasan tidak adekuat, atau trauma, suasasan hangan diperlukan untuk
mencegah hipotermia pada neonatus (suhu badan dibawah 36,5oC), bila mungkin
bayi sebaiknya dirawat dengan cara KANGURU untuk menghindari hipotermia,
Kemudian dibuat perencanaan pengobatan dan asupan cairan.
ASI diberikan lebih sering, tetapi bila tidak mungkin, diberikan dengan
sonde atau dipasang infus.Semua bayi baru lahir harus mendapat nutrisi sesuaui
dengan kemampuan dan kondisi bayi.
Sebaiknya persalinan bayi terlalu muda atau terlalu kecil berlangsung pada
fasilitas yang memadai, seperti pelayanan perinatal dengan personel dan fasilitas
yang adekuat termasuk perawatan perinatal intensif .

21
BAB IV
ANALISIS KASUS

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang pasien ditegakkan diagnosis persalinan preterm. Persalinan preterm
merupakan persalinan yang terjadi pada usia kehamilan antara 20 minggu atau
lebih sampai dengan kurang dari 37 minggu yang dihitung menggunakan HPHT
(hari pertama haid terakhir). Pada laporan kasus ini, diketahui bahwa pasien
memiliki beberapa faktor risiko untuk terjadinya persalinan preterm seperti usia ibu
yang terlalu muda, anemia pada kehamilan, dilatasi serviks dan riwayat ANC yang
buruk.
ANALISIS FAKTOR RISIKO PERSALINAN PRETERM
1. Perdarahan antepartum
2. Hamil usia muda
3. Grandemultipara dan interval persalinan
4. Ketuban pecah dini
5. Kehamilan hidroamnion
6. Gangguan keseimbangan hormonal
7. Inkompetensia serviks/dilatasi serviks
8. Kelainan anatomi uterus
9. Idiopatik (peningkatan reseptor oksitosin)
10. Preeklampsia/eklampsia

22
11. Faktor individu (sosioekonomi rendah, kurang gizi, anemia pada kehamilan)
12. Penyakit sistemik (penyakit jantung, DM, asma, hipertensi)
13. Infeksi pada kehamilan (koriamnionitis, servisitis)
14. Riwayat ANC yang buruk.

Menurut DEPKES RI (2009), usia yang aman untuk hamil adalah usia 20-
35 tahun. Pada kasus ini, ibu hamil pada usia 17 tahun yang dapat dikatakan sebagai
risiko tinggi untuk mengalami persalinan prematur. Secara psikologis, emosi dan
kejiwaan belum cukup dewasa sehingga akan berpengaruh terhadap penerimaan
kehamilannya yang akhirnya akan berdampak pada pemeliharaan dan
perkembangan bayi yang dikandungnya. Selain itu, umumnya rahim masih relatif
kecil karena pembentukan belum sempurna dan pertumbuhan tulang panggul belum
cukup lebar. Rahim merupakan tempat pertumbuhan bayi, rahim yang masih relatif
kecil dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin.
Pada kasus ini, pasien mengalami dilatasi serviks. Dilatasi serviks setelah
tengah usia kehamilan diduga seagai faktor risiko untuk persalinan preterm,
meskipun beberapa klinisi mempertimbangkan adanya beberapa varian anatomi
yang normal. Serviks mempertahankan isi uterus terhadap pengaruh gravitasi dan
tekanan intrauterine sampai persalinan, dan serviks akan berdilatasi untuk
memungkinkan bagian dari isi uterus untuk melintasinya selama proses persalinan.
Selain dilatasi serviks, panjang serviks juga diukur menggunakan USG
transvaginal. Menurut data penelitian, pemendekan serviks lebih sering terjadi
sebagai konsekuensi dari remodeling serviks prematur, hasil dari proses patologis.
Pada kasus, panjang serviks memendek menjadi 19 mm. Hal ini akan meningkatkan
risiko persalinan prematur.
Ibu yang sedang hamil sangat membutuhkan nutrisi yang adekuat. Jika
kebutuhan nutrisi tidka tercukupi, maka hal ini akan berhubungan dengan
persediaan darah di dalam tubuh. Terjadinya anemia dalam kehamilan bergantung
dari jumlah persediaan besi dalam hati, limpa dan sumsum tulang. Selama masih
mempunyai cukup persediaan besi, Hb tidak akan turun. Namun, jika persediaan
ini habis Hb akan turun. Hal ini umumnya terjadi pada bulan ke 5 - 6 kehamilan,
pada waktu janin membutuhkan banyak zat besi. Jika terjadi anemia pada

23
kehamilan, maka kemampuan metabolisme tubuh akan berkurang sehingga
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim. Anemia akan
berpengaruh terhadap hasil konsepsi seperti terjadinya persalinan prematur, cacat
bawaan, cadangan besi kurang, kematian janin dalam kandungan, perdarahan
antepartum, ketuban pecah dini dan mudah terjadi infeksi (Mochtar, 2007).
Menurut WHO, antenatal care dianjurkan dilakukan sebanyak 4 kali
selama kehamilan. Trimester pertama dilakukan satu kali, trimester kedua satu
kali, dan trimester tiga dilakukan sebanyak dua kali. Hal ini dilakukan untuk
mengevaluasi keadaan janin serta melakukan pencegahan jika terdapat faktor
risiko terjadinya komplikasi pada kehamilan. Adanya riwayat ANC yang buruk
dapat mengakibatkan terjadinya persalinan dengan komplikasi akibat upaya
pencegahan dan pemeliharaan kehamilan tidak adekuat.
Pencegahan persalinan preterm dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu
pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Pencegahan primer dilakukan sebelum
terjadinya pembuahan dan selama kehamilan. Hal yang dapat dilakukan
diantaranya memberikan pendidikan kepada semua wanita mengenai faktor risiko
persalinan preterm, menghindari melakukan pekerjaan berat, mengonsumsi
suplemen nutrisi, menghentikan merokok, melakukan asuhan prenatal, serta
melakukan perawatan periodontal. Pencegahan sekunder ditujukan pada wanita
yang sudah diketahui memiliki faktor risiko untuk terjadi persalinan preterm.
Pencegahan sekunder setelah konsepsi dilakukan dengan cara modifikasi aktivitas
ibu (tirah baring, menurunkan aktivitas seksual, pembatasan kerja), pemberian
suplemen nutrisi yang dianggap dapat menurunkan konsentrasi pro-inflamasi
sitokin, pemberian antibiotik (jika dicurigai vaginosis bakterial), dan pemberian
progesteron (antagonis oksitosin) untuk memelihara integritas serviks dan
memiliki efek anti-inflamasi. Pencegahan tersier merupakan pencegahan yang
pada umumnya dilakukan. Contohnya yaitu merujuk ibu dengan ancaman
persalinan preterm ke rumah sakit yang dilengkapi perawatan bayi preterm,
pemberian terapi tokolitik, kortikosteroid antenatal, antibiotik dan persalinan
preterm atas indikasi pada waktu yang tepat.

24
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Hingga saat ini, belum ada satu atau beberapa kelompok pemeriksaan yang
memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang optimal. Prediksi tersebut dibagi
menjadi prediksi klinis, biofisik, dan biologik. Sebagian lagi membagi atas prediksi
primer dan sekunder. Prediksi primer artinya prediksi yang dapat diketahui sebelum
kehamilan, sedangkan prediksi sekunder adalah prediksi yang hanya dapat
diketahui setelah kehamilan. Prediksi disini belum tentu suatu uji skrining, karena
saat ini belum ada uji skrining yang dilakukan rutin terhadap persalinan preterm
yang terpisah dari proses anamnesis untuk mencari faktor risiko, seperti riwayat
persalinan sebelumnya. Prediksi persalinan preterm secara klinis mencakup
anamnesis, pemeriksaan fisik dan skrining infeksi vagina.
1. Anamnesis
Identitas pasien, memperkirakan waktu persalinan, menggali kebiasaaan dan
faktor risiko yang berkaitan dengan insidens persalinan preterm, dan keadaan
sosioekonomi.
2. Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik, pemeriksa bisa memperoleh data klinis pasien seperti
keadaan umum, berat badan dan tinggi badan yang sekaligus digunakan untuk
mengukur Indeks Massa Tubuh (IMT), tekanan darah, dan pemeriksaan obstetrik.
Indeks massa tubuh yang rendah sebelum hamil (IMT < 19,8 kg/m2) atau kenaikan
berat badan yang kurang pada saat kehamilan meningkatkan risiko terjadinya
persalinan preterm.
Pada kasus, sebelum hamil Os mengaku memiliki berat badan 52 kg dan tinggi
badan 150 cm. Berdasarkan penghitungan, IMT pasien ini adalah 23.11 kg/m2. Hal
ini menunjukkan IMT pasien masih normal, namun dapat dikatakan batas bawah
untuk terjadinya persalinan preterm.
Dari pemeriksaan obstetrik, adanya kontraksi dengan intensitas dan frekuensi
yang cukup untuk menyebabkan penipisan dan pematangan serviks pada usia
gestasi 24-37 minggu merupakan suatu penanda persalinan preterm aktif. Kriteria
yang digunakan untuk mendiagnosis persalinan preterm adalah terdapatnya
kontraksi yang nyeri, dapat diraba, berlangsung selama lebih dari 30 detik dan
muncul minimal empat kali tiap 20 menit.

25
Pada pasien ini terdapat HIS 2x dlam 10 menit dan lamanya 30 detik
(2x/10’/30”). Hal ini menyebabkan penipisan dan pematangan serviks yang dini
pada saat kehamilan, sehingga memicu terjadinya persalinan preterm.
Selain itu dari pemeriksaan obstetrik juga dapat dilakukan penilaian serviks
dengan menggunakan skor Bishop.

Skor bishop pada kasus yaitu:


1. Posisi uterus pada posterior :2
2. Konsistensi lunak :2
3. Pendataran/effacement (100%) :3
4. Dilatasi serviks (5 cm) :3
5. Station (hodge II) :3
Total : 13

3. Prediksi biofisik
Prediksi biofisik dilakukan dengan mengukur parameter fisik pada ibu.
Parameter fisik yang dimaksud adalah panjang serviks. Cara pemeriksaan serviks
antara lain yaitu: 1. Digital dengan jari. 2. Ultrasonografi (USG) transabdominal. 3.
USG transperineal. 4. USG transvaginal. Pengukuran panjang serviks dapat
digunakan untuk memprediksikan adanya risiko persalinan preterm. Serviks yang
pendek memiliki risiko lebih tinggi mengalami persalinan preterm.
Penilaian serviks yang lebih baik dapat dilakukan dengan menggunakan
USG. Teknik USG yang dapat dilakukan adalah USG transabdominal, transperineal
dan transvaginal. USG transabdominal memiliki keterbatasan yaitu ketika

26
dilakukan pemeriksaan, kandung kemih harus dalam keadaan terisi, namun hal ini
dapat menyebabkan pemanjangan serviks sehingga mengaburkan adanya serviks
yang pendek atau bentuk serviks yang funneling (pembukaan serviks dari internal
os). USG transvaginal merupakan cara invasif yang tidak membutuhkan pengisian
kandung kencing sehingga gambaran serviks yang sebenarnya bisa ditampilkan
dengan jelas. Disamping itu USG transvaginal juga dapat mengukur dengan akurat
bila terjadi pembukaan serviks bahkan juga funneling sehingga tatacara pengukuran
serviks yang sangat dianjurkan adalah secara transvaginal. Dari hasil USG
didapatkan skor BPP (BioPhysic Profile) merupakan kombinasi antara pemeriksaan
USG dan Non- Stress Test. Tujuannya juga untuk memantau kesejahteraan janin.
Dikatakan normal bila nilai BPP minimal 8. Pada kasus, nilai BPP adalah 8,
sehingga janin dalam keadaan baik/tidak ada stres.
ANALISIS TATALAKSANA PADA PERSALINAN PRETERM
Manajemen persalinan preterm bergantung pada beberapa faktor,
diantaranya ketuban pecah dini, pembukaan serviks, umur kehamilan, penyebab
persalinan preterm, dan kemampuan neonatal intensive care facilities. Pada kasus,
dilakukan manajemen konservatif dan mengobservasi tanda-tanda vital, HIS, dan
DJJ pada pasien. Diberikan tokolisis seperti nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3
kali/jam, dilanjutkan tiap 8 jam sampai kontraksi hilang. Usia kehamilan pada kasus
yaitu 31 minggu, dimana belum terjadi pematangan paru yang sempurna. Maka,
perlu diberikan kortikosteroid berupa deksametason 2x6 mg dengan jarak
pemberian 12 jam atau betametason 2x12 mg i.m dengan jarak pemberian 24 jam.
Antibiotika hanya diberikan jika terdapat risiko untuk terjadinya infeksi, seperti
ketuan pecah dini. Obat pilihan yang diberikan berupa ampisilin 3x500 mg selama
3 hari. Pengobatan yang adekuat dipercaya dapat menurunkan komplikasi baik
untuk ibu dan janin pada persalinan preterm.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) 2007. Birth: Final data for
2005. [diakses 07 November 2016]. Tersedia pada Jurnal e-Clinic (eCl),
Volume 5, Nomor 1, Januari-Juni 2017 :http://www.cdc.gov/nchs/data/nvsr56
_06.pdf.
2. Drife J, Mogawan BA. Clinical obstetric and gynecology: prematurity.
London: Saunders; 2004. h.375-80
3. Krisnadi, dkk. 2009. Prematuritas. Bandung: Refika Aditama.
4. Stacy B, Wodjdyla D, Say L, Betran A, Merialdi M, Rubens C, et al. The
worldwide incidense of preterm birth: a systematic review of maternal and
morbidity. Bull World Health Organ. 2010;88:31
5. Sari, E. W. L. dan Sulastri, S. (2012) Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Preeklampsia Di RSUD DR. Moewardi Surakarta.
6. Drife J. Magowan BA. 2004. Clinical obsterics and gynaecology: Prematurity,
Saunders, London: 374-380
7. Goldenberg RL. 2002. The management of preterm labor. In: High-risk
pregnancy series. Obstet Gynecol: an expert’s view:1020-37.
8. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom
KD. 2005. Preterm birth in William Obsterics 22nd ed. McGraw-Hill. New
York: 855-73
9. Manajemen persalinan preterm. 2005. Himpunan Kedokteran Fetomaternal
POGI. Semarang.
10. Abadi A. 2004. Persalinan preterm. Dalam: Hariadi R. ed. Ilmu Kedokteran
Feto maternal. Edisi perdana, Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI
Surabaya: 364-80.
11. Suharsono. 2005. Kontroversi pemberian kortikosteroid dosis tunggal atau
multiple pada persalinan preterm. PIT-FM. Semarang.
12. Jobe AH, Soll RF. 2004. Choice and dose of corticosteroid for antenatal
treatment. AM J Obstet Gynecol. 190: 878-81.

28
13. Abbasi S, Hirsch D, Davis J. 2000. Effect of single versus multiple course of
antenatal corticosteroid on maternal and neonatal outcome. AM J Obstet
Gynecol 182: 1243-9.
14. Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Persalinan preterm dalam: Buku Ilmu
Kebidanan Edisi Keempat.PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta:
667-76
15. DeCherney AH. Nathan. 2003. Late Pregancy Complication in Current
Obstetrics and Gynecologic Diagnosis and Treatment , McGraw Hill
Companies.

29

Anda mungkin juga menyukai