Anda di halaman 1dari 35

Makalah PBL Blok 19

Tatalaksana dan Pencegahan Hipertensi dalam Kehamilan

PENDAHULUAN

Hipertensi pada kehamilan adalah penyakit yang sudah umum dan merupakan salah satu dari tiga
rangkaian penyakit yang mematikan, selain perdarahan dan infeksi, dan juga banyak memberikan
kontribusi pada morbiditas dan mortalitas ibu hamil. Meskipun telah dilakukan penelitian yang
intensif selama beberapa dekade, hipertensi yang dapat menyebabkan atau memperburuk
kehamilan tetap menjadi masalah yang belum terpecahkan. Secara umum, preeklamsi merupakan
suatu hipertensi yang disertai dengan proteinuria yang terjadi pada kehamilan. Penyakit ini
umumnya timbul setelah minggu ke-20 usia kehamilan dan paling sering terjadi pada
primigravida.1 Jika timbul pada multigravida biasanya ada faktor predisposisi seperti kehamilan
ganda, diabetes mellitus, obesitas, umur lebih dari 35 tahun dan sebab lainnya. Morbiditas janin
dari seorang wanita penderita hipertensi dalam kehamilan berhubungan secara langsung terhadap
penurunan aliran darah efektif pada sirkulasi uteroplasental, juga karena terjadi persalinan kurang
bulan pada kasus-kasus berat. Kematian janin diakibatkan hipoksia akut, karena sebab sekunder
terhadap solusio plasenta atau vasospasme dan diawali dengan pertumbuhan janin terhambat
(IUGR).1 Di negara berkembang, sekitar 25% mortalitas perinatal diakibatkan kelainan hipertensi
dalam kehamilan.

Diagnosis dan Gejala Klinis Hipertensi dalam Kehamilan

Diagnosis dini harus diutamakan bila diinginkan angka morbiditas dan mortalitas rendah bagi ibu
dan anaknya. Walaupun terjadinya preeklamsi sukar dicegah, tetapi berat dan terdinya eklamsi
biasanya dapat dihindari dengan mengenal secara dini penyakit tersebut dan dengan penanganan
secara sempurna.2 Tekanan darah sebaiknya diukur pada posisi duduk dengan posisi cuff setinggi
jantung. Adanya penekanan vena kava inferior oleh uterus gravid pada posisi berbaring dapat
mengganggu pengukuran sehingga terjadi pengukuran yang lebih rendah. Sebelum pengukuran,
wanita hamil dianjurkan untuk duduk tenang 5-10 menit.3-5 Hipertensi didiagnosa apabila tekanan

1
darah pada waktu beristirahat 140/90 mmHg atau lebih besar, fase ke V Korotkoff digunakan untuk
menentukan tekanan darah diastolik.. Pada masa lalu, telah dianjurkan agar peningkatan tambahan
tekanan diastolik 15 mmHg atau sistolik 30 mmHg digunakan sebagai kriteria diagnostik, bahkan
apabila tekanan darah saat diukur di bawah 140/90 mmHg. Kriteria tersebut sekarang ini tidak lagi
dianjurkan karena bukti menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak memiliki kecenderungan untuk
mengalami efek samping merugikan saat kehamilan. Sebagai tambahan, tekanan darah biasanya
menurun pada trimester ke-II kehamilan dan tekanan diastolik pada primigravida dengan
kehamilan normotensi kadang-kadang naik sebesar 15 mmHg. Oedem telah ditinggalkan sebagai
kriteria diagnostik karena hal tersebut juga banyak terjadi pada wanita hamil yang normotensi.
Oedem dianggap patologis bila menyeluruh dan meliputi tangan, muka, dan tungkai. Sebagai
catatan, oedem tidak selalu terdapat pada pasien preeklamsi maupun eklamsi.3-6

Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan

Istilah hipertensi gestasional digunakan sekarang ini untuk menjelaskan setiap bentuk hipertensi
yang berhubungan dengan kehamilan. Istilah ini telah dipilih untuk menekankan hubungan sebab
dan akibat antara kehamilan dan hipertensi – preeklamsi dan eklamsi.3

Wanita hamil dengan hipertensi secara luas dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu hipertensi kronis,
hipertensi non-proteinuri (kadang dikenal sebagai pregnancy-induced hypertension), dan pre-
eklamsi. Menurut The International Society for the Study of Hypertension in Pregnancy (ISSHP)
klasifikasi hipertensi pada wanita hamil dibagi menjadi :

1. Hipertensi gestasional dan/atau proteinuria selama kehamilan, persalinan, atau pada


wanita hamil yang sebelumnya normotensi dan non-proteinuri.

- Hipertensi gestasional (tanpa proteinuria)


- Proteinuria gestasional (tanpa hipertensi)
- Hipertensi gestasional dengan proteinuria (pre-eklamsi)
2. Chronic hypertension (sebelum kehamilan 20 minggu) dan penyakit ginjal kronis
(proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu)

- Hipertensi kronis (without proteinuria)


- Penyakit ginjal kronis (proteinuria dengan atau tanpa hipertensi)

2
- Hipertensi kronis dengn superimposed
- Pre-eklamsi (proteinuria)
3. Unclassified hypertension dan/atau proteinuria

4. Eklampsia.6

Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the NHBPEP (2000) dibagi menjadi
5 tipe, yaitu :

1. Hipertensi gestasional
2. Preeklamsi
3. Eklamsi
4. Preeklamsi superimposed pada hipertensi kronis
5. Hipertensi kronis.3-5,7-9

Hipertensi Gestasional

Hipertensi gestasional didiagnosis pada wanita dengan tekanan darah mencapai 140/90 mmHg
atau lebih besar, untuk pertama kalinya selama kehamilan tetapi tidak terdapat proteinuria.
Hipertensi gestasional disebut juga transient hypertension jika preeklampsia tidak berkembang
dan tekanan darah telah kembali normal pada 12 minggu postpartum. Apabila tekanan darah naik
cukup tinggi selama setelah kehamilan terakhir, hal ini berbahaya terutama untuk janin, walaupun
proteinuria tidak pernah ditemukan. Dengan demikian, jelas bahwa apabila tekanan darah mulai
naik, ibu dan janin menghadapi risiko yang meningkat. Proteinuria adalah suatu tanda dari
penyakit hipertensi yang memburuk, terutama preeklampsia. Proteinuria yang nyata dan terus-
menerus meningkatkan risiko ibu dan janin.3,7

Kriteria Diagnosis pada hipertensi gestasional yaitu :

- TD 140/90 mmHg yang timbul pertama kali selama kehamilan.


- Tidak ada proteinuria.
- TD kembali normal < 12 minggu postpartum.
- Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum.

3
- Mungkin ada gejala preeklampsia lain yang timbul, contohnya nyeri epigastrium atau
trombositopenia.3
Preeklamsia

Proteinuria adalah tanda penting dari preeklampsia Diagnosis diragukan dengan tidak adanya
proteinuria. Proteinuria yaitu protein dalam urin 24 jam melebihi 300mg per 24 jam, atau pada
sampel urin secara acak menunjukkan 30 mg/dL (1 + dipstick) secara persisten. Tingkat
proteinuria dapat berubah-ubah secara luas selama setiap periode 24 jam, bahkan pada kasus yang
berat. Oleh karena itu, satu sampel acak bisa saja tidak membuktikan adanya proteinuria yang
berarti.3,7 Dengan demikian, kriteria minimum untuk diagnosis preeklamsi adalah hipertensi
dengan proteinuria yang minimal. Temuan laboratorium yang abnormal dalam pemeriksaan ginjal,
hepar, dan fungsi hematologi meningkatkan kepastian diagnosis preeklamsi. Selain itu,
pemantauan secara terus-menerus gejala eklampsia, seperti sakit kepala dan nyeri epigastrium,
juga meningkatkan kepastian tersebut.3 Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas
merupakan akibat nekrosis hepatocellular, iskemia, dan oedem yang merentangkan kapsul
Glissoni. Nyeri ini sering disertai dengan peningkatan serum hepatik transaminase yang tinggi dan
biasanya merupakan tanda untuk mengakhiri kehamilan.3

Trombositopeni adalah karakteristik dari preeklamsi yang memburuk, dan hal tersebut mungkin
disebabkan oleh aktivasi dan agregasi platelet serta hemolisis mikroangiopati yang disebabkan
oleh vasospasme yang berat. Bukti adanya hemolisis yang luas dengan ditemukannya
hemoglobinemia, hemoglobinuria, atau hiperbilirubinemi dan merupakan indikasi penyakit yang
berat.3 Faktor lain yang menunjukkan hipertensi berat meliputi gangguan fungsi jantung dengan
oedem pulmonal dan juga pembatasan pertumbuhan janin yang nyata.3

Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari :

Kriteria minimal, yaitu :

- TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.


- Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.

4
Kemungkinan terjadinya preeklamsi :

- TD 160/110 mmHg.
- Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.
- Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah meningkat.
- Trombosit <100.000/mm3.
- Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH).
- peningkatan ALT atau AST.
- Nyeri kepala persisten atau gangguan penglihatan atau cerebral lain.
- Nyeri epigastrium persisten.3

Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan intensitas abnormalitas yang dapat dilihat pada
Tabel 2.1. Semakin banyak ditemukan penyimpangan tersebut, semakin besar kemungkinan harus
dilakukan terminasi kehamilan. Perbedaan antara preeklamsi ringan dan berat dapat sulit
dibedakan karena preeklamsi yang tampak ringan dapat berkembang dengan cepat menjadi berat.5

Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam mendiagnosis preeklampsia, tetapi tekanan
darah bukan merupakan penentu absolut tingkat keparahan hipertensi dalam kehamilan.
Contohnya, pada wanita dewasa muda mungkin terdapat proteinuria +3 dan kejang dengan tekanan
darah 135/85 mmHg, sedangkan kebanyakan wanita dengan tekanan darah mencapai 180/120
mmHg tidak mengalami kejang. Peningkatan tekanan darah yang cepat dan diikuti dengan kejang
biasanya didahului nyeri kepala berat yang persisten atau gangguan visual.3

Abnormalitas < 100 mmHg ≥ 110 mmHg


Tekanan darah diastolik Trace - 1+ Persisten ≥ 2+
Proteinuria Tidak ada Ada
Sakit kepala Tidak ada Ada
Nyeri perut bagian atas Tidak ada Ada

5
Oliguria Tidak ada Ada
Kejang (eklamsi) Tidak ada Ada
Serum Kreatinin Normal Meningkat
Trombositopeni Tidak ada Ada
Peningkatan enzim hati Minimal Nyata
Hambatan pertumbuhan janin Tidak ada Nyata
Oedem paru Tidak ada Ada
Tabel 2.1 Gejala Beratnya Hipertensi Selama Kehamilan 3

Eklamsi

Eklamsia merupakan komplikasi kehamilan yang serius, dan dapat dikarakteristikkan dengan
adanya kejang. Biasanya eklamsia merupakan lanjutan dari pre- eklamsia walaupun kadang –
kadang tidak diketahui terlebih dahulu. Definisi lain dari eklamsia adalah onset baru hipertensi
gestasi yang diikuti dengan kejang grand mal, dan kejang pada pre-eklampsia yang tidak bisa
dikaitkan dengan penyebab lain. Kejang pada eklampsia tidak berhubungan dengan kondisi otak
dan biasanya terjadi setelah 20 minggu kehamilan.

Superimposed Preeclampsia

Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia adalah :

- Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi yang belum ada sebelum
kehamilan 20 minggu.
- Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau jumlah trombosit
<100.000/mm3 pada wanita dengan hipertensi atau proteinuria sebelum kehamilan 20
minggu. 3-6,8,10

Hipertensi Kronis

Diagnosis hipertensi kronis yang mendasari dilakukan apabila :

- Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) terbukti mendahului kehamilan.

6
- Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) diketahui sebelum 20 minggu, kecuali bila ada penyakit
trofoblastik.
- Hipertensi berlangsung lama setelah kelahiran.3

Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis apalagi wanita hamil tidak mengetahui
tekanan darahnya sebelum kehamilan. Pada beberapa kasus, hipertensi kronis didiagnosis sebelum
kehamilan usia 20 minggu, tetapi pada beberapa wanita hamil, tekanan darah yang meningkat
sebelum usia kehamilan 20 minggu mungkin merupakan tanda awal terjadinya preeklamsi.5,10,11

Sebagian dari banyak penyebab hipertensi yang mendasari dan dialami selama kehamilan dicatat
pada Tabel 2.2. Hipertensi esensial merupakan penyebab dari penyakit vaskular pada > 90%
wanita hamil. Selain itu, obesitas dan diabetes adalah sebab umum lainnya. Pada beberapa wanita,
hipertensi berkembang sebagai konsekuensi dari penyakit parenkim ginjal yang mendasari.3

Hipertensi esensial
Obesitas
Kelainan arterial :
Hipertensi renovaskular
Koartasi aorta
Gangguan-gangguan endokrin :
Diabetes mellitus
Sindrom cushing
Aldosteronism primer
Pheochromocytoma
Thyrotoxicosis
Glomerulonephritis (akut dan
kronis)
Hipertensi renoprival :
Glomerulonephritis kronis
Ketidakcukupan ginjal kronis
Diabetic nephropathy

7
Penyakit jaringan konektif :
Lupus erythematosus
Systemic sclerosis
Periarteritis nodosa
Penyakit ginjal polikistik
Gagal ginjal akut
Tabel 2.2 Penyebab yang mendasari hipertensi kronis 3

Sedangkan klasifikasi hipertensi kronis berdasarkan JNC VII dapat dilihat pada tabel 2.3.12

Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)


Normal < 120 < 80
Pre – hipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi stadium I 140 – 159 90 – 99
Hipertensi stadium II ≥ 160 ≥ 100
Tabel 2.3 Klasifikasi Hipertensi Kronis 12

Pada beberapa wanita dengan hipertensi kronis, tekanan darah dapat meningkat sampai tingkat
abnormal, khususnya setelah 24 minggu. Jika disertai oleh proteinuria, maka preeklamsi yang
mendasarinya dapat didiagnosis. Preeklamsi yang mendasari hipertensi kronis ini sering
berkembang lebih awal pada kehamilan daripada preeklamsi murni, dan hal ini cenderung akan
menjadi lebih berat dan sering menyebabkan hambatan dalam pertumbuhan janin. Indikator
tentang beratnya hipertensi sudah diperlihatkan pada Tabel 2.1 dan digunakan juga untuk
menggolongkan preeklamsi yang mendasari hipertensi kronis tersebut

Etiologi

Setiap teori yang memuaskan tentang etiologi dan patofisiologi preeklamsi harus menerangkan
pengamatan bahwa hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan jauh lebih memungkinkan terjadi
pada wanita yang :

1. Terpapar vili korialis untuk pertama kalinya.

8
2. Terpapar vili korialis yang berlimpah, pada gemeli atau mola hidatidosa.
3. Memiliki penyakit vaskular yang telah ada sebelumnya.
4. Secara genetik memiliki predisposisi terhadap hipertensi yang berkembang selama
kehamilan.3
Sebab potensial yang mungkin menjadi penyebab preeklamsi adalah sebagai berikut :

1. Invasi trofoblastik abnormal pembuluh darah uterus.


2. Intoleransi imunologis antara jaringan plasenta ibu dan janin.
3. Maladaptasi maternal pada perubahan kardiovaskular atau inflamasi dari kehamilan
normal.
4. Faktor nutrisi.
5. Pengaruh genetik.3

Invasi Trofoblastik Abnormal

Pada implantasi normal, arteri spiralis uterus mengalami remodelling yang luas ketika diinvasi
oleh trofoblas endovaskular (Gambar 2.1). Akan tetapi, pada preeklamsi terdapat invasi
trofoblastik yang tidak lengkap. Pada kasus ini, pembuluh darah decidua, tetapi bukan pembuluh
darah myometrial, menjadi sejajar dengan trofoblas endovaskular. Meekins dan kawan-kawan
(1994) menjelaskan jumlah arteri spiralis dengan trofoblas endovaskular pada plasenta wanita
normal dan wanita dengan preeklamsi.3,13

Gambar 2.1 Implantasi plasenta normal3

9
Dengan menggunakan mikroskop elektron, De Wolf dan kawan-kawan (1980) meneliti pembuluh
darah yang diambil dari tempat implantasi plasenta pada uterus. Mereka memperhatikan bahwa
perubahan pada preeklampsia awal meliputi kerusakan endotelial, perembesan isi plasma pada
dinding arteri, proliferasi sel miointimal, dan nekrosis tunika media. Mereka menemukan bahwa
lipid mengumpul pertama kali pada sel-sel myointimal dan kemudian pada makrofag akan
membentuk atherosis (Gambar 2.2). Obstruksi lumen arteriol spiral oleh atherosis dapat
mengganggu aliran darah plasenta. Perubahan-perubahan ini dianggap menyebabkan perfusi
plasenta menjadi berkurang secara patologis, yang pada akhirnya menyebabkan sindrom
preeklamsi.3

Gambar 2.2 Atherosis3

Faktor imunologis
Karena preeklamsi terjadi paling sering pada kehamilan pertama, terdapat spekulasi bahwa terjadi
reaksi imun terhadap antigen paternal sehingga menyebabkan kelainan ini.3

Hanya ada sedikit data yang mendukung keberadaan teori bahwa preeklamsi adalah proses yang
dimediasi sistem imun. Perubahan adaptasi pada sistem imun dalam patofisiologi preeklamsia
dimulai pada awal trimester kedua. Wanita yang cenderung mengalami preeklamsi memiliki
jumlah T helper cells (Th1) yang lebih sedikit.dibandingkan dengan wanita yang normotensif.
Ketidakseimbangan ini terjadi karena terdapat dominasi Th2 yang dimediasi oleh adenosin.

10
Limfosit T helper ini mengeluarkan sitokin spesifik yang memicu implantasi dan kerusakan pada
proses ini dapat menyebabkan preeklamsi.3,9,14

Vaskulopati dan Perubahan Inflamasi

Perubahan-perubahan yang terjadi merupakan akibat dari respon dari plasenta karena terjadi
iskemik sehingga akan menimbulkan urutan proses tertentu. Desidua juga memiliki sel-sel yang
bila diaktivasi maka akan mengeluarkan agen noxious. Agen ini dapat menjadi mediator yang
mengakibatkan kerusakan sel endotel. Sitokin tertentu seperti tumor necrosis factor- (TNF-)
dan interleukin memiliki kontribusi terhadap stres oksidatif yang berhubungan dengan preeklamsi.
Stres oksidatif ditandai dengan adanya oksigen reaktif dan radikal bebas yang akan menyebabkan
pembentukan lipid peroksida.

Hal ini akan menghasilkan toksin radikal yang merusak sel-sel endotel, memodifikasi produksi
Nitric Oxide, dan mengganggu keseimbangan prostaglandin. Fenomena lain yang ditimbulkan
oleh stres oksidatif meliputi pembentukan sel-sel busa pada atherosis, aktivasi koagulasi
intravaskular (trombositopeni), dan peningkatan permeabilitas (edema dan proteinuria).14,15

11
Penyakit Gangguan Trofoblas
vaskuler ibu Plasentasi Berlebihan

Faktor genetik,
Imunologi,
atau, Inflamasi

Penurunan
Perfusi
Uteroplasenta

Zat Vasoaktif : Aktivasi Zat perusak :


Prostaglandin, Endotel Sitokin,
Nitro-oksida, Peroksidase
Endotelin Lemak

Kebocoran Aktivasi
Vasospasme
kapiler koagulasi

Iskemia
Hipertensi oliguria Edema Proteinuria
hepar

Trombositopenia
Kejang Solusio Hemokonsentrasi

Bagan 2.1 Patofisiologi terjadinya gangguan hipertensi akibat kehamilan. 3

Faktor nutrisi

Tekanan darah pada individu-individu yang tidak hamil dipengaruhi oleh sejumlah pengaruh
makanan, termasuk mineral dan vitamin. Beberapa studi telah membuktikan hubungan antara
kekurangan makanan dan insidensi terjadinya preeklamsi. Hal ini telah didahului oleh studi-studi
tentang suplementasi dengan berbagai unsur seperti zinc, kalsium, dan magnesium yang dapat
mencegah preeklamsi. Studi lainnya, seperti studi oleh John dan kawan-kawan (2002),
membuktikan bahwa dalam populasi umum dengan diet tinggi buah dan sayuran yang memiliki
efek antioxidant berhubungan dengan tekanan darah yang menurun.3,14,16

Faktor genetik

Predisposisi herediter terhadap hipertensi tidak diragukan lagi berhubungan dengan preeklamsi
dan tendensi untuk terjadinya preeklamsi juga diturunkan. Penelitian yang dilakukan oleh
Kilpatrick dan kawan-kawan menunjukkan adanya hubungan antara antigen histokompatibilitas
HLA-DR4 dengan hipertensi proteinuria. Menurut Hoff dan kawan-kawan, respon imun humoral

12
maternal yang melawan antibodi imunoglobulin fetal anti HLA-DR dapat menimbulkan hipertensi
gestasional.3,14

Patofisiologi

Walaupun mekanisme patofisiologi yang jelas tidak dimengerti, preeklamsi merupakan suatu
kelainan pada fungsi endotel yaitu vasospasme. Pada beberapa kasus, mikroskop cahaya
menunjukkan bukti insufisiensi plasenta akibat kelainan tersebut, seperti trombosis plasenta difus,
inflamasi vaskulopati desidua plasenta, dan invasi abnormal trofoblastik pada endometrium. Hal-
hal ini menjelaskan bahwa pertumbuhan plasenta yang abnormal atau kerusakan plasenta akibat
mikrotrombosis difus merupakan pusat perkembangan kelainan ini.3,4,8 Hipertensi yang terjadi
pada preeklamsi adalah akibat vasospasme, dengan konstriksi arterial dan penurunan volume
intravaskular relatif dibandingkan dengan kehamilan normal.

Sistem vaskular pada wanita hamil menunjukkan adanya penurunan respon terhadap peptida
vasoaktif seperti angiotensin II dan epinefrin. Wanita yang mengalami preeklamsi menunjukkan
hiperresponsif terhadap hormon-hormon ini dan hal ini merupakan gangguan yang dapat terlihat
bahkan sebelum hipertensi tampak jelas. Pemeliharaan tekanan darah pada level normal dalam
kehamilan tergantung pada interaksi antara curah jantung dan resistensi vaskular perifer, tetapi
masing-masing secara signifikan terganggu dalam kehamilan. Curah jantung meningkat 30-50%
karena peningkatan nadi dan volume sekuncup.

Walaupun angiotensin dan renin yang bersirkulasi meningkat pada trimester II, tekanan darah
cenderung untuk menurun, menunjukkan adanya reduksi resistensi vaskular sistemik. Reduksi
diakibatkan karena penurunan viskositas darah dan sensivitas pembuluh darah terhadap
angiotensin karena adanya prostaglandin vasodilator. 3,4,8 Ada bukti yang menunjukkan bahwa
adanya respon imun maternal yang terganggu terhadap jaringan plasenta atau janin memiliki
kontribusi terhadap perkembangan preeklamsi. Disfungsi endotel yang luas menimbulkan
manifestasi klinis berupa disfungsi multi organ, meliputi susunan saraf pusat, hepar, pulmonal,
renal, dan sistem hematologi. Kerusakan endotel menyebabkan kebocoran kapiler patologis yang
dapat bermanifestasi pada ibu berupa kenaikan berat badan yang cepat, edema non dependen
(muka atau tangan), edema pulmonal, dan hemokonsentrasi.

13
Ketika plasenta ikut terkena kelainan, janin dapat terkena dampaknya akibat penurunan aliran
darah utero-plasenta. Penurunan perfusi ini menimbulkan manifestasi klinis seperti tes laju jantung
janin yang non-reassuring, skor rendah profil biofisik, oligohidramnion, dan pertumbuhan janin
terhambat pada kasus-kasus yang berat.3,4,8 Selama kehamilan normal, tekanan darah sistolik hanya
berubah sedikit, sedangkan tekanan darah diastolik turun sekitar 10 mmHg pada usia kehamilan
muda (13-20 minggu) dan naik kembali pada trimester ke III. Pembentukkan ruangan intervillair,
yang menurunkan resistensi vaskular, lebih lanjut akan menurunkan tekanan darah.3,4,8 Patogenesis
pada konvulsi eklamsi masih menjadi subyek penelitian dan spekulasi. Beberapa teori dan
mekanisme etiologi telah dipercaya sebagai etiologi yang paling mungkin, tetapi tidak ada satupun
yang dengan jelas terbukti.

Beberapa mekanisme etiologi yang dipercaya sebagai patogenesis dari konvulsi eklamsi meliputi
vasokonstriksi atau vasospame serebral, hipertensi ensefalopati, infark atau edema serebral,
perdarahan serebral, dan ensefalopati metabolik. Akan tetapi, tidak ada kejelasan apakah
penemuan ini merupakan sebab atau efek akibat konvulsi.3,4,8,10

Pencegahan preeklamsi

1. Manipulasi diet
Salah satu cara yang paling awal dalam mencegah preeklamsia adalah pembatasan garam. Setelah
beberapa tahun diselidiki, pembatasan garam tidaklah penting. Pada penelitian yang dilakukan
Knuist dan kawan-kawan, pembatasan garam terbukti tidak efektif dalam mencegah preeklamsia
pada 361 wanita.3 Sekitar 14 penelitian secara acak dan sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa
suplementasi kalsium pada waktu antenatal menghasilkan penurunan yang signifikan dari tekanan
darah dan insidensi preeklamsia.3,16 Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Olsen dan kawan-
kawan menunjukkan bahwa pemberian kapsul minyak ikan dalam rangka memperbaiki gangguan
keseimbangan prostaglandin pada patofisiologi eklamsia tidaklah efektif.3 Herrera dan kawan-
kawan melakukan sebuah penelitian dengan tujuan untuk menemukan efek suplementasi kalsium
plus asam linoleat (Calcium-CLA) dalam menurunkan insidensi disfungsi endotel vaskular pada
wanita hamil berisiko tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian suplemen kalsium-
CLA menurunkan kejadian hipertensi dalam kehamilan dan meningkatkan fungsi endotel.3,16

2. Aspirin dosis rendah

14
Dahulu pemberian aspirin 60 mg digunakan untuk menurunkan insidensi preeklamsi karena
bekerja dalam mensupresi tromboksan dengan hasil dominansi dari prostasiklin endotel. Sekarang
ini, pemberian aspirin terbukti tidak efektif dalam mencegah preeklamsi. Hal ini terbukti pada
penelitian yang dilakukan Caritis dan kawan-kawan terhadap wanita risiko tinggi dan rendah.
Hanya ada satu penelitian yang secara spesifik dilakukan untuk menguji efek aspirin terhadap
wanita hamil dengan hipertensi kronis. Penelitian double blind placebo controlled trial dilakukan
untuk melihat efek aspirin pada hipertensi kronis yang dilakukan pada 774 wanita. Dosis rendah
aspirin, 60 mg sehari, yang dimulai sejak masa kehamilan 26 minggu tidak menurunkan
preeklampsia, pertumbuhan janin terhambat, perdarahan post partum, dan perdarahan
interventrikuler neonatal.3,4

3. Antioksidan

Antioksidan memiliki mekanisme yang mengontrol peroksidasi lipid yang berperan dalam
kerusakan endotel. Penelitian yang dilakukan oleh Schiff dan kawan-kawan menunjukkan bahwa
konsumsi vitamin E tidak berhubungan dengan preeklamsi. Mereka menemukan bahwa
peninggian plasma vitamin E pada wanita dengan preeklamsi dan menyatakan bahwa hal ini
merupakan respon terhadap stres oksidatif. Namun hal ini masih menjadi kontroversi karena ada
penelitian lain yang menyatakan terapi dengan vitamin C / E dapat menurunkan aktivasi endotel
yang pada akhirnya akan menurunkan preeklamsi.15 Pada penelitian lain, dengan pemberian
vitamin C sebanyak 1000 mg/hari dan vitamin E 400 IU/ hari pada usia kehamilan 16 – 22 minggu
berhubungan dengan rendahnya insidensi preeklamsi. Karena itu masih perlu dilakukan penelitian
sebelum menyarankan penggunaan Vitamin C dan E untuk penggunaan secara klinis.12

4. Suplemen kalsium

Berdasarkan penelitian secara epidemiologis, terdapat hubungan antara asupan diet rendah kalsium
dengan terjadinya preeklamsi. Dengan pemberian suplemen kalsium sebanyak 1,5 – 2 g/hari telah
disarankan untuk upaya pencegahan preeklamsi. Dari hasil penelitian Cochrane, diketahui bahwa
pemberian suplementasi kalsium tidak dibutuhkan pada nulipara. Walaupun demikian, mungkin
pemberiannya bisa menguntungkan untuk mereka yang termasuk kelompok dengan asupan
kalsium yang memang kurang atau pada kelompok risiko tinggi, seperti mereka dengan riwayat
preeklamsi berat.15

15
5. N-Acetylcystein

Diduga dapat mencegah preeklamsi karena sifatnya sebagai anti radikal bebas atau antioksidan,
sehingga pemberian obat ini diharapkan dapat mencegah terjadinya peningkatan tekanan darah
yang diakibatkan kerusakan sel endotel pembuluh darah. Namun pemberian obat ini masih
kontroversi. Meskipun demikian beberapa ahli sudah mencoba menggunakan obat ini.15

Pencegahan eklamsi

Karena patogenesis eklamsi tidak diketahui, strategi pencegahan eklamsi juga terbatas. Keadaan
ini membuat pencegahan eklamsi adalah dengan cara mencegah terjadinya preeklamsi atau secara
sekunder dengan penggunaan pendekatan farmakologis untuk mencegah konvulsi pada wanita
preeklamsi. Pencegahan dapat bersifat tersier dengan mencegah konvulsi berikutnya pada wanita
dengan eklamsi. Sampai sekarang belum ada terapi pencegahan untuk eklamsi. Selama beberapa
dekade belakangan ini, beberapa penelitian acak telah melaporkan hasil penelitiannya tentang
penggunaan restriksi protein atau garam, magnesium, suplementasi minyak ikan, aspirin dosis
rendah, kalsium, dan vitamin C & E pada wanita dengan variasi faktor risiko untuk menurunkan
angka kejadian atau beratnya preeklamsi.

Secara umum, hasil-hasil dari penelitian ini memiliki keuntungan minimal atau malah tidak ada
terhadap penurunan preeklamsi. Bahkan pada penelitian yang melaporkan penurunan angka
kejadian preeklamsi, tidak memiliki keuntungan dalam outcome perinatal.17 Penanganan yang
sekarang dilakukan untuk mencegah eklamsi adalah deteksi dini serta terapi preventif hipertensi
gestasional atau preeklamsi. Beberapa rekomendasi terapi pencegahan meliputi observasi ketat,
penggunaan obat anti hipertensi untuk menjaga tekanan darah maternal melebihi nilai normal,
waktu persalinan, dan profilaksis magnesium sulfat selama persalinan dan segera postpartum pada
pasien yang dicurigai mengalami preeklamsi.17

Semua wanita dengan hipertensi gestasional ringan dapat ditangani secara aman dengan rawat
jalan. Hal yang sama juga menunjukkan bahwa tidak direkomendasikan penggunaan anti
hipertensi pada wanita dengan hipertensi gestasional ringan atau preeklamsi. Profilaksis
magnesium sulfat hanya direkomendasikan pada wanita yang dirawat dengan diagnosis
preeklamsi. Magnesium sulfat diberikan selama persalinan dan 12-24 jam postpartum. Namun

16
tidak ada data yang mendukung pemberian profilaksis magnesium sulfat pada wanita dengan
hipertensi ringan.17

Penatalaksanaan hipertensi kronis selama kehamilan

Kebanyakan pasien dengan hipertensi kronis mempunyai hipertensi esensial. Peningkatan


morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien ini adalah secara primer berhubungan dengan
terjadinya preeklamsi superimposed dan solusio plasenta.

Hipertensi akibat sekunder terhadap penyakit ginjal, faeokromositoma, penyakit endokrin, dan
koarktasio aorta tidak umum dalam kehamilan. Faktor-faktor yang menempatkan pasien pada
risiko tinggi untuk terjadinya preeklamsi superimposed adalah umur ibu lebih dari 40 tahun,
hipertensi lebih dari 15 tahun, tekanan darah > 160/110 mmHg pada awal kehamilan, diabetes klas
B-F, kardiomiopati, dan penyakit ginjal atau autoimun.18,19 Evaluasi yang tepat memerlukan
pemeriksaan fisik yang lengkap, termasuk funduskopi.

Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan meliputi urinalisis dan kultur urin,


penampungan urin 24 jam untuk mengetahui total ekskresi protein dan klirens kreatinin, dan
pemeriksaan elektrolit. Beberapa pasien mungkin memerlukan pemeriksaan EKG, rontgen thorax,
tes antibodi antifosfolipid, antibodi antinuklear, dan katekolamin urine.3,15 Wanita dengan
hipertensi tingkat I memiliki risiko rendah untuk komplikasi kardiovaskular selama kehamilan dan
hanya menjalani terapi perubahan gaya hidup karena tidak ada bukti bahwa terapi farmakologis
meningkatkan prognosis neonatal. Lebih lanjut lagi, tekanan darah biasanya menurun pada awal
kehamilan, disamping itu hipertensi mudah di kontrol dengan atau tanpa medikasi. Modifikasi
gaya hidup, latihan aerobik ringan harus dibatasi berdasarkan teori yang menyatakan bahwa aliran
darah plasenta yang inadekuat dapat meningkatkan risiko preeklampsia dan penurunan berat badan
seharusnya tidak dicoba bahkan pada wanita hamil yang obese. Walaupun data pada wanita hamil
bervariasi, banyak ahli yang merekomendasikan restriksi intake garam sebesar 2,4 gram.
Penggunaan alkohol dan rokok harus dihentikan.3,4,19

Pasien dikontrol tiap 2 minggu sampai mencapai usia kehamilan 28 minggu dan kemudian setiap
minggu sampai persalinan. Dalam setiap kunjungan, tekanan darah sitolik dan diastolik harus
dicatat dan dilakukan tes urin untuk mengetahui adanya glukosa atau protein. Evalusai tambahan
dilakukan tergantung dari beratnya penyakit, seperti pengukuran hematokrit, serum kreatinin,

17
asam urat, klirens kreatinin, dan ekskresi protein 24 jam. Hospitalisasi diindikasikan apabila
hipertensi memburuk, terjadi proteinuria yang signifikan, dan peningkatan asam urat. Peningkatan
asam urat > 6 mg/dL seringkali merupakan tanda awal preeklamsi superimposed.3,15 Penggunaan
obat anti hipertensi pada wanita hamil penderita hipertensi kronis bervariasi pada beberapa pusat
kesehatan. Beberapa klinisi lebih suka menghentikan medikasi anti hipertensi ketika menjalankan
observasi ketat, termasuk penggunaan monitor tekanan darah di rumah.

Pendekatan ini menggambarkan perhatian terhadap keamanan terapi obat anti hipertensi dalam
kehamilan. Sebuah meta-analisis terhadap 45 penelitian acak terkontrol tentang penatalaksanaan
beberapa kelas obat anti hipertensi pada hipertensi tingkat 1 dan 2 selama kehamilan menunjukkan
hubungan linier langsung antara penurunan tekanan darah rata-rata karena terapi dengan proporsi
bayi KMK (Kecil Untuk Masa Kehamilan). Hubungan ini tidak tergantung pada tipe hipertensi,
tipe obat anti hipertensi, dan lamanya terapi.3,4,19 Bagaimanapun juga pada wanita hamil dengan
kerusakan target organ atau yang lebih dulu memerlukan bermacam obat anti hipertensi untuk
mengontrol tekanan darahnya, medikasi anti hipertensi harus dilanjutkan untuk mengontrol
tekanan darahnya. Pada semua kasus, terapi harus dijalankan ketika tekanan darah mencapai 150-
160 mmHg sistolik atau 100-110 mmHg diastolik untuk mencegah peningkatan tekanan darah
pada tingkat yang sangat tinggi pada kehamilan. Akan tetapi ada beberapa pendapat yang
merekomendasikan pemberian obat anti hipertensi saat tekanan darah mencapai  180/110 mmHg.
Penatalaksanaan yang agresif pada hipertensi kronis yang berat pada trimester pertama sangat
penting, mengingat kematian janin mencapai 50% dan angka kematian maternal yang signifikan
telah banyak dilaporkan. Kebanyakan prognosis paling buruk berhubungan dengan superimposed
preeklamsi. Lebih jauh lagi, wanita dengan hipertensi kronis mempunyai faktor risiko lebih tinggi
dalam memperburuk prognosis neonatal jika proteinuria didapatkan pada awal kehamilan.3,4,19

Wanita hamil dengan hipertensi kronis harus dievaluasi sebelum kehamilan sehingga obat-obat
yang memiliki efek berbahaya terhadap janin dapat diganti dengan obat lain seperti metildopa dan
labetalol. Metil dopa merupakan obat anti hipertensi yang umum digunakan dan tetap menjadi obat
pilihan karena tingkat keamanan dan efektivitasnya yang baik. Banyak wanita yang diterapi
dengan diuretika, akan tetapi apakah terapi diuretik dilanjutkan selama kehamilan masih menjadi
bahan perdebatan.

18
Terapi diuretik berguna pada wanita dengan hipertensi sensitif garam atau disfungsi diastolik
ventrikel. Akan tetapi diuretik harus dihentikan apabila terjadi preeklamsi atau tanda-tanda
pertumbuhan janin terhambat. Keputusan untuk memulai terapi anti hipertensi pada hipertensi
kronis tergantung dari beratnya hipertensi, ada tidaknya penyakit kardiovaskular yang mendasari,
dan potensi kerusakan target organ.

Obat lini pertama yang biasanya dipergunakan adalah metil dopa. Bila terdapat kontra indikasi
(menginduksi kerusakan hepar) maka obat lain seperti nifedipin atau labetalol dapat
digunakan.3,4,19

Penatalaksanaan preeklamsi

Diagnosis dini, supervisi medikal yang ketat, waktu persalinan merupakan persyaratan yang
mutlak dalam penatalaksanaan preeklamsi. Persalinan merupakan pengobatan yang utama. Setelah
diagnosis ditegakkan, penatalaksanaan selanjutnya harus berdasarkan evaluasi awal terhadap
kesejahteraan ibu dan janin. Berdasarkan hal ini, keputusan dalam penatalaksanaan dapat
ditegakkan, yaitu apakah hospitalisasi, ekspektatif atau terminasi kehamilan serta harus
memperhitungkan beratnya penyakit, keadaan ibu dan janin, dan usia kehamilan. Tujuan utama
pengambilan strategi penatalaksanaan adalah keselamatan ibu dan kelahiran janin hidup yang tidak
memerlukan perawatan neonatal lebih lanjut dan lama.20

Penatalaksanaa pada preeklamsi dibagi berdasarkan beratnya preeklamsi, yaitu :

1. Preeklamsi ringan
Pada preeklamsi ringan, observasi ketat harus dilakukan untuk mengawasi perjalanan penyakit
karena penyakit ini dapat memburuk sewaktu-waktu. Adanya gejala seperti sakit kepala, nyeri ulu
hati, gangguan penglihatan dan proteinuri meningkatkan risiko terjadinya eklamsi dan solusio
plasenta. Pasien-pasien dengan gejala seperti ini memerlukan observasi ketat yang dilakukan di
rumah sakit. Pasien harus diobservasi tekanan darahnya setiap 4 jam, pemeriksaan klirens kreatinin
dan protein total seminggu 2 kali, tes fungsi hati, asam urat, elektrolit, dan serum albumin setiap
minggu. Pada pasien preeklamsi berat, pemeriksaan fungsi pembekuan seperti protrombin time,
partial tromboplastin time, fibrinogen, dan hitung trombosit. Perkiraan berat badan janin diperoleh
melalui USG saat masuk rumah sakit dan setiap 2 minggu. Perawatan jalan dipertimbangkan bila
ketaatan pasien baik, hipertensi ringan, dan keadaan janin baik. Penatalaksanaan terhadap ibu

19
meliputi observasi ketat tekanan darah, berat badan, ekskresi protein pada urin 24 jam, dan hitung
trombosit begitu pula keadaan janin (pemeriksaan denyut jantung janin 2x seminggu). Sebagai
tambahan, ibu harus diberitahu mengenai gejala pemburukan penyakit, seperti nyeri kepala, nyeri
epigastrium, dan gangguan penglihatan. Bila ada tanda-tanda progresi penyakit, hospitalisasi
diperlukan. Pasien yang dirawat di rumah sakit dibuat senyaman mungkin. Ada persetujuan umum
tentang induksi persalinan pada preeklamsi ringan dan keadaan servik yang matang (skor Bishop
>6) untuk menghindari komplikasi maternal dan janin. Akan tetapi ada pula yang tidak
menganjurkan penatalaksanaan preeklamsi ringan pada kehamilan muda. Saat ini tidak ada
ketentuan mengenai tirah baring, hospitalisasi yang lama, penggunaan obat anti hipertensi dan
profilaksis anti konvulsan.

Tirah baring umumnya direkomendasikan terhadap preeklamsi ringan. Keuntungan dari tirah
baring adalah mengurangi edema, peningkatan pertumbuhan janin, pencegahan ke arah preeklamsi
berat, dan meningkatkan outcome janin. Medikasi anti hipertensi tidak diperlukan kecuali tekanan
darah melonjak dan usia kehamilan 30 minggu atau kurang. Pemakaian sedatif dahulu digunakan,
tatapi sekarang tidak dipakai lagi karena mempengaruhi denyut jantung istirahat janin dan karena
salah satunya yaitu fenobarbital mengganggu faktor pembekuan yang tergantung vitamin K dalam
janin. Sebanyak 3 penelitian acak menunjukkan bahwa tidak ada keuntungan tirah baring baik di
rumah maupun di rumah sakit walaupun tirah baring di rumah menurunkan lamanya waktu di
rumah sakit. Sebuah penelitian menyatakan adanya progresi penyakit ke arah eklamsi dan
persalinan prematur pada pasien yang tirah baring di rumah. Namun, tidak ada penelitian yang
mengevaluasi eklamsi, solusio plasenta, dan kematian janin. Pada 10 penelitian acak yang
mengevaluasi pengobatan pada wanita dengan preeklamsi ringan menunjukkan bahwa efek
pengobatan terhadap lamanya kehamilan, pertumbuhan janin, dan insidensi persalinan preterm
bervariasi antar penelitian.

Oleh karena itu tidak terdapat keuntungan yang jelas terhadap pengobatan preeklamsi ringan.5,20,15
Pengamatan terhadap keadaan janin dilakukan seminggu 2 kali dengan NST dan USG terhadap
volume cairan amnion. Hasil NST non reaktif memerlukan konfirmasi lebih lanjut dengan profil
biofisik dan oksitosin challenge test. Amniosentesis untuk mengetahui rasio lesitin:sfingomielin
(L:S ratio) tidak umum dilakukan karena persalinan awal akibat indikasi ibu, tetapi dapat berguna
untuk mengetahui tingkat kematangan janin. Pemberian kortikosteroid dilakukan untuk

20
mematangkan paru janin jika persalinan diperkirakan berlangsung 2-7 hari lagi. Jika terdapat
pemburukan penyakit preeklamsi, maka monitor terhadap janin dilakukan secara berkelanjutan
karena adanya bahaya solusio plasenta dan insufisiensi uteroplasenter.3,19

2. Preeklamsi berat
Tujuan penatalaksanaan pada preeklamsi berat adalah mencegah konvulsi, mengontrol tekanan
darah maternal, dan menentukan persalinan. Persalinan merupakan terapi definitif jika preeklamsi
berat terjadi di atas 36 minggu atau terdapat tanda paru janin sudah matang atau terjadi bahaya
terhadap janin. Jika terjadi persalinan sebelum usia kehamilan 36 minggu, ibu dikirim ke rumah
sakit besar untuk mendapatkan NICU yang baik.1 Pada preeklamsi berat, perjalanan penyakit dapat
memburuk dengan progresif sehingga menyebabkan pemburukan pada ibu dan janin. Oleh karena
itu persalinan segera direkomendasikan tanpa memperhatikan usia kehamilan. Persalinan segera
diindikasikan bila terdapat gejala impending eklamsi, disfungsi multiorgan, atau gawat janin atau
ketika preeklamsi terjadi sesudah usia kehamilan 34 minggu.

Pada kehamilan muda, bagaimana pun juga, penundaan terminasi kehamilan dengan pengawasan
ketat dilakukan untuk meningkatkan keselamatan neonatal dan menurunkan morbiditas neonatal
jangka pendek dan jangka panjang.3,19,20 Pada 3 penelitian klinis baru-baru ini, penatalaksanaan
secara konservatif pada wanita dengan preeklamsi berat yang belum aterm dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas neonatal. Namun, karena hanya 116 wanita yang menjalani terapi
konservatif pada penelitian ini dan karena terapi seperti itu mengundang risiko bagi ibu dan janin,
penatalaksanaan konservatif hanya dikerjakan pada pusat neonatal kelas 3 dan melaksanakan
observasi bagi ibu dan janin.

Semua wanita dengan usia kehamilan 40 minggu yang menderita preeklamsi ringan harus memulai
persalinan. Pada usia kehamilan 38 minggu, wanita dengan preeklamsi ringan dan keadaan serviks
yang sesuai harus diinduksi. Setiap wanita dengan usia kehamilan 32-34 minggu dengan
preeklamsi berat harus dipertimbangkan persalinan dan janin sebaiknya diberi kortikosteroid. Pada
pasien dengan usia kehamilan 23-32 minggu yang menderita preeklamsi berat, persalinan dapat
ditunda dalam usaha untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Jika usia kehamilan
< 23 minggu, pasien harus diinduksi persalinan untuk terminasi kehamilan.19 Tujuan
obyektif utama penatalaksanaan wanita dengan preeklamsi berat adalah mencegah terjadinya
komplikasi serebral seperti ensefalopati dan perdarahan. Ibu hamil harus diberikan magnesium

21
sulfat dalam waktu 24 jam setelah diagnosis dibuat. Tekanan darah dikontrol dengan medikasi dan
pemberian kortikosteroid untuk pematangan paru janin. Batasan terapi biasanya bertumpu pada
tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih tinggi. Beberapa ahli menganjurkan mulai terapi pada
tekanan diastolik 105 mmHg , sedangkan yang lainnya menggunakan batasan tekanan arteri rata-
rata > 125 mmHg.

Tujuan dari terapi adalah menjaga tekanan arteri rata-rata dibawah 126 mmHg (tetapi tidak lebih
rendah dari 105 mmHg) dan tekanan diastolik < 105 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 90
mmHg). Terapi inisial pilihan pada wanita dengan preeklamsi berat selama peripartum adalah
hidralazin secara IV dosis 5 mg bolus. Dosis tersebut dapat diulangi bila perlu setiap 20 menit
sampai total 20 mg. Bila dengan dosis tersebut hidralazin tidak menghasilkan perbaikan yang
diinginkan, atau jika ibu mengalami efek samping seperti takikardi, sakit kepala, atau mual,
labetalol (20 mg IV) atau nifedipin (10 mg oral) dapat diberikan. Akan tetapi adanya efek fetal
distres terhadap terapi dengan hidralazin, beberapa peneliti merekomendasikan penggunaan obat
lain dalam terapi preeklamsi berat. Pada 9 penelitian acak yang membandingkan hidralazin dengan
obat lain, hanya satu penelitian yang menyebutkan efek samping dan kegagalan terapi lebih sering
didapatkan pada hidralazin.20 Bila ditemukan masalah setelah persalinan dalam mengontrol
hipertensi berat dan jika hidralazin intra vena telah diberikan berulang kali pada awal puerperium,
maka regimen obat lain dapat digunakan. Setelah pengukuran tekanan darah mendekati normal,
maka pemberian hidralazin dihentikan. Jika hipertensi kembali muncul pada wanita post partum,
labetalol oral atau diuretik thiazide dapat diberikan selama masih diperlukan.53,4,19,20 Pemberian
cairan infus dianjurkan ringer laktat sebanyak 60-125 ml perjam kecuali terdapat kehilangan cairan
lewat muntah, diare, diaforesis, atau kehilangan darah selama persalinan. Oliguri merupakan hal
yang biasa terjadi pada preeklamsi dan eklamsi dikarenakan pembuluh darah maternal mengalami
konstriksi (vasospasme) sehingga pemberian cairan dapat lebih banyak. Pengontrolan perlu
dilakukan secara rasional karena pada wanita eklamsi telah ada cairan ekstraselular yang banyak
yang tidak terbagi dengan benar antara cairan intravaskular dan ekstravaskular. Infus dengan
cairan yang banyak dapat menambah hebat maldistribusi cairan tersebut sehingga meninggikan
risiko terjadinya edema pulmonal atau edema otak.20

Pada masa lalu, anestesi dengan cara epidural dan spinal dihindarkan pada wanita dengan
preeklamsi dan eklamsi. Pertimbangan utama karena adanya hipotensi yang ditimbulkan akibat

22
blokade simpatis. Ada juga pertimbangan lain yaitu pada keamanan janin karena blokade simpatis
dapat menimbulkan ipotensi dan menurunkan perfusi plasenta. Ketika teknik analgesi telah
mengalami kemajuan beberapa dekade ini, analgesi epidural digunakan untuk memperbaiki
vasospasme dan menurunkan tekanan darah pada wanita penderita preeklamsi berat. Selain itu,
klinisi yang lebih menyenangi anestesi epidural menyatakan bahwa pada anestesi umum dapat
terjadi penigkatan tekanan darah tiba-tiba akibat stimulasi oleh intubasi trakea dan dapat
menyebabkan edema pulmonal, edema serebral dan perdarahan intrakranial.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Wallace dan kawan-kawan menunjukkan bahwa penggunaan
anestesi baik metode anestesi umum maupun regional dapat digunakan pada persalinan dengan
cara seksio sesarea pada wanita preeklamsi berat jika langkah-langkah dilakukan dengan
pertimbangan yang hati-hati. Walaupun anestesi epidural dapat menurunkan tekanan darah, telah
dibuktikan bahwa tidak ada keuntungan signifikan dalam mencegah hipertensi setelah persalinan.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah anestesi epidural aman digunakan selama persalinan pada
wanita dengan hipertensi dalam kehamilan, tetapi bukan merupakan terapi terhadap
hipertensi.3,8,19,20

Penatalaksanaan eklamsi

Penatalaksanaan pada eklamsi dibagi menjadi :

1. Penatalaksanaan prenatal (kontrol konvulsi dan hipertensi)


Kebanyakan rumah sakit merekomendasikan pemberian antikonvulsan kepada semua pasien
dengan hipertensi dengan atau tanpa proteinuria/edema. Obat yang digunakan tersebut harus aman
bagi ibu dan janin. Pengalaman selama 50 tahun dengan menggunakan magnesium sulfat
membuktikan bahwa obat ini cukup aman. Obat ini dipergunakan pada preeklamsi berat dan
eklamsi. Penggunaan secara suntikan baik intramuskular intermiten maupun intra vena.
Penggunaan secara intravena merupakan antikonvulsi tanpa menimbulkan depresi susunan saraf
pusat baik pada ibu maupun pada janin. Obat ini dapat pula diberikan secra intravena dengan infus
kontinu. Mengingat persalinan merupakan waktu yang paling sering untuk terjadinya konvulsi,
maka wanita dengan preeklamsi-eklamsi biasanya diberikan magnesium sulfat selama persalinan
dan 24 jam post partum atau 24 jam setelah onset konvulsi. Perlu diingat bahwa magnesium sulfat
bukan merupakan agen untuk mengatasi hipertensi.3,19

23
Magnesium sulfat yang diberikan secara parentral hampir seluruhnya diekskresikan lewat ginjal.
Intoksikasi magnesium sulfat dapat dihindari dengan memastikan bahwa keluaran urine adekuat,
reflek patella positif, dan tidak adanya depresi pernafasan. Konvulsi eklamsi dan kejadian
ulangannya hampir selalu dapat dicegah dengan mempertahankan kadar magnesium dalam plasma
sebesar 4- 7mEq/L (4.8 – 8.4 mg/dL atau 2.0 – 3.5 mmol/L). Pemberian infus intravena awal
sebesar 4-6 gram dipakai untuk membuat pemeliharaan tingkat pengobatan yang tepat dan
dilanjutkan dengan injeksi intra muskular 10 gram, diikuti 5 gram setiap 4 jam atau infus kontinu
2-3 gram per jam. Jadwal dosis pemberian seperti ini diharapkan dapat mempertahankan tingkat
plasma efektif sebesar 4-7 mEq/L.5,15 Reflek patella akan menghilang bila kadar plasma
magnesium mencapai 10 mEq/L (sekitar 12 mg/L), hal ini dikarenakan adanya kerja kurariformis.

Magnesium bebas atau ionized magnesium merupakan bahan yang dapat menurunkan
eksitabilitas neuronal. Tanda ini merupakan peringatan akan adanya intoksikasi magnesium karena
bila pemberian terus dilakukan maka peningkatan kadar dalam plasma yang lebih lanjut akan
menyebabkan depresi pernafasan. Kadar plasma lebih besar dari 10 mEq/L akan menyebabkan
depresi pernafasan, bila kadar plasma mencapai 12 mEq/L atau lebih, maka akan menyebabkan
paralisis pernafasan dan henti nafas. Intoksikasi magnesium dapat ditangani dengan pemberian
kalsium glukonas sebanyak 1 gram secara intravena. Namun keefektifan kerja kalsium glukonas
sendiri pendek, maka bila terdapat depresi pernafasan, pemasangan intubasi trakea dan bantuan
ventilasi mekanik merupakan tindakan penyelamatan hidup. Jika laju filtrasi glomerulus menurun
maka akan mengganggu ekskresi magnesium sulfat.

Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan kadar plasma magnesium secara periodik.3,19 Setelah
pemberian 4 gram magnesium secara intravena selama 15 menit, akan terjadi penurunan sedikit
pada MABP dan peningkatan cardiac index sebesar 13%. Dengan demikian, magnesium
menurunkan resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah arteri rata-rata dan pada saat yang
bersamaan meningkatkan cardiac output tanpa depresi miokardium. Hal ini tampak pada pasien
berupa mual sementara dan flushing, efek kardiovaskular ini hanya menetap selama 15 menit.3,19
Penelitian yang dilakukan oleh lipton dan Rosenberg menunjukkan bahwa efek antikonvulsan
adalah memblok influk neuronal kalsium melalui saluran glutamat. Penelitian lain yang dilakukan
oleh cotton dan kawan-kawan pada tikus menunjukkan bahwa induksi konvulsi terjadi pada area
hipokampus karena merupakan daerah dengan ambang konvulsi yang rendah dengan densitas

24
reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang tinggi. Reseptor ini berkaitan dengan beragam
bentuk epilepsi. Karena konvulsi dari hipokampus dapat dihambat oleh magnesium, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa magnesium memiliki efek terhadap susunan saraf pusat dalam
memblok konvulsi.3,19

Ion magnesium dalam konsentrasi yang tinggi dapat mendepresi kontraktibilitas miometrium.
Namun dengan menjalani regimen yang telah ditentukan, maka tidak ada bukti penurunan
kontraktibilitas miometrium. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa magnesium sulfat
tidak mengganggu induksi oleh oksitosin. Mekanisme magnesium dalam menginhibisi
kontraktibilitas miometrium tidak jelas benar, tetapi diasumsikan tergantung dari efek pada
kalsium intraselular. Jalur reguler kontraksi uterus adalah peningkatan kalsium bebas intraselular
yang akan mengaktivasi rantai ringan miosin kinase. Konsentrasi tinggi magnesium tidak hanya
menginhibisi influk kalsium ke sel-sel miometrium, tetapi juga menyebabkan kadar kalsium
intraselular yang tinggi. Mekanisme penghambatan kontrasi uterus tergantung dari dosis, yaitu
berkisar 8-10 mEq/L. Hal ini menjelaskan mangapa tidak pernah terjadi hambatan kontrasi uterus
ketika magnesium diberikan untuk terapi dan profilaksis eklamsi dengan menggunakan regimen
yang telah ditentukan.3,19 Magnesium sulfat tidak menyebabkan depresi pada janin kecuali terjadi
hipermagnesemia berat saat persalinan. Gangguan neonatus setelah terapi dengan magnesium juga
tidak pernah dilaporkan. Penelitian yang dilakukan oleh Nelson dan Grether menunjukkan bahwa
ada kemungkinan efek protektif dari magnesium terhadap serebral palsi terhadap bayi dengan berat
badan lahir yang sangat rendah.3

Menurut penelitian Lucas dan kawan-kawan, magnesium sulfat lebih superior dibandingkan
fenitoin dalam mencegah konvulsi eklamsi. Risiko solusio plasenta juga lebih rendah pada terapi
dengan menggunakan magnesium sulfat. Pada penelitian Belfort dan kawan-kawan, magnesium
juga lebih baik dibandingkan dengan nimodipine dalam mencegah eklamsi. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Livingstone dan kawan-kawan menunjukkan bahwa magnesium sulfat tidak
tampak menghalangi progresi preeklamsi ringan menjadi preeklamsi berat. Oleh karena itu,
magnesium sulfat sudah tidak diberikan lagi pada preeklamsi ringan sejak tahun 1999.3

Jadwal pemberian dosis magnesium sulfat secara infus intra vena kontinu untuk preeklamsi berat
dan eklamsi yaitu :

25
1. Berikan 4-6 gram loading dose magnesium sulfat yang diencerkan dalam 100 mL
cairan infus sekitar 15-20 menit.
2. Mulai dengan dosis 2 gram/ hari dalam 100 ml cairan infus pemeliharaan.
3. Ukur serum magnesium setiap 4-6 jam dan sesuaikan infus untuk menjaga level
plasma 4-7 mEq/L.
4. Magnesium sulfat tidak dilanjutkan 24 jam setelah persalinan.3

Jadwal pemberian dosis magnesium sulfat secara injeksi intra muskular intermiten
untuk preeklamsi berat dan eklamsi yaitu :

1. Berikan 4 gram magnesium sulfat 20% secara intra vena dengan kecepatan tidak
lebih dari 1 gram/menit.
2. Dilanjutkan dengan 10 gram magnesium sulfat 50%, 5 gram diinjeksikan pada
masing-masing kuadran atas bokong kanan-kiri dengan menggunakan jarum 3 inchi
(tambahkan 1 ml lidocain 2% untuk mengurangi nyeri). Jika konvulsi teteap terjadi
setelah 15 menit, berikan tambahan 2 gram magnesium sulfat 20% secara intra vena
dengan kecepatan tidak melebihi 1 gram/menit.
3. Setiap 4 jam kemudian, beikan 5 gram magnesium sulfat 50% yang diinjeksikan
pada kuadran kanan atas bokong secara bergantian kanan dan kiri. Hal yang harus
diperhatikan : reflek patella, tidak ada depresi pernafasan, output urine dalam 4 jam
lalu mencapai 100 mL.
4. Magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah persalinan.3

Anti hipertensi diberikan bila tekanan diastol mencapai 110 mmHg. Tujuan utama
pemberian obat anti hipertensi adalah menurunkan tekanan diastolik menjadi 90-100
mmHg.19

Pilihan obat anti hipertensi

Tujuan utama dalam mengobati hipertensi kronis dalam kehamilan adalah menurunkan risiko
maternal, tetapi pemilihan obat anti hipertensi lebih memperhatikan keselamatan janin. Terapi lini
I yang banyak disukai adalah metil dopa, berdasarkan laporan tentang stabilnya aliran darah
uteroplasental dan hemodinamika janin dan ketiadaan efek samping yang buruk pada pertumbuhan
anak yang terpapar metil dopa saat dalam kandungan.4,5 Preeklamsi lebih umum diderita pada

26
wanita dengan hipertensi kronis, dengan insidensi sekitar 25%. Faktor risiko untuk superimposed
preeklamsi meliputi insufisiensi ginjal, riwayat menderita hipertensi selama 4 tahun atau lebih,
dan hipertensi pada kehamilan sebelumnya. Pencegahan pada preeklamsi meliputi identifikasi
wanita risiko tinggi, deteksi dini secara klinis dan laboratorium, pengamatan intensif atau terminasi
kehamilan jika ada indikasi.

Penatalaksanaan preeklamsi meliputi perawatan di rumah sakit, kontrol tekanan darah, profilaksis
konvulsi pada impending eklamsi, dan terminasi pada waktunya. Banyak wanita dengan
preeklamsi mempunyai sejarah normotensi sebelumnya sehingga peningkatan tekanan darah
secara akut bahkan pada tingkat terendah (150/100 mmHg) dapat menyebabkan simptomatologi
yang signifikan dan memerlukan terapi. Penatalaksanaan tidak mengganggu patofisiologi
penyakit, tetapi dapat memperlambat progresi penyakit dan menyediakan waktu bagi fetus untuk
mencapai maturitas. Preeklamsi kadang-kadang dapat sembuh sendiri walau jarang dan pada
kebanyakkan kasus adalah memburuk sejalan dengan waktu.4,5 Ketika persalinan mungkin dapat
menjadi terapi yang tepat bagi ibu, haruslah memperhatikan masa gestasi fetus yang < 32 minggu.
Selain memperhatikan masa gestasi, bila didapatkan tanda-tanda gawat janin intra uterin, atau
IUGR atau gangguan maternal seperti hipertensi berat, hemolisis, peningkatan enzim hati, hitung
trombosit yang rendah, gangguan fungsi ginjal, pandangan kabur, dan sakit kepala. Persalinan per
vaginam lebih disukai daripada seksio untuk menghindari penambahan stress akibat operasi.7,20

Terapi anti hipertensi harus memperhatikan keamanan maternal. Seleksi obat anti hipertensi dan
rute pemberian tergantung pada antisipasi waktu persalinan. Jika persalinan terjadi lebih dari 48
jam kemudian, metil dopa oral lebih disukai karena keamanannya. Alternatif lain seperti labetalol
oral dan beta bloker serta antagonis kalsium juga dapat dipergunakan. Jika persalinan sudah akan
terjadi, pemberian parenteral adalah praktis dan efektif. Anti hipertensi diberikan sebelum induksi
persalinan untuk tekanan darah diastol 105-110 mmHg atau lebih dengan tujuan menurunkannya
sampai 95-105 mmHg.3,15

27
Jenis-jenis obat yang dipergunakan dalam penanganan hipertensi dalam kehamilan :

1. Hidralazine
Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara langsung yang dapat menyebabkan
takikardi dan meningkatkan cardiac output akibat hasil respon simpatis sekunder yang dimediasi
oleh baroreseptor. Efek meningkatkan cardiac output penting karena dapat meningkatkan aliran
darah uterus. Hidralazin dimetabolisme oleh hepar.5,15 Hidralazine diberikan dengan cara intravena
ketika tekanan diastol mencapai 110 mmHg atau lebih atau tekanan sistolik mencapai lebih dari
160 mmHg. Dosis hidralazine adalah 5-10 mg setiap interval 15-20 menit sampai tercapai hasil
yang memuaskan, yaitu tekanan darah diastol turun sampai 90-100 mmHg tetapi tidak terdapat
penurunan perfusi plasenta. Efek puncak tercapai dalam 30-60 menit dan lama kerja 4-6 jam. Efek
samping seperti flushing, dizziness, palpitasi, dan angina. Hidralazine telah terbukti dapat
menurunkan angka kejadian perdarahan serebral dan efektif dalam menurunkan tekanan darah
dalam 95% kasus preeklamsi.3,19

2. Labetalol
Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan penghambat α1-adrenergik post sinaps
yang tersedia dalam bentuk oral maupun intra vena.15 Labetalol diberikan secara intravena,
merupakan pemblok 1 dan non selektif β, dan digunakan juga untuk mengobati hipertensi akut
pada kehamilan. Pada sebuah penelitian yang membandingkan labetalol dengan hidralazine
menunjukkan bahwa labetalol menurunkan tekanan darah lebih cepat dan efek takikardi minimal,
tetapi hidralazine menurunkan tekanan arteri rata-rata lebih efektif. Protokol pemberian adalah 10
mg intravena. Jika tekanan darah belum turun dalam 10 menit, maka diberikan 20 mg labetalol.
Kemudian 10 menit berikutnya 40 mg, selanjutnya 80 mg, pemberian diteruskan sampai dosis
maksimal kumulatif mencapai 300 mg atau tekanan darah sudah terkontrol. Onset kerja adalah 5
menit, efek puncak 10-20 menit, dan durasi kerja 45 menit-6 jam. Pemberian labetalol secara intra
vena tidak mempengaruhi aliran darah uteroplasenter. Pengalaman membuktikan bahwa labetalol
dapat ditoleransi baik oleh ibu maupun janin. Menurut NHBPEP, pemberian labetalol tidak
melebihi 220 mg tiap episode pengobatan.19

3. Obat anti hipertensi lain

28
NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel blocker). Obat ini menginhibisi influk
transmembran ion kalsium dari ECS ke sitoplasma kemudian memblok eksitasi dan kontraksi
coupling di jaringan otot polos dan menyebabkan vasodilatasi dan penurunan resistensi perifer.
Obat ini mempunyai efek tokolitik minimal. Dosis 10 mg oral dan diulang tiap 30 menit bila perlu.
Nifedipin merupakan vasodilator arteriol yang kuat sehingga memiliki masalah utama hipotensi.
Pemberian nifedipin secara sub lingual, menurut penelitian yang dilakukan oleh Mabie dan kawan-
kawan, menunjukkan bahwa dapat terjadi penurunan tekanan darah yang cepat sehingga dapat
menyebabkan hipotensi. Karena alasan ini, nifedipin tidak digunakan pada pasien dengan IUGR
atau denyut jantung janin abnormal. Walaupun nifedipin tampak lebih potensial, obat ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut untuk digunakan dalam kehamilan.3,19 Pemakaian obat anti
hipertensi lain seperti verapamil lewat infus 5-10 mg per jam dapat menurunkan tekanan darah
arteri rata-rata sebesar 20%. Obat lain seperti nimodipin dapat digunakan baik secara oral maupun
infus dan terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada wanita penderita preeklamsi berat. Hal
ini dinyatakan pada penelitian yang dilakukan oleh Belforts dan kawan-kawan. Pemakaian
ketanserin secara intra vena juga memberikan hasil yang baik menurut penelitian Bolte dan kawan-
kawan. Nitroprusid tidak direkomendasikan lagi oleh NHBPEP kecuali tidak ada respon terhadap
pemberian hidralazin, labetalol atau nifedipin. Sodium nitroprussid dapat menyebabkan
vasodilatasi arteri dan vena tanpa efek terhadap susunan saraf otonom atau pusat. Onset kerja 1-2
menit, puncak kerja terjadi setelah 1-2 menit, dan lama kerja 3-5 menit. Obat ini sangat efektif
dalam mengontrol tekanan darah dalam hitungan menit di ICU. Rekomendasi penggunaan obat
secara intra vena tidak lebih dari 30 menit pada ibu non parturien karena efek samping toksisitas
sianida dan tiosianat pada janin. Trimethaphan merupakan pemblok ganglionik yang digunakan
oleh ahli anestesi dalam menurunkan tekanan darah sebelum laringoskopi dan intubasi untuk
anestesi umum. Efek samping terhadap janin adalah ileus mekonium. Nitrogliserin diberikan
secara intra vena sebagai vasodilator vena yang tampak aman bagi janin. Obat ini merupakan anti
hipertensi potensi sedang.3,19

4. Metil dopa
Merupakan agonis α-adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat anti hipertensi yang telah
terbukti keamanan jangka panjang untuk janin dan ibu. Obat ini menurunkan resistensi total perifer
tanpa menyebabkan perubahan pada laju jantung dan cardiac output. Obat ini menurunkan tekanan
darah dengan menstimulasi reseptor sentral α-2 lewat α-metil norefinefrin yang merupakan bentuk

29
aktif metil dopa. Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat α-2 perifer lewat efek
neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan sendiri, sering terjadi retensi cairan dan efek
anti hipertensi yang berkurang. Oleh karena itu, metil dopa biasanya dikombinasikan dengan
diuretik untuk terapi pada pasien yang tidak hamil. Dosis awal 250 mg 3 kali sehari dan
ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak plasma terjadi 2-3 jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam.
Efek maksimal terjadi dlam 4-6 jam setelah dosis oral. Kebanyakan disekresi lewat ginjal. Efek
samping yang sering dilaporkan adalah sedasi dan hipotensi postural. Terapi lama (6-12 bulan)
dengan obat ini dapat menyebabkan anemia hemolitik dan merupakan indikasi untuk
memberhentikan obat ini.3,19

5. Klonidin
Merupakan agonis α-adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai dengan dosis 0.1 mg 2 kali sehari
dan ditingkatkan secara incremental 0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4 mg/hari. Tekanan darah menurun
30-60 mmHg. Efek maksimal 2-4 jam dan lama kerja 6-8 jam. Aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus dapat terjaga, tetapi cardiac output menurun namun tetap berespon terhadap latihan
fisik. Efek samping adalah xerostomia dan sedasi. Penghentian klonidin dapat menyebabkan krisis
hipertensi yang dapat diatasi dengan pemberian kembali klonidin. Sampai sekarang belum ada
penelitian besar yang mempelajari klonidin seperti metil dopa.19

6. Prazosin
Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor α1-adrenergik. Obat ini dapat menyebabkan
vasodilatasi pada resistensi dan kapasitas pembuluh darah sehingga menurunkan preload dan
afterload. Prazosin menurunkan tekanan darah tanpa menurunkan laju jantung, curah jantung,
aliran darah ginjal, dan laju filtrasi glomerulus. Obat ini dimetabolisme hampir seluruhnya di
hepar. Sekitar 90% ekskresi obat melalui kandung empedu ke dalam faeses. Selama kehamilan,
absorbsi menjadi lambat dan waktu paruh menjadi lebih panjang. Dalam sebuah penelitian, kadar
puncak tercapai dalam 165 menit pada wanita hamil. Prazosin dapat menyebabkan hipotensi
mendadak dalam 30-90 menit setelah pemberian. Hal ini dapat dihindari dengan pemberian
sebelum tidur. Percobaan binatang menunjukkan tidak ada efek teratogenik. Prazosin bukan
merupakan obat yang kuat sehingga sering dikombinasikan dengan beta bloker.19

30
7. Diuretik
Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF sehingga curah jantung dan tekanan darah
menurun, juga menurunkan resistensi vaskular akibat konsentrasi sodium interselular pada sel otot
polos. Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan penurunan perfusi plasenta karena efek
segera meliputi pengurangan volume intravaskular, dimana volume tersebut sudah berkurang
akibat preeklamsi dibandingkan dengan keadaan normal. Oleh karena itu, diuretik tidak lagi
digunakan untuk menurunkan tekanan darah karena dapat meningkatkan hemokonsentrasi darah
ibu dan menyebabkan efek samping terhadap ibu dan janin. Pemakaian furosemid saat ante partum
dibatasi pada kasus khusus dimana terdapat edema pulmonal. Obat diuretika seperti triamterene
dihindari karena merupakan antagonis asam folat dan dapat meningkatkan risiko defek janin.19,3

8. Penghambat ACE

Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim yang mengkonversi angiotensi 1
menjadi angiotensin 2 (vasokonstriktor poten), tanpa penurunan curah jantung. Sebagai tambahan,
obat ini juga meningkatkan sintesis prostaglandin vasodilatasi dan menurunkan inaktivasi
bradikinin (vasodilator poten). Contoh obat ini seperti captopril, enalapril, dam lisinopril.12

OBAT REKOMENDASI
Hydralazin Dimulai dengan dosis 5 mg IV atau 10 mg IM. Jika
tekanan darah tidak terkontrol, diulangi setiap interval 20
menit. Jika tekanan darah sudah terkontrol, ulangi bila
perlu (biasanya tiap 3 jam). Dosis maksimal 20 mg IV
atau 30 mg IM
Labetalol Dimulai dengan dosis 20 mg IV secara bolus. Jika tidak
optimal, beri 40 mg setelah 10 menit dan 80 mg setiap 10
menit. Gunakan mdosis maksimal 220 mg. Hindari
pemberian labetalol pada wanita dengan asma atau gagal
jantung kongestif

31
Nifedipine Dimulai dengan 10 mg oral dan ulangi setiap 30 menit bila
perlu. Tidak diperbolehkan penggunaan nifedipine kerja
singkat dalam terapi hipertensi
Sodium Hanya digunakan pada kasus hipertensi yang tidak
nitroprussid berespon terhadap obat yang terdaftar disini. Dimulai
dengan dosis 0.25 µg/kg/menit sampai dosis maksimal
5µg/kg/menit. Fetal sianida terjadi jika digunakan lebih
dari 4 jam.
Tabel 2.4 Panduan Obat Anti Hipertensi 19

Efek Samping Obat

Efek samping obat-obat anti hipertensi antara lain, yaitu :

1. ACE inhibitor
Digunakan pada trimester dua dan tiga telah menyebabkan disfungsi ginjal pada fetus yang
mengakibatkan oligohidramnion dan anuria. ACE inhibitor telah dihubungkan dengan hipoplasia
pulmoner, pertumbuhan terhambat, kelainan ginjal dan hipoplasia lain pada tulang tengkorak.15

2. Diantara golongan penghambat beta, atenolol


Terutama ketika dimulai pada awal kehamilan, berhubungan dengan pertumbuhan janin terhambat
pada beberapa penelitian yang tidak terkontrol dan sebuah penelitian kecil. Pada kebanyakan
penelitian, penyebab asal dari hubungan tersebut tidak jelas karena beberapa obat telah digunakan
bersama-sama atau karena ketidakmampuan untuk membedakan apakah ini adalah efek dari
patofisiologi ibu atau efek dari obat.19

3. Diuretika
Memiliki efek samping terhadap ibu maupun janin. Efek maternal seperti hipokalemia,
hiponatremia, hiperglikemi, hiperurikemi, hiperlipid, dan penurunan volume plasma sehingga
dapat menganggu pertumbuhan janin. Efek terhadap janin adalah gangguan elektrolit,
trombositopeni, dan IUGR.12

32
Beberapa efek obat anti hipertensi terhadap pemberian ASI, yaitu :

- Diuretik thiazide sebaiknya dihindari karena dapat menurunkan produksi ASI dan
digunakan untuk mensupresi laktasi.
- Metil dopa kemungkinan aman selama pemberian ASI, dimana tingkat plasma yang
rendah ditemukan pada janin.
- Beta bloker lain selain propranolol ditemukan dalam konsentrasi besar dalam susu ibu
daripada plasma ibu.
- Klonidin ditemukan dalam jumlah sedikit di ASI. Hal yang sama terdapat pada ACE
inhibitor.19
KESIMPULAN
Hipertensi merupakan salah satu masalah medis yang kerapkali muncul selama kehamilan dan
dapat menimbulkan komplikasi pada 2-3 persen kehamilan. Hipertensi pada kehamilan dapat
menyebabkan morbiditas/ kesakitan pada ibu (termasuk kejang eklamsia, perdarahan otak, edema
paru (cairan di dalam paru), gagal ginjal akut, dan penggumpalan/ pengentalan darah di dalam
pembuluh darah) serta morbiditas pada janin (termasuk pertumbuhan janin terhambat di dalam
rahim, kematian janin di dalam rahim, solusio plasenta/ plasenta terlepas dari tempat melekatnya
di rahim, dan kelahiran prematur). Selain itu, hipertensi pada kehamilan juga masih merupakan
sumber utama penyebab kematian pada ibu.
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonymous, Hypertension, dalam Merck Manual of Diagnosis&Therapy, 25 Januari 2004,


diakses tanggal 11 September 2015, dari http : //www.merck.com
2. Mose J, Gestosis, dalam Obstetri Patologi : Ilmu Kesehatan Reproduksi, edisi ke-2,
Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah F, penyunting, Jakarta : EGC, 2003 : 68-
82
3. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K, Hypertensive Disorders
in Pregnancy, dalam William Obstetrics, edisi ke-22, New York: McGraw-Hill, 2005 : 761-
808
4. Gibson P, Carson M, Hypertension and Pregnancy, 30 Juli 2009, diakses tanggal 11 September
2015, dari http : //emedicine.medscape.com/article/261435

33
5. Kelompok Kerja Penyusunan Hipertensi dalam Kehamilan-Himpunan Kedokteran
Fetomaternal POGI, Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan di Indonesia, edisi ke-
2, Angsar M, penyunting, 2005: 1-27
6. Shennan A, Hypertensive disorders, dalam Dewhurst’s textbook of Obstetrics & Gynaecology,
edisi ke-7, USA : Blackwell Publishing, 2007 : 227-234
7. August P, Management of Hypertension in Pregnancy, 2009, diakses tanggal 11 September
2015, dari http : //www.uptodate.com/patients/content/topic
8. Brooks M, Pregnancy&Preeclampsia, 5 Januari 2005, diakses tanggal 11 September 2015, dari
http : //www.emedicine.com
9. Scott J, Disaia P, Hammond C, Spellacy W, Gordon J, Danforth Buku Saku Gangguan
Hipertensi dalam Kehamilan, dalam Obstetri dan Ginekologi, edisi ke-1, Koesoema H,
penyunting, Jakarta : Widya Medika, 2002: 202-213
10. Sibai B, Diagnosis, Prevention, and Management of Eclampsia, 18 November 2004, diakses
tanggal 11 September 2015, dari http : //www.greenjournal.org
11. Anonymous, Hypertension, dalam Merck Manual of Diagnosis&Therapy, 25 Januari 2004,
diakses tanggal 11 September 2015, dari http : //www.merck.com
12. National Heart, Lung, and Blood Institute, Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment
of High Blood Pressure, dalam The Seventh Report of the Joint National Committee, NIH
publication, 2004 : 49-52
13. Krisnadi S, Mose J, Effendi J, Hipertensi Dalam Kehamilan, dalam Pedoman Diagnosis dan
terapi Obstetri dan Ginekologi RS dr.Hasan Sadikin, bagian pertama, edisi ke-2, Bandung :
Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS dr.Hasan
Sadikin, 2005 : 60-70
14. Branch D, Porter T, Hypertensive Disorders of Pregnancy, dalam Danforth’s
Obstetrics&Gynecologiy, edisi ke-8, Scott J, Saia P, Hammond C, Spellacy W, penyunting,
Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins, 1999: 309-326
15. Eger R, Hypertensive Disorders during Pregnancy, dalam Obstetrics&Gynecology Principles
for Practice, Ling F, Duff P, penyunting, New York : McGraw-Hill, 2001 : 224-252
16. Herrera J, Shahabudin A, Ersheng G, Wei Y, Garcia R, Lopez P, Calcium plus Linoleic Acid
Therapy for Pregnancy Induced Hypertension, 9 Desember 2005, diakses tanggal 11
September 2015, dari http : //www.ncbi.nlm.nih.gov

34
17. Eger R, Hypertensive Disorders during Pregnancy, dalam Obstetrics&Gynecology Principles
for Practice, Ling F, Duff P, penyunting, New York : McGraw-Hill, 2001 : 224-252
18. Prawirohardjo S, Pre-eklampsia dan Eklampsia, dalam Ilmu Kebidanan, edisi ke-3,
Wiknjosastro H, Saifuddin A, Rachimhadhi T, penyunting, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 2005: 281-301
19. Reynolds C, Mabie W, Sibai B, Hypertensive States of Pregnancy, dalam Current Obstetrics
and Gynecologic Diagnosis and Treatment, edisi ke-9, New York : McGraw-Hill, 2003: 338-
353
20. Sibai B, Treatment of Hypertension in Pregnant Women, 25 Juli 1996, diakses tanggal 11
September 2015, dari http : //www.NEJM.org/cgi/content/full

35

Anda mungkin juga menyukai