Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Respon tubuh itu ada 2 yaitu respons sistem imun terhadap sel kanker dapat dibagi dua
yaitu humoral dan seluler.
Peranan sistem imun humoral terhadap sel kanker Imunitas humoral lebih sedikit
berperan daripada imunitas seluler dalam proses penghancuran sel kanker, tetapi
tubuh
tetap membentuk antibodi terhadap antigen tumor.
Dua mekanisme antibodi diketahui dapat menghancurkan target kanker yaitu :
Antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC). Pada ADCC antibodi
IgG spesifik berikatan terhadap Tumor Associated Antigen (TAA) dan sel
efektor yang membawa reseptor untuk bagian Fc dari molekul Ig. Antibodi
bertindak sebagai jembatan antara efektor dan target. Antibodi yang terikat
dapat merangsang pelepasan superoksida atau peroksida dari sel efektor. Sel
yang dapat bertindak sebagai efektor di sini adalah limfosit null (sel K),
monosit, makrofag, Lekosit PMN (polimorfonuklear) dan fragmen trombosit.
Ini akan mengalami lisis optimal dalam 4 sampai 6 jam
Complement Dependent Cytotoxicity, Di sini pengikatan antibodi ke permukaan
sel tumor menyebabkan rangkaian peristiwa komplemen klasik dari C'
1,4,2,3,5,6,7,8,9. Komponen C' akhir menciptakan saluran atau kebocoran pada
permukaan sel tumor. IgM lebih efisien dibanding IgM dalam merangsang
proses complement dependent citotoxicity
b. Respon imun selular
Peranan sistem imun seluler sel kanker Pada pemeriksaan patologi-anatomik tumor,
sering ditemukan infiltrat sel-sel yang terdiri atas sel fagosit mononuklear, limfosit,
sedikit sel plasma dan sel mastosit. Meskipun pada beberapa neoplasma, infiltrasi sel
mononuklear merupakan indikator untuk prognosis yang baik, pada umumnya tidak
ada hubungan antara infiltrasi sel dengan prognosis. Sistem imun yang nonspesifik
dapat langsung menghancurkan sel tumor tanpa sensitisasi sebelumnya. Efektor
sistem imun tersebut adalah sel Tc, fagosit mononuklear, polinuklear, Sel NK
,Aktivasi sel T melibatkan sel Th dan Tc. Sel Th penting pada pengerahan dan
Sitotoksitas melalui sel T Kontak langsung antara sel target dan limfosit T
antigen membran sel target yang mencetuskan induksi kerusakan membran yang
sel T dapat menghambat sitotoksisitas dan efek inhibisi Prostaglandin (PG) E 1 dan
penghancuran sel tumor yang pasti masih belum diketahui walaupun pengrusakan
membran sel target dengan hilangnya integritas osmotik merupakan peristiwa akhir.
rusaknya membran. Interleukin (IL), interferon (IFN) dan sel T mengaktifkan pul
asel Natural Killer (NK). Sel ini berbentuk large granulocytic lymphocyte (LGL).
antigen sel T. Lisis sel target dapat terjadi tanpa paparan pendahuluan dan target
dapat dibunuh langsung. Sel NK menunjukkan beberapa spesifisitas yang lebih luas
terhadap target tumor yang biasanya dibunuh lebih cepat dibanding sel normal.
Kematian sel tumor dapat sebagai akibat paparan terhadap toxin yang terdapat dalam
granula LGL, produksi superoksida atau aktivitas protease serine pada permukaan
sel efektor. Sel NK diaktivasi IFN dan II-2 in vitro. Aktivitas NK dapat dirangsang
secara in vitro dengan pemberian IFN, inducer atau imunostimulan seperti Bacille
Calmette Guerin (BCG) dan Corynebacterium (C) parvum. Penghambatan aktivasi
sel NK terlihat pada beberapa PG (PGE1, PGE2, PGA1 dan PGA2), phorbol ester,
mempengaruhi aktivitas NK, sel supresor juga dapat mempengaruhi sel NK. Sel NC
sel NK, sel NC kelihatannya distimulasi oleh IL-3 dan relatif tahan terhadap
Makrofag yang teraktivasi berikatan dengan sel neoplastik lebih cepat dibanding
dengan sel normal. Pengikatan khusus makrofag yang teraktivasi ke membran sel
tumor adalah melalui struktur yang sensitif terhadap tripsin. Pengikatan akan
bertambah kuat dan erat dalam 1 sampai 3 jam dan ikatan ini akan mematikan sel.
dengan transfer enzim lisosim, superoksida, protease, faktor sitotoksis yang resisten
pertumbuhan sel tumor, yang bergantung dengan bagian yang rentan dari sel tumor,
ratio makrofag dengan sel target dan status fungsional makrofag. Indometasin dapat
kompleks dari beberapa faktor dan juga kinetik produksi monosit oleh sumsum
tulang. Jadi status fungsional makrofag dalam tumor juga berperan selain jumlahnya.
Makrofag bila diaktifkan oleh limfokin, endotoksin, RNA dan IFN akan
sel. Makrofag yang diaktifkan biasanya menjadi sitotoksik nonspesifik terhadap sel
tumor in vitro. Makrofag dapat pula berfungsi sebagai efektor pada ADCC terhadap
tumor. Di samping itu makrofag dapat menimbulkan efek negatif berupa supresi
yang disebut makrofag supresor. Hal tersebut dapat disebabkan oleh tumor itu
B. IMMUNOSURVEILLANCE KANKER
bereaksi melawan setiap antigen yang diekspresikan oleh neoplasma. Fungsi primer
dari sistem imun adalah untuk mengenal dan mendegradasi antigen asing (nonself)
yang timbul dalam tubuh. Dalam immunosurveillance, sel mutan dianggap akan
mengekspresikan satu atau lebih antigen yang dapat dikenal sebagai nonself. Sel
mutan dianggap sering timbul dalam tubuh manusia dan tetapi secara cepat
seluler dan terpapar agen onkogenik akan lebih cepat timbul tumor. Ini dianggap
lebih sering dalam keadaan imunosupresi dibanding pasien stadium awal. Pasien
peningkatan insidensi keganasan (100 kali lebih besar dari kontrol). Hampir 50%
tumor pada pasien imunosupresi berasal dari jaringan mesenkim, contohnya sarkoma
sel retikulum, tapi insiden neoplasia intraepitelial seperti CIN (Cervical
sel NK. Salah satu syarat induksi tumor dengan bahan karsinogenik pada hewan
percobaan adalah adanya gangguan pada sistim imun terutama sel NK.
C. IMMUNOLOGICAL ESCAPE
sistem imun tubuh bila faktor-faktor yang menunjang pertumbuhan tumor lebih
mempengaruhi luputnya tumor dari pengawasan sistem imun tubuh sebagai berikut:
1) Tidak adanya antigen yang sesuai Antigen baru mungkin tidak disintesis oleh semua
tumor, mungkin tidak diekspresikan pada semua permukaan sel atau tidak
dipresentasikan dalam bentuk yang sesuai sehingga respon imun gagal mengenal
antigen tersebut.
2) Kinetik tumor (sneaking through) Pada binatang yang diimunisasi, pemberian sel
tumor dalam dosis kecil akan menyebabkan tumor tersebut dapat menyelinap (sneak
through) yang tidak diketahui tubuh dan baru diketahui bila tumor sudah
neoplasme tersebut.
3) Modulasi antigenik Antibodi dapat mengubah atau memodulasi permukaan sel tanpa
4) Masking antigen Molekul tertentu, seperti sialomucin, yang sering diikat permukaan
sel tumor dapat menutupi antigen dan mencegah ikatan dengan limfosit.
5) Shedding antigen/pelepasan antigen Antigen tumor yang dilepas dan larut dalam
sirkulasi, dapat mengganggu fungsi sel T dengan mengambil tempat pada reseptor
antigen. Hal itu dapat pula terjadi dengan kompleks imun antigen antibodi.
6) Toleransi Virus kanker mammae pada tikus disekresi dalam air susunya, tetapi bayi
tikus yang disusuinya toleran terhadap tumor tersebut. Infeksi kongenital oleh virus
yang terjadi pada tikus-tikus tersebut akan menimbulkan toleransi terhadap virus
dalam kelenjar limfe. Antigen tumor yang terkumpul dalam kelenjar limfe yang
letaknya berdekatan dengan lokasi tumor, dapat menjadi toleran terhadap limfosit
setempat, tetapi tidak terhadap limfosit kelenjar limfe yang letaknya jauh dari tumor.
8) Faktor genetik Kegagalan untuk mengaktifkan sel efektor T dapat disebabkan oleh
9) Faktor penyekat Antigen tumor yang dilepas oleh sel dapat membentuk kompleks
menghambat efek sitotoksitas limfosit pejamu melalui dua cara, yaitu dengan
mengikat sel Th sehingga sel tersebut tidak dapat mengenal sel tumor dan
dan sel K. Faktor humoral lain dapat mengganggu respons inflamasi, kemotaksis,
11) Faktor pertumbuhan Respons sel T bergantung pada IL. Gangguan makrofag untuk
sehingga endotel tumor dikenal sebagai self dan tidak ditolak, sehingga pada
vaskuler.
tumor solid. Pada gangguan keganasan sel B seperti mieloma multipel dan leukemia
mielositik kronik dijumpai gangguan sel B poliklonal, defisiensi sel Th, kelebihan
sel Ts dan penurunan rasio sel T4 : T8 pada tumor solid seperti Ca (Carcinoma)
ovarium jarang dijumpai kelainan sel B. Kelainan monosit dan sel T telah terlihat
Parahnya gangguan sel T bervariasi dari berbagai jenis tumor sesuai asalnya.
Walaupun gangguan sistem imunitas lebih berat pada kasus lanjut dan pada pasien
yang diperkirakan tumornya akan kambuh kembali, namun korelasinya tidak pasti
selama minggu pertama setelah pembedahan, biasanya fungsi sel T akan kembali
sistem imun. Stress anestesia dan pembedahan dapat merangsang pelepasan hormon
dapat mengganggu fungsi imun. Penelitian pada pasien kanker menunjukkan bahwa,
bening dan kemoterapi akan menyebabkan gangguan lebih besar terhadap fungsi sel
dan gangguan pembentukan antibodi dini. Namun splenektomi pada model hewan
terhadap limfosit, sehingga akan mengalami kematian interfase dalam beberapa jam
limfoid, tapi juga akibat destruksi limfosit pada daerah tepi. Level sel T dan B dapat
berkurang, tergantung bagian yang diradiasi. Walaupun terjadi penurunan kadar sel
penurunan yang menetap pada kadar sel T. Respons proliferatif sel T terhadap
Radiasi total badan dengan dosis besar dapat menyebabkan penurunan yang hebat
dari seluruh sel limforetikuler, sel I CD 3, sel T CD 8, pada daerah tepi dalam 1-2
minggu, tapi untuk mencapai kembali rasio normal T4 : T8 perlu lebih dari setahun.
Level monosit tidak menurun secara bermakna selama radioterapi dan kebanyakan
kontinu. Fungsi sel T dan B dapat kembali di antara seri pengobatan walaupun
gangguan menetap dapat terlihat setelah pengobatan yang lama atau bila kemoterapi
darah tepi, level limfosit lebih dipengaruhi dibanding monosit. Level sel T lebih
Pada kemoterapi dosis tinggi glukokortikoid dapat menghambat setiap fungsi sel
limforetikuler, namun faktor inhibisi makrofag tetap dihasilkan. Induksi sel supresor
dapat dihambat glukokortikoid tapi sekali terpapar biasanya sel supresor akan relatif
terhadap sel B dibanding sel T, dalam dosis rendah menghambat sel supresor dan
meningkatkan efek sel T CD 8 daripada sel T CD 4, pada dosis lebih tinggi sel T CD
akan efektif setelah pemberian antigen dan bila sel B sedang berproliferasi. Bila sel
telah berhenti berproliferasi dan limfosit sudah matur maka respons seluler maupun
2. HALLMARK OF CANCER
Lauren Pecorino, 2005, Molecular Biology of Cancer mechanism target and
therapeutics, OXford University Press.
The six hallmark of cancer ( 6 Karakter sel kanker) (Pecorino, 2005) adalah sebagai
berikut ini :
Sel normal akan dikurangi jumlahnya dengan mekanisme apoptosis, bila ada
kerusakan DNA yang tidak bisa lagi direparasi.
Sel kanker tidak peka terhadap sinyal apoptosis (padahal sel kanker
membawa acumulative DNA error yang sifatnya irreversible)
Kegagalan sel kanker dalam merespon sinyal apoptosis lebih disebabkan
karena mutasinya gen-gen regulator apoptosis dan gen-gen sinyal apoptosis.
Normal sel memiki kepatuhan untuk tidak berpindah ke lokasi lain di dalam
tubuh.
Perpindahan sel kanker dari lokasi primernya ke lokasi sekunder atau
tertiernya merupakan faktor utama adanya kematian yang disebabkan karena
kanker
Mutasi memungkinkan peningkatan aktivitas ensim-ensim yang terlibat
invasi sel kanker (MMPs)
Mutasi juga memungkinkan berkurangnya atau hilangnya adesi antar sel oleh
molekul-molekul adisi sel, meningkatnya attachment, degragasi dan migrasi (
gambar 1 dan 2 berikut ini )
Gambar 3 . Hilangnya intercellular junctions (adesi antar sel / antar molekul adesi)
dan meningkatnya daya attachment sel kanker ke membrana basalis memacu invasi
dan metastase (Kumar, Abbas & Foustro, 2005)
Gambar 4 . meningkatnya kemampuan degradasi matriks ekstra seluler memacu
migrasi , invasi dan metastase (Kumar, Abbas & Foustro, 2005)
Gambar 5. Proses metastase sel kanker , dimulai dari transformasi clonal, metastasic
sub clone, intravasasi sampai dengan pertumbuhan jaringantumor di daerah yang
baru. (Kumar, Abbas & Foustro, 2005)
Pada percobaan in vitro , perbedaan karakter antara sel normal dan kanker adalah
sebagai berikut :
Sel normal akan tumbuh sebagai selapis sel (monolayer) jika dibiakan dalam
petridish, semua ini karena adanya kepekaan terhadap contact inhibition
dengan sel-sel tetangganya (bila sel normal sudah menyentuh sel tetangganya
maka pertumbuhannya akan berhenti).
Transformed cells (sel kanker) memiliki fenotipe sebagai berikut :
Referensi :
1. Vinay Kumar, Abbul K. Abas, Nelson Foustro, 2005, Pathology Bassic of Dissease,
Elsevier Inc., International ed.
2. Lauren Pecorino, 2005, Molecular Biology of Cancer mechanism, target, and
therapeutics, Oxford University Pers.
3. STAGING CANCER
1. Grading
Grading merupakan suatu penilaian yang kualitatif, bukan kuantatif. Grading biasanya
berdasarkan penampakan histopatologis. Penilaian grading ini dilakukan pada jaringan
tumor yang mempunyai sifat anaplastik yang paling besar. Dikarenakan hanya secara
kualitatif, grading kurang mempunyai arti klinis. Pada tahun 1920-an, Broders
menggolongkan sel-sel tumor pada bibir dan kulit berdasarkan ketidakbisaannya
pembedaan sel tumor dengan sel normal, yaitu 25%, 50%, 75%, dan 100%.
Pengklasifikasian grading berdasarkan bisa tidaknya sel-sel kanker dibedakan dengan
sel yang normal. Klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut:
a. GX : penampakan tidak bisa dinilai
b. G1 : sel tumor dengan sel normal bisa dibedakan dengan jelas
c. G2 : sel tumor dengan sel normal bisa dibedakan dengan cukup jelas
d. G3 : sel tumor dengan sel normal susah dibedakan
e. G4 : sel tumor dengan sel normal tidak bisa dibedakan
Dalam penentuan grading, biasanya digunakan pemeriksaan mikroskopik dengan
pewarnaan hematoxylin and eosin (HE). Grading juga memerlukan pemeriksaan
histologis yang melingkupi morfologi sel dan juga keadaan sitosolik sel, walaupun
tidak semua jenis kanker memerlukannya. Salah satu contohnya adalah prostaic
adenocarcinoma yang hanya memerlukan arsitektur sel dan tumor renal yang hanya
memerlukan bentuk inti sel.
2. Staging
Staging yang biasanya dilakukan adalah dengan menggunakan prinsip TNM. TNM
didasari oleh 3 komponen, yaitu T (tumor primer), N (ada atau tidanya metastasis yang
berkaitan dengan getah bening), dan M (jarak metastasis dari tumor primer). Klasifikasi
T adalah sebagai berikut:
a. Tx : tumor masih belum bisa digolongkan
b. T0 : tidak ditemukan tumor primer
c. Tis : carcinoma in situ
d. T1 : tumor primer berukuran <2cm
e. T2 : tumor primer berukuran 2-5 cm
f. T3 : tumor primer berukuran >5cm
Klasifikasi N adalah sebagai berikut:
a. Nx : penyebaran ke KGB masih belum diketahui
b. N0 : tumor tidak bermetastasis pada KGB
c. N1 : tumor bermetastasis ke KGB ipsilateral axillary lymph node(s)
d. N2 : tumor bermetastasis dari KGB menuju ke kelenjar lain
e. N3 : tumor bermetastasis lewat KGB dan telah menyebar ke bagian tubuh yang lain
Klasifikasi M adalah sebagai berikut:
a. Mx : metastasis masih belum bisa didentifikasi
b. M0 : metastasis tidak berjarak jauh
c. M1 : metastasis berjarak jauh
Dengan menggabungkan klasifikasi dai T, N, dan M, didapatkan klasifikasi TNM
secara umum, yaitu:
a. Stage 0 (Tis, N0, M0)
b. Stage I (T1, N0, M0)
c. Stage IIA (T0-N1-M0; T1-N1-M0; T2-N0-M0)
d. Stage IIB (T2-N1-M0; T3-N0-M0)
e. Stage IIIA (T0-N2-M0; T1-N2-M0; T2-N2-M0; T3-N1-M0; T3-N2-M0)
f. Stage IIIB (T4-N4-M0; T4-N1-M0; T4-N2-M0)
g. Stage IIIC (Any T-N3-M0)
h. Stage IV Any T-any N-M1
Damjanov I, Fan F (ed.). Cancer Grading Manual. New York: Springer Scince; 2007.p.
1-4.
American Joint Committee on Cancer AJCC. Cancer Staging Manual. 6th ed. New
York: Springer; 2002.p.7`