Anda di halaman 1dari 18

ASMA BRONKHIAL

A. DEFINISI
Definisi asma secara lengkap yang menggambarkan konsep inflamasi sebagai
dasar mekanisme terjadinya asma dikeluarkan oleh GINA (Global Initiative for
Asthma). Asma didefinisikan sebagai penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan
inflamasi kronis pada saluran pernapasan. Hal ini didefinisikan oleh gejala
pernapasan seperti mengi, sesak napas, sesak di dada, batuk yang yang
intesditasnya semakin sering dari waktu ke waktu, dan keterbatasan aliran udara
ekspirasi.

B. PATOFISOLOGI
 Obstruksi Saluran Respiratorik
Inflamasi saluran respiratorik yang ditemukan pada pasien asma diyakini
merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi: obstruksi saluran respiratorik
yang menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat kembali secara spontan
atau setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang dihubungkan dengan gejala
khas pada asma, yakni berupa batuk, sesak, wheezing dan disertai hiperaktivitas
saluran respiratorik terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin
disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratorik oleh mediator
inflamasi. Obstruksi saluran napas ini bersifat difus dan bervariasi derajatnya,
dapat membaik spontan atau dengan pengobatan. Penyempitan saluran napas
ini menyebabkan gejala batuk, rasa berat di dada, mengi dan hiperesponsivitas
bronkus terhadap berbagai stimuli. Penyebabnya multifaktor, yang utama adalah
kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh mediator yang dilepaskan
sel inflamasi.
Gambar 1. Saluran napas normal dan penderita asma

Adapun beberapa mekanisme yang bisa menyebabkan terjadinya


inflamasi pada saluran napas, diantaranya yaitu

 Mekanisme limfosit T - IgE


Setelah APC (Antigen Presenting Cells) mempresentasikan alergen /
antigen kepada sel limfosit T dengan bantuan major histocompatibility
(MHC) kls II, limfosit T akan membawa ciri antigen spesifik,
teraktivasi kemudian berdiferensiasi dan berproliferasi. Limfosit T spesifik
(Th2) dan produknya akan mempengaruhi dan mengontrol limfosit B dalam
memproduksi imunoglobulin. Interaksi alergen pada limfosit B dengan
limfosit T spesifik-alergen akan menyebabkan limfosit B memproduksi IgE
spesifik alergen. Pajanan ulang oleh alergen yang sama akan meningkatkan
produksi IgE spesifik. Imunoglobulin E spesifik akan berikatan dengan sel-
sel yang mempunyai reseptor IgE seperti sel mast, basofil, eosinofil,
makrofag dan platelet. Bila alergen berikatan dengan sel tersebut maka sel
akan teraktivasi dan berdegranulasi mengeluarkan mediator yang berperan
pada reaksi inflamasi.
 Mekanisme limfosit T – nonIgE
Setelah limfosit T teraktivasi akan mengeluarkan sitokin IL-3, IL-4,
IL-5, IL-9, IL-13 dan granulocyte monocyte colony stimulating factor
(GMCSF). Sitokin bersama sel inflamasi yang lain akan saling berinteraksi
sehingga terjadi proses inflamasi yang kompleks, degranulasi eosinofil,
mengeluarkan berbagai protein toksik yang merusak epitel saluran napas dan
merupakan salah satu penyebab hiperesponsivitas saluran napas (airway
hyperresponsiveness / AHR).
 Mekanisme imunologi inflamasi saluran napas
Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu imunitas humoral dan selular.
Imunitas humoral ditandai oleh produksi dan sekresi antibodi spesifik oleh
sel limfosit B sedangkan selular diperankan oleh sel limfosit T. Sel limfosit
T mengontrol fungsi limfosit B dan meningkatkan proses inflamasi melalui
aktivitas sitotoksik cluster differentiation 8(CD8) dan mensekresi berbagai
sitokin. Sel limfosit T helper (CD4) dibedakan menjadi Th1 dan Th2. Sel
Th1 mensekresi interleukin-2 (IL-2), IL-3, granulocytet monocyte colony
stimulating factor (GMCSF), interferon-γ (IFN-γ) dan tumor necrosis factor-
α (TNF-α) sedangkan Th2 mensekresi IL-3, IL4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16
dan GMCSF. Respons imun dimulai dengan aktivasi sel T oleh antigen
melalui sel dendrit yang merupakan sel pengenal antigen primer (primary
antigen presenting cells/APC). Skema itu dapat kita lihat pada gambar 2

sebagai berikut:

Gambar 2. Mekanisme imunologi pada asma

2. Hiperreaktivitas Saluran Respiratorik


Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan
patofisiologi yang secara klinik paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme
yang bertanggung jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau
hiperreaktivitas ini belum diketahui tetapi mungkin berhubungan dengan
perubahan otot polos saluran napas (hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi
secara sekunder yang menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi
dinding saluran napas terutama peribronkial dapat memperberat penyempitan
saluran napas selama kontraksi berlangsung.
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratorik, sel goblet
kelenjar submukosa timbul pada bronkus pasien asma terutama pada yang
kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratorik pada asma
memperlihatkan perubahan struktur saluran respiratorik yang bervariasi yang
dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratorik. Selama ini, asma
diyakini merupakan obstruksi saluran respiratorik yang bersifat reversibel. Pada
sebagian besar pasien, reversibilitas yang menyeluruh dapat diamati pada
pengukuran dengan spirometri setelah diterapi dengan inhalasi kortikosteroid.
Hiperreaktivitas bronkus secara klinis sering diperiksa dengan memberikan
stimulus aerosol histamin atau metakolin yang dosisnya dinaikkan secara
progresif kemudian dilakukan pengukuran perubahan fungsi paru (PFR atau
FEV 1). Provokasi/stimulus lain seperti latihan fisik, hiperventilasi, udara kering
dan aerosol garam hipertonik, adenosis tidak mempunyai efek langsung terhadap
otot polos (tidak seperti histamin dan metakolin), akan tetapi dapat merangsang
pelepasan mediator dari sel mast, ujung serabut saraf, atau sel-sel lain pada
saluran respiratorik. Dikatakan hiperaktif bila dengan cara histamin didapatkan
penurunan FEV 1 20% pada konsentrasi histamin kurang dari 8 mg%.

C. FAKTOR RISIKO
Adapun beberapa faktor yang bisa menimbulkan terjadinya penyakit asma
diantaranya yaitu :
1. FAKTOR PEJAMU (Host)
- Predisposisi genetik
- Hiperesponsif saluran napas
- Atopi
- Jenis kelamin
- Ras
2. FAKTOR LINGKUNGAN
Faktor yang mempengaruhi kerentanan terbentuk asma pada individu yang
terpajan dengan faktor predisposisi.

Alergen dalam rumah


- Tungau debu rumah
- Alergen pada hewan
- Alergen kecoa
- Jamur
Alergen luar
- Tepung sari
- Jamur
Pajanan pekerjaan
Asap rokok
- Perokok pasif
- Perokok aktif
Polusi udara
- Polutan luar rumah (outdoor pollutants)
- Polutan dalam rumah (indoor pollutants)
Infeksi saluran napas
- Higiene
Infeksi parasit
Status sosial ekonomi
Diet dan obat – obatan
Obesitas

D. ETIOLOGI
Asma bronkial merupakan gangguan kompleks yang melibatkan faktor
otonom, imunologis, infeksi, endokrin, dan psikologis dalam berbagai tingkat pada
berbagai individu. Pengendalian diameter jalan napas dapat dipandang sebagai suatu
keseimbangan gaya neural dan humoral. Aktivitas bronkokonstriktor neural
diperantarai oleh bagian kolinergik sistem saraf otonom. Faktor humoral membantu
bronkodilatasi termasuk katekolamin endogen yang bekerja pada reseptor
adrenergik-ß yang mengakibatkan terjadinya relaksasi otot polos bronkus. Asma
dapat disebabkan oleh kelainan fungsi reseptor adenilat siklase adrenergik-ß, dengan
penurunan reseptor adrenergik-ß pada leukosit penderita asma.
Selain hal-hal tersebut, terdapat beberapa faktor lain yang juga turut
berperan sebagai etiologi penyakit ini, diantaranya yaitu:
1. Faktor-faktor imunologis
Penderita yang dikategorikan dalam penderita asma ekstrinsik atau alergik,
eksaserbasi terjadi setelah adanya paparan dari faktor lingkungan seperti debu
rumah, serbuksari bunga, dan ketombe. Hal ini seringkali akan
meningkatkan kadar imunoglobulin E (IgE) total maupun IgE spesifik pada
penderita terhadap antigen-antigen tersebut. Asma yang tergolong kategori
ini,sering dijumpai pada anak-anak dengan kisaran usia 2 tahun pertama dan
pada orang dewasa (asma yang timbul lambat) yang disebut juga asma intrinsik .
2. Faktor endokrin
Asma bronkial dapat menjadi lebih buruk pada pasien dengan keadaan hamil
dan menstruasi, terutama pada premenstruasi atau pada wanita yang menopause.
Sedangkan pada anak dengan masa pubertas, keadaan asma cenderung akan
lebih baik. Hanya sedikit yang diketahui tentang peranan faktor endokrin pada
etiologi dan patogenesis asma bronkial.
3. Faktor Psikologis
Faktor emosi dapat memicu timbulnya gejala-gejala asma.
4. Faktor lain
Faktor lain yang juga dapat menjadi pencetus (trigger) terjadinya asma ialah
infeksi saluran napas, faktor fisik (aktivitas fisik yang berlebih), perubahan
cuaca, obat-obatan, dan paparan bahan-bahan di lingkungan kerja.

E. DIAGNOSIS
1. Anamnesis

Umumnya diagnosa asma tidak sulit, terutama bila ditemukan gejala


klasik asma yaitu batuk, sesak napas, dan mengi yang timbul secara tiba-tiba
dan dapat hilang secara spontan/pengobatan. Adanya riwayat asma/riwayat alergi
dan faktor pencetus.

2. Pemeriksaan Fisik
Dalam keadaan serangan, tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi
pernapasan dan denyut nadi meningkat. Mengi (wheezing) sering terdengar
tanpa stetoskop. Bunyi pernapasan mungkin melemah dengan ekspirasi
memanjang
3. Pemeriksaan Penunjang
Diperlukan uji laboratorium darah dan sputum serta uji fungsi fisiologi
paru guna menunjang diagnosis asma bronkial. Eosinofilia di dalam darah dan
sputum akan mengalami peningkatan. Di dalam darah, eosinofilia akan lebih
dari dari 250-400 sel/mm3. Sedangkan pada sputum juga akan dijumpai adanya
eosinofilia, akan tetapi hal ini tidaklah khas pada penderita asma karena
beberapa penyakit anak selain asma mungkin menyebabkan eosinofilia di dalam
sputum. Protein serum dan kadar imunoglobulin biasanya normal pada penderita
asma bronkial, kecuali kadar IgE mungkin bertambah.Uji fisiologi paru
bermanfaat dalam mengevaluasi anak yang diduga menderita asma bronkial.
Pada penderita asma, uji ini bermanfaat untuk menilai tingkat penyumbatan
jalan napas dan gangguan pertukaran gas.
Penentuan gas dan pH darah arterial merupakan hal yang penting dalam
mengevaluasi penderita asma selama masa eksaserbasi yang memerlukan
perawatan di rumah sakit. Penentuan saturasi oksigen dengan oksimetri secara
teratur akan membantu dalam menentukan keparahan eksaserbasi akut.
PCO2biasanya rendah selama stadium awal asma akut. Ketika penyumbatan
memburuk, maka PCO2 akan meningkat.
Pada foto toraks akan tampak corakan paru yang meningkat. Hiperinflasi
terdapat pada serangan akut dan kronik. Atelektasis kadang-kadang dapat
ditemukan. Pada pasien ini hasil foto toraks didapatkan hasil gambaran infiltrat
(-) dan adanya gambaran bronkitis kronis.

F. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa diagnosis banding terhadap penyakit asma bronkial ini diantaranya
yaitu:
1. Sinusitis
2. Rhinitis alergika
3. Bronkhiolitis
4. Benda asing pada saluran napas
Pada rhinitis alergika, ditemukan adanya penyumbatan hidung secara
bilateral akibat edema basahnya membran mukosa. Selain itu, pada rhinitis
alergika ditemukan bersin-bersin, hidung yang berair, mata yang terasa gatal
dan mengeluarkan air mata yang berlebihan. Sinusitis mempunyai gejala berupa
adanya batuk malam hari, tetapi hal itu jarang karena lebih sering batuk pada
siang hari. Selain itu, juga ditemukan nyeri kepala, nyeri wajah dan bisa
ditemukan nanah dalah meatus media.
Pada bronkhiolitis, ditemukan adanya demam, batuk serta wheezing atau
mengi sedangkan pada auskulasi akan ditemukan suara ronkhi. Hal ini mirip
dengan asma bronkial, tetapi pada asma wheezing akan timbul secara periodik
atau episode. Selain itu, asma dicetuskan oleh adanya alergen baik dari
lingkungan maupun yang nonspesifik sedangkan pada bronkholitis tidak
demikian.
Benda asing pada saluran napas juga dapat menyebabkan sesak pada
penderita. Tetapi diagnosis ini dapat disingkirkan karena pada aloanamnesa
danpemeriksaan fisik akan ditemukan riwayat dari pasien dengan sengaja atau
tidak memasukkan benda asing ke saluran nafasnya.

G. KOMPLIKASI
Penyakit asma bila tidak mendapatkan terapi atau penangan secara benar,
bisa menimbulkan komplikasi-komplikasi yang cukup mengkhawatirkan. Beberapa
komplikasi yang bisa terjadi diantaranya yaitu:
1. Pneumotoraks spontan
Walaupun ini jarang sekali dijumpai, akan tetapi kadang dapat ditemukan
sebagai sebuah fenomena yang cukup menarik.
2. Pneumomediastinum
Penyakit ini kadang ditemukan pada penderita dengan usia yang cukup muda.
Penyakit ini timbul sebagai suatu proses yang berlangsung secara alamiah.
Pneumomediastinum ini pada umumnya akan sembuh dengan sendirinya (self-
limited disease)
3. Empisema
Penyakit ini sering ditemukan terjadi di subdural dan paling sering terjadi pada
anak-anak. Pergerakan udara terjadi dengan mengarah ke posterior, yakni dari
pneumomediastinum menuju foramina intervertebralis.
4. Pneumoperikardium
Penyakit ini jarang ditemukan sebagai komplikasi asma. Akan tetapi bila terjadi,
maka akan lebih sering terjadi pada anak-anak. Hal ini disebabkan selaput
pericardial pada anak-anak cenderung lebih rapuh dibndingkan dengan orang
dewasa. Seperti halnya dengan pneumomediastinum, pneumoperikardium
biasanya ditemui dengan sifat yang benigna.
5. Perdarahan pada subarakhnoid

Kasus ini bisa ditemui pada pasien status asmatikus dengan perawatan yang
menggunakan ventilator. Pasien dengan keadaan seperti ini rentan terhadap
timbulnya peningkatan tekanan parsial karbondioksida, sehingga dapat
menyebabkan vasodilatasi di pembuluh darah serebral dan meningkatnya
tekanan intrakranial. Keadaan ini dapat diperparah dengan adanya batuk-batuk
pada pasien sehingga terjadi peningkatan tekanan intrathoraks. Terapi ventilasi
diyakini menjadi pencetus terjadinya edema serebral dan terbatasnya aliran darah
vena pada serebral.

H. PENATALAKSANAAN
1. Tatalaksana di pelayanan primer (Puskesmas)
Jika pasien menunjukkan tanda- tanda eksaserbasi akut atau mengancam
jiwa, segera pengobatan dengan SABA, Oksigen dan kortikosteroid sistemik.
Rujuk ke fasilitas yang lebih memadai jika dibutuhkan monitoring yang ketat
dan spesialisasi paru. Eksaserbasi ringan dapat diobati di Puskesmas, tapi
tergantung ketersediaan alat ataupun obat-obatan.
Mengobati serangan eksaserbasi di Puskesmas diberikan terapi berulang
short acting bronkodilator inhalasi, kostikosteroid sistemik, dan pemberian aliran
oksigen. Tujuannya adalah agar cepat meringankan obstruksi aliran udara dan
hipoksemia, mengatasi patofisiologi inflamasi yang mendasari dan mencegah
kambuh.
Dosis kortikosteroid prednisolone pada orang dewasa adalah 1
mg/kgbb/hari dengan dosis maksimal 50 mg/hari dan 1-2 mg/kgbb/hari pada
anak- anak 4-6 tahun dengan dosis maksismal 40 mg/hari. Pemberian selama 5-
7 hari.
Pasien di follow up 2-7 hari kemudian memberikan penjelasan pada
pasien agar mengendalikan faktor risiko agar tidak terjadi eksaserbasi
berulang.
2. Tatalaksana di klinik atau Unit Gawat Darurat
Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan di Unit Gawat
Darurat, langsung dinilai derajat serangannya sesuai dengan fasilitas yang
tersedia. Dalam panduan GINA ditekankan bahwa pemeriksaan uji fungsi paru
(spirometer atau fleak flowmeter) merupakan bagian integral penilaian
tatalaksana serangan asma, bukan hanya evaluasi klinis. Namun, di Indonesia
penggunaan alat tersebut belum memasyarakat.
Tatalaksana awal terhadap pasien adalah pemberian ß-agonis dengan
penambahan garam fisiologis secara nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang
dua kali dengan selang waktu 20 menit. Pada pemberian ketiga, nebulisasi
ditambahkan obat antikolinergik. Tatalaksana awal ini sekaligus dapat berfungsi
sebagai penapis yaitu untuk penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat
secara klinis dapat dilakukan dengan cepat dan jelas.
Jika menurut penilaian awal pasien datang jelas dalam serangan yang
langsung berikan nebulisasi ß-agonis dikombinasikan dengan antikolinergik.
Pasien dengan serangan berat yang disertai dehidrasi dan asidosis metabolic,
mungkin akan mengalami takifilasis atau refrakter yaitu respons yang kurang
baik terhadap nebulisasi ß-agonis. Pasien seperti ini cukup sekali
dinebulisasi kemudian secepatnya dirawat untuk mendapat obat intravena selain
dibatasi masalah dehidrasi dan asidosisnya.
- Serangan Asma Ringan
Apabila keadaan pasien dengan sekali pemberian nebulisasi telah
menunjukkan respons yang baik (complete response), berarti
serangannya tergolong ringan. Pasien diobservasi selama 1 jam, jika tetap
baik, maka pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali dengan obat ß-agonis
(obat hirup atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus
serangannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral, namun
hanya diberikan untuk jangka waktu yang pendek (3-5 hari).
- Serangan Asma Sedang
Jika dengan pemberian nebulisasi dua kali, pasien hanya menunjukkan
respons parsial (incomplete response), kemungkinan derajat serangannya
sedang. Pada serangan asma sedang, diberikan steroid sistemik (oral)
metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kg/BB/hari selama 3-5 hari. Steroid
lain yang dapat diberikan selain metilprednisolon adalah prednison.
- Serangan Asma Berat
Bila dengan nebulisasi tiga kali berturut-turut pasien tidak menunjukkan
respons (poor response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada maka
pasien harus dirawat di ruang rawat inap. Bila sejak awal dinilai sebagai
serangan berat, maka nebulisasi pertama kali langsung ß-agonis dengan
penambahan antikolinergik. Oksigen 2-4 liter/menit diberikan sejak awal,
termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan lakukan foto thoraks. Jika
pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus
langsung dirawat di ruang rawat intensif. Untuk pasien dengan serangan
berat dan ancaman henti napas, langsung dibuat foto Rontgen thoraks guna
komplikasi pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum.
Management of asthma exacerbations in acute care facility, e.g. emergency
department
3. Tatalaksana di Ruang Rawat Sehari

Pemberian oksigen tetap diteruskan dengan diberikan nebulisasi ß-agonis


+ antikolinergik tiap 2 jam. Kemudian berikan steroid sistemik oral
berupametilprednisolon atau prednisone. Pemberian steroid ini dilanjutkan sampai
3-5 hari. Jika dalam 12 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan
dibekali obat seperti pasien serangan ringan yang dipulangkan dari klinik/ UGD.
Bila dalam 12 jam responnya tetap tidak baik, maka pasien dialih rawat ke
ruang rawat inap dengan tatalaksana serangan asma berat.

4. Tatalaksana di Ruang Rawat Inap


Pada penatalaksaan di ruang inap, ada beberapa hal yang dilakukan, yaitu:
- Pemberian oksigen diteruskan
- Jika ada dehidrasi dan asidosis, maka diatasi dengan pemberian cairan
intravena dan dikoreksi asidosisnya.
- Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam. Dosis steroid
intravena 0,5-1 mg/kg/BB/hari.
- Nebulisasi ß-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2
jam, jika dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak
pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
- Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis:
 Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi aminofilin
dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose
atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit.
 Jika pasien telah mendapat amonofilin (kurang dari 8 jam), dosis
diberikan separuhnya.
 Sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 1020 mcg/ml.
 Selanjutnya aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1
mg/kgBB/jam.
- Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga
24 jam dan steroid serta aminofilin diganti pemberial peroral.
- Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan
dibekali obat ß-agonis (hirup atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam
selama 24-48 jam. Steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik
rawat jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana.
5. Kriteria Rawat di Ruang Rawat Intensif
Kriteria pasien yang memerlukan perawatan di ICU adalah:
- Tidak ada respons sama sekali terhadap tatalaksana awal di UGD dan/atau
perburukan asma yang cepat.
- Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti napas
atau hilangnya kesadaran.
- Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana di ruang rawat inap.
- Ancaman henti napas : hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberikan
oksigen (Kadar PaO2 <60 mmHg dan/atau PaCO2 > 45 mmHg, walaupun
tentu saja gagal napas dapat terjadi dalam kadar PaCO2 yang lebih tinggi
atau lebih rendah).
I. PROGNOSIS
Beberapa studi menemukan bahwa banyak bayi dengan wheezing tidak
berlanjut menjadi asma pada masa anak-anak dan remajanya. Proporsi kelompok
tersebut berkisar antara 45% hingga 85%, tergantung besarnya sampel studi, tipe
studi, dan lamanya pementauan. Adanya asma pada orang tua dan dermatitis atopik
pada anak dengan wheezing merupakan salah satu indikator penting untukterjadinya
asma dikemudian hari. Apabila terdapat kedua hal tersebut, maka kemungkinan
menjadi asma lebih besar atau terdapat salah satu di atas disertai dengan 2 dari 3
keadaan berikut yaitu eosinofia, rhinitis alergika, dan wheezing yang menetap pada
keadaan bukan flu.

Anda mungkin juga menyukai