Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lalat rumah (Musca domestica) berperan dalam penularan penyakit secara
mekanis pada manusia maupun hewan. Hal ini disebabkan oleh kebiasaannya
berkembang biak dan perilaku makan lalat yang sangat luas sebarannya. Lalat
rumah berkembang biak pada media berupa tinja, karkas, sampah, kotoran
hewan dan limbah buangan yang banyak mengandung agen penyakit. Dcngan
demikian lalat dengan mudah tercemari oleh agen tersebut baik di dalam perut,
bagian mulut dan tungkainya. Patogen ini kemudian ditularkan ke manusia dan
memuntahkan makanannya (regurgitasi yang secara alami dilakukan sebelum
menelan makanan). Terdapat berbagai macam penyakit yang dapat disebabkan
oleh lalat rumah salah satunya yaitu tifoid (Dyah, 2008)
Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri, yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Penyakit ini ditularkan melalui konsumsi makanan atau
minuman yang terkontaminasi oleh tinja atau urin orang yang terinfeksi. Gejala
biasanya muncul 1- 3 minggu setelah terkena, dan mungkin ringan atau berat.
Gejala meliputi demam tinggi, malaise, sakit kepala, mual, kehilangan nafsu
makan ,sembelit atau diare, bintik-bintik merah muda di dada (Rose spots), dan
pembesaran limpa dan hati. Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan
oleh kuman Salmonella typhi, S paratyphi A, S paratyphi B dan S paratyphi C.
Jika penyebabnya adalah S paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan
yang disebabkan oleh S typhi. Menginat bahaya yang ditimbulkan maka perlu
dilakukannya pengendalian lalat rumah (musca domestica).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Klasifikasi lalat Musca domestica?
2. Apa hubungan lalat dengan penyakit typhoid?
3. Bagaimana cara mencegah adanya lalat?
4. Apa perbedaan pengendalian lalat di Indonesia dan di Pakistan?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui klasifikasi lalat Musca domestica
2. Mengetahui hubungan lalat dan penyakit thypoid

1
3. Mengetahui cara pencegahan lalat
4. Mengetahui perbedaan cara pengendalian di Indonesia dan di Pakistan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lalat
2.1.1 Klasifikasi Lalat
Lalat merupakan serangga yang termasuk ke dalam ordo diptera yang
merupakan ordo terbesar dari serangga dengan keragaman jenis yang tinggi.
Istilah “Diptera” menunjukkan bahwa kelompok serangga ini memiliki dua
pasang sayap pada masa embrional. Pasangan sayap belakang mengalami
perubahan bentuk dan fungsi menjadi alat keseimbangan yang disebut halter
sedang sepasang sayap lainnya menjadi sayap sejati (Borror dkk, 1992).
Serangga dalam ordo diptera memiliki alat-alat mulut berbentuk pengisap
dengan probosis yang beradaptasi untuk merobek (Sembel, 2009). Morfologi
tubuh lalat pada dasarnya sama dengan ciri umum filum arthropoda lainnya, yakni
terdiri dari 3 bagian utama yaitu kepala, thorax, dan abdomen. Terdapat batas-
batas jelas yang memisahkan bagian yang satu dari bagian yang lain. Lalat
dikatakan termasuk ke dalam kelas Hexapoda dengan ciri memiliki 6 buah kaki
(Hexa = 6 dan poda = kaki) pada thorax (Suprapto, 2003).
Pada saat ini dijumpai kurang lebih 60.000 – 100.000 spesies lalat, tetapi
tidak semua spesies perlu diawasi karena beberapa diantaranya tidak berbahaya
terhadap kesehatan masyarakat (Santi, 2001). Beberapa jenis lalat yang penting
ditinjau dari sudut kesehatan masyarakat dan lingkungan yakni lalat rumah, lalat
hijau, lalat kandang, lalat daging dan lalat kecil (Azwar, 1996).
Klasifikasi lalat adalah sebagai berikut :
 Kingdom : Animalia
 Filum : Arthropoda
 Kelas : Hexapoda
 Ordo : Diptera
 Famili : Muscidae, Challiporidae, Sarchopagidae, dll
 Genus : Musca, Chrysomya, Stomoxyx, dll.
 Spesies : Musca domestica, Chrysomya megachepala, Stomoxys
calcitrans, dll.

3
2.1.2 Siklus Hidup
Lalat adalah insekta yang mengalami metamorfosa sempurna yang terdiri
atas stadium telur, stadium larva, stadium kepompong, serta stadium dewasa
(Azwar, 1996). Menurut Depkes RI (1991), perkembangan lalat memerlukan
waktu antara 722 hari, tergantung dari suhu dan makanan yang tersedia.
a. Stadium Telur
Lalat betina umumnya telah dapat menghasilkan telur pada usia 4-20 hari
setelah dewasa. Telur yang dihasilkannya berbentuk oval, berwarna putih,
berukuran sekitar 10 mm dan biasanya mengelompok, sebanyak 75 sampai
150 telur setiap kelompoknya. Telur ini biasanya diletakkan pada daerah
yang terhindar dari sinar matahari dan tersedia cukup makanan. Jika
tersedia panas yang dibutuhkan, maka dalam tempo 12 jam telur akan
menetas dan menghasilkan tempayak (larva).
b. Larva atau tempayak
Stadium ini terdiri dari 3 tahap atau tingkatan, yaitu :
Tingkat I : Telur yang baru menetas, disebut instar I. Berukuran
panjang 2 mm, berwarna putih, tidak bermata dan berkaki,
amat aktif dan ganas terhadap makanan, setelah 1-4 hari
melepas kulit dan menjadi instar II.
Tingkat II : Ukuran besarnya 2 kali instar I, sesudah satu sampai
beberapa hari, kulit mengelupas dan keluar instar III.
Tingkat III : Larva berukuran 12 mm atau lebih, tingkat ini memakan
waktu 3 sampai 9 hari. Larva diletakkan pada tempat yang
disukai dengan temperature 30-35°C dan dalam waktu
antara 4 sampai 7 hari akan berubah menjadi kepompong.
c. Kepompong
Kepompong lalat berbentuk lonjong dan umumnya berwarna merah tua
atau coklat. Umumnya kepompong mencari tempat yang kering atau dapat
menyembunyikan diri ke dalam lubang tanah yang ditemukannya. Jika
suhuyang dibutuhkan sesuai yakni ± 35°C derajat celcius maka sekitar 3
hari, kepompong akan berubah menjadi bentuk dewasa.
d. Lalat dewasa

4
Sebelum terbang meninggalkan tempatnya, lalat memerlukan waktu
sekitar 1 jam untuk mengeringkan tubuh dan sayapnya. Kemudian setelah
beristirahat selama lebih kurang 15 jam, ia memulai kehidupannya sebagai
layaknya lalat dewasa. Usia lalat dewasa biasanya antara 2 sampai 4
minggu, tetapi dapat bertahan lebih lama jika udara dingin.
2.1.3 Pola Hidup
Pola hidup lalat terbagi menjadi beberapa bagian. Adapun pola hidup lalat
adalah sebagai berikut.
1. Tempat perindukan/berbiak
Sucipto (2011) menyatakan bahwa :“Tempat yang disenangi lalat
adalah tempat yang basah seperti sampah basah, kotoran binatang,
tumbuh-tumbuhan yang busuk, kotoran yang menumpuk secara
kumulatif”. Depkes RI (1991) memaparkan bahwa : “Tempat yang
disenangi adalah tempat basah, benda-benda organik, tinja, sampah basah,
kotoran binatang, tumbuh-tumbuhan busuk, kotoran yang menumpuk
secara kumulatif (dikandang hewan) sangat disenangi oleh larva lalat,
sedangkan yang tercecer jarang dipakai sebagai tempat berbiak lalat”.
Secara umum tempat perindukan bagi lalat adalah tempat yang kotor dan
basah.
2. Jarak terbang
Jarak terbang sangat tergantung pada adanya makanan yang tersedia, rata-
rata 6-9 km, kadang-kadang dapat mencapai 19-20 km dari tempat berbiak
atau 7-12 mil dari tempat perkembangbiakannya. Selain itu ia mampu
terbang 4 mil/jam (Depkes,1991)”.
3. Kebiasaan makan
Lalat memakan makanan yang dimakan oleh manusia sehari-hari, seperti
gula, susu dan makanan lainnya, kotoran manusia serta darah. Bentuk
makanannya cair atau makanan yang basah, sedang makanan yang kering
dibasahi oleh ludahnya terlebih dulu, baru diisap (Depkes,1991). Dalam
Widyati & Yuliarsih (2002) mengungkapkan bahwa : “Lalat lebih
menyukai makanan yang bersuhu tinggi daripada lingkungan sekitarnya”.
4. Tempat istirahat

5
Dalam memilih tempat istirahat (resting place), lalat lebih menyukai
tempat yang tidak berangin, tetapi sejuk, dan kalau malam hari sering
hinggap di semak-semak di luar tempat tinggal” (Widyati &
Yuliarsih,2002). Lalat beristirahat pada lantai, dinding, langit-langit,
jemuran pakaian, rumput-rumput, kawat listrik dan lain-lain serta sangat
disukai tempat-tempat dengan tepi tajam yang permukaannya vertikal.
Tempat istirahat tersebut biasanya dekat dengan tempat makannya dan
tidak lebih dari 4,5 meter di atas permukaan tanah(Depkes, 1991). Lalat
istirahat ditempat dimana ia hinggap dan atau tempat yang dekat dari
tempat hinggapnya.
5. Lama hidup
Pada musim panas, usia lalat berkisar antara 2-4 minggu, sedang pada
musim dingin bisa mencapai 70 hari (Depkes,1991). Widyati dan
Yuliarsih (2002) menyatakan bahwa: “ Tanpa air lalat tidak dapat hidup
lebih dari 46 jam”. Sehingga lama hidup lalat pada umumnya berkisar
antara 2-70 hari.
6. Temperatur dan kelembaban
Lalat mulai terbang pada temperatur 150C dan aktifitas optimumnya pada
temperatur 21°C. Pada temperatur di bawah 7,5°C tidak aktif dan di atas
45°C terjadi kematian pada lalat. Sedangkan Kelembaban erat
hubungannya dengan temperatur setempat (Depkes,1991)
7. Sinar
Lalat merupakan serangga yang bersifat fototropik, yaitu menyukai sinar.
Pada malam hari tidak aktif, namun bisa aktif dengan adanya sinar buatan.
Efek sinar pada lalat tergantung sepenuhnya pada temperatur dan
kelembaban (Depkes,1991). Melihat pola hidupnya, lalat merupakan tipe
makhluk hidup yang kompleks dan dapat berkembang biak dengan pesat
serta mampu bertahan hidup dengan relatif lama pada temperatur dan
keadaan tertentu.

6
2.1.4 Pemberantasan
Pada dasarnya, tindakan pengendalian terhadap lalat dapat dilakukan secara tidak
langsung dengan perbaikan hygiene dan sanitasi lingkungan dan secara langsung
dengancara fisik, kimia, dan biologi (Depkes RI, 1995).
a. Perbaikan Hygiene dan Sanitasi Lingkungan
Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan antara lain dengan
menghilangkan tempat perindukan lalat atau mengurangi sumber yang
menarik lalat, misalnya membersihkan kandang ternak/burung, kotoran
ternak/burung dikeluarkan dan dibersihkan secara rutin, membuat saluran
air limbah (SPAL) yang tertutup. Untuk industri yang menggunakan
produk yang dapat menarik lalat dilakukan pemasangan alat pembuang
bau (exhaust). Selain itu, tindakan pengendalian juga dapat dilakukan
dengan melindungi makanan atau peralatan makan dari kontak dengan
lalat atau mencegah kontak antara lalat dengan kotoran yang mengandung
kuman penyakit, misalnya dengan membuat konstruksi jamban yang
memenuhi syarat.
b. Pengendalian secara Langsung
1) Cara fisik
Cara pemberantasan secara fisik adalah cara yang mudah dan aman tetapi
kurang efektif apabila lalat dalam kepadatan yang tinggi. Cara ini hanya
cocok untuk digunakan pada skala kecil seperti dirumah sakit, kantor,
hotel, supermarket dan pertokoan lainnya yang menjual daging, sayuran,
serta buah-buahan .
a. Perangkap Lalat (Fly Trap)
Lalat dalam jumlah yang besar/padat dapat ditangkap dengan alat ini.
Perangkap ini dapat dibuat sendiri dan memanfaatkan umpan dari sisa-
sisa atau sampah makanan di rumah tangga. Model perangkap ini
terdiri dari konteiner plastik/kaleng, umpan, penutup kayu/plastik
dengan celah kecil dan sangkar di atas penutup. Bahan-bahan tersebut
dirangkai sedemikian rupa membentuk perangkap lalat. Lalat
akantertarik dengan bau umpan dan akan masuk serta terjebak di

7
dalam perangkap. Alat ini harus ditempatkan di udara terbuka dibawah
sinar cerah matahari, jauh dari keteduhan pepohonan.
b. Umpan kertas lengket berbentuk pita/lembaran (Sticky tapes)
Di pasaran tersedia alat ini, menggantung di atap, menarik lalat karena
kandungan gulanya. Lalat hinggap pada alat ini akan terperangkap
oleh lem. Alat ini dapat berfungsi beberapa minggu bila tidak tertutup
sepenuhnya oleh debu atau lalat yang terperangkap.
c. Perangkap dan pembunuh elektronik (light trap with electrocutor)
Lalat yang tertarik pada cahaya akan terbunuh setelah kontak dengan
jeruji yang bermuatan listrik. Sinar bias dan ultraviolet menarik lalat
hijau (blow flies) tetapi tidak terlalu efektif untuk lalat rumah. Alat ini
kadang digunakan di dapur rumah sakit dan restoran.
d. Pemasangan kasa kawat/plastik
Biasanya kasa kawat/plastik dipasang pada pintu dan jendela serta
lubang angin/ ventilasi.
e. Membuat pintu dua lapis
Daun pintu pertama ke arah luar dan lapisan kedua merupakan pintu
kasa yang dapat membuka dan menutup sendiri.
2) Cara kimia
Pemberantasan lalat dengan insektisida harus dilakukan hanya untuk
periode yang singkat apabila sangat diperlukan karena dapat terjadi
resitensi serangga sasaran. Aplikasi yang efektif dari insektisida dapat
secara sementara memberantas lalat dengan cepat. Biasanya pengendalian
secara kimia dilakukan apabila terjadi KLB kolera, disentri atau trachoma.
Penggunaan pestisida ini dapat dilakukan melalui cara umpan (baits),
penyemprotan dengan efek residu (residual spraying) dan pengasapan
(space spraying).
3) Cara Biologi
Dengan memanfaatkan sejenis semut kecil berwana hitam (Phiedoloqelon
affinis) untuk mengurangi populasi lalat rumah ditempat-tempat sampah.
Cara ini sering dilakukan di Negara Filipina.
c. Insektisida

8
Khasiat insektisida untuk membunuh serangga sangat bergantung pada
bentuk, cara masuk ke dalam badan serangga, macam makan kimia,
konsentrsai dan jumlah (dosis) insektisidaMenurut. Cara masuk insektisida
ke dalam tubuh serangga sasaran dibedakan menjadi tiga kelompok
insektisida sebagai berikut (Djojosumarto, 2008).
1. Racun Lambung (Stomach Poison)
Racun lambung adalah insektisida-insektisida yang membunuh serangga
sasaran bila insektisida tersebut masuk ke dalam organ pencernaan
serangga dan diserap oleh dinding saluran pencernaan.
2. Racun Kontak
Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam tubuh serangga
lewat kulit (bersinggungan langsung). Serangga hama akan mati bila
bersinggungan langsung atau kontak dengan insektisida tersebut.
Kebanyakan racun kontak juga berperan sebagai racun perut.
3. Racun Pernapasan
Racun pernapasan adalah insektisida yang bekerja lewat saluran
pernapasan. Serangga akan mati bila menghirup insektisida dalam jumlah
yang cukup. Kebanyakan racun napas berupa gas, atau bila wujud asalnya
padat atau cair, yang segera berubah atau menghasilkan gas.
2.2 Typhoid
2.2.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri, yang disebabkan oleh
Salmonella typhi . Penyakit ini ditularkan melalui konsumsi makanan atau
minuman yang terkontaminasi oleh tinja atau urin orang yang terinfeksi. Gejala
biasanya muncul 1-3 minggu setelah terkena, dan mungkin ringan atau berat.
Gejala meliputi demam tinggi, malaise, sakit kepala, mual, kehilangan nafsu
makan ,sembelit atau diare, bintik-bintik merah muda di dada (Rose spots), dan
pembesaran limpa dan hati. Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh
kuman Salmonella typhi, S paratyphi A, S paratyphi B dan Sparatyphi C. Jika
penyebabnya adalah S paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang
disebabkan oleh S typhi. (Inawati, tanpa tahun)

9
Demam tifoid (Tifus abdominalis, enteric fever) ialah penyakit infeksi
akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam satu minggu
atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan
kesadaran(Astuti, 2013).
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut pada
usus halus yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella
typhi) (Widodo, 2006). Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang
mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan
wabah. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah daya tahan tubuh, higienitas,
umur, dan jenis kelamin. Infeksi demam tifoid ditandai dengan bakterimia,
perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan
mikroabses, dan ulserasi plaque peyeri di distal ileum (Putra, 2012).
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid
dan demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah
sama dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan
oleh spesies Salmonella enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai pada
demam tifoid maupun demam paratifoid (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2008).

2.2.2 Etiologi/gejala dan penyebab


Penyakit ini disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhosa/Eberthella
typhosa/ Salmonella typhi yang merupakan kuman gram negatif, bergerak dengan
rambut getar dan tidak menghasilkan spora (Lestari, 2011).
Kuman ini dapat tumbuh pada semua media dan pada media yang selektif,
bakteri ini memfermentasi glukosa dan manosa, tetapi tidak dapat memfermentasi
laktosa. Waktu inkubasi berkisar tiga hari sampai satu bulan (Putra, 2012).
Sumber penularan utama demam tifoid adalah penderita itu sendiri dan
karier yang dapat mengeluarkan berjuta-juta kuman S. typhi dalam tinja, dan tinja
inilah yang menjadi sumber penularan (Rasmilah, 2012).
Bakteri ini dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun yang
sedikit lebih rendah, serta mati pada suhu 70°C ataupun oleh antiseptik
(Rampengan, 2008).

10
Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di
dalam air, es, sampah, dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu
60°C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan, dan khlorinisasi (Harahap,
2011).
Masa inkubasi Demam tifoid rata rata 2 minggu. Gejala timbul tiba tiba
atau berangsur angsur. Penderita Demam tifoid merasa cepat lelah, malaise,
anoreksia, sakit kepala, rasa tak enak di perut dan nyeri seluruh tubuh.
Demam pada Demam tifoid umumnya berangsur angsur naik selama
minggu pertama, demam terutama pada sore hari dan malam hari (bersifat febris
reminent). Pada minggu kedua dan ketiga demam terus menerus tinggi (febris
kontinua). Kemudian turun secara lisis. Demam ini tidak hilang dengan pemberian
antipiretik, tidak ada menggigil dan tidak berkeringat. Kadang kadang disertai
epiktasis. Gangguan gastrointestinal : bibir kering dan pecah pecah, lidah kotor,
berselaput putih dan pinggirnya hiperemis. Perut agak kembung dan mungkin
nyeri tekan. Limpa membesar dan lunak dan nyeri pada penekanan. Pada
permulaan penyakit umumnya terjadi diare, kemudian menjadi obstipasi.
 Masa Inkubasi/ tunas : 10-14 hari.
 Minggu 1 : demam (suhu berkisar 39-40), nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual muntah, konstipasi,
diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epiktasis.
Pada umumnya demam berangsur naik, terutama sore hari dan
malam hari. Dengan keluhan dan gejala demam, nyeri otot, nyeri kepala,
anorexia dan mual, batuk, epitaksis, obstipasi / diare, perasaan tidak enak
di perut.
 Minggu 2 : demam, bradikardi, lidah khas berwarna putih, hepatomegali,
splenomegali, gangguan kesadaran.
Pada minggu II gejala sudah jelas dapat berupa demam, bradikardi,
lidah yang khas (putih, kotor, pinggirnya hiperemi), hepatomegali,
meteorismus, penurunan kesadaran.Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak
khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat
dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara klinis gambaran

11
penyakit Demam Tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi
usus, dan keluhan susunan saraf pusat.
1. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari
makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus
terutama pada malam hari.
2. Gejala gstrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan
kembung, hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.
3. Gejala saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan
sampai koma.

2.2.3 Patogenesis/Patofisiologi
Salmonella typhi adalah bakteri batang lurus, gram negatif, tidak berspora,
bergerak dengan flagel peritrik, berukuran 2-4 μm x 0.5-0,8 μm. Salmonella
typhi tumbuh cepat dalam media yang sederhana hampir tidak pernah
memfermentasi laktosa dan sukrosa, membentuk asam dan kadang gas dari
glukosa dan manosa, biasanya memporoduksi hidrogen sulfide. Pada biakan
agar koloninya besar bergaris tengah milimeter, bulat agak cembung, jernih.
Pola penyebaran penyakit ini adalah melalui saluran cerna (mulut,
esofagus,lambung, usus 12 jari, usus halus, usus besar). Salmonella paratyphi
A, Salmonella paratyphi B dan Salmonella paratyphi C masuk ke tubuh
manusia bersama bahan makanan atau minuman yang tercemar. Saat kuman
masuk ke saluran pencernaan manusia, sebagian kuman mati oleh asam
lambung dan sebagian kuman masuk ke usus halus. Dari usus halus kuman
beraksi sehingga bisa menginfeksi usus halus. Setelah berhasil melampaui
usus halus, kuman masuk ke kelenjar getah bening, ke pembuluh darah dan ke
seluruh tubuh (terutama pada organ hati, empedu, dan lain-lain). Sehingga
feses dan urin penderita bisa mengandung kuman salmonella typhi, salmonella
paratyphi A, salmonella paratyphi B dan salmonella paratyphi C yang siap
menginfeksi manusia lain melalui makanan atau minuman yang tercemari.
Pada penderita yang tergolong carrier kuman salmonella bisa ada terus
menerus di feses dan urin sampai bertahun-tahun. Setelah memasuki dinding
usus halus, salmonella typhi, salmonella paratyphi A, salmonella paratyphi B

12
dan salmonella paratyphi C mulai melakukan penyerangan melalui sistem
limfa ke limfa yang menyebabkan pembengkakan pada urat dan setelah satu
period perkembangbiakan bakteri tersebut kemudian menyerang aliran darah.
Aliran darah yang membawa bakteri juga akan menyerang liver, kantong
empedu, limfa, ginjal dan sumsum tulang dimana bakteri ini kemudian
berkembang biakan dan menyebabkan infeksi organ-organ ini. Melalui organ-
organ yang telah terinfeksi inilah mereka terus menyerang aliran darah yang
menyebabkan bakteremia sekunder. Bakteremia sekunder ini bertanggung
jawab sebagai penyebab terjadinya demam dan penyakit klinis(Laksono,
2007)
2.2.4 Diagnosis
a. Biakan tinja dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakan urin
pada minggu ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis dengan
ditemukannya salmonella typhi. Gambaran darah juga dapat membantu
menentukan diagnosis. Jika terdapat lekopeni polimorfonuklear dengan
limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari demam, maka arah
demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis
polimorfonuklear, maka berarti terdapat infeksi sekunder bakteri di dalam
lesi usus.
Peningkatan yang cepat dari lekositosis polimorfonuklear ini
mengharuskan kita waspada akan terjadinya perforasi dari usus penderita.
Tidak selalu mudah mendiagnosis karena gejala yang di timbulkan oleh
penyakit itu tidak selalu khas seperti diatas. Bisa ditemukan gejala-gejala
yang tidak khas. Ada orang yang setelah terpapar dengan kuman
salmonella typhi, hanya mengalami demam sedikit kemudian sembuh
tanpa diberi obat. Hal itu bisa terjadi karena tidak semua penderita yang
secara tidak sengaja menelan kuman ini langsung menjadi sakit.
Tergantung banyaknya jumlah kuman dan tingkat kekebalan
seseorang dan daya tahannya, termasuk apakah sudah imun atau kebal.
Bila jumlah kuman hanya sedikit yang masuk ke saluran cerna, bisa saja
langsung dimatikanoleh sistem pelindung tubuh manusia. Namun

13
demikian, penyakit ini tidak bisa dianggap enteng, misalnya nanti juga
sembuh sendiri.
b. Kultur gal diagnosis definitive penyakit tifus dengan isolasi bakteri
salmonella typhi dari spesimen yang berasal dari darah penderita.
Pengambilan spesimen darah sebaiknya dilakukan pada minggu pertama
timbulnya penyakit, karena kemungkinan untuk positif mencapai 80-90%,
khususnya pada pasien yang belum mendapat terapi antibiotic. Pada
mingguke 3 kemungkinan untuk positif menjadi 20-25% dan minggu ke-4
hanya 1015%.
c. Tes widal Penentuan kadar aglutinasi antibodi terhadap antigen O dan H
dalam darah (antigen O muncul pada hari ke 6-8 dan antibodi H muncul
pada hari ke 10-12. Pemeriksaan widal memberikan hasil negatif sampai
30% dari sampel biakan positif penyakit tifus, sehingga hasil tes widal
negatif bukan berarti dapat dipastikan tidak terjadi infeksi. Pemeriksaan
tunggal penyakit tifus dengan tes Widal kurang baik karena akan
memberikan hasil positif bila terjadi : (1) Infeksi berulang karena bakteri
salmonella typhi lainnya, (2) Imunisasi penyakit tifus sebelumnya, (3)
Infeksi lainnya seperti malaria dan lain-lain. Pemeriksaan kultur gal
sensitivitasnya rendah, dan hasilnya memerlukan waktu berhari-hari,
sedangkan pemeriksaan widal tunggal memberikan hasil yang kurang
bermakna untuk mendeteksi penyakit tifus
d. Pemeriksaan anti salmonella typhi IgM dengan reagen TubexRTF sebagai
solusi pemeriksaan yang sensitif, spesifik, praktis untuk mendeteksi
penyebab demam akibat infeksi bakteri salmonella typhi. Pemeriksaan anti
salmonella typhi IgM dengan reagen TubexRTF dilakukan untuk
mendeteksi antibody terhadap antigen lipopolisakarida O9 yang sangat
spesifik terhadap bakteri salmonella typhi.
2.2.5 Pengobatan
1. Perawatan umum
Pasien demam tifoid perlu dirawat dirumah sakit untuk isolasi,
observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai
minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud

14
tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus
atau perforasi usus. Mobilisasi pesien harus dilakukan secara
bertahap,sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-
ubah pada waktuwaktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia
hipostatik dan dekubitus.
Defekasi dan buang air kecil harus dperhatikan karena kadang-
kadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih.Pengobatan simtomik
diberikan untuk menekan gejala-gejala simtomatik yang dijumpai seperti
demam, diare, sembelit, mual, muntah, dan meteorismus. Sembelit bila
lebih dari 3 hari perlu dibantu dengan paraffin atau lavase dengan
glistering. Obat bentuk laksan ataupun enema tidak dianjurkan karena
dapat memberikan akibat perdarahan maupun perforasi intestinal.
Pengobatan suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan
penderita, misalnya pemberian cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan
keseimbangan cairan, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh
dan kortikosteroid untuk mempercepat penurunan demam.
2. Diet
Di masa lampau, pasien demam tifoid diberi bubur saring,
kemudian bubur kasar dan akhirnya diberi nasi. Beberapa peneliti
menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini,yaitu nasi dengan
lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat
diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.
3. Obat
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan adalah :
 Kloramfenikol : Kloramfenikol masih merupakan obat pilihan
utama pada pasien demam tifoid.Dosis untuk orang dewasa adalah
4 kali 500 mg perhari oral atau intravena,sampai 7 hari bebas
demam.Penyuntikan kloramfenikol siuksinatintramuskuler tidak
dianurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan
tempat suntikan terasa nyeri.Dengan kloramfenikol,demam pada
demam tifoid dapat turun rata 5 hari.

15
 Tiamfenikol : Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid
sama dengan kloramfenikol.Komplikasi hematologis pada
penggunaan tiamfenikol lebih jarang daripada klloramfenikol.
Dengan penggunaan tiamfenikol demam pada demam tiofoid dapat
turun rata-rata 5-6 hari.
 Ko-trimoksazol (Kombinasi Trimetoprim dan Sulfametoksazol) :
Efektivitas kotrimoksazol kurang lebih sama dengan
kloramfenikol,Dosis untuk orang dewasa,2 kali 2 tablet
sehari,digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet
mengandung 80 mg trimetoprim dan 400 mg
sulfametoksazol).dengan kotrimoksazol demam rata-rata turun
setelah 5-6 hari.
 Ampislin dan Amoksisilin : Dalam hal kemampuan menurunkan
demam,efektivitas ampisilin dan amoksisilin lebih kecil
dibandingkan dengan kloramfenikol.Indikasi mutlak
penggunannnya adalah pasien demam tifoid dengan
leukopenia.Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75-150 mg/kgBB
sehari,digunakan sampai 7 hari bebas demam.Dengan Amoksisilin
dan Ampisilin,demam rata-rata turun 7-9 hari.
 Sefalosporin generasi ketiga : Beberapa uji klinis menunjukkan
bahwa sefalosporin generasi ketiga antara lain
Sefoperazon,seftriakson, dan sefotaksim efektif untuk demam
ifoidtetapi dosis dan lama pemberian yang optimal belum diketahui
dengan pasti.
 Fluorokinolon : Fluorokinolon efektif untuk demam tifoidtetapi
dosis dan lama pemberian belum diketahui dengan pasti.
 Furazolidon.
2.2.6 Prognosis/kemungkinan
Prognosis pada umumnya baik pada demam tifoid tanpa
komplikasi. Tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan
tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella serta cepat dan tepatnya

16
pengobatan. Angka kematian pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa
7,4%, rata-rata 5,7%.
2.3 Hubungan Lalat dengan Penyakit Typhoid
2.3.1 Penyebab Thypoid
Penularan penyakit Thypoid dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang
dikenaldengan 5F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku),
Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses. Feses dan muntah pada
penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonellathypi kepada orang
lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat
akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat.
Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti
mencuci tangan. makanan yang tercemar kuman salmonellathypi masuk
ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke
dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung
dan sebagian lagi masuk ke usus halus, bagian distal dan mencapai
jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini, kuman berkembang biak,
lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel
Retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam
sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman Selanjutnya masuk
ke limpa, usus halus dan kandung empedu. Semula disangka demam dan
gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh endotoksemia. Tetapi
berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia
bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia
berperan pada patogenesis typhoid, karena membantu proses inflamasi
lokal pada usushalus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan
endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit
pada jaringan yang meradang.

2.3.2 Model Hubungan Causal Demam Tifoid


Penyakit Demam Thypoid disebabkan oleh bakteri yang disebarkan melalui
tinja, muntahan, urin, kemudian terbawa oleh Lalat melalui perantara kaki-

17
kakinya dari kakus ke dapur yang akan mengkontaminasi makanan atau minuman,
sayur-sayuran, atau pun buah-buahan segar.
Oleh karena itu jika seekor lalat terjatuh kedalam minuman hendaklahl alat
tersebut di celupkan kedalam air karen a pada sayap kiri lalat terdapat senyawa
racun yang dapa tmengembangbiakan bakteri atau tempat hidup bakteri,
sedangkan sayap kanan terdapat senyawa antioksidan berupa penawar racun
tersebut yang jika di celupkan kedalam air akan bereaksi membentuk senyawa
yang menghambat racun tersebut.

2.3.3 Habitat Lalat


Lingkungan yang kotor dan bau adalah tempat yang sangat di sukai oleh
lalat , biasanya tempat tersebut adalah tempat yang berhubungan dengan aktivitas
manusia. Sasaran yang tepat di ukur kepadatanya adalah pasar merupakan tempat
berkumpulnya aktivitas manusia melalui proses jual beli, karena tempat tersebut
merupakan sumber seseorang mendapatkan sumber berbagai jenis makanan,
seperti ikan, daging, sayur dan buah, dari aktivitas tersebut menghasilkan sampah
yang menyebabkan lingkungan bersifat kotor dan bau yang merupakan habitat
lingkungan yang di sukai oleh lalat. Selain itu lalat juga suka menghinggapi
sampah, lalat juga sangat suka menhinggapi makanan yang di jual di pasar, dan
tentunya makanan tersebut akan terkontaminasi dan mengandung bibit penyakit
yang dapat tertular jika siapa saja menekannya. Lalat sangat menyukai tempat
yang berbau tajam karena indera penciuman pada lalat sangat tajam terhadap bau
seperti sampah. Selain itu kelembapan dan minimnya penerangan juga
mempengaruhi keberadaan lalat yang dimana mata lalat akan mudah beradaptasi
pada warna yang cenderung gelap hal itu di sebabkan beberapa faktor yang salah
satunya bentuk mata lalat berbentuk simetris sehingga dalam proses penyaringan
cahaya akan lebih cenderung terhadap gelap. Suhu dan kelembapan yang minim
juga berpengaruh terhadap keberadaan lalat karena pada tingkat kelembapan yang
cukup lalat dapat hidup dan berkembangbiak pada keadaan lingkungan tersebut.
Lingkungan yang bau, pencahayaan kurang, kelembapan yang tinggi
sangat ideal bagi lalat untuk hidup dan menyebarkan penyakit yang terbawa
olehnya di kaki maupun di sayap kiri pada lalat.

18
2.3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Insiden Demam Typhoid
 Host
Host adalah semua faktor yang ter- dapat pada diri manusia yang dapat
mempengaruhi timbulnya suatu perjalanan penyakit, terdiri dari:
keturunan, jenis kelamin, umur, status perkawinan, daya tahan tubuh,
pekerjaan, kebiasaan hidup. Dalam penelitian ini faktor host yang
menjadi fokus penelitian adalah kebiasaan hidup dari responden meliputi
penggunaan jamban, kebiasaan mengkonsumsi makanan mentah,
kebiasaan mencuci tangan menggunakan sabun, asal sumber makanan
yang dikonsumsi dan sumber air minum setelah makan.
 Agent
Agent yang dimaksud disini adalah substansi tertentu yang karena
kehadiran atau ketidakhadirannya dapat menimbulkan atau
mempengaruhi perjalanan suatu penyakit. Agent penyakit menular adalah
suatu agent penyakit yang memiliki kemampuan untuk masuk, bertahan
dan berkembang biak di dalam pejamu serta dapat berpindah dari suatu
pejamu ke pejamu yang lain.Berkaitan dengan Demam Tifoid maka yang
menjadi agent penyakit adalah bakteri Salmonella typhi
 Environment
Environtment adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia serta
pengaruh-pengaruh luar yang dapat mempengaruhi kehidupan dan
perkembangan manusia. Faktor lingkungan disini adalah ada tidaknya
vektor penyakit (lalat) pada tempat biasa memperoleh makanan dan
tempat dimana dominan untuk makan. (Nadyah, 2014)

19
BAB III
TINJAUAN KASUS

Kasus Tifoid di Indonesia


Di Indonesia, insiden demam tifoid diperkirakan sekitar 300-810 kasus per
100.000 penduduk per tahun, berarti jumlah kasus berkisar antara 600.000-
1.500.000 pertahun. Hal ini berhubungan dengan tingkat higienis individu,
sanitasi lingkungan dan penyebaran kuman dari karier atau penderita tifoid.
Berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 demam
tifoid menyebabkan kematian 3% dari seluruh kematian di Indonesia. Rata-rata
kasus kematian dan komplikasi demam tifoid selalu berubah antar wilayah
endemis yang berbeda. S. typhi dapat menyebabkan penyakit yang parah di suatu
wilayah tetapi hanya menimbulkan gejala penyakit yang ringan pada wilayah
yang lain, berarti ada hubungan antara perbedaan wilayah dengan tingkat
keparahan penyakit Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di
kawasan Asia Tenggara dengan konsekuensi pertumbuhan dan perkembangan
ekonomi yang cepat, menimbulkan dampak terjadinya urbanisasi dan migrasi
pekerja antar negara yang berdekatan seperti Malaysia, Thailand dan Filipina.
Mobilisasi antar pekerja ini memungkinkan terjadinya perpindahan atau
penyebarang alur (S. typhi) antar negara endemis (Cita, 2011)
Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar
antara 2,3 – 16,8%. Angka kematian penderita yang dirawat di rumah sakit di
Indonesia mengalami penurunan dari 6% pada tahun 1969 menjadi 3,74% pada
tahun 1977 dan sebesar 3,4 % pada tahun 1978.
Data dari Rumah Sakit Fatmawati (RSF) demam tifoid dan paratifoid
termasuk dalam 10 kasus terbanyak morbiditas penyakit rawat inap. Pada tahun
1999 jumlah pasien terkena demam tifoid yang dirawat sebesar 414 orang, tahun
2000 sebesar 452 orang dan 350 orang pada tahun 2001.
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan
umur 3 – 19 tahun, suatu golongan masyarakat yang terdiri dari anak-anak usia
sekolah. Hal ini secara tidak langsung akan mempengaruhi prestasi belajar, karena

20
apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu kurang
lebih 2 sampai dengan 4 minggu.

Kasus Tifoid di Asia Selatan (Pakistan)


Penyakit ini terus berlanjut menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia.
Data tahunan terakhir menunjukkan beban penyakit menjadi 21 juta kasus di
seluruh dunia 200.000 kematian akibat demam tifoid. Sebelumnya diperkirakan
terdapat 16 juta kasus dengan lebih dari 600.000 kematian. Morbiditas demam
tifoid paling tinggi di Asia dengan 93% kasus yang terjadi di wilayah ini. Tingkat
kasus tertinggi 274 kasus per 100.000 populasi, yaitu di Amerika Latin. Asia
Tenggara memiliki kejadian 110 kasus per 100 000 populasi, yang merupakan
tingkat insiden tertinggi ketiga. Beberapa penelitian berbasis rumah sakit dari
berbagai bagian negara secara konsisten menunjukkan kejadian yang sangat tinggi
Demam tifoid, terutama pada kelompok usia muda. Selain itu informasi terakhir
dari Delhi telah menunjukkan bahwa relative kejadian demam tifoid lebih besar
pada masa prasekolah anak
Di Pakistan, demam tifoid bersifat endemik. Surveilans penyakit dilakukan
di tiga daerah kumuh di Karachi. Menemukan tingkat kejadian tahunan demam
tifoid sebesar 452 / 100.000 antara usia 2-15 tahun, sedangkan tingkat lebih dari
100 / 100.000 dianggap tinggi. Kondisi Sanitasi dan persediaan air yang buruk
menjadi penyebab demam typhoid endemik di kota ini (Siddique dkk, 2006)

21
BAB IV
PEMBAHASAN

a. Metode Pengendalian Vektor di Pakistan


 Kontrol budaya
Salah satu metode budaya untuk menjaga agar lalat rumah menjauh dari
rumah adalah pemeriksaan kasa jendela dan pintu. Knalpot (blower) diatas
pintu dan pemasangan pintu. Pintu yang dibuka dan tutup secara mekanis.
Tapi untuk kondisi indoor, perangkap cahaya elektrik dan perangkap bau
digunakan. Pemanfaatan jebakan besar yang lengket lebih efektif untuk ini
Sedangkan perangkap bau tidak efektif karena bau tak enak maka sebaiknya
tidak digunakan, terlebih lagi karena perangkap bau juga akan membunuh
serangga yang bermanfaat.
Metode budaya terbaik adalah membuang sampah atau sampah organik
dengan baik, karena sampah merupakan tempat berkembang biak dari lalat
rumah telur. Karena sekitar 50 persen lalat rumah di perkotaan daerah ada
karena pengelolaan sampah yang buruk, sampah rumah tangga, rumah sakit
dan pasar. Tempat pembuangan limbah harus memiliki tutup dan sampah
yang dibuang secara teratur setidaknya dua kali seminggu. Pada Tempat
pembuangan sampah, bahan limbahnya harus ditutup Dengan lapisan tanah
sekitar 15 sentimeter atau yang lainnya cocok Bahan anorganik setiap
minggu
 Kontrol biologis
Populasi lalat dapat ditekan dengan pemanfaatan musuh alami seperti
Entomophthora muscae (entomopatogenik Jamur), nematoda, tawon parasit
(beberapa spesies pteromalid) Semut api, kumbang predator (spesies
herterial dan staphylinid), tungau, lalat (Hydrotaea aenescens wiedeman)
dan burung. Metode pengendalian biologis lainnya termasuk penggunaan
virus MdSGHV, bakteri, jamur, nematoda, parasit dan serangga predator
dll.

22
 Penggunaan Kontrol Kimia
Untuk menurunkan populasi lalat rumah, penggunaan insektisida awalnya
sangat efektif namun lalat rumah dapat berkembang dengan mudah dan
tahan terhadap insektisida, jika lalat menjadi resisten maka harus
menemukan formula baru yang artinya akan menambah biaya untuk
penelitian, selain itu penggunaan inskektisida juga dapat membunuh
organisme lain (Iqbal, 2014).
b. Metode Pengendalian Vektor di Indonesia
 Secara Fisik
Cara pemberantasan secara fisik adalah cara yang mudah dan aman tetapi
kurang efektif apabila lalat dalam kepadatan yang tinggi. Cara ini hanya
cocok untuk digunakan pada skala kecil seperti dirumah sakit, kantor, hotel,
supermarket dan pertokoan lainnya yang menjual daging, sayuran, serta
buah-buahan. Pengendalian secara fisik dapat dilakukan dengan berbagai
cara antara lain penggunaan perangkap lalat (fly trap), umpan kertas lengket
berbentuk pipa/lembaran, perangkap dan pembunuh elektronik, membuat
pintu dua lapis
 Secara Kimia
Biasanya pengendalian secara kimia dilakukan apabila terjadi KLB kolera,
disentri atau trachoma. Penggunaan pestisida ini dapat dilakukan melalui
cara umpan (baits), penyemprotan dengan efek residu (residual spraying)
dan pengasapan (space spraying)
 Cara Biologi
Dengan memanfaatkan sejenis semut kecil berwana hitam (Phiedoloqelon
affinis) untuk mengurangi populasi lalat rumah ditempat-tempat sampah..
c. Kesimpulan
Pada pengendalian lalat secara biologi di Indonesia menggunakan organisme
semut, akan tetapi di Pakistan menggunakan organism lebih beragam yakni
menggunakan virus MdSGHV, bakteri, jamur, nematoda, parasit dan serangga
predator dll.

23
BAB V
PENUTUP
a. Kesimpulan
Lalat merupakan serangga yang termasuk ke dalam ordo diptera yang
merupakan ordo terbesar dari serangga dengan keragaman jenis yang
tinggi. Istilah “Diptera” menunjukkan bahwa kelompok serangga ini
memiliki dua pasang sayap pada masa embrional. Pasangan sayap
belakang mengalami perubahan bentuk dan fungsi menjadi alat
keseimbangan yang disebut halter sedang sepasang sayap lainnya menjadi
sayap sejati.
Demam tifoid (Tifus abdominalis, enteric fever) ialah penyakit infeksi
akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam satu
minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dengan atau
tanpa gangguan kesadaran.
Penularan penyakit Thypoid dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang
dikenaldengan 5F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku),
Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses. Feses dan muntah pada
penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonellathypi kepada orang
lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat
akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat.
Kondisi lingkungan yang berbeda berpengaruh terhadap adaptasi lalat,
maka dari itu dosis pemberian secara kimia juga berubah mengikuti
sntandar masing-masing.
Kejadian tifoid di Pakistan tidak hanya disebabkan oleh lalat, namun juga
kondisi Sanitasi dan persediaan air yang buruk menjadi penyebab demam
typhoid.
b. Saran
Di sarankan agar menjaga kondisi lingkungan di sekitar tempat tinggal
agar tidak sesuai dengan habitat si lalat, Jika sudah terjadi demam typoid
maka segera di bawa kepihak rumah sakit atau puskesmas agar tidak
terjadi kejadian yang lebih buruk bagi si penderita.

24
Dan jika seekor lalat terjatuh kedalam minuman hendaklah lalat tersebut
di celupkan kedalam air karena pada sayap kiri lalat terdapat senyawa
racun yang dapat mengembangbiakan bakteri atau tempat hidup bakteri,
sedangkan sayap kanan terdapat senyawa antioksidan berupa penawar
racun tersebut yang jika di celupkan kedalam air akan bereaksi
membentuk senyawa yang menghambat racun tersebut

25
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, O.R. 2013. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Universitas


Muhammadiyah Surakarta
Cita, Yatnita Parama. 2011. Bakteri Salmonella Typhi dan Demam Tifoid. Jurnal
Kesehatan Masyarakat. Vol.6 No.1
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Millenium Development Goals
2015. Jakarta
Depkes . 1991. Petunjuk Teknik Tentang Pemberantasan Lalat. Jakarta : Depkes
RI.
Djojosumarto, P. 2008. Pestisida Dan Aplikasinya. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Harahap, N. 2011. Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap Di RSUD
Deli Serdang Lubuk Pakam.
Inawati. 2008. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya.(online:http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/Vol
%20Edisi%20Khusus%20Desember%202009/DEMAM%20TIFOI
D.pdf ) Diakses pada tanggal 15 Mei 2017 pukul 17.00.
Iqbal, Waheed dkk. 2014. Role of housefly (Musca Domestica, Diptera;
Muscidae) as a disease vector; a review. Journal of Entomology
and Zoology Studies 2014; 2 (2): 159-163
Lestari, K. 2011. Demam tifoid. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sriwijaya.
Nadyah. 2014. Hubungan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Insidens Penyakit
Demam Tifoid di Kelurahan Samata Kecamatan Somba Opu
Kabupaten Gowa 2013. Jurnal Kesehatan. Volume VII No. 1/2014
Putra, A. 2012. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Demam
Tifoid Terhadap Kebiasaan Jajan Anak Sekolah Dasar.
Siddiqui, Fahad dkk. 2005. Typhoid fever in children; some epidemiological
considerations from Karachi, Pakistan. International Journal of
Infectious Diseases (2006) 10, 215—222

26
Widiastuti, Dyah dan Shinta. 2008. Uji Efikasi Ekstrak Daun Babadotan Sebagai
Insektisida Nabati Terhadap Lalat Rumah (Musca Domestica) di
Laboratorium. Balaba Ed:7, No.2 Hal: 7-10
Widodo, D. Demam tifoid. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed
4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
DalamFakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.

27

Anda mungkin juga menyukai