Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Sistem musculoskeletal merupakan salah satu sistem tubuh yang sangat


berperan terhadap fungsi pergerakan dan mobilitas seseorang. Komponen
penununjang yang paling dominan pada sistem ini adalah tulang. Masalah atau
gangguan pada tulang akan dapat mempengaruhi sistem pergerakan seseorang,
mulai dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa, maupun pada yang lanjut usia. Salah
satu masalah muskuloskeletal yang sering kita temukan di sekitar kita adalah
fraktur atau patah tulang. Berbagai penelitian di Eropa, Amerika Serikat dan
Australia menunjukkan bahwa resiko terjadinya patah tulang tidak hanya
ditentukan oleh densitas masaa tulang melainkan juga oleh faktor-faktor lain yang
berkaitan dengan kerapuan fisik (frailty) dan meningkatnya resiko untuk jatuh.1
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang,
tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik bersifat total ataupun parsial yang
umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan, sering diikuti oleh kerusakan
jaringan lunak dengan berbagai macam derajat, mengenai pembuluh darah, otot
dan persarafan.2 Fraktur merupakan ancaman potensial atau aktual kepada
integritas seseorang akan mengalami gangguan fisiologis maupun psikologis yang
dapat menimbulkan respon berupa nyeri. Nyeri tersebut adalah keadaan subjektif
dimana seseorang memperlihatkan ketidak nyamanan secara verbal maupun non
verbal. Respon seseorang terhadap nyeri dipengaruhi oleh emosi, tingkat
kesadaran, latar belakang budaya, pengalaman masa lalu tentang nyeri dan
pengertian nyeri. Nyeri mengganggu kemampuan seseorang untuk beristirahat,
konsentrasi, dan kegiatan yang biasa dilakukan.3, 4
Secara klinis, fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka, yaitu jika patahan
tulang itu menembus kulit sehingga berhubungan dengan udara luar, dan fraktur
tertutup, yaitu jika fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar atau kulit
di lokasi fraktur masih intak. Pembagian fraktur terbuka berdasarkan Gustillo dan
Anderson dibagi menjadi derajat I, II, IIIA, IIIB, dan IIIC.5-7 Penyebab fraktur
adalah trauma, yang dibagi atas trauma langsung, trauma tidak langsung, dan
trauma ringan. Trauma langsung yaitu benturan pada tulang, biasanya penderita

1
terjatuh dengan posisi miring dimana daerah trokanter mayor langsung terbentur
dengan benda keras. Trauma tak langsung yaitu titik tumpuan benturan dan
fraktur berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar mandi. Adapun trauma
ringan yaitu keadaan yang dapat menyebabkan fraktur bila tulang itu sendiri sudah
rapuh atau underlying diseases atau fraktur patologis. Kecelakaan lalu lintas
adalah penyebab tersering terjadinya fraktur, tetapi juga bisa terjadi akibat faktor
lain seperti proses degeneratif dan patologi.8, 9
Fraktur lebih sering terjadi pada laki laki daripada perempuan dengan
umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau
kecelakaan. Sedangkan pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur
daripada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya insidens osteoporosis
yang terkait dengan perubahan hormon pada menopause.3,10 Di Indonesia angka
kejadian patah tulang atau insiden fraktur cukup tinggi, berdasarkan data dari
Departemen Kesehatan RI tahun 2013 didapatkan sekitar delapan juta orang
mengalami kejadian fraktur dengan jenis fraktur yang berbeda dan penyebab yang
berbeda. Salah satu fraktur yang paling sering terjadi adalah pada tulang femur,
baik distal sampai ke proksimal femur. Fraktur femur secara umum dibedakan
atas: fraktur collum femur, fraktur subtrokanter, fraktur batang femur,
fraktur suprakondiler dan fraktur interkondiler.11

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENDAHULUAN
Fraktur yang dialami setiap orang sangat beragam, ada yang disebabkan
karena buka trauma dan ada juga yang karena trauma, tergantung pada berat
ringannya kecelakaan yang dialami, mekanisme trauma, lokasi trauma, adekuat
tidaknya penanganan yang diberikan dan berbagai fakor lain. Cedera yang dialami
dapat menyebabkan kematian, cacat fisik, maupun psikologis, dengan cakupan
yang sangat luas. Oleh karena itu, pembahasan berikutnya dibatasi hanya seputar
cedera yang dialami penderita, yaitu fraktur femur suprakondiler.

B. FRAKTUR
1. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik bersifat total ataupun
parsial yang umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan, sering
diikuti oleh kerusakan jaringan lunak dengan berbagai macam derajat,
mengenai pembuluh darah, otot dan persarafan, fraktur dapat disebabkan
oleh trauma dan non trauma (fraktur patologis), ataupun akibat tekanan
yang terus menerus misalnya sering terjadi benturan pada ekstremitas
bawah yang menyebabkan fraktur pada tibia dan fibula, ataupun fraktur
pada femur.2
Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma
langsung dan trauma tidak langsung. Trauma langsung menyebabkan
tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan
misalnya benturan langsung pada ekstremitas. Trauma tidak langsung,
apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur,
misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada
klavikula, pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.12

3
2. Etiologi
Etiologi fraktur yang dimaksud adalah peristiwa yang dapat
menyebabkan terjadinya fraktur diantaranya peristiwa trauma (kekerasan)
dan peristiwa patologis.
Peristiwa Trauma (kekerasan)
a) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang patah pada titik
terjadinya kekerasan itu, misalnya tulang kaki terbentur bumper mobil,
maka tulang akan patah tepat di tempat terjadinya benturan. Patah tulang
demikian sering bersifat terbuka, dengan garis patah melintang atau
miring.
b) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat
yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam hantaran vektor kekerasan. Contoh patah
tulang karena kekerasan tidak langsung adalah bila seorang jatuh dari
ketinggian dengan tumit kaki terlebih dahulu. Yang patah selain tulang
tumit, terjadi pula patah tulang pada tibia dan kemungkinan pula patah
tulang paha dan tulang belakang. Demikian pula bila jatuh dengan telapak
tangan sebagai penyangga,dapat menyebabkan patah pada pergelangan
tangan dan tulang lengan bawah.
c) Kekerasan akibat tarikan otot
Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan patah
tulang. Patah tulang akibat tarikan otot biasanya jarang terjadi. Contohnya
patah tulang akibat tarikan otot adalah patah tulang patella dan olekranom,
karena otot triseps dan biseps mendadak berkontraksi.13,14

4
3. Klasifikasi
Klasifikasi Fraktur secara umum
Berdasarkan Penyebab:
a. Non Trauma: Fraktur terjadi karena kelemahan tulang akibat
kelainan patologis didalam tulang, ini bisa karena
kelainan metabolic atau infeksi.
b. Trauma: Trauma dapat dibagi menjadi dua yaitu langsung dan
tidak langsung, trauma langsung berarti benturan pada
tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat itu,
sedangkan trauma tidak langsung bilamana titik tumpuan
benturan dengan terjadinya fraktur berbeda.

Berdasarkan Hubungan dengan dunia luar:


a. Fraktur tertutup (simple fracture): Fraktur tertutup adalah fraktur
yang fragmen tulangnya tidak menembus kulit sehingga
tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan / tidak
mempunyai hubungan dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (compound fracture ): Fraktur terbuka merupakan
suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan
lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi
kontaminasi sehingga timbul komplikasi berupa infeksi.
Luka pada kulit dapat berupa tusukan yang tajam keluar
menembus kulit (from within) atau dari luar oleh karena
tertembus misalnya oleh peluru atau trauma langsung
(from without).13,2

5
Gambar 1. Fraktur tertutup dan fraktur terbuka

Berdasarkan bentuk patahan tulang :


a. Transversal
Adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu
panjang tulang atau bentuknya melintang dari tulang. Fraktur
semacam ini biasanya mudah dikontrol dengan pembidaian gips.
b. Spiral
Adalah fraktur meluas yang mengelilingi tulang yang timbul
akibat torsi ekstremitas atau pada alat gerak. Fraktur jenis ini
hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak.
c. Oblik
Adalah fraktur yang memiliki patahan arahnya miring dimana
garis patahnya membentuk sudut terhadap tulang.
d. Segmental
Adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada segmen
tulang yang retak dan ada yang terlepas menyebabkan terpisahnya
segmen sentral dari suplai darah.
e. Kominuta
Adalah fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau
terputusnya keutuhan jaringan dengan lebih dari dua fragmen
tulang.

6
f. Greenstick
Adalah fraktur tidak sempurna atau garis patahnya tidak lengkap
dimana korteks tulang sebagian masih utuh demikian juga
periosterum. Fraktur jenis ini sering terjadi pada anak – anak.
g. Fraktur Impaksi
Adalah fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang
ketiga yang berada diantaranya, seperti pada satu vertebra dengan
dua vertebra lainnya.
h. Fraktur Fissura
Adalah fraktur yang tidak disertai perubahan letak tulang yang
berarti, fragmen biasanya tetap di tempatnya setelah tindakan
reduksi.12,15

Gustilo et al mengklasifikasikan fraktur terbuka menjadi tiga tipe yaitu


a) Tipe I: Luka lebih kecil dari 1 cm, bersih dan disebabkan oleh
fragmen tulang yang menembus kulit.
b) Tipe II: Ukuran luka lebih dari 1 cm, terkontaminasi dan tanpa
cedera jaringan lunak yang major
c) Tipe III: Luka lebih besar dari 1 cm cm dengan kerusakan jaringan
lunak yang signifikan dengan kontaminasi yang berat. Tipe III juga
dibagi menjadi beberapa sub tipe:
I. IIIA: Luka memiliki jaringan yang cukup untuk menutupi
tulang tanpa memerlukan flap coverage.
II. IIIB: Kerusakan jaringan yang luas membuat diperlukannya
local atau distant flap coverage.
III. IIIC: Fraktur apapun yang menyebabkan cedera arterial
yang membutuhkan perbaikan segera.16,17,14

7
Tabel berikut merupakan klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustilo
dan Anderson: 16,18
Derajat Luka Kontaminasi Kerusakan Kerusakan tulang
jaringan lunak
I <1 Bersih Minimal Minimal
cm
II >1 Sedang Sedang Sedang
cm
IIIA >10 Hebat Hebat Kominutif, jaringan
cm lunak cukup menutup
tulang
IIIB >10 Hebat Sangat hebat, Kominutif, jaringan
cm perlu rekonstruksi lunak tidak cukup untuk
jaringan lunak menutup tulang
IIIC >10 Hebat Sangat hebat Bervariasi
cm disertai cedera
vaskuler yang
harus diperbaiki

Gambar 2. Fraktur terbuka

8
Tscherne mengklasifikasikan fraktur tertutup menjadi beberapa derajat,
yaitu:
Derajat 0 : fraktur sederhana tanpa/disertai dengan sedikit kerusakan
jaringan lunak.
Derajat 1 : fraktur disertai degan abrasi superficial atau luka memar
pada kulit dan jaringan subkutan.
Derajat 2 : fraktur yang lebih berat dibanding derajat 1 yang disertai
dengan kontusio dan pembengkakan jaringan lunak.
Derajat 3 : fraktur berat yang disertai dengan kerusakan jaringan
lunak yang nyata dan terdapat ancaman terjadinya
sindrom kompartemen.19

Gambar 3. Fraktur tertutup

4. Diagnosis
Pada diagnosis harus bisa menuliskan diagnosis fraktur yang
didasarkan pada jenis tulang yang patah (femur, tibia, dan sebagainya),
lokalisasinya (proksimal, tengah, distal dan sebagainya), pola garis fraktur
(simpel seperti transversal,oblik, kominutif, dan sebagainya) dan integritas
kulit daerah tulang yang mengalami fraktur (tertutup atau terbuka ).
Untuk mencapai diagnosis dapat diketahui pada riwayat keluhan
penderita dengan deskripsi yang jelas, mencakup biomekanisme trauma,

9
lokasi dan derajat nyeri serta kondisi penderita sebelum kecelakaan seperti
penyakit hipertensi dan sebagainya. Pemeriksaan fisik pada penderita
fraktur selalu dimulai dengan look, kemudian feel dan terakhir movement.
Kesalahan diagnosis jarang terjadi karena deformitas yang hebat dan jelas
pada pertengahan tulang panjang.
Pada inspeksi (look) bagian lesi terlihat asimetri dari bentuk
maupun posture, kebiruan, atau kerusakan kulit akibat trauma maupun
edema (swelling) yang terlokalisir dan berakhir menjadi diffuse.
Pada palpasi (feel) terasa nyeri tekan (tenderness) yang terlokalisir
pada daerah fraktur, gerakan abnomal, krepitasi, dan deformitas. Jangan
lupa memeriksa gangguan sensibilitas dan temperatur bagian distal lesi
serta nadinya.
Pemeriksaan gerakan (movement) dapat secara pasif dan aktif pada
sendi terdekat dari fraktur perlu dikerjakan dengan teliti. Pemeriksaan
sendi dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi perluasan fraktur ke
sendi tersebut. Umumnya suspek fraktur dapat dibuat hanya dari riwayat
dan pemeriksaan fisik.12
Pada pemeriksaan tambahan dilakukan pemeriksaan Radiologi.
Untuk setiap penderita yang diperkirakan fraktur, pemeriksaan radiologis
yang diminta hanya sebagai konfirmasi /diagnosis, rencana terapi dan
kritik medicolegal pada tindakan pertama yang dilakukan terhadap
penderita tersebut serta perkiraan prognosisnya. Oleh karena itu pada
permintaan X-ray proyeksi dan daerah /arah yang diminta harus jelas.
Kadangkala proyeksi khusus seperti proyeksi oblik diperlukan atau sisi
sehat guna perbandingan terutama pada anak-anak atau proyeksi stress
guna menentukan adanya lesi pada ligamen sebagai stabilitas sendi.
Bahkan pemeriksaan yang lebih canggih seperti MRI, CT-scan dan
lainnya perlu dipikirkan untuk informasi yang rinci terhadap penderita.2,15

5. Penatalaksanaan
Metode penanganan fraktur ada dua macam yaitu metode non
operatif dan metode operatif. Penanganan dengan metode non operatif

10
maksudnya penanganan fraktur tanpa dilakukan tindakan operasi
misalnya dengan reduksi tertutup disebut juga dengan reposisi.
Dimana prinsip reposisi adalah berlawanan dengan arah fraktur.
Setelah dilakukan reposisi dilakukan pemasangan eksternalfiksasi
yang bertujuan untuk mencegah terjadinya pergeseran kembali
fragmen tulang. Salah satu contoh eksternal fiksasi adalah pemasangan
gips. Umumnya reduksi tertutup digunakan untuk semua fraktur
dengan pergeseran fragmen minimal. Penanganan dengan metode
operatif adalah suatu bentuk operasi dengan pemasangan open
reduction internal fixatie (ORIF) maupun open reduction external
fixatie (OREF). Metode penanganan fraktur dengan internal fiksasi
harus dipilih atau disesuaikan dengan jenis frakturnya. Bentuk-bentuk
internal fiksasi antara lain plate and screw, intramedullary nail,
oblique transfixion screws, circumferential wire.16

1. Prinsip Dasar Penanganan Fraktur


Terdapat 4R prinsip penatalaksanaan fraktur (Rasjad, 1998) antara
lain :
a. Recognition
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, jenis kekuatan yang
berperan, dan deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh
penderita sendiri menentukan apakah ada fraktur, dan
apakah perlu pemeriksaan spesifik untuk menentukan
adanya fraktur.
b. Reduction
Adalah usaha dan tindakan manipulasi fragmen-fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin untuk dikembalikan
keposisi anatomi normal. Tindakan ini dapat dilakukan
secara elektif di Rumah Sakit.
c. Retention

11
Sebagaimana aturan umum ketika melakukan reduction
harus melewati sendi di atas fraktur dan sendi di bawah
fraktur.
d. Rehabilitation
Mengembalikan fungsi aktifitas semaksimal mungkin.
Penatalaksanaan awal fraktur meliputi reposisi dan
imobilisasi fraktur dengan splint. Status neurologis dan
vaskuler di bagian distal harus diperiksa baik sebelum
maupun sesudah reposisi dan imobilisasi. Pada pasien
dengan multiple trauma sebaiknya dilakukan stabilisasi
awal, fraktur tulang panjang setelahh hemodinamis pasien
stabil. Sedangkan penatalaksanaan definitif fraktur adalah
dengan menggunakan gips atau dilakukan operasi dengan
ORIF maupun OREF.14

2. Tujuan Penanganan fraktur:


a) Reposisi dengan maksud mengembalikan fragmen–fragmen
ke posisi anatomi.
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti
dengan imobilisasi dilakukan pada fraktur dengan dislokasi
fragmen yang berarti seperti pada fraktur radius distal.
Reposisi dengan traksi dilakukan terus-menerus selama
masa tertentu, misalnya beberapa minggu, kemudian diikuti
dengan imobilisasi. Tindakan ini dilakukan pada fraktur
yang bila direposisi secara manipulasi akan terdislokasi
kembali dalam gips. Cara ini dilakukan pada fraktur dengan
otot yang kuat, misalnya fraktur femur.
Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti
dengan pemasangan fiksator tulang secara operatif,
misalnya reposisi patah tulang pada fraktur kolum femur.
Fragmen direposisi secara non-operatif dengan meja traksi,

12
setelah tereposisi, dilakukan pemasangan prosthesis secara
operatif pada kolum femur.
Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi
luar (OREF) dilakukan untuk fiksasi fragmen patahan
tulang, dimana digunakan pin baja yang ditusukkan pada
fragmen tulang, kemudian pin baja disatukan secara kokoh
dengan batangan logam di kulit luar.Beberapa indikasi
pemasangan fiksasi luar antara lain fraktur dengan rusaknya
jaringan lunak yang berat (termasuk fraktur terbuka),
dimana pemasangan internal fiksasi terlalu berisiko untuk
terjadi infeksi, atau diperlukannya akses berulang terhadap
luka fraktur di sekitar sendi yang cocok untuk internal
fiksasi namun jaringan lunak terlalu bengkak untuk operasi
yang aman, pasien dengan cedera multiple yang berat,
fraktur tulang panggul dengan perdarahan hebat, atau yang
terkait dengan cedera kepala, fraktur dengan infeksi.
Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi
patahan tulang dengan pemasangan fiksasi interna (ORIF),
misalnya pada fraktur femur, tibia, humerus, atau lengan
bawah. Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di
dalam sumsum tulang panjang, bisa juga plat dengan skrup
di permukaan tulang. Keuntungan reposisi secara operatif
adalah dapat dicapai reposisi sempurna, dan bila dipasang
fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak
diperlukan pemasangan gips lagi dan segera bisa dilakukan
imobilisasi. Indikasi pemasangan fiksasi interna adalah
fraktur tidak bisa di reduksi kecuali dengan operasi, fraktur
yang tidak stabil dan cenderung terjadi displacement
kembali setelah reduksi fraktur dengan penyatuan yang
buruk dan perlahan (fraktur femoral neck), fraktur
patologis, fraktur multiple dimana dengan reduksi dini bisa

13
meminimkan komplikasi, fraktur pada pasien dengan
perawatan yang sulit (paraplegia, pasien geriatri).
b) Imobilisasi atau fiksasi dengan tujuan mempertahankan
posisi fragmen–fragmen tulang tersebut setelah direposisi
sampai terjadi union.
Pada imobilisasi dengan fiksasi dilakukan
imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi tetap memerlukan
imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh
cara ini adalah pengelolaan fraktur tungkai bawah tanpa
dislokasi yang penting. Imobilisasi yang lama akan
menyebabkan mengecilnya otot dan kakunya sendi. Oleh
karena itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin.
c) Penyambungan fraktur (union)
d) Mengembalikan fungsi (rehabilitasi).
Rehabilitasi berarti upaya mengembalikan
kemampuan anggota yang cedera atau alat gerak yang sakit
agar dapat berfungsi kembali seperti sebelum mengalami
gangguan atau cedera.6,7,14,18,20,23

3. Proses penyembuhan tulang


Menurut Cormack (2000) Proses penyembuhan tulang ada tiga fase
yaitu :
Fase inflamasi
Berakhir kurang lebih satu hingga dua minggu yang pada
awalnya terjadi reaksi inflamasi. Peningkatan aliran darah
menimbulkan hematom fraktur yang segera diikuti invasi dari sel-
sel peradangan yaitu netrofil, makrofag dan sel fagosit. Sel-sel
tersebut termasuk osteoklas berfungsi untuk membersihkan
jaringan nekrotik untuk menyiapkan fase reparatif. Secara
radiologis, garis fraktur akan lebih terlihat karena material nekrotik
disingkirkan.

14
Fase reparatif
Umumnya berlangsung beberapa bulan. Fase ini ditandai
dengan differensiasi dari sel mesenkim pluripotensial. Hematom
fraktur lalu diisi oleh kondroblas dan fibroblas yang akan menjadi
tempat matrik kalus. Mula-mula terbentuk kalus lunak, yang terdiri
dari jaringan fibrosa dan kartilago dengan sejumlah kecil jaringan
tulang. Osteoblas kemudian yang mengakibatkan mineralisasi
kalus lunak menjadi kalus keras dan meningkatkan stabilitas
fraktur. Secara radiologis garis fraktur mulai tak tampak.

Fase remodelling
Membutuhkan waktu bulanan hingga tahunan untuk
merampungkan penyembuhan tulang meliputi aktifitas osteoblas
dan osteoklas yang menghasilkan perubahan jaringan immatur
menjadi matur, terbentuknya tulang lamelar sehingga menambah
stabilitas daerah fraktur. Dibawah ini gambar proses penyembuhan
tulang.16

6. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi saat terjadi fraktur adalah :
1. Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah
telah sembuh dalam posisi yang tidak pada seharusnya,
membentuk sudut atau miring.
2. Delayed union adalah proses penyembuhan yang berjalan
terus tetapi lebih lambat dari keadaan normal.
3. Nonunion, patah tulang yang tidak menyambung kembali.
4. Compartment syndroma adalah suatu keadaan peningkatan
tekanan yang berlebihan di dalam satu ruangan yang
disebabkan perdarahan masif pada suatu tempat.
5. Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa

15
menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi
pada fraktur.
6. Fat embolism syndrome, tetesan lemak masuk ke dalam
pembuluh darah. Faktor resiko terjadinya emboli lemak ada
fraktur meningkat pada laki-laki usia 20-40 tahun, usia 70
sampai 80 tahun.
7. Tromboembolic complicastion, trombo vena dalam sering
terjadi pada individu yang imobiil dalam waktu yang lama
karena trauma atau ketidak mampuan lazimnya komplikasi
pada perbedaan ekstremitas bawah atau trauma komplikasi
paling fatal bila terjadi pada bedah ortopedi.
8. Infeksi, Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma
pada jaringan. Orthopedic infeksi dimulai pada kulit
(superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada
kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.16

16
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Tn. P.F.F.A
Umur : 60 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Kel.Dua Sudara Ling.2, Desa Dua, Bitung Utara-
Ranowulu
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Pensiunan
No. CM : 51.27.00
MRS : 28 September 2017

B. PRIMARY SURVEY
A : Clear + C Spine kontrol
B : 20x/menit + O2 4L/menit
C : 84x/menit, regular, isi cukup, akral hangat
D : GCS 15 (alert)
E : Paha kiri dan tungkai bawah kanan

C. SECONDARY SURVEY
ANAMNESIS
Keluhan Utama: Luka dan nyeri di paha kiri dan tungkai bawah kanan
akibat kecelakaan lalu lintas.

Riwayat Penyakit Sekarang:


A:- M:- P: - L : ± 12 jam SMRS E:
Luka dan nyeri di paha kiri dan tungkai bawah kanan akibat kecelakaan
lalu lintas dialami penderita sejak ±6 jam SMRS. Awalnya penderita
sedang mengendarai sepeda motor, tiba-tiba dari arah depan muncul mobil
menabrak penderita sehingga kaki penderita membentur aspal. Riwayat

17
pingsan (-), muntah (-), penderita tidak menggunakan helm,
mengkonsumsi alcohol (-).
Penderita kemudian dibawa ke RSUD Bitung dan dirujuk ke RSUP
Prof.R.D.Kandou Manado dengan infus dan spalk terpasang.

Riwayat Penyakit Dahulu:


- Riwayat penyakit DM (+)
- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat trauma sebelumnya disangkal
- Riwayat operasi sebelumnya disangkal
- Riwayat kelainan darah disangkal
- Riwayat alergi obat disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


- Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat patah tulang
dengan atau tanpa trauma.
Riwayat Pribadi
- Riwayat kebiasaan merokok (+)
- Riwayat kebiasaan minum alcohol (+)

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Pasien tampak sakit sedang
Kesadaran : E4V5M6 (Compos Mentis)
Tanda Vital : T : 110/70 mmHg
N : 83x/menit
R : 24x/menit
S : 36,5℃ (Axilla)

Status Generalis:
Kepala : CA -/-, SI -/-, pupil bulat isokor ∅ 3mm, RC +/+
normal
Leher : T.A.K

18
Thoraks : Regio hemithorax dextra
Luka lecet ukuran 2 x 2 cm setinggi ICS VII
sejajar midclavicular line
Abdomen : I : Luka lecet (+) di region hipocondrium kanan
A : BU (+)
P : Lemas
P : Thympani
Extremitas superior : T.A.K
Extremitas inferior :
 Regio femur sinistra
L : Luka terbuka di antero lateral femur sinistra ukuran 2 x 3
cm dan 5 x 3 cm, tepi tidak rata, dasar tulang, perdarahan aktif (-),
deformitas (+)
F : NT (+), pulsasi arteri dorsalis pedis ++/++, tibialis
posterior ++/++, CRT < 2 detik
M : ROM terbatas karena nyeri, sensorik (+)
 Regio cruris dextra
L : Luka terbuka di antero medial cruris dextra ukuran 5 x 4
cm, tepi tidak rata, dasar tulang, perdarahan aktif (-)
Luka terbuka ukuran ±4 x 2 cm, dasar subkutis, tepi tidak rata,
perdarahan aktif (-)
F : NT (+), pulsasi arteri dorsalis pedis ++/++, CRT < 2 detik
M : ROM terbatas karena nyeri, sensorik (+)

Resume
Pasien laki-laki 60 tahun datang dengan keluhan luka dan nyeri di paha
kiri dan tungkai bawah kanan akibat kecelakaan lalu lintas dialami
penderita sejak ±6 jam SMRS. Awalnya penderita sedang mengendarai
sepeda motor, tiba-tiba dari arah depan muncul mobil menabrak penderita
sehingga kaki penderita membentur aspal. Riwayat pingsan (-), muntah (-),
penderita tidak menggunakan helm, mengkonsumsi alkohol (-). Penderita

19
kemudian dibawa ke RSUD Bitung dan dirujuk ke RSUP
Prof.R.D.Kandou Manado dengan infus dan spalk terpasang.

D. DIAGNOSIS KERJA
Fraktur femur sinistra 1/3 proksimal terbuka grade IIIA
Fraktur cruris dextra 1/3 distal terbuka grade IIIA
Trauma tumpul abdomen
Anemia

E. PENATALAKSANAAN
- IVFD NaCl 0,9 % →2L lanjut 20 gtt/menit
- Ranitidin 2x1 amp IV
- Ceftriaxone 2x1gr IV
- Ketorolac 3x1 amp IV
- Tetagam IM
- Debridement

Penderita ini disarankan untuk dilakukan pemeriksaan penunjang:


- Laboratorium darah lengkap, GDS, Na, K, Cl, Ur, Cr, SGOT, SGPT
- X foto thoraks AP tegak
- X foto femur sinistra (AP-Lateral)
- X foto pelvis AP
- X foto cruris dextra (AP-Lateral)
- FAST (USG)

20
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Gambar 5 : X-foto femur sinistra (AP-Lateral)


Kesan: Tampak diskontinuitas tulang femur dengan garis patah segmental, angulasi ke
lateral, displaced, tidak ada rotasi, tidak ada impaksi, shortening (+).

Gambar 6 : X-foto cruris dextra (AP-Lateral)


Kesan:
- Tampak diskontinuitas tulang tibia dengan garis patah transversal, angulasi (-),
displaced, rotasi (-), impaksi (-), shorthening (+)
- Tampak diskontinuitas tulang fibula dengan garis patah segmental, tidak ada angulasi,
displaced, rotasi (-), impaksi (-), shortening (+)

21
Pemeriksaan laboratorium

Darah rutin Hasil Satuan nilai rujukan


Leukosit 16610 /mm3 4.000-10.000
Eritrosit 3.45 106/ uL 4.70-6.10
Hemoglobin 9.8 g/ dL 11.5–16.5
Hematokrit 31.3 % 37.0 – 47.0
Trombosit 134
103/ ul 150 – 450
MCH 28.5 pg 27,0 – 35,0
MCHC 31.3 g/dL 30,0 – 40,0
MCV 90.9 fL 80,0 – 100,0
SGOT 60 U/L <33
SGPT 41 U/L <43
Glukosa Darah Sewaktu 260 mg/dL 70-125
Creatinin Darah 1.0 mg/dL 0,5-1,5
Ureum Darah 26 mg/dL 10-40
Natrium 134 meq/L 135-153
Kalium 4.10 meq/L 3.50-5.30
Chlorida TAP meq/L 98.0-109.0

USG FAST (-)

G. DIAGNOSIS
Fraktur segmental diafisis femur sinistra 1/3 proksimal terbuka grade IIIA
Fraktur diafisis tibia dextra 1/3 distal terbuka grade IIIA
Fraktur segmental diafisis fibula dextra 1/3 distal terbuka grade IIIA
Trauma tumpul abdomen
Anemia

22
FOLLOW UP
01/10/2017-04/10/2017
S : Luka dan nyeri di tungkai atas kiri dan tungkai bawah kanan
O : Regio cruris dextra : luka terawat
Regio femur sinistra : luka terawat
A : Fraktur segmental diafisis femur sinistra terbuka grade IIIA
Fraktur communitif diafisis tibia fibula dextra terbuka grade IIIA
Anemia
P : Rawat luka
Persiapan operasi
Transfusi PRC hingga Hb > 10
Konsul digestif
Pasang NGT
05/10/2017-09/10/2017
S : Luka dan nyeri ditungkai atas kiri dan tungkai bawah kanan, perut
kembung (+)
O : Regio Cruris dextra : luka terawat
Regio femur sinistra : luka terawatt
Abdomen : kembung (+), BU (+), timpani, jejas (+) di regio kanan atas
A : Fraktur segmental diafisis femur sinistra terbuka grade IIIA
Fraktur communitif diafisis tibia fibula dextra terbuka grade IIIA
Anemia
Trauma tumpul abdomen
P : - CT-Scan Abdomen
- Transfusi PRC hingga Hb > 10
- Rawat luka
10/10/2017-19/10/2017
S : Luka dan nyeri ditungkai atas kiri dan tungkai bawah kanan, perut
kembung menurun
O : Regio Cruris dextra : luka terawat
Regio femur sinistra : luka terawat
A : Fraktur segmental diafisis femur sinistra terbuka grade IIIA

23
Fraktur communitif diafisis tibia fibula dextra terbuka grade IIIA
Trauma tumpul abdomen
P : - Terapi lanjut
- Rawat luka
- Menunggu hasil CT-Scan abdomen
20/10/2017-23/10/2017
S : Luka dan nyeri ditungkai atas kiri dan tungkai bawah kanan
O : Regio Cruris dextra : luka terawat
Regio femur sinistra : luka terawat
A : Fraktur segmental diafisis femur sinistra terbuka grade IIIA
Fraktur communitif diafisis tibia fibula dextra terbuka grade IIIA
Hipoalbuminemia
DM tipe II
P : - Rawat luka + aff hecting
- Terapi lanjut
- Rencana operasi
24/10/2017
S : Luka dan nyeri ditungkai atas kiri dan tungkai bawah kanan
O : Regio Cruris dextra : luka terawat
Regio femur sinistra : luka terawat
A : Fraktur segmental diafisis femur sinistra terbuka grade IIIA
Fraktur communitif diafisis tibia fibula dextra terbuka grade IIIA
Hipoalbuminemia
DM tipe II
P : - Rencana ORIF (25-10-2017)
- Daftar IBS hari ini
26/10/2017
S : Luka dan nyeri ditungkai atas kiri dan tungkai bawah kanan
O : Regio Cruris dextra : luka terawat
Regio femur sinistra : luka terawat
A : Fraktur segmental femur sinistra terbuka grade IIIA
Fraktur communitif tibia fibula dextra terbuka grade IIIA

24
DM tipe II
P : - Konsul Cardiology
- Terapi lanjut
27/10/2017-31/10/2017
S : Luka dan nyeri ditungkai atas kiri dan tungkai bawah kanan
O : Regio Cruris dextra : luka terawat
Regio femur sinistra : luka terawat
A : Fraktur segmental diafisis femur sinistra terbuka grade IIIA
Fraktur communitif diafisis tibia fibula dextra terbuka grade IIIA
DM tipe II
P : Echocardiografi
Rencana operasi bila KU membaik
01/11/2017
S : Luka dan nyeri ditungkai atas kiri dan tungkai bawah kanan
O : Regio Cruris dextra : luka terawat
Regio femur sinistra : luka terawat
A : Fraktur segmental femur sinistra terbuka grade IIIA
Fraktur communitif tibia fibula dextra terbuka grade IIIA
DM tipe II
P : Konsul IBS hari ini untuk operasi
03/11/2017-07/11/2017
S : Luka dan nyeri ditungkai atas kiri dan tungkai bawah kanan
O : Regio Cruris dextra : luka terawat
Regio femur sinistra : luka terawat
A : Fraktur segmental diafisis femur sinistra terbuka grade IIIA
Fraktur communitif diafisis tibia fibula dextra terbuka grade IIIA
Post operasi ORIF
P : Post operasi dari ICU
Rawat luka
Mengatasi nyeri

25
08/11/2017
S : Luka dan nyeri ditungkai atas kiri dan tungkai bawah kanan
O : Regio Cruris dextra : luka terawat
Regio femur sinistra : luka terawat
A : Fraktur segmental femur sinistra terbuka grade IIIA
Fraktur communitif tibia fibula dextra terbuka grade IIIA
Post operasi ORIF
P : - Rawat luka
- Mengatasi nyeri
- Rawat jalan

26
LAPORAN OPERASI
29-09-2017 (debridement)
 Pasien tertidur dalam GA diatas meja operasi
 Dilakukan pencucian dengan hibiscrub dan air mengalir
 Dilakukan A dan Antisepsis di lapangan operasi
 Identifikasi luka di cruris dextra dibagian medial tampak luka ukuran 3x1cm
tepi tidak rata, dasar luka teraba garis fraktur, perdarahan aktif (-), tampak
luka ukuran 2x1cm tepi tidak rata, teraba garis fraktur, perdarahan aktif (-),
region calcaneus pedis dextra tampak luka tidak rata, dan dasar subkutis,
perdarahan (-). Dilakukan pencucian luka dengan NaCl 0,9% dan H2O2
dengan betadine kemudian dilakukan penjahitan luka.
 Identifikasi luka daerah genu sinistra bgian medial tampak luka 5x3cm dasar
otot, tepi tidak rata, perdarahan aktif (-). Dilakukan pencucian dengan NaCl
0,9% + betadine + H2O2 kemudian luka ditutup dengan jahitan situasioanl.
 Dilakuka pemasangan backslab pada kedua tungkai bawah
 Operasi selesai

02-11-2017 (ORIF)
 Penderita terlentang dalam narkose
 A dan antisepsis lapangan operasi
 Insisi lateral femur sinistra ±3cm, diperdalam sampai fascia lata, Fascia
lata dibuka.
 Identifikasi tampak fraktur komunitif femur sinistra .
 Dilakukan repair fraktur, dilanjutkan fiksasi dengan plate 13 hole dan
screw 13 buah
 Kontrol perdarahan
 Cuci luka operasi
 Pasang drain
 Luka operasi dijahit lapis demi lapis
 Dilanjutkan insisi anterior cruris dextra
 Tampak fraktur kmmunitif tibia dextra
 Dilakukan reposisi fraktur tibia

27
 Dilanjutkan dengan fiksasi dengan plate 10 hole dan 10 screw
 Cuci luka operasi
 Control perdarahan
 Luka operasi dijahit lapis demi lapis
 Operasi selesai.

28
BAB IV
PEMBAHASAN
Diagnosis ditentukan berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis perlu diketahui riwayat trauma atau
tidak. Bila tidak, berarti fraktur patologis. Riwayat trauma harus terperinci kapan
waktu terjadi, di mana tempat terjadinya, jenis, berat-ringan trauma, arah trauma,
dan posisi pasien atau ekstremitas yang bersangkutan (mekanisme trauma). Perlu
juga diteliti kembali trauma di tempat lain secara sistematik dari kepala, leher,
dada, perut, dan keempat ekstremitas. Pada anamnesis diperoleh pasien laki-laki
umur 60 tahun MRS dengan luka dan nyeri di paha kiri dan tungkai bawah kanan
akibat kecelakaan lalu lintas yang dialami penderita sejak ±6 jam SMRS.
Awalnya penderita sedang mengendarai sepeda motor, tiba-tiba dari arah depan
muncul mobil menabrak penderita sehingga kaki penderita membentur aspal.
Riwayat pingsan (-), muntah (-), penderita tidak menggunakan helm,
mengkonsumsi alcohol (-). Penderita kemudian dibawa ke RSUD Bitung dan
dirujuk ke RSUP Prof.R.D.Kandou Manado dengan infus dan spalk terpasang.
Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa penyebab tersering
dari fraktur adalah kecelakaan lalu lintas (70%), jatuh dari ketinggian (11%),
terkena tembakan (8%), dan lain-lain. Secara epidemiologi, fraktur lebih sering
terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 3:1.3,10
Pemeriksaan fisik terdiri atas status generalis, status lokalis, dan status
distalis. Pada status lokalis dinilai.16
a. Inspeksi (Look)
1. Kulit (warna dan tekstur), jaringan lunak, tulang, sendi, apakah
terdapat luka atau tidak.
2. Deformitas, terdiri dari penonjolan yang abnormal, angulasi, rotasi,
translasi, dan pemendekan
b. Palpasi (Feel)
1. Nyeri tekan dan lokalisasi, apakah nyeri setempat atau nyeri alih
2. Krepitasi
3. Pengukuran panjang anggota gerak
c. Move, untuk mencari:

29
1. Evaluasi gerakan sendi yang aktif maupun pasif
2. Stabilitas sendi
3. Pemeriksaan ROM (Range of Joint Movement)
Pemeriksaan status distalis mencakup penilaian pulsasi dibagian distal,
dalam hal ini pada arteri dorsalis pedis, pemeriksaan sensibilitas kedua, dan waktu
pengisian kapiler pada kedua tungkai. Pemeriksaan status distalis dilakukan pada
kedua ekstremitas untuk membandingkan kiri dan kanan. Dari hasil pemeriksaan
fisik, pada inspeksi di regio femur sinistra didapatkan luka terbuka ukuran
18x6cm, dasar tulang, tepi tidak rata dan luka ukuran 15x5cm, dasar tulang dan
tepi tidak rata. Bengkak (+), deformitas (+), shorthening (+), angulasi (-), rotasi (-
). Pada palpasi didapatkan adanya nyeri tekan pada regio femur sinistra dan regio
cruris dextra. Pergerakan terbatas karena nyeri. Pada status distalis didapatkan
pulsasi arteri dorsalis pedis sama pada kaki kiri dan kanan, sensibilitas normal
pada kedua tungkai, dan waktu pengisian kapiler <2 detik.16
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada kasus ini adalah pemeriksaan
radiologis femur sinistra posisi AP dan lateral dan foto pelvis dan juga foto cruris
dextra posisi AP dan lateral. Pada foto femur tampak fraktur segmental femur
sinistra dan pada foto cruris didapatkan fraktur communitif tibia fibula.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis
didiagnosis sebagai Fraktur segmental femur sinistra terbuka grade IIIA dan
Fraktur communitif tibia fibula dextra terbuka grade IIIA.14
Penanganan fraktur terdiri atas penanganan preoperatif, dan
pascaoperatif. Preoperatif berupa pertolongan pertama (bantuan hidup dasar) yang
dikenal dengan singkatan ABC. Proses ini dikenal dengan singkatan ABC. ABC
pada trauma meliputi A untuk airway atau jalan napas yaitu pembebasan jalan
napas; B untuk breathing atau pernapasan yaitu dengan pemberian
O2, memperhatikan adakah tanda-tanda hemothoraks, pneumothoraks, flail chest;
C untuk circulation atau sirkulasi/fungsi jantung untuk mencegah atau menangani
syok; D untuk disability yaitu evaluasi status neurologik secara cepat dengan
metode AVPU (Alert, Vocal stimuli, Pain stimuli, Unresponsive); dan E
untuk exposure/environment yaitu melakukan pemeriksaan secara teliti, pakaian
penderita harus dilepas, selain itu perlu dihidari terjadinya hipotermi.2,6,22 Setelah

30
stabilisasi tanda vital, penderita harus diberi antibiotik intravena, dan pembidaian
sementara.20,23
Fraktur tergolong dalam kegawatan bedah sehingga memerlukan
penanganan secepatnya untuk mengurangi risiko infeksi yang sebaiknya
dilakukan dalam 6-8 jam pertama.18 Penanganan pascaoperatif meliputi
pemeriksaan radiologik serial, darah lengkap, serta rehabilitasi. Diet yang
dianjurkan tinggi kalori tinggi protein untuk menunjang proses penyembuhan.
Imobilisasi fraktur adalah mengembalikan atau memperbaiki bagian tulang yang
patah kedalam bentuk yang mendekati semula (anatomis)nya, Cara-cara yang
dilakukan meliputi reduksi, traksi, dan imobilisasi. Reduksi terdiri dari dua jenis,
yaitu tertutup dan terbuka. Reduksi tertutup (Close reduction) adalah tindakan non
bedah atau manipulasi untuk mengembalikan posisi tulang yang patah, tindakan
tetap memerlukan lokal anestesi ataupun umum. Reduksi terbuka (Open
reduction) adalah tindakan pembedahan dengan tujuan perbaikan bentuk tulang.
Sering dilakukan dengan internal fiksasi yaitu dengan menggunakan kawat,
screws, pins, plate, intermedulari rods atau nail. Selanjutnya metode traksi
dilakukan dengan cara menarik tulang yang patah dengan tujuan meluruskan atau
mereposisi bentuk dan panjang tulang yang patah tersebut. Ada dua macam jenis
traksi yaitu skin traksi dan skeletal traksi.24
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang patah dengan menempelkan
pleter langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk, membentuk
menimbulkan spasme otot pada bagian yang cidera, dan biasanya digunakan untuk
jangka pendek (48 – 72 jam). Skeletal Traksi adalah traksi yang digunakan untuk
meluruskan tulang yang cidera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk
dengan memasukkan pins atau kawat ke dalam tulang. Imobilisasi, setelah
dilakukan reposisi secara reduksi atau traksi pada fragmen tulang yang patah,
dilakukan imobilisasi dan hendaknya anggota badan yang mengalami fraktur
tersebut diminimalisir gerakannya untuk mencegah tulang berubah posisi
kembali.24 Pada kasus dilakukan pemasangan skin traksi tipe Buck dengan
menggunakan beban 10% dari berat badan pasien dan tidak melebihi 5 kg. Salah
satu tindakan yang dilakukan selanjutnya adalah ORIF (Open Reduction Internal
Fixation) elektif atau fiksasi internal dengan pembedahan terbuka akan

31
mengimobilisasi fraktur dengan melakukan pembedahan dengan memasukan
paku, sekrup atau pin ke dalam tempat fraktur untuk memfiksasi bagian-bagian
tulang yang fraktur secara bersamaan.
Indikasi ORIF:
1).Fraktur yang tak bisa sembuh
2).Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup
3).Fraktur yang dapat direposisi tapi sulit dipertahankan
4).Fraktur yang memberikan hasil baik dengan operasi.
Tanda dan gejala pada pasien post ORIF yaitu edema, nyeri, pucat, otot
tegang dan bengkak, menurunnya pergerakan, menolak bergerak, deformitas
(perubahan bentuk), eritema, parestesia atau kesemutan.21 Pada keadaan ini
dimana terjadi hemarthrosis genu maka yang harus dilakukan adalah aspirasi
hematom kemudian dilakukan tension band wiring elektif.
Penyembuhan tulang merupakan proses yang kompleks, umumnya
membutuhkan waktu 6 sampai 8 minggu untuk menyembuhkan ke tingkat yang
signifikan. Kecepatan dan keberhasilan berbeda antara individu dan waktu yang
diperlukan untuk penyembuhan tulang dapat dipengaruhi oleh banyak faktor,
termasuk jenis fraktur, usia pasien, kondisi medis yang mendasari, dan status gizi.
Proses penyembuhan tulang memiliki tiga tahap yaitu peradangan, produksi
tulang, dan remodeling tulang (American college of foot an ankle surgeons,
2008). Prinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal adalah rekognisi
(mengenali), reduksi (mengembalikan), retaining (mempertahankan), dan
rehabilitasi. Agar penanganannya baik, perlu diketahui kerusakan apa saja yang
terjadi, baik pada jaringan lunaknya maupun tulangnya. Mekanisme trauma juga
harus diketahui, apakah akibat trauma tumpul atau tajam, langsung atau tak
langsung. Reduksi berarti mengembalikan jaringan atau fragmen ke posisi semula
(reposisi). Dengan kembali ke bentuk semula diharapkan bagian yang sakit dapat
berfungsi kembali dengan maksimal.25
Penyembuhan fraktur sekunder ditandai dengan penyembuhan patah
tulang secara spontan tanpa adanya kaku. Mekanisme biologi tulang saat
perbaikan fraktur memiliki pola yang terorganisir. Perbaikan fraktur dibagi
menjadi fase inflamasi yang berakhir kurang lebih satu hingga dua minggu yang

32
pada awalnya terjadi reaksi inflamasi, fase reparatif yang umumnya berlangsung
beberapa bulan, serta fase remodeling yang membutuhkan waktu bulanan hingga
tahunan untuk merampungkan penyembuhan tulang.16,26

33
BAB V
KESIMPULAN

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang


rawan sendi, tulang rawan epifisis yang bersifat total maupun parsial. Fraktur
juga melibatkan jaringan otot, saraf dan pembuluh darah disekitarnya. Secara
epidemiologi, fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan
dengan perbandingan 3:1. Pada kasus ini, seorang laki-laki usia 60 tahun
didiagnosis dengan fraktur segmental femur sinistra terbuka grade IIIA dan
fraktur communitif tibia fibula dextra terbuka grade IIIA yang ditegakkan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penanganan fraktur
terdiri atas penanganan preoperatif, intraoperatif dan pascaoperatif. Fraktur
tergolong dalam kegawatan bedah sehingga memerlukan penanganan secepatnya
untuk mengurangi infeksi yang sebaiknya dilakukan dalam 6-8 jam pertama.
Selanjutnya prinsip dalam penanganan pertama pada patah tulang adalah jangan
membuat keadaan lebih jelek (do no harm) dengan menghindari gerakan-
gerakan/gesekan-gesekan pada bagian yang patah. Tatalaksana yang dilakukan
pada penderita ini ialah dengan memasang spalk, skin traksi dan kemudian
penderita setuju untuk dilakukan operasi yaitu debridement pada tanggal 29
Oktober 2017 dan ORIF pada tanggal 02 November 2017.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo A. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi V. Interna


Publishing. Jakarta. 2010.
2. Delahay JN, Sauer S. Skeletal Trauma. In: Wiesel S, Delahay JN, editor.
Essentials of orthopedic surgery. 3rd ed..Washington: Springer; 2007.
p.40-83.
3. Staf pengajar bagian bedah FKUI. Kumpulan kuliah ilmu bedah. Jakarta:
FKUI; 1995. hal. 502-537
4. Setiati S & Laksmi PW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Gangguan
Keseimbangan, Jatuh, dan Fraktur. Jilid 1 Edisi 5. Jakarta: Interna
Publishing; 2009. hal.275-286
5. Oglen. JA. 2000. Skeletal Injury in The Child Second Edition. New
York: W. B Saunders Company. Pg 857-72)
6. AAPC. Fracture Classification in ICD-10-CM. 2013.
7. Medline Plus. Dislocation. US National Library of Medicine. 2013
8. Sjamsuhidayat & Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC;
2010.
9. Depkes RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar. [www.depkes.co.id]
10. Sjamsuhidayat R & Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:
EGC; 2005. hal.88-103
11. Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. [www.depkes.co.id]
12. McRae E. The diagnosis of fractures and principles of treatment. In:
McRae E, Esser R, editor. Practical fracture treatment. 4th ed. Churchil
Livingstone. p.25-54.
13. Rasjad C. Trauma. Dalam: Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makassar:
Bintang Lamumpatue; 2000. h.343-536.
14. Buckley R, Panaro CDA. General Principles of Fracture Care [online].
2016 Jun 25 [cited 2017 Sept 14]; Available from: URL:
http://www.emedicine.com/orthoped/topic636.htm

35
15. Okoro OI, Ohadugha OC. The anatomic pattern of fractures and
dislocations among accident victims in Owerri,Nigeria. Nigerian J of
Surg Res 2006;8:54-6.
16. Skinner H, Smith W, Shank J, Diao E, Lowenberg D. Musculoskeletal
Trauma Surgery. In: Skinner H, editor. Current diagnosis and treatment
in orthopedics. 3rd ed. New York: McGraw-Hill; 2003. p.76-150.
17. Quamar A, Sherwani, Mazhar A, Gupta R, Asif N, Sabir. Internal
fixation in compound type III fractures presenting after golden period.
Indian J Orthop 2007;41(3):204-8.
18. S. Milenkovic, L. Paunkovic, S. Karalejic. Severe open – Gustilo type III
– tibial fracture treated by external fixation and primary soft-tissue
coverage. J Hellenic Association Ortho Trauma 2006; 57(4).
19. Ipley’s System of Orthopaedics and fractures, 9th edition. 2010.
20. Department of Orthopaedic Surgery University of Stellenbosch, South
Africa. External fixator [online]. 2008 [cited 2017 Sept 17]; Available
from: URL: http://www0.sun.ac.za/ortho/webct-
ortho/general/exfix/exfix.html
21. Apley A, Graham. 1995. Buku ajar ortopedi dan fraktur sistem Apley.
Jakarta: Widya Medika.
22. Lateef F. Riding motorcycles: is it a lower limb hazard? Singapore Med
J 2002;43(11):566-9.
23. Koval K, Zuckerman JD. Lower extremity fractures and dislocations. In:
Koval K, Zuckerman JD, editor. Handbook of fractures. 3rd ed.
Lippincot Williams & Wlkins; 2006. p.347-54.
24. Henderson, MA. 1997. Ilmu bedah untuk medis. Yogyakarta: Yayasan
EssentiaMedika.
25. Maharta GRA, Maliawan S, Kawiyana KS. 2011. Manajemen fraktur
pada traumamuskeletal. Bali: FK Udayana Bali.

36

Anda mungkin juga menyukai