Anda di halaman 1dari 28

SEORANG PEREMPUAN 46 TAHUN DENGAN PARAPLEGI INFERIOR

ec SUSPECT SPONDILITIS TB

Oleh

Nurul Fadilah

G99162083

Pembimbing :

dr. Desy K. Tandiyo, Sp. KFR

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2018

1
BAB I
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
Nama : Ny. M
Umur : 46 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jalan Mahoni Raya No 13, Tuban, Jawa
Timur
Tanggal Masuk : 28 Desember 2017
Tanggal Periksa : 30 Desember 2017
No. RM : 014012xx

B. Keluhan Utama
Kelemahan kedua tungkai

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien merasakan kelemahan pada kedua tungkai sejak 2 minggu
SMRS. Rasa lemah pada kedua tungkai dirasakan semakin memberat,
pasien sudah pergi ke dokter dan diberi obat tetapi tidak kunjung
membaik, maka pasien memeriksakan diri ke RSDM, pasien tidak dapat
mengingat obat yang diberikan sebelumnya. Pasien juga merasakan
nyeri punggung sejak 3 bulan SMRS, nyeri dirasakan hilang timbul dan
tidak berkurang dengan posisi istirahat. Pasien tidak mual, tidak muntah,
tidak ada kejang, tidak disertai penurunan kesadaran, tidak ada
pandangan kabur, tidak ada pandangan dobel, tidak ada demam, tidak
ada penurunan intelektual.
Pasien sejak 2 bulan SMRS mengeluhkan batuk yang hilang
timbul. Batuk berdahak, warnanya putih encer,disertai darah dan nyeri

2
dada disangkal. Keluhan demam disangkal. Pasien mengeluhkan sering
merasakan berkeringat malam hari tanpa aktivitas sebelumnya,
penurunan nanfsu makan dan penurunan berat badan kurang lebih 2 kg
dalam waktu 3 bulan (BB awal 50 kg, saat ini 48 kg). Setelah dilakukan
pemeriksaan dahak, pasien saat ini menjalani pengobatan untuk TB.
BAB 1 kali sehari, konsistensi kenyal lunak, lendir darah (-), BAK
tidak ada kelainan, tidak disertai nyeri, tidak disertai panas, tidak ada
anyang-anyangan.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan serupa : terdiagnosis TB bulan Oktober 2017
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat konsumsi obat OAT (+), mulai 12/10/2017. Namun tidak ada
bukti pemeriksaan sputum maupun darah  FDC

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
F. Riwayat Kebiasaan
Riwayat minum obat-obatan bebas : disangkal
Riwayat merokok : disangkal
Riwayat minum minuman keras : disangkal

3
Riwayat minum jamu : disangkal
Riwayat olah raga teratur : disangkal

G. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang perempuan berusia 46 tahun. Pasien adalah
seorang ibu rumah tangga. Pasien berobat dengan menggunakan fasilitas
BPJS non PBI.

II. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalis
1. Keadaan Umum : Keadaan umum sakit sedang, compos mentis, gizi
kesan cukup
2. Tanda Vital
Tensi : 120/60 mmHg
Respirasi : 20x/menit
Nadi : 88x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Suhu : 36,7°C (per axiller)
3. Kulit
Warna kuning, ikterik (-), turgor kurang (-), hiperpigmentasi (-).
4. Kepala
Bentuk mesocephal, rambut hitam, uban (-), lurus, mudah rontok (-),
mudah dicabut (-), moon face (-), atrofi M.temporalis (-).
5. Mata
Konjungtiva palpebra pucat(-/-), sklera ikterik (-/-), katarak (-/-),
perdarahan palpebra (-/-), pupil isokor dengan diameter (3mm/3mm),
reflek cahaya (+/+), edema palpebra (-/-).
6. Telinga
Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoideus (-).
7. Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), fungsi pembau
baik, foetor ex nasal (-).

4
8. Mulut
Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), pucat (-), lidah kotor (-),
papil lidah atrofi (-), stomatitis (-), luka pada sudut bibir (-), foetor ex
ore (-).
9. Leher
JVP tidak meningkat, trachea ditengah, simetris, pembesaran
limfonodi cervical (-).
10. Limfonodi
Kelenjar limfe retroaurikuler, submandibuler, servikalis,
supraklavikularis, aksilaris dan inguinalis tidak membesar
11. Thorax
Bentuk simetris, retraksi intercostal (-), spider nevi (-), pernafasan
toracoabdominal, sela iga melebar (-), muskulus pektoralis atrofi (-),
pembesaran KGB axilla (-/-).
12. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal,
reguler, bising (-), gallop (-)
13. Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : SDV(+/+), RBK (-/-), wheezing (-/-)
14. Punggung : Kifosis (-), lordosis (-), skoliosis(-), nyeri ketok
kostovertebra (-)
15. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : Peristaltik (+) 12x/menit
Perkusi : Timpani, pekak alih (-)

5
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), pembesaran hepar dan lien
(-)
16. Genitourinaria : Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-).
17. Ekstremitas
Extr.supor Extr.supor Extr.inforsinistra Extr.inforsinistra
dextra dextra
Oedem - - - -
Pucat - - - -
Akral - - - -
dingin
Atrofi - - - -
Otot

B. Range Of Motion (ROM)


ROM
Neck
Pasif Aktif
Fleksi 0 - 70º 0 - 70º
Ekstensi 0 - 40º 0 - 40º
Lateral bending kanan 0 - 60º 0 - 60º
Lateral bending kiri 0 - 60º 0 - 60º
Rotasi kanan 0 - 90º 0 - 90º
Rotasi kiri 0 - 90º 0 - 90º

ROM Pasif ROM Aktif


Ektremitas Superior
Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra
Fleksi 0-165º 0-165º 0-165º 0-165º
Ektensi 0-50º 0-50º 0-50º 0-50º
Abduksi 0-170º 0-170º 0-170º 0-170º
Shoulder
Adduksi 0-75º 0-75º 0-75º 0-75º
Eksternal Rotasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
Internal Rotasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
Fleksi 0-150º 0-150º 0-150º 0-150º
Ekstensi 0o 0º 0º 0º
Elbow
Pronasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
Supinasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
Fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
Ekstensi 0-70º 0-70º 0-70º 0-70º
Wrist
Ulnar Deviasi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º
Radius deviasi 0-20º 0-20º 0-20º 0-20º
MCP I Fleksi 0-50º 0-50º 0-50º 0-50º
Finger
MCP II-IV fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º

6
DIP II-V fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
PIP II-V fleksi 0-90º 0-100º 0-100º 0-100º
MCP I Ekstensi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º

Extremitas Inferior Dextra Sinistra


Aktif Pasif Aktif Pasif
Flexi Sde 0-135o Sde 0-135o
Extensi Sde 0-30o Sde 0-30o
Hip
Abduksi Sde 0-45o Sde 0-45o
Adduksi Sde 0-130o Sde 0-45o
Flexi Sde 0-130o Sde 0-130o
Knee
Extensi Sde 0o Sde 0o
Dorso flexi Sde 0-40o Sde 0-40o
Ankle
Plantar flexi Sde 0-40o Sde 0-40o

Kesimpulan : ada kelemahan pada kedua ekstremitas inferior

C. Manual Muscle Testing (MMT)


Ekstremitas Superior Dextra Sinistra
M Deltoideus 5 5
Fleksor Anterior
M Biseps 5 5
M Deltoideus 5 5
Ekstensor Anterior
M Teres Mayor 5 5
M Deltoideus 5 5
Shoulder Abduktor
M Biceps 5 5
M Lattissimus Dorsi 5 5
Adduktor
M Pectoralis Mayor 5 5
Internal M Lattissimus Dorsi 5 5
Rotasi M Pectoralis Mayor 5 5
Eksternal M Teres Mayor 5 5
Rotasi M Infra Supinatus 5 5
M Biceps 5 5
Fleksor
M Brachialis 5 5
Elbow Ekstensor M Triceps 5 5
Supinator M Supinator 5 5
Pronator M Pronator Teres 5 5

7
M Fleksor Carpi 5 5
Fleksor
Radialis
M Ekstensor 5 5
Ekstensor
Digitorum
Wrist
M Ekstensor Carpi 5 5
Abduktor
Radialis
M Ekstensor Carpi 5 5
Adduktor
Ulnaris
Fleksor M Fleksor Digitorum 5 5
Finger M Ekstensor 5 5
Ekstensor
Digitorum

Extremitas Inferior Dextra Sinistra


Hip Flexor M Psoas Major 0 0
Extensor M Gluteus Maximus 0 0
Abduktor M Gluteus Medius 0 0
Adduktor M Adductor Longus 0 0
Knee Flexor Hamstring Muscles 0 0
Extensor M Quadriceps 0 0
Femoris
Ankle Flexor M Tibialis 0 0
Extensor M Soleus 0 0

D. Status Psikiatri
1. Emosi : Stabil
2. Afeksi : Dalam batas normal
3. Proses berfikir : Koheren
4. Kecerdasan : Dalam batas normal

8
E. Status Neurologis
Kesadaran : GCS E4V5M6
Fungsi luhur : dalam batas normal
Fungsi vegetatif : dalam batas normal
Fungsi Sensorik : Anesthesia setinggi VTh VIII
Fungsi motorik dan reflek
a. Kekuatan : 55555 55555

00000 00000

b. Tonus
N N

↓ ↓

c. Reflek fisiologis
Dextra Sinistra
Biceps +2 +2
Triceps +2 +2
Patella +1 +1
Achilles +1 +1

d. Reflek patologis
Dextra Sinistra
Hoffman-Trommer - -
Babinsky - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Schaeffer - -
Mandel-Bochtrew - -
Gordon - -

9
Rosolimo - -

e. Nervi Kraniales
N.II :
Tajam penglihatan kesan baik, Lapang pandang
kesan baik Kesan tidak didapatkan buta warna.
N.III,IV, VI :
Ptosis(-/-), Strabismus, (-) Nistagmus(-)
Gerakan bola mata ke segala arah normal,
Pupil : bulat, kanan dan
kiri:Ø ±3mm
Refleks cahaya langsung : +/+
Refleks cahayatidak langsung : +/+

N.V :
Sensibilitas : N.V.1: baik, N.V.2: baik dan
N.V.3: baik
Membuka dan menutup mulut : baik
Menggigit : baik
N.VII :
Kerutan dahi : kanan dan kiri
simetris
Menutup mata : kelopak mata kanan
kiri baik
Menyeringai : plika nasolabialis
baik

N.VIII :
Pendengaran : kanan dan kiri baik

10
N.IX, X :
Disfonia(-)
Arcus faring: simetris
Uvula di tengah
N.XI :
Mengangkat bahu : kiri dan kanan sama tinggi
N.XII :
Lidah saat dijulurkan : deviasi (-)
Lidah saat diam : deviasi (-)
Atrofi lidah : tidak ada

11
F. ASIA Score
Tn. Nyumadi 23 Dec 2017

2 2 2 2
2 2 2 2
2 2 2 2
5 2 2 2 2 5
5 2 2 2 2 5
5 2 2 2 2 5
5 2 2 2 2 5
5 2 2 2 2 5
2 2 2 2
2 2 2 2
2 2 2 2
2 2 2 2
2 2 2 2
2 2 2 2
2 2 2 2
2 2 2 2
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
NO 0 0 0 0 NO
O 0 32 32 32 32 0 O
O O O O O
25 0 25 25 0 25 32 32 64 32 32 64
O O O O O O O O O O
Complete
64 64 T10
25
O 25
O O
A 12
O O
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Laboratorium Darah tanggal 27/12/2017

HEMATOLOGI SGPT: 17 mg/dl


Hb : 14.3 g/dl Albumin : 3.9g/dl
Hct : 45 % Ureum : 15mg/dl
AE : 5.35 juta/ul Creatinin : 0.4 mg/dl
AL : 10.0 ribu/ul
AT : 309 ribu/ul ELEKTROLIT
Na : 135 mmol/L
KIMIA KLINIK K : 3.9 mmol/L
GDS : 93 mg/dl Ca : 102 mmol/L
SGOT : 14 mg/dl

B. Pemeriksaan Radiologis
1. Foto Rontgen Thoracal AP dan Lat Tanggal 11 Desember 2017

Kesimpulan :
Kompresi di corpus Vth 7

13
2. Foto MRI Thoracal Polos Tanggal 11 Desember 2017

Kesimpulan :
1. Menyokong gambaran spondilitis TB pada level Vth 5-6 dan Vth
6-7

IV. ASSESMENT
Paraplegia inferior dengan anestesia inferior ec. suspek spondilitis TB

V. DAFTAR MASALAH
A. Problem Medis
1. Paraplegi inferior
2. Anestesia inferior

14
B. Problem Rehabilitasi Medis
1. Fisioterapi : nyeri leher hingga punggung dan kelemahan
anggota gerak bawah, tidak bisa berjalan,
imobilisasi yang lama.
2. Okupasi terapi : ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
sehari-hari karena kelemahan anggota gerak
bawah
3. Terapi wicara : -
4. Sosiomedik : memerlukan bantuan untuk aktivitas sehari-hari
5. Ortesa-protesa : Keterbatasan mobilisasi
6. Psikologi : beban pikiran karena fungsi tubuh yang tidak
dapat kembali seperti semula

VI. PENATALAKSANAAN
A. Terapi Medikamentosa
1. Oksigen 3 lpm
2. Infus NaCl 0,9% 20 lpm
3. Injeksi ketorolac 30 mg per 12 jam
4. Injeksi mecobalamin 500mcg per 12 jam
5. Injeksi ranitidine 50 mg per 12 jam
6. Injeksi ceftriaxone 2 gr per 24 jam
7. Terapi OAT dilanjutkan
B. Terapi Rehabilitasi Medis
1. Fisioterapi :
a. mencegah ulcus decubitus dengan positioning dan turning setiap 2
jam selama terjaga dan setiap 4 jam selama tidur
b. ROM exercise aktif extremitas superior dan ROM exercise pasif
extremitas inferior
2. Speech terapi : tidak dilakukan
3. Occupational terapi : latihan aktivitas sehari-hari

15
4. Sosiomedik : memberikan edukasi kepada keluarga
dalam merawat dan membantu pasien
5. Ortesa-Protesa : memfasilitasi ambulasi dengan wheelchair
penggunaan TLSO
6. Psikologi : psikoterapi suportif kepada pasien,
menurunkan kecemasan, meningkatkan
kepercayaan diri pasien dan pengawasan
status psikologis pasien. Memberikan
motivasi agar penderita dan keluarga mau
menjalankan program rehabilitasi.
7. Terapi rekreasi dilakukan sesuai kemampuan pasien untuk mencegah
depresi.

VII. IMPAIRMENT, DISABILITY, HANDYCAP


 Impairment : paraplegi dan anestesi inferior
 Disability : kelemahan angguta gerak bawah dalam aktivitas
 Handicap : keterbatasan dalam pekerjaan dan kegiatan social

VIII. TUJUAN
1. Memperbaiki keadaan umum sehingga mempersingkat waktu
perawatan
2. Memperbaiki kekuatan otot pasien dan mencegah kekakuan sendi dan
terjadinya ulkus dekubitus pada pasien akibat imobilisasi lama
3. Mencegah terjadinya komplikasi yang dapat memperburuk keadaan
4. Membantu pasien sehingga mampu mandiri dalam menjalankan
aktivitas sehari-hari
5. Edukasi perihal home excercise
6. Mengatasi masalah psikososial yang timbul akibat penyakit yang
diderita pasien

16
IX. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam

17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Spondilitis TB
A. Pendahuluan
Tuberkulosis masih menjadi salah satu penyakit paling mematikan di
seluruh dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa setiap
tahun terdapat lebih dari 8 juta kasus baru tuberkulosa dan lebih kurang 3 juta
orang meninggal akibat penyakit ini. Tuberkulosis sering dijumpai di daerah
dengan penduduk yang padat, sanitasi yang buruk dan malnutrisi. Walaupun
manifestasi tuberkulosis biasanya terbatas pada paru, penyakit ini dapat mengenai
organ apapun, seperti tulang, traktus genitourinarius dan sistem saraf pusat.
Tuberkulosa tulang dan sendi merupakan 35% dari seluruh kasus
tuberkulosa ekstrapulmonal dan paling sering melibatkan tulang belakang, yaitu
sekitar 50% dari seluruh kasus tuberkulosa tulang. Keterlibatan spinal biasanya
merupakan akibat dari penyebaran hematogen dari lesi pulmonal ataupun dari
infeksi pada sistem genitourinarius.
Percival Pott pertama kali menguraikan tentang tuberkulosa pada kolumna
spinalis pada tahun 1779. Destruksi pada diskus dan korpus vertebra yang
berdekatan, kolapsnya elemen spinal dan kifosis berat dan progresif kemudian
dikenal sebagai Pott’s disease. Walaupun begitu tuberkulosa spinal telah
diidentifikasi pada mumi di Mesir sejak 3000 tahun sebelum masehi dengan lesi
skeletal tipikal dan analisis DNA.
Spondilitis tuberkulosa memiliki distribusi di seluruh dunia dengan
prevalensi yang lebih besar pada negara berkembang. Tulang belakang adalah
tempat keterlibatan tulang yang paling sering, yaitu 5- 15% dari seluruh pasien
dengan tuberkulosis. Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit yang dianggap
paling berbahaya karena keterlibatan medula spinalis dapat menyebabkan
gangguan neurologis. Daerah lumbal dan torakal merupakan daerah yang paling
sering terlibat, sedangkan insidensi keterlibatan daerah servikal adalah 2-3%.

18
Defisit neurologis pada spondilitis tuberkulosa terjadi akibat pembentukan
abses dingin, jaringan granulasi, jaringan nekrotik dan sequestra dari tulang atau
jaringan diskus intervertebralis, dan kadang kadang trombosis vaskular dari arteri
spinalis.
Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit kronik dan lambat
berkembang dengan gejala yang telah berlangsung lama. Riwayat penyakit dan
gejala klinis pasien adalah hal yang penting, namun tidak selalu dapat diandalkan
untuk diagnosis dini. Nyeri adalah gejala utama yang paling sering. Gejala
sistemik muncul seiring dengan perkembangan penyakit. Nyeri punggung
persisten dan lokal, keterbatasan mobilitas tulang belakang, demam dan
komplikasi neurologis dapat muncul saat destruksi berlanjut. Gejala lainnya
menggambarkan penyakit kronis, mencakup malaise, penurunan berat badan dan
fatigue. Diagnosis biasanya tidak dicurigai pada pasien tanpa bukti tuberkulosa
ekstraspinal.
Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosa masih kontroversial; beberapa
penulis menganjurkan pemberian obat-obatan saja, sementara yang lainnya
merekomendasikan obat-obatan dengan intervensi bedah. Dekompresi agresif,
pemberian obat anti tuberkulosis selama 9-12 bulan dan stabilisasi spinal dapat
memaksimalkan terjaganya fungsi neurologis.

B. Epidemiologi
Berdasarkan laporan WHO, kasus baru TB di dunia lebih dari 8 juta per
tahun. Diperkirakan 20-33% dari penduduk dunia terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis. Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga setelah India dan
China yaitu dengan penemuan kasus baru 583.000 orang pertahun, kasus TB
menular 262.000 orang dan angka kematian 140.000 orang pertahun. Kejadian TB
ekstrapulmonal sekitar 4000 kasus setiap tahun di Amerika, tempat yang paling
sering terkena adalah tulang belakang yaitu terjadi hampir setengah dari kejadian
TB ekstrapulmonal yang mengenai tulang dan sendi.

19
C. Etiologi
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis yang merupakan anggota ordo Actinomicetales dan
famili Mycobacteriase. Basil tuberkel berbentuk batang lengkung, gram positif
lemah yaitu sulit untuk diwarnai tetapi sekali berhasil diwarnai sulit untuk dihapus
walaupun dengan zat asam, sehingga disebut sebagai kuman batang tahan asam.
Hal ini disebabkan oleh karena kuman bakterium memiliki dinding sel yang tebal
yang terdiri dari lapisan lilin dan lemak (asam lemak mikolat). Selain itu bersifat
pleimorfik, tidak bergerak dan tidak membentuk spora serta memiliki panjang
sekitar 2-4 μm.

D. Patogenesis
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB, karena
ukuran bakteri sangat kecil 1- 5 μ, kuman TB yang terhirup mencapai alveolus
dan segera diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus
akan memfagosit kuman TB dan sanggup menghancurkan sebagian besar kuman
TB. Pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman
TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag
yang terus berkembang-biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag mengalami
lisis, dan kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni
kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon.
Diawali dari fokus primer kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju ke kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran
limfeke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena.
Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe
regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang
(limfangitis).
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer sedangkan

20
pada penyebaran hematogen kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread), kuman TB
menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan
gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh
tubuh. Organ yang dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik,
misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas
paru. Bagian pada tulang belakang yang sering terserang adalah peridiskal terjadi
pada 33% kasus spondilitis TB dan dimulai dari bagian metafisis tulang, dengan
penyebaran melalui ligamentum longitudinal anterior terjadi sekitar 2,1% kasus
spondilitis TB. Penyakit dimulai dan menyebar dari ligamentum anterior
longitudinal. Radiologi menunjukkan adanya skaloping vertebra anterior, sentral
terjadi sekitar 11,6% kasus spondilitis TB. Penyakit terbatas pada bagian tengah
dari badan vertebra tunggal, sehingga dapat menyebabkan kolap vertebra yang
menghasilkan deformitas kiposis. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan
bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas selular
yang akan membatasi pertumbuhan.
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi
berawal dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus vertebra.
Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan
perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus
intervertebralis, dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini
akan menyebabkan terjadinya kifosis. Kemudian eksudat ( yang terdiri atas serum,
leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa ) menyebar ke
depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus
ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang
lemah. Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis
dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat
dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal

21
sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat
trakea, esofagus, atau kavum pleura. Abses pada vertebra thorakalis biasanya tetap
tinggal pada daerah thoraks setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk
massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula
spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar
masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada
bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan
mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis.

E. Manifestasi Klinik
Seperti manifestasi klinik pasien TB pada umumnya, pasien mengalami
keadaan sebagai berikut, berat badan menurun selama 3 bulan berturu-turut tanpa
sebab yang jelas, demam lama tanpa sebab yang jelas.
Gejala pertama biasanya dikeluhkan adanya benjolan pada tulang belakang
yang disertai oleh nyeri. Untuk mengurangi rasa nyeri, pasien akan enggan
menggerakkan punggungnya, sehingga seakan-akan kaku. Pasien akan menolak
jika diperintahkan untuk membungkuk atau mengangkat barang dari lantai. Nyeri
tersebut akan berkurang jika pasien beristirahat. Keluhan deformitas pada tulang
belakang (kyphosis) terjadi pada 80% kasus disertai oleh timbulnya gibbus yaitu
punggung yang membungkuk dan membentuk sudut, merupakan lesi yang tidak
stabil serta dapat berkembang secara progresif. Kelainan yang sudah berlangsung
lama dapat disertai oleh paraplegia ataupun tanpa paraplegia. Abses dapat terjadi
pada tulang belakang yang dapat menjalar ke rongga dada bagian bawah atau ke
bawah ligamen inguinal.
Paraplegia pada pasien spondilitis TB dengan penyakit aktif atau yang
dikenal dengan istilah Pott’s paraplegi, terdapat 2 tipe defisit neurologi ditemukan
pada stadium awal dari penyakit yaitu dikenal dengan onset awal, dan paraplegia
pada pasien yang telah sembuh yang biasanya berkembang beberapa tahun setelah
penyakit primer sembuh yaitu dikenal dengan onset lambat.

22
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium laju endap darah (LED) dilakukan dan LED
yang meningkat dengan hasil >100 mm/jam. Pemeriksaan radiologi pada tulang
belakang sangat mutlak dilaksanakan untuk melihat kolumna vertebralis yang
terinfeksi pada 25%- 60% kasus. Vertebra lumbal I paling sering terinfeksi.
Pemeriksaan radiologi dapat ditemukan fokus infeksi pada bagian anterior korpus
vertebre dan menyebar ke lapisan subkondral tulang.
Pada beberapa kasus infeksi terjadi di bagian anterior dari badan vertebrae
sampai ke diskus intervertebrae yang ditandai oleh destruksi dari end plate.
Elemen posterior biasanya juga terkena. Penyebaran ke diskus intervertebrae
terjadi secara langsung sehingga menampakkan erosi pada badan vertebra anterior
yang disebabkan oleh abses jaringan lunak. Ketersediaan computerized
tomography scan (CT scan) yang tersebar luas dan magnetic resonance scan (MR
scan) telah meningkat penggunaannya pada manajemen TB tulang belakang. CT
scan dikerjakan untuk dapat menjelaskan sklerosis tulang belakang dan destruksi
pada badan vertebrae sehingga dapat menentukan kerusakan dan perluasan
ekstensi posterior jaringan yang mengalami radang, material tulang, dan untuk
mendiagnosis keterlibatan spinal posterior serta keterlibatan sacroiliac join dan
sacrum. Hal tersebut dapat membantu memandu biopsi dan intervensi
perencanaan pembedahan. Pemeriksaan CT scan diindikasikan bila pemeriksaan
radiologi hasilnya meragukan. Magnetic resonance imaging (MRI) dilaksanakan
untuk mendeteksi massa jaringan, appendicular TB, luas penyakit, dan
penyebaran subligamentous dari debris tuberculous.
Biopsi tulang juga dapat bermanfaat pada kasus yang sulit, namun
memerlukan tingkat pengerjaan dan pengalaman yang tinggi serta pemeriksaan
histologi yang baik. Pada pemeriksaan histologi akan ditemukan nekrosis kaseosa
dan formasi sel raksasa, sedangkan bakteri tahan asam tidak ditemukan dan
biakan sering memberikan hasil yang negatif.

23
G. Diagnosis
Diagnosis spondilitis TB dapat ditegakkan dengan jalan pemeriksaan
klinis secara lengkap termasuk riwayat kontak dekat dengan pasien TB,
epidemiologi, gejala klinis dan pemeriksaan neurologi. Metode pencitraan modern
seperti X ray, CT scan, MRI dan ultrasound akan sangat membantu menegakkan
diagnosis spondilitis TB, pemeriksaan laboratorium dengan ditemukan basil
Mycobacterium tuberculosis akan memberikan diagnosis pasti.

H. Diagnosis Banding
Spondilitis TB dapat dibedakan dengan infeksi piogenik yang
menunjukkan gejala nyeri di daerah infeksi yang lebih berat. Selain itu juga
terdapat gejala bengkak, kemerahan dan pasien akan tampak lebih toksis dengan
perjalanan yang lebih singkat dan mengenai lebih dari 1 tingkat vertebrae. Tetapi
gambaran yang spesifik tidak ada sehingga spondilitis TB sulit dibedakan dengan
infeksi piogenik secara klinis. Selain itu spondilitis TB juga dapat dibedakan
dengan tumor, yang menunjukkan gejala tidak spesifik.

I. Tata laksana
Pengobatan non-operatif dengan menggunakan kombinasi paling tidak 4
jenis obat anti tuberkulosis. Pengobatan dapat disesuaikan dengan informasi
kepekaan kuman terhadap obat. Pengobatan INH dan rifampisin harus diberikan
selama seluruh pengobatan. Regimen 4 macam obat biasanya termasuk INH,
rifampisin, dan pirazinamid dan etambutol. Lama pengobatan masih
kontroversial. Meskipun beberapa penelitian mengatakan memerlukan pengobatan
hanya 6-9 bulan, pengobatan rutin yang dilakukan adalah selama 9 bulan sampai 1
tahun. Lama pengobatan biasanya berdasarkan dari perbaikan gejala klinis atau
stabilitas klinik pasien.
Pengobatan non operatif dari paraplegia stadium awal akan menunjukkan
hasil yang meningkat pada setengah jumlah pasien dan pada stadium akhir terjadi
pada seperempat jumlah pasien.

24
Jika terjadi Pott’s paraplegia maka pembedahan harus dilakukan. paraplegi
dengan onset yang terjadi selama pengobatan konservatif, paraplegia memburuk
atau menetap setelah dilakukan pengobatan konservatif, kehilangan kekuatan
motorik yang bersifat komplit selama 1 bulan setelah dilakukan pengobatan
konservatif, paraplegia yang disertai spastisitas yang tidak terkontrol oleh karena
suatu keganasan dan imobilisasi tidak mungkin dilakukan atau adanya risiko
terjadi nekrosis akibat tekanan pada kulit, paraplegia yang berat dengan onset
yang cepat, dapat menunjukkan tekanan berat oleh karena kecelakaan mekanis
atau abses dapat juga merupakan hasil dari trombosis vaskular tetapi hal ini tidak
dapat didiagnosis, paraplegia berat lainnya, paraplegia flaksid, paraplegia dalam
keadaan fleksi, kehilangan sensoris yang komplit atau gangguan kekuatan motoris
selama lebih dari 6 bulan.
Paraplegia berulang yang sering disertai paralisis sehingga serangan awal
sering tidak disadari, paraplegia pada usia tua, paraplegia yang disertai nyeri yang
diakibatkan oleh adanya spasme atau kompresi akar saraf serta adanya komplikasi
seperti batu atau terjadi infeksi saluran kencing.
Prosedur pembedahan yang dilakukan untuk spondilitis TB yang
mengalami paraplegi adalah costrotransversectomi, dekompresi anterolateral dan
laminektomi.

J. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah kiposis berat. Hal ini terjadi oleh
karena kerusakan tulang yang terjadi sangat hebat sehingga tulang yang
mengalami destruksi sangat besar. Hal ini juga akan mempermudah terjadinya
paraplegia pada ekstremitas inferior yang dikenal dengan istilah Pott’s paraplegia.

K. Prognosis
Prognosis spondilitis TB bervariasi tergantung dari manifestasi klinik yang
terjadi. Prognosis yang buruk berhubungan dengan TB milier, dan meningitis TB,
dapat terjadi sekuele antara lain tuli, buta, paraplegi, retardasi mental, gangguan
bergerak dan lain-lain. Prognosis bertambah baik bila pengobatan lebih cepat

25
dilakukan. Mortalitas yang tinggi terjadi pada anak dengan usia kurang dari 5
tahun sampai 30%.

Penatalaksanaan Rehabilitasi Medik

Prinsip dari penanganan rehabilitasi medik adalah mengatasi impairment


yang terjadi dan mencegah dan merehabilitasi disabititas serta handicap yang
terjadi akibat proses penyakit yang mendasarinya. Dalam pelaksanaannya
ikut dipertimbangkan aspek-aspek fisik, kemampuan fungsional dan psikososial
penderita. Oleh karena itu pendekatannya dilakukan secara multidisipliner dengan
melibatkan beberapa bidang keahlian yang tercakup dalam bidang rehabilitasi
yaitu : dokter rehabilitasi medik, fisioterapis, terapis okupasi, ortosis-prostesis,
psikolog, ahli terapi wicara dan pekerja sosial medik.

1. Fisioterapi
a. Pencegahan komplikasi akibat immobilisasi / deconditioning
Untuk mencegah timbulnya ulkus dekubitus akibat imobilisasinya dengan :
1) Proper bed positioning, mengatur posisi yang tepat untuk mencegah friksi
dan tekanan berkelamaan pada bagian tubuh yang beresiko untuk terjadi
ulkus dekubitus.
2) Alih baring tiap 2 jam
3) Perawatan higiene kulit.
b. Latihan Lingkup Gerak Sendi ( Range of Motion / ROM)
Latihan diberikan untuk mempertahankan ROM yang normal atau
mendekati normal. Mencegah kontraktur, mempertahankan panjang otot dan
mernperlancar aliran darah pada anggota gerak.
c. Latihan penguatan otot (strengthening exercise)
Diberikan sebagai upaya mempertahankan kekuatan otot-otot trunkus
dan ekstremitas sehingga dapat menyokong tubuh dengan baik terutama saat
berambulasi.
d. Latihan fisioterapi rongga dada
1) Bila diperlukan : Postural drainage dan latihan batuk efektif

26
2) Latihan ekspansi rongga dada
3) Infrared, sebagai pemanasan untuk relaksasi
2. Okupasi Terapi
Pada prinsipnya jenis terapi sama dengan fisioterapi, tetapi pada okupasi
terapi latihan diberikan dalam bentuk kegiatan yang mengandung unsur edukasi
dan rekreasi, sehingga anak tidak bosan atau jenuh, juga dapat meningkatkan
kemampuan dalam perawatan diri serta,meningkatkan ADL (activity daily living)
3. Orthosis-Prostesis
Mengukur dan membuat alat bantu (orthose) yang digunakan baik sebagai
alat imobilisasi untuk mencegah resiko kerusakan pada sisitim saraf tutang
belakang, maupun sebagai alat yang digunakan untuk menyokong tubuh saat
beraktifias. seperti:
1) Brace : taylor brace, TLSO ( thoracolumbal spinal orthose)
2) Alat Bantu jalan : walker, crutch, wheel chair
3) Spinal korset

ASIA Impairment Scale

 A = Complete: No sensory or motor function is preserved in sacral segments


S4-S5
 B = Incomplete: Sensory, but not motor, function is preserved below the
neurologic level and extends through sacral segments S4-S5
 C = Incomplete: Motor function is preserved below the neurologic level, and
most key muscles below the neurologic level have a muscle grade of less
than 3
 D = Incomplete: Motor function is preserved below the neurologic level, and
most key muscles below the neurologic level have a muscle grade that is
greater than or equal to 3
 E = Normal: Sensory and motor functions are normal

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Fitri, Irfani. F. Spondilitis Tuberkulosa Servikalis. Diakses dari


http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/ 28161.
2. Moesbar N, Infeksi Tuberkulosa pada Tulang Belakang. Diakses dari
http://repository.usu.ac.id
3. Hidalgo JA, Alangaden G. Pott’s Disease (Tuberculous Spondylitis).
Available at http://www.emedicine.com/; July 12, 2002.
4. Fang D, Leong J.C, Harry S. Y. Fang. Tuberculosis Of The Upper
Cervical Spine. Department of Orthopaedic Surgery, University of Hong
Kong.
5. WHO Communicable Diseases Cluster. Fixed dose combination tablets for
treatment of tuberculosis. Report of an informal meeting held in Geneve;
April 27, 1999.
6. Tuberculous Spondilytis. Available at http://www.orthoguide.co.id.
Agustus 2002.
7. Salter B. Tuberculous osteomyelitis. In : The Musculoskeletal System. 2nd
Ed. New York : Williams & Wilkins.1984.p.186 – 9.
8. Fang H, Ong GB. Direct anterior approach to the upper cervical spine. J
Bone Joint Surg [Am]. 1962;44-A : 1588-604.
9. Milenković1 s, Saveski J, Hasani I, Late Diagnosed Cervical Spine TBC
Spondylitis: Case Report, Scientific Journal of the Faculty of Medicine in
Niš. 2012;29(4):205-11.
10. Hsu LCS, Leong JCY. Tuberculosis Of The Lower Cervical Spine (C2 to
C7); A report on 40 cases. J Bone Joint Surg Br. 1984; 66:1-5.
11. Li. Y. W. A case of cervical tuberculous spondylitis: an uncommon cause
of neck Pain. Hong Kong Journal of Emergency Medicine. Hong Kong j.
emerg. med. Vol. 14(2). Apr 2007
12. American Spinal Injury Association. International Standards for
Neurological Classifications of Spinal Cord Injury. revised ed. Chicago,
Ill: American Spinal Injury Association; 2000. 1-23.

28

Anda mungkin juga menyukai