Anda di halaman 1dari 43

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

PROGRAM STUDI GEOFISIKA JURUSAN FISIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS GADJAH MADA

TUGAS MATA KULIAH FISIKA GUNUNG API


“MEMPELAJARI GUNUNG BERAPI – GUNUNG MERAPI”

OLEH :

FRANSISKA ATIKA I
10/300798/PA/13367

YOGYAKARTA
OKTOBER
2013
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
BAB I. GUNUNG MERAPI SECARA GLOBAL
I.1. Pengantar Singkat dan Lokasi
I.2. Identitas umum
I.3. Vegetasi
BAB II. GUNUNG MERAPI DARI SEGI KEILMUAN
II.1. Geologi Gunung Merapi
II.2. Tektonisme Gunung Merapi
II.3. Morfologi Gunung Merapi
BAB III. KARAKTERISTIK GUNUNG MERAPI
III.1. Sistem Vulkanis
III.2. Kubah Lava
III.3. AwanPanas
BAB IV. AKTIVITAS GUNUNG MERAPI
IV.1. Sejarah Erupsi
IV.2. Tipe Erupsi
IV.3. Evolusi Erupsi
IV.4. Pengamatan
IV.5. Rekaman Erupsi/Prekursor
BAB V. APLIKASI GEOFISIKA DALAM PENGAMATAN GUNUNG MERAPI
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR

Gb. I.1.1 : Peta Administratif Gunung Merapi


Gb. IV.4.1 : Lokasi Pengambilan Gambar Dari Kamera Untuk Monitoring aktivitas
Gunung Merapi pada Citra Satelit
BAB I
GUNUNG MERAPI SECARA GLOBAL

I.1. Pengantar
Letak Indonesia yang berada pada jalur Ring of Fire membuat Indonesia
kaya akan gunung api yang aktif, salah satunya Gunung Merapi. Gunung Merapi
merupakan Gunung Api paling aktif di Indonesia yang sekitarnya dikelilingi
pemukiman yang cukup padat. Gunung yang berada di provinsi DIY, Indonesia,
ini telah beberapa kali melakukan erupsi dahsyat yang menelan korban jiwa dan
harta benda yang tidak sedikit. Kejadian erupsi Gunung Merapi juga menjadi
perhatian dunia.
Diantara 127 gunungapi aktif yang terletak di Indonesia mungkin Merapi
termasuk yang paling terkenal. Banyak aspek yang membuat gunungapi ini
menarik selain yang pertama tentu saja aktivitas vulkaniknya. Selain itu Merapi
terletak di bagian tengah pulau Jawa tepat berada di jantung budaya Jawa yang
kental sehingga aspek kultural, mitologi dan aspek sosial politiknya juga menarik.
Merapi termasuk sering erupsi (meletus) sehingga secara vulkanologis
menguntungkan untuk menjadi laboratorium alam dalam rangka melakukan
ujicoba berbagai peralatan dan metodologi penelitian. Penduduk yang bermukim
di lereng cukup padat menyebabkan tingkat ancaman bahaya Merapi menjadi
tinggi. Merapi adalah fenomena alam yang mampu memberikan sumber
kehidupan yang baik dari kesuburan tanahnya dan kenyamanan untuk bertempat
tinggal di sana. Lingkungan gunungapi akan membentuk pola masyarakat yang
khas. Masyarakat di lereng Merapi berdasarkan tinjauan sosiologis relatif
homogen dari segi etnisitas dan agama, sebagian besar masih menjalankan tradisi
Jawa, berbahasa jawa, hidup komunal dan mempunyai sifat kekeluargaan gotong
royong, mayoritas mata pencaharian agraris, sebagian kecil bergerak di bidang
pertambangan, kepariwisataan dan pegawai negeri.
Lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah,
yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan
timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara.
Gb. I.1.1 : Peta Administratif Gunung Merapi (sumber:
http://merapi.bgl.esdm.go.id/informasi_merapi.php?page=informasi-merapi&subpage=sekilas-
merapi)

I.2. Identitas umum


a. Tipe : Strato-volcano
b. Petrologi : Magma andesit-basaltik
c. Dimensi : tinggi ~2978 m
d. Diameter : 28 km
e. Luas : 300-400 km2
f. Volume : 150 km3
g. Lokasi geografis : Pulau Jawa
h. Latitude : 7o 32’ 5’‘ S
i. Longitude : 110o 26’ 5’‘ E
j. Posisi administratif : Propinsi Jawa Tengah & Daerah Istimewa Yogyakarta.
k. Kabupaten : Sleman, Magelang, Klaten, Boyolali
l. Konteks geodinamik : Busur kepulauan, subduksi pertemuan lempeng Indo-
australia dengan lempeng Asia
m. Dinamika erupsi : Pertumbuhan kubah lava diikuti guguran awanpanas.
Guguran lava pijar dan jatuhan piroklastik
n. Bahaya utama : Pyroclastic Flow (aliran awanpanas), bahaya sekunder
o. Interval erupsi : Beberapa tahun (dalam 100 tahun terakhir rata-rata 2-5 tahun)
p. Penduduk terancam di Kawasan Rawan Bencana III : ~40.000 jiwa

I.3. Vegetasi
Gunung Merapi di bagian puncak tidak pernah ditumbuhi vegetasi karena
aktivitas yang tinggi. Jenis tumbuhan di bagian teratas bertipe alpina khas
pegunungan Jawa, seperti Rhododendron danedeweis jawa. Agak ke bawah
terdapat hutan bambu dan tetumbuhan pegunungan tropika.
Lereng Merapi, khususnya di bawah 1.000 m, merupakan tempat asal dua
kultivar salak unggul nasional, yaitu salak 'Pondoh' dan 'Nglumut'.
BAB II
GUNUNG MERAPI DARI SEGI KEILMUAN

II.1. Geologi Gunung Merapi


Hasil penelitian stratigrafi menunjukkan sejarah terbentuknya Merapi sangat
kompleks. Wirakusumah (1989) membagi Geologi Merapi menjadi 2 kelompok
besar yaitu Merapi Muda dan Merapi Tua. Penelitian selanjutnya (Berthomier,
1990; Newhall & Bronto, 1995; Newhall et.al, 2000) menemukan unit-unit
stratigrafi di Merapi yang semakin detil. Menurut Berthommier,1990 berdasarkan
studi stratigrafi, sejarah Merapi dapat dibagi atas 4 bagian :
a. PRA MERAPI (+ 400.000 tahun lalu)
Disebut sebagai Gunung Bibi dengan magma andesit-basaltik berumur ±
700.000 tahun terletak di lereng timur Merapi termasuk Kabupaten
Boyolali. Batuan gunung Bibi bersifat andesit-basaltik namun tidak
mengandung orthopyroxen. Puncak Bibi mempunyai ketinggian sekitar
2050 m di atas muka laut dengan jarak datar antara puncak Bibi dan puncak
Merapi sekarang sekitar 2.5 km. Karena umurnya yang sangat tua Gunung
Bibi mengalami alterasi yang kuat sehingga contoh batuan segar sulit
ditemukan.
b. MERAPI TUA (60.000 - 8000 tahun lalu)
Pada masa ini mulai lahir yang dikenal sebagai Gunung Merapi yang
merupakan fase awal dari pembentukannya dengan kerucut belum
sempurna. Ekstrusi awalnya berupa lava basaltik yang membentuk Gunung
Turgo dan Plawangan berumur sekitar 40.000 tahun. Produk aktivitasnya
terdiri dari batuan dengan komposisi andesit basaltic dari awanpanas,
breksiasi lava dan lahar.
c. MERAPI PERTENGAHAN (8000 - 2000 tahun lalu)
Terjadi beberapa lelehan lava andesitik yang menyusun bukit Batulawang
dan Gajahmungkur, yang saat ini nampak di lereng utara Merapi. Batuannya
terdiri dari aliran lava, breksiasi lava dan awan panas. Aktivitas Merapi
dicirikan dengan letusan efusif (lelehan) dan eksplosif. Diperkirakan juga
terjadi letusan eksplosif dengan "de¬bris-avalanche" ke arah barat yang
meninggalkan morfologi tapal-kuda dengan panjang 7 km, lebar 1-2 km
dengan beberapa bukit di lereng barat. Pada periode ini terbentuk Kawah
Pasarbubar
d. MERAPI BARU (2000 tahun lalu - sekarang)
Dalam kawah Pasarbubar terbentuk kerucut puncak Merapi yang saat ini
disebut sebagai Gunung Anyar yang saat ini menjadi pusat aktivitas Merapi.
Batuan dasar dari Merapi diperkirakan berumur Merapi Tua. Sedangkan
Merapi yang sekarang ini berumur sekitar 2000 tahun. Letusan besar dari
Merapi terjadi di masa lalu yang dalam sebaran materialnya telah menutupi
Candi Sambisari yang terletak ± 23 km selatan dari Merapi. Studi stratigrafi
yang dilakukan oleh Andreastuti (1999) telah menunjukkan bahwa beberapa
letusan besar, dengan indek letusan (VEI) sekitar 4, tipe Plinian, telah
terjadi di masa lalu. Letusan besar terakhir dengan sebaran yang cukup luas
menghasilkan Selokopo tephra yang terjadi sekitar sekitar 500 tahun yang
lalu. Erupsi eksplosif yang lebih kecil teramati diperkirakan 250 tahun lalu
yang menghasilkan Pasarbubar tephra. Skema penampang sejarah geologi
Merapi menurut Berthommier, 1990:
http://www.merapi.bgl.esdm.go.id/images_stock/Evolusi%20Morfologi%20
Merapi%20c_52da4a.jpg
Sketsa penampang skematik evolusi Merapi sejak jaman Pra-Merapi sampai saat ini
menurut Berthommier (1990).

Peta menunjukkan sebaran endapan awanpanas Merapi 1911-2006. Hanya


wilayah timur lereng yang bebas dari arah aliran awapanas dalam kurun waktu
tersebut. (Sumber :
http://www.merapi.bgl.esdm.go.id/images_stock/Peta%20Sebaran%20AP%20191
1-2006_796324.JPG)

II.2. Tektonisme Gunung Merapi


Gunung Merapi adalah gunung termuda dalam rangkaian gunung berapi yang mengarah
ke selatan dari Gunung Ungaran. Gunung ini terbentuk karena aktivitas di zona
subduksi Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke bawah Lempeng
Eurasia menyebabkan munculnya aktivitas vulkanik di sepanjang bagian tengah Pulau
Jawa. Puncak yang sekarang ini tidak ditumbuhi vegetasi karena aktivitas vulkanik
tinggi. Puncak ini tumbuh di sisi barat daya puncak Gunung Batulawang yang lebih tua.
Jika kegiatan gunungapi merupakan rangkaian kegiatan tektonik, maka tingginya
aktivitas Merapi tidak lepas dari tingginya tingkat aktivitas kegempaan tektonik di zona
ini. Tiga bulan menjelang terjadinya letusan dahsyat Merapi, Daerah Yogyakarta telah
mengalami peningkatan kegiatan seismik yang yang luar biasa pesat. Tingginya tingkat
aktivitas gempabumi tektonik di sekitar Merapi tercermin dari frekuensi gempabumi
kuat yang seringkali mengguncang Daerah Yogyakarta dan sekitarnya.
Dalam rentang waktu hanya 3 bulan saja sejak Bulan Agustus 2010 Daerah Yogyakarta
telah diguncang 6 kali peristiwa gempabumi tektonik. Gempabumi yang mengguncang
Daerah Yogyakarta dan sekitarnya pada akhir-akhir ini adalah gempabumi tanggal 21
Agustus 2010 (magnitudo 5.0 Skala Richter), 3 September 2010 (magnitudo 5.0 Skala
Richter), 11Oktober 2010 (magnitudo 3.9 Skala Richter), 28 Oktober 2010 (magnitudo
4.0 Skala Richter), dan 28 Oktober 2010 (magnitudo 3.2 Skala Richter).

Seluruh peristiwa gempabumi ini memiliki episetrum di selatan Gunung Merapi


tepatnya di sebelah timur Sesar Opak. Selain gempabumi yang bersumber di selatan
Merapi, juga terdapat peristiwa gempabumi di utara Merapi, yaitu Gempabumi
Magelang tanggal 2 September (magnitudo 3.1 Skala Richter). Gempabumi ini
dirasakan hingga Salatiga, Ambarawa, Banyubiru dan Ungaran.

Fakta mengenai adanya kaitan antara aktivitas gunungapi dengan aktivitas gempabumi
tektonik telah dilaporkan terjadi di berbagai kawasan seismik aktif. Gempabumi Liwa
1932 dan 1994 dilaporkan telah meningkatkan kegiatan vulkanik di Suoh, Lampung
Barat, sementara Gempabumi Nias 2005 juga telah memicu aktifnya Gunung Talang.

Selain tingginya frekuensi aktivitas seismik, secara tektonik regional tingginya aktivitas
Merapi juga disebabkan oleh karena lokasinya yang berdekatan dengan zona sesar. Jika
kita perhatikan peta tektonik, ternyata jalur tunjaman lempeng Indo-Australia menyusup
ke bawah Yogyakarta, sehingga sebaran episentrum gempabumi banyak terdapat di
daerah ini.

Di zona ini dalam kerangka tektonik, selain terdapat jalur tunjaman lempeng juga
terdapat sebaran sesar seperti Sesar Opak, Sesar Progo, Sesar Dengkeng, Sesar Oya dan
masih banyak lagi sistem sesar yang belum dikenali. Di “kompleks Sesar Opak” inilah
pada akhir-akhir ini terjadi peningkatan kegiatan seismik yang terus menerus berupa
gempabumi yang mengguncang Daerah Yogyakarta dan sekitarnya.

Tingginya aktivitas Merapi tampaknya juga dipengaruhi lokasinya yang terletak pada
perpotongan dua sistem sesar lokal. Kedua sesar yang saling berpotongan menurut
Bemmelen (1970) ini adalah sistem sesar yang membujur dalam arah utara-
selatan(transverse fault) yang membentuk kompleks jalur Gunung Merapi, Gunung
Merbabu, dan Gunung Ungaran, dengan sistem sesar berarah barat-timur yang sebut
sebagai ”Sesar Simo”. Karena lokasi Merapi yang terletak di zona perpotongan sesar
inilah diduga jalan keluar bagi magma menjadi lebih mudah.

BAB III
KARAKTERISTIK GUNUNG MERAPI
III.1. Sistem Vulkanis
Ada beberapa factor yang mempengaruhi karakteristik atau perilaku erupsi diantaranya :
(1) sifat magma termasuk komposisi kimia, kekentalan, kandungan gas dan air, (2)
struktur dan dimensi pipa saluran magma dan (3) posisi serta volume kantong magma
yang menentukan besarnya pasokan. Besarnya suplai magma dari zona yang lebih
dalam adalah motor utama dari aktivitas vulkanis dan yang membuat sistim vulkanis
berjalan. Suplai magma Merapi dari kedalaman terkait dengan sistim tektonik yaitu
subduksi oleh tumbukan antara lempeng samudera Indo-australia dan lempeng benua
Asia. Dalam zona subduksi, pada kedalaman antara 60-150 km, terjadi pelelehan karena
tekanan dan suhu tinggi. Pelelehan tersebut memproduksi magma asal, disebut juga
magma primitif. Kedalaman zona pelelehan, tingginya tekanan dan suhu mempengaruhi
jenis atau komposisi kimia magma primitif. Tiga parameter ini menyebabkan
gunungapi-gunungapi di Indonesia mempunyai magma yang komposisinya berbeda satu
sama lain. Magma primitif akan bermigrasi menuju permukaan yang digerakan oleh
energi permukaan dari cairan hasil lelehan, faktor gravitasi dan efek tektonik. Dalam
proses migrasi magma sistim tektonik termasuk evolusinya merupakan faktor penting.
Aktivitas tektonik menghasilkan zona lemah yang memberi kemudahan bagi magma
untuk menerobos mencapai permukaan menjamin kontinuitas suplai magma. Konstelasi
tektonik ini juga yang memungkinkan, dua gunung yang berdekatan bisa berbeda
keadaannya, misalnya yang satu "mati", yang lain sangat aktif.
Erupsi Merapi terjadi relatif sering hal ini ditengarai karena faktor geometri internal
system vulkanis. Dari data kegempaan Merapi, tahun 1991 yang kaya gempa vulkanik
dari berbagai jenis terlihat bahwa distribusi gempa Merapi lateral tidak jauh dari garis
vertikal puncak Merapi ke bawah dan tidak tersebar luas. Pada kedalaman 1.5 - 2 km di
bawah puncak tidak dijumpai adanya hiposenter gempa, demikian pula pada kedalaman
>5 km. Gempa volkano-tektonik (VT) memerlukan medium yang solid dan bisa patah
(brittle) sehingga zona-zona tidak terdapat hiposenter dianggap zona yang lembek
(duktil) karena pengaruh suhu tinggi magma.
Dalam proses perjalanan menuju ke permukaan magma memasuki zona tampungan
magma, dapat disebut sebagai kantong magma atau dapur magma bila ukurannya lebih
besar. Di Merapi terdapat dua zona tampungan magma yang menentukan sifat khas
Merapi. Karena letaknya relatif tidak jauh maka kenaikan tekanan di dapur magma akan
menyebabkan aliran magma menuju kantong magma di atasnya menyebabkan naiknya
tekanan di sana. Dalam hal ini kantong magma berfungsi sebagai katup bagi magma
yang naik ke permukaan. Waktu tenang antar erupsi di Merapi merupakan fase dimana
terjadi proses peningkatan tekanan magma di dalam kantong magma. Apabila tekanan
melebihi batas ambang tertentu magma akan keluar dalam bentuk erupsi explosive atau
efusif berupa pembentukan kubah lava. Volume produk yang dikeluarkan kira-kira
sebesar 0.1% dari volume kantong/dapur magma. Produk erupsi Merapi rata-rata 10 juta
m3 dalam suatu erupsi, bahkan sering di bawah 4 juta m3 yang artinya volume kantong
magma relative kecil. Sangat kecil bila dibandingkan dengan Kilauea dan Reunion yang
dalam sekali fase erupsi mengeluarkan masing–masing >40 juta m3 dan 100 juta m3
lava. Kantong magma dangkal di Merapi menyebabkan hanya dengan peningkatan
tekanan yang tidak terlalu besar sudah dapat mengalirkan magma cukup lancar sampai
permukaan tanpa perlu waktu panjang.
Gambar di atas menunjukkan penampang skematik dari struktur geometri internal
Merapi. Dimensi kantong magma (atas) dan dapur magma (bawah) adalah perkiraan.

III.2. Kubah Lava


III.3. Magma yang sudah sampai di permukaan dapat mengalir
turun ke lereng atau langsung membeku di puncak. Untuk lava
yang bersifat sangat cair proses pembekuan di permukaan
berjalan lambat dan endapannya dikenal sebagai "lava flow" atau
"coulee" umumnya lava basalt mempunyai perilaku itu. Volume
dan kekentalan menentukan jarak jangkau aliran lava yang
bervariasi dari antara 3 sampai 25 km dan dapat mencapai lebih
dari 100 km. Lava kental (trakitik atau riolitik), jarak jangkau
alirannya tidak lebih dari 2-3 km dengan ketebalan 100-an m.
III.4. Pada gunungapi dengan magma yang cukup kental, lava
membentuk apa yang disebut "lava block", bongkahan lava
dengan permukaan tidak teratur. Dalam posisi tertentu, apabila
kecepatan keluarnya lava cukup lambat, lava dapat langsung
tertumpuk di permukaan kemudian membeku membentuk kubah
lava atau "dome". Dapat dililiat bahwa antara kekentalan lava
dan sifat alirannya ada hubungannya yaitu aliran yang sangat
encer dengan jarak jangkau yang panjang dengan ketebalan
kecil, sampai aliran sangat kental dengan jarak jangkau pendek,
bahkan hanya berupa kubah dengan ketebalan yang besar. Lava
yang sangat kental dapat membeku begitu sampai permukaan
membentuk "sumbat lava".
III.5. Aliran lava Merapi menempati posisi transisi antara aliran
lava fluida dan pembentukan sumbat lava. Apabila lava keluar
dan menempati suatu posisi yang miring, misalnya di pinggir
kawah utama, lava akan membentuk "lidah lava" karena proses
aliran lava sangat pelan yang kemudian cepat membeku. Apabila
lava keluar pada permukaan yang datar, kubah lava Merapi akan
berbentuk tempurung terbalik dengan sisi-sisi yang relatif
simetris. Kubah lava mempunyai bentuk yang khas yaitu simetris
dinyatakan sebagai relasi antara tinggi kubah dan jari-jari kubah.
Relasi tersebut tetap dan tidak tergantung dari volume kubah
yang terbentuk. Dari data foto kubah yang terbentuk pada bulan
Januari 1992, kubah Merapi mempunyai relasi tinggi (H) dan jari-
jari dasar (R) = 4.8. Semakin kental magma semakin besar nilai
relasi H/R. Pada proses pembentukan lidah lava, ketinggian
kubah bertambah secara perlahan contohnya pada 1994, saat
panjang kubah berkembang dari 300 m menjadi sekitar 460 m,
tinggi kubah hanya bertambah dari 32 m menjadi 47 m.
Perkembangan panjang kubah lebih cepat sekitar 10 kali lipat
dari perkembangan tinggi kubah.
III.6. Pembentukan kubah lava Merapi terjadi dalam laju yang
bervariasi. Dalam masa krisis atau biasanya dalam beberapa
bulan sesudah terjadi letusan, arus keluarnya lava cukup lancar
dan pembentukan kubah lava terjadi dalam laju yang cepat.
Dalam beberapa kasus, pertumbuhan kubah lava terjadi secara
perlahan. Sebagai contoh pada periode Maret-April 1994,
pertumbuhan terjadi secara lambat dengan laju keluar lava
sebesar 6.500 m3 per hari. Pada periode Mei-Juni 1994,
pertumbuhan terjadi lebih cepat dengan laju keluar lava sebesar
17.000 m3 per hari. Laju keluar lava Merapi dalam pembentukan
kubah lava selama ini, sejauh pernah teramati, tidak pernah
melebihi 20.000 m3 per hari.
III.7. Kubah lava Merapi, yang berbentuk lidah lava maupun
kubah simetris, mempunyai bagian luar (kulit) berwarna hitam
yang keras tersusun dari batuan lava beku disebut kerak dengan
tebal 1 -2 m. Apabila terbuka lava terlihat masih merah
membara. Bagian dalam bersifat sedikit liat dengan suhu yang
tinggi menunjukan masih terjadi suplai magma baru dan akan
terjadi proses deformasi kubah lava. Apabila tidak ada suplai
baru, lama kelamaan kubah akan membeku seluruhnya dan
proses perubahan bentuknya terhenti.
III.8. Proses deformasi kubah merupakan proses perubahan
bentuk kubah karena ada tambahan lava atau proses "mengalir"
dari lava di dalamnya. Pada lava Merapi proses pembentukan
lidah terjadi karena bagian dalam kubah masih Liat. Magma yang
masih liat cenderung bergerak sehingga menambah panjang
lidah lava. Pada saat bergerak, kulit atau kerak kubah mengalami
perubahan morfologi karena ada aliran di dalamnya.
Kadangkadang teramati juga bahwa morfologi kubah tidak
berubah banyak tetapi panjang kubah bertambah. Pada saat
ekor kubah (bagian ujung bawah lidah kubah) membeku maka
proses perkembangan panjang kubah berhenti. Pada saat
tersebut tinggi kubah pada bagian atasnya akan bertambah
karena magma yang terus keluar secara perlahan. Pada fase
awal pembentukan kubah (lidah lava) perubahan bentuk kubah
hanya berupa pertambahan panjangnya dan tinggi kubah tidak
akan berubah. Proses dalam fase awal ini dapat berjalan
beberapa bulan. Fase berikutnya yaitu panjang dan tinggi kubah
bertambah. Fase ketiga yaitu tinggi kubah bertambah tapi
panjangnya tetap.
III.9. Perkembangan tinggi kubah tidak akan berlangsung terus
menerus dengan laju yang sama walaupun suplai magma terus
bertambah. Dapat dibayangkan bahwa pada saat kubah
bertambah tingginya, tekanan litostatik didasar kubah juga
bertambah demikian sehingga magma juga harus melakukan
usaha yang lebih besar untuk mengangkat kubah di atasnya.
Itulah sebabnya, semakin lama pertambahan tinggi kubah
semakin lambat. Pada fase ini tubuh kubah cenderung akan lebih
gemuk karena magma/lava akan cenderung menekan ke sisi-sisi
sampingnya. Pada suatu saat tercapai ketinggian tertentu, di
mana pada dasar kubah bekerja tekanan lithostatik material
kubah yang setara dengan tekanan magma yang berada di
bawah kubah. Pada situasi tersebut pertumbuhan kubah akan
berhenti. Uraian ini berarti bahwa pada saat perkembangan
kubah berhenti bukan berarti suplai magma yang keluar terhenti,
hanya saja ada kemungkinan tekanan magma tidak cukup lagi
mampu meningkatkan besarnya kubah.
III.10. Fase kritis dalam hubungannya dengan bahaya gugurnya
kubah terjadi pada saat perkembangan kubah melambat dan
tinggi kubah tidak bertambah lagi. Pada fase ini tekanan dari
bawah akan terkumulasi. Apabila proses akumulasi cepat, maka
pada saat tertentu tekanan litostatik tidak dapat lagi menahan
tekanan dari bawah yang dapat mengakibatkan gugurnya kubah.
Begitu kubah gugur maka tekanan magma yang semula
terimbangi oleh tekanan litostatik tubuh kubah secara mendadak
kehilangan tekanan penahannya sehingga terjadi letusan.
Apabila fase kritis tersebut terlewati, maka kubah akan membeku
dan kubah menjadi cukup kuat untuk menahan laju keluarnya
magma baru. Maka proses berikutnya adalah bahwa magma
akan mencari jalan keluar baru yang biasanya disamping kubah
yang telah terbentuk.
III.11. Kubah yang sudah membeku dapat gugur, sebagaimana
yang terjadi pada kubah lava yang terbentuk tahun 1957 telah
gugur karena terdesak oleh magma yang keluar pada menjelang
letusan tahun 1998. Desakan magma dari bawah merupakan
faktor yang penting untuk menggugurkan sebuah kubah lava
yang telah beku (= tidak aktif lagi). Proses yang teramati di
Merapi yaitu bahwa magma dapat terpaksa menerobos keluar
dengan mendesak kubah lava yang di atasnya apabila kawah
memang sudah penuh oleh material lava. Dalam mencari jalan
keluar, kubah lava lama dapat menjadi titik-titik lemah bagi
keluarnya magma baru ke permukaan.
III.12. Pengaruh hujan besar artinya bagi kestabilan kubah lava.
Hal ini berlaku hanya pada kubah lava aktif. Sedangkan untuk
kubah lama, intensitas curah hujan yang tinggi hanya akan
mengkikis permukaannya atau kalaupun sampai merontokkan
kubah, proses runtuhnya kubah akan berlangsung mulai dari
permukaan. Lain halnya untuk kubah lava aktif, air hujan yang
meresap masuk ke dalam kubah lava akan menemui suhu kubah
yang tinggi dan segera berubah menjadi uap dengan tekanan
yang tinggi. Tekanan uap air tersebut mengurangi daya ikat
antara material di dalam kubah yang dapat mempermudah
terjadinya longsoran. Berbeda dengan pengaruh hujan pada
kubah lava lama, pada kubah aktif hujan menyebabkan
longsoran yang prosesnya berlangsung dari dalam kubah.
Kejadian longsoran kubah aktif semacam ini tidak perlu didahului
oleh munculnya gempa-gempa karena semua proses terjadi di
bagian permukaan dan dapat berlangsung secara cepat.
III.13. Faktor lain yang mempengaruhi kestabilan kubah adalah
gravitasi. Hampir seluruh kubah lava di puncak Merapi berbentuk
kubah lava. Tubuh kubah terutama 2/3 bagian ke bawah
menempel pada lereng dengan kemiringan sekitar 380. Kubah
tidak meluncur ke bawah karena tubuhnya terikat oleh yang 1/3
bagian atas, yang biasanya tidak pada posisi miring, dan oleh
gaya gesek antara kubah dan lereng. Gaya yang mendorong
kubah untuk longsor adalah komponen gaya dari beratnya
sendiri yang sejajar dengan lereng. Apabila kubah masih
berkembang komponen gaya berat tersebut akan dapat menjadi
besar dan dapat melebihi gaya gesek lereng sehingga longsoran
dapat terjadi. Untuk kubah yang tidak berkembang lagi, atau
sudah diam beberapa bulan lamanya, apabila tidak terjadi hujan
dan tidak ada dorongan dari magma dari dalam maka tidak
terjadi longsoran kubah. Hal ini berarti bahwa faktor gravitasi
secara sendirian tidak berpengaruh banyak dalam longsoran
kubah.
III.14.
III.15. Sketsa karakteristik pembentukan kubah dan proses
terjadinya awanpanas. Perbandingan antara kejadian tahun 1992
dan tahun 1994 (Ratdomopurbo,2000).

Perubahan kubah lava Gunung merapi pasca erupsi (sumber:


http://images.detik.com/content/2013/07/30/10/121244_merapi.jpg dan
http://www.merapi.bgl.esdm.go.id/images_stock/thumb_Kubah%201930_1
d73d2.jpg et all.)
III.16. AwanPanas

Istilah awanpanas dipakai untuk menyebut aliran suspensi dari batu, kerikil,
abu, pasir dalam suatu masa gas vulkanik panas yang keluar dari gunungapi
dan mengalir turun mengikuti lerengnya dengan kecepatan bisa lebih dari 100
km per jam sejauh puluhan km. Aliran turbulen tersebut dari jauh tampak
seperti awan bergulung-gulung menuruni lereng gunungapi dan bila terjadi
malam hari terlihat membara. Awanpanas biasanya tidak segemuruh longsoran
biasa karena tingginya tekanan gas pada material menyebabkan benturan antar
batu-batu atau material di dalam awanpanas tidak terjadi dengan kata lain
benturan teredam oleh gas. Penduduk sekitar Merapi menyebut awanpanas
sebagai wedhus gembel dalam bahasa Jawa berarti domba karena secara visual
kenampakan awanpanas seperti domba-domba menyusuri lereng. Istilah ini
diperkirakan telah dipakai sejak berabad-abad oleh penduduk setempat (lebih
tua dari pada istilah nuee-ardente).

Awanpanas Merapi dibedakan atas awanpanas letusan dan awanpanas


guguran. Awan panas letusan terjadi karena hancuran magma oleh suatu
letusan. Partikel-partikel terlempar secara vertical dan horizontal. Kekuatan
penghancuran material magma saat letusan ditentukan oleh kandungan gas
vulkanik dalam magma. Awanpanas guguran terjadi akibat runtuhnya kubah
lava bersuhu sekitar 500-600°C oleh tekanan magma dan pengaruh gravitasi.
Proses awal yang memicu longsornya kubah dapat di timbulkan oleh tiga sebab
:

1. Longsor biasa yang sebagaimana sering terjadi di daerah lereng-lereng


pegunungan. Peranan hujan menjadi faktor utama yang menimbulkan
ketidakstabilan. Di daerah lereng pegunungan air hujan masuk dalam struktur
tanah dan memperkecil gaya gesek pada bidang gelincir sehingga tidak dapat
lagi menahan berat lereng. Dalam hal kubah lava Gunung Merapi, air hujan
yang masuk ke dalam kubah lava mengalami pemanasan sehingga menjadi gas
yang bertekanan cukup tinggi untuk mengganggu kestabilan kubah. Kohesi
material penyusun tubuh kubah lava mengecil sehingga mudah muncul
longsoran kecil maupun besar.

2. Longsoran dipicu oleh suatu letusan kecil (lokal) yang terjadi di kubah lava.
Gas bertekanan tinggi dalam kubah lava dapat memicu terjadinya letusan kecil
setempat yang terjadi di permukaan kubah lava. Tekanan yang dilepaskan
secara mendadak dapat mengganggu kestabilan kubah secara keseluruhan
sehingga kubah dapat mengalami longsoran besar.

3. Longsornya kubah dapat pula karena adanya dorongan dari bawah yaitu dari
pipa magma gunungapi sehingga kubah lava bergeser dan akhirnya longsor.
Karena adanya faktor gravitasi, tekanan dari bawah yang tidak terlalu besar
sudah cukup untuk mengganggu kestabilan kubah.

Karena awanpanas jenis ini terbentuk terutama karena pembongkaran kubah


lava yang sudah ada sebelumnya oleh proses gravitasi, fragmen penyusun
awan panasnya relatif besar. Demikian pula kekuatan luncurnya terutama
hanya oleh beratnya sendiri sehingga jangkauan atau jarak luncurnya tidak
begitu besar. Kecenderungan arah luncuran masa awanpanas ditentukan oleh
arah aliran-aliran hulu sungai di lereng gunungapi yang berada di bawah posisi
kubah lava yang terluncurkan. Material beratnya akan meluncur di dalam alur
sungai, sedangkan awan yang kelihatan bergulung-gulung akan menyelimuti
aliran masa awan panas dan melebar ke tepian alur hulu sungai di kiri kanan
dari alur tersebut. Jarak jangkau awanpanas ditentukan oleh kecepatan alirnya
yang tergantung pada morfologi dan kelerengan/ gradien alur lembah sungai.
Kekuatan awanpanas dalam membawa material berukuran besar dan
bongkahan bongkahan merupakan ciri utama dari alirannya. Endapan
awanpanas tersusun dari dua bagian, yaitu bagian bawah, beberapa meter atau
puluhan meter tebalnya, biasanya di dasar lembah sungai terdiri dari material
berbutir kasar. Bagian atas terdiri dari endapan material abu. Menurut Fisher &
Schmincke (1984), endapan awanpanas bervariasi dan mencerminkan berbagai
tipe letusan dan pengendapan. Kejadian letusan awanpanas itu sendiri dapat
menghasilkan asosiasi endapan awanpanas dan piroklastik surge atau hanya
awanpanas atau piroklastik surge saja. Perbedaan dari dua jenis endapan ini
terlihat dari pemilahan dan struktur endapannya. Endapan awanpanas terpilah
buruk dan masif sedangkan piroklastik surge mempunyai pemilahan butir yang
lebih baik, berukuran lebih halus dan memiliki struktur lapisan. Proses
pengendapan awanpanas terjadi pada dasar lembah dan menjauh dari sumber
endapannya akan menebal.

Awanpanas yang terjadi di Gunung Merapi umumnya termasuk dalam awan


panas guguran. Gaya berat kubah lava atau bagian dari kubah lava yang runtuh
menentukan laju dari awan panas. Semakin besar volume yang runtuh akan
semakin cepat laju awanpanas dan semakin jauh jarak jangkaunya. Pada
umumnya kubah lava yang terbentuk di puncak berbentuk memanjang
menjulur ke arah lerengnya. Orientasi dari kubah lava ini yang menentukan
arah awanpanas yang akan terjadi. Namun demikian kubah lava di puncak
Merapi tidak tunggal dalam arti ada banyak kubah lava yang tidak runtuh dan
kemudian menjadi bagian dari morfologi puncak gunung Merapi. Ada
kecenderungan bahwa kubah lava yang lebih baru lebih tidak stabil dibanding
kubah lava yang lebih dulu terbentuk. Kestabilan kubah lava juga sangat
tergantung dari keadaan dasar kawah di mana suatu kubah terbentuk.

Suhu awan panas dipelajari dengan menganalisa arang kayu dari pepohonan
yang terlanda awanpanas dan kemudian terbenam dalam endapan awanpanas.
Pengambilan contoh arang dilakukan dari endapan awanpanas yang ada,
terutama pada endapan tua. Suhu awanpanas Gunung Merapi, dibandingkan
dengan awanpanas dari gunung lain dengan letusan yang lebih besar, tidak
begitu tinggi. Dari analisa diperoleh data bahwa suhu awanpanas Merapi hanya
sekitar 250°C. Walaupun data ini baru dari contoh yang terbatas, hasil ini
menunjukkan bahwa suhu awanpanas Merapi minimal 250°C.

BAB IV
AKTIVITAS GUNUNG MERAPI
IV.1. Sejarah Erupsi
Aktivitas Merapi telah bersifat letusan efusif (lelehan) dan eksplosif.
Diperkirakan juga terjadi letusan eksplosif dengan runtuhan material
ke arah barat yang meninggalkan morfologi tapal kuda dengan panjang
7 km, lebar 1-2 km dengan beberapa bukit di lereng barat. Kawah
Pasarbubar (atau Pasarbubrah) diperkirakan terbentuk pada masa ini.
Puncak Merapi yang sekarang, Puncak Anyar, baru mulai terbentuk
sekitar 2000 tahun yang lalu. Dalam perkembangannya, diketahui
terjadi beberapa kali letusan eksplosif dengan VEI 4 berdasarkan
pengamatan lapisan tefra.
Karakteristik letusan sejak 1953 adalah desakan lava ke
puncak kawah disertai dengan keruntuhan kubah lava secara periodik
dan pembentukan awan panas (nuée ardente) yang dapat meluncur di
lereng gunung atau vertikal ke atas. Letusan tipe Merapi ini secara
umum tidak mengeluarkan suara ledakan tetapi desisan. Kubah puncak
yang ada sampai 2010 adalah hasil proses yang berlangsung sejak
letusan gas 1969.
Pakar geologi pada tahun 2006 mendeteksi adanya ruang raksasa di
bawah Merapi berisi material seperti lumpur yang secara "signifikan
menghambat gelombang getaran gempa bumi". Para ilmuwan
memperkirakan material itu adalah magma. Kantung magma ini
merupakan bagian dari formasi yang terbentuk akibat
menghunjamnya Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia.

Tipe erupsi Gunung Merapi dapat dikategorikan sebagai tipe Vulkanian


lemah. Tipe lain seperti Plinian (contoh erupsi Vesuvius tahun 79) merupakan
tipe vulkanian dengan daya letusan yang sangat kuat. Erupsi Merapi tidak begitu
eksplosif namun demikian aliran piroklastik hampir selalu terjadi pada setiap
erupsinya. Secara visual aktivitas erupsi Merapi terlihat melalui proses yang
panjang sejak dimulai dengan pembentukan kubah lava, guguran lava pijar dan
awanpanas (pyroclastic flow).

Merapi termasuk gunungapi yang sering meletus. Sampai Juni 2006, erupsi yang
tercatat sudah mencapai 83 kali kejadian. Secara rata-rata selang waktu erupsi
Merapi terjadi antara 2 – 5 tahun (periode pendek), sedangkan selang waktu
periode menengah setiap 5 – 7 tahun. Merapi pernah mengalami masa istirahat
terpanjang selama >30 tahun, terutama pada masa awal keberadaannya sebagai
gunungapi. Memasuki abad 16 kegiatan Merapi mulai tercatat cukup baik. Pada
masa ini terlihat bahwa waktu istirahat terpanjang pernah dicapai selama 71
tahun ketika jeda antara tahun 1587 sampai dengan tahun 1658.
http://www.merapi.bgl.esdm.go.id/images_stock/Sejarah%20letusan%20M
erapi%20a_e87761.jpg

Sejarah letusan gunung Merapi mulai dicatat (tertulis) sejak tahun 1768.
Namun demikian sejarah kronologi letusan yang lebih rinci baru ada pada akhir
abad 19. Ada kecenderungan bahwa pada abad 20 letusan lebih sering
dibanding pada abad 19. Hal ini dapat terjadi karenapencatatan suatu peristiwa
pada abad 20 relatif lebih rinci. Pemantauan gunungapi juga baru mulai aktif
dilakukan sejak awal abad 20. Selama abad 19 terjadi sekitar 20 letusan, yang
berarti interval letusan Merapi secara rata-rata lima tahun sekali. Letusan
tahun 1872 yang dianggap sebagai letusan terakhir dan terbesar pada abad 19
dan 20 telah menghasilkan Kawah Mesjidanlama dengan diameter antara 480-
600m. Letusan berlangsung selama lima hari dan digolongkan dalam kelas D.
Suara letusan terdengar sampai Kerawang, Madura dan Bawean. Awanpanas
mengalir melalui hampir semua hulu sungai yang ada di puncak Merapi yaitu
Apu, Trising, Senowo, Blongkeng, Batang, Woro, dan Gendol. Awanpanas dan
material produk letusan menghancurkan seluruh desa-desa yang berada di atas
elevasi 1000m. Pada saat itu bibir kawah yang terjadi mempunyai elevasi
2814m (;bandingkan dengan saat ini puncak Merapi terletak pada elevasi
2968m). Dari peristiwa-peristiwa letusan yang telah lampau, perubahan
morfologi di tubuh Gunung dibentuk oleh lidah lava dan letusan yang relatif
lebih besar. Gunung Merapi merupakan gunungapi muda. Beberapa tulisan
sebelumnya menyebutkan bahwa sebelum ada Merapi, telah lebih dahuiu ada
yaitu Gunung Bibi (2025m), lereng timurlaut gunung Merapi. Namun demikian
tidak diketahui apakah saat itu aktivitas vulkanik berlangsung di gunung Bibi.
Dari pengujian yang dilakukan, G. Bibi mempunyai umur sekitar 400.000 tahun
artinya umur Merapi lebih muda dari 400.000 tahun. Setelah terbentuknya
gunung Merapi, G. Bibi tertimbun sebagian sehingga saat ini hanya kelihatan
sebagian puncaknya. Periode berikutnya yaitu pembentukan bukit Turgo dan
Plawangan sebagai awal lahirnya gunung Merapi. Pengujian menunjukkan
bahwa kedua bukit tersebut berumur sekitar maksimal 60.000 tahun
(Berthomrnier, 1990). Kedua bukit mendominasi morfologi lereng selatan
gunung Merapi.

Pada elevasi yang lebih tinggi lagi terdapat satuan-satuan lava yaitu bukit
Gajahmungkur, Pusunglondon dan Batulawang yang terdapat di lereng bagian
atas dari tubuh Merapi. Susunan bukit-bukit tersebut terbentuk paling lama
pada, 6700 tahun yang lalu (Berthommier,1990). Data ini menunjukkan bahwa
struktur tubuh gunung Merapi bagian atas baru terbentuk dalam orde ribuan
tahun yang lalu. Kawah Pasarbubar adalah kawah aktif yang menjadi pusat
aktivitas Merapi sebelum terbentuknya puncak.

Diperkirakan bahwa bagian puncak Merapi yang ada di atas Pasarbubar baru
terbentuk mulai sekitar 2000 tahun lalu. Dengan demikian jelas bahwa tubuh
gunung Merapi semakin lama semakin tinggi dan proses bertambahnya tinggi
dengan cepat nampak baru beberapa ribu tahun lalu. Tubuh puncak gunung
Merapi sebagai lokasi kawah aktif saat ini merupakan bagian yang paling muda
dari gunung Merapi. Bukaan kawah yang terjadi pernah mengambil arah
berbeda-beda dengan arah letusan yang bervariasi. Namun demikian sebagian
letusan mengarah ke selatan, barat sampai utara. Pada puncak aktif ini kubah
lava terbentuk dan kadangkala terhancurkan oleh letusan. Kawah aktif Merapi
berubah-ubah dari waktu ke waktu sesuai dengan letusan yang terjadi.
Pertumbuhan kubah lava selalu mengisi zona-zona lemah yang dapat berupa
celah antara lava lama dan lava sebelumnya dalam kawah aktif Tumbuhnya
kubah ini ciapat diawali dengan letusan ataupun juga sesudah letusan. Bila
kasus ini yang terjadi, maka pembongkaran kubah lava lama dapat terjadi
dengan membentuk kawah baru dan kubah lava baru tumbuh dalam kawah hasil
letusan. Selain itu pengisian atau tumbuhnya kubah dapat terjadi pada tubuh
kubah lava sebelumnya atau pada perbatasan antara dinding kawah lama
dengan lava sebelumnya. Sehingga tidak mengherankan kawahkawah letusan di
puncak Merapi bervariasi ukuran maupun lokasinya. Sebaran hasil letusan juga
berpengaruh pada perubahan bentuk morfologi, terutama pada bibir kawah dan
lereng bagian atas. Pusat longsoran yang terjadi di puncak Merapi, pada tubuh
kubah lava biasanya pada bagian bawah yang merupakan akibat dari
terdistribusikannya tekanan di bagian bawah karena bagian atas masih cukup
kuat karena beban material.

Lain halnya dengan bagian bawah yang akibat dari desakan menimbulkan zona-
zona lemah yang kemudian merupakan pusat-pusat guguran. Apabila pengisian
celah baik oleh tumbuhnya kubah masih terbatas jumlahnya, maka arah
guguran lava masih dapat terkendali dalam celah yang ada di sekitarnya.
Namun apabila celah-celah sudah mulai penuh maka akan terjadi
penyimpangan-penyimpangan tumbuhnya kubah. Sehingga pertumbuhan kubah
lava yang sifat menyamping (misal, periode 1994 - 1998) akan mengakibatkan
perubahan arah letusan. Perubahan ini juga dapat terjadi pada jangka waktu
relatif pendek dan dari kubah lava yang sama. Pertumbuhan kubah lava ini
berkembang dari simetris menjadi asimetris yang berbentuk lidah lava. Apabila
pertumbuhan menerus dan kecepatannya tidak sama, maka lidah lava tersebut
akan mulai membentuk morfologi bergelombang yang akhirnya menjadi sejajar
satu sama lain namun masih dalam satu tubuh. Alur pertumbuhannya pada
suatu saat akan mencapai titik kritis dan menyimpang menimbulkan guguran
atau longsoran kubah. Kronologi semacam ini teramati pada th 1943 (April
sampai Mei 1943).

Penumpukan material baru di daerah puncak akibat dari pertumbuhan kubah


terutama terlihat dari perubahan ketinggian maksimum dari puncak Merapi.
Beberapa letusan yang dalam sejarah telah mengubah morfologi puncak antara
lain letusan periode 18221823 yang menghasilkan kawah berdiameter 600m,
periode 1846 - 1848 (200m), periode 1849 (250 - 400m), periode 1865 - 1871
(250m), 1872 - 1873 (480 - 600 m), 1930, 1961.

Sketsa penampang skematik evolusi Merapi sejak jaman Pra-Merapi sampai saat ini
menurut Berthommier (1990). (Sumber:
http://merapi.bgl.esdm.go.id/informasi_merapi.php?page=informasi-
merapi&subpage=sejarah)

Puncak Merapi pada tahun 1930.

Letusan-letusan kecil terjadi tiap 2-3 tahun, dan yang lebih besar sekitar
10-15 tahun sekali. Letusan-letusan Merapi yang dampaknya besar tercatat pada
tahun 1006 (dugaan), 1786, 1822, 1872, dan 1930. Letusan pada
tahun 1006 membuat seluruh bagian tengah Pulau Jawa diselubungi abu,
berdasarkan pengamatan timbunan debu vulkanik.[7] Ahli geologi Belanda, van
Bemmelen, berteori bahwa letusan tersebut menyebabkan pusatKerajaan
Medang (Mataram Kuno) harus berpindah ke Jawa Timur. Letusan pada tahun
1872 dianggap sebagai letusan terkuat dalam catatan geologi modern dengan
skala VEI mencapai 3 sampai 4. Letusan terbaru, 2010, diperkirakan juga
memiliki kekuatan yang mendekati atau sama. Letusan tahun 1930, yang
menghancurkan tiga belas desa dan menewaskan 1400 orang, merupakan letusan
dengan catatan korban terbesar hingga sekarang.[rujukan?]
Letusan bulan November 1994 menyebabkan luncuran awan panas ke
bawah hingga menjangkau beberapa desa dan memakan korban 60 jiwa
manusia. Letusan 19 Juli 1998 cukup besar namun mengarah ke atas sehingga
tidak memakan korban jiwa. Catatan letusan terakhir gunung ini adalah pada
tahun 2001-2003 berupa aktivitas tinggi yang berlangsung terus-menerus. Pada
tahun 2006 Gunung Merapi kembali beraktivitas tinggi dan sempat menelan dua
nyawa sukarelawan di kawasan Kaliadem karena terkena terjangan awan panas.
Rangkaian letusan pada bulan Oktober dan November 2010 dievaluasi sebagai
yang terbesar sejak letusan 1872[8] dan memakan korban nyawa 273 orang (per
17 November 2010)[9], meskipun telah diberlakukan pengamatan yang intensif
dan persiapan manajemen pengungsian. Letusan 2010 juga teramati sebagai
penyimpangan dari letusan "tipe Merapi" karena bersifat eksplosif disertai suara
ledakan dan gemuruh yang terdengar hingga jarak 20-30 km.
Gunung ini dimonitor non-stop oleh Pusat Pengamatan Gunung Merapi di
Kota Yogyakarta, dibantu dengan berbagai instrumen geofisika telemetri di
sekitar puncak gunung serta sejumlah pos pengamatan visual dan pencatat
kegempaan di Ngepos (Srumbung), Babadan, dan Kaliurang.
Erupsi 2006[sunting | sunting sumber]
Di bulan April dan Mei 2006, mulai muncul tanda-tanda bahwa Merapi
akan meletus kembali, ditandai dengan gempa-gempa dan deformasi. Pemerintah
daerah Jawa Tengah dan DI Yogyakartasudah mempersiapkan upaya-upaya
evakuasi. Instruksi juga sudah dikeluarkan oleh kedua pemda tersebut agar
penduduk yang tinggal di dekat Merapi segera mengungsi ke tempat-tempat
yang telah disediakan.
Pada tanggal 15 Mei 2006 akhirnya Merapi meletus. Lalu pada 4 Juni,
dilaporkan bahwa aktivitas Gunung Merapi telah melampaui status awas.
Kepala BPPTK Daerah Istimewa Yogyakarta, Ratdomo Purbo menjelaskan
bahwa sekitar 2-4 Juni volume lava di kubah Merapi sudah mencapai 4 juta
meter kubik - artinya lava telah memenuhi seluruh kapasitas kubah Merapi
sehingga tambahan semburan lava terbaru akan langsung keluar dari kubah
Merapi.
1 Juni, Hujan abu vulkanik dari luncuran awan panas Gunung Merapi yang
lebat, tiga hari belakangan ini terjadi di Kota Magelang dan Kabupaten
Magelang, Jawa Tengah. Muntilan sekitar 14 kilometer dari Puncak Merapi,
paling merasakan hujan abu ini. [10]
8 Juni, Gunung Merapi pada pukul 09:03 WIB meletus dengan
semburan awan panas yang membuat ribuan warga di wilayah lereng Gunung
Merapi panik dan berusaha melarikan diri ke tempat aman. Hari ini tercatat dua
letusan Merapi, letusan kedua terjadi sekitar pukul 09:40 WIB. Semburan awan
panas sejauh 5 km lebih mengarah ke hulu Kali Gendol (lereng selatan) dan
menghanguskan sebagian kawasan hutan di utara Kaliadem di
wilayah Kabupaten Sleman. [11]
Erupsi 2010[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Letusan Gunung Merapi 2010
Peningkatan status dari "normal aktif" menjadi "waspada" pada tanggal 20
September 2010 direkomendasi oleh Balai Penyelidikan dan Pengembangan
Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta. Setelah sekitar satu bulan,
pada tanggal 21 Oktober status berubah menjadi "siaga" sejak pukul 18.00 WIB.
Pada tingkat ini kegiatan pengungsian sudah harus dipersiapkan. Karena
aktivitas yang semakin meningkat, ditunjukkan dengan tingginya frekuensi
gempa multifase dan gempa vulkanik, sejak pukul 06.00 WIB tangggal 25
Oktober BPPTK Yogyakarta merekomendasi peningkatan status Gunung Merapi
menjadi "awas" dan semua penghuni wilayah dalam radius 10 km dari puncak
harus dievakuasi dan diungsikan ke wilayah aman.
Erupsi pertama terjadi sekitar pukul 17.02 WIB tanggal 26 Oktober.
Sedikitnya terjadi hingga tiga kali letusan. Letusan menyemburkan material
vulkanik setinggi kurang lebih 1,5 km dan disertai keluarnya awan panas yang
menerjang Kaliadem, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan,
Sleman.[12] dan menelan korban 43 orang, ditambah seorang bayi dari
Magelang yang tewas karena gangguan pernapasan.
Sejak saat itu mulai terjadi muntahan awan panas secara tidak teratur.
Mulai 28 Oktober, Gunung Merapi memuntahkan lava pijar yang muncul hampir
bersamaan dengan keluarnya awan panas pada pukul 19.54
WIB.[13] Selanjutnya mulai teramati titik api diam di puncak pada tanggal 1
November, menandai fase baru bahwa magma telah mencapai lubang kawah.
Namun demikian, berbeda dari karakter Merapi biasanya, bukannya terjadi
pembentukan kubah lava baru, malah yang terjadi adalah peningkatan aktivitas
semburan lava dan awan panas sejak 3 November. Erupsi eksplosif berupa
letusan besar diawali pada pagi hari Kamis, 4 November 2010, menghasilkan
kolom awan setinggi 4 km dan semburan awan panas ke berbagai arah di kaki
Merapi. Selanjutnya, sejak sekitar pukul tiga siang hari terjadi letusan yang tidak
henti-hentinya hingga malam hari dan mencapai puncaknya pada dini hari Jumat
5 November 2010. Menjelang tengah malam, radius bahaya untuk semua tempat
diperbesar menjadi 20 km dari puncak. Rangkaian letusan ini serta suara
gemuruh terdengar hingga Kota Yogyakarta (jarak sekitar 27 km dari
puncak), Kota Magelang, dan pusat Kabupaten Wonosobo (jarak 50 km). Hujan
kerikil dan pasir mencapai Kota Yogyakarta bagian utara, sedangkan hujan abu
vulkanik pekat melanda hingga Purwokerto dan Cilacap. Pada siang harinya,
debu vulkanik diketahui telah
mencapai Tasikmalaya, Bandung,[14] dan Bogor.[15]
Bahaya sekunder berupa aliran lahar dingin juga mengancam kawasan
lebih rendah setelah pada tanggal 4 November terjadi hujan deras di sekitar
puncak Merapi. Pada tanggal 5 November Kali Code di kawasan Kota
Yogyakarta dinyatakan berstatus "awas" (red alert). [16][rujukan?]
Letusan kuat 5 November diikuti oleh aktivitas tinggi selama sekitar
seminggu, sebelum kemudian terjadi sedikit penurunan aktivitas, namun status
keamanan tetap "Awas". Pada tanggal 15 November 2010 batas radius bahaya
untuk Kabupaten Magelang dikurangi menjadi 15 km dan untuk dua kabupaten
Jawa Tengah lainnya menjadi 10 km. Hanya bagi Kab. Sleman yang masih tetap
diberlakukan radius bahaya 20 km.

IV.2. Tipe Erupsi


IV.3. Erupsi adalah peristiwa keluarnya magma di permukaan
bumi bisa dalam bentuk yang berbeda-beda untuk setiap
gunungapi. Erupsi bisa efusif yaitu lava keluar secara
perlahan dan mengalir tanpa diikuti dengan suatu ledakan
atau eksplosif yaitu magma keluar dari gunungapi dalam
bentuk ledakan. Dalam erupsi yang eksplosif, terbentuk
endapan piroklastik, sedang dalam erupsi efusif terbentuk
aliran lava. Secara garis besar ada tiga tipe/jenis erupsi
yaitu: Hawaiian, Strombolian dan Vulkanian. Istilah tipe
hawaiian diambil dari kata Hawaii, pulau vulkanik di tengah
samudera Pasifik yang mempunyai gunung dengan tipe
erupsi khas hawaiian. Dinamika erupsi tipe hawaiian dicirikan
dengan adanya erupsi lava cair berasal dari kawah dalam
waktu cukup lama. Lava yang membentuk erupsi tipe
hawaiian ini berjenis basalt. Dari bentuk fisiknya, gunung
yang bertipe erupsi hawaiian mempunyai bentuk perisai,
dalam arti bahwa diam tubuh gunung jauh lebih besar dari
tinggi gunung.
IV.4. Istilah tipe strombolian diambil dari kata Stromboli, nama
gunungapi di pulau Stromboli Italia yang terletak di Laut
Thyrene, Mediterania. Erupsi jenis strombolian dicirikan
dengan erupsi-erupsi kecil dari gas dan fragmen-fragmen
atau serpihan magma. Material yang diletuskan jatuh
kembali ke dalam kawah atau di sekitar bibir kawah. Pada
saat terjadi erupsi yang lebih besar, lava mengalir ke lereng
di sekitarnya. Secara umum suatu gunungapi disebut bertipe
strombolian apabila dalam suatu erupsi material padat yang
terhamburkan kurang lebih setara dengan material yang
mengalir sebagai aliran lava. Gunungapi tipe strombolian
mempunyai kawah, biasanya berbentuk lingkaran. Tubuh
dan lereng gunung tersusun dari batuan skoria hasil lontaran
saat erupsi.
IV.5. Istilah tipe vulkanian berasal dari nama gunung Vulcano
yang terletak di kepulauan Lipar Italia. Erupsi bersifat
eksplosif dengan tingkat eksplosivitas dari lemah ke
katastropik. Magma yang membentuk erupsi tipe vulkanian
bersifat antara basa dan asam (dari andesit ke dasit). Erupsi
vulkanian terjad karena lobang kepundan tertutup oleh
sumbat lava atau magma yang membeku di pipa magma
setelah kejadian erupsi. Diperlukan suatu akumulasi tekanan
yang relatif besar untuk membuka lobang kepundan atau
menghancurkan sumbat lava. Erupsi melontarkan material
hancuran dari puncak gunungap tapi juga material baru dari
magma yang keluar. Salah satu ciri dari erupsi vulkanian
yaitu adanya asap erupsi yang membumbung tinggi ke atas
dan kemudian asap tersebut melebar menyerupai cendawan.
Asap erupsi membawa abu dan pasir yang kemudian akan
turun sebagai hujan abu dan pasir. Tidak seperti tipe
hawaiian dan strombolian, aliran lava tidak terjadi pada tipe
erupsi vulkanian. Gunung Merapi merupakan gunungapi
yang dapat dimasukkan dalam tipe vulkanian lemah dengan
ciri khas adanya peranan kubah lava dalam tiap-tiap
erupsinya.
IV.6. Evolusi Erupsi

Kronologi Hartman

Bagaimana kronologi suatu aktivitas letusan Merapi telah disimpulkan oleh


Hartman (1935). Tiap letusan dibagi menjadi 3 fase yaitu fase awal atau
keadaan sebelum meletus, fase utama yaitu aktivitas utama dan fase akhir
yaitu kegiatan yang terjadi sesudah letusan berakhir. Ketiga fase tersebut
merupakan atau dianggap sebagai satu siklus aktivitas letusan Merapi.
Berdasarkan apa yang terjadi pada fase awal, utama dan akhir, Hartman
membedakan kronologi letusan menjadi empat sebagai berikut :

Kronologi A : Siklus diawali dengan satu letusan kecil yang mengawali ekstrusi
lava. Fase utama berupa pembentukan kubah lava sampai kubah mencapai
volume besar dan kemudian perkumbuhan kubah berhenti. Siklus diakhiri
dengan proses guguran lava pijar yang berasal dari kubah. Kejadian guguran
lava pijar, kadang dengan awanpanas kecil, dapat berlangsung lama (bulanan).

Kronologi B: Dalam kronologi B ini, pada awalnya telah ada kubah lava di
puncak Merapi. Fase utama berupa letusan vulkanian bersumber di kubah lava
dan menghancurkan kubah lava yang ada. Letusan menghasilkan asap letusan
vulkanian (contoh: asap cendawan letusan 1997). Material kubah yang hancur
sebagian menjadi awanpanas yang menyertai letusan vulkanian tersebut. Fase
akhir diisi dengan pertumbuhan lava baru pada bagian kubah yang hancur atau
disamping kubah.

Kronologi C: mirip dengan kronologi B, hanya saja pada awalnya tidak terdapat
kubah lava tetapi sumbat lava yang menutup kawah Merapi. Oleh adanya
sumbat lava tersebut, fase utama berupa letusan vulkanian dengan awanpanas
lebih besar (type St. Vincent ?). Fase akhir dari kronologi letusan yaitu berupa
pembentukan kubah lava baru.

Kronologi D:Fase awal berupa letusan vertikal kecil. Fase utama berupa
pembentukan sumbat lava yang kemudian diikuti dengan fase akhir berupa
letusan vertikal yang cukup signifikan. Pada letusan "D" ini, karena sumbat lava
cukup besar, letusan cukup dahsyat, relatif untuk Merapi, yang menghasilkan
awanpanas besar dan asap letusan tinggi.

Dalam kenyataan, terutama dari pemantauan aktivitas letusan dengan lebih


seksama sejak tahun 1984, batas-batas antara jenis kronologi letusan
sebagaimana yang disajikan Hartman di atas sering tidak jelas. Sebagai contoh,
letusan 1984 fase awal berupa kejadian awanpanas yang kemudian langsung
disusul dengan letusan. Pada fase akhir terjadi guguran lava pijar. Contoh
letusan 1984 ini menjadi gabungan dari kronologi A dan B. Kejadian longsoran
kubah yang terjadi pada tahun 1994 sulitjuga dimasukkan dalam kronologi
Hartman walaupun longsoran juga menghasilkan awanpanas dan letusan.

Kronologi erupsi menurut Hartmann (1935) dibedakan atas empat macam dari
yang dianggap paling lemah D sampai kuat A. Kolom kiri menunjukkan saat
awal sebelum kejadian utama. Kolom tengah adalah kejadian utama dan kolom
kanan adalah kejadian yang mengkhiri siklus aktivitas erupsi.

Kronologi Hartman paling tidak memberikan gambaran pada pentingnya


peranan kubah lava dalam setiap aktivitas Merapi. Dan dari penelitian geologi
diperoleh hasil bahwa pada perioda Merapi Baru, terutama dalam 600 tahun
terakhir, aktivitas Merapi didominasi oleh pembentukan kubah lava dan letusan-
letusan kecil yang tidak lebih dari VEI 3 yang disertai awanpanas. Produk dari
kejadian letusan-letusan tersebut, bila diltinjau dari pembagian kelompok
endapan (Andreastuti, 1999), maka endapan yang terbentuk dapat digolongkan
dalam kelompok 1, dan menghasilkan lava, awanpanas atau surge; dan
kelompok 2 yang terutama terdiri dari asosiasi endapan awanpanas dan surge.

Endapan hasil letusan yang sekarang meskipun cukup tebal (mencapai 8m),
namun karena merupakan endapan awanpanas yang sebarannya di lembah-
lembah, maka letusanya relatif kecil. Sedangkan letusan pra-1800, karena
hasilnya berupa endapan jatuhan yang ketebalannya dan merata di sekitar
gunung, maka letusannya lebih besar. Letusan yang menghasilkan awanpanas
tekanan internal dari magma lebih kecil daripada letusan yang menghasilkan
endapan jatuhan.

Studi stratigrafi (Andreastuti,1999) yang dilakukan pada tephra Merapi telah


memberikan gambaran yang lebih jelas tentang aktivitas letusan Merapi.
Letusan yang tercatat dalam sejarah, pada umumnya hanya berupa letusan
kecil yang terpusat di puncak. Awanpanas dari bongkaran kubah menjadi ciri
utama aktivitas Merapi saat ini. Namun demikian dalam jangka yang lebih
panjang analisa stratigrafi menunjukkan bahwa Merapi juga menghasilkan
letusan-letusan yang besar. Andreastuti (1999) membagi kurun waktu aktivitas
Merapi menjadi 3 episode yaitu Episode I (2990-1960 BP), Episode II (1960-780
BP) dan Episode III (780 BP sekarang). Letusan Merapi saat itu digolongkan
dalam type plinian (sangat explosif). Dari indentifikasi ditemukan bahwa dalam
kurun waktu 3000 tahun terakhir terdapat sejumlah 7 letusan skala besar (skala
VEI 4, plinian dan subplinian). Sebagai ilustrasi seberapa besar letusan
tersebut, misalnya pada letusan yang menghasilkan tephra di Selokopo, sekitar
500 BP, terjadi letusan dengan kolom asap letusan yang diperkirakan setinggi
15 kilometer di atas puncak dan dengan volume material yang diletuskan
sebesar 0.26 km3 (260 juta m3, bandingkan dengan produk letusan 1998 yang
hanya 8 juta m3). Dalam jangka panjang perubahan trend letusan Merapi
dimungkinkan oleh adanya perubahan komposisi kimia magmanya. Pada
Episode I, magma Merapi mempunyai komposisi medium-K (1.3-2.0%),
sedangkan pada Episode Ill mempunyai komposisi high-K (2.0 - 2.5 %).
Episode II merupakan episode transisi dari medium-K ke high-K. Dari
kandungan Si02 nya, walaupun terdapat fluktuasi komposisi Si02 antara 51 %
sampai 57 %, terdapat kecenderungan jangka panjang bahwa komposisi
Si02 semakin besar. Kemungkinan letusan Merapi yang lebih besar dapat terjadi
oleh adanya perubahan kandungan air (H20) dalam magma dan proses
kristalisasi yang terjadi di dapur magma (del Marmol, 1989). Proses kristalisasi
dan kandungan air yang tinggi menghasilkan unsur volatile yang merupakan
sumber dari peningkatan tekanan dalam magma.

IV.7. Pos Pengamatan


Pos pengamatan juga di dukung oleh pengamatan kontinyu dari perekaman
kamera yang tersebar sebagai berikut:
Gb. IV.4.1 : Lokasi Pengambilan Gambar Dari Kamera Untuk Monitoring aktivitas Gunung
Merapi pada Citra Satelit (Sumber:
http://merapi.bgl.esdm.go.id/aktivitas_merapi.php?page=aktivitas-merapi&subpage=web-
kamera)

a. Lokasi web kamera di Plawangan, berjarak 5 km dari puncak Merapi di sisi selatan.
Interfal image yang diambil setiap 15 detik.
b. Lokasi web kamera di Kaliurang, berjarak 8.5 km dari puncak Merapi di sisi selatan.
Interfal image yang diambil setiap 15 detik.
c. Lokasi web kamera di Deles, berjarak 6.75 km dari puncak Merapi di sisi timur.
Interfal image yang diambil setiap 15 detik.

IV.8. Rekaman Erupsi/Prekursor


IV.9. Gunungapi sebelum erupsi, biasanya menunjukkan tanda-
tanda perubahan fisika dan kimiawi yang bisa dirasakan
dengan panca indera manusia atau hanya dapat dideteksi
dengan instrumen yang sangat peka. Secara umum
beberapa tanda-tanda tersebut adalah berubahnya warna
asap menjadi semakin tebal dan pekat, meningkatnya jumlah
gempa-gempa yang terekam oleh seismogram, berubahnya
komposisi kimia gas atau air, meningkatnya derajat suhu
kawah dan terjadinya deformasi tubuh gunungapi.
IV.10. Prekursor adalah gejala awal sebelum erupsi. Gejala
tersebut dimulai dari kedalaman dimana sumber magma
segar berasal yang akan mendorong magma yang sudah
lebih dulu mengisi kantong dan pipa saluran. Bertambahnya
pasokan magma ini akan meningkatkan tekanan di dalam
kantong magma dan pipa saluran kepundan yang dapat
menyebabkan retaknya batuan di sekelilingnya. Naiknya
magma ke atas akan menurunkan tekanan internal magma
sebagai akibatnya gas vulkanik yang bersifat volatil akan
lepas dan menambah tekanan ke batuan di sekelilingnya.
IV.11. Naiknya tekanan ini mengakibatkan retakan batuan
yang akan menjalarkan energi gelombang elastik yang
disebut dengan gempa vulkanik. Jenis gempa ini yang
biasanya hanya dapat dideteksi oleh seismom. Gempa
vulkanik di Merapi dimulai pada kedalaman antara 2 sampai
5 km yang menandai awal peningkatan aktivitas vulkanik.
Selanjutnya sumber gempa akan semakin dangkal hanya
kurang 2 km di bawah puncak.
IV.12. Proses berjalannya magma ke permukaan sebelum
terjadinya suatu erupsi menimbulkan getaran yang
menyebabkan terjadinya yang biasa disebut tremor. Namun
di Merapi termor tidak selalu terjadi sebelum erupsi. Seiiring
peningkatan tekanan dan desakan magma dari dalam maka
tubuh gunungapi menggelembung dalam orde yang sangat
kecil yang sering disebut deformasi. Perubahan deformasi
dapat dipantau dengan berbagai teknik geodetik atau
menggunakan tiltmeter dan ekstensometer. Pada proses
menuju erupsi ini terjadi pula peningkatan emisis gas
vulkanik misalnya SO2 ke permukaan. Gejala-gejala tersebut
di atas dapat dipantau dengan berbagai macam metoda dan
instrumentasi dan disebut sebagai gejala awal atau prekursor
aktivitas Gunung Merapi.
IV.13.
IV.14.
http://www.merapi.bgl.esdm.go.id/images_stock/Grafik%20G
empa%20dan%20Tilt_7acf83.jpg
IV.15.
IV.16. Grafik prekursor erupsi khas Merapi berdasarkan
data pemantauan 2006. Grafik ini menunjukkan bagaimana
pola dari variasi parameter pemantauan yang muncul
sebelum erupsi. Pola yang cukup jelas terliliat sampai
munculnya kubah lava pertama kali (perlu diingat bahwa
definisi erupsi secara vulkanologis adalah munculnya lava di
permukaan). Penjelasan dan pola prekursor Merapi lebih rinci
dapat dililiat pada buku prekursor Merapi.
IV.17.
IV.18.
IV.19.
http://www.merapi.bgl.esdm.go.id/images_stock/Grafik%20s
eismik%20dan%20vol-kubah%20%2096-
99%20GPS_ada6da.jpg
IV.20.
IV.21. Contoh lain prekursor Merapi sebelum erupsi 1997
dan 1998 berdasarkan data perbandingan antara seismisitas,
GPS, tilt dan volume kubah dalam periode aktivitas 1996
sampai 1999. Angka romawi menunjukkan periode dimana
aktivitas Merapi mempunyai karakteristik berbeda secara
kegempaan dan deformasi. Periode I menunjukkan kenaikan
nilai tilt dan volume kubah yang disertai dengan banyaknya
kejadian gempa vulkanik, MP dan guguran. Periode II gempa
MP menghilang samasekali tetapi guguran masih cukup
banyak dan nilai tilt serta kubah tumbuh lebih cepat. Periode
III diawali dengan naiknya jumlah gempa MP sebelum erupsi
1997 yang diikuti penurunan jumlah gempa MP dan
Guguran. Periode IV relatif tenang di permukaan yang
ditunjukkan oleh jumlah gempa MP dan guguran yang sedikit
tapi di dalam gejolak cukup tinggi yang ditunjukkan oleh
banyaknya kejadian gempa vulkanik. Periode V seperti
mengulangi periode kejadian sebelum erupsi 1997 yaitu
naiknya jumlah MP sebelum erupsi yang dikuti oleh
anjloknya volume kubah. Periode VI pada awal 1999
ditunjukkan oleh stabilnya volume kubah dan sedikitnya
gempa namun periode ini hanya bertahan kurang dari 2
tahun sebelum erupsi kembali terjadi pada 2001. Data GPS
menunjukkan titik NTR0 yang terletak di puncak mempunyai
magnitude perpindahan terbesar yang mengindikasikan
bahwa titik ini terletak pada zone yang lemah.

BAB V
APLIKASI GEOFISIKA DALAM PENGAMATAN GUNUNG
MERAPI

http://www.merapi.bgl.esdm.go.id/seismisitas_graph.php?id=57

http://www.merapi.bgl.esdm.go.id/seismisitas_graph.php?id=59

http://www.merapi.bgl.esdm.go.id/seismisitas_graph.php?id=60
http://www.merapi.bgl.esdm.go.id/seismisitas_graph.php?id=61

http://www.merapi.bgl.esdm.go.id/seismisitas_graph.php?id=62

http://www.merapi.bgl.esdm.go.id/seismisitas_graph.php?id=63

http://www.merapi.bgl.esdm.go.id/seismisitas_graph.php?id=64

DAFTAR PUSTAKA
http://merapi.bgl.esdm.go.id/aktivitas_merapi.php?page=aktivitas-merapi&subpage
=web-kamera
http://merapi.bgl.esdm.go.id/informasi_merapi.php?page=informasi-
merapi&subpage=sekilas-merapi
http://vulcan.wr.usgs.gov/Volcanoes/DecadeVolcanoes/
http://vulcan.wr.usgs.gov/Volcanoes/Indonesia/description_indonesia_volcanics.htm
l. laman USGeological Survey
http://www.merapi.bgl.esdm.go.id/informasi_merapi.php?page=informasi-
merapi&subpage=sejarah
Berthommier, P., 1990. Etude volcanologique du Merapi (Centre-Java): Te´phrostratigraphic et
Chronologie—produits eruptifs. PhD thesis, Universite´ Blaise Pascal, 216 pp
Axel Bojanowski. Riesige Magmamenge. Geologen warnen vor Mega-Eruption des Merapi. Spiegel Online
edisi 05 November 2010

http://www.spiegel.de/fotostrecke/fotostrecke-61341.html
-.A history of Merapi. Diakses pada 2007-02-20 [internet]. Dapat diunduh
di:http://volcano.und.edu/vwdocs/current_volcs/merapi/

All. Gunung Merapi. Perubahan terakhir: 15.26, 16 September 2013. Diunduh pada: 20
Oktober 2013 [internet]. Dapat diunduh di:
http://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Merapi#cite_ref-5
http://merapi.bgl.esdm.go.id/informasi_merapi.php?page=informasi-
merapi&subpage=sejarah
http://merapi.bgl.esdm.go.id/aktivitas_merapi.php?page=aktivitas-
merapi&subpage=seismisitas

Daryono. Dibalik Sangat Aktifnya Merapi. Diunduh pada: 20 Oktober 2013.


Dapat diunduh di: https://www.facebook.com/notes/wwwbmkggoid/di-balik-
sangat-aktifnya-merapi-oleh-daryono-ssimsi/459622820788
TLR merapi http://merapi.bgl.esdm.go.id/brosur/2010/08/Merapi_a62018.jpg
Deformasi gunung dengan GPS
http://merapi.bgl.esdm.go.id/brosur/2010/08/Merapi_a22840.jpg
Pengukuran EDM http://merapi.bgl.esdm.go.id/brosur/2010/08/Merapi_ba13f8.jpg
Gravity n geomagnetik http://www.merapi.bgl.esdm.go.id/pages.php?page=pustaka-
artikel&id=59
Di musim dingin 1996-1997 kami telah memetakan gravitasi dan medan magnet Merapi
dan Merbabu dengan Lacoste & Romberg G gravimeter , dua Geomagnetics proton dan
magnetometer fluxgate . Positioning dilakukan dengan menggunakan dua " Trimble
4000SSE " geodesi GPS - receiver . Kami telah mengukur 360 poin terutama di lereng
gunung berapi . Untuk pengurangan topografi gravitasi kami telah menghasilkan Digital
Elevation Model ( DEM ) dari gambar SPOT dan foto udara fotogrametri . Kepadatan
lapisan permukaan yang ditentukan oleh metode Nettleton yang berjumlah 2.040 kg/m3
. Dalam inversi umum kita mencoba untuk menentukan struktur bawah permukaan dari
kedua gunung berapi . Sebagai model awal profil timur - barat geologi Merapi ( van
Bemmelen , 1948) digunakan . Hasil pertama menunjukkan bahwa medan gravitasi
longperiod dapat dimodelkan oleh pengangkatan kerak yang lebih dalam di bawah
gunung berapi di sepanjang profil timur-barat . Namun kita tidak dapat menemukan
dengan pengukuran ini posisi setiap dapur magma bahkan jika model belum
menjelaskan banyak anomali gravitasi shortperiod .

Time Dependent Changes of Gravity at Merapi


http://www.merapi.bgl.esdm.go.id/pages.php?page=pustaka-artikel&id=60
Di musim panas 1997 dalam sendi Indonesia-Jerman proyek penelitian " MERAPI "
kami telah membentuk jaringan gravitasi pengulangan . Bersih terdiri dari tiga loop
dalam ketinggian yang berbeda di sekitar Merapi , dimana lingkaran di tepi kawah
terhubung ke loop kedua oleh profil tambahan . Sampai musim panas 1999 kami diukur
empat kali gravitasi secara paralel dengan posisi horizontal dan vertikal di 19 titik
jaringan menggunakan empat LaCoste & Romberg meter gravitasi dan geodesi 2 -
frekuensi GPS - receiver ( Trimble dan Leica ) .
Perubahan tergantung waktu dalam gravitasi dan posisi ditentukan oleh penyesuaian
kuadrat terkecil . Perubahan gravitasi signifikan serta deformasi di kedua loop yang
lebih rendah tidak ditemukan . Namun sepanjang profil dan stasiun di kawah rim kita
memperoleh peningkatan gravitasi signifikan > 1 mm/sec2 terhubung dengan penurunan
vertikal > 100 mm . Setelah pengurangan udara bebas karena penurunan vertikal dari
stasiun kita dapat menentukan atas dasar perubahan gravitasi diamati massa
mengangkut dalam dan di luar gunung berapi .

Computation of The Local Geoid Around Merapi and Merbabu


http://www.merapi.bgl.esdm.go.id/pages.php?page=pustaka-artikel&id=61
Merapi dan Merbalnt adalah gunung berapi yang terletak di Jawa Tengah , Indonesia .
Merbabu 10 km sebelah utara dari Merapi tidak lebih aktif sejak abad ke-17 . Merapi
namun milik gunung berapi paling aktif di dunia. Lebih dari 2 juta orang yang tinggal di
lingkungan sekitarnya dan terancam oleh nuees Ardentes , lahar dan - dalam kasus
terburuk - oleh letusan Plinian gunung berapi .
Sangat sedikit yang diketahui tentang struktur bawah permukaan dari kedua gunung
berapi . Jika kita berniat untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang
mekanisme di dalam gunung berapi , kita harus belajar lebih banyak tentang struktur
batin mereka . Medan gravitasi di sekitar gunung berapi memberikan informasi
mengenai struktur dekat permukaan . Permukaan ekipotensial sebagai geoid merupakan
bentuk lapisan yang lebih dalam .
Kemungkinan untuk menghitung geoids lokal akurat telah meningkat secara dramatis
dalam dekade terakhir karena peluncuran sukses TOPEX / POSEIDON dan ERS1 dan
ERS2 Radar altimeter misi dan ketersediaan GPS . Model geopotensial EGM96
koefisien harmonik bola sampai untuk memesan dan 360 derajat didasarkan pada 30 ' *
30 ' grid anomali gravitasi berarti . Sandwell telah menghasilkan geoid , gravitasi dan
topografi model global pada 2 ' * 2 ' jaringan ditentukan dari data - Radar altimeter .
GPS - pengamatan di titik meratakan , dimana normal atau orthometrik ketinggian h
diketahui dari semangat leveling , berikan segera ketinggian geoid mutlak N oleh

N = N -h
di mana H adalah tinggi ellipsoidal titik di atas ellipsoid referensi seperti yang
diberikan oleh GPS - pengamatan . Dalam geoid global fe geoid EGM96 kita dapat
dengan jelas mengidentifikasi zona subduksi kapal selam dari lempeng Hindia di bawah
lempeng Eurasia . Kegiatan vulkanik di Jawa terhubung dengan ketinggian geoid
sepanjang pantai selatan dari lava .
Model geoid global merupakan undulasi geoid dengan periode panjang gelombang
110 kerabat . Waktu singkat undulasi geoid yang rata-rata keluar kecuali jaring padat
poin gravitasi tersedia . Banyak informasi yang hilang , jika kita hanya berkonsentrasi
pada geoids global. Oleh karena itu kami sudah mulai penentuan geoid lokal Merapi dan
Merbabu menggunakan gravitasi dan data topografi yang dikumpulkan dalam 3 tahun
terakhir sekitar Merapi dan Merbabu .
Perhitungan akan dilakukan dengan menggunakan terkenal hapus -restore teknik ,
yang dapat ia dibagi menjadi langkah-langkah berikut :
- Perhitungan gravitasi lapangan g dari model geopotensial global yang EGM96
- Penentuan udara bebas ? G anomali sesuai
?G=g-γ
dengan g = gravitasi diamati .
- Interpolasi berarti blok anomali gravitasi pada 1 " * 1 " grid dengan
mempertimbangkan daya tarik gravitasi topografi . Sebagai Model Elevasi Digital (
DEM ) kita menggunakan model oleh Sandwell ( 2 ' * 2 ' ) , GTOP030 ( 30 " * 30 " )
dan model lokal ( 1 " * 1 " ) sebagaimana ditentukan dari gambar fotogrametri .
Rumus penentuan (relatif ) tinggi geoid N ' menggunakan Stoke -
- Transformasi relatif geoid N ' ke ketinggian geoid mutlak N menggunakan hasil
pengamatan GPS -
Sebagai perangkat lunak paket " gravsoft " Dinas geoid International akan digunakan
dalam kaitannya dengan perangkat lunak visualisasi " IDL " .

Digital Elevation Models and Orthophotos of Merapi and Merbabu from Aerial Images
and Dinsarhttp://www.merapi.bgl.esdm.go.id/pages.php?page=pustaka-
artikel&id=58
Orthophotos dan Model Elevasi Digital (Dems) dari gunung berapi Merapi dan
Merbabu (Indonesia) adalah alat yang diperlukan untuk tugas yang berbeda dari
proyek penelitian Indonesia-Jerman "MERAPI". Atas dasar DEM dikembangkan oleh
Jousset (1996) dari SPOT-gambar kami telah menghasilkan awal DEM pertama
Merapi dan Merbabu dengan ukuran grid 20m * 20rn. Untuk meningkatkan generasi
DEM berikutnya kami telah menggunakan foto udara gunung berapi yang diambil
pada tahun 1981, 1981, 1982 dan 1994. Banyak masalah disebabkan oleh fakta bahwa
bagian-bagian besar dari permukaan terutama di sekitar puncak Merapi dan Merbabu
selalu tertutup oleh awan dan asap yang dipancarkan oleh gunung berapi.
Interferometric Synthetic Aperture Radar gambar (INSAR) diambil selama misi
tandem ERS1 dan ERS2 pada tahun 1996 dapat mengisi kesenjangan. Dengan
menggabungkan kedua teknik kami mampu menghasilkan DEM lengkap dan ortofoto
wilayah dengan akurasi tinggi <± 10 m.

The 3D Seismic Velocity Field of The Crust South of Gunung Merapi, Central Java
http://www.merapi.bgl.esdm.go.id/pages.php?page=pustaka-artikel&id=46
Aktivitas seismik dan gunung berapi di Jawa Tengah terkait dengan subduksi lempeng
Indo-Australia di bawah pulau Jawa dan Sumatera . Dalam rangka MERAMEX (
MERAPI AMphibiuos Percobaan ) - Proyek jaringan seismologi sementara yang terdiri
dari lebih dari 100 stasiun dipasang di lepas pantai dan pada 110 ° E untuk merekam
kegempaan lokal. Selain itu, eksperimen seismik laut aktif yang dilakukan lepas pantai .
Kumpulan data terdiri dari satu paralel profil seismik untuk parit dan dua baris dip
melintasi parit . Airgun tembakan dicatat juga darat dalam jaringan sementara. Sebuah
inversi tomografi bersama termasuk aktif dan pasif data seismik dilakukan . Gambar
yang dihasilkan menunjukkan anomali kecepatan rendah kuat di kerak busur tepat di
belakang gunung berapi aktif . Sebuah anomali rendah kecepatan cenderung ke arah
slab dapat diamati di mantel atas di bawah gunung berapi , yang mungkin
mencerminkan jalur cairan dan bahan sebagian meleleh di wedge mantel makan gunung
berapi . Onshore kerak busur tampaknya terdiri dari blok kecepatan tinggi. Kami akan
menyajikan bidang kecepatan seismik 3D dari kerak selatan Gunung Merapi dan
interpretasinya .

Volcanic Hazard of Merapi Volcano, Central Java, Indonesia


http://www.merapi.bgl.esdm.go.id/pages.php?page=pustaka-artikel&id=47
Gunung Merapi ( 2.968 m dpl ) di Jawa Tengah adalah gunung api strato , basal -
basaltik andesit , adalah yang paling aktif , yang paling sering meletus dan gunung
berapi paling berbahaya di Indonesia , dengan 3.000 -5,000 korban sejak 1672. Ada
sekitar 200.000 orang tinggal di daerah yang sering terkena aliran piroklastik , dan jatuh
abu deras di Hazard Zona III dan Hazard Zona II , dan lebih dari 120.000 orang tinggal
di daerah morfologi lembut sepanjang 13 sungai yang berpotensi terkena lahar . Area
yang berpotensi terkena dampak oleh produk letusan Merapi terdiri Bahaya Zona I dari
11.237 km , Hazard Zona II 86.050 m2 dan k Hazard Zona III dari 98.275 km2 .
Banyak letusan selama 7-19 abad lebih kekerasan dan ledakan dibanding letusan terjadi
selama abad ke-20 , di mana aliran piroklastik menyapu sektor yang lebih luas
meskipun terjadi sekali dalam 100 tahun . Namun , letusan ini ( abad 20'h )
menghasilkan kubah lava kental kemudian runtuh eksplosif untuk membentuk aliran
piroklastik dengan volume yang terbatas dan jangkauan . Kubah Kadang-kadang, seperti
pada tahun 1930 , luar biasa besar ¬ runtuhnya piroklastik mengalir mungkin termasuk
komponen peledak terjadi mencapai 13,5 km dari puncak dan ke daerah-daerah . Aliran
piroklastik yang berasal dari kubah runtuh atau kolom runtuhnya letusan disimpan di
tengah dan kemiringan yang lebih rendah antara 1000 m -700 m elevasi yang
membentuk tebal dan buruk diurutkan deposito aliran piroklastik di lembah , sedangkan
jatuh piroklastik , overbank aliran piroklastik dan piroklastik lonjakan mendominasi
pada interfluves . Bahkan mereka kadang-kadang ditemukan interbedded dengan
lonjakan , lahar dan tephra sekitar elevasi 300 - m sekitar 20 km dari puncak.
Sehubungan dengan pengembangan instrumentasi , penelitian , sistem pemantauan ,
morfologi dan perubahan topografi Merapi, Volcanic Peta Bahaya Merapi ( Pardyanto
et.al , 1978) perlu direvisi . Ada tidak hanya perubahan teknis dan ilmiah , tetapi juga
karena Standar Nasional Indonesia . Karena evaluasi ini , nama " PETA Daerah Bahaya
gunungapi " menjadi " PETA Kawasan Rawan Bencana gunungapi " dalam bahasa
Inggris keduanya berarti " Volcanic Hazard Peta " .
Revisi tersebut terdiri dari batas dan nama " Daerah Terlarang " ( lama) sama dengan
Hazard Zona III ( baru) , " Daerah Bahaya 11 " ( lama) sama dengan Hazard Zona II (
baru) , dan " Daerah Bahaya 2 " sama dengan " Hazard Zona 1 " ( baru) . Periode waktu
yang dipertimbangkan untuk menentukan Hazard Zona III adalah 100 tahun dari tahun
1900 sampai dengan saat ini ( 2002) , dan batas untuk Bahaya Zona II ditentukan
berdasarkan kegiatan yang dimulai dari kegiatan lebih tua dari 100 tahun baik untuk
melawan bahaya mengalir massa ( aliran piroklastik ) atau dikeluarkan material (
piroklastik jatuh )

Wave Propagation in Very Inhomogeneous Media: Stochastic Seismic Modeling and


Its Application to the Active Seismic Experiment at Merapi VolcanoU. Weglerd,U., &
B.-.Luehr2 2 I Universitat Leipzig, Talstrasse 35, D-04103 Leipzig, Germany, e-mail:
uli@rz.u
http://www.merapi.bgl.esdm.go.id/pages.php?page=pustaka-artikel&id=48
Data percobaan seismik aktif digunakan untuk menganalisis hamburan gelombang
elastis dalam struktur heterogen dangkal Gunung Merapi . Seismogram dari tembakan
buatan yang terletak di Gunung Merapi dicirikan oleh spindle - seperti amplop , kecil
atau hilang P - onsets , matahari terbenam hilang , dan codas panjang. Bentuk-bentuk
yang tidak biasa dari amplop dapat dijelaskan oleh beberapa hamburan kuat di dangkal
bahan letusan heterogen . Struktur dangkal Gunung Merapi terdiri dari bolak deposito
aliran piroklastik , lahar , hujan abu , dan aliran lava dan terlalu rumit untuk dijelaskan
dalam arti deterministik . Sebagai alternatif pemodelan seismik stokastik harus
digunakan untuk gambar tersebut inhomogeneities skala kecil. Dalam pendekatan ini
fluktuasi kecepatan 3D dijelaskan oleh media acak dan ditandai dengan fungsi
autokorelasi nya . Informasi fase, yang merupakan lokasi yang tepat dari
inhomogeneities skala kecil, diabaikan .
Dalam kasus beberapa hamburan kuat persamaan stokastik untuk kepadatan energi
menyederhanakan model difusi . Model ini menggambarkan amplop diamati
seismogram di Gunung Merapi dan memungkinkan untuk membedakan antara
hamburan redaman dan atenuasi intrinsik . Akibatnya sebuah difusivitas d = 0,05 km "
21s diperoleh bergantung pada frekuensi antara 4 dan 20 Hz . Asumsi dominasi
gelombang geser di koda dan kecepatan S - gelombang khas sekitar 1,5 kmJs untuk
gunung berapi dangkal ini sesuai dengan transportasi berarti jalan bebas hanya 1 = 0 . 1
km , yaitu 3 kali lipat lebih kecil daripada Bumi kerak normal, di mana transportasi
berarti jalan bebas kira-kira 1 = 100 km . The skala panjang yang sesuai untuk redaman
intrinsik diturunkan untuk Merapi gunung berapi tergantung pada frekuensi dan
setidaknya satu urutan besarnya lebih besar daripada transportasi berarti jalan bebas .
hasil ini menunjukkan , bahwa beberapa hamburan adalah efek yang penting , yang
tidak dapat diabaikan dalam pemodelan penjalaran gelombang seismik di gunung
Merapi .

Seismik Tomografi
Seismik tomografi merupakan sebuah metode geofisika untuk mengetahui kondisi bawah
permukaan bumi berdasarkan data waktu tiba gelombang gempabumi (P dan S) yang terekam
oleh peralatan seismik (seismometer) yang tersebar di atas permukaan bumi. Hasil pengolahan
dan analisa gelombang tersebut akan memberikan gambaran struktur 3D interior bumi secara
rinci. Seperti yang pernah penulis jelaskan sebelumnya bahwa metode seismik tomografi ini
seperti sistem kerja CT Scan atau USG yang digunakan oleh dokter untuk melihat kondisi organ
dalam dan tulang manusia tanpa melakukan operasi. Apabila gambar CT Scan dibuat dalam
jumlah banyak dari berbagai arah maka akan didapatkan pencitraan/images dalam bentuk 3
Dimensi. Hal yang sama dilakukan oleh orang-orang Geofisika namun bukan untuk melihat isi
dalam tubuh manusia melainkan melihat isi dalam bumi tanpa harus melakukan pengeboran.
Sumber getaran yang digunakan bisa dari sumber buatan maupun sumber alami berupa
gempabumi yang sering terjadi di seluruh dunia.
http://www.ibnurusydy.com/peran-geofisika-fisika-bumi-dalam-mitigasi-dan-
monitoring-bencana-iii/

TEKNIK PEMANTAUAN AKTIVITAS VULKANIS GUNUNGAPI

Ada beberapa metode pemantauan aktivitas gunungapi yang telah diaplikasikan sekarang ini
[McGuire et al., 1995; Scarpa and Tilling, 1996], yaitu antara lain metode seismik, metode
deformasi, metode kimia gas, metode termal, dan metode penginderaan jauh (menggunakan
sistem video, citra satelit, dan sebagainya). Metode-metode ini akan melibatkan sistem
peralatan/sensor tersendiri, dan disamping itu dapat diimplementasikan secara episodik atau
berkala maupun kontinyu atau secara terus menerus.

http://geodesy.gd.itb.ac.id/kkgd/wp-content/uploads/2007/01/edm-for-volcano.thumbnail.jpg

Metode yang paling banyak digunakan untuk pemantauan gunung api di Indonesia saat ini adalah
metode seismik. Metode seismik yang menggunakan sensor seismometer ini pada dasarnya
digunakan untuk mengevaluasi aktivitas yang terjadi di dalam tubuh gunung api. Disamping
metode seismik, metode deformasi pun cukup banyak diaplikasikan dalam pemantauan gunung
api dengan menggunakan berbagai macam sensor atau sistem, dan metode ini dianggap punya
potensi yang sangat besar untuk berkontribusi dalam pemantauan aktivitas gunung api. Metode ini
pada dasarnya ingin mendapatkan pola dan kecepatan dari deformasi permukaan gunung api, baik
dalam arah horisontal maupun vertikal. Salah satu teknik pemantauan deformasi yang kini banyak
dikembangkan yaitu dengan penggunaan survei GPS (Global Positioning System).

—————————————————————————————————————————————————

TEKNIK PEMANTAUAN DEFORMASI GUNUNGAPI DENGAN GPS

GPS adalah sistem satelit navigasi dan penentuan posisi yang berbasiskan pada pengamatan
satelit-satelit Global Positioning System [Abidin, 2000; Hofmann-Wellenhof et al., 1997]. Prinsip
pemantauan ground deformation pada tubuh gunungapi dengan survei GPS yaitu dengan cara
menempatkan beberapa titik di beberapa lokasi yang dipilih, ditentukan koordinatnya secara teliti
dengan menggunakan metode survei GPS. Dengan mempelajari pola dan kecepatan perubahan
koordinat dari titik-titik tersebut dari survei yang satu ke survei berikutnya, maka karakteristik
ground deformation pada tubuh gunungapi akan dapat dihitung dan dipelajari lebih lanjut.

Pemantauan ground deformation gunung api dengan menggunakan GPS pada prinsipnya dapat
dilakukan secara episodik atau kontinyu. Dalam pengamatan secara episodik, koordinat dari
beberapa titik GPS yang dipasang pada gunung api, ditentukan secara teliti menggunakan metode
survey GPS. Koordinat titik-titik ini ditentukan dalam selang periode tertentu secara berkala dalam
selang waktu tertentu, dan dengan menganalisa perbedaan koordinat yang dihasilkan untuk setiap
periode, maka karakteristik deformasi dari gunung api dapat ditentukan dan dianalisa

Pemantauan deformasi secara kontinyu secara prinsip sama dengan pemantauan deformasi secara
episodik, yang membedakannya hanya aspek operasional dari pemantauan. Dalam pemantauan
deformasi secara kontinyu koordinat dari titik-titik GPS pada gunungapi ditentukan secara real–
time dan terus menerus dengan sistem yang disusun secara otomatis. Agar metode ini dapat
dilakukan maka diperlukan komunikasi data antara titik-titik GPS pada gunungapi dan stasiun
pengamat.

http://geodesy.gd.itb.ac.id/?page_id=286

eknologi/metode geo-magnet adalah metode geofisika yang paling tua. Prinsip dasar dalam
metode ini adalah mempelari kondisi bawah permukaan bumi berdasar sifat kemagnetan
batuan. Batu magnet sudah lama digunakan oleh orang Cina sebagai petunjuk dalam pelayaran
namun gagasan bahwa bumi ini bersifat magnet timbul beberapa tahun kemudian. William
Gilbert (1540–1603), seorang doktor Ratu Elizabeth I telah menuliskan sebuah buku yang
berjudul “De Magnete” pada tahun 1600. Pada masa inilah timbul pemikiran bahwa semua titik
di atas permukaan bumi memiliki nilai dan arah medan magnet yang berbeda-beda. Pada tahun
1830 sampai 1842, Karl Frederick Gauss melakukan pengamatan secara detail terhadap
medan magnet bumi. Dia menyimpulkan bahawa sumber medan magnet bumi berasal dari
dalam bumi. Dia juga menyatakan bahwa medan magnet bumi juga memiliki hubungan erat
dengan perputaran bumi karena kutub magnet bumi dekat dengan sumbu putaran bumi
(Telford, 1990).

Metode
magnetik ini mengasumsikan bahwa setiap batuan yang ada di bawah permukaan bumi
memiliki sifat magneti yang berbeda-beda. Jadi ketika medan magnet bumi menginduksi batuan
yang ada di bawah permukaan bumi maka akan timbul medan magnet sekunder akibat induksi
tadi. Nilai intensitas medan magnet sekunder ini akan berbeda-beda pada setiap batuan dan
sangat bergantung pada sifat kemagnetan batuan (diamagnetik, paramagnetik, dan
feromagnetik) serta remanen magnet yang sudah ada sejak zaman dulu pada batuan tersebut.

Pengukuran intensitas medan magnet total (medan magnet bumi+medan magnet


batuan+medan magnet di atmosfer/luar angkasa) menggunakan alat magnetometer. Ada
banyak jenis peralatan magnetometer namun di era modern ini, banyak geofisikawan
menggunakan alat magnetometer jenis Fluksget dan Proton. Saat ini juga terdapat bermacam
merek magnetometer dengan akurasi hasil pengukuran yang beragam. Keberagaman ini
membuat kita penggunakan alat tersebut bisa memilih alat mana yang mau digunakan. Makin
mahal harganya tentu makin tinggi akurasi dan presisinya karena “harga tidak pernah
bohong…..heheehehehhe”

Lihat “Isi Perut” Gunungapi dgn Teknologi Geo-magnet


Saat ini banyak sekali penelitian dalam upaya memitigasi dan memonitor bahaya gunungapi
supaya tidak menjadi bencana erupsi gunungapi. Ketika gunungapi “berhajat” untuk meletus
maka di dalam gunungapi akan terjadi peningkatan aktifitas magma berupa naiknya magma ke
atas. Kenaikan magma di dalam tubuh gunungapi bisa dimonitor menggunakan metode
geomagnet. Pada saat magma mengalami proses penaikan magma, medan magnetik di sekitar
gunung api memiliki kecenderungan turun karena pemanasan batuan di sekitarnya. Sedangkan
saat magma turun di dalam gunung api, maka medan magnetik meningkat.

Fenomena ini bisa disamakan dengan praktikum waktu kita di Sekolah Dasar dulu. Kita pasti
ingat ketika guru kita mengajarkan bahwa salah cara untuk menghilangkan sifat magnet batang
magnet adalah dengan cara membakarnya atau meningkatkan suhunya. Demikian juga dalam
fenomena gunungapi ini, ketika magma naik dan memanas suhu batuan sekitarnya sehingga
menjadikan sifat kemagnetan batuan sekitar menjadi berkurang. Beberapa penelitian juga
menggunakan teknologi/metode geo-magnet untuk memodelkan volume magma yang ada di
dalam tubuh gunungapi sehingga bisa diperkirakan besar-kecilnya erupsi gunungapi tersebut di
masa yang akan datang. Dengan mengetahui besar-kecilnya potensi erupsi maka kita dan
pemerintah bisa lebih siaga dan tahu kesiapsiagaan apa yang mesti dilakukan ke depan.

http://www.ibnurusydy.com/peran-geofisika-fisika-bumi-dalam-mitigasi-dan-
monitoring-bencana-v/

Anda mungkin juga menyukai