Anda di halaman 1dari 37

SHELL INDONESIA

LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN


PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

BAB I
EXECUTIVE SUMMARY

1.1. Shell di Indonesia


Shell di Indonesia menjalankan aktivitas bisnisnya di sektor hulu dan hilir.
Di sektor hilir, aktivitas bisnis Shell meliputi BBM, pelumas untuk industri,
otomotif dan transportasi, bahan bakar untuk industri kelautan, bahan bakar
komersial dan bitumen. Di sektor hulu, Shell merupakan operator untuk blok Pulau
Moa Selatan dan merupakan mitra strategis Inpex, operator Masela PSC yang
meliputi lapangan gas Abadi.
1.2. Nilai-nilai Kami
Nilai-nilai utama kami yaitu kejujuran, integritas, dan rasa hormat kepada
orang lain menjadi dasar terbentuknya Prinsip-prinsip Umum Bisnis Shell.
1.3. Aktivitas Bisnis Kami di Indonesia
Di sektor Hilir, Shell Indonesia melayani pangsa pasar bisnis dan
pengendara bermotor. Shell Indonesia mengelola kegiatan bisnis yang meliputi
pemasaran dan perdagangan pelumas secara langsung maupun melalui distributor-
distributor yang telah ditunjuk. Shell Indonesia mencatat tonggak sejarah baru
dengan diresmikannya SPBU Shell pertama di Karawaci, Tangerang. Shell
merupakan perusahaan minyak internasional pertama yang terjun dalam bisnis ritel
BBM setelah 40 tahun. Di sektor hulu, Shell merupakan operator untuk blok Pulau
Moa Selatan dan merupakan mitra strategis Inpex, operator Masela PSC yang
meliputi lapangan gas Abadi.
Shell Indonesia dalam angka:
▪ Memiliki lebih dari 270 karyawan
▪ Telah membangun lebih dari 70 SPBU (Jabodetabek, Bandung dan
Sumatera Utara)

1
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

▪ Satu (1) Pabrik Penyimpanan Bitumen di Merak, Jawa Barat


▪ Tiga (3) Gudang Pelumas (Bekasi, Surabaya dan Balikpapan)
▪ Memiliki satu (1) Pabrik Pelumas di Marunda
1.4. Kontribusi Kami
Shell Indonesia memiliki komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan
di wilayah-wilayah dan komunitas dimana Shell melakukan aktivitas bisnisnya.
Aktivitas sosial ini didorong oleh komitmen terhadap pembangunan yang
berkelanjutan dan keyakinan bahwa kesuksesan bisnis jangka panjang kami akan
bergantung pada kemampuan kami untuk menciptakan keseimbangan yang tepat
antara pertumbuhan ekonomi, kepedulian kepada lingkungan, dan pembangunan
kemasyarakatan yang merata. Dapatkan informasi lebih lanjut mengenai Program
Investasi Sosial kami di Indonesia.

2
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

BAB II
GEOLOGICAL FINDING AND REVIEW

2.1. Stratigrafi Regional


Daerah penelitian secara regional terletak pada Cekungan Tarakan.
Cekungan Tarakan merupakan cekungan sedimentasi berumur Tersier yang terletak
di bagian timurlaut Kalimantan. Cekungan ini dibatasi oleh Tinggian Samporna di
bagian Utara, Tinggian Kuching di bagian barat, Tinggian Mangkalihat di selatan,
dan membuka ke arah timur sampai Laut Sulawesi. (Gambar 1)

Gambar 2.1. Cekungan Tarakan (Achmad and Samuel, 1984)

3
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

Cekungan Tarakan dapat dibagi menjadi 4 subcekungan, yaitu


Subcekungan Tarakan, Tidung, Berau, dan Muara (Tossin dan Kadir, 1996;
Achmad and Samuel, 1984). Tinggian Suikerbrood terbentuk pada umur
Oligosen Akhir (Achmad and Samuel, 1984), yang memisahkan
Subcekungan Muara dan Berau, sedangkan Subcekungan Berau dan Tidung
dipisahkan oleh Tinggian Sekatak. Subcekungan Tarakan berkembang
sampai ke lepas pantai.
2.2. Tatanan Stratigrafi Nasional
Stratigrafi regional dapat dibagi menjadi endapan pra-Tersier,
Tersier, dan Kuarter. Batuan pra-Tersier tertua dinamakan Formasi Danau,
tersusun atas batuan yang telah mengalami tektonik kuat dan batuan
metamorf dengan ketebalan yang signifikan, dengan umur yang masih
menjadi perdebatan antara Perm – Karbon atau Jura – Kapur (Marks, 1957
op. cit. Achmad and Samuel, 1984).
Formasi Sembakung terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi
Danau, memiliki umur Eosen Tengah (Achmad and Samuel, 1984). Pada
bagian bawah, formasi ini terdiri atas batupasir merah dengan konglomerat.
Pada bagian atas, terdiri dari batulumpur yang kaya karbon dan fosil, miskin
mika, yang dinamakan Malio Mudstone (Achmad and Samuel, 1984).
Formasi Sembakung dan Formasi Danau merupakan batuan dasar dari
Cekungan Tarakan.
Tatanan stratigrafi di atas batuan dasar dari tua – muda dapat dibagi
menjadi 5 siklus sedimentasi menurut Achmad and Samuel, 1984 (Gambar
2.2), yaitu siklus 1 (Eosen Akhir – Oligosen Akhir), siklus 2 (Miosen Awal
– Miosen Tengah), siklus 3 (Miosen Tengah – Miosen Akhir), siklus 4
(Pliosen), dan siklus 5 (Kuarter). Penjelasan untuk masing-masing siklus
sedimentasi adalah sebagai berikut:

4
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

A. Siklus 1
Siklus sedimentasi ini terdiri dari Formasi Sujau, Mangkabua, dan
Seilor, yang terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Danau atau
Sembakung dengan lingkungan pengendapan littoral – laut dangkal berumur
Eosen Akhir – Oligosen Awal (Biantoro et al., 1996; Hidayati et al., 2007).
Siklus sedimentasi ini diakhiri oleh proses pengangkatan dan vulkanisme.
B. Siklus 2
Siklus sedimentasi yang kedua dimulai dengan diendapkannya
Formasi Tempilan secara tidak selaras di atas Formasi Mangkabua.
Kemudian terjadi transgresi regional yang diikuti oleh pengendapan Formasi
Tabalar secara selaras di atas Formasi Tempilan dan secara lokal diendapkan
tidak selaras di atas Formasi Seilor. Formasi Tabalar berangsur berubah
menjadi Formasi Birang pada cekungan bagian selatan dan menjadi Formasi
Mesalai atau Naintupo pada cekungan bagian utara.
C. Siklus 3
Siklus ini dimulai proses pengendapan deltaik yang berprogradasi
dari barat – timur. Pada cekungan bagian selatan, siklus ini dimulai dengan
pengendapan Formasi Latih secara tidak selaras di atas Formasi Birang, yang
diikuti oleh pengendapan Formasi Menumbar secara selaras di atas Formasi
Latih dan secara tidak selaras di atas Formasi Birang pada Subcekungan
Muara. Pada cekungan bagian utara, siklus ini menghasilkan Formasi Meliat,
Tabul, dan Santul yang terendapkan pada fase regresi lingkungan deltaik –
transisi.
D. Siklus 4
Pada siklus ini diendapkan Formasi Sajau secara selaras di atas
Formasi Menumbar, sedangkan Formasi Tarakan menindih secara tidak
selaras formasi yang lebih tua. Formasi Sajau terdapat pada Subcekungan
Muara dan berubah menjadi Formasi Domaring ke arah barat. Formasi

5
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

Tarakan berkembang pada Subcekungan Tidung dan Tarakan. Ke arah timur,


formasi ini berubah secara berangsur menjadi serpih dan batugamping.

Gambar 2.2. Lithologi Tarakan

6
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

E. Siklus 5
Pada siklus ini diendapkan Formasi Bunyu secara tidak selaras di atas
Formasi Tarakan. Formasi Bunyu diendapkan pada lingkungan upper
deltaicplain – fluvial dan pada lingkungan non-deltaic akan terendapkan
Formasi Waru.
2.3. Struktur Geologi Regional
Pola struktur dan perkembangan tektonik selama Zaman Tersier di
Kalimantan diwarnai dengan pembentukan cekungan sedimentasi, kegiatan
magmatik serta deformasi yang didominasi dan bersumber dari gerak-gerak
lateral melalui sesar-sesar yang umumnya merupakan pengaktifan kembali
sesar-sesar tua yang terdapat dalam batuan dasar (Asikin, 2002).
Secara umum struktur geologi Cekungan Tarakan (Gambar 2.3)
dikontrol oleh pola sesar yang berarah relatif timurlaut - baratdaya dan pola
lipatan dengan arah umum baratlaut – tenggara. Struktur tersebut terbentuk
akibat ekstensi pada umur Eosen – Miosen Awal dan tereaktivasi akibat
kompresi selama Miosen Tengah – sekarang.
2.4. Sejarah Tektonik
Pembentukan Cekungan Tarakan dan proses pengendapan pada
cekungan ini tidak terlepas dari gejala tektonik yang ada. Secara umum,
sejarah tektonik cekungan ini dapat dibagi menjadi 3 fase selama Tersier –
Kuarter, yaitu Eosen Tengah – Miosen Tengah, Miosen Tengah – Pliosen,
dan Pliosen – Resen. Berikut ini adalah sejarah tektonik dari Cekungan
Tarakan dari tua – muda berdasarkan Lentini and Darman, 1996.
A. Eosen Tengah – Miosen Tengah
Pada akhir Eosen Tengah, dimulai pembentukan cekungan yang
bersamaan dengan pembentukan Laut Sulawesi akibat proses pemekaran
antara Sulawesi bagian barat dan utara dengan Kalimantan bagian timur
(Hamilton, 1979 op. cit. Lentini and Darman, 1996). Ekstensi dan penurunan

7
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

cekungan dimulai. Pada Eosen Tengah – Akhir dan berhenti pada Miosen
Tengah (Burollet and Salle, 1981 op. cit. Lentini and Darman, 1996;
Situmorang, 1983 op. cit. Lentini and Darman, 1996).
Fase tektonik ekstensi ini membuka Cekungan Tarakan ke arah timur,
yang diindikasikan oleh kehadiran blok sesar enechelon dengan kemiringan
ke arah timur. Pembukaan dari Laut Sulawesi ini diinterpretasikan
berhubungan dengan peristiwa tektonik yang sama dengan tektonik yang
membuka Laut Cina Selatan (Rangin, 1991 op. cit. Lentini and Darman,
1996).
B. Miosen Tengah – Pliosen
Cekungan Tarakan pada umur ini secara tektonik lebih stabil dengan
sedimentasi deltaik dari barat menuju timur (Lentini and Darman, 1996).
Selama fase ini, kombinasi antara penurunan cekungan dan sesar tumbuh
menciptakan ruang akomodasi untuk pertambahan volume dari endapan
deltaik (Lentini and Darman, 1996). Namun, progradasi endapan deltaik dari
barat ke timur (Achmad and Samuel, 1984) menunjukkan adanya
peningkatan suplai sedimen dari Tinggian Kuching. Pengangkatan yang
menyebabkan terjadinya peningkatan suplai sedimen disebabkan akibat
kompresi.
C. Pliosen – Resen
Fase tektonik terakhir menghasilkan lipatan berarah relatif baratlaut
– tenggara. Lima lipatan utama, dari utara ke selatan urutannya adalah lipatan
Sebatik, Ahus, Bunyu, Tarakan, dan Latih. Struktur ini dibentuk akibat
kompresi yang berarah timurlaut – baratdaya.
2.5. Geologi Subcekungan Tarakan
Daerah penelitian terletak pada Subcekungan Tarakan, yang dibatasi
oleh Subcekungan Tidung di sebelah utara, Subcekungan Berau dan Muara

8
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

di sebelah selatan, serta Tinggian Kuching di sebelah barat. Cekungan


membuka sampai Laut Sulawesi.
A. Formasi Seilor
Proses pemekaran Laut Sulawesi pada akhir dari Eosen Tengah terus
berjalan bersamaan dengan pengangkatan pada bagian barat Subcekungan
Tarakan, dan mengontrol siklus sedimentasi pada daerah ini. Pengangkatan
tersebut diikuti proses erosi dan dimulai pengendapan Seilor, yang
terendapkan secara tidak selaras di atas formasi yang lebih tua (Biantoro et
al., 1996; Hidayati et al., 2007).
Formasi Seilor didominasi oleh batugamping dan membentuk
paparan karbonat. Secara lokal, batugamping mengandung dolomit terutama
jika kontak dengan batuan di atasnya adalah erosional. Kehadiran
Nummulites, Eulepidina, dan Lepidocyclina mengindikasikan umur formasi
ini adalah Oligosen Awal (Achmad and Samuel, 1984).
B. Formasi Mangkabua
Formasi Mangkabua diendapkan secara selaras di atas Formasi
Seilor, yang dicirikan oleh napal masif dan tebal. Pada formasi ini, hadir
Nummulitesfichteli yang mengindikasikan umur Oligosen (Marks, 1957 op.
cit. Achmad andSamuel, 1984). Kebanyakan formasi ini mengalami erosi
yang terjadi pada pengangkatan Oligosen Akhir (Achmad and Samuel,
1984).
C. Formasi Tempilan
Formasi ini diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi
Mangkabua, tersusun atas perselingan batupasir, tuf, serpih, dan lapisan
batubara. Foraminifera besar yang hadir adalah Lepidocyclina dan
Heterostegina, yang mengindikasikan umur Oligosen Akhir (van der Vlerk,
1925 op. cit. Achmad and Samuel, 1984). Distribusi dari formasi ini belum

9
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

diketahui secara jelas, kemungkinan terakumulasi pada depresi atau graben


secara lokal (Achmad and Samuel, 1984).
D. Formasi Tabalar
Formasi ini diendapkan selaras di atas Formasi Tempilan. Formasi ini
didominasi oleh batugamping dan berumur Oligosen Akhir – Miosen Awal,
merepresentasikan paparan karbonat dengan perkembangan lokal terumbu
(Achmad and Samuel, 1984). Batugamping mengandung Lepidocyclina dan
Nummulites (Achmad and Samuel, 1984). Ke arah barat, batugamping
Tabalarberangsur berubah menjadi perselingan napal, batugamping, dan
serpih yang dinamakan Formasi Mesalai atau merupakan bagian bawah dari
Formasi Naintupo (Marks, 1957 op. cit. Achmad and Samuel, 1984).
E. Formasi Naintupo
Formasi Naintupo diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi
Tabalar, terdiri dari serpih, napal, dan lapisan batugamping kaya foram
plankton (Leopold, 1928 op. cit. Achmad and Samuel, 1984). Umur Formasi
ini berumur Miosen Awal – Tengah berdasarkan kehadiran foraminifera
plankton (Achmad and Samuel, 1984). Pengendapan Formasi Naintupo
diakhiri oleh pengangkatan dan berakhirnya fase ekstensi.
Formasi Meliat
Formasi Meliat diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi
Naintupo (Achmad and Samuel, 1984). Formasi ini terdiri dari batupasir
halus – kasar, serpih, dan batubara dan merupakan awal dari sedimentasi
deltaik (Achmad and Samuel, 1984).
F. Formasi Tabul dan Santul
Formasi Tabul diendapkan secara selaras di atas Formasi Meliat dan
secara lokal tidak selaras di atas Formasi Naintupo, terdiri dari batupasir,
batulanau, dan sisipan serpih, berumur Miosen Tengah – Akhir (Baggelaar,
1951 op. cit. Achmad and Samuel, 1984). Formasi Tabul bagian atas setara

10
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

dan dapatdibedakan sebagai Formasi Santul pada Subcekungan Tarakan


(Baggelaar, 1951 op. cit. Achmad and Samuel, 1984, Lentini and Darman,
1996).
Formasi Santul terdiri dari perselingan batupasir, batulanau, dan
batulempung disertai kehadiran lapisan batubara tipis dengan tebal 1 – 2 m.
Batupasir dicirikan oleh warna abu-abu muda – putih, berukuran butir sangat
halus – sedang, pemilahan sedang – baik, menyudut tanggung – membundar
tanggung, mineral kuarsa, fragmen batubara, terkadang fragmen batuan
vulkanik, pirit jarang, secara lokal terdapat nodul batugamping dengan
matriks lempung dan ketebalan batupasir 2 – 25 m (Pertamina – Medco
Simenggaris, 2002).
Batulempung sendiri cenderung lengket sedangkan laminasi batubara
seringkali hadir diantaranya. Batubara memiliki warna hitam kecoklatan.
Batuan vulkanoklastik yang dinamakan tuf Sijin hadir secara lokal di Formasi
Santul, dan berdasarkan penentuan umur absolut berumur Miosen Akhir
(Achmad and Samuel, 1984). Ke arah cekungan (basinward), Formasi Tabul
dan Santul secara lateral berubah menjadi serpih, napal, dan batugamping.
G. Formasi Tarakan
Formasi Tarakan diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi
Santul, disusun oleh batupasir, serpih, dan sisipan batubara berumur Pliosen
(Achmad and Samuel, 1984). Ke arah timur, formasi ini berubah secara
berangsur menjadi serpih dan batugamping.
H. Formasi Bunyu
Formasi Bunyu terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi
Tarakan selama transgresi pada umur Pleistosen, terdiri dari batupasir, serpih,
dan sisipan lignit (Achmad and Samuel, 1984).

11
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

2.6. Sistem Petroleum Cekungan Tarakan


A. Source Rock
Formasi yang berpotensi sebagai source rock adalah Formasi Sembakung dan
Meliat. Formasi Meliat juga memiliki batuan yang mengandung material organik
yang cukup dengan sebagian formasi temperaturnya cukup tinggi, sehingga mampu
mematangkan hidrokarbon.
Formasi Sembakung pada Paleosen/Eosen Awal, terdiri dari batu pasir, batu
lempung lanauan, dan batuan volkanik.
Formasi Meliat menumpang secara tidak selaras di atas sedimen siklus-2 dan
secara umum terdiri dari batu lanau, batu lempung/serpih, batu pasir, di beberapa
tempat berkembang batubara dan batu gamping.
B. Reservoir
Karakteristik batuan yang terdapat pada Formasi Tabul menunjukkan
potensial sebagai reservoir. Batuan mempunyai kastika kasar dengan geometri
sedimen deltaik yang penyebarannya terbatas.
Formasi Tabul menumpang secara selaras di atas Formasi Meliat. Formasi
Tabul berisi batupasir, batulanau, shale dengan lapisan tipis batubara. Tebal formasi
mencapai 400-1500 m dan menebal ke arah timur.
C. Seal Rock
Formasi Tabul, Santul dan Tarakan tersusun oleh batu lempung hasil endapan
delta intraformational yang berfungsi pula sebagai batuan tudung.
Formasi Santul menumpang secara selaras di atas Formasi Tabul dan
dicirikan oleh perselingan batupasir, batulempung dan batubara. Batupasir sebagian
menunjukkan ciri endapan channel. Formasi Tarakan memiliki kontak erosional
dengan Formasi Santul di bawahnya dan dicirikan oleh perselingan batu pasir, batu
lempung dan batubara. Batu pasir umumnya berbutir sedang sampai kasar, kadang-
kadang konglomeratan, lanauan atau lempungan.

12
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

D. Traps
Sistem perangkap hidrokarbon yang terdapat di Cekungan Tarakan adalah
perangkap stratigrafi karena adanya asosiasi litologi batuan sedimen halus dengan
lingkungan pengendapannya delta. Namun pada umur Plio-Pleistosen, terjadi
tektonik yang memungkinkan terbentuknya struktur geologi dan dapat terjadi
perangkap hidrokarbon yang berhubungan dengan syngenetic fault dan struktur
antiklin.
E. Migrasi
Model migrasi yang terjadi di Cekungan Tarakan disebabkan oleh sesar
normal dan sesar naik serta perbedaan elevasi. Samuel (1980, dalam Indonesia
Basins Summaries 2006) menyebutkan bahwa migrasi hidrokarbon bekerja pada
blok-blok yang terbentuk Mio-Pliosen. Hal itu juga didukung dengan waktu yang
tepat proses pematangan hidrokarbon pada Miosen Akhir dari Formasi Tabul dan
Tarakan akibat intrusi batuan beku. Pematangan hidrokarbon terjadi pada
kedalaman 4300 m.

13
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

BAB III
FLUID DESCRIPTION

Berdasarkan hasil analisa PVT pada Laboratorium Analisa Fluida Reservoir


dan beberapa perhitungan berdasarkan data-data yang sudah ada, karakteristik
fluida pada Lapangan Apus-Apus sebagai berikut:
Tabel III-1. Data Fluida Reservoir Layer U
Data Fluida Reservoir
0.9193
Sgo
22.42146198 °API
SGg 0.66
SGw 1.012
SG mix 0.989226549
Water Cut 0.754331699
9976.787341 scf/bbl
GOR
1.13535E+04 scf/STB
2450.980392 scf/bbl
GLR
2153.77806 scf/STB
C 0.032839275
Rs 78.35991642 scf/STB
F -0.032839275
Pb 863.9435756 psia
Bo 1.137991159 bbl/STB
ρ oil 52.89104057 lb/cuft
Co 1.77E-05 psi^-1
μo @ 30 C 22.7 cp
μo @ 60 C 7.87 cp
Jadi, berdasarkan nilai °API sebesar 22,42 °API, dapat disimpulkan bahwa
fluida reservoir pada sumur PIP-5 merupakan minyak berat dengan kandungan air
yang cukup tinggi, yaitu 75,43%. Namun, gas yang dihasilkan pada sumur PIP-5
ini juga tergolong sangat tinggi, yaitu dengan GOR 11.353 scf/STB.

14
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

BAB IV
WELL COMPLETION

4.1. Teori Dasar


Apabila pemboran telah mencapai formasi yang merupakan target terakhir
dan pemboran telah selesai, maka sumur-sumur tersebut perlu dipersiapkan untuk
diproduksi atau disempurnakan dahulu sebelum diproduksi. Persiapan atau
penyempurnaan sumur disebut well completion. Persiapan ini antara lain mengatur
agar aliran dari formasi dapat dengan sebaik-baiknya masuk kedalam sumur dan
mengalir sampai ke permukaan.
Tujuan dari penyelesaian sumur adalah untuk memaksimalkan dan
mengontrol aliran fluida dari reservoir ke dasar sumur dan dari sumur ke
permukaan sesuai dengan karakteristik, kondisi dan jenis reservoirnya.
Penyelesaaian sumur dilakukan dengan pemasangan peralatan untuk mengangkat
fluida hidrokarbon dari reservoir ke permukaan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan well completion sebagai
berikut:
1. Kekompakan batuan
2. Jumlah lapisan produktif
3. Productivity Index (PI)
4. Sifat fluida formasi
5. Kemungkinan pemakaian artificial lift
6. Kemungkinan operasi treatment dan workover
Komplesi sumur dapat dibagi menjadi tiga jenis yang didasarkan pada
fungsi dan tujuan penggunaannya. Ketiga komplesi sumur tersebut dapat
dijelaskan berikut ini:

15
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

a. Formation Completion
Tujuannya adalah untuk mengalirkan fluida reservoir yang optimal ke
dalam lubang bor. Formation Completion terdiri atas:
1. Open hole Completion
Casing produksi dipasang di atas zona produktif dan zona produktif
dibiarkan terbuka terhadap lubang bor. Tipe komplesi ini sesuai untuk
formasi yang kompak.
2. Perforated Casing Completion
Casing produksi di semen hingga zona produktif, kemudian diperforasi
sehingga minyak dapat dialirkan ke permukaan. Komplesi ini dipakai pada
formasi patahan atau pada formasi yang kurang kompak.
3. Sand Exclusion Type Completion
Digunakan untuk sumur yang mempunyai masalah kepasiran dan formasi
produktif yang kurang kompak. Metode-metode umum yang digunakan
untuk menanggulangi masalah kepasiran adalah liner completion, gravel
pack completion yang biasanya dikombinasikan dengan screen liner dan
sand consolidation completion.

Gambar 4.1. Open Hole Completion Gambar 4.2. Cased Hole Completion

16
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

Tabel IV-1. Estimasi Saturasi Hidrokarbon


WELLS A B C
Lithology SS LS DOL
Archie : a 0.62 1 1
M 1.8 2 2.5
N 2 1.9 2
Rw@Ft 0.04 0.1 0.02
Phi% 30 17 16
Ro 0.216 3.46 1.953
Rt 80 8 20
I 370.37 2.312 10.24
SW% 5.2 65.764 31.249
SH% 94.8 34.236 68.76

Rumus Archie :
Ro
F=
Rw
1
F= m
ϕ
Dengan Asumsi Rw = 0.027
Sehingga :
0.216
F=
0.027
F=8
1
F=
∅m
1
8=
0.28m
m=1.63

17
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

Gambar 4.3. Faktor Sementasi


Berdasarkan hasil perhitungan nilai sementasi didapatkan faktor sementasi
yang tergolong pada slightly cemented. Untuk formation completion pada pada
layer U diterapkan cased hole completion dengan pembuatan lubang perforasi pada
kedalaman 1787,8-1799,4 m menggunakan bullet perforator (formasinya tidak
terialu keras dan tidak berlapis-lapis).
Layer U memiliki porositas yang cukup tinggi yaitu sebesar 28% dengan
lithology batu pasir, hal tersebut menjadi indikasi kemungkinan terjadinya masalah
kepasiran, yaitu ikut terproduksi pasir melewati batas maksimal toleransi produksi
pasirnya, hal tersebut dapat dicegah dengan menggunakan screen liner dan gravel
pack.
Gravel pack ditempatkan pada sekitar lubang perforasi baik di dalam hingga
screen liner dan diluar casing pada zona perforasi. Komplesi dalam keadaan over
balanced karena tekanan hidrostatik lebih besar dari tekanan formasi (Ph > Pf).

18
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

b. Tubing Completion
Tubing completion merupakan suatu completion dari rangkaian tubing
produksi pada suatu sumur yang digunakan untuk mengalirkan fluida produksi dari
dasar sumur ke permukaan. Tubing completion dapat dibagi menjadi tiga bagian
utama yaitu:
1. Single Completion
2. Multiple Completion
3. Commingle Completion
Well head Completion
Pemilihan metode well head completion dilakukan berdasarkan beberapa
faktor, seperti laju produksi fluida atau jumlah lapisan produktif, produktivitas
formasi dan tekanan reservoir.
4.2. Analisa Well Competion Sumur PIP-5 Layer U
Setelah dilakukan pemboran hingga mencapai kedalaman yang diinginkan
sumur dilakukan komplesi untuk merubah sumur pemboran menjadi sumur
produksi. Adapun tipe komplesi yang akan digunakan tergantung pada karakteristik
dan konfigurasi antara formasi produktif dengan formasi di atas dan di bawahnya,
tekanan formasi, jenis fluida, dan metode produksi.

Tabel IV-2. Data Layer U


Layer U

TVD (m) 1810

Interval Perforasi (m) 1787,8-1799,4

Lithologi Sandstone
Porositas (%) 28

19
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

Formation Completion
Untuk formation completion pada pada layer U diterapkan cased hole
completion dengan pembuatan lubang perforasi menggunakan bullet perforator
(bila syarat formasinya dipenuhi misalnya formasinya tidak terialu keras dan sumur
tidak mempunyai casing yang berlapis-lapis). Layer U memiliki porositas yang
cukup tinggi yaitu sebesar 28% dengan lithology batupasir, hal tersebut menjadi
indikasi kemungkinan terjadinya masalah kepasiran, yaitu ikut terproduksi pasir
melewati batas maksimal toleransi produksi pasirnya, hal tersebut dapat dicegah
dengan menggunakan screen liner dan gravel pack.

Gambar 4.4. Gravel Pack Completion

Tubing Completion
Untuk tubing completion digunakan single tubing completion, dimana
hanya menggunakan satu tubing dan menggunakan permanent packer karena hanya
terdapat satu zona produktif pada kedalaman 1787,8-1799,4 m.
Wellhead Completion
Pada layer U lithology batuannya merupakan batu pasir dengan porositas
yang tinggi, hal ini mengindikasikan ikut terproduksinya pasir yang bersifat
abrasive terhadap logam, sehingga pemilihan jenis wellhead lebih focus terhadap
pemilihan bahan yang tahan dengan sifat abrasive dari pasi

20
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

BAB V
PRODUCTION ASPECT

5.1. Production Method Design


Dalam menentukan metode artificial lift, diperlukan analisa perpotongan
kurva inflow dan outflow menggunakan software PIPESIM untuk mengetahui
apakah suatu sumur masih dapat mengalir secara alami atau tidak. Apabila kurva
inflow dan outflow berpotongan, maka sumur dapat berproduksi tanpa harus
menggunakan artificial lift. Namun, apabila kurva inflow dan outflow tidak
berpotongan, maka sumur tersebut membutuhkan artificial lift untuk mengalirkan
fluida dari sumur ke permukaan. Berikut adalah screening criteria dalam
menentukan jenis artificial lift yang akan digunakan dalam mengoptimasi sumur
PIP-5:

21
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

Tabel V-1. Screening Criteria

(Sumber:

Berdasarkan hasil screening criteria tersebut, metode artificial lift yang sesuai
adalah intermittent gas lift. Berikut adalah faktor-faktor dalam pemilihan metode
artificial lift dengan intermittent gas lift:
1. Gas Oil Ratio (GOR)
Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan data tes produksi pada sumur
PIP-5, didapatkan nilai GOR sebesar 11.353 scf/STB. Nilai GOR yang
tinggi tersebut menjadi acuan dalam pemilihan metode artificial lift gas lift
karena pasokan tergolong sangat banyak, sehingga memungkinkan untuk
penginjeksian gas.

22
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

2. Productivity Index (PI)


Nilai PI berpengaruh dalam menentukan apakah metode yang digunakan
adalah continuous gas lift atau intemittent gas lift. Jika PI > 0,5 maka metode
yang digunakan adalah continuous gas lift, sedangkan jika PI < 0,5 maka
metode yang digunakan adalah intemittent gas lift. Berdasarkan hasil
perhitungan PI, diperoleh nilai PI sebesar 0,313, sehingga metode artificial
lift yang paling sesuai untuk sumur PIP-5 adalah intermittent gas lift.

Berdasarkan perhitungan menggunakan software PIPESIM 2017, diperoleh


beberapa hasil, sebagai berikut:
• Nodal Analysis Sumur PIP-5

Gambar 5.1. Kurva IPR vs Tubing Performance


Berdasarkan Gambar 5.1., kurva inflow (IPR) dan kurva outflow (Tubing
Performance) berpotongan, yang berarti bahwa sumur PIP-5 masih dapat
memproduksikan fluida sampai permukaan dengan Q sebesar 510,9116 STBD pada
Pwf sebesar 388,4842 psia. Namun, karena rate produksinya rendah akibat
penurunan tekanan reservoir, sumur PIP-5 dapat menggunakan gas lift untuk
menaikkan rate produksinya (optimasi) hingga mencapai Q optimumnya, yaitu
546,1863 STBD.

23
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

• Nodal Analysis setelah Menggunakan Gas Lift

Gambar 5.2. Nodal Analysis Gas Lift


Berdasarkan Gambar 5.2., dapat dibuktikan bahwa setelah sumur PIP-5
mencoba menerapkan metode gas lift, Q produksinya berkurang dari 510,9116
STBD menjadi 497,3296 STBD

• Sensitivity Injeksi Gas dengan Pso =300 psia

Gambar 5.3. Grafik Gas Lift dengan Pso = 300 psia

Berdasarkan Gambar 5.3., dilakukan injeksi gas dengan berbagai rate dari
0,001 – 0,5 MMSCFD pada Pso sebesar 300 psia. Saat menginjeksi gas sebesar
0,001 MMSCFD, laju produksi fluida awalnya naik dari 510,9116 STBD menjadi
511,0068 STBD. Kemudian, pada range injeksi gas 0,02-0,03 MMSCFD mulai
terlihat jelas bahwa laju produksi fluida semakin berkurang dari 511,0068 STBD

24
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

menjadi 510,1727 STBD. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi slippage pada gas
karena kandungan gas terlalu banyak, sehingga laju fluida semakin berkurang.
• Sensitivity Injeksi Gas dengan Pso = 350 psia

Gambar 5.4. Grafik Gas Lift dengan Pso = 350 psia

Pada Gambar 5.4., dilakukan penginjeksian gas pada sumur PIP-5 dengan
Pso yang lebih besar, yaitu 350 psia. Namun, grafik tersebut menunjukkan hasil
yang sama seperti injeksi gas pada Pso = 300 psia. Laju produksi fluida yang tetap
menurun menunjukkan bahwa metode artificial dengan gas lift bukanlah metode
yang sesuai untuk digunakan pada sumur PIP-5.

• Nodal Analysis Metode ESP

Gambar 5.5. Nodal Analysis pada ESP

Berdasarkan Gambar 5.5., kami mencoba menerapkan metode artificial lift


dengan ESP pada sumur PIP-5. Hasil perhitungan pada software PIPESIM

25
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

menunjukkan bahwa kurva inflow tidak berpotongan dengan kurva outflow yang
berarti metode artificial lift dengan ESP pada sumur PIP-5 tidak compatible.
• Metode Natural Flow dengan Sensitivity Tubing

Gambar 5.6. Sensitivity Tubing

Pada Gambar 5.6., kami menerapkan metode natural flow, tidak


menggunakan artificial lift. Namun, kami mencoba sensitivity dengan mengganti
ukuran ID tubing menjadi 2,992 in. Dari sensitivity tersebut, dapat disimpulkan
bahwa penggunaan tubing berdiameter 2,992 in dapat meningkatkan laju produksi
hingga 536,6591 STBD, dimana mendekati Q diinginkan (546,186 STBD).

5.2. Penentuan Flow Correlation

Gambar 5.7. Screening Criteria untuk Flow Correlation

26
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

Untuk kasus pada sumur PIP-5, kami memilih jenis Flow Correlation Duns
& Ros. Menurut screening criteria pada berbagai macam Flow Correlation, sumur
PIP-5 sangat sesuai dalam menggunakan Duns & Ros Correlation berdasarkan
ukuran tubing, jumlah fasa fluida dan data yang diperhitungkan. Pada Duns & Ros,
jenis pola aliran ikut diperhitungkan. Hal ini sangat penting untuk mengetahui jenis
pola aliran yang tepat untuk sumur PIP-5, sesuai dengan gambar berikut:

Gambar 5.8. Daerah Aliran Korelasi Duns & Ros

Pada Gambar 5.8., terlihat beberapa macam jenis pola aliran dan menurut
hasil perhitungan (terlampir), jenis pola aliran pada sumur PIP-5 merupakan aliran
mist flow. Sesuai dengan hasil yang diperoleh, yaitu NLv sebesar 1,292514 dan NGv
sebesar 562, 9161. Hal ini menunjukkan bahwa sumur ini tidak sesuai memakai gas
lift karena alirannya sudah menyerupai uap, sehingga liquid tidak dapat terangkat
karena massa gas terlalu banyak sehingga gas akan naik terlebih dahulu.
Sedangkan, pola aliran yang sesuai untuk gas lift adalah bubble flow, dimana laju
alir gas dan liquid selaras sehingga gas mampu mengangkat liquid ke permukaan.

27
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

5.3. Production Facilities Design

Gambar 5.9. Diagram Alir Produksi

1. Flowline
Setelah sumur melewati wellhead, fluida produksi akan dialirkan dari
wellhead menuju manifold. Jenis flowline yang digunakan adalah flowline dari
manufaktur Hunan Great Steel Pipe dengan outer diameter (OD) sebesar 4,5”,
inner diameter (ID) sebesar 3,905”, dengan bahan API 5L dengan standar ASTM
sepanjang 7950 meter atau 26083,95 ft. Berdasarkan hasil perhitungan kehilangan
tekanan dalam aliran pipa alir (flowline) sebesar 0,001 psi/ft dengan panjang pipa
alir sebesar 26083,95 ft sehingga didapatkan kehilangan tekanan dalam pipa alir
sebesar 26,663 psi dan tekanan inlet pada manifold sebesar 63,3366 psi. Pada
flowline ditambahkan isolator untuk mencegah kehilangan temperature dalam pipa.

28
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

Gambar 5.10. Flowline

2. Manifold dan Header


Manifold adalah suatu kumpulan rangkaian peralatan yang terdiri dari pipa
utama (header), valve, check valve, fitting, fasilitas pengukur tekanan (pressure
gauge). Fungsi manifold adalah:
• Sebagai sarana untuk mengatur flowline dari sumur-sumur produksi yang
digabungkan menjadi satu aliran masuk ke sarana pengolahan lanjut
(separator atau tangki).
• Menyekat dan mengatur aliran dari satu sumur terhadap aliran sumur-sumur
lainnya untuk dilakukan tes.
Pada manifold diatur tekanan dari beberapa sumur menuju separator menjadi sama
dengan menggunakan pompa sebesar 400 psia. Pressure loss pada header sebesar
0,000798 psi/ft dengan panjang header-separator sebesar 50 m sehingga
kehilangan tekanan sepanjang header sebesar 0,13 psi sehingga tekanan inlet
separator sebesar 399,87psi.

Gambar 5.11. Manifold

29
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

3. Separator
Separator adalah suatu alat yang dipergunakan untuk memisahkan minyak
dari air atau gas. Cara kerja dari separator tersebut yaitu dengan gaya pemisahan
fluida dengan densitas, dimana fluida yang lebih berat akan berada di bagian bawah
sedangkan fluida yang lebih ringan akan berada pada bagian atas. Separator terbagi
berdasarkan jenis, tekanan kerja, fasa pemisahannya.
Pada sumur PIP-5, jenis separator yang digunakan adalah separator
horizontal karena GOR pada sumur PIP-5 tergolong tinggi >10.000 scf/STB. Selain
itu, separator horizontal lebih murah dibandingkan separator vertical, serta
separator ini juga memang dinilai ekonomis untuk fluida yang mempunyai GOR
tinggi. Separator yang digunakan pada sumur PIP-5 merupakan separator
multistage dengan tekanan 400 psia untuk HP separator dan 200 psia untuk LP
separator.

Gambar 5.12. Separator Horizontal

4. Gas Scrubber
Gas scrubber adalah peralatan yang berfungsi untuk membersihkan gas dari
sisa-sisa minyak dan air yang berasal dari separator. Gas scrubber digunakan untuk
meyakinkan bahwa gas tidak mengandung material atau liquid yang dapat merusak
peralatan, sehingga scrubber harus dipasang untuk melindungi peralatan seperti
kompresor dehrydator, sweetener, matering, dan regulator.

30
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

Gambar 5.13. Gas Scrubber

5. Free Water Knock Out (FWKO)


FWKO merupakan kepanjangan dari Free Water Knock Out. FWKO
digunakan untuk memisahkan air dan minyak dari fluida hidrokarbon. Air dan
minyak dipisahkan dengan gaya gravitasi serta tekanan ± 39 psi. Air menuju ke
bagian bawah FWKO sedangkan minyak menuju bagian atas FWKO. Air kemudian
tersekat-sekat di bawah yang kemudian dikeluarkan ke skimming pit. Sedangkan
minyak keluar melalui flowline menuju kedalam heater treater.

Gambar 5.14. FWKO

31
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

6. Oil Skimmer
Oil Skimmer adalah alat yang digunakan untuk memisahkan partikel cair
yang berada diatas cairan lain atau cairan yang mengambang dikarenakan cairan
tersebut tidak homogen dan yang sering kita temui adalah cairan minyak yang
mengambang di atas cairan air dan sering juga disebut oil separator. Alat ini cukup
efektif untuk memisahkan minyak dengan air dimana jenis dari oil skimmer ini
bermacam – macam.

Gambar 5.15. Oil Skimmer

7. Gas Dehydrator
Gas Dehydrator Unit berfungsi untuk memisahkan partikel air yang masih
terbawa pada gas. Dalam pemisahannya, digunakan TEG (triethylene glycol)
sebagai agent penyerapan partikel air dalam gas nya.

Gambar 5.16. Gas Dehydrator

32
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

8. Heater Treater
Setelah minyak melawati FWKO dan Oil Skimmer, minyak dialirkan
menuju stasiun pemisahan terakhir yaitu Heater Treater. Heater Treater
merupakan salah satu peralatan dari fasilitas produksi yang berfungsi untuk
memecahkan emulsi air dengan minyak dengan metode pemanasan. Emulsi
merupakan peristiwa tercampurnya dua zat fluida yang tidak saling campur dalam
keadaan normal. Dalam industri perminyakan emulsi dapat terjadi antara minyak
dengan air. Emulsi minyak dan air perlu dipecahkan sebelum fluida hidrokarbon
dialirkan ke fasilitas penampung untuk mengurangi kandungan air yang terdapat
dalam minyak.

Gambar 5.17. Heater Treater

9. Sulphur Removal
Sulphur removal merupakan suatu peralatan yang digunakan dalam fasilitas
produksi yang digunakan untuk membersihkan gas yang sudah melawati separator
dan gas scrubber dari zat pengotor sulfur. Sulfur sangat penting untuk dipisahkan
dari gas sebelum gas di alirkan kepada konsumen pembeli gas. Perusahaan pembeli
gas tidak menginginkan gas yang dibeli mengandung zat pengotor sulfur, karena
selain mengurangi konsentrasi gas yang dibutuhkan, zat pengotor sulfur juga dapat
merusak fasilitas produksi.

33
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

Gambar 5.18. Sulphur Removal

10. Wash Tank


Wash tak merupakan suatu alat yang berfungsi untuk memurnikn air dari
zat-zat pengotor sebelum air disimpan atau di injeksi kedalam sumur. Pada stasiun
pengumpul A digunakan wash tank dengan zeolite, zeolite digunakan karena
keefektifannya untuk memurnikan air dari zat pengotor H2S dan CO2.

Gambar 5.19. Wash Tank

11. Storage Tank


Tangki timbun (storage tank) adalah tempat yang digunakan untuk
menyimpan produk minyak sebelum didistribusikan kepada konsumen.

34
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

Berdasarkan jenisnya, storage tank terdiri atas fixed roof tank, floating roof tank,
dan spherical tank. Pada sumur PIP-5 digunakan storage tank jenis fixed roof tank.
Fixed toof tank merupakan tangki dengan konfigurasi atapnya bersatu dengan
dinding shell-nya. dari bentuk roof-nya dapat berbentuk cone atau dome (kubah).
Sumur PIP-5 menggunakan tangki ini karena minyak yang terproduksikan memiliki
derajat API sebesar 22,42 °API (minyak berat) yang mana minyak jenis ini tidak
mudah menguap, sehingga tidak membutuhkan atap yang berpisah dari shell-nya.

Gambar 5.20. Fixed Roof Tank

35
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan data °API sebesar 22,42 °API, minyak yang terkandung
dalam reservoir sumur PIP-5 merupakan minyak berat. Produksi
optimum pada sumur berdasarkan perpotongan inflow sumur dan
outflow sumur sebesar 510,9116 STB dengan metode produksi natural
flow.
2. Setelah dilakukan simulasi optimasi sumur menggunakan artificial gas
lift menggunakan software pipesim 2017, Saat menggunakan Pso
sebesar 300 psia laju produksi turun dari 510,9116 STBD menjadi
510,1727 STBD, saat menggunakan Pso sebesar 350 psia laju produksi
menunjukan hasil yang sama saat menggunakan Pso 300 Psia.
3. Apabila menggunakan artificial lift (gas lift), terjadi slippage, yaitu
kandungan gas yang melebihi batas wajar sehingga justru terjadi
penurunan laju produksi.
4. Jenis flowline yang digunakan adalah flowline dari manufaktur Hunan
Great Steel Pipe dengan outer diameter (OD) sebesar 4,5”, inner
diameter (ID) sebesar 3,905”, dengan bahan API 5L dengan standar
ASTM sepanjang 7500 meter atau 26083,95 ft
5. Jenis separator yang digunakan adalah separator jenis horizontal
karena keefektifannya apabila diterapkan pada sumur yang memiliki
GOR yang tinggi.
6. Jenis storage tank yang digunakan adalah jenis fixed roof tank
berdasarkan minyak yang terproduksi merupakan minyak berat dengan

36
SHELL INDONESIA
LAPORAN OPTIMASI PRODUKSI DAN
PERENCANAAN SURFACE FACILITIES PADA
SUMUR PIP-5, LAPANGAN APUS-APUS,
KALIMANTAN UTARA

°API sebesar 22,421 °API karena pengembangan volume dari minyak


akibat perubahan temperature tidak signifikan.

6.2. Saran
Berdasarkan hasil simulasi optimasi sumur menggunakan metoda artificial
lift gas lift dengan simulasi software PIPESIM 2017 menunjukan perubahan laju
produksi yang tidak signifikan dan cenderung menurun, sehingga kami
merekomendasikan sumur PIP-5 diproduksikan tetap menggunakan metode natural
flow, serta dapat dioptimasi dengan melakukan workover dengan cara penggantian
tubing menjadi 2,992 in ID untuk memperbesar pressure loss pada tubing, supaya
Pwf-nya kecil, dan laju alir semakin meningkat. Berdasarkan sensitivitas yang yang
dicoba, penggantian tubing 2,992 in dapat menaikkan rate menjadi 536,6591
STBD.

37

Anda mungkin juga menyukai