Anda di halaman 1dari 4

LAPORAN KASUS

1. DATA AWAL
F, seorang anak laki- laki berusia 12 tahun, telah terdiagnosis DM tipe I sejak usia 8
tahun dan mendapat terapi insulin hingga saat ini. Pada usia 8 tahun, F mengalami sering
buang air kecil disertai rasa haus dan lapar yang meningkat sehingga pasien periksa ke
RSUD dr. Soetomo Surabaya. Pasien dirawat inap untuk mengatur dosis insulin yang
sesuai terhadap gula darah. Setelah kondisi membaik, F diijinkan keluar Rumah Sakit dan
menjalani kontrol rutin di poli endokrin.
Serangkaian pemeriksaan dilakukan pada perawatan F selama menjalani pengobatan,
baik poliklinis maupun rawat inap. Didapatkan pasien dengan keluhan sering buang air
kecil, lapar dan haus disertai hasil laborat HbA1C 11.4 dan c-peptide <0.01.
F menjalani pengobatan rutin ke poli endokrin, namun hingga saat ini pasien masih
sering didapatkan kadar gula darah sebelum makan dengan nilai tinngi. Hal tersebut
dikarenakan pasien tidak bisa mengatur pola makan yang baik dan kepatuhan terhadap
penggunaan insulin. Sehingga berdampak pada gangguan tumbuh kembangnya. Gangguan
tumbuh kembang ini dapat diakibatkan karena kelainan dasar yang dideritanya (DM Tipe
I), pengobatan jangka panjang yang membutuhkan kontrol rutin ke RSDS sehingga
mengganggu proses belajar di sekolah, komplikasi yang ditimbulkan dari pengobatan
tersebut, dan kondisi keluarga.
Dalam kehidupan sehari- hari F tampak normal, akan tetapi terdapat kekhawatiran
keluarga tentang penyakit dan perkembangannya. Kasus ini diikuti jangka panjang untuk
tinjauan aspek medis dan tumbuh kembang pada anak dengan DM Tipe I yang
mendapatkan terapi insulin jangka panjang karena DM Tipe I.
Riwayat penyakit dahulu

Pada waktu berusia 8 tahun (tahun 2014), F mengalami sering buang air kecil, rasa
lapar dan rasa haus meningkat kemudian dibawa ke RSUD dr. Soetomo. Dilakukan
serangkaian pemeriksaan darah dan foto bone age, dikatakan F mengalami DM Tipe I,
mendapat pengobatan insulin short acting dan long acting.

Penderita rutin kontrol ke RSUD Jombang, rutin minum prednison dengan dosis yang
disesuaikan dengan anjuran dokter setempat. Setiap kali dosis diturunkan, penderita
mengalami bengkak diseluruh tubuh. Ketika mengkonsumsi prednison, nafsu makan
penderita meningkat pesat, sehingga berat badan terus bertambah. Pasien mengkonsumsi
prednison selama 12 tahun sebelum dirujuk ke RSUD dr. Soetomo Surabaya. Dua tahun
terakhir sebelum dirujuk, pasien mengalami keluhan sering makan (3 kali makanan utama,
ditambah selingan camilan berupa roti/snack 3-4 kali sehari. Pasien juga mengalami rasa
sering haus, sehari semalam dapat menghabiskan air 1,5-2 liter. Malam hari terbangun 3-
4 kali untuk berkemih. Riwayat keluarga dengan diabetes didapatkan pada ayah dan nenek
pasien.

Pada bulan September 2015, pasien dirawat di RSUD Jombang karena bengkak seluruh
tubuh, hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan gula darah puasa 241 mg/dl, gula
darah 2 jam post prandial 329 mg/dl, HbA1c 9,2, protein urine +2, reduksi urine +4.
Pemantauan glukosa darah acak harian sebesar 300 mg/dl, 213 mg/dl, 277 mg/dl, 241
mg/dl, dan keton 0,5 mg/dl. Pasien mendapat terapi suntikan actrapid subkutan 3x10 unit,
prednison 3x5 tablet dikonsumsi setiap hari.

Setelah seminggu dirawat di RSUD Jombang, glukosa darah tidak kunjung normal,
sehingga pasien dirujuk ke RSUD dr. Soetomo Surabaya dengan diagnosis sindroma
nefrotik resisten steroid dan hiperglikemia. Penderita dirawat diruang rawat inap anak
selama 8 hari. Kemudian kondisi membaik dan diizinkan keluar RS, dengan kontrol
poliklinis. Pasien menjalani pengobatan di poli nefrologi dan endokrin teratur dengan
diagnosis steroid induced diabetes mellitus, overweight, dan sindroma nefrotik dependent
steroid. Dilakukan pengobatan prednison dosis sesuai dengan evaluasi pasien, dan
pengontrolan kadar gula darah.
Selama 6 bulan terakhir dilakukan pengobatan di RSUD Jombang, kemudian pasien
datang berobat kembali di poli endokrin dan nefrologi RSUD dr.Soetomo pada bulan April
2017. Pemeriksaan fisik pasien didapatkan dengan berat badan 43,5 kg, tinggi badan 135,5
cm, berat badan ideal 37 kg. Berat badan per umur P<3 (CDC 2000). Tinggi badan per
umur P<3 (CDC 2000), dimana tinggi badan penderita terletak dibawah potensi tinggi
genetiknya sehingga tergolong short stature. Index Massa Tubuh (IMT) 23,69, IMT per
umur P<90 (CDC 2000). Lingkar kepala penderita 53 cm menunjukkan normocephali
berdasarkan kurva Nellhaus.

Pada waktu awal masuk didapatkan pasien duduk tenang di tempat tidur, tidak sesak,
tidak pucat, dengan pemeriksaan fisik full moon face dan buffalo hump. Tekanan darah
100/60 (p50-90) mmHg, denyut nadi 110x/menit, respirasi 24 kali per menit, suhu axilla
36,7ºC. Tidak ada tanda anemia, sianosis, mata cekung, mukosa kering, dan pernafasan
cuping hidung. Thorax asimetris, auskultasi paru vesikuler, tidak ada ronchi atau
wheezing. Auskultasi jantung didapatkan suara jantung tunggal, tidak didapatkan murmur
maupun gallop. Hepar dan lien tidak teraba, turgor normal dengan perfusi perifer baik.

Pasien juga didapatkan pubertas terlambat dimana pada usia 15 tahun skor Tanner
penderita pubis stage 1, axilla stage 1, dan genitalia stage 2 (P1A1G2). Gonad teraba di
kedua sisi, dengan volume kedua gonad sisi kanan 6 cc, dan sisi kiri 5 cc, serta panjang
penis 5,3 cm (mikropenis). Dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu laboratorium dan foto
polos tangan (bone age), didapatkan hasil TSH 1,227 (nilai normal 0,51-4,94), FT4 1,61
(nilai normal 0,89-1,76), LH 0,05 (nilai normal 0,1-6), FSH 1,08 (nilai normal 1,4-18,1),
testosteron 7,89 (nilai normal 241-827). Sedangkan foto bone age sesuai dengan gambaran
anak laki- laki usia 13 tahun (menurut S. Idell Pyle), didapatkan usia yang lebih muda
dibanding usia kronologisnya yaitu 16 tahun.

Hasil pemeriksaan IQ skor 85 (taraf dibawah rata- rata / lambat belajar), dimana aspek
yang diukur yaitu pemahaman kurang, logika kurang, abstraksi kurang, penalaran kurang.

Pasien pernah dilakukan pemeriksaan Bone Mineral Density (BMD) dengan hasil
BMD total 0,726 (-2,4 Z score) yaitu dibawah normal, sedangkan BMD Lumbal L1- L4 adalah
0,657 (-2,7 Z score) yaitu dibawah nilai normal.
Pasien dengan riwayat overweight dan peningkatan nafsu makan, hambatan pertumbuhan,
kondisi tulang porotik, perawakan pendek, pubertas terlambat, hipogonadotropik
hipogonadisme, intelektual rendah sesuai dengan gambaran klinis Prader- Willi Syndrome
(PWS).

Apabila dimasukkan kurva khusus PWS, grafik pertumbuhan penderita masih dibawah
rata- rata, sebagaimana terlihat pada kurva dibawah ini.

Anda mungkin juga menyukai