Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Manusia mempunyai dua ovarium yang berfungsi memproduksi sel telur dan

mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur

(oogenesis). Pada manusia, perkembangan oogenesis dari oogonium menjadi oosit

terjadi pada embrio dalam kandungan dan oosit tidak akan berkembang menjadi

ovum sampai dimulainya masa pubertas. Pada masa pubertas, ovum yang sudah

matang akan dilepaskan dari sel folikel dan dikeluarkan dari ovarium. Proses

pelepasan dari ovarium disebut ovulasi. Sel ovum siap untuk dibuahi oleh sel

spermatozoa dari laki-laki, yang apabila berhasil bergabung akan membentuk zigot

(Wikipedia, 2011). Salah satu fungsi ovarium yaitu mengeluarkan hormon steroid

seperti estrogen dan progesteron. Kedua hormon ini penting dalam proses pubertas

dan ciri-ciri seks sekunder wanita. Estrogen dan progesteron berperan dalam

persiapan dinding rahim untuk implantasi telur yang telah dibuahi, selain itu estrogen

dan progesteron juga berperan dalam memberikan sinyal kepada hipotalamus dan

kelenjar pituitari dalam mengatur siklus menstruasi (Gary, 2005).

Ovarium merupakan sumber estrogen utama, meskipun konversi prekursor

androgen di jaringan lain juga memiliki arti klinis sesudah menopause dan sebagian

wanita dengan gangguan fungsi ovarium. Ovarium juga menghasilkan dan

mensekresi progesteron dalam jumlah besar selama fase luteal dari siklus. Selain itu,
ovarium merupakan sumber testosteron dan androgen lain sebagai prekursor sintesis

estrogen dan dilepaskan ke dalam sirkulasi untuk bekerja di jaringan perifer

(Wikipedia, 2011). Androgen-androgen utama dalam sirkulasi wanita adalah

testosteron, dehidrotestosteron, androstenedion, dehidrooepiandrosteron (DHEA),

dan DHEA sulfat. Adanya androgen sirkulasi dalam jumlah yang berlebihan akan

menyebabkan atau menimbulkan salah satu penyakit yang dinamakan sindrom

ovarium polikistik atau yang lebih dikenal dengan sebutan Polycystic Ovary

Syndrome (PCOS) (Goldfien, 2000).

Sistem endokrin mensekresikan tiga jenis hormon yaitu polipeptida, amin dan

steroid. Steroidogenesis adalah jalur biosintesis yang memproduksi hormon steroid

(Gary, 2005). Hormon steroid terbagi menjadi lima kelas yaitu testosteron

(androgen), estradiol (estrogen), progesteron (progestin), kortisol (glukokortikoid),

aldosteron (mineralokortikoid). Testosteron, estrogen dan progestin diklasifikasikan

sebagai hormon steroid seks (Ruiz-Cortes, 2012). Salah satu enzim yang berperan

dalam steroidogenesis adalah enzim aromatase, enzim ini mengkatalisis konversi

androgen menjadi estrogen (Santen et al., 2009). Enzim aromatase merupakan bagian

dari keluarga besar sitokrom P450. P450 aromatase dikode oleh gen CYP19 pada

kromosom 15. Enzim ini terletak pada retikulum endoplasma berbagai sel, terutama

sel granulosa ovarium, plasenta, sel sertoli, sel leydig, jaringan lemak dan berbagai

bagian dari otak seperti hipotalamus, amygdale dan hippocampus (Deladoey et al.,

1999).
Menurut Strauss (2008), kekurangan aktivitas aromatase menyebabkan

estrogen menurun, demikian juga terjadi pada tikus. Pengobatan terhadap infertilitas

akibat gangguan ovulasi terdiri dari bermacam-macam cara. Adapun penelitian

sebelumnya menyatakan bahwa ovarium yang diberikan estradiol valerat secara

spontan akan mengalami perubahan karakteristik endokrinnya. Telah diketahui

bahwa estradiol valerat merupakan bentuk ester dari estradiol yang berperan sebagai

inhibitor pembentukan estrogen alami melalui mekanisme penghambatan

Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) dan gonadotropin, Luteinizing Hormone

(LH) dan Folicle Stimulating Hormone (FSH) (Shulster et al., 1984).

Masuknya estrogen dari luar akan menekan sekresi Gonadotropin Releasing

Hormone (GnRH) dan gonadotropin sehingga menginduksi polikistik pada ovarium

dan menurunkan aktivitas sel granulosa ovarium sehingga kadar estrogen alami

menurun. Estradiol valerat sebagian besar digunakan sebagai hormon pengganti.

Terapi pengganti estrogen ditunjukkan pada sejumlah situasi klinis yang tingkat

estrogennya berkurang atau tidak mencukupi, seperti saat menopause, hipogonadisme

dan perdarahan pada uterus. Terapi estrogen dapat mencegah ovulasi karena akan

menurunkan Folicle Stimulating Hormone (FSH), jika Folicle Stimulating Hormone

(FSH) menurun maka folikel tidak terbentuk tapi folikelnya akan melekat di ovarium

dan tidak matang sehingga menimbulkan gambaran polikistik (Bayliss, 2003).

Peningkatan androgen di ovarium dengan penurunan ekspresi gen CYP19

aromatase di sel granulosa intra ovarium tikus sesudah pemberian estradiol valerat
belum ada penelitian yang mengkajinya. Pada penelitian ini akan mengkaji ekspresi

gen CYP19 aromatase.

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah yang diajukan pada

penelitian ini:

1. Apakah ekspresi gen CYP19 aromatase pada sel granulosa intra ovarium tikus

Sprague dawley lebih rendah sesudah pemberian estradiol valerat dibanding

dengan tikus yang tidak diberikan estradiol valerat?

2. Apakah kadar testosteron ovarial tikus Sprague dawley lebih tinggi sesudah

pemberian estradiol valerat dibanding dengan tikus yang tidak diberikan

estradiol valerat?

3. Apakah kadar testosteron serum tikus Sprague dawley lebih tinggi sesudah

pemberian estradiol valerat dibanding dengan tikus yang tidak diberikan

estradiol valerat?

4. Apakah kadar estrogen ovarial tikus Sprague dawley lebih rendah sesudah

pemberian estradiol valerat dibanding dengan tikus yang tidak diberikan

estradiol valerat?

5. Apakah kadar estrogen serum tikus Sprague dawley lebih tinggi sesudah

pemberian estradiol valerat dibanding dengan tikus yang tidak diberikan

estradiol valerat?
I.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Tujuan umum: mempelajari perubahan aromatisasi pada ovarium tikus Sparague

dawley sesudah pemberian estradiol valerat.

2. Tujuan khusus:

a. Mempelajari ekspresi gen CYP19 aromatase di sel granulosa intra

ovarium tikus Sprague dawley dengan pemberian estradiol valerat.

b. Mengukur kadar testosteron dan estrogen ovarial tikus Sprague dawley

dengan pemberian estradiol valerat.

c. Mengukur kadar testosteron dan estrogen serum tikus Sprague dawley

dengan pemberian estradiol valerat.

I.4. Keslian Penelitian

Keaslian penelitian antara lain:

1. Frekuensi resistensi insulin (Homa-IR) dengan obesitas dan perubahan

hormon androgen pada penderita sindrom ovarium polikistik adalah sebesar

82, 9% (Dhian, 2005).

2. Ekspresi gen CYP19 aromatase di jaringan adiposa tikus Sprague dawley

yang dioverektomi lebih tinggi akibat olah raga teratur (Purbasari et al.,

2010).
3. Pengaruh jamu terhadap faktor pertumbuhan saraf yang di induksi estradiol

valerat pada tikus yang dibuat polikistik (Lee, 2003).

4. Studi histokimia estradiol valerat yang diinduksi pada polikistik ovarium tikus

(Najati et al., 2006).

5. Kondisi polikistik ovarii yang diberikan estradiol valerat secara spontan

mengalami perubahan karakteristik endokrin (Schulster, 1984).

6. Ekspresi gen CYP19 aromatase di korteks adrenal tikus Sprague dawley yang

dioverektomi lebih tinggi akibat olah raga teratur (Asnawati et al., 2010).

Pada penelitian ini akan mengkaji ekspresi gen CYP19 aromatase di sel

granulose intra ovarium tikus Sprague dawley sesudah pemberian estradiol valerat.

I.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian adalah memberikan sumbangan bagi pengembangan Ilmu

Pengetahuan Teknologi Kedokteran (IPTEKDOK) di bidang endokrin reproduksi

khususnya tentang ekspresi gen CYP19 aromatase di sel granulosa intra ovarium

sesudah pemberian estradiol valerat.

Anda mungkin juga menyukai