Anda di halaman 1dari 47

TANYA - JAWAB

HAK SEORANG ISTRI YANG DITINGGAL MATI


SUAMINYA
OCTOBER 3, 2013 ADMIN1 LEAVE A COMMENT
594. BBG Al Ilmu

Tanya:
Apakah benar jika wanita cerai mati itu tidak ada hak terhadap
suaminya lagi baik hak harta atau hak lainnya ?

Jawab:
Ust. Abdussalam Busyro, ‫حفظه ا‬

Tidak benar jika istri yang di tinggal wafat suami dia tidak
mempunyai hak apapun. Istri masih memilik hak asuh atas
putra/putrinya, istri mempunyai hak untuk tetap menjalin hubungan
dengan keluarga suami dll. Istri juga memiliki hak untuk
mendapatkan harta yang di tinggal wafat suaminya (waris) sebagai
berikut:

1) Jika suami yang meninggal tidak memiliki anak, maka istri


mendapatkan seperempat harta yang ditinggalkan suami. Ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak…” (An-Nisaa’: 12)

2) Jika suami yang meninggal MEMILIKI anak, maka istri


mendapatkan seperdelapan harta yang ditinggalkan suami. Ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala: “…Jika kamu mempunyai anak,
maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan…” (An-Ni-saa’: 12)

Allah memberikan peringatan keras dan ancaman tegas bagi orang-


orang yang menyelisihi syari’at Allah dalam hal warisan.

Tambahan:
Istilah ‘cerai mati’ hanya dikenal dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
namun definisi ‘cerai mati’ itu sendiri adanya di Badan Pusat Statistik
pada bagian istilah statistik (http://www.bps.go.id):

Cerai Mati: Status dari mereka yang ditinggal mati oleh


suami/isterinya dan belum kawin lagi.
‫وا أعلم بالصواب‬
Sumber:

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt500e39184ecbf/dasar-
hukum-cerai-hidup-dan-cerai-matihttp:/

http://almanhaj.or.id/content/967/slash/0/kitab-warisan/

»̶·̵✽✽·̵̵«̶┈»̶·̵✽✽·̵̵«̶┈»̶·̵✽✽·̵̵«̶
Istri Ditinggal Mati Suami = Mantan Istri?
Wed, 25 September 2013 19:27 - 6174 | nikah

Assalamu 'alaikum wrwb.

Baru-baru ini di TV saya melihat seorang ustad berpendapat yang menurutnya


berdasarkan fiqih, bahwa istri yang ditinggal mati oleh suaminya tidak
memiliki hak lagi mengenai apa-apa yang menyangkut sang suami.

Bahkan statusnya dikatakan telah bercerai dan menjadi seorang 'mantan istri'.
Dan apa-apa yang menyangkut sang suami, dikatakan menjadi hak keluarga
suami.

Apakah benar apa yang dikatakan ustad tersebut?

Sepanjang sepengetahuan saya, Islam sangat memuliakan dan melindungi


wanita dan bahkan istri yang ditinggal mati suami pun, masih memiliki hak
untuk mendapat hak waris.

Bagaimanakah hal ini menurut ustad Sarwat, dipandang dari fiqih atau
berdasarkan pendapat para ulama.

Jazakallah. wassalam

Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Memang polemik ini cukup banyak menyedot perdebatan dan polemik di tengah
gencarnya serbuan pemberitaan media. Sebenarnya saya secara pribadi agak
menyayangkan hal-hal seperti ini dijadikan bahan pergunjingan secara negatif
di media. Kasihan almarhum yang sudah di alam baka, kalau pihak-pihak di
dalam keluarga sendiri kurang dapat menahan diri untuk tidak berpolemik di
media.

Sebab menurut saya, hal-hal seperti ini hanya merupakan bentuk kurangnya
komunikasi di dalam keluarga. Semoga keluarga bisa menyelesaikan masalah
kecil ini dengan jalan yang sebaik-baiknya.

Namun lepas dari urusan kurangnya komunikasi internal keluarga, memang


duduk masalah yang terlanjur diperdebatkan dimana-mana ini perlu ditengahi
dengan kepala dingin dan dengan mengacu kepada pemahaman syariah yang
dalam dan luas. Maksudnya tentu agar masalah ini jangan sampai menyisakan
salah paham dan salah tafsir di tengah khalayak.

A. Penyebutan Istilah 'Mantan' Istri

Penyebutan istilah 'mantan istri' bagi wanita yang suaminya berpulang ke


rahmatullah inilah nampaknya yang menimbulkan polemik dan salah paham.
Penyebutan 'mantan istri' itu pada dasarnya tidak bisa disalahkan di satu
sisi, tetapi juga tidak bisa dibenarkan di sisi yang lain.

1. Tidak Salah 100%

Kok tidak bisa disalahkan?

Tidak bisa disalahkan karena secara hukum syariah, kematian salah satu
pasangan hidup itu memang memisahkan hubungan suami istri di antara
keduanya. Buktinya, seorang istri yang suaminya meninggal dunia, bila telah
melewati masa iddah yang lamanya 4 bulan 10 hari, maka dia boleh
menikah lagi dengan laki-laki lain.

Bolehnya menikah lagi itu menunjukkan bahwa si istri memang sudah bukan
lagi berstatus istri almarhum. Seandainya statusnya masih istri almarhum,
tentu tidak boleh menikah dengan laki-laki lain. Sebab Islam mengharamkan
poliandri, yaitu satu istri bersuamikan dua orang atau lebih.

Orang dulu sering menyebutkan istri 'cerai mati' bagi wanita yang suaminya
meninggal dunia dan status si istri menjadi janda. Istilah 'cerai mati' ini
secara eksplisit tegas sekali menyebutkan status 'cerai', namun bukan cerai
seperti yang kita kenal selama ini.

2. Tidak Bisa Dibenarkan

Namun meski ada sisi benarnya, penyebutan status 'mantan istri' bagi
wanita yang suaminya meninggal juga tidak bisa dibenarkan begitu saja.
Sebab penggunaan istilah ini agak kurang lazim dipakai di telinga.

Kalau sebutan 'mantan istri' ini dikatakan juga, maka dengan mudah kita
bisa menebak ada maksud-maksud tertentu dari yang mengucapkannya.
Meski kita tidak bisa membedah hati orang atas niatnya, namun sulit untuk
menafikan hal itu.

Prinsipnya, tidak mentang-mentang suatu ungkapan itu benar secara


hakikat, namun belum tentu tepat untuk disampaikan. Biar bagaimana pun
tetap ada etika dan atitude yang perlu dipegang sebagai prinsip.

Ambil contoh sederhana, misalnya kita menyapa pak Lurah dengan


panggilan 'aneh,"Wahai Bapak Lurah yang kami hormati dan yang insya
Allah akhirnya akan meninggal dunia . . . "

Dor! Sudah bisa dipastikan ungkapan seperti ini pasti akan membuat pak
Lurah mencak-mencak dan para ajudannya kebakaran jenggot. Bahkan
masyarakat pun tidak terima sebutan itu.

Betapa tidak, walau pun semua orang pasti akan mati, tak terkecuali pak
Lurah, namun sapaan semacam itu tentu kurang etis dan terasa kasar sekali
didengar telinga. Dan tentu lebih menyakitkan lagi kalau diucapkan di depan
publik dan media.

Memang kalau ditilik dari satu sisi tidak salah-salah amat, karena memang
benar bahwa pak Lurah tidak akan hidup abadi. Pak Lurah adalah manusia,
dan pasti akan mati pada suatu hari. Namun di satu sisi tata cara etika
berkomunikasi, jelas bahasa ini hanya digunakan oleh orang yang bersopan
santun, atau orang yang sedang meledak-ledak emosinya.

Dan bahasa ini terasa kurang santun di telinga, apalagi keluar dari mulut
orang yang seharusnya jadi panutan umat.

3. Al-Quran Tidak Menyebut Mantan Istri atau Mantan Suami

Kurang lazimnya penyebutan 'mantan istri' juga bisa kita bandingkan


dengan lafadz-lafadz di dalam Al-Quran. Mari kita perhatikan secara
seksama bagaimana Allah SWT menyebut kasus suami yang istrinya wafat
atau sebaliknya di dalam Al-Quran.

Ketika seorang istri meninggal dunia dan suaminya menjadi ahli waris dari si
istri, Allah SWT tidak menyebut si istri dengan sebutan 'mantan istri'.
Walapun secara hukum memang sudah bukan lagi jadi istri, namun Al-Quran
tetap menyebutnya sebagai istri. Silahkan baca baik-baik ayat berikut ini :

‫ك ألمزلواكجككمم‬
‫ف لما لتلر ل‬ ‫لوللككمم نن م‬
‫ص ك‬

Dan bagimu seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu (QS. An-
nisa' : 12)

Padahal istri itu sudah meninggal dunia, dan seharusnya statusnya sudah bukan
istri lagi. Tetapi di dalam ayat di atas ternyata Allah SWT tetap menyebutnya
sebagai istri dan bukan 'mantan istri'.

Di ayat lain ada ketetapan Allah SWT buat wanita yang suaminya meninggal
dunia untuk menjalani masa iddah selama 4 bulan 10 hari. Dan ternyata Allah
SWT tidak menyebut mereka dengan istilah 'mantan istri', tetapi cukup dengan
sebutan biasa, yaitu istri. Perhatikan ayat berikut ini :

‫صلن نبلأنفكنسنهلن ألمرلبلعلة ألمشكهرر لولعمشجرا‬


‫لواللنذيِلن كيِلتلولفمولن نمنككمم لوليِلذكرولن ألمزلواججا ليِلتلرلب م‬

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-


isteri, maka wajiblah atas para istri itu untuk menangguhkan dirinya
(beriddah) selama empat bulan sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah : 234)

Padahal suami sudah meninggal dunia, dan seharusnya status istrinya bukan
istri lagi. Tetapi sekali lagi, di dalam ayat ini Allah SWT tetap menyebut mereka
sebagai istri-istri dan bukan mantan-mantan istri.

Oleh karena itu baik suami atau istri yang pasangannya telah meninggal dunia,
kita tidak perlu harus menyebut mereka sebagai mantan suami atau mantan
istri. Sebab Al-Quran yang merupakan kalamullah pun tidak menyebut mereka
mantan.
B. Istri Adalah Ahli Waris Suami

Kalau ada orang yang mengartikan sebutan 'mantan istri' bagi wanita yang
suaminya wafat bahwa berarti istri tidak mendapatkan hak harta waris dari
almarhum, tentu pemahaman ini keliru.

Sebab Al-Quran jelas memastikan bahwa ketika seorang suami meninggal


dunia, maka istri yang saat itu mendampingi termasuk ahli waris yang sudah
dijamin hak-haknya dalam harta warisan.

Dan Saya yakin sekali bahwa tidak ada satu pun ulama yang berpendapat
bahwa istri tidak berhak atas harta peninggalan suaminya.

Namun lain halnya dengan kasus mantan istri yang sesungguhnya, yaitu suami
menceraikan istri semasa hidupnya sampai terlewat masa iddahnya, tanpa
dirujuk atau dinikahi kembali. Bila suatu ketika suami wafat, maka wanita yang
sudah jadi mantan istri sejak masih hidup memang bukan ahli waris lagi,
karena memang statusnya bukan istri.

Sedangkan bila istri tidak pernah diceraikan selama hidupnya, lalu suami wafat
dengan status pernikahan yang masih melekat, tentu sang janda berstatus istri
yang sah dan berhak mendapatkan harta waris.

Besaran haknya antara 1/8 bagian atau 1/4 bagian dari total harta yang dibagi
waris, tergantung apakah suami saat wafat memiliki far'u waris, seperti anak
atau cucu. Bila ada anak atau cucu yang mendapat waris, maka hak istri cuma
1/8 bagian. Sedangkan bila tidak ada anak atau cucu yang mendapat waris,
maka hak istri menjadi 1/4 bagian.

Silahkan perhatikan ayat Al-Quran berikut ini :

‫لوللكهلن الرركبكع نملما لتلرمككتمم نإن للمم ليِككن للككمم لوللدد لفنإن لكالن للككمم لوللدد لفللكهلن الرثكمكن نملما لتلرمككتم‬
Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan.(QS. An-Nisa': 12)

B. Hak Waris Keluarga Suami

Masih dalam urusan waris, sebagian dari keluarga suami pun juga menjadi ahli
waris. Setidaknya-tidaknya yang menjadi ahli waris adalah ibu kandung, ayah
kandung, serta saudara dan saudari almarhum. Syaratnya, mereka masih hidup
saat almarhum wafat.

1. Ibu Kandung

Apabila ibu kandung almarhum masih hidup saat puteranya wafat


(ex. H. KUSUMA), maka ibu kandung termasuk keluarga pihak suami yang
dipastikan menjadi salah satu ahli waris. Sebagai ibu, beliau mendapat jatah
1/6 bagian dari harta yang dibagi waris, sebagaimana firman Allah SWT :

‫ك نإن لكالن للكه لوللدد لفنإن للمم ليِككن للكه لوللدد لولونرلثكه أللبلواهك لفل كلُمنه الرثلك ك‬
‫ث‬ ‫لولللبلوميِنه لنككلُل لوا ن‬
‫حرد لُممنكهلما الرسكد ك‬
‫س نملما لتلر ل‬
Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga. (QS. An-Nisa' : 12)

Namun seandainya saat wafat, almarhum tidak punya anak, maka sang ibunda
berhak 1/3 bagian dari harta warisan.

2. Saudara dan Saudari Almarhum

Sebenarnya saudara dan saudari almarhum termasuk dalam daftar ahli waris
juga. Namun posisi mereka terancam dengan keberadaan anak laki-laki dari
almarhum. Sehingga bila almarhum punya anak laki-laki, hak saudara dan
saudari almarhum terhijab alias tertutup. Konsekuensinya adalah bahwa
saudara dan saudari almarhum tidak berhak mendapatkan harta warisan.

D. Hak di Luar Harta Warisan

Adapun terkait hak-hak keluarga pihak almarhum di luar hukum waris, ada
beberapa ketentuan dalam syariah Islam, di antaranya masalah hadhanah.

Hadhanah bisa secara mudah diterjemahkan sebagai pengasuhan anak. Hak


hadhanah ini biasa muncul ketika terjadi perpisahan antara suami istri, baik
karena talak ataupun kematian.

Bila anak-anak almarhum masih kecil-kecil, maka hak pengasuhan tentu ada di
tangan ibunya, sebagaimana hadits Rasulullah SAW berikut ini :

ِ‫حلللواجء لولثللمدنيِي‬
‫حمجنريِ للللكه ن‬‫ إنلن امبننيِ لهلذا لكالن لبمطننيِ للكه نولعاجء لو ن‬: ‫ا‬
‫ت ليِا لركسول ل ن‬ ‫صللىَّ ل‬
‫اك لعللميِنه لولسلللم لفلقالل م‬ ‫أللن امملرألجة أللت م‬
‫ت لركسول ل‬
‫ان ل‬
ِ‫حي‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ل‬
‫ت ألحق نبنه لما لمم تننك ن‬ ‫ر‬ ‫ل‬ ‫م‬ ‫ل‬ ُ‫ل‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬
‫ أن ن‬: ‫لكه نسقاجء لوزلعلم أكبوهك أنكه ليِننزكعكه نمنيِ فقال‬
‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬

Seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW dan mengadukan halnya,"Ya


Rasulullah, puteraku ini dulu aku yang mengandungnya, kamarku menjadi
tempat tinggal baginya, payudaraku menjadi sumber makan minumnya, lantas
ayahnya ingin mengambilnya dariku". Rasulullah SAW menjawab,"Kamu lebih
berhak atas puteramu, sebelum kamu menikah lagi". (HR. Ahmad)

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA


Rumah
Fiqih
Indonesia

Pembagian Harta Waris dalam Islam


Machfud Ilahi

07.27
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Harta warisaan, merupakan harta yang diberikan dari orang yang telah meninggal
kepada orang-orang terdekatnya seperti keluarga dan kerabat-kerabatnya.
Pembagian harta waris dalam islam telah begitu jelas diatur dalam al qur an, yaitu
pada surat An Nisa. Allah dengan segala rahmat-Nya, telah memberikan pedoman
dalam mengarahkan manusia dalam hal pembagian harta warisan. Pembagian harta
ini pun bertujuan agar di antara manusia yang ditinggalkan tidak terjadi
perselisihan dalam membagikan harta waris.

Harta waris dibagikan jika memang orang yang meninggal meninggalkan harta yang
berguna bagi orang lain. Namun, sebelum harta waris itu diberikan kepada ahli
waris, ada tiga hal yang terlebih dahulu mesti dikeluarkan, yaitu peninggalan dari
mayit:

1. Segala biaya yang berkaitan dengan proses pemakaman jenazah;


2. Wasiat dari orang yang meninggal; dan
3. Hutang piutang sang mayit.

Ketika tiga hal di atas telah terpenuhi barulah pembagian harta waris diberikan
kepada keluarga dan juga para kerabat yang berhak.

Adapun besar kecilnya bagian yang diterima bagi masing-masing ahli waris dapat
dijabarkan sebagai berikut:

Pembagian harta waris dalam islam telah ditentukan dalam al-qur'an surat an nisa
secara gamblang dan dapat kita simpulkan bahwa ada 6 tipe persentase pembagian
harta waris, ada pihak yang mendapatkan setengah (1/2), seperempat (1/4),
seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6), mari
kita bahas satu per satu

Pembagian harta waris bagi orang-orang yang berhak mendapatkan


waris separoh (1/2):

1. Seorang suami yang ditinggalkan oleh istri dengan syarat ia tidak memiliki
keturunan anak laki-laki maupun perempuan, walaupun keturunan tersebut tidak
berasal dari suaminya kini
(anak tiri).

2. Seorang anak kandung perempuan dengan 2 syarat: pewaris tidak memiliki anak
laki-laki, dan anak tersebut merupakan anak tunggal.

3. Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dengan 3 syarat: apabila cucu
tersebut tidak memiliki anak laki-laki, dia merupakan cucu tunggal, dan Apabila
pewaris tidak lagi mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-laki.

4. Saudara kandung perempuan dengan syarat: ia hanya seorang diri (tidak


memiliki saudara lain) baik perempuan maupun laki-laki, dan pewaris tidak
memiliki ayah atau kakek ataupun keturunan baik laki-laki maupun perempuan.

5. Saudara perempuan se-ayah dengan syarat: Apabila ia tidak mempunyai saudara


(hanya seorang diri), pewaris tidak memiliki saudara kandung baik perempuan
maupun laki-laki dan pewaris tidak memiliki ayah atau kakek dan keturunan.
Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak
mendapatkan waris seperempat (1/4):
yaitu seorang suami yang ditinggal oleh istrinya dan begitu pula sebaliknya

1. Seorang suami yang ditinggalkan dengan syarat, istri memiliki anak atau cucu
dari keturunan laki-lakinya, tidak peduli apakah cucu tersebut dari darah dagingnya
atau bukan.

2. Seorang istri yang ditinggalkan dengan syarat, suami tidak memiliki anak atau
cucu, tidak peduli apakah anak tersebut merupakan anak kandung dari istri
tersebut atau bukan.

Pembagian harta waris bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris


seperdelapan (1/8): yaitu istri yang ditinggalkan oleh suaminya yang memiliki anak
atau cucu, baik anak tersebut berasal dari rahimnya atau bukan.

Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak


mendapatkan waris duapertiga (2/3):

1. Dua orang anak kandung perempuan atau lebih, dimana dia tidak memiliki
saudara laki-laki (anak laki-laki dari pewaris).

2. Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dengan syarat pewaris
tidak memiliki anak kandung, dan dua cucu tersebut tidak mempunyai saudara laki-
laki

3. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) dengan syarat pewaris tidak
memiliki anak, baik laki-laki maupun perempuan, pewaris juga tidak memiliki ayah
atau kakek, dan dua saudara perempuan tersebut tidak memiliki saudara laki-laki.

4. Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) dengan syarat pewaris tidak
mempunyai anak, ayah, atau kakek. ahli waris yang dimaksud tidak memiliki
saudara laki-laki se-ayah. Dan pewaris tidak memiliki saudara kandung.

Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak


mendapatkan waris sepertiga (1/3):

1. Seorang ibu dengan syarat, Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki
dari keturunan anak laki-laki. Pewaris tidak memiliki dua atau lebih saudara
(kandung atau bukan)

2. Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih dengan
syarat pewaris tidak memiliki anak, ayah atau kakek dan jumlah saudara seibu
tersebut dua orang atau lebih.

Hak Waris Bagi Perempuan

Mengenai Pembagian harta waris menurut para ulama sejak dari zaman dahulu
sampai sekarang menyatakan bahwa tidak ada aturan pembagian harta warisan
yang dapat menjamin keadilan kecuali aturan pembagian warisan yang diatur oleh
syariat islam

Orang-orang yang hidup pada zaman jahiliyah tidak memberi hak waris kepada
wanita dan anak-anak, dengan alasan karena keduanya tidak ikut angkat senjata
dalam sebuah peperangan. Adapun pada zaman sekarang ini, orang-orang membagi
harta warisan dengan mengikuti kehendak manusia.

Pada zaman sekarang banyak yang memberikan harta waris kepada seorang saja
tanpa membagikannya kepada pasangan maupun anaknya. Ada pula seseorang
yang mewasiatkan hanya kepada salah seorang anaknya saja dan membiarkan
begitu saja anak-anaknya yang lain dalam keadaan merana.

Selain itu, ada juga orang yang membagikan harta warisannya hanya kepada
binatang kesayangannya dan membiarkan para ahli warisnya hidup dalam
kesusahan.

Hanya aturan waris dalam islamlah yang sanggup menjamin hak seluruh ahli waris,
menjaga kehormatan dan sesuai dengan hati nurani manusia.
Hak Waris Bagi Perempuan

Adapun masalah berkenaan dengan pembagian harta waris bagi perempuan yang
hanya mendapat setengah dari bagian laki-laki, di dalamnya terdapat hikmah yang
mendalam. Salah satunya ialah kenyataan bahwa lelakilah yang oleh syariat
dibebankan tanggung jawab untuk memberi nafkah keluarga dan membebaskan
perempuan dari kewajiban tersebut, meskipun perempuan boleh saja ikut mencari
nafkah.

Kaum lelaki juga diwajibkan oleh agama islam untuk mengeluarkan mas kawin
untuk diberikan kepada istrinya sebagai jaminan cinta kasih sayangnya ketika
keduanya menikah, sedangkan perempuan tidak dibebani apa-apa

Oleh sebab itu, maka sudah tepat dan adil jika dalam pembagian warisan, laki-laki
mendapatkan bagian yang melebihi bagian perempuan. Karena jika tidak demikian,
maka hal itu justru akan menzalimi kaum laki-laki. Meskipun waris bagi perempuan
lebih sedikit, sebenarnya akan tertutupi dengan maskawin dan nafkah yang menjadi
haknya dari seorang suami.

Perlu juga diketahui bahwa dalam pembagian waris bagi perempuan tidak selalu
mendapat bagian yang lebih kecil dari bagian waris lak-laki. Ada kondisi-kondisi
tertentu yang menyebabkan pembagian warisan bagi perempuan sama besarnya
dengan bagian waris laki-laki.

Contohnya adalah jika seseorang yang wafat meninggalkan ayah, seorang ibu, dan
anak, maka pembagiannya mengikuti firman Allah swt yang berbunyi,

“Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dar harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak…” (QS. An-Nisa`:11)

Bahkan dalam kondisi tertentu, bagian waris perempuan bisa lebih banyak
dibandingkan dengan waris laki-laki. Seperti seorang perempuan anak tunggal yang
ditinggal mati oleh ayahnya, memiliki setengah dari harta waris ayahnya, atau dua
orang anak perempuan yang ditinggal mati oleh ayahnya, berhak mewarisi
duapertiga dari harta ayahnya, jika mereka tidak memiliki saudara laki-laki. Jika
pun si mayit memiliki seorang ayah, maka ayahnya hanya berhak mewarisi
seperenam dari harta si mayit. Aturan in termaktub dalam firman Allah swt yang
berbunyi,

“… Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka
duapertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,
maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan…” (QS An-Nisa`:11)

Islam telah mengatur hak waris dengan sedemikian rupa dengan memperhatikan
keadilan kepada pihak keluarga yang ditinggalkan dengan permasalahan yang akan
di hadapi tidak peduli pada zaman apapun. Hal ini guna menjamin keadilan dan
keharmonisan dalam sebuah keluarga sehingga tidak terjadi perselisihan, seperti
yang kerap terjadi sekarang ini.
-----------------------------------------------------------------------------------------------

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Yth.Bpk.Ichsan Zulkarnain,

Saya coba jawab pertanyaannya sbb:

1. Adik ipar, yakni suami dari anak perempuannya ayah berhak mendapat warisan
dari ayah, yakni sebesar 1/2 harta warisan bagian/hak istrinya dari harta warisan
ayah apabila ia tidak punya anak, atau 1/4 bila ia punya anak. Dalilnya adalah, "Dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka
tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat
atau (dan) sesudah dibayar utangnya." (Q.S. an-Nisaa' - 12). Tanggal menikah anak
perempuan tersebut tidak dapat dijadikan persyaratan seseorang mendapatkan
warisan atau tidak, yang dijadikan syarat adalah apakah anak perempuannya
meninggal sebelum ayah meninggal atau sesudahnya. Dalam hal ini, anak
perempuannya meninggal dunia 5 tahun setelah ayahnya wafat, maka suaminya
berhak mendapatkan warisan dari harta istrinya yang didapat dari ayahnya. Kecuali
bila anak perempuannya meninggal dunia sebelum ayahnya, maka suaminya tidak
berhak mendapatkan warisan. Begitu juga keturunan anak perempuannya, karena
mereka termasuk kelompok dzawil arham.

2. Saya coba urutkan jawabannya sesuai dengan nomornya sbb:

Tahap 1: Membagi Warisan untuk Ahli Waris Ayah yang Wafat Tahun 1989

Istrinya, yakni Ibu Anda adalah sebesar 1/8. Dalilnya adalah "Jika kamu mempunyai
anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-
utangmu." (Q.S. an-Nisaa' - 12)

Adapun anak-anaknya, menerima sisanya setelah diberikan kepada istrinya ayah


terlebih dahulu. Ketentuan pembagian adalah bagian seorang anak laki-laki adalah
dua kali lipat bagian anak perempuan. Dalilnya adalah "Allah mensyariatkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak laki-
laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan" (Q.S. an-Nisaa' - 11)

Maka pembagian waris pada tahap pertama ini adalah:


Istri = 4/32
Anak laki-laki = 14/32
Anak perempuan masing2 mendapat = 7/32

Tahap 2: Membagi Warisan untuk Ahli Waris Salah Seorang Anak Perempuan
Ayah yang Wafat Tahun 2004

Ahli warisnya hanya suami, ibu, dan para saudara kandungnya. Harta warisan anak
perempuan yang dibagikan adalah sesuai dengan bagian diatas (tahap 1), yakni
sebesar 7/32, dan ditambah dari harta-harta lainnya milik anak perempuan yang
wafat tersebut bilamana ada.

Suami mendapat setengah dari harta warisan, dalilnya adalah "Dan bagimu (para
suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak
mempunyai anak." (Q.S. an-Nisaa' - 12)

Ibu, yakni istrinya ayah mendapat 1/6 bagian, dalilnya adalah "jika yang meninggal
itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam" (Q.S. an-
Nisaa' - 11). Jadi, jika selain kedua orang tua, pewaris mempunyai beberapa
saudara, baik saudara sekandung, seayah maupun seibu dengan jumlah saudara
lebih dari satu orang (dua orang atau lebih), dimana pewaris tidak meninggalkan
keturunan, maka ibunya mendapat seperenam bagian. Ini adalah pengertian dari
ayat “jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam”.

Adapun para saudara kandung mendapatkan sisanya, dengan ketentuan saudara


kandung laki-laki mendapat bagian dua kali bagian saudara kandung perempuan.

Maka pembagian waris pada tahap kedua ini:

Suami = 9/18
Ibu = 3/18
Saudara kandung laki-laki = 4/18
Saudara kandung perempuan, masing-masing mendapat = 2/18

Tahap 3: Membagi Warisan untuk Ahli Waris Ibu yang Wafat Tahun 2007

Ahli warisnya hanya anak-anaknya, namun tanpa disertai dengan anak perempuan
yang telah wafat pada tahap kedua diatas. Karena saat Ibu wafat, anak perempuan
tsb telah wafat duluan. Jadi ia tidak berhak mendapatkan hak waris dari Ibu. Harta
warisan yang Ibu tinggalkan hanya yang sebesar 4/32 (pada tahap 1) dan 2/12
(pada tahap 2), dan juga dari harta-harta lainnya milik Ibu bilamana ada.

Mari kita hitung bagian waris pada tahap ketiga ini:


Anak laki-laki = 2/3
Anak perempuan = 1/3

Semoga pembagian warisan dapat segera ditunaikan, dan para ahli waris diberi
kemudahan dalam membagi harta warisan.

Demikian yang dapat saya sampaikan, kurang lebihnya saya mohon maaf, terima
kasih.

Wassalaamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,


Sofyan Efendi.
http://opi.110mb.com/

Show message history


 Sofyan Efendi

Message 2 of 2 , Jul 30, 2013

View Source

Wa'alaikumussalam Wr Wb,

Ysh.Bpk.Ichsan Zulkarnain,

Saya sudah search history mail Bpk di milis faraid, dengan alamat:

- http://groups.yahoo.com/group/faraid/message/78

- http://groups.yahoo.com/group/faraid/message/81

- http://groups.yahoo.com/group/faraid/message/90

Berikut ini jawaban dari pertanyaan Bpk:

1. Kepemilikan harta dalam Islam tidak dipengaruhi oleh nama yang tertera pada
sertifikat, namun dilihat dari siapa pemilik harta itu sebenarnya. Termasuk bila
harta tersebut sudah dihibahkan, maka harta tersebut menjadi milik orang yang
menerima hibah, kendatipun di dalam sertifikat masih menggunakan nama
pemilik orang memberi hibah. Benar, anak perempuan yang wafat berhak
mendapat warisan sebesar 7/32, disebabkan ayah wafat pada tanggal 30
Desember 1989, dan anak perempuannya wafat pada tanggal 05 Desember
2004. Karena anak perempuannya sudah wafat, maka harta bagian warisnya
diberikan kepada ahli warisnya Beliau, yakni suaminya, ibunya, dan para
saudara kandungnya. Adapun anak angkatnya tidak mendapat hak waris.

Penting sekali untuk diketahui. Menentukan harta warisan TIDAK BISA


menggunakan "menurut pendapat saya", "menurut pendapat fulan", dsb.
Ketentuan pembagian harta warisan sudah Allah jelaskan secara detail didalam 3
ayat yang sangat panjang. Tidak diperkenankan bagi kita untuk menyalahi aturan
waris yang sudah Allah tetapkan ini.

Konsekuensi Menetapkan Hak Waris Bukan Dari Syariat Islam:

Firman Allah di dalam Al-Qur'an: (Hukum-hukum waris tersebut) itu


adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga
yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di
dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa
yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-
ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka
sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan." (Q.S. an-Nisaa' – 13,14). Silahkan dibaca langsung
dari Al-Qur'an berkali-kali, agar lebih mengena dihati.

2. Harta lainnya milik anak perempuan yang wafat tersebut digabungkan dengan
harta waris yang ia dapatkan dari ayahnya, barulah kemudian dibagikan kepada
ahli warisnya, yakni suaminya, ibunya, dan para saudara kandungnya. Jadi harta
yang dibagikan bukan hanya harta yang ia dapatkan dari ayahnya. Mohon
informasi/jawaban saya ini disampaikan dengan cara baik-baik. Silahkan print email
saya ini, kemudian disampaikan kepada suami dan ahli waris lainnya. Selesaikan
secara baik-baik berdasarkan syariat Islam. Bila masih enggan, maka
konsekuensinya sudah saya sampaikan pada jawaban no.1 diatas.

Alternatif terakhir, bila masih enggan membagi warisnya secara syariat Islam, bisa
diselesaikan di pengadilan agama.

Demikian yg dapat saya sampaikan. Kurang lebihnya saya mohon maaf, terima
kasih.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,


Sofyan Efendi
http://imopi.wordpress.com/

Show message history

MEMAHAMI HARTA BAWAAN DALAM SEBUAH KELUARGA

KEWARISAN merupakan salah satu mekanisme peralihan hak


kepemilikan atas suatu harta benda. Pasca musibah gempa dan tsunami,
persoalan kewarisan menjadi salah satu masalah hukum yang
membutuhkan penanganan yang baik dan seakurat mungkin.

Dengan jumlah korban jiwa yang sangat besar dalam musibah tersebut,
menjadikan seseorang secara seketika dapat menyandang status ahli
waris atau mendapatkan hak kepemilikan atas suatu harta warisan.
Namun tidak jarang juga persoalan terjadi bahwa harta warisan ini dapat
menjadi bumerang dan bahkan menyebabkan tali persaudaraan
terganggu.

Kompilasi Hukum Islam ( K H I ) Pasal 171e

menjelaskan bahwa makna ‘harta warisan’ adalah sebagai harta bawaan


ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan
pewaris selama sakit sampai meninggal dan membayar seluruh hutang-
hutangnya. Dari defenisi ini berarti, harta warisan terdiri dari 2 jenis
harta, pertama harta bawaan dan kedua harta bersama.

Dalam sebuah keluarga, warisan bukan hanya berupa harta


peninggalan dalam arti harta yang selama ini dikumpulkan oleh suami
dan isteri, tetapi adakalanya juga harta bawaan.

Lebih jelas lagi, dalam pasal 35 (2) Undang-Undang no. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan

disebutkan : Harta bawaan adalah harta benda yang diperoleh masing-


masing suami dan isteri sebelum menikah, serta hadiah, hibah atau
warisan yang diterima dari pihak ketiga selama perkawinan.

Sebelum berbicara lebih jauh tentang harta bawaan, dalam buku


Hukum Adat Sketsa Asas,

(karangan Iman Sudiyat, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah


Mada) disebutkan, pada umumnya harta kekayaan keluarga itu dapat
dibedakan dalam 4 bagian:

a. Harta warisan (dibagikan semasa hidup atau sesudah si pewaris


meninggal) untuk salah seorang di antara suami-isteri, dari kerabatnya
masing-masing;

b. Harta yang diperoleh atas usaha dan untuk sendiri oleh suami atau
isteri masing-masing sebelum atau selama perkawinan;

c. Harta yang diperoleh suami isteri selama perkawinan atas usaha dan
sebagai milik bersama;

d. Harta yang dihadiahkan pada saat pernikahan kepada suami isteri


bersama.

Meskipun pasangan yang menikah sudah dibekali dengan Undang-


Undang Perkawinan, namun tidak sedikit yang hanya sekedar
menyimpan undang-undang tersebut tanpa membacanya, tetapi hanya
sebatas pelengkap buku nikah, sehingga banyak pasangan suami istri
tidak terlalu memahami aturan yang ada di dalamnya. Akibat belum
adanya pemahaman yang benar tentang harta bawaan ini, maka
biasanya nasib harta bawaan sering menjadi sengketa setelah harta
warisan akan dibagikan.

Terlebih lagi-bagi seorang isteri, ketika suaminya lebih dahulu meninggal


dunia daripada dirinya, para istri banyak yang tidak memahami hak-hak
yang seharusnya diperoleh sebagai warisan dari suaminya.

bersama dan memilah dengan harta bawaan.

Pasal 35 (1) Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan, disebutkan bahwa harta benda yang diperoleh

selama perkawinan akan menjadi harta bersama.


Adapun harta bawaan, tetap menjadi harta milik

ma s i n g -ma s i n g s u ami dan isteri dan di b awa h

penguasaan masing-masing selama perkawinan sesuai

dengan Pasal 35 (2) Undang-Undang no 1 tahun 1974,

tentang perkawinan,. Pasal 86 KHI menyebutkan,

har ta ister i tetap menjadi hak ister i dan dikuasai

penuh olehnya, d emi k i a n juga harta s u ami tet


ap

menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.

Akan tetapi kondisi ini dapat saja berubah jika

pasangan suami isteri, sebelumnya telah membuat

sebuah janji perkawinan yang menyebutkan posisi

harta bawaan mereka. Akan tetapi, membuat janji

perkawinan ini masih sangat jarang dilakuk


an

masyarakat kita, meskipun hal ini telah diatur dalam

perundang-undangan. Janji perkawinan dibuat untuk

menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti

perseteruan ket ika pembagian war isan di lakukan.

Sebelum aqad nikah berlangsung, kedua cal


on

pasangan suami-isteri biasanya akan menyepakati

tentang hal-hal tertentu secara tertulis, ya


ng

kemudian disebut sebagai janji perkawinan.

Zulkifli Arief, akademisi Fakultas Hukum Universi tas Syiah Kuala,


mengatakan, har ta bawaan

juga sering disebut sebagai harta asal, yang dimiliki


seseorang s e b e l um me l a n g s u n g k a n p e r k awi n a n .

Harta bawaan ini akan menjadi bagian harta warisan

dan berhak diwarisi oleh pasangan jika pasangannya

meninggal dunia. Namun harta bawaan tidak berhak

diwarisi jika suami-isteri berpisah dengan bercerai.

Seorang isteri akan bisa mendapat bagian harta

bawaan suami sebesar ¼ bagian, jika sang suami

meninggal dunia dan tidak memiliki anak, dan akan

mendapat 1/8 bagian j ika mereka memi l iki anak.

Suami akan mendapat ½ bagian harta bawaan isteri

jika sang isteri meninggal dunia, tidak mempunyai

anak dan a k a n me n d a p a t ¼ b a g i a n j i k a me r e k a

memi l iki anak. Namun hak dar i pembagian har ta

bawaan akan gugur (suami atau ister i ) manakala

kedua pasangan ini berpisah dengan cara bercerai.

Terdapat banyak kasus dimana pihak isteri atau

pihak perempuan sering menderita kerugian, karena

t idak mendapatkan hak apapun dar i peninggalan

suaminya, terlebih lagi jika pasangan suami – isteri

ini tidak memiliki anak. Besarnya peran dari pihak

keluarga suami ser ing kal i mengaburkan hak-hak

isteri yang ditinggalkan. Meski dalam posisi hukum,

kaum perempuan sudah disetarakan haknya, tetapi

dalam pelaksanaan seharih a r i masih banyak kasus

yang bertolak belakang

dengan peraturan yang berlaku. P emi k i r a n ak


an

keberadaan kaum perempuan sebagai kaum mar -

ginal, masih sering ditemui di pedesaan dal


am

wilayah Aceh. Oleh karena itu penyuluhan hukum

terkait dengan hukum faraidh ini juga harus terus

diupayakan oleh berbagai pihak.

Ha r e u t a Peunulang

Istilah harta bawaan juga dikenal dalam

kebiasaan adat Aceh. Dalam buku Hukum Adat dan

Hukum Islam di I n d o n e s i a: ( r e f l e k s i terhadap

beberapa bentuk integrasi hukum dalam bid


ang

kewarisan di Aceh), disebutkan bahwa harta bawaan

atau hareuta tuha) di Aceh diakui menurut hukum

adat dan didef inisikan sebagai har ta benda yang

diperoleh laki-laki atau perempuan sebelum menikah,

dalam bentuk warisan, hibah atau harta benda yang

dibeli atau dibuat.

Pengamat Adat sekaligus pakar sejarah Aceh,

Nurdin Abdurrahman, mengatakan disebagian besar

daerah Aceh seper t i Aceh Pidie dan Aceh Besar ,

memberikan bekal harta kepada anak saat mereka

melangsungkan perkawinan sudah menjadi kewajiban

bagi o r a n g t u a n y a . Ha r t a b awa a n ini juga dike


nal

dengan istilah hareuta peunulang.


Hareuta Peunulang adalah penghibahan benda tidak

bergerak (rumah atau tanah) dari orangtua kepada

anak perempuannya yang telah menikah. Penghibahan

tersebut umumnya disaksikan oleh geuchik. Kebiasaan

ini berkembang untuk mengimbangi kenyataan bahwa

pembagian warisan memberikan porsi lebih besar

kepada ahli waris laki-laki.

Biasanya orangtua memberikan benda-benda yang

tidak bergerak tersebut untuk menunjang kehidupan baru

yang akan dijalankan oleh anak mereka yang baru

melangsungkan pernikahan. Ada orang tua yang

memberikan barang-barang tepat pada saat pernikahan

berlangsung, tetapi ada pula yang memberikan ketika

cucu pertama mereka lahir. Pemberian ini juga bertujuan

untuk menyatakan bahwa seorang anak sudah resmi

memiliki penghidupan baru dan keluarga yang baru.

Kegiatan pemisahan ini juga sering disebut dengan istilah

peumeukleh. Kegiatan ini biasanya juga dilangsungkan

di hadapan geuchik. Pada saat penyerahan, biasanya

geuchik akan menanyakan berapa banyak harta seorang

ayah yang akan diserahkan kepada anak perempuannya.

Hal ini dilakukan untuk menghindari kerugian pihak ahli

waris anak laki-laki dimasa yang akan datang. Oleh

sebab itu, seorang ayah biasanya bersikap bijaksana

memper t imbangkan seluruh kekayaan dan jumlah

anaknya sehingga tidak akan menimbulkan ketidak adilan


dalam pembagian harta kepada ahli warisnya kelak.

Dar i penjelasan di atas harus dicatat bahwa,

meskipun hareuta peunulang dapat diperhitungkan

sebagai har ta war isan, namun hareuta peunulang

tidak merupakan bagian dari warisan orangtua, dan

juga tidak dapat menafikan hak waris anak

perempuan. Hal ini berarti bahwa hareuta peunulang

merupakan harta bawaan dan oleh karena itu tetap

berada di bawah penguasaan mutlak dan eksklusif

dari anak perempuan tersebut. Hareuta peunulang

tidak boleh dibagi dengan ahli waris lainnya. Juga

penting untuk dicatat bahwa sangat kecil

kemungkinannya bahwa ahli waris yang lain akan

mempersoalkan penyerahan hareuta peunula


ng

karena tindakan tersebut akan dianggap tid


ak

menghormati keputusan almarhum orang tuanya.

Dewi Sarah
Institut Pertanian Bogor

Apakah Ahli Waris yang Telah Meninggal Mendapat


Bagian?
February 17th, 2011 | Author: dewi
(Ada sebuah pertanyaan yang sepertinya sedang relevan dengan keadaan
dalam keluarga saya. adakah yang bisa menambahkan?? membagi
pengetahuannya dengan saya)

Assalamualaikum Warohmatulloh.,

Ust. Ahmad Sarwat,

Dalam bahasan ilmu Faraidh beberapa waktu yang lalu ustaz sempat membahas bahwa
ahli waris yang telah meninggal dunia tidak mendapatkan bagian warisan.

Akan tetapi dalam bahasan yang lain jika ahli waris meninggal maka akan tetap
mendapatkan bagian warisannya.

Manakah pernyataan tersebut yang benar dan berdasarkan apa dalil tentang ini?

Contoh kasus: ada keluarga yang ditinggal Ayahnya kemudian harta warisan belum
dibagikan, selanjutnya ada anaknya laki-laki yang sebenarnya menjadi ahli waris juga
telah meninggal, pertanyaannya akankah anak laki-laki yang telah meninggal ini
mendapatkan warisan?

Jazakalloh,

Wassalamualaikum

jawaban

Assalamu ”alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Apa yang membuat Anda bingung memang harus diklarifikasi. Karena pada hakekatnya
kedua pernyataan itu benar dan tidak saling bertentangan.

Seorang anak yang menjadi ahli waris ayahnya karena wafat, akan mendapat warisan.
Walaupun pembagian warisan belum ditetapkan, namun haknya atas harta benda
peninggalan ayahnya sudah pasti.

Barangkali ada kendala tertentu sehingga pembagian warisan belum terlaksana. Hal
wajar saja dan kasusnya sering terjadi.

Namun begitu sang Ayah wafat, secara otomatis sudah jelas hak masing-masing ahli
waris. Tinggal menghitung berapa hutang almarhum, piutang, wasiat, dan penetapan hak-
hak lainnya atas harta almarhum.

Maka kalau ada seorang di antara ahli waris yang wafat, haknya tidak akan hangus.
Meski belum ada di tangan, namun haknya akan tetap ada dan tidak hilang.

Bila dia punya isteri, maka isterinya ini akan menerima warisan dari harta suaminya,
bukan dari mertuanya.

Hak seorang isteri dari harta suaminya adalah 1/4 atau 1/8. Dan bila si ahli waris ini
meninggalkan anak, anak-anaknya pun akan mendapat warisan dari harta Ayahnya.
Bukan dari kakek mereka.

Ahli Waris Yang Meninggal Duluan

Adapun pernyataan bahwa seorang ahli waris yang meninggal tidak mendapat warisan
adalah dalam kasus di mana sang Ayah masih hidup dan si anak yang seharusnya
menjadi ahli waris meninggal duluan.
Maka anak itu memang tidak akan menerima warisan dari Ayahnya. Sebab Ayah -yang
biasanya menjadi pemberi warisan itu- kan masih hidup, sedangkan si anak -yang
biasanya menerima warisan- malah meninggal duluan.

Maka hukumnya jadi terbalik, bukan anak yang menerima warisan dari ayahnya, tapi
malah justru si ayah yang menerima warisan dari anaknya yang meninggal dunia.

Dan memang dalam hukum waris, ada sebuah aturan bahwa yang memberi warisan
harus meninggal terlebih dahulu, dan yang menerima warisan harus masih hidup saat itu.

Mari kita buat ilustrasi lain. Ada pasangan suami isteri. Kalau suaminya meninggal duluan,
maka isteri menjadi ahli waris. Dan isteri berhak mendapatkan harta 1/8 suaminya, atau
1/4 bila si suami tidak punya anak.

Tapi seandainya isteri meninggal duluan, maka suaminya menjadi ahli waris dari isterinya.
Suaminya berhak atas 1/4 harta isteri atau 1/2-nya bila isteri tidak punya anak.

Kasus Anak Meninggal Duluan

Bila seorang anak meninggal dan ayahnya masih hidup, tentu saja ayah akan menjadi ahli
waris dari anaknya. Hak ayah atas harta anaknya sebesar 1/6 bagian.

Bila kemudian si Ayah meninggal juga, isteri si anak tidak menerima warisan dari harta
mertuanya. Demikian juga, anaknya anak juga tidak menerima warisan dari kakeknya,
apabila kakek itu masih punya anak lain selain ayah si cucu.

Semoga penjelasan ini jelas dan keterangan ini terang. Seterang matahari di siang yang
terik.

Wallahu a”lam bishshawab, wassalamu ”alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ahmad Sarwat, Lc

sumber : http://www.ustsarwat.com/search.php?id=12053

Berbagai ujian, cobaan, dan kesulitan di dunia dapat menambah iman kepada Allah dan
memperdalam keyakinan tauhid. Semua itu merupakan sarana pendidikan bagi jiwa manusia.
Ujian dan cobaan yang datang bukanlah untuk diratapi karena tidaklah ujian dan cobaan tersebut
melainkan akan mendatangkan kebaikan. Mempertebal keyakinan tauhid tidak cukup hanya
dengan mendengarkan ceramah dan membaca setumpuk buku, […]

Home » Ustadz Menjawab » Ahli Waris Meninggal Sebelum Pewaris


Ahli Waris Meninggal Sebelum Pewaris
Share on facebookShare on twitterShare on emailShare on printMore Sharing Services6

Ibnu Soleh – Jumat, 17 April 2009 13:59 WIB


Assalamu’alaikum wrwb.

Mohon diberikan penjelasan tentang masalah warits keluarga kami, yaitu sbb:

Seorang nenek dengan 3 putra dan 1 putri, telah meninggal tahun 1981.
Pada tahun sebelumnya (1979), putra I meninggal dunia terlebih dahulu dengan
meninggalkan seorang isteri beserta 6 orang anak (2 putra dan 4 putri)

Kemudian Putra II (1 isteri, 4 putra dan 4 putri) dan Putrinya/III (2 putri) juga telah
meninggal setelah nenek ini beberapa tahun kemudian, sedangkan yang masih
hidup sekarang ini putra IV/bungsu (1 isteri, 2 putra dan 1 putri).

Nenek ini meninggalkan harta berupa tanah (luas : +/- 1900 m2) yang diatasnya
berdiri sebuah rumah nenek dengan perkiraan harga secara keseluruhannya +/-
Rp. 700 juta.
Rumah tsb ditempati oleh putra bungsunya sampai sekarang ini. Memang dalam
perawatan rumah ini, banyak biaya yang telah dikeluarkan oleh putra bungsunya
tsb (perkiraan biaya yang dikeluarkan sekitar Rp. 100 juta)

Pertanyaannya :

1. Bagaimana kedudukan Alm. Putra I dan anak-anaknya (cucu) dalam pembagian


warits berdasarkan hokum islam dan hokum Negara ?
2. Apakah hijab dan mahjub itu ? Berlakukah hal ini terhadap keturunan alm. Putra
I dari nenek ini ? Mohon diberikan dalilnya !
3. Bagaimana dengan biaya pemeliharaan rumah dan pekarangan yang dilakukan
oleh putra IV (Si bungsu), perkiraan biaya yang dikeluarkan sekitar Rp. 100 juta ?
Bolehkah putra bungsu ini memiliki rumah ini tanpa melalui proses warisan ?
4. Mohon kami dibantu dalam penghitungan pembagian waritsan dari harta nenek
kami ini (Rp. 700.000.000,-) ..!

———————————
Ringkasan masalah :
Almh. nenek tersebut adalah nenek kami sendiri.
Harta yang ditinggalkan rumah dan pekarangan (+/- Rp. 700.000.000,-)
- Th 1979 : Putra I wafat (meninggalkan 1 isteri, 2 putra dan 4 putri)
- Th 1981 : Nenek kami wafat
- Th 1987 : Putri III wafat (meninggalkan 2 putri)
- Th 1995 : Putra II wafat (meninggalkan 1 isteri, 4 putra dan 4 putri)
- ………. : Putra IV (masih ada dan menempati rumah serta pekarangan nenek
kami)

Wassalamu’alaikum wr. Wb,


Terima kasih,
Dick Jr
Beijing China
mydick_jr72@yahoo.com

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Dick yang dimuliakan Allah swt

Anak Meninggal Sebelum Ibu


Untuk putra I dari nenek anda tidak berhak atas warisan yang ditinggalkan nenek
anda dikarenakan ia meninggal terlebih dahulu (1979) daripada nenek anda
(1981). Hal itu dikarenakan syarat dari ahli waris (orang yang berhak menerima
warisan si mayat) adalah :

a. Tidak ada hal-hal yang menghalangi; seperti : kekufuran, pembunuhan,


perbudakan, perzinahan, lian dan tidak menangis (menunjukkan tanda-tanda
kehidupan) saat dilahirkan.

b. Kematian orang yang mewariskan, sebagaimana firman Allah swt :

‫ن‬ ‫إن ن‬
‫ف كماَ تكفكركك‬
‫ص ر‬ ‫س لكهر كولكؤد كولكهر أرمخ ؤ‬
‫ت فكفلككهاَ ن م‬ ‫ي‬
‫م ك‬‫ك‬‫ل‬ ‫ك‬
‫ك‬ ‫ل‬
‫ك‬ ‫ه‬
‫ك‬ ‫ؤ‬‫ر‬
‫مر‬‫م‬ ‫ا‬ ‫ن‬
Artinya : “Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya.” (QS. An Nisaa : 176)

c. Ahli waris itu hidup ketika orang yang mewariskan meninggal dunia karena
kepermilikan mensyaratkan orang itu harus hidup. Syeikh Ibnu al Utsaimin
mengatakan bahwa Allah swt menyebutkan dalam ayat waris hak-hak ahli waris
dengan menggunakan huruf laam yang menunjukkan hak milik dan hak milik tidak
mungkin ada kecuali untuk orang yang masih hidup. (Panduan Praktis Hukum
Waris hal 28)

Hajb dan Mahjub


Al Hajb menurut bahasa artinya penghalang, sedangkan menurut istilah adalah
penghalang yang menghalangi ahli waris untuk mendapatkan seluruh atau
sebagian harta warisan. Al Mahjub adalah ahli waris yang terhalangi oleh ahli
waris lainnya sehingga bagiannya menjadi lebih sedikit atau tidak mendapat
bagian sama sekali. Demikian yang terjadi pada anak-anak dari putra I nenek
anda yang dalam hal ini mereka berarti cucu-cucu dari nenek anda, mereka
terhalangi dari mendapatkan bagian waris dikarenakan adanya putra-putri
langsung dari nenek anda yang masih hidup setelah nenek anda meninggal.

Biaya Perawatan Rumah


Sebagaimana kita ketahui bahwa harta waris adalah harta yang dimiliki orang
yang meninggalkan warisan kepada para ahli warisnya setelah dikurangi biaya
penyelenggaraan jenazah, wasiat dan utang.

Dalam permasalahan biaya perawatan rumah yang telah dikeluarkan putra bungsu
selama ini maka apabila putra bungsu itu meniatkan bahwa semua biaya yang
dikeluarkannya itu adalah sedekah bagi si mayit maka biaya yang dikeluarkan
selama ini dimasukkan kedalam harta peninggalan si mayit. Apabila dia meniatkan
bahwa biaya yang dikeluarkan selama ini adalah utang si mayit terhadapnya
dengan disertai bukti atau pernyataan dari ahli waris lainnya maka utang ini harus
dibayarkan dahulu dari harta peninggalan si mayit baru kemudian sisanya
dibagikan kepada semua ahli waris. Akan tetapi apabila tidak tampak keduanya,
baik disedekahkan atau dianggap utang si mayit maka dikembalikan kepada
kebiasaan masyarakat setempat.

Adapun alasan bahwa putra bungsu telah mengeluarkan biaya perawatan yang
sedemikian besar sehingga rumah tersebut praktis menjadi miliknya tanpa melalui
perhitungan sesuai hukum waris dalam islam maka hal itu tidaklah dibenarkan.
Rumah dan semua milik nenek anda yang ada didalamnya adalah menjadi harta
warisannya yang harus dibagikan kepada para ahli warisnya kecuali harta atau
barang-barang putra bungsu yang ada didalamnya.

Perhitungan Warisannya
Sebagaimana penjelasan diatas bahwa putra I dari nenek anda tidaklah mendapat
bagian dikarenakan dia telah meninggal lebih dahulu sebelum meninggalnya
nenek anda.

Dengan demikian ahli waris yang ada pada saat nenek anda meninggal adalah 2
putra dan 1 putri. Kemudian harta warisan belum dibagikan hingga wafatnya dua
ahli warisnya, yaitu putra II dan putri III sehingga bagian kedua orang itu menjadi
milik para ahli warisnya.

Pada saat nenek anda meninggal yang menjadi ahli waris adalah ; putra II, putri III
dan putra IV. Setiap anak laki-laki mendapatkan bagian dua kali lebih besar dari
setiap anak perempuan dan didapat asal masalah mayit I adalah 5, sehingga
bagian setiap anak lakinya adalah 2/5 sedangkan anak perempuannya adalah 1/5.

Kemudian Putra II meninggal dengan ahli waris 1 orang isteri, 4 anak laki-laki dan
4 anak perempuan. Isteri adalah 1/8, sisanya 7/8 dibagikan kepada semua
anaknya dengan perbandingan setiap anak laki-laki mendapat bagian dua kali
lebih besar daripada anak perempuan. Asal permasalahan mayit II adalah (8 X 12
= 96) kemudian kita kalikan Asal masalah I dengan asal masalah II (96 X 5 = 480)
dengan demikian bagian isterinya adalah 24/480, setiap anak laki-laki dari putra II
adalah 28/480 dan setiap anak perempuannya adalah 14/480 sedangkan bagian
saudara laki-lakinya (Putra IV) menjadi 192/480 dan saudara perempuannya (Putri
III) menjadi 96/480.

Kemudian putri III meninggal dunia dan meninggalkan dua orang putri. Dengan
damikian dari permasalahan ini didapat bagian 2 orang putri adalah 2/3
sedangkan sisanya (1/3) diberikan kepada saudara laki-lakinya (putra IV)
sehingga didapat bagian setiap anak perempuan adalah 1/3 begitu pula bagian
saudara laki-lakinya (putra IV) adalah 1/3.

Dengan demikian asal masalah keseluruhannya adalah 480.

Perhitungan terakhir bagian masing-masing dari harta peninggalan nenek anda


adalah :
Putra IV mendapatkan bagian 224/480
Isteri putra II mendapatkan bagian 24/480
Setiap anak laki dari putra II mendapatkan bagian 28/480
Setiap anak perempuan dari putra II mendapatkan 14/480
Setiap putri dari putri III mendapatkan 32/480
Demikianlah perhitungan akhir dari data-data yang anda utarakan didalam
pertanyaan dan saya menganjurkan agar anda juga menanyakannya kepada
Kantor Pengadilan Agama.

Wallahu A’lam

Selasa, 16 April 2013

Sertifikat sebagai tanda bukti hak atas tanah


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian


Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting di dalam kehidupan
manusia. Tanah merupakan bagian dari bumi, air dan ruang angkasa yang merupakan bagian dari
kekayaan alam yang berlimpah sebagai karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu sudah
seharusnya kita melestarikan, menjaga dan mengelola secara baik tanah tersebut baik untuk
generasi sekarang maupun untuk yang akan datang. Sebagai sumber daya yang sangat
menunjang kehidupan umat manusia, maka setiap masyarakat memiliki aturan atau norma tertentu
dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah untuk kehidupannya. Dengan
semakin berkembangnya penduduk dan cara pemikiran manusia maka mendorong terbentuknya
suatu aturan di bidang pertanahan yang dapat diterima bersama sebagai landasan hukum
terutama dalam kepemilikan tanah.

Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 yang dijabarkan dalam
Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004
ditetapkan arah kebijakan yang berkaitan langsung dengan bidang pertanahan termasuk pada
kebijaksanaan pembangunan di bidang ekonomi sebagaimana tercantum dalam butir 16 yang
berbunyi:

“Mengembangkan kebijaksanaan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan


tanah secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat,
termasuk hak ulayat dan masyarakat adat serta berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan
seimbang”

Menurut Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 dikatakan bahwa :

“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat”

Sebagai landasan kebijakan di bidang pertanahan, pasal 33 ayat (3) Undang-undang


Dasar 1945 ditunjukkan bahwa untuk tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
dalam kaitannya dengan perolehan dan pemanfaatan kekayaan alam Indonesia, termasuk tanah.
Adapun perwujudan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 tersebut adalah
dengan lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.

Undang-undang Pokok Agraria merupakan perangkat hukum pertanahan sebagai sendi


dan landasan baik hukum nasional maupun kepastian hukum pada politik dan system pertanahan
nasional. Secara tegas dinyatakan dalam Penjelasan Undang-undang Pokok Agraria bahwa
Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat bertindak selaku badan penguasa sehingga
tepatlah jika bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya pada tingkat tertinggi dikuasai
oleh Negara.

Dengan demikian Negara sebagai organisasi kekuasaan, mengatur sampai dengan


membuat peraturan yang kemudian menyelenggarakan penggunaan, peruntukan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, agar
kepastian hukum di bidang pertanahan dapat terwujud. Menurut Parlindungan bahwa pembatasan
terhadap pengertian Hak Menguasai Negara mengandung makna bahwa perkataan “dikuasai”
bukanlah berarti “dimiliki”, tetapi pengertian yang memberi wewenang kepada Negara sebagai
organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia untuk pada tingkat yang tertinggi bertindak selaku
Badan Penguasa, sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Undang-undang Pokok Agraria
angka II ayat (2) bahwa Hak Menguasai Negara memberi wewenang untuk : [1]

1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya;

2. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang
angkasa itu;

3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.

Dikemukakan juga bahwa dari pengertian Hak Menguasai Negara tersebut diantaranya
dimungkinkan organisasi kekuasaan itu untuk :[2]

1. memberikan hak-hak keperdataan baik kepada perorangan ataupun badan-badan hukum


privat seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai;
2. mengakui suatu badan hukum publik yang sudah ada sebelumnya seperti hak ulayat
masyarakat-masyarakat hukum adat;
3. memberikan hukum publik yang baru yaitu Hak Pengelolaan yang diberikan kepada
lembaga-lembaga pemerintah ataupun perusahaan- perusahaan Negara dan Daerah. Dari
Hak Pengelolaan ini dapat diberikan oleh pemegangnya Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan
Hak Pakai;
4. Dapat diberikan Hak Pakai Khusus yaitu Hak Pakai yang tidak terbatas waktunya dan
diberikan untuk pelaksanaan tugasnya seperti hak pakai untuk perwakilan Negara-Negara
asing, lembaga-lembaga pemerintah, untuk kepentingan sosial dan keagamaan.

Dengan diberikannya beberapa macam hak atas tanah baik kepada perorangan atau
badan hukum, juga ada kewajiban untuk mengelola tanah sesuai dengan yang dimilikinya dan
kepada pemegang hak-hak tersebut dibebankan kewajiban untuk mendaftarkan hak atas tanahnya
dalam rangka tercapainya kepastian hukum. Undang-undang Pokok Agraria dengan seperangkat
peraturan pelaksanaannya bertujuan untuk terwujudnya jaminan kepastian hukum terhadap pemilik
hak-hak atas tanah di seluruh wilayah Indonesia. Jika dikaitkan dengan usaha-usaha Pemerintah
dalam rangka penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah. Maka pendaftaran
hak atas tanah merupakan suatu sarana penting untuk terwujudnya kepastian hukum dan
sekaligus turut serta dalam penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah.

Ketentuan mengenai pendaftaran tanah terdapat dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-undang
Pokok Agraria yang berbunyi sebagai berikut :

“Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”

Berdasarkan ketentuan ini, maka pendaftaran tanah diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Pemerintah mengadakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia yang bertujuan untuk


memberikan jaminan kepastian hukum hak atas tanah dan sebagai tanda jaminan kepastian
hukum tersebut oleh Pemerintah diberikan surat tanda bukti hak yang dinamakan “Sertifikat”.
Menurut pasal 1 butir 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah :

“Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf (c)
Undang-undang Pokok Agraria untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas
satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku
tanah yang bersangkutan”
Dalam pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 dinyatakan bahwa
sertifikat merupakan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai
data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut
sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Untuk itu
dinyatakan bahwa sebelum dibuktikan yang sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang
dicantumkan dalam sertifikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam perbuatan hukum
sehari-hari maupun dalam sengketa di pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai dengan apa
yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.

Oleh karena itu berdasarkan hal-hal di atas, maka kelompok kami mencoba membahas
mengenai “Sertifikat Hak Atas Tanah Sebagai Tanda Bukti Kepemilikan Tanah”.

B. Identifikasi Masalah

Adapun permasalahan yang akan dikaji dalam makalah ini ialah berkaitan dengan :

1. Apa yang dimaksud dengan sertifikat serta sejauh mana kekuatan sertifikat sebagai tanda
bukti kepemilikan hak atas tanah ?
2. Upaya-upaya apa saja yang bisa dilakukan guna menjamin kepastian hukum di bidang
pertanahan ?

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 memberikan pengertian


sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c
Undang-undang Pokok Agraria untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas
satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku
tanah yang bersangkutan. Sedangkan pengertian sertifikat menurut Pasal 32 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 :

“Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data
yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah”

Adapun yang dimaksud dengan buku tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka
19 Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 adalah Dokumen dalam bentuk daftar yang
memuat data yuridis dan data fisik suatu objek pendaftaran tanah yang sudah ada
haknya. Sertifikat merupakan hasil akhir dari kegiatan pendaftaran tanah.

Sertifikat hak atas tanah sebagai hasil akhir proses pendaftaran tanah yang berisi data fisik
(keterangan tentang letak, batas, bidang tanah, serta bangunan yang ada di atasnya) dan data
yuridis (keterangan tentang status tanah dan bangunan yang didaftar, pemegang hak atas tanah
dan hak-hak pihak lain serta beban-beban lain yang berada di atasnya) merupakan tanda bukti
yang kuat.

Dengan memiliki sertifikat, maka kepastian hukum berkenaan dengan jenis hak atas
tanahnya, subjek hak dan objek haknya menjadi nyata selain hal tersebut sertifikat memberikan
berbagai manfaat, misalnya mengurangi kemungkinan sengketa dengan pihak lain, serta
memperkuat posisi tawar menawar apabila hak atas tanah yang telah bersertifikat diperlukan pihak
lain untuk kepentingan pembangunan apabila dibandingkan dengan tanah yang belum bersertifikat
serta mempersingkat proses peralihan serta pembebanan hak atas tanah.

Bagi pemegang hak atas tanah, memiliki sertifikat mempunyai nilai lebih yaitu akan
memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum sebab dibandingkan dengan alat bukti
tertulis lainnya, sertifikat merupakan tanda bukti hak yang kuat, artinya pemegang hak atas tanah
yang namanya tercantum dalam sertifikat harus dianggap sebagai benar sampai dibuktikan
sebaliknya di Pengadilan dengan alat bukti lain.

Selain hal tersebut di atas, maka sehubungan dengan Fungsi Sosial hak atas tanah
sebagaimana diatur di dalam pasal 6 Undang-undang Pokok Agraria, maka pemegang sertifikat
akan melepaskan haknya apabila tanahnya akan digunakan untuk kepentingan umum dengan
pembayaran ganti rugi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini menunjukan
bahwa pemegang sertifikat diberikan perlindungan dan juga dihargai sebagai pihak yang
mempunyai hak atas tanah.

Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang terdiri dari salinan buku tanah dan surat
ukur, diberi sampul, dijilid menjadi satu yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN). Ada dua jenis sertifikat. Pertama, sertifikat yaitu
tanda bukti hak yang diberikan bagi tanah-tanah yang sudah ada surat ukurnya ataupun tanah-
tanah yang sudah diselenggarakan pengukuran desa demi desa, dan yang kedua, sertifikat
sementara, yaitu tanda bukti hak yang diberikan bagi tanah- tanah yang belum ada surat ukurnya,
artinya tanah-tanah di desa-desa yang belum dihitung berdasarkan pengukuran desa demi desa.
Sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat, baik subyek maupun obyek hak atas tanahnya
dan sertifikat sementara merupakan alat pembuktian sementara mengenai macam-macam hak dan
siapa pemiliknya, tidak membuktikan mengenai luas dan batas-batas tanahnya.

Pemberian tanda bukti hak diatur dalam suatu ketentuan tentang pendaftaran tanah yang
dilaksanakan diseluruh Wilayah Republik Indonesia dengan tujuan untuk mewujudkan kepastian
hukum dan perlindungan hukum terhadap pemegang hak-hak atas tanah sebagaimana
diperintahkan oleh Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-undang Pokok Agraria, yaitu :

1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Indonesia menurut ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.

2. Pendaftaran tanah, meliputi kegiatan :

a. Pengukuran, pemetaan, dan pembukuan tanah;

b. Pendaftaran hak atas tanah dan peralihan-peralihan hak tersebut;

c. Pemberian surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Dengan demikian, akibat hukum dari pendaftaran tanah adalah diberikannya surat tanda
bukti hak, yaitu sertifikat tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat terhadap
pemegang hak atas tanah, dalam arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik
dan data yurudis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar, sesuai
dengan data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan.

Kepastian hukum hak atas tanah tersebut selaras dengan tujuan dari pendaftaran tanah
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 bahwa :
1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu
bidang tanah, satuan rumah susun dan hak- hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;

2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah


agar mudah memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai
bidang tanah dan bantuan- bantuan rumah susun yang sudah terdaftar;

3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 telah memperkaya ketentuan Pasal 19 UUPA,
yaitu bahwa dengan diterbitkannya sertifikat hak atas tanah, maka kepada pemiliknya diberikan
kepastian hukum dan perlindungan hukum, sedangkan pasal 19 UUPA hanya untuk kepastian
hukum.

Berdasarkan pasal 19 UUPA dan peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 bahwa
diadakannya pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum dan sertifikat berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat, karena asas yang dianut adalah asas negative. Ini tercermin
dalam pernyataan pasal 19 UUPA bahwa sertifikat adalah sebagai alat pembuktian yang kuat.
Berbeda dengan system positif, yang menghasilkan sertifikat sebagai alat pembuktian yang mutlak
sebagai satu-satunya alat pembuktian. Dengan demikian sertifikat tersebut hanya dipandang
sebagai suatu bukti permulaan saja, belum menjadi sertifikat sebagai suatu yang final sebagai
bukti hak tanahnya. Jika menganut asas positif, sertifikat merupakan satu- satunya alat
pembuktian.

Parlindungan mengemukakan bahwa pasal 19 UUPA menyatakan bahwa sertifikat adalah


sebagai alat pembuktian yang kuat, sehingga setiap orang dapat mempermasalahkan tentang
kebenaran sertifikat tanahnya, dan jika dapat dibuktikan ketidakbenaran dari hak atas tanah
tersebut, maka sertifikat dapat dibatalkan oleh Pengadilan dan Kepala BPN dapat memerintahkan
hal tersebut.[3]

Pasal 23, 32 dan 38 UUPA menyatakan bahwa pendaftaran tanah untuk hak-hak tersebut
ditujukan kepada para pemegang hak agar menjadikan kepastian hukum bagi mereka, dalam arti
demi kepentingan hukum bagi mereka sendiri. Begitu pula pendaftaran atas setiap peralihan,
penghapusan dan pembebanannya, serta pendaftaran yang pertama kali, pendaftaran karena
konversi ataupun pembebasannya akan banyak menimbulkan komplikasi hukum jika tidak
didaftarkan. Padahal pendaftaran tersebut merupakan bukti yang kuat bagi pemegang haknya.

Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
dinyatakan bahwa dalam Peraturan Pemerintah yang menyempurnakan Peraturan Pemerintah
Nomor 10 tahun 1961 ini, tetap dipertahankan tujuan dan system yang digunakan, yang pada
hakikatnya sudah ditetapkan dalam UUPA, yaitu pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka
memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan dan bahwa system publikasinya
adalah system negative yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat
tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, seperti yang dinyatakan dalam
pasal 19 ayat (2) huruf (c), pasal 23 ayat (2), pasal 32 ayat (2) dan pasal 38 ayat (2) UUPA.

Di dalam pelaksanaan administrasi pertanahan, data pendaftaran tanah yang tercatat di


Kantor Pertanahan harus selalu sesuai dengan keadaan atau status sebenarnya mengenai bidang
tanah yang bersangkutan, baik yang menyangkut data fisik mengenai bidang tanah tersebut
ataupun data yuridisnya. Penerbitan sertifikat hak atas tanah digunakan untuk pegangan kepada
pemiliknya akan bukti-bukti haknya yang tertulis, kecuali masih ada catatan pada buku tanah maka
sertifikat tidak dapat diterbitkan.[4]

Sertifikat tanah yang diberikan akan memberikan peran dan arti penting bagi pemegang
hak yang bersangkutan, yang dapat berfungsi sebagai alat bukti hak atas tanah apabila ada
persengketaan terhadap tanah tersebut ataupun dapat pula berfungsi sebagai jaminan pelunasan
suatu hutang kepada bank.

BAB III

POKOK PEMBAHASAN

Sehubungan dengan apa yang dikemukakan dalam uraian diatas dalam rangka
memberikan kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah dan hak milik atas satuan
rumah susun, pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menjelaskan
mengenai arti dan persyaratan mengenai “berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat”. Dijelaskan
bahwa sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data
yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang
bersangkutan. Hal ini menunjukkan selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data
yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam
melakukan perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam berperkara di Pengadilan.

Sebagai kelanjutan dari pemberian perlindungan hukum kepada para pemegang sertifikat
hak tersebut, dinyatakan dalam pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
bahwa :

“Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan
hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya,
maka pihak yang merasa mempunyai hak atas tanah ini tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan
hak tersebut apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak
mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan
yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan pada Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau
penerbitan sertifikat tersebut”

Dengan pernyataan tersebut makna dari sertifikat yang merupakan alat pembuktian yang
kuat dan bahwa tujuan pendaftaran tanah yang diselenggarakan dalam rangka menjamin
kepastian hukum dibidang pertanahan, menjadi tampak dan dirasakan arti praktisnya, sungguhpun
sistem publikasinya bersifat negatif. Ketentuan tersebut tidak mengurangi asas pemberian
perlindungan yang seimbang, baik kepada pihak yang memperoleh tanah dengan itikad baik yang
dilanjutkan dengan pendaftaran tanah yang bersangkutan maupun pihak yang mempunyai dan
menguasai serta menggunakannya sebagaimana mestinya.

Dalam penjelasan pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
menyebutkan bahwa :
“Pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan
sistem publikasi positif, yang kebenaran data yang disajikan dijamin oleh Negara, melainkan
menggunakan sistem publikasi negatif. Didalam sistem publikasi negatif Negara tidak menjamin
kebenaran data yang disajikan. Tetapi walaupun demikian tidaklah dimaksudkan untuk
menggunakan sistem publikasi negatif yang murni”

Sertifikat sebagai alat pembuktian yang kuat maksudnya bahwa sertifikat tersebut akan
memberikan jaminan kepastian hukum apabila tidak ada pihak lain yang merasa memiliki atas
sertifikat tersebut. Menurut Soeprapto bahwa kepastian hukum tersebut harus meliputi :[5]

a. Kepastian hukum mengenai subjek hukum yang menjadi pemegang hak-hak atas tanah;

b. Kepastian hukum mengenai lokasi, batas serta luas bidang tanah hak (objek hak);

c. Kepastian hukum mengenai hak yang melekat atas tanah tersebut.

Memperhatikan pendapat tersebut bahwa ketersediaan peta merupakan salah satu alat
penunjang untuk memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah, disamping
data yuridis lainnya sebagai penunjang yang sangat penting.

Dalam pendaftaran tanah, sebagai upaya untuk mewujudkan kepastian hak dibidang
pertanahan, Pemerintah berdasarkan UUPA pasal 19 diwajibkan untuk mengadakan pendaftaran
tanah diseluruh Indonesia dalam pasal 23, 24 dan 48 UUPA selain pemerintah juga pemegang hak
atas tanah tersebut, dimana kepastian hukum tersebut meliputi tiga hal yaitu :

1. Kepastian mengenai subjek hak yaitu kepastian hukum mengenai orang/badan hukum yang
menjadi pemegang hak atas tanah, jika pendaftaran tanah sudah dapat dilaksanakan dengan baik
dan tertib, maka melalui daftar tanah/buku tanah dapat dengan mudah diketahui siapa pemegang
hak atas suatu bidang tanah tertentu. Hal ini akan memberikan kepastian hukum, pertama-tama
bagi pemegang hak itu sendiri, bagi pihak lain yang mempunyai kepentingan atas tanah tersebut
misalnya pihak yang akan membeli tanah yang bersangkutan atau pihak yang akan meminjamkan
uang dengan hak atas tanah sebagai jaminan, pihak tersebut memperoleh jaminan kepastian
hukum bahwa dia akan membeli tanah atau akan memperoleh hak atas tanah sebagai jaminan
pinjaman yang akan diberikan, dari orang yang betul-betul mempunyai hak dan mempunyai
kewenangan untuk menjual atau menjaminkan tanah yang bersangkutan;

2. Kepastian hukum mengenai objek hak yaitu kepastian mengenai tanahnya itu sendiri yang
meliputi letak tanah secara pasti, batas-batasnya yang jelas, dan luas bidang tanah, jaminan
kepastian hukum mengenai objek ini sama pentingnya dengan jaminan kepastian hukum mengenai
subjek;

3. Kepastian hukum mengenai hak yang melekat atas tanah tersebut yang menjadi alas hubungan
hukum antara subjek hukum dengan objek hukum. Jaminan kepastian hukum terhadap hak atas
tanah yang melekat ini penting karena tidak semua hak atas tanah dapat dimiliki oleh subjek
hukum tertentu atau tidak boleh dipindah tangankan atau tidak boleh dibebani dengan hak
tanggungan.
Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah yang baik dan benar serta teliti dapat memberikan
jaminan kepastian hukum terhadap kepemilikan hak atas tanah apabila dipenuhi tiga syarat yaitu :

a. Peta-peta pemilikan tanahnya/peta kadaster dapat dipakai untuk rekonstruksi;

b. Daftar umum yaitu; daftar tanah, daftar nama, daftar surat ukur serta buku tanah dapat
membuktikan pemegang hak yang sah menurut hukum;

c. Setiap hak atas tanah dan perbuatan hukumnya harus didaftar.

BAB IV

ANALISIS

A. Kekuatan Hukum Sertifikat Hak atas Tanah

Daftar-daftar umum yang diselenggarakan dalam rangka pendaftaran tanah dalam suatu
Negara menetapkan apakah penerbitan sertifikat dapat memberikan kekuatan bukti atau tidak. Hal
ini dapat dilihat dari system pendaftaran tanah yang dianutnya. Ada dua system pendaftaran tanah,
yaitu:

1. System Pendaftaran tanah Positif


System positif jika daftar-daftar umum mempunyai kekuatan bukti, sehingga terdaftarnya
seseorang dalam daftar umum sebagai pemegang hak membuktikan orang tersebut adalah
pemegang hak yang sah menurut hukum. System positif ini dianut antara lain di Jerman dan
Australia.
2. Sistem Pendaftaran Tanah Negatif
Sistem Negatif tidak memberikan kekuatan bukti pada daftar-daftar umum pendaftaran tanah,
artinya terdaftarnya seseorang tidak membuktikan orang itu sebagai pemegang hak yang sah
menurut hukum. System negatif ini antara lain dianut di Indonesia.
Sistem pendaftaran tanah negatif ini terbentuk karena pengaruh asas hukum yang dianut di
dalam peralihan hak atas tanah yaitu Asas Nemo Plus Juris, artinya orang tidak dapat mengalihkan
hak yang melebihi hak yang ada padanya, yang tujuannya adalah melindungi pemegang hak yang
sebenarnya terhadap tindakan orang lain yang mengalihkan hak tanpa sepengetahuannya.
Dengan berlakunya asas peralihan hak ini, maka tidak memberikan kekuatan hukum pada daftar-
daftar umum penyelenggaran pendaftaran tanah.

Untuk mengetahui sejauh mana kekuatan hukum sertifikat hak atas tanah, maka dapat
dilihat dari sifat pendaftaran tanah yang diselenggarakan di Indonesia yaitu bertujuan untuk
menjamin kepastian hukum. Jaminan kepastian hukum adalah untuk menghindari terjadinya
penerbitan sertifikat tanah bukan kepada orang yang berhak. Sehubungan dengan sifat
pendaftaran tanah tersebut, maka UUPA dalam pelaksanaan pendaftaran tanah menganut system
negatif, yaitu segala apa yang tercantum dalam sertifikat tanah adalah benar sampai dapat
dibuktikan keadaan sebaliknya di muka pengadilan.

Undang-undang Pokok Agraria menegaskan system negatif ini bertendensi positif


sebagaimana tercantum dalam pasal 19 ayat (2) huruf c bahwa surat- surat tanda bukti hak yang
diberikan itu berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat dalam system negatif adalah berarti tidak
mutlak, sehingga sertifikat tanah masih mungkin dibatalkan sepanjang ada pembuktian sebaliknya
yang menyatakan ketidaksahan sertifikat tanah tersebut. Dengan demikian sertifikat tanah
bukanlah satu-satunya surat bukti pemegang hak atas tanah, oleh karena masih dimungkinkan ada
lagi bukti- bukti lain tentang pemegang hak atas tanah tersebut.

Pendaftaran tanah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997
sebagaimana yang telah diperintahkan Undang-undang Pokok Agraria menggunakan system
negatif bertendensi positif. Hal ini merupakan pernyataan pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-undang
Pokok Agraria yang menyatakan bahwa surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat
bukti yang kuat dan dalam pasal 23, 32 dan 38 UUPA bahwa pendaftaran tanah sebagai peristiwa
hukum merupakan alat pembuktian yang kuat. Walaupun bersifat negatif akan tetapi penyajian dan
pengumpulan data fisik serta data yuridis serta penerbitan serifikat hak atas tanah tampak jelas
usaha untuk memperoleh dan menyajikan data yang benar karena pendaftaran tanah adalah untuk
menjamin kepastian hukum.

Sehubungan dengan maksud tersebut, maka diadakanlah ketentuan pasal


32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang berbunyi sebagai
berikut :
“Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama
orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan
secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas
tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu
5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan
secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang
bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai
penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.”

Tujuan dari pencantuman pasal ini, pada satu pihak tetap berpegang pada system
pendaftaran tanah negatif dan pada pihak lain untuk secara seimbang memberikan kepastian
hukum kepada pihak yang beritikad baik menguasai bidang tanah dan didaftar sebagai pemegang
hak dalam buku Tanah dengan sertifikat sebagai tanda buktinya yang menurut Undang- undang
Pokok Agraria berlaku sebagai alat bukti yang kuat.

Berlakunya system pendaftaran tanah yang negatif, memiliki kelemahan karena pihak yang
namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi
kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah tersebut.

B. Upaya - upaya yang dilakukan dalam rangka menjamin kepastian hukum

Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga Pemerintah Non Departemen yang bertanggung
jawab dalam mengelola pertanahan salah satunya sebagai penyelenggara pendaftaran tanah
harus benar-benar menyelenggarakan dan mempertanggungjawabkan hasilnya sehingga dapat
memberikan kepastian hukum terhadap pemegang hak atas tanah. Untuk mencapai hal tersebut
telah berupaya untuk memberikan jaminan kepastian hukum dengan melakukan upaya-upaya
sebagai berikut :

1. Pengukuran dan pemetaan seluruh bidang-bidang tanah.


Bahwa dalam rangka kegiatan penyelenggaraan pendaftaran tanah sudah barang tentu
dibutuhkan infrastruktur berupa peta dasar pendaftaran dan peta pendaftaran yang memuat
informasi batas-batas bidang tanah yang merupakan hasil pemetaan dan pengukuran. Bahwa
dalam rangka mempercepat pengukuran dan pemetaan Pemerintah telah mengambil
kebijaksanaan untuk menyerahkan pekerjaan ini kepada pihak swasta dengan supervisi dari Badan
Pertanahan Nasional yaitu dengan adanya surveyor berlisensi sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1998, hal ini
dimaksudkan untuk dapat memanfaatkan semua potensi yang ada di masyarakat dalam
penyelenggaraan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia.
Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah khususnya pengukuran dan pemetaan dalam
memasuki suatu revolusi teknologi. Badan Pertanahan Nasional telah memanfaatkan teknologi di
bidang pengukuran dan pemetaan seperti teknologi Citra satelit, Ikonos, pemotretan udara dan
Global Positioning System (GPS). Dengan menggunakan teknologi GPS ini kinerja pengukuran
akan lebih efisien dengan fleksibilitas tinggi, karena teknologi ini tidak terpengaruh oleh waktu dan
cuaca.

Penyelenggaraan sistem informasi Kantor Pertanahan Nasional dalam rangka Peningkatan


Efisiensi Pelayanan Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Instruksi Menteri Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1998. Data Kantor Pertanahan yang telah
menggunakan program-program komputerisasi sampai dengan tahun 2001 telah dilaksanakan
sistem komputerisasi di 74 Kantor Pertanahan (termasuk Badan Pertanahan Nasional) di seluruh
Indonesia, pengadaan komputerisasi dilaksanakan secara bertahap hal ini disesuaikan dengan
ketersediaan dana, dengan menggunakan sistem komputerisasi maka pelayanan pertanahan akan
memberikan kemudahan kepada pihak-pihak yang membutuhkan data pertanahan.

Selain hal tersebut dalam rangka untuk memberikan jaminan kepastian hukum Badan
Pertanahan Nasional telah mengadakan kerjasama dengan Direktorat Jenderal Pajak. Perjanjian
kerjasama dalam rangka peningkatan kegiatan administrasi pertanahan dan perpajakan melalui
tukar-menukar data dan pemanfaatan bersama yang meliputi baik data spasial dan data tekstual
yang dituangkan dalam surat perjanjian kerjasama Kep-126/PJ/2003 dan Nomor 2/SKB/Badan
Pertanahan Nasional/2003 tanggal 21 April 2003, adapun data yang dimaksud adalah berupa :

1) Data Perpajakan berupa :

a. Peta desa/kelurahan;

b. Peta blok;

c. Peta Zona nilai tambah;

d. Daftar hasil rekaman;

e. Data spasial maupun tekstual lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
administrasi pertanahan.

2) Data Pertanahan yang dimaksud berupa :

a. Peta dasar pertanahan;


b. Peta pendaftaran;

c. Daftar tanah;

d. Daftar mutasi pemilikan dan pembebanan tanah;

e. Peta tata guna;

f. Titik dasar teknik;

g. Daftar harga ganti rugi tanah dan harga dasar tanah;

h. Daftar hak;

i. Data lainnya yang diperlukan.

2. Penilaian alat bukti untuk pelaksanaan pendaftaran tanah pertama kali, baik untuk
hak-hak lama maupun untuk hak-hak baru perlu diadakan penelitian secara cermat dan
teliti karena ketidak cermatan dalam menilai alat bukti sebagai dasar dalam penerbitan
sertifikat akan mengakibatkan sertifikat yang diterbitkan cacat hukum, adanya
pengumuman yang bersifat terbuka sebelum diterbitkan sertifikat merupakan hal yang
sangat penting dan harus benar-benar dilaksanakan. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat
mengetahui adanya pensertifikatan sehingga apabila ada yang merasa keberatan dapat
diantisipasi sedini mungkin sebelum terjadi sengketa.
3. Pemeliharaan dan pendaftaran tanah harus betul-betul diperhatikan, agar setiap
adanya perubahan dapat dilayani dengan cepat, sehingga pemegang hak yang
berkepentingan yang akan mengadakan perubahan baik itu data fisik maupun data yuridis
akan merasakan arti pentingnya kepastian hukum.
Bahwa pendaftaran tanah yang diselenggarakan secara baik menjadi dasar dan perwujudan
dari tertib administrasi di bidang pertanahan, administrasi pertanahan yang dikelola secara tertib
adalah merupakan harapan dari diadakannya pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997. Dengan adanya administrasi pertanahan yang tertib dan mutahir, maka
baik anggota masyarakat maupun Pemerintah dapat dengan mudah memperoleh data yang
diperlukan untuk melakukan perbuatan hukum ataupun perencanaan atas bidang-bidang tanah
secara cepat dan tepat.
Bahwa salah satu sumber bagi pemutahiran data pendaftaran tanah adalah akta yang dibuat
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, karena demi pemutahiran data pendaftaran tanah yang ada
pada Kantor Pertanahan. Dalam pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
mewajibkan setiap pemegang dari hak yang terdaftar untuk mendaftarkan setiap pengubahan data
fisik dari bidang tanahnya (misalnya karena pemecahan, pemisahan, ataupun penggabungan)
maupun pengubahan data yuridis dari hak atas tanahnya (misalnya karena diadakan pemindahan
ataupun pembebanan hak).

Dengan demikian peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dituntut untuk mempunyai
kemampuan teknis yang tinggi untuk dapat menjalankan profesinya dengan sebaik-baiknya karena
ketetapan, kepastian dan kebenaran informasi yang tertuang dalam akta yang dibuat sangat
menentukan, karena akta PPAT merupakan perantara bagi proses pendaftaran pemindahan hak
dan pemberian kepastian dan perlindungan terhadap hak atas tanah yang dikuasai oleh
masyarakat.

BAB V

KESIMPULAN

Dari apa yang telah dibahas pada Bab-bab tersebut diatas, maka dapatlah diambil kesimpulan
sebagai berikut :

1. Berdasarkan pasal 19 UUPA dan peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 bahwa
diadakannya pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum dan sertifikat
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, karena asas yang dianut adalah asas negative. Ini
tercermin dalam pernyataan pasal 19 UUPA bahwa sertifikat adalah sebagai alat pembuktian
yang kuat. Berbeda dengan system positif, yang menghasilkan sertifikat sebagai alat
pembuktian yang mutlak sebagai satu- satunya alat pembuktian. Dengan demikian sertifikat
tersebut hanya dipandang sebagai suatu bukti permulaan saja, belum menjadi sertifikat
sebagai suatu yang final sebagai bukti hak tanahnya. Jika menganut asas positif, maka
sertifikat merupakan satu-satunya alat pembuktian;
2. Sertifikat sebagai tanda bukti hak kepemilikan hak-hak atas tanah dapat memberikan jaminan
kepastian hukum yang kuat apabila tidak ada pihak-pihak yang mengajukan gugatan terhadap
hak-hak tersebut, kecuali bilamana dibuktikan sebaliknya siapa yang berhak terhadap
kepemilikan hak atas tanah tersebut. Apabila hak tersebut oleh pemilik yang digugat dapat
mempertahankan haknya dan setelah diuji didepan pengadilan baik mengenai prosedur
pembuatannya maupun materi kepemilikannya bahwa benar pemegang hak yang namanya
tercantum didalam sertifikat adalah yang benar-benar pemilik, maka sertifikat tersebut betul-
betul mempunyai kepastian hukum sebagai alat bukti yang kuat;
3. Upaya yang dilakukan agar pendaftaran tanah mempunyai kepastian hukum agar ketentuan
dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah dengan adanya
pembatasan kepada seseorang untuk mengajukan gugatan terhadap kepemilikan hak atas
tanah yang sudah bersertifikat dapat dilaksanakan secara konsekuen baik oleh BPN ataupun
Pengadilan.

Seputar Masalah Hukum


Perdata dan Agraria
Minggu, 19 Juni 2011
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG
SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH
(Suatu Kajian Terhadap Asas Itikad Baik/Kebenaran dan Asas
Nemo Plus Juris)
A. Latar Belakang Masalah
Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa :
“ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum “. Selanjutnya Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945 menyebutkan bahwa :

“ Bumi , air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat “

Bagi Negara Republik Indonesia , yang susunan perekonomiannya dan corak kehidupannya masih
bersifat agraris maka tanah mempunyai fungsi dan peranan yang mencakup berbagai aspek
penghidupan dan kehidupan masyarakat, bukan hanya aspek ekonomis belaka tetapi juga
menyangkut aspek-aspek yang non ekonomis, apalagi tanah merupakan segala-galanya bagi
masyarakat yang peranannya bukan hanya sekedar faktor produksi melainkan pula mempunyai
nilai untuk mendukung martabatnya sebagai manusia.

Berbagai pengalaman historis telah membuktikan bahwa tanah sangat lengket dengan perilaku
masyarakat bahkan tanah dapat menimbulkan masalah bila sendi-sendi perubahan tidak memiliki
norma sama sekali.

Betapa pentingnya tanah sebagai sumber daya hidup, maka tidak ada sekelompok masyarakatpun
di dunia ini yang tidak memiliki aturan-aturan atau norma-norma tertentu dalam masalah
pertanahan ini, penduduk bertambah , pemikiran manusia berkembang, dan berkembang pulalah
sistem , pola, struktur dan tata cara manusia menetukan sikapnya terhadap tanah.
Seiring dengan perubahan dan perkembangan pola pikir, pola hidup dan kehidupan manusia maka
dalam soal pertanahanpun terjadi perubahan, terutama dalam hal pemilikan dan penguasaannya
dalam hal ini tentang kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah yang sedang atau yang akan
dimilikinya.
Dengan adanya persoalan-persoalan , baik mengenai pertambahan penduduk maupun
perkembangan ekonomi, maka kebutuhan terhadap tanah dalam kegiatan pembangunan akan
meningkat. Berdasarkan kenyataan ini, tanah bagi penduduk Indonesia dewasa ini merupakan
harta kekayaan yang paling tinggi nilainya dan juga merupakan sumber kehidupan, maka dari itu
jengkal tanah dibela sampai titik darah penghabisan apabila hak tanahnya ada yang mengganggu.
Untuk menjaga jangan sampai terjadi sengketa maka perlu diadakan pendaftaran tanah.
Sadar akan tugas dan kewajibannya itu maka pemerintah telah menetapkannya pada pasal 19
UUPA yang pada ayat (1) nya menyatakan bahwa : “ Untuk menjamin kepastian hukum oleh
pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur degan Peraturan Pemerintah “. Selanjutnya pada ayat (2) nya
memberikan rincian bahwa pendaftaran tanah yang disebut pada ayat (1) tersebut meliputi :

a. Pengukuran, pemetaan, dan pembukuan tanah;

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;

c. Pemberian surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat.

Sebagai implementasi dari pasal 19 ayat (1) dan (2) ini maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah
di bidang Pendaftaran Tanah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 mengenai
Pendaftaran Tanah. Dan pendaftaran tanah dimaksud dijejaskan oleh Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 pada pasal 2 ayat (1) nya yaitu harus dilakukann desa demi desa atau
daerah-daerah yang setingkat dengan itu.
Dengan melihat konsepsi pasal 19 ayat (1 dan 2 ) UUPA serta pasal 2 ayat (1) PP Nomor 10 tahun
1961 tersebut di atas, maka kita dapat mengetahui bahwa pendaftaran tanah adalah perlu demi
terciptanya kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah. Dalam pelaksanaan pendaftaran ini,
pemerintah akan melaksanakan secara sederhana dan mudah dimengerti dan secara berangsur-
angsur. Konsepsi logis dari semua itu adalah ayat 2 c pasal 19 UUPA yaitu “ akan diberikan tanda
bukti hak/surat bukti hak , di mana surat-surat bukti hak tersebut akan berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat. Inilah fungsi pokok sebenarnya dari pendaftaran tanah.
Jadi jelaslah sebenarnya bahwa tujuan pendaftaran tanah untuk memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum terhadap hak atas tanah. Pendaftaran Tanah adalah tugas dan beban
pemerintah akan tetapi untuk mensukseskannya/ keberhasilannya sangat tergantung pada
partisipasi aktif / peranan masyarakat terutama pemegang hak.

Sistem pendaftaran tanah yang dianut oleh PP. No. 10 tahun 1961 adalah Sistem Negatif. Sistem ini
disempurnakan atau dikembangkan oleh PP. No. 24 Tahun 1997 adalah asas negatif mengandung
unsur positif , menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Jadi kalau dilihat dari tujuan pendaftaran tanah baik melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10
tahun 1961 maupun Nomor 24 tahun 1997 maka status kepemilikan hak atas tanah bagi warga
Negara Indonesia akan terjamin dan akan tercipta suatu kepastian baik mengenai, subjeknya,
objeknya maupun hak yang melekat di atasnya termasuk dalam hal ini peralihan hak atas tanah.
Hanya saja Kantor Pertanahan harus lebih aktif lagi mensosialisasikan kegiatan pendaftaran tanah
baik mengenai tata cara, prosedur maupun biayanya serta pentingnya pendaftaran tanah ini bagi
pemegang hak . Dan yang lebih penting lagi kantor Pertanahan harus senantiasa melakukan
pemutakhiran data tanah agar tidak terjadi overlapping dalam pemberian haknya atau pendaftaran
haknya yang dapat menimbulkan masalah hukum yaitu sengketa/perkara yang disebabkan oleh
adalanya sertifikat ganda atau sertifikat palsu. Kantor Pertanahan haruslah senantiasa
memutakhirkan datanya terutama buku tanah sebagai bank data .

Dalam realitas kehidupan kita ditengah-tengah masyarakat terdapat fakta bahwa masih banyak
persoalan /sengketa tanah yang berawal dari belum terciptanya kepastian hukum atas sebidang
tanah seperti masih adanya sengketa /perkara dibidang pertanahan sebagai akibat baik karena
belum terdaftarnya hak atas tanah maupun setelah terdaftarnya hak atas tanah , dalam artian
setelah tanah itu bersertifikat. Sehubungan dengan pendaftaran tanah, pertanyaan yang dapat
timbul adalah siapakah yang sebenarnya yang ingin dilindungi oleh hukum dengan dilakukannya
pendaftaran tanah ini.

Maka untuk menjawab pertanyaan ini, kami memilih judul /topic dari makalah ini adalah :
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH ( Suatu
Kajian Terhadap Asas Itikad Baik/Kebenaran dan Asas Nemo Plus Juris) “.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana fungsi dan peranan Pendaftaran Tanah dalam memberikan perlindungan hukum bagi
pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah.

C.Pembahasan Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, SH., MCL., MPA ( 2001 : 37 ) mengutarakan ,
bahwa Hukum menghendaki kepastian. Hukum Pertanahan Indonesia menginginkan kepastian
siapa pemegang hak milik atau hak-hak lain atas sebidang tanah. Di dalam realitasnya, pemegang
sertifikat atas tanah belum merasa aman akan kepastian haknya, bahkan sikap keragu-raguan yang
seringkali muncul dengan banyaknya gugatan yang menuntut pembatalan sertifikat tanah melalui
pengadilan.
Sedangkan menurut DR. Muchtar Wahid, ( 2008 : 9 ) sertifikat tanah sebagai produk pendaftaran
yang memenuhi aturan hukum normatif , belum menjamin kepastian hukum dari sudut pandang
sosiologi hukum. Yang dimaksud oleh beliau kepastian hukum dari sudut pandang sosiologi hukum
itu adalah realitas sosial yang terjadi di masyarakat.

Dengan memperhatikan kemampuan pemerintah , maka pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan


secara bertahap. Sebagai langkah awal dilakukan pengukuran desa-demi desa untuk memenuhi
ketersediaan Peta Dasar Pendaftaran Tanah yang memuat titik – titik dasar tehnik dan unsur-
unsur geografis serta batas fiksik bidang-bidang tanah. Pada wilayah yang belum dilakukan secara
sistematik , peta dasar pendaftraan tanah sangat diperlukan untuk mengidentifikasi dan
menentapkan letak tanah yang akan didaftarkan secara sporadik, dan selanjutnya menjadi dasar
untuk pembuatan peta pendaftaran.

Sehubungan dengan pemberian kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah, baik mengenai
subjek maupun objeknya , maka pemerintah mengharuskan dilakukan pengumuman mengenai
hak –hak atas tanah, yang meliputi :

1. Pengumuman mengenai subjek yang menjadi pemegang hak yang dikenal dengan sebagai
asas publisitas dengan maksud agar masyarakat luas dapat mengetahui tentang subjek dan
objek atas satu bidang tanah . Adapun implementasi dari asas publisitas ini adalah dengan
mengadakan pendaftaran tanah.

2. Penetapan mengenai letak, batas-batas, dan luas bidang – bidang tanah yang dipunyai
seseorang atas sesuatu hak atas tanah, dikenal sebagai asas spesialitas daan
implementasinya adalah dengan mengadakan Kadaster. Dengan demikian, maka seseorang
yang hendak membeli suatu hak atas tanah tidak perlu melakukan penyelidikan sendiri,
karena keterangan mengenai subyek dan objek atas suaru bidang tanah dapat diperoleh
dengan mudah pada instansi pemerintah yang ditugaskan menyelenggarakan Pendaftaran
Tanah.
Pelaksanaan pendaftaran tanah sebagaimana yang diatur oleh PP. No. 10 tahun 1961 belum
berjalan efektif , hal ini selain sasaran utamanya/daerah yang diutamakan adalah daerah –
daerah perkotaan, juga menyangkut tata cara , administrasi dan biaya yang harus
ditanggung oleh masyarakat pemegang hak atas tanah sangatlah berat dirasakan oleh
masayarakat pemegang hak atas tanah serta sosialisasi terhadap pelaksanaan PP itu sendiri
belum maksimal. Dengan kondisi tersebut maka tujuan pendaftaran tanah belum tercapai.
Akselerasi dalam pembangunan nasional sangat memerlukan dukungan jaminan kepastian
hukum di bidang pendaftaran tanah dan oleh karena PP. No. 10 Tahun 1961 dipandang
tidak lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil yang lebih nyata pada pembangunan
nasional sehingga perlu dilakukan penyempurnaan. Dengan menimbang hal-hal tersebut ,
maka pemerintah memandang perlu membuat suatu aturan yang lengkap mengenai
pendaftaran tanah yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat untuk adanya jaminan
kepastian hukum dan akhirnya pada tanggal 8 Juli 1997 , Pemerintah telah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Dengan berlakunya PP. No. 24 Tahun 1997
tidak serta merta menghapuskan keberlakuan PP. No. 10 Tahun 1961, akan tetapi PP. No.
10 tahun 1961 tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan atau diubah atau diganti
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997. ( Pasal 64 ayat 1 PP. No. 24 Tahun
1997).
Objek pendaftaran tanah ini bila dikaitkan dengan sistem pendaftaran tanah maka
menggunakan sistem pendaftaran tanah bukan pendaftaran akta, karena sistem
pendaftaran tanah ditandai/dibuktikan dengan adanya dokumen Buku Tanah sebagai
dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta
diterbitkannya sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar, sedangkan
pendaftaran akta, yang didaftar bukan haknya, melainkan justru aktanya yang didaftar,
yaitu dokumen-dokumen yang membuktikan diciptakannya hak yang bersangkutan dan
dilakukannya perbuatan-perbuatan hokum mengenai hak tersebut kemudian.
Dengan adanya PP. Nomor 24 tahun 1997 ini, kelihatanya program atau kegiatan
pendaftaran tanah mulai menggeliat, saat ini pendaftaran tanah sudah berjalan , namun
perlu ditingkatkan terus dan mencari solusi yang efektif agar tujuan hakiki dari
pendaftaran tanah terutama bagi tanah yang akan didaftar secara sistematis dan sporadik
dapat tercapai..

Sistem pendaftaran tanah yang dianut oleh PP. No. 10 tahun 1961 adalah Sistem Negatif.
Sistem ini disempurnakan atau dikembangkan oleh PP. No. 24 Tahun 1997 adalah asas
negatif mengandung unsur positif , menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat.

Pemerintah harus terus mencari cara dan sistem dalam rangka optimalisasi tujuan
pendaftaran tanah terutama mengenai asas sederhana . aman dan terjangkau, sehingga
golongan ekonomi lemahpun dapat termotifasi untuk mendaftarkan tanahnya terutama
secara sistematis dan sporadik, walaupun saat ini sudah ada program Larasita yang lebih
mendekatkan pada pelayanan dan bantuan biaya.

Jadi kalau dilihat dari tujuan pendaftaran tanah baik melalui Peraturan Pemerintah Nomor
10 tahun 1961 maupun Nomor 24 tahun 1997 maka status kepemilikan hak atas tanah bagi
warga Negara Indonesia akan terjamin dan akan tercipta suatu kepastian baik mengenai,
subjeknya, objeknya maupun hak yang melekat diatasnya termasuk dalam hal ini peralihan
hak atas tanah. Hanya saja Kantor Pertanahan harus lebih aktif lagi mensosialisasikan
kegiatan pendaftaran tanah baik mengenai tata cara, prosedur maupun biayanya serta
pentingnya pendaftaran tanah ini bagi pemegang hak . Dan yang lebih penting lagi kantor
Pertanahan harus senantiasa melakukan pemutakhiran data tanah agar tidak terjadi
overlapping dalam pemberian haknya atau pendaftaran haknya yang dapat menimbulkan
masalah hukum yaitu sengketa/perkara yang disebabkan oleh adalanya sertifikat ganda
atau sertifikat palsu. Kantor Pertanahan haruslah senantiasa memutakhirkan datanya
terutama buku tanah sebagai bank data.
Sifat pembuktian sertifikat sebagai tanda bukti hak dimuat dalam pasal 32 PP no. 24 tahun
1997, yaitu :

1. Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya,sepanjang data
fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku
tanah yang bersangkutan.

2. Dalam atas hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama
orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan
secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah
itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 tahun
sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada
pemegang sertifikat dan kepala kantor pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak
mengajukan gugatan kepengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan
sertifikat.

Ketentuan pasal ayat (1) Peraturan pemerintah no.24 tahun 1997 merupakan penjabaran dari
ketentuan pasal 19 ayat (2) huruf c, pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2), dan Pasal 38 ayat (2) UUPA,
yang berisikan bahwa pendaftaran tanah menghasilkan surat tanda bukti yang berlakusebagai alat
pembuktian yang kuat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah no.24 Tahun 1997, maka sistem
publikasi pendaftaran tanah yang dianut adalah sistem publikasi negatif,yaitu sertifikat hanya
merupakan surat tanda bukti yang kuat. Hal ini berarti bahwa data fisik dan data yuridis yang
tercantum dalam sertifikat mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima hakim sebagai
keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada alat bukti lain yang membuktikan
sebaliknya. Dengan demikian, pengadilanlah yang berwenang memutuskan alat bukti mana yang
benar dan apabila terbukti sertifikat tersebut tidak benar, maka diadakan perubahan dan
penbetulan sebagaiamana mestinya.

Ketentuan pasal 32 ayat (1) peraturan Pemerintah no. 24 tahun 1997 mempunyai kelemahan, yaitu
Negara tidak menjamin kebenaran data fisik dan data yuridis yang disajikan dan tidak adanya
jaminan bagi pemilik sertifikat dikarenakan sewaktu-sewaktu akan mendapatkan gugatan dari
pihak lain yang merasa dirugikan atas diterbitkannya sertifikat.

Untuk menutupi kelemahan dalam ketentuan pasal 32 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun
1997 dan untuk memberikan perlindungan hukum kepada pemilik sertifikat dari gugatan dari
pihak lain dan menjadikannya sertifikat sebagai tanda bukti yang bersifat mutlak. Maka dibuatlah

ketentuan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997,


sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang bersifat mutlak apabila
memenuhi unsur-unsur secara kumulatif, yaitu :
1. Sertifikat diterbitkan secara sah atas nama orang atau badan hukum
2. Tanah diperoleh dengan itikad baik
3. Tanah dikuasai secara nyata
4. Dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak ada yang
mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan kepala
kantor pertanahan kabupaten/kota setempat ataupun tidak mengajukan
gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan
sertifikat.

Secara lengkap bunyi ketentuan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
menyatakan :
Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau
badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya,
maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan
hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itutelah tidak
mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan
yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah
atau penerbitan sertipikat tersebut.

Menurut Dr. Irawan Soerodjo, SH., MSi, (2002 : 186) menyatakan bahwa ketentuan setelah 5
(lima) tahun sertipikat tanah tak bisa digugat , disatu sisi memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum tetapi disisi lain kebijakan tersebut juga riskandan tak memberikan
perlindungan hukum kepada rakyat kecil yang sejauh ini belum sepenuhnya paham hukum.
Pengumuman penerbitan sertipikat tanah di kantor kepala desa/kelurahan atau media massa tidak
menjamin masyarakat dapat mengetahui atas adanya pengumuman sehubungan dengan
penerbitan sertipikat. Hal ini dikarenakan masyarakat belum terbiasa membaca pengumuman di
kelurahan atau media massa.

Elyana (sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Irwan Soerdjo , 2002 : 187), menyatakan bahwa :
Pembatasan 5 (lima) tahun saja hak untuk menggugat tanah yang telah bersertipikat harus
disambut dengan rasa gembira karena akan memberikan kepastian hukum dan ketentraman pada
orang yang telah memperoleh sertipikat tanah dengan itikad baik. Pengalaman menunjukkan
bahwa sering terjadi sertipikat hak atas tanah yang telah berumur lebih dari 20 tahun pun (karena
sertipikat tersebut telah diperpanjang sampai dengan 20 tahun lagi ) masih juga dipersoalkan
dengan mengajukan gugatan. Bahkan baik di Pengadilan Negeri maupun ke Pengadilan Tata Usaha
Negara dan pihak tergugat umumnya tidak berhasil dengan mengajukan eksepsi kedaluwarsaan
baik akusatif maupun extingtip karena Hakim menganggap Hukum Tanah Nasional kita berpijak
pada hukum adat yang tidak mengenal lembaga verjaring. Dengan adanya pembatasan 5 tahun
dalam pasal 32 ayat 2 maka setiap Tergugat dalam kasus tanah yang sertipikatnya telah berumur 5
tahun dapat mengajukan eksepsi lewat waktu. Ketentuan pasal 32 ayat 2 ini dapat dipastikan akan
banyak mengurangi kasus/sengketa tanah.

Lebih lanjut Dr. Irawan Soerodjo, SH., MSi, (2002 : 187) menyatakan bahwa sedangkan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan setelah lewat jangka waktu 5 (lima) tahun setelah
diterbitkan ; maka sertipikat tanah tak dapat digugat lagi, sehingga hal tersebut akan relatif lebih
memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum.

Menurut kami, ketentuan ini pada prinsipnya menganut sistem publikasi positif, karena dengan
adanya pembatasan waktu lewat dari 5 (lima) tahun tidak dapat digugat lagi oleh orang yang
merasa berhak atas tanah termaksud. Dengan ketentuan bahwa proses permohonan dan
pendaftaran maupun peralihan haknya senantiasa dilandasai oleh itikad baik atau kebenaran serta
berpegang teguh pada asas Nemo Plus Yuris.

Dengan menerapkan kedua asas ini yaitu asas itikad baik/kebenaran dan asas Nemo Plus Yuris
akan memberikan perlidungan hukum kepada pemegang sertifikat hak atas tanah, tentunya
penerapan kedua asas ini harus dikuti pula dengan asas penguasaan fisik atas tanah
termaksud,karena dengan menguasai secara fisik dan tanpa ada keberatan dari pihak lain , itu
berarti masyarakat atau siapapun orangnya telah mengakui kepemilikan seseorang atas tanah yang
dikuasainya itu. Dengan mebguasai terus menerus atas tanah termaksud berarti secara tidak
langsung pemilik tanah itu menolak atau terhindar dari prinsip rechtsverwerking. Prinsip ini
menyatakan bahwa pihak yang merasa mempunyai hak atas tanah harus mempertahankan haknya
akan tetapi kalau pemilik tanah tidak memelihara atau mempertahankan haknya atas tanah
termaksud berarti dia telah melepaskan haknya.

Di dalam penjelasan peraturan pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah
dinyatakan bahwa pembukuan suatu hak di dalam daftar buku tanah atas nama seseorang tidak
mengakibatkan bahwa orang yang seharusanya berhak atas nama itu akan kehilangan haknya.
Orang tersebut masih dapat menggugat hak dari yang terdaftar dalam buku tanah sebagai orang
yang berhak. Jadi, cara pendaftaran hak yang diatur dalam peraturan pemerintah ini tidaklah
positif, tetapi negative. Demikian penjelasan peraturan pemerintah No. 10 tahun 1961.
Pengertian sistem pendaftaran tanah yang positif mencakup ketentuan bahwa apa yang sudah
terdaftar itu dijamin kebenaran data yang didaftarkannya dan untuk keperluan itu pemerintah
meniliti kebenaran dan sahnya tiap warkah yang diajukan untuk didaftarkan sebelum hal itu
dimaksukkan dama daftar-daftar.

Dalam sistem positif, Negara menjamin kebenaran data yang disajikan, sistem positif mengandung
ketentuan-ketentuan yang merupakan perwujudan ungkapan “title by registration” (dengan
pendaftaran diciptakan hak), pendaftaran menciptakan suatu “indefeasible title” (hak yang tidak
dapat diganggu gugat) dan “the register is everything” (untuk memutuskan adanya suatu hak dan
pemegang haknya cukup diliat buku tanahnya). Sekali didaftar pihak yang dapat membuktikan
bahwa dialah pemegang hak yang sebenarnya kehilangan haknya untuk menuntut kembali tanah
yang bersangkutan. Jika pendaftaran terjadi karena kesalahan pejabat pendaftaran dia hanya dapat
menuntut pemberian ganti rugi atau kompensasi berupa uang. Untuk itu Negara menyediakan apa
yang disebut sebagai suatu “assurance fund”.

Ketentuan-ketentuan yang merupakan perwujudan-perwujudan ungkapan-ungkapan demikian


tidak terdapat dalam UUPA. Dalam sistim publikasi negative juga dalam sistem negative, kita yang
mengandung unsure positif, Negara tidak dapat menjamin kebenaran data yang disajikan.
Penggunaannya adalah atas risiko pihak yang menggunakan sendiri. Di dalam asas Nemo plus
yuris, perlindungan diberikan pada pemegang atas hak sebenarnya maka dengan asas ini selalu
terbuka kemungkinan adanya gugatan kepada pemilik terdaftar dari orang yang merasa sebagai
pemilik sebenarnya.

Terlepas dari kemungkinan kalah atau menangnya, tergugat yaitu pemegang hak terdaftar, maka
hal ini berarti bahwa daftar umum yang diselenggarakan disuatu Negara dengan prinsip pemilik
terdaftar tidak dilindungi hukum, tidak mempunyai kekuatan bukti. Ini berarti bahwa terdaftarnya
seseorang di dalam daftar umum sebagai pemegang hak belum membuktikan orang itu seebagai
pemegang hak yang sah menurut hukum. Jadi pemerintah tidak menjamin kebenaran dari sisi
daftar-daftar umum yang diadakan dalam pendaftaran hak dan tidak pula dinyatakan dalam
Undang-Undang.
Sebagai contoh lihat UUPA Pasal 23, 32 dan 38 yang isinya menyatakan pula dalam peralihan hak-
hak (Hak milik, HGU, dan HGB) harus didaftar dan pendaftaran dimaksud merupakan alat
pembuktian yang kuat mengenai sahnya peralihan hak tersebut. Kuat tidak berarti mutlak, namun
lebih dari yang lemah sehingga pendaftaran berarti lebih menguatkan pembuktian pemilikan, akan
tetapi tidak mutlak yang berarti pemilik terdaftar tidak dilindungi hukum dan bisa digugat sebagai
mana dimaksud didalam penjelasan PP Nomor 10 Tahun 1961.

Hal pokok yang penting diluar perlindungan masalah hukum dan kekuatan bukti dari daftar-daftar
umum ialah masalah artihukum dari suatu pendaftaran hak ataupun pendaftaran peralihan hak
atas tanah.

Pasal 1 angka (20)

Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat 2 huruf (c)
UUPA. Untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun
dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.

Pasal 4
1. Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 3
huruf a kepda pemegang hak yang bersangkutan diberikan SERTIFIKAT ATAS TANAH

2. Untuk melaksanakan informasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf b data fisik, data
yuridis dari bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar terbuka untuk umum

3. Untuk mencapai tertib administrasi sebagaimana dimaksud dalma pasal 3 huruf c, setiap bidang
tanah dan satuan rumah susun termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya hak atas
bidang tanah atas satuan rumah susun wajib didaftar

Dalam pendaftaran tanah dikenal dua macam sistem publiaksi, yaitu :


1. Sistem publiaksi positif yaitu apa yang terkandung dalam buku tanah dan surat-surat tanda bukti
hak yang dikeluarkan merupakan alat pembuktian yang mutlak. Artinya pihak ketiga bertindak atas
bukti-bukti tersebut diatas, mendapatkan perlindungan yang mutlak, biarpun dikemudian hari
ternyata keterangan yang tercantum didalamnya tidak benar. Bagi mereka yang dirugiakn akan
mendapat kompensasi ganti rugi.

Dalam sistem publikasi positif, orang yang mendaftar sebagai pemegang hak atas tanah tidak dapat
diganggu gugat lagi haknya. Dalam sistem ini, Negara sebagai pendaftar menjamin bahwa
pendaftaran yang sudah dilakukan adalah benar.
Ciri-ciri sistem publikasi positif dalam pendaftaran tanah adalah :

a. Sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem pendaftaran hak (registration of titles)


b. Sertifikat yang diterbitkan sebagai tanda bukti hak bersifat mutlak, yaitu data fisik dan data
yuridis yang tercantum dalamsertifikat tidak dapat diganggu gugat dan memberikan kepercayaan
yang mutlak pada buku tanah.

c. Negara sebagai pendaftar menjamin bahwa data fisik dan data yuridis dalam pendafataran tanah
adalah benar
d. Pihak ketiga yang memperoleh tanah dengan itikad baik mendapatkan perlindungan hukum
yang mutlak
e. Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertifikat mendapatkan kompensasi dalam bentuk
yang lain
f. Dalam pelaksanaan pendaftraan tanah membutuhkan waktu yang lama, petugas pendaftaran
tanah melaksanakan tugasnya dengan sangat teliti, dan biaya yang relative lebih besar.

Boedi Harsono (2003 : 81-82 ) mengemukakan, dalam sistem positif, pendaftaran tanah menagnut
sikap bahwa apa yang sudah terdaftar itu dijamin mencerminkan keadaan yang sebenarnya, baik
tentang subyek hak maupun obyek haknya. Pemerintah menjamin kebenaran data yang telah
terdaftar dan untuk keperluan tersebut pemerintah telah meneliti kebenaran dan sahnya tiap
berkas yang diajukan untuk didaftarkan sebelum dimasukan kedalam daftar-daftar tanah. Dengan
demikian subyekhak yang terdaftar sebagai pemegang hak atas tanah merupakan pemegang hak
yang sah menurut hukum dan tidak bisa diganggu gugat dengan dasar atau alasan apapun juga.
Orang yang namannya terdaftar sebagai pemegang hak dalam register, memperoleh apa yang
disebut suatu indefeasible title ( hak yang tidak dapat diganggu gugat). Dengan selesainya
dilakukan pendaftaran atas nama penerima hak ,maka orang lain yang sebenarnya berhak menjadi
kehilangan haknya. Ia tidak dapat menuntut pembatalan perbuatan hukum yang memindahkan
hak yang bersangkutan kepada pembeli. Dalam keadaan tertentu ia hanya bisa menuntut ganti
kerugian kepada Negara. Untuk menghadapi tuntutan ganti kerugian tersebut , Negara
menyediakan suatu dana khusus.

2. Sisitem publikasi negatif, sertifikat yang dikeluarkan merupakan tanda bukti hak atas tanah yang
kuat, artinya semua keterangan yang terdapat dalam sertifikat mempunyaik kekuatan hukum dan
harus diterima sebagai keterangan yang benar oleh hakim, selama tidak dibuktikan sebaliknya alat
pembuktian yang lain.

Lebih lanjut Boedi Harsono mengatakan bahwa pendaftaran tanah yang menggunakan sistem
publikasi negatif, Negara sebagai pendaftar tidak menjamin bahwa orang yang terdaftar sebagai
pemegang hak benar-benar orang yang berhak karena menurut sistem ini bukan pendaftaran tetapi
sahnya perbuatan hukum yang dilakukan yang menentukan berpindahnya hak kepada pembeli.
Pendaftaran tidak membikan orang yang memperoleh hak dari pihak yang tidak berhak menjadi
pemegang hak yang baru.

Dalam sistem publikasi negatif, jaminan perlindungan hukum yang diberikan pada pihak ketiga
tidak bersifat mutlak seperti pada sistem positif. Piahk ketiga masih selalu berhati-hati dan tidak
mutlak percaya pada apa yang tercantum dalam buku pendaftaran tanah atau surat tanda bukti hak
yang dikeluarkannya.

Dalm sistem publikasi negatif berlaku asas nemo plus juris, artinya orang tidak dapat menyerahkan
atau memindahkan hak melebihi apa yang dia sendiri dia punyai. Seseorang yang tidak berhak atas
bidang tanah tertentu dengan sendidirnya tidak dapat melakukan suatu perbuatan hukum
mendaftarkan tanah tersebut, apalagi mengalihkannya pada pihak lain. Asas nemo plus juris ini
dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada pemilik tanah yang sebenarnya, yang
tanahnya disertifikatkan pada orang lain.

Ciri-ciri sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah yaitu :

a. Sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem pendaftaran akta ( registration of deed)


b. Sertifikat yang diterbitkan sebagai tanda bukti hak bersifat kuat, yaitu data fisik dan data
yuridis yang tercantum dalam sertifikat dianggap benar sepanjang tidak dibuktikan
sebaliknya oleh alat bukti yang lain. Sertifikat bukan sebagai satu satunya tanda bukti hak
c. Negara sebagai pendaftar tidak menjamin bahwa data fisik dan data yuridis dalam
pendaftaran tanah adalah benar
d. Dalam sistem publikasi ini menggunakan lembaga kedaluwarsa
e. Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertifikat dapat mengajukan keberatan
kepada penyelenggara pendaftaran tanah untuk membatalkan sertifikat ataupun gugatan
ke pengadilan untuk meminta agar sertifikat dinyatakan tidak sah
f. Petugas pendaftaran bersifat pasif, yaitu hanya menerima apa yang dinyatakan oleh
pihak yang meminta pendaftaran tanah.
Apabila ditelaah dan dianalisis cara kerja sistem publikasi negatif ini, maka kami
menyimpulkan bahwa dengan sistem ini pada dasarnya tidak dapat menciptakan kepastian
hukum apalagi memberikan perlindungan hukum, karena masih ada kemungkinan pihak
lain mengganggu kepemilikan pihak yang telah memegang sertifikat hak atas tanah sebagai
bukti bahwa dia telah mematuhi perintah hukum dan atau aturan perundang-undangan,
apalagi Negara kita hanya mengenal sistem hukum positif . , tidak ada sistem hukum
negatif.
DR. Muchtar Wahid ( 2008 : 75-76 ) menyatakan bahwa sistem negatif murni dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum. Kelemahan yang mendasar mengenai sistem negatif
adalah pendaftaran tanah tidak menciptakan hak yang tidak dapat diganggu gugat. Yang
menentukan sah atau tidaknya suatu hak serta pemilikannya adalah sahnya perbuatan
hukum yang dilakukan, bukan pendaftarannya. Oleh karena itu, biarpun sudah didaftar
dalam buku tanah dan diterbitkan sertifikat masih selalu dihadapi kemungkinan pemegang
hak yang terdaftar kehilangan hak tanah yang dikuasainya karena digugat oleh pihak yang
berhak sebenarnya.
Kami sependapat dengan pendapat DR. Muchtar Wahid dan Boedi Harsono, memang
seharusnyalah kelemahan dari sistem negatif ini ditutupi dan pendaftaran tanah kita
kedepannya haruslah memilih sistem positif, agar tercipta kepastian hukum yang dapat
melindungi kepentingan para pemegang sertifikat hak atas tanah.., tentunya pemohon hak
yang berdasarkan dan atau dilandasi oleh itikad baik ( kebenaran baik formil maupun
materil) dan Nemo Plus Juris. Dan kedua asas ini dimiliki oleh manusia sebagai mahkluk
Allah SWT., dan adalah sangat wajar untuk di realisasikan dan diwujudkan dalam tingkah
laku dan tindak tanduk kehidupan kita sehari-hari.

C. Kesimpulan
1. Bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah

2. Sertifikat hak atas tanah adalah sebagai bukti hak yang merupakan perwujudan dari
proses pendaftaran tanah yang dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan
hukum bagi pemegangnya.

3. Sistem pendaftaran tanah di Indonesia menganut sistem publikasi negatif yang


bertendensi positif. Sistem ini pada dasarnya kurang memberikan kepastian hukum
apalagi perlindungan hukum baik kepada pemegang sertifikat, maupun pihak ketiga
yang memperoleh hak atas tanah.

4. Untuk dapat lebih memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum sebaiknya
UUPA kita atau hukum tanah kita menganut sistem publikasi positif.

5. Yang dilindungi dengan diadakannya pendaftaran tanah yaitu pemegang sertifikat hak
atas tanah, karena dengan dilakukannya pendaftaran tanah berarti akan tercipta
kepastian hukum, kepastian hak serta tertib administrasi pertanahan sehingga semua
pihak terlidungi dengan baik, baik pemegang sertifikat, pemegang hak atas tanah,
pihak ketiga yang memperoleh hak atas tanah maupun pemerintah sebagai
penyelenggara Negara.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku :

Boedi Harsono , Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pemmbentukan Undang-Undang Pokok Agraria isi dan pelaksanaannya, Djembatan,
Jakarta, 1977;

_____________, Himpunan Peraturan Perundangan Agraria, Edisi Revisi, Djembatan, Jakarta, 2002.

Parlindungan A.P,Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria dan Tata Cara Pejabat Pembuat Akta Tanah, Mandar Maju,
Bandung, 1991.

______________,Komentar Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1998.

_____________, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung 1999.

B. Majalah :

Badan Pertanahan Nasional, Bhumi Bakti, No. 19 Tahun 1999.

C. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah;
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 Tentang Badan Pertanahan Nasional.

[1] Parlindungan, Komentar atas Undang- Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1993, Hlm.238.

[2] ibid., Hlm.41.

[3] Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1999, Hlm. 14.

[4] Ibid., Hlm.125

[5] R. Soeprapto, Undang-undang Pokok Agraria dalam praktek, Jakarta, 1986, hlm 323.

Diposkan oleh WD Permana, S.H di 11.01

Anda mungkin juga menyukai