Anda di halaman 1dari 15

Kewenangan Pengadilan Niaga

Dalam Penyelesaian Pailit Yang Berklausula Arbitrase

(Studi Kasus Putusan Kepailitan)

Oleh: Rahayu Hartini

Abstraksi:

Penyelesaian sengketa dagang bisa dilakukan diluar lembaga peradilan dengan cara
arbitrase (Pasal 3 jo. 11 UU Arbitrase), sementara penyelesaian masalah kepailitan
diselesaikan melalui Pengadilan Niaga (Pasal 280 ayat (1) UUK. Namun bagaimana bila
itu menyangkut masalah kepailitan sementara dalam perjanjiannya mencantumkan
klausula arbitrase, menjadi kewenangan lembaga mana, Arbitrase ataukah Pengadilan
Niaga?. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lebih jauh berlakunya adagium hukum
Lex spesialis derogat lex generalis.

Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan terhadap putusan-putusan Kepailitan


pada Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung antara PT. Enindo dan kawan melawan
PT.Putri Putra Fortuna (PPFW) dan kawan adalah bahwa (1) Yang berwenang memutus
perkara kepailitan yang berklausula Arbitrase dalam perjanjiannya adalah Pengadilan
Niaga, hal ini didasarkan pada ketentuan pasal 280 ayat 1,2 dan penjelasannya Perpu No:
1/ 1998 yang telah ditetapkan menjadi UU Kepailitan No.4 /1998. (2) Penerapan Asas
Lex Specialis Derogat Lex Generalis dalam Kasus Kepailitan antara PT Enindo dan
Kawan melawan PT. PPFW dan Kawan adalah (a) Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, UU
Arbitrase Nomor 30/ 1999 sebagai special law dan UU Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998
sebagai general law, (b) Dalam Kasasi, UUK sebagai special law (pasal 280 Perpu
Nomor 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 4 Tahun 1998) dan UU
arbitrase sebagai general law. (c) Dalam Peninjauan Kembali (PK), UUK sebagai
undang-undang khusus (special law) dan UU Arbitrase menjadi general law.

Kata kunci: Kewenangan, Kepailitan, Arbitrase.

Abstract

A. LATAR BELAKANG
Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan,
maka penyelesaian perkara kepailitan diselesaikan oleh Pengadilan Negeri yang
merupakan bagian dari Peradilan Umum sebagaimana diatur dalam Undang-
undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, ada 4
(empat) lingkungan peradilan di Indonesia yaitu: Peradilan Umum, Peradilan
Militer, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara. Namun demikian
sejak ditetapkan dan berlakunya Undang-undang Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998
maka kemudian penyelesaian perkara Kepailitan diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan Peradilan Umum.

Disisi lain kita juga mengenal adanya penyelesaian sengketa diluar lembaga
peradilan formal, yakni yang dikenal dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif
maupun Arbitrase. Ini merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa diluar
pengadilan yang didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa.
Sebagai konsekuensinya maka alternatif penyelesaian sengketa bersifat sukarela
dan karenanya tidak dapat dipaksakan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya
yang bersengketa. Walau demikian sebagai bentuk perjanjian kesepakatan yang
telah dicapai oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui forum diluar
pengadilan harus ditaati oleh para pihak.

Menurut UU Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitarse ini, apabila ada sengketa
perdata dagang yang dalam perjanjiannya memuat klausula arbitrase harus
diselesaikan oleh lembaga arbitrase, dan pengadilan negeri wajib menolak dan
menyatakan tidak berwenang untuk mengadilinya apabila perkara tersebut
diajukan. Karena menjadi wewenang lembaga arbitrase untuk menyelesaikannya
sesuai dengan kesepakatan para pihak dalam perjanjian tersebut. Namun
bagaimana halnya apabila ini menyangkut masalah kepailitan sementara dalam
perjanjiannya memuat klausula arbitrase menjadi kewenangan siapakah
penyelesaian perkara ini, lembaga arbitrase atau Pengadilan Niaga dan dasar
hukum yang mana yang diterapkan.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berangkat dari kerangka berpikir dan fenomena seperti tersebut diatas maka
penelitian ini dilakukan dalam rangka untuk mengetahui lebih jauh tentang:

1. Siapakah yang berwenang memutuskan perkara kepailitan yang berklausula


arbitrase dalam perjanjiannya?.
2. Bagaimanakah penerapan Asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis dalam Kasus
Kepailitan antara PT Enindo dan Kawan melawan PT Putra Putri Fortuna dan
Kawan ?.

C. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Arbitrase dan Pailit

a. Pengertian Arbitrase

Bila diteliti batasan yang ada maka yang dimaksud arbitrase adalah, menurut
Subekti: “Arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan (perkara) oleh seorang
atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama ditunjuk oleh para fihak
yang berperkara dengan tidak diselesaikan lewat pengadilan (Abdurrasyid, 2000:
8).

Arbitrase menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif


Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU Arbitrase) adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata diluar lembaga peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat para pihak secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa
klausula arbitarse yang tercantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak
sebelum timbul sengketa, suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para
pihak setelah timbul sengketa.

Dalam perkembangannya ternyata tata cara penyelesaian cara damai seperti


arbitrase banyak dimanfaatkan juga dibidang-bidang sengketa tentang: frachising,
penerbangan, telekomunikasi internasional dan penggunaan ruang angkasa
komersial, bahkan ada yang menghendaki agar juga ditetapkan dalam kartu kredit,
perbankan dan pelanggaran terhadap keamanan lingkungan.

b. Pengertian Pailit

Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepailitan (yang lama) menyatakan: “setiap
berutang (debitur) yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan
sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang (kreditur),
dengan putusan hakim dinyatakan dalam keadaan pailit”. Sedang menurut
ketentuan dalam lampiran Undang-undang Kepailitan No.4 Tahun 1998 Pasal 1
ayat (1) (selanjutnya disebut UUK), yang menyebutkan: “Debitur yang
mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas
permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.
Pernyataan pailit tersebut harus melalui proses pemeriksaan dipengadilan setelah
memenuhi persyaratan di dalam pengajuan permohonannya.

Dilihat dari beberapa arti kata atau pengertian kepailitan tersebut diatas maka
esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas harta
kekayaan debitur untuk kepentingan semua kreditur yang pada waktu kreditur
dinyatakan pailit mempunyai hutang.

2. Teori Hukum Perjanjian


Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang
lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari
peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang yang
membuatnya. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak mengikat para pihak dan
berlaku sebagai undang-undang, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat
1 KUH Perdata yang berbunyi: semua perjanjian yang dibuat berlaku sebagai
Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Mengenai kekuatan berlakunya perjanjian atau klausula arbitrase, apakah bisa


dikesampingkan oleh para pihak. Menurut Munir Fuady (2000, 121-122) ada dua
aliran dalam teori hukum, yaitu sebagai berikut:

a. Aliran yang menyatakan bahwa klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase bukan
public policy. Misalnya, yang diputus oleh Hoge Raad negeri Belanda, 6 Januari
1925. Disini ditegaskan sungguhpun ada klausula arbitrase, tetapi pengadilan
tetap berwenang mengadili sejauh tidak ada eksepsi dari pihak lawan, karena
klausula arbitrase bukanlah openbare orde.
b. Aliran yang menekankan asas “Pacta Sunt Servanda” pada kekuatan klausula
atau perjanjian arbitrase. Aliran ini mengajarkan bahwa klausula atau perjanjian
arbitrase mengikat para pihak dan dapat dikesampingkan hanya dengan
kesepakatan bersama para pihak yang tegas untuk itu. Dalam hal ini penarikan
secara diam-diam atau praduga telah di “waive” tidak berlaku dan perjanjian atau
klausula arbitrase dianggap menimbulkan kompetensi absolut. Aliran ini cukup
banyak diikuti oleh Pengadilan-pengadilan, antara lain dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 225/K/Sip/1981.
c. Aliran Kontroversial.

Disamping dua aliran tersebut diatas, pada perkembangannya yang sebenarnya


bersifat sempalan yang sangat bertolak belakang dengan aliran pacta sunt
servanda (nomor b), misalnya yang diputus oleh MA No.1851 K/PDT/1984.

Pada prinsipnya aliran yang kontroversial ini menyatakan sungguhpun ada


klausula arbitrase dalam perjanjian para pihak, in casu yang dipilih adalah
BANI, dan sungguhpun ada bantahan dari salah satu pihak ketika harus ke
Pengadilan Negeri, tetapi Pengadilan Negeri tetap menyatakan dirinya berwenang
dan MA membenarkannya. Alasannya karena para pihak tidak serius (istilah
pengadilan Negeri yang bersangkutan:“Dalam hati para pihak tidak ada niat untuk
menggunakan arbitrase”).

3. Studi Kewenangan

a. Syarat Arbitrase

Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi
antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase (Pasal 7 UU Arbitrase). Jadi
pada prinsipnya hanya perjanjian yang mensyaratkan adanya klausula arbitrase
saja yang dapat diselesaikan melalui arbitrase, baik itu arbitrase ad hoc, ataupun
lembaga arbitrase seperti BANI. Tentang klausula ini dapat ditentukan sejak awal
(acta compromi) atau dapat dibuat menyusuli suatu perjanjian kerja sama antara
kedua fihak (pactum decompromittendo).

Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang
terikat dalam perjanjian arbitrase (Pasal 3). Dengan adanya arbitrase tertulis
tersebut maka akan meniadakan hak para fihak untuk mengajukan penyelesaian
sengketa ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri wajib menolak/tidak
campur tangan dalam penyelesaian suatu sengketa yang telah ditetapkan melalui
arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan undang-undang ini.
(Pasal 11 UU.Arbitrase).

b. Syarat Penyelesaian Pailit

Permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang,


diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Niaga yang berada dilingkungan
Peradilan Umum. Dengan ketentuan ini, semua permohonan pernyataan pailit dan
penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan setelah berlakunya
undang-undang tentang kepailitan sebagaimana diubah dengan Peraturan
perundang-undangan ini hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Niaga (Pasal
280 ayat (1) jo. penjelasan Pasal 280 ayat (1) UUK.

4. Penelitian Terdahulu

Studi yang dilakukan oleh Rahayu Hartini (2001), menggambarkan bahwa pada
prinsipnya hanya perjanjian yang mensyaratkan adanya klausula arbitrase saja
yang dapat diselesaikan melalui arbitrase, baik itu arbitrase ad hoc, ataupun
lembaga arbitrase seperti BANI. Demikian juga dalam prakteknya yang ada pada
BANI Surabaya. Klausula ini dibuat secara tertulis yang disepakati oleh kedua
pihak yang mengadakan perjanjian (Acta Compromi) atau dapat dibuat menyusuli
suatu perjanjian kerja sama antara kedua fihak (pactum decompromittendo).
Dengan adanya arbitrase tertulis tersebut akan meniadakan hak para fihak untuk
mengajukan penyelesaian sengketa ke pengadilan negeri dan pengadilan negeri
wajib menolak/tidak campur tangan dalam penyelesaian suatu sengketa yang telah
ditetapkan melalui arbitrase, kecuali yang ditetapkan Undang-undang Arbitrase
Pasal 11. Ketentuan demikian semestinya menjadi pegangan yang konsisten bagi
para pihak, setiap pengacara yang mendampingi mereka dan arbiter yang dipilih
serta para pengguna UU ini pada umumnya.

Dari studi yang dilakukan oleh Rahayu Hartini tentang Implementasi UU


Arbitrase pada BANI Jatim (2001), diperoleh gambaran bahwa dalam praktek
masih saja ada kelemahannya ketika tidak disebutkan dengan tegas didalam
klausula tersebut apakah arbitrase ad-hoc ataukah lembaga arbitrase seperti
BANI, oleh karena itu hal inipun harus disepakati terlebih dulu mana yang akan
dipilih. Selain itu juga masih adanya kontrak perjanjian atau kontrak bisnis yang
dibuat oleh notaris yang ambivalen atau mendua., yaitu bila ada sengketa
diselesaikan dengan perundingan langsung dan bersifat informal ataukah melalui
mekanisme formal dan bahkan jelas-jelas menyebut penyelesaian secara arbitrase
yakni dengan menunjuk BANI Jakarta untuk menyelesaiakannya. Dalam
pengimplementasian UU Arbitrase ada beberapa kendala yang ditemuai dilapang
yaitu antara lain yang berkaitan dengan peranan Pengadilan Negeri dan
permasalahan diseputar tidak dilaksanakannya putusan arbitrase secara sukarela
oleh pihak yang dikalahkan. Namun prospek UU Arbitrase ini kedepan cukup
bagus, ada bebeparapa hal positif dari UU ini antara lain: Proses yang menjunjung
tinggi kerahasiaan para pihak dengan pemeriksaan sidang yang tertutup untuk
umum dan larangan publikasi putusan arbitrase, Pemeriksaan dilakukan oleh
arbiter atau majelis arbiter pilihan para pihak, Putusan yang bersifat final dan
mengikat, tidak ada upaya banding maupun kasasi, Jangka waktu yang singkat
yaitu 180 hari pemeriksaan harus sudah selesai dan diputus, sehingga memnuhi
acara yang singkat, cepat relatif lebih murah, dll. Dan dari keseluruhan faktor
positif/ pendukung tersebut, tentunya masih perlu adanya itikad baik atau
“political will” dari kita bersama untuk benar-benar konsisten dengan keikhlasan
mewujudkan penyelesaian arbitrase atau ADR sehingga memberi kepastian
hukum.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Posisi Kasus Perkara Kepailitan PT Putra Putri Fortuna Windu dan Kawan
melawan PT. Enindo dan Kawan

Berdasarkan perjanjian manajemen “Turnkey” tertanggal 30 Oktober 1995, PT.


Environmental Network Indonesia (selanjutnya disebut PT. Enindo) menerima
pekerjaan jasa manajemen termasuk konstruksi bidang industri agrikultur atau
proyek tambak udang dari PT. Putra Putri Fortuna Windu yang merupakan anak
perusahaan dari PPF Internasional Corporation perusahaan go public yang berada
di Kanada. Dalam perjanjian manajemen “Turnkey”, maka PT. Enindo melakukan
pekerjaan yang termasuk tenaga kerja yang diperlukan menggunakan biaya
sendiri. Kemudian secara berkala PT. Putra Putri Fortuna Windu akan membayar
kepada PT.Enindo menggunakan dana dari PPF Internasional Corporation sebagai
penyandang dana.

Dalam perjanjian tersebut berlaku sampai 10 tahun sejak terhitung mulai


tanggal 30 Oktober 1995. Namun tanpa alasan jelas PT. Putra Putri Fortuna
Windu mengakhiri secara paksa isi perjanjian dan mengambil alih proyek, karena
untuk menghindari pertumpahan darah maka PT. Enindo terpaksa mengalah dan
atas pengambilalihan proyek tersebut telah diadakan perhitungan utang piutang
atas biaya pelaksanaan pekerjaan/ proyek sebesar US $ 496.284 yang telah diaudit
oleh KAP Collins Barrow. Juga didiketahui setelah diaudit ternyata PT. Putra
Putri Fortuna Windu adalah anak perusahaan dari PPFI.
Setelah diadakan perhitungan jumlah uang yang harus dibayar maka dilakukan
sebuah perjanjian pelunasan utang dengan surat No. 015/DIR/98. PPF
Internasional Co, menjanjikan kepada PT. Enindo untuk melunasi utangnya secara
berkala/ mengangsur dalam dua kali pembayaran, yaitu tahap pertama jatuh
tempo tanggal 5 Oktober 1998 sebesar US $ 250.000 dan tahap kedua jatuh tempo
tanggal 31 Desember 1998 sebesar US $ 246.284.

Pada tanggal 26 Mei 1998 PT. Enindo telah melakukan penagihan kepada PT.
PPF dan PT. PPFW menjawabnya bahwa mereka sedang menunggu pembayaran
dari PPF Internasional Co.

Bahwa selain utang kepada PT. Enindo, PT. Putra Putri Fortuna Windu
mempunyai utang yaitu menunggak pembayaran sewa tanah periode Januari 1998
s/d Desember 1998 kepada kelompok tani Tambak FSSP Maserrocinnae. Dalam
perjanjian pembayaran itu ada klausula arbitrase apabila ada sengketa dalam
pembayaran utang tersebut, juga PT. Putra Putri Fortuna Windu telah melakukan
kesanggupan membayar melalui surat perjanjian.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka PT. Enindo dan Kelompok Tani
Tambak FSSP Maserrocinnae mengajukan permohonan pailit atas PT. Putra Putri
Fortuna Windu dan PPF International ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Dan perkara ini telah diputus baik pada Tingkat Pertama di Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat, Tingkat Kasasi maupun Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah
Agung RI, sebagai berikut:

a. Dalam Peradilan Tingkat Pertama, yakni pada


Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, tanggal 31 Maret
1999, Nomor: 14/Pailit/1999/PN.Niaga/Jkt.Pst,
dengan amar putusan seperti berikut:
1. Menyatakan Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
tidak berwenang untuk memeriksa
dan memutus permohonan ini,
2. Menolak permohonan pernyataan
pailit yang diajukan oleh PT. Enindo.
b. Pada Tingkat Kasasi di Mahkamah Agung RI,
tanggal 25 Mei 1999, Nomor : 012/PK/N/1999,
dengan Amar Putusan seperti berikut:
1. Mengabulkan permohonan kasasi
dari pemohon kasasi: PT Enindo
2. Membatalkan putusan Pengadilan
Niaga Jakrta Pusat tanggal 31 Maret
1999, Nomor
14/Pailit/1999/PN.Niaga/Jkt Pst.
Dan mengadili sendiri:

1. Menyatakan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat berwenang untuk


memeriksa dan memutus perkara ini
2. Mengabulkan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh
pemohon: PT. Enindo.
3. Menyatakan para Termohon: 1. PT. Putra Putri Fortuna Windu dan 2.
PPF International Coorpration dalam keadaan pailit.
c. Pada Tingkat Peninjauan Kembali (PK) di
Mahkamah Agung RI, tanggal 2 Agustus 1999,
Nomor: 013 PK/N/1999, dengan Amar putusan
sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan PK dari
pemohon: PT Putra Putri Fortuna
dan kawan
2. Membatalkan putusan MA tanggal
25 Mei 1999 Nomor: 012/KN/1999
dan putusan Pengadilan Niaga Jakrta
Pusat tanggal 13 Maret 1999,
Nomor: 014/
Pailit/1999/PN.Niaga/Jkt.Pst

Dan mengadili kembali :

1. Menolak permohonan pailit dari pemohon: PT Enindo dan kawan.

2. Pihak Yang Berwenang Memutuskan Perkara Kepailitan Yang Berklausula


Arbitrase Dalam Perjanjiannya

Mengenai pihak mana yang berwenang untuk memutuskan perkara kepailitan


yang ada klausula arbitrase dalam perjanjiannya (Pengadilan Niaga ataukah BANI
sebagai Lembaga Arbitrase, tentunya kita perlu melihat kembali pada teori hukum
tentang kekuatan berlakunya perjanjian atau klausula arbitrase. Ada dua aliran
dalam teori hukum (dan dalam perkembangannya dikenal tiga teori hukum) yakni
bahwa :1)Klausula arbitrase bukan public policy (meskipun ada klausula arbitrase,
pengadilan tetap berwenang mengadili sejauh tidak ada eksepsi dari pihak lawan,
karena klausula arbitrase bukanlah openbare orde), 2) Aliran yang menekankan
asas “Pacta Sunt Servanda” pada kekuatan klausula atau perjanjian arbitrase
(klausula arbitrase mengikat para pihak dan dapat dikesampingkan hanya dengan
kesepakatan bersama para pihak yang tegas untuk itu. Dalam hal ini penarikan
secara diam-diam atau praduga telah di “waive” tidak berlaku dan klausula
arbitrase dianggap menimbulkan kompetensi absolut), 3). Kontroversial
(sungguhpun ada klausula arbitrase, in casu yang dipilih adalah BANI, dan
sungguhpun ada bantahan dari salah satu pihak ketika harus ke Pengadilan
Negeri, tetapi Pengadilan Negeri tetap menyatakan dirinya berwenang dan MA
membenarkannya, alasannya karena para pihak tidak serius). Jadi pada prinsipnya
walaupun sengketa dinyatakan menjadi kewenangan arbitrase, tidak berarti bahwa
Pengadilan sama sekali tidak berwenang.

Dari hasil analisa mengenai putusan perkara kepailitan antara PT Enindo dan
kawan melawan PT. Putra Putri Fortuna Windu dan kawan yang telah diputus oleh
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung baik pada tingkat Kasasi
maupun Peninjauan Kembali, maka dapat penulis uraikan sebagai berikut:

1. Bahwa klausula Arbitrase dalam perjanjian tidak dapat


mengesampingkan kewenangan Pengadilan Niaga untuk
memeriksa dan memutuskan perkara permohonan
pernyataan pailit (Pasal 280 Perpu No.1/1998 yang telah
ditetapkan menjadi UU No.4/1998 tentang Kepailitan).
2. Menurut penulis dalam memutuskan kasus kepailitan
tersebut Mahkamah Agung (dalam Peninjauan Kembali)
lebih cenderung mengikuti aliran Kontroversial. Jadi pada
prinsipnya walaupun sengketa dinyatakan menjadi
kewenangan arbitrase, tidak berarti bahwa Pengadilan sama
sekali tidak berwenang.

Dengan alasan bahwa:

a. Berdasar pasal 280 (1,2) Perpu Nomor 1 Tahun


1998, yang telah ditetapkan menjadi Undang-
undang Nomor 4 Tahun 1998, status hukum dan
kewenangan (legal status and power) Pengadilan
Niaga mempunyai kapasitas hukum (legal capacity)
untuk menyelesaikan permohonan pailit.
b. Klausula Arbitrase berdasarkan penjelasan pasal 3
UU Nomor 14 Tahun 1970 jo pasal 377 HIR dan
pasal 615-651 RV, telah menempatkan status hukum
dan kewenangan arbitrase memiliki kapasitas
hukum untuk menyelesaikan sengketa yang timbul
dari perjanjian dalam kedudukan sebagai extra
judicial berhadapan dengan Pengadilan Negeri
sebagai Pengadilan Negara biasa.
c. Dalam kedudukan arbitrase sebagai extra judicial
yang lahir dari kalusula arbitrase, jurisprudensi
telah mengakui legal effect yang memberi
kewenangan absolute bagi arbitrase untuk
menyelesaikan sengketa yang timbul dari
perjanjian, Azas Pacta Sunt Servanda yang
ditetapkan dalam pasal 1338 KUH Perdata.
d. Akan tetapi kewenangan absolute tersebut dalam
kedudukannya sebagai extra judicial tidak dapat
mengesampingkan kewenangan Pengadilan Niaga
(extra ordinary) yang secara khusus diberi
kewenangan untuk memeriksa dan mengadili
penyelesaian insolvensi atau pailit oleh Perpu
Nomor 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi
Undang-undang dengan Undang-undang Nomor 4
Tahun 1998 sebagai undang-undang khusus (special
law).

3. Penerapan Asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis dalam Kasus


Kepailitan antara PT. Enindo dan Kawan melawan PT. Putra Putri Fortuna
dan Kawan
a. Pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan
putusan, bahwa Pengadilan Niaga tidak
berwenang untuk memeriksa dan memutus serta
menolak permohonan pernyataan pailit yang
diajukan oleh PT. Enindo.

Ini berarti, mendasarkan pada UU Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 pasal 3,11 jo
7 (sebagai specialis law) dan UU Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998 (sebagi general
law).

b. Pada Tingkat Kasasi di Mahkamah Agung, diputus


dengan mengadili sendiri: Menyatakan Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat berwenang untuk memeriksa
dan memutus serta mengabulkan pernyataan
pailit yang dimohon oleh PT. Enindo.

Ini berarti, mendasarkan pada pasal 280 Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang telah
ditetapkan menjadi UU Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (special law) dan
UU arbitrase (general law).

c. Pada Tingkat Peninjauan Kembali (PK) di


Mahkamah Agung, mengabulkan PK oleh PT
Putra Putri Fortuna dan membatalkan putusan
MA maupun Pengadilan Niaga dan mengadili
kembali : Menolak permohonan pailit dari PT
Enindo.

Dengan alasan bahwa:

1. Tidak mempertimbangkan formil permohonan kasasi apakah dapat


diterima/ tidak. Alasan ini dapat dibenarkan menurut Mahkamah Agung
karena terdapat kesalahan berat dalam menerapkan pasal 8 Perpu Nomor 1
Tahun 1998, yakni telah melampaui tenggang waktu pengajuan kasasi
(lebih 8 hari sejak diputus) sehingga harus ditolak tanpa perlu
mempertimbangkan materi perkara.

Klausula Arbitrase dalam hubungannya dengan Pengadilan Niaga,


Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa:

1. Benar Pengadilan Niaga merupakan


salah satu organ dari Peradilan
Umum yang ditempatkan pada
Pengadilan Negeri yang tak terpisah
dari struktur Pengadilan Negeri itu
sendiri (pasal 280 ayat 1 Perpu No 1
jo UUK No 4/1998), namun
berkaitan dengan penyelesaian pailit
telah dilimpahkan kewenangannya
kepada Pengadilan Niaga. Sehingga
berdasarkan pasal 280 ayat 1, 2 dan
penjelesannya Perpu No: 1/ 1998
yang telah ditetapkan menjadi
Undang-undang No: 4/ 1998
tersebut, maka status hukum dan
kewenangan (legal status and power)
Pengadilan Niaga mempunyai
kapasitas hukum (legal capacity)
untuk menyelesaikan permohonan
pailit.

2. Berdasarkan penjelasan pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 1970 jo pasal 377


HIR dan pasal 615-651 RV, bahwa klausula Arbitrase sebagai extra
judicial dan jurisprudensi telah mengakui legal effect, maka Badan
Arbitrase mempunyai kewenangan absolute akan tetapi kewenangan
absolut (extra judidicial) tersebut tidak dapat mengesampingkan
kewenangan Pengadilan Niaga (extra ordinary) yang secara khusus diberi
kewenangan untuk memeriksa masalah kepailitan sebagaimana ditetapkan
oleh Perpu Nomor 4 Tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi UU
Kepailitan.

Ini berarti bahwa dalam hal ini UUK sebagai undang-undang khusus
(special law) dan UU Arbitrase menjadi general law.

3. Meskipun P. Niaga menyatakan tidak berwenang mengadili a quo,


namun karena pemeriksaannya telah selesai dan semua fakta telah
terungkap dalam persidangan serta sifat penyelesaian perkara kepailitan
yang cepat dan sederhana dengan pembatasan waktu penyelesaiannya,
maka Majelis Peninjauan Kembali pada MA RI mengadili sendiri perkara
ini dengan mempertimbangkan apakah Termohon I dan II memenuhi
syarat untuk dipailitkan (pasal 1 ayat 1 Perpu No:1/ 1998) yang telah
ditetapkan menjadi UU No: 4/ 1998, dan ternyata syarat 1,2) yakni adanya
utang satu dari utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (terpenuhi)
sedang syarat 3) adanya 2 atau lebih kreditur (tidak terpenuhi), karena
pemohon I hanya menjadi kreditur terhadap termohon II saja, dan tidak
ada kreditur lain selain pemohon I dan II, maka Termohon I dan II
masing-masing hanya punya 1 kreditur. Sehingga permohonan pailit dari
pemohon harus ditolak.

E. SARAN/ REKOMENDASI

Berdasarkan hasil pembahasan pada kasus kepailitan tersebut, maka penulis


menyarankan khususnya bagi:

1. Bagi jajaran Hakim di Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung, agar lebih jeli,
teliti serta hati-hati dalam menerapkan hukum, menafsirkan/ menyelesaikan
perkara kepailitan khususnya yang ada klausula arbitrase dalam perjanjiannya.
2. Bagi Kurator/ Pengacara sebagai kuasa dari pihak-pihak yang bersengketa
(pemohon pailit) juga harus teliti agar tidak keliru dalam menggunakan dasar
tuntutan maupun dalam mengajukan sengketa pailit yang mengandung klausul
arbitrase.
3. Bagi Pemerintah, agar segera dipikirkan adanya suatu lembaga khusus yang
berwenang menyelesaikan apabila ada masalah dimana peraturan khusus satu
bertentangan dengan peraturan khusus yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Asikin, Zainal, 2001, Hukum Kepailitan Dan Penundaan


Pembayaran Di Indonesia, Jakarta, Cetakan Pertama, Raja
Grafindo Persada.

Fuady, Munir, 2000, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra


Aditya Bhakti, Bandung.

-----------------, 2002, Hukum Pailit 1998: Dalam Teori Dan


Praktek, Aditya Bhakti, Bandung.

Gautama, Sudargo, 1989, Pekembangan Arbitrase Dagang


Internasional Di Indonesia, Eresco Bandung.

----------------------, 1999, Undang-Undang Arbitrase Baru, Citra


Aditya Bhakti.

Harahap, M.Yahya, 2001, Arbitrase, Sinar Grafika, Jakarta.

Hartini, Rahayu, 2002, Aspek Hukum Bisnis, Edisis Revisi,


Cetakan Ketiga, UMM Pres, Malang.

-------------------, 2003, Hukum Kepailitan, Cetakan Pertama, Bayu


Media, Malang.

-------------------, 2001, Implementasi Undang-undang No. 30


Tahun 1999 Tentang Arbitrase (Studi Pada BANI Jawa Timur Di
Surabaya), Hasil Penelitian.

Hartono, Redjeki, Sri, 1996, Prospek Lembaga Kepailitan Di


Indonesia, Semarang, Makalah Seminar Nasional Lembaga
Kepailitan dalam Pelaksanaan Hukum Ekonomi di Indonesia, FH
UNIKA Soegijapranata.

---------------------, 1997, Analisis Terhadap Peraturan Kepailitan


Dalam Kerangka Pembangunan Hukum, Semarang, Makalah
Seminar Nasional dan Lokakarya Restrukturisasi Organisasi Bisnis
Melalui Hukum Kepailitan, FH UNDIP, Elips Project.
Lukito, Wiryo, 1997, Penyelesaian Kepailitan Melalui Pengadilan
(Studi Kasus Kepailitan), Semarang, Makalah Seminar Nasional
dan Lokakarya Restrukturisasi Organisasi Bisnis Melalui Hukum
Kepailitan, FH UNDIP, Elips Project

Marzuki, Mahmud, Peter, 1997, Hukum Kepailitan Menyongsong


Era Global, Makalah Semiloka Restrukturisasi Organisasi Bisnis
Melalui Hukum Kepailitan, FH-UNDIP-ELIPS.

Mochtar Kasran, Hartini, 2000, UU. No. 30 tahun 1999 Tentang


Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa, Makalah Seminar
tentang Arbitrase dan E -Comerce, 6 September .

Muljadi, Kartini dan Widjaya, Gunawan, 2003, Pedoman


Menangani Perkara Kepailitan, Rajawali Grafindo Persada

Nusantara, Garuda, Hakim, Abdul, 14 April 2000, Aspek-aspek


Hukum Kepailitan dan Problematikanya Dalam Praktek
Peradilan, Makalah Dialog Hukum Bisnis, Independent Lawyers
Club (ILC) Surabaya.

Purwosutjipto, H.M.N.,1992, Pengertian Pokok Hukum Dagang


Indonesia, Perwasitan dan Penundaaan Pembayaran, Jilid 8 ,
Jakarta, Djambatan.

Prasojo, Ratnawati, 1996, Kebijakan Pemerintah dalam


Pembaharuan Peraturan Perundang-undangan Tentang
Kepailitan di Indonesia, Semarang, Makalah Seminar Nasional
Lembaga Kepailitan dalam Pembaharuan Hukum Ekonomi di
Indonesia, FH UNIKA Soegijapranata.

Priyatno, Abdur Rasyid, 2000, Arbitrase dan Alternatif


Penyelesaian Sengketa, Makalah Seminar Nasional tentang
Arbitrase dan I E-Commerce, 6 September.

Riyanto, 1996, Tinjauan Sekilas Akibat Hukum Kepailitan dalam


Perseroan Terbatas, Semarang, Makalah Seminar Lembaga
Kepailitan dalam Pembaharuan Hukum Ekonomi di Indonesia, FH
UNIKA Soegijapranata.

Remy, Sutan, Sjahdeni, 2002, Hukum Kepailitan, Grafiti, Jakarta,

Soebekti, R, 1987, Hukum Perjanjian, Cetakan XI, Internusa.

-------------------- dan Tjiptosudibio, R : KUH Dagang dan UU


Kepailitan, Jakarta, Cetakan XVI, Pradnya Paramita.
--------------------, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta,
Cetakan XVIII, Pradnya Paramita.

S.Suryono, 2002, Himpunan Yurisprudensi Hukum Kepailitan Dan


Hutang Piutang, BP Cipta Jaya.

Waluyo, Bernadette, 1999, Hukum Kepailitan Dan Penundaan


Pembayaran Kewajiban Utang, Mandar Maju, Bandung.

Widjaya, Gunawan, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Seri


Hukum Bisnis, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Yani, Ahmad dan Widjaya, Gunawan, 2000, Kepailitan, Seri


Hukum Bisnis, Cetakan Kedua, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

---------------------, 1998, Peraturan Pemerintah Pengganti


Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-undang tentang Kepailitan, Surabaya, Arkola.

--------------------, Undang-Undang Kepailitan Nomor 4 Tahun


1998, PT Kloang Klode, Jakarta.

---------------------, Putusan-putusan Pailit Pengadilan Niaga Jakarta


Pusat.

---------------------, Rv. Stb. 1847 Nomer 52 jo St. 1849 Nomer 60.

--------------------, RBG. Stb. 1927-227

--------------------, HIR. Stb. 1941-44

--------------------, Makalah BANI Jawa Timur, Surabaya 19 Juli


2001

-----------,Putusan Peninjauan Kembali No: 013


PK/N/1999 , Putusan Kasasi No :012 K/N/1999,
Putusan Pengadilan Niaga No: 14/Pailit/1999/PN. Niaga/JKT PST

Anda mungkin juga menyukai