296 312 1 PB
296 312 1 PB
Abstraksi:
Penyelesaian sengketa dagang bisa dilakukan diluar lembaga peradilan dengan cara
arbitrase (Pasal 3 jo. 11 UU Arbitrase), sementara penyelesaian masalah kepailitan
diselesaikan melalui Pengadilan Niaga (Pasal 280 ayat (1) UUK. Namun bagaimana bila
itu menyangkut masalah kepailitan sementara dalam perjanjiannya mencantumkan
klausula arbitrase, menjadi kewenangan lembaga mana, Arbitrase ataukah Pengadilan
Niaga?. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lebih jauh berlakunya adagium hukum
Lex spesialis derogat lex generalis.
Abstract
A. LATAR BELAKANG
Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan,
maka penyelesaian perkara kepailitan diselesaikan oleh Pengadilan Negeri yang
merupakan bagian dari Peradilan Umum sebagaimana diatur dalam Undang-
undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, ada 4
(empat) lingkungan peradilan di Indonesia yaitu: Peradilan Umum, Peradilan
Militer, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara. Namun demikian
sejak ditetapkan dan berlakunya Undang-undang Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998
maka kemudian penyelesaian perkara Kepailitan diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan Peradilan Umum.
Disisi lain kita juga mengenal adanya penyelesaian sengketa diluar lembaga
peradilan formal, yakni yang dikenal dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif
maupun Arbitrase. Ini merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa diluar
pengadilan yang didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa.
Sebagai konsekuensinya maka alternatif penyelesaian sengketa bersifat sukarela
dan karenanya tidak dapat dipaksakan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya
yang bersengketa. Walau demikian sebagai bentuk perjanjian kesepakatan yang
telah dicapai oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui forum diluar
pengadilan harus ditaati oleh para pihak.
Menurut UU Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitarse ini, apabila ada sengketa
perdata dagang yang dalam perjanjiannya memuat klausula arbitrase harus
diselesaikan oleh lembaga arbitrase, dan pengadilan negeri wajib menolak dan
menyatakan tidak berwenang untuk mengadilinya apabila perkara tersebut
diajukan. Karena menjadi wewenang lembaga arbitrase untuk menyelesaikannya
sesuai dengan kesepakatan para pihak dalam perjanjian tersebut. Namun
bagaimana halnya apabila ini menyangkut masalah kepailitan sementara dalam
perjanjiannya memuat klausula arbitrase menjadi kewenangan siapakah
penyelesaian perkara ini, lembaga arbitrase atau Pengadilan Niaga dan dasar
hukum yang mana yang diterapkan.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berangkat dari kerangka berpikir dan fenomena seperti tersebut diatas maka
penelitian ini dilakukan dalam rangka untuk mengetahui lebih jauh tentang:
C. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Arbitrase dan Pailit
a. Pengertian Arbitrase
Bila diteliti batasan yang ada maka yang dimaksud arbitrase adalah, menurut
Subekti: “Arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan (perkara) oleh seorang
atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama ditunjuk oleh para fihak
yang berperkara dengan tidak diselesaikan lewat pengadilan (Abdurrasyid, 2000:
8).
b. Pengertian Pailit
Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepailitan (yang lama) menyatakan: “setiap
berutang (debitur) yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan
sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang (kreditur),
dengan putusan hakim dinyatakan dalam keadaan pailit”. Sedang menurut
ketentuan dalam lampiran Undang-undang Kepailitan No.4 Tahun 1998 Pasal 1
ayat (1) (selanjutnya disebut UUK), yang menyebutkan: “Debitur yang
mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas
permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.
Pernyataan pailit tersebut harus melalui proses pemeriksaan dipengadilan setelah
memenuhi persyaratan di dalam pengajuan permohonannya.
Dilihat dari beberapa arti kata atau pengertian kepailitan tersebut diatas maka
esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas harta
kekayaan debitur untuk kepentingan semua kreditur yang pada waktu kreditur
dinyatakan pailit mempunyai hutang.
a. Aliran yang menyatakan bahwa klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase bukan
public policy. Misalnya, yang diputus oleh Hoge Raad negeri Belanda, 6 Januari
1925. Disini ditegaskan sungguhpun ada klausula arbitrase, tetapi pengadilan
tetap berwenang mengadili sejauh tidak ada eksepsi dari pihak lawan, karena
klausula arbitrase bukanlah openbare orde.
b. Aliran yang menekankan asas “Pacta Sunt Servanda” pada kekuatan klausula
atau perjanjian arbitrase. Aliran ini mengajarkan bahwa klausula atau perjanjian
arbitrase mengikat para pihak dan dapat dikesampingkan hanya dengan
kesepakatan bersama para pihak yang tegas untuk itu. Dalam hal ini penarikan
secara diam-diam atau praduga telah di “waive” tidak berlaku dan perjanjian atau
klausula arbitrase dianggap menimbulkan kompetensi absolut. Aliran ini cukup
banyak diikuti oleh Pengadilan-pengadilan, antara lain dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 225/K/Sip/1981.
c. Aliran Kontroversial.
3. Studi Kewenangan
a. Syarat Arbitrase
Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi
antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase (Pasal 7 UU Arbitrase). Jadi
pada prinsipnya hanya perjanjian yang mensyaratkan adanya klausula arbitrase
saja yang dapat diselesaikan melalui arbitrase, baik itu arbitrase ad hoc, ataupun
lembaga arbitrase seperti BANI. Tentang klausula ini dapat ditentukan sejak awal
(acta compromi) atau dapat dibuat menyusuli suatu perjanjian kerja sama antara
kedua fihak (pactum decompromittendo).
Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang
terikat dalam perjanjian arbitrase (Pasal 3). Dengan adanya arbitrase tertulis
tersebut maka akan meniadakan hak para fihak untuk mengajukan penyelesaian
sengketa ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri wajib menolak/tidak
campur tangan dalam penyelesaian suatu sengketa yang telah ditetapkan melalui
arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan undang-undang ini.
(Pasal 11 UU.Arbitrase).
4. Penelitian Terdahulu
Studi yang dilakukan oleh Rahayu Hartini (2001), menggambarkan bahwa pada
prinsipnya hanya perjanjian yang mensyaratkan adanya klausula arbitrase saja
yang dapat diselesaikan melalui arbitrase, baik itu arbitrase ad hoc, ataupun
lembaga arbitrase seperti BANI. Demikian juga dalam prakteknya yang ada pada
BANI Surabaya. Klausula ini dibuat secara tertulis yang disepakati oleh kedua
pihak yang mengadakan perjanjian (Acta Compromi) atau dapat dibuat menyusuli
suatu perjanjian kerja sama antara kedua fihak (pactum decompromittendo).
Dengan adanya arbitrase tertulis tersebut akan meniadakan hak para fihak untuk
mengajukan penyelesaian sengketa ke pengadilan negeri dan pengadilan negeri
wajib menolak/tidak campur tangan dalam penyelesaian suatu sengketa yang telah
ditetapkan melalui arbitrase, kecuali yang ditetapkan Undang-undang Arbitrase
Pasal 11. Ketentuan demikian semestinya menjadi pegangan yang konsisten bagi
para pihak, setiap pengacara yang mendampingi mereka dan arbiter yang dipilih
serta para pengguna UU ini pada umumnya.
1. Posisi Kasus Perkara Kepailitan PT Putra Putri Fortuna Windu dan Kawan
melawan PT. Enindo dan Kawan
Pada tanggal 26 Mei 1998 PT. Enindo telah melakukan penagihan kepada PT.
PPF dan PT. PPFW menjawabnya bahwa mereka sedang menunggu pembayaran
dari PPF Internasional Co.
Bahwa selain utang kepada PT. Enindo, PT. Putra Putri Fortuna Windu
mempunyai utang yaitu menunggak pembayaran sewa tanah periode Januari 1998
s/d Desember 1998 kepada kelompok tani Tambak FSSP Maserrocinnae. Dalam
perjanjian pembayaran itu ada klausula arbitrase apabila ada sengketa dalam
pembayaran utang tersebut, juga PT. Putra Putri Fortuna Windu telah melakukan
kesanggupan membayar melalui surat perjanjian.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka PT. Enindo dan Kelompok Tani
Tambak FSSP Maserrocinnae mengajukan permohonan pailit atas PT. Putra Putri
Fortuna Windu dan PPF International ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Dan perkara ini telah diputus baik pada Tingkat Pertama di Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat, Tingkat Kasasi maupun Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah
Agung RI, sebagai berikut:
Dari hasil analisa mengenai putusan perkara kepailitan antara PT Enindo dan
kawan melawan PT. Putra Putri Fortuna Windu dan kawan yang telah diputus oleh
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung baik pada tingkat Kasasi
maupun Peninjauan Kembali, maka dapat penulis uraikan sebagai berikut:
Ini berarti, mendasarkan pada UU Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 pasal 3,11 jo
7 (sebagai specialis law) dan UU Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998 (sebagi general
law).
Ini berarti, mendasarkan pada pasal 280 Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang telah
ditetapkan menjadi UU Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (special law) dan
UU arbitrase (general law).
Ini berarti bahwa dalam hal ini UUK sebagai undang-undang khusus
(special law) dan UU Arbitrase menjadi general law.
E. SARAN/ REKOMENDASI
1. Bagi jajaran Hakim di Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung, agar lebih jeli,
teliti serta hati-hati dalam menerapkan hukum, menafsirkan/ menyelesaikan
perkara kepailitan khususnya yang ada klausula arbitrase dalam perjanjiannya.
2. Bagi Kurator/ Pengacara sebagai kuasa dari pihak-pihak yang bersengketa
(pemohon pailit) juga harus teliti agar tidak keliru dalam menggunakan dasar
tuntutan maupun dalam mengajukan sengketa pailit yang mengandung klausul
arbitrase.
3. Bagi Pemerintah, agar segera dipikirkan adanya suatu lembaga khusus yang
berwenang menyelesaikan apabila ada masalah dimana peraturan khusus satu
bertentangan dengan peraturan khusus yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA