Anda di halaman 1dari 10

Syok adalah kondisi hilangnya volume darah sirkulasi efektif.

Kemudian diikuti perfusi jaringan dan


organ yang tidak adekuat, yang akibat akhirnya gangguan metabolik selular. Pada beberapa situasi
kedaruratan adalah bijaksana untuk mengantisipasi kemungkinan syok. Seseorang dengan cidera
harus dikaji segera untuk menentukan adanya syok. Penyebab syok harus ditentuka (hipovolemik,
kardiogenik, neurogenik, atau septik syok).(Bruner & Suddarth,2002).
Syok adalah suatu sindrom klinis kegagalan akut fungsi sirkulasi yang menyebabkan ketidakcukupan
perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat gangguan mekanisme homeostasis (Toni
Ashadi,2006).
Syok hipovolemik diinduksi oleh penurunan volume darah, yang terjadi secara langsung karena
perdarahan hebat atau tudak langsung karena hilangnya cairan yang berasal dari plasma (misalnya,
diare berat, pengeluaran urin berlebihan, atau keringat berlebihan) (sherwood, )
Syok dapat didefinisikan sebagai gangguan sistem sirkulasi yang menyebabkan tidak adekuatnya
perfusi dan oksigenasi jaringan. Bahaya syok adalah tidak adekuatnya perfusi ke jaringan atau tidak
adekuatnya aliran darah ke jaringan. Jaringan akan kekurangan oksigen dan bisacedera.(Az Rifki,
2006).
B. Etiologi
Menurut Toni Ashadi, 2006, Syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan
intravaskuler, misalnya terjadi pada:
1. kehilangan darah atau syok hemorargik karena perdarahan yang mengalir keluar tubuh seperti
hematotoraks, ruptur limpa, dan kehamilan ektopik terganggu.
2. trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah yang besar.
Misalnya: fraktur humerus menghasilkan 500-1000 ml perdarahan atau fraktur femur menampung
1000-1500 ml perdarahan.
3. kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein plasma atau
cairan ekstraseluler, misalnya pada:
a. Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis
b. Renal: terapi diuretik, krisis penyakit addison
c. Luka bakar (kompustio) dan anafilaksis

C. Manifestasi klinis
Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid, besarnya volume
cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor
kritis respon kompensasi. Pasian muda dapat dengan mudah mengkompensasi kehilangan cairan
dengan jumlah sedang vasokontriksinya dan takikardia. Kehilangan volume yang cukup besar dalam
waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien usia lanjut, masih dapat ditolerir juga dibandingkan
kehilangan dalam waktu yang cepat atau singkat. (Toni Ashadi, 2006).
Apabila syok talah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan hipovolemia, penurunan darah
lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali dalam beberapa menit. Tanda-tanda syok adalah
menurut Toni Ashadi, 2006 adalah:
1. Kilit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian kapiler selalu berkaitan
dengan berkurangnya perfusi jaringan.
2. Takhikardi: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respon homeostasis penting untuk
hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran darah ke homeostasis penting untuk
hopovolemia.peningkatan kecepatan aliran darah ke mikrosirkulasi berfungsi mengurangi asidosis
jaringan.
3. Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah sistemik dan curah
jantung, vasokontriksi perifer adalah faktor yang esensial dalam mempertahankan tekanan darah.
Autoregulasi aliran darah otak dapat dipertahankan selama tekanan arteri turun tidak dibawah 70
mmHg.
4. Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok hipovolemik. Oliguria pada orang
dewasa terjadi jika jumlah urin kurang dari 30ml/jam.

D. Patofisiologi
Tahap-tahap syok:
Karena sifat-sifat khas dari syok sirkulasi dapat berubah pada berbagai derajat keseriusan, Menurut
Guyton, (1997) syok dibagi dalam tida tahap utama yaitu:
a. Tahap nonprogresif (atau tahap kompensasi), sehingga mekanisme kompensasi sirkulasi normal
akhirnya akan menyebabkan pemulihan sempurna tanpa dibantu terapi dari luar.
b. Tahap progresif, ketika syok menjadi semakin buruk sampai timbul kematian.
c. Tahap ireversibel, ketika syok telah jauh berkembang sedemikian rupa sehingga semua bentuk
terapi yang diketahui tidak mampu lagi menolong penderita, meskipun pada saat itu, orang tersebut
masih hidup.
E. Pathway

F. Penatalaksanaan
a. Pastikan jalan nafas pasien dan nafas dan sirkulasi dipertahankan. Beri bantuan ventilator
tambahan sesuai kebutuhan.
b. Perbaiki volume darah sirkulasi dengan penggantian cairan dan darah cepat sesuai ketentuan
untuk mengoptimalkan preload jantung, memperbaiki hipotensi, dan mempertahankan perfusi
jaringan.
1) Kateter tekan vena sentra dimasukkan dalam atau didekat atrium kanan untuk bertindak sebagai
petunjuk penggantian cairan. Pembacaan tekanan vena sentral kontinu (CVP) memberi petunjuk dan
derajat perubahan dari pembacaan data dasar; kateter juga sebagai alat untuk penggantian volume
cairan darurat.
2) Jarum atau kateter IV diameter besar dimasukkan kedalam vena perifer. Dua atau lebih kateter
mungkin perlu untuk penggantiaqn cairan cepat dan pengembalian ketidakstabilan hemodinamik;
penekanan pada penggantian volume.
a) Buat jalur IV diameter besar dimasukkan ke vena periver. Dua tau lebih kateter mungkin perlu
untuk penggantian cairan cepat dan pengembalian ketidakstabilan hemodinamik; penekanan pada
penggantian volume.
b) Ambil darah untuk spesimen; garis darah arteri, pemeriksaan kimia, golongan darah dan
pencocokan silang, dan hemtokrit.
c) Mulai infus IV dengan cepat sampai CVP meningkat pada tingkat pada tingkat yang memuaskan
diatas pengukuran dasar atau sampai terdapat perbaikan pada kondisi klinis pasien.
3) Infus larutan Ringer Laktat digunakan pada awal penangana karena cairan ini mendekati
komposisi elektrolit plasma, begitu juga dengan osmolalitasnya, sediakan waktu untuk pemeriksaan
golongan darah danm pencocockan silang, perbaiki sirkulasi, dan bertindak sebgai tambahan terapi
komponen darah.
4) Mulai tranfusi terapi komponen darah sesuai program, khususnya saat kehilangan darah telah
parah atau pasien terus mengalami hemoragi.
5) Kontrol hemoragi; hemoragi menyertai status syok. Lakukan pemeriksaan hematokrit sering bila
dicurigai berlanjutnya perdarahan
6) Pertahankan tekanan darah sistolik pada tingkat yang memuaskan dengan memberi cairan dan
darah sesuai ketentuan.
c. Pasang kateter urine tidak menetap: catat haluaran urine setiap 15-30 menit, volume urine
menunjukkan keadekuatan perfusi ginjal.
d. Lakukan pemeriksaan fisik cepat untuk menentukan penyebab syok.
e. Pertahankan surveilens keperawatan terus menerus terhadap pasien total-tekanan darah, denyut
jantung, pernafasan, suhu kulit, warna, CVP, EKG, hematokrit, Hb, gambaran koagulasi, elektrolit,
haluaran urine-untuk mengkaji respon pasien terhadap tindakan. Pertahankan lembar alur tentang
parameter ini; analisis kecenderungan menytakan perbaikan atau pentimpangan pasien.
f. Tinggikan kaki sedikit untuk memperbaiki sirkulasi serebral lebih baik dan mendorong aliran darah
vena kembali kejantung (posisi ini kontraindikasi pada pasien dengan cidera kepala). Hindarkan
gejala yang tidak perlu.
g. Berikan obat khusus yang telah diresepkan (misalnya inotropik seperti dopamen) untuk
meningkatkan kerja kardiovaskuler.
h. Dukung mekanisme devensif tubuh
a. Tenangkan dan nyamankan pasien: sedasi mungkin perlu untuk menghilangkan rasa khawatir.
b. Hilangkan nyeri dengan kewaspadaan penggunaan analgesik atau narkotik.
c. Pertahankan suhu tubuh.
1) Terlalu panas menimbulkan vasodilatasi yang merupakan mekanisme kompensasi tubuh dari
vasokontriksi dan meningkatnya hilangnya caiiran karena perspirasi.
2) Pasien yang mengalami septik harus dijaga tetap dingin: demam tinggi meningkatkan efek
metabolik selular terhadap syok.

G. Komplikasi
H. Primari survay
Pemeriksaaan jasmaninya diarahkan kepada diagnosis cidera yang mengancam nyawa dan meliputi
penilaian dari A,B,C,D,E. Mencatat tanda vital awal (baseline recordings) penting untuk memantau
respon penderita terhadap terapi. Yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital, produksi urin dan
tingkat kesadaran. Pemeriksaan penderita yang lebih rinci akan menyusul bila keadaan penderita
mengijinkan.
1. Airway dan breathing
prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan cukupnya pertukaran ventilasi dan
oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%.
2. Sirkulasi - kontrol perdarahan
termasuk dalam prioritas adalah mengendalikan perdarahan yang jelas terlihat, memperoleh akses
intra vena yang cukup, dan menilai perfusi jaringan. Perdarahan dari luka luar biasanya dapat
dikendalikan dengan tekanan langsung pada tempat pendarahan. PASG (Pneumatick Anti Shock
Garment) dapat digunakan untuk mengendalikan perdarahan dari patah tulang pelvis atau
ekstremitas bawah, namun tidak boleh menganggu resusitasi cairan cepat. Cukupnya perfusi jaringan
menentukan jumlah cairan resusitasi yang diperlukan. Mungkin diperlukan operasi untuk dapat
mengendalikan perdarahan internal.
3. disability – pemeriksaan neurologi
dilakukan pemeriksaan neurologi singkat untuk menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata dan
respon pupil, fungsi motorik dan sensorik. Informasi ini bermanfaat dalam menilai perfusi otak,
mengikuti perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan pemulihan.perubahan fungsi sistem
saraf sentral tidak selalu disebabkan cidera intra kranial tetapi mungkin mencerminkan perfusi otak
yang kurang. Pemulihan perfusi dan oksigenasi otak harus dicapai sebelum penemuan tersebut
dapat dianggap berasal dari cidera intra kranial.
4. Exposure – pemeriksaan lengkap
setelah mengurus prioritas- prioritas untuk menyelamatkan jiwanya, penderita harus ditelanjangi dan
diperiksa dari ubun-ubun sampai jari kaki sebagai bagian dari mencari cidera. Bila menelanjangi
penderita, sangat penting mencegah hipotermia.
5. Dilasi lambung – dikompresi.
Dilatasi lambung sering kali terjadi pada penderita trauma, khususnya pada anak-anak dan dapat
mengakibatkan hipotensi atau disritmia jantung yang tidak dapat diterangkan, biasanya berupa
bradikardi dari stimulasi saraf fagus yang berlabihan. Distensi lambung membuat terapi syok menjadi
sulit. Pada penderita yang tidak sadar distensi lambung membesarkan resiko respirasi isi lambung, ini
merupakan suatu komplikasi yang bisa menjadi fatal. Dekompresi lambung dilakukan dengan
memasukan selamh atau pipa kedalam perut melalui hidung atau mulut dan memasangnya pada
penyedot untuk mengeluarkan isi lambung. Namun, walaupun penempatan pipa sudah baik, masih
mungkin terjadi aspirasi.
6. Pemasangan kateter urin
Katerisasi kandung kenving memudahkan penilaian urin akan adanya hematuria dan evaluasi dari
perfusi ginjal dengan memantau produksi urine. Darah pada uretra atau prostad pada letak tinggi,
mudah bergerak, atau tidak tersentuh pada laki-laki merupakan kontraindikasi mutlak bagi
pemasangan keteter uretra sebelum ada konfirmasi kardiografis tentang uretra yang utuh.
I. Skunderu survey
Harus segera dapat akses kesistem pembulu darah. Ini paling baik dilakukan dengan memasukkan
dua kateter intravena ukuran besar (minimun 16 gaguage) sebelum dipertimbangkan jalur vena
sentral kecepatan aliran berbanding lirus dengan empat kali radius kanul, dan berbanding terbalik
dengan panjangnya (hukum poiseuille). Karena itu lebih baik kateter pendek dan kaliber besar agar
dapat memasukkan cairan terbesar dengan cepat.
Tempat yang terbaik untuk jalur intravena bagi orang dewasa adalah lengan bawah atau pembulu
darah lengan bawah. Kalau keadaan tidak memungkunkan pembulu darah periver, maka digunakan
akses pembulu sentral (vena-vena femuralis, jugularis atau vena subklavia dengan kateter besar)
dengan menggunakan tektik seldinger atau melakukan vena seksi pada vena safena dikaki,
tergantung tingkat ketrampilan dokternya. Seringkali akses vena sentral didalam situasi gawat darurat
tidak bisa dilaksanakan dengan sempurna atau pu tidak seratus persen steril, karena itu bila keadaan
penderita sedah memungkinya, maka jalur vena sentral ini harus diubah atau diperbaiki.
Juga harus dipertimbangkan potensi untuk komplikasi yang serius sehubungan dengan usaha
penempatan kateter vena sentral, yaitu pneumo- atau hemotorak, pada penderita pada saat itu
mungkin sudah tidak stabil.
Pada anak-anak dibawah 6 tahun, teknik penempatan jarum intra-osseus harus dicoba sebelum
menggunakan jalur vena sentral. Faktor penentu yang penting untuk memilih prosedur atau caranya
adalah pengalaman dan tingkat ketrampilan dokternya.
Kalau kateter intravena telah terpasang, diambil contoh darah untuk jenis dan crossmatch,
pemerikasaan laboratorium yang sesuai, pemeriksaan toksikologi, dan tes kehamilan pada wanita
usia subur. Analisis gas darah arteri juga harus dilakukan pada saat ini. Foto torak haris diambil
setelah pemasangan CVP pada vena subklavia atau vena jugularis interna untuk mengetahui
posisinya dan penilaian kemungkinan terjadinya pneumo atau hemotorak.

J. Tersieri survey
Terapi awal cairan
Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan ini mengisi intravaskuler
dalam wakti singkat dan juga menstabilkan volume vaskuler dengan cara menggantikan kehilangan
cairan berikutnya kedalam ruang intersisial dan intraseluler. Larutan Ringer Laktat adalah cairan
pilihan pertama. NaCl fisiologis adalah pilihan kedua. Walaupun NaCL fisiologis merupakan
pengganti cairan terbaik namun cairan ini memiliki potensi untuk terjadinya asidosis hiperkloremik.
Kemungkinan ini bertambah besar bila fungi ginjalnya kurang baik.

Tabel 1. Jenis-jenis Cairan Kristaloid untuk Resusitasi


Cairan Na+ (mEq/L) K+ (mEq/L) Cl- (mEq/L) Ca++ (mEq/L) HCO3 (mEq/L) Tekanan Osmotik
mOsm/L
Ringer Laktat 130 4 109 3 28* 273

Ringer Asetat 130 4 109 3 28: 273

NaCl 0.9% 154 - 154 - - 308

* sebagai laktat

: sebagai asetat

K. Diagnosa
1. Gangguan pola nafas tidak efektif b/d penurunan ekspansi paru.
2. Perubahan perfusi jaringn b/d penurunan suplay darah ke jaringan.
3. Nyeri b/d trauma hebat.
4. Gangguan keseimbangan cairan b/d mual, muntah.
5. Gangguan pola eliminasi urine b/d Oliguria.
6. Kurangnya pengetahuan b/d kurangnya informasi mengenai pengobatan.

Daftar pustaka
Toni Ashadi, (2006). Syok Hipovolemik. (online). Http:// www. Medicastore. Com/med/.detail-pyk.
Phd?id. (diakses 12 Desember 2006).
Az Rifki, (2006). Kontrol terhadap syok hipovolemik. (online).Http://www. Kalbefarma. Com /
file/cdk/15 penatalaksanaan. (diakses 12 Desember 2006).
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. (Edisi 8, Vol.3). EGC, Jakarta.
Doenges, E, Marilynn, Mary Frances Moorhause, Alice C. Geissler. 2002. Rencana Asuhan
Keperawatan. (Edisi 3). EGC, Jakarta.
Price, A, Sylvia & Lorraine M. Willson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
(Edisi 4). EGC, Jakarta

A. Definisi
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi jika sirkulasi darah arteri tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan. Perfusi jaringan yang adekuat tergantung pada 3 faktor utama yaitu curah jantung, volume
darah, dan tonus vasomotor perifer. Jika salah satu dari ketiga faktor penentu ini kacau dan faktor lain tidak
dapat melakukan kompensasi, maka akan terjadi syok. Awalnya tekanan darah arteri normal sebagai
kompensasi peningkatan isi sekuncup dan curah jantung. Jika syok berlanjut, curah jantung menurun dan
vasokonstriksi perifer meningkat. Jika hipotensi menetap dan vasokonstruksi berlanjut, hipoperfusi
mengakibatkan asidosis laktat, oliguria, dan ileus. Jika tekanan arteri cukup rendah, terjadi disfungsi otak dan
otot jantung (Mansjoer, 1999).
Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan fungsi akut fungsi sirkulasi yang menyebabkan ketidakckupan
perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat mekanisme homeostatis. Berdasarkan penelitian Moyer
dan Mc Clelland tentang fisiologi keadaan syok dan homeostatis, syok adalah keadaan tidak cukupnya
pengiriman oksigen ke jaringan. Syok merupakan keadaan gawat yang membutuhkan terapi yang agresif dan
pemantauan yang kontinyu atau terus-menerus di unit terapi intensif (Ashadi, 1999).
B. Etiologi
1. Syok Hipovolemik
• Kehilangan darah/syok hemoragik
Hemoragik eksternal : trauma, perdarahan gastrointestinal
Hemoragik internal : hematoma, hematoraks/himoperitoneum
• Kehilangan plasma
Luka bakar
Dermatitis eksfoliatif
• Kehilangan cairan dan elektrolit
Eksternal : muntah, diare, keringat yang berlebihan
Internal : pankreatitis, asites, obstruksi usus
2. Syok Kardiogenik
• Disritmia
• Kegagalan pompa jantung
• Disfungsi katup akut
• Ruptur septum ventrikel
3. Syok Obstruktif
• Tension pneumothorax
• Penyakit perikardium
• Penyakit pembuluh darah paru
• Tumor jantung (miksoma atrial)
• Trombus mural atrium kiri
• Penyakit katup obstruktif
4. Syok Distributif
• Syok septik
• Syok anafilaktik
• Syok neurogenik
• Obat-obatan vasodilator
• Insufiensi adrenl akut

C. Patofisiologi
Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu (Komite Medik, 2000):
1. Fase Kompensasi
Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa sehingga timbul gangguan perfusi jaringan tapi
belum cukup untuk menimbulkan gangguan seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi
untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat yang
kurang vital. Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan volume darah dengan
konservasi air. Ventilasi meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di daerah arteri. Jadi pada
fase kompensasi ini terjadi peningkatan detak dan kontraktilitas otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan
peningkatan respirasi untuk memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran darah ke ginjal menurun, tetapi karena
ginjal mempunyai cara regulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan tetapi jika tekanan darah
menurun, maka filtrasi glomeruler juga menurun.
2. Fase Progresif
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi kebutuhan tubuh. Faktor utama yang
berperan adalah jantung. Curah jantung tidak lagi mencukupi sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh.
Pada saat tekanan darah arteri menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata, gangguan
seluler, metabolisme terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel.
Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena, vena balik
(venous return) menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak dapat
kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga dapat terjadi koagulopati
intravasa yang luas (DIC = Disseminated Intravascular Coagulation).
Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat vasomotor dan respirasi di otak. Keadaan ini
menambah hipoksia jaringan. Hipoksia dan anoksia menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari
jaringan (histamin dan bradikinin) yang ikut memperjelek syok (vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung).
Iskemia dan anoksia usus menimbulkan penurunan integritas mukosa usus, pelepasan toksin dan invasi bakteri
usus ke sirkulasi.
Invasi bakteri dan penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek keadaan. Dapat timbul sepsis, DIC
bertambah nyata, integritas sistim retikuloendotelial rusak, integritas mikro sirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan
juga menyebabkan perubahan metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik,
terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.
3. Fase Irevesibel
Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak dapat diperbaiki. Kekurangan oksigen
mempercepat timbulnya ireversibilitas syok. Gagal sistem kardiorespirasi, jantung tidak mampu lagi memompa
darah yang cukup, paru menjadi kaku, timbul edema interstisial, daya respirasi menurun, dan akhirnya anoksia
dan hiperkapnea.
D. Pathway
Kehilangan Darah, Kehilangan Plasma, Kehilangan Cairan dan Elektrolit
Disritmia, Kegagalan Pompa Jantung, Disfungsi Katup Akut
Ruptur Septum Ventrikel

Sirkulasi darah arteri tidak adekuat

Mempengaruhi curah jantung, volume darah dan tonus vasomotor perifer

Jika salah satu dari curah jantung, volume darah dan tonus otot tidak dapat melakukan kompensasi

- Syok Hipovolemik
- Syok Kardiogenik
- Syok Neurogenik
- Syok Septik
- Syok Anafilaksis

Kegagalan akut fungsi sirkulasi

Gangguan mekanisme homeostadisi

E. Manifestasi Klinis (Mansjoer, 1999)


1. Tekanan darah sistemik dan takikardi; puncak tekanan darah sistolik <100mmHg atau lebih dari 10% di bawah
tekanan darah yang telah diketahui.
2. Hipoperfusi perifer, vasokonstriksi; kulit dingin, lembab, dan sianosis.
3. Status mental terganggu; kebingungan, agitasi, koma.
4. Oliguria atau anuria; <0,5 ml/kgBB/jam.
5. Asidosis metabolik.
Pemantauan hemodinamik :
1. Tekanan darah arteri
2. Tekanan vena sentral
3. Tekanan arteri pulmonal, dimonitor dengan kateter Swan-Ganz untuk pengukuran Pulmonary Catheter Wedge
Presure (PCWP).
4. Pengukuran tambahan. Pemantauan sensorium, jumlah urine, dan suhu kulit.

F. Penatalaksanaan (Mansjoer, 1999)


Pasien diletakkan dalam posisi Trendelenburg atau telentang dengan kaki ditinggikan.
Untuk syok yang tidak terdiagnosis :
1. Bebaskan jalan napas dan yakinkan ventilasi yang adekuat
2. Pasang akses ke intravena
3. Mengembalikan cairan
4. Pertahankan produksi urine >0,5 ml/kgBB/jam

G. Derajat syok
1. Syok Ringan
Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan organ non vital seperti kulit, lemak, otot rangka, dan tulang. Jaringan
ini relatif dapat hidup lebih lama dengan perfusi rendah, tanpa adanya perubahan jaringan yang menetap
(irreversible). Kesadaran tidak terganggu, produksi urin normal atau hanya sedikit menurun, asidosis metabolik
tidak ada atau ringan.

2. Syok Sedang
Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus, ginjal). Organ-organ ini tidak dapat
mentoleransi hipoperfusi lebih lama seperti pada lemak, kulit dan otot. Pada keadaan ini terdapat oliguri (urin
kurang dari 0,5 mg/kg/jam) dan asidosis metabolik. Akan tetapi kesadaran relatif masih baik.
3. Syok Berat
Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi syok beraksi untuk menyediakan aliran darah
ke dua organ vital. Pada syok lanjut terjadi vasokontriksi di semua pembuluh darah lain. Terjadi oliguri dan
asidosis berat, gangguan kesadaran dan tanda-tanda hipoksia jantung (EKG abnormal, curah jantung menurun)

H. Pemeriksaan
1. Anamnesis
Pada anamnesis, pasien mungkin tidak bisa diwawancara sehingga riwayat sakit mungkin hanya didapatkan dari
keluarga, teman dekat atau orang yang mengetahui kejadiannya, cari :
• Riwayat trauma (banyak perdarahan atau perdarahan dalam perut)
• Riwayat penyakit jantung (sesak nafas)
• Riwayat infeksi (suhu tinggi)
• Riwayat pemakaian obat ( kesadaran menurun setelah memakan obat)
2. Pemeriksaan fisik
• Kulit
suhu raba dingin (hangat pada syok septik hanya bersifat sementara, karena begitu syok berlanjut terjadi
hipovolemia)
Warna pucat (kemerahan pada syok septik, sianosis pada syok kardiogenik dan syok hemoragi terminal)
Basah pada fase lanjut syok (sering kering pada syok septik).
• Tekanan darah
Hipotensi dengan tekanan sistole < 80 mmHg (lebih tinggi pada penderita yang sebelumnya mengidap
hipertensi, normal atau meninggi pada awal syok septik)

• Status jantung
Takikardi, pulsus lemah dan sulit diraba
• Status respirasi
Respirasi meningkat, dan dangkal (pada fase kompensasi) kemudian menjadi lambat (pada syok septik, respirasi
meningkat jika kondisi menjelek)
• Status Mental
Gelisah, cemas, agitasi, tampak ketakutan. Kesadaran dan orientasi menurun, sopor sampai koma.
• Fungsi Ginjal
Oliguria, anuria (curah urin < 30 ml/jam, kritis)
• Fungsi Metabolik
Asidosis akibat timbunan asam laktat di jaringan (pada awal syok septik dijumpai alkalosis metabolik, kausanya
tidak diketahui). Alkalosis respirasi akibat takipnea
• Sirkulasi
Tekanan vena sentral menurun pada syok hipovolemik, meninggi pada syok kardiogenik
• Keseimbangan Asam Basa
Pada awal syok pO2 dan pCO2 menurun (penurunan pCO2 karena takipnea, penurunan pO2 karena adanya
aliran pintas di paru)
3. Pemeriksaan Penunjang
• Darah (Hb, Hmt, leukosit, golongan darah), kadar elektrolit, kadar ureum, kreatinin, glukosa darah.
• Analisa gas darah
• EKG

I. Komplikasi
1. Kegagalan multi organ akibat penurunan alilran darah dan hipoksia jaringan yang berkepanjangan.
2. Sindrom distress pernapasan dewasa akibat destruksi pertemuan alveolus kapiler karena hipoksia.
3. DIC (Koagulasi intravascular diseminata) akibat hipoksia dan kematian jaringan yang luas sehingga terjadi
pengaktifan berlebihan jenjang koagulasi.
Berikut ini akan dibahas mengenai beberapa macam syok.
A. Syok Kardiogenik
1. Definisi
Kardiogenik syok adalah ketidakmampuan jantung mengalirkan cukup darah ke jaringan untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme basal akibat gangguan fungsi pompa jantung. Definisi klinis di sini mencakup curah
jantung yang buruk dan bukti adanya hipoksia dengan adanya volume darah intravaskular yang cukup. Syok
terjadi jik kerusakan otot jantung lebih dari 40% dan angka kematiannya lebih dari 80% (Mansjoer, 1999).

2. Etiologi (Anonim, 2007)


a. Gangguan fungsi miokard :
Infark miokard akut yang cukup jelas (>40%), infark ventrikel kanan. Penyakit jantung arteriosklerotik.
Miokardiopati : Kardiomiopati restriktif kongestif atau kardiomiopati hipertropik.
b. Mekanis :
Regurgitasi mitral/aorta
Ruptur septum interventrikel
Aneurisma ventrikel masif
Obstruksi :
Pada aliran keluar (outflow) : stenosis atrium
Pada aliran masuk (inflow) : stenosis mitral, miksoma atrium kiri/thrombus, perikarditis/efusi perikardium.
c. Aritmia : Bradiaritmia/takiaritmia

3. Patofisiologi (Anonim, 2007)


Respon neurohormonal dan reflek adanya hipoksia akan menaikkan denyut nadi, tekanan darah, serta
kontraktilitas miokard. Dengan meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan kontraktilitas miokard, akan
meningkatkan kebutuhan oksigen miokard, yang pada kondisi kardiogenik syok perfusi miokard telah menurun,
hal ini akan memperburuk keadaan. Akibatnya, fungsi penurunan curah jantung, tekanan darah menurun, dan
apabila "Cardiac Index" kurang dari 1,8 ltr/menit/m2, maka keadaan kardiogenik syok semakin nyata. Hipoperfusi
miokard, diperburuk oleh keadaan dekompensasi, akan menyebabkan semakin memperjelek keadaan,
kerusakan miokard ditandai dengan kenaikan ensim kardial, serta peningkatan asam laktat.
Kondisi ini akan menyebabkan; konsumsi oksigen (O2) tergantung pada transport oksigen (Supply dependent),
hutang oksigen semakin besar (oxygen debt), asidosis jaringan. Melihat kondisi tersebut, obyektif resusitasi
bertujuan menghilangan VO2 yang "supplay-dependent", "oxygen debt" dan asidosis. Di sisi lain dengan
kegagalan fungsi ventrikel, akan meningkatkan tekanan kapiler pulmoral, selanjutnya diikuti dengan
meningkatnya tekanan hidrostatis untuk tercetusnya edema paru, disertai dengan kenaikan "Pulmonary capilary
wedge pressure" (PCWP), serta penurunan isi sekuncup yang akan menyebabkan hipotensi. Respon terhadap
hipotensi adalah vasokontriksi sistimik yang akan meninggikan SVR ("Sistimik Vaskuler Resistan") dan
meninggikan "After load". Gambar akhir hemodinamik, penurunan isi sekuncup, peninggian SVR, LVEDP dan
LVEDV.

4. Gambaran Klinik
Gambaran syok pada umumnya, seperti takikardi, oligouri, vasokontriksi perifer, asidosis metabolik merupakan
gambaran klinik pada kardiogenik syok. Arythmia akan muncul dalam bentuk yang bervariasi yang merupakan
perubahan ekstrem dari kenaikan denyut jantung, ataupun kerusakan miokard. Dengan adanya kerusakan
miokard, enzim-enzim kardiak pada pemeriksaan laboratorium akan meningkat.

Sebagian besar penderita kardiogenik syok dengan edema paru disertai naiknya PCWP, LVEDP (Left Ventrikel
Diastolic Pressure). Edema paru akan mencetuskan dyspnoe yang berat ditunjukkan dengan meningkatnya kerja
nafas, sianosis, serta krepitasi. Sedang kardiogenik syok yang tidak tertangani akan diikuti gagal multi organ,
metabolik asidosis, kesadaran yang menurun sampai koma, yang semakin mempersulit penanganannya.

5. Diagnosis
Tanda karakteristik syok kardiogenik adalah penurunan curah jantung dengan kenaikan tekanan vena sentral
yang nyata dan takikardia. Tahanan vascular sistemik umumnya juga meningkat. Bila perangsangan vagus
meningkat misalnya pada IM inferior, dapat terjadi bradikardia, Diagnosis dapat juga ditegakkan sebagai berikut:
a. Tensi turun : sistolis < 90 mmHg atau menurun lebih dari 30-60 mmHg dari semula, sedangkan tekanan nadi <
30 mmHg.
b. Curah jantung, indeks jantung < 2,1 liter/menit/m2.
c. Tekanan diatrium kanan (tekanan vena sentral) biasanya tidak turun, normal redah sampai meninggi.
d. Tekanan diatrium kiri (tekanan kapiler baji paru) rendah sampai meninggi.
e. Resistensi sistemis.
f. Asidosis

6. Penanganan
Penanganan hemodinamik kardiogenik syok meliputi mengkoreksi patofisiologi abnormal, tanpa menyebabkan
peninggian kebutuhan oksigen miokard. Oleh karena jantung yang gagal, sangat sensitif terhadap peningkatan
after load, tahanan vaskuler sistimik harus dipertahankan pada nilai normal rendah. Hal yang sama penting
adalah mempertahankan pre load optimal. Penanganan meliputi suportip umum, stabilisasi hemodinamik,
optimalisasi O2 "miokard supplay", ratio demand supplay, serta pengobatan spesifik.
a. Suportip Umum
Penanggulangan nyeri, koreksi status asam basa, gangguan elektrolit, serta pengobatan terhadap arrythia.
Pemberian O2 untuk mengoreksi hipoksemia, bila hipoksemia menetap atau potensial untuk timbulnya syok
berulang, lakukan intubasi dan mekanikal ventilasi dengan PEEP. (Positive end expiratory pressure), dengan
penggunaan PEEP serta sedasi dalam mekanikal ventilasi harus waspada timbulnya hipotensi yang berat.
b. Monitoring
1) Pengukuran tekanan arteri
• Pengukuran tekanan vena dengan CVP
• Penilaian terhadap curah jantung, perfusi kulit, produksi urin/jam, serta status mental penderita sebagai
petunjuk perfusi jaringan.
2) Penilaian lain :
• EKG dan ensim kardial
• AGD (analisa gas darah) dan laktat plasma
Hb, elektrolit, ureum, creatinin.
c. Penanganan terhadap gangguan hemodinamik
1) Pada PCWP kurang dari 18 mmHg.
Tindakan awal, dilakukan dengan ekspansi volume plasma, untuk menentukan status volume plasma.
2) Pada PCWP dengan nilai lebih dari 18 mmHg.
Sebagian besar penderita dengan gambaran ini, sehingga pengobatan bertujuan untuk menurunkan, serta tetap
normotensip setelah loading cairan. Untuk memperbaiki fungsi hemodinamik dapat dipergunakan obat dan
"mechanical circulatory assistance".

d. Perawatan
Pada dekompensasi jantung kiri tidak dengan bantal, tetapi tidak terlalu tinggi, supaya tidak memberatkan
anoksia serebral. Bebaskan jalan napas dan berikan O2, kalau perlu dengan pipa endotrakea dan bantuan
pernapasan. Sesuaikan dengan hasil analisis gas darah. Pasang alat pantau jantung dan tensi serta masukkan
jalur arteri (arterial line) dengan pencatatan tekanan (pressure recording) TVS, atau lebih baik memakai kateter
Swan – Ganz untuk mengukur tekanan atrium kanan (TAK), tekana arteri pulmonalis (TAP), tekanan kapiler baji
paru (TBKP) dan curah jantung. Pantau produksi urin dengan memasang kateter tetap (dauer katheter).

7. Pengobatan
a. Bila karena aritmia. Diberikan pengobatan aritmia yang sesuai. Untuk fibrilasi atrium cepat, takikardia atrium
paroksismal, takikardia ventrikel, fibrilasi ventrikel, diberikan terapi defibrilasi (DC shock). Pada bradiaritmia
diberikan salfas atropin, isopreterenol 1-2 mcg/menit atau dengan pace maker.
b. Gangguan mekanis. Pada efusi perikardial, dilakukan fungsi perikard. Pada ruptur septum interventrikular dan
aneurisma, dilakukan operasi.
c. Obstruksi aliran masuk (inflow). Pada stenosis mitral untuk mengontrol takiaritmia, diberikan digitalis, isoptin
dan kalau perlu dioperasi. Sedangkan pada trombus atau miksoma, dicarikan posisi yang terbaik untuk curah
jantungnya. Dengan mengubah posisi dapat mengurangi obstruksi aliran masuk oleh miksoma atau trombus,
yang masih mobil di atrium kiri. Kalau perlu dilakukan operasi
d. Obstruksi aliran ke luar dan kardiomiopati restriktif atau kardiomiopati hipertrofik. Memerlukan vasodilator
(arterio-venul, seperti nitroprusside, capoten dan lain-lain). Pada stenosis atrium dapat juga dipertimbangkan
untuk melakukan operasi.
e. Gangguan kontraktilitas.
1) Penambahan volume (cairan).
Tanpa pemantauan, lakukan tes dengan memberikan cairan (misalnya dekstrose 5%) dalam waktu cepat 100
cc/5-10 menit, lalu tekanan darah diukur. Bila tekanan darah meninggi, berarti memang perlu penambahan
volume, maka pemberian cairan lebih perlahan-lahan, sambil memantau tekanan darah. Perhatikan juga apakah
pasien tambah sesak dan ronki basah di paru bertambah, yang berarti pemberian cairan harus dihentikan.
Dengan pemantauan TVS, bila TVS < 15 cm H2O, maka dapat dilakukan tes dengan memberikan cairan lebih
cepat yaitu 100 cc/5-10 menit, sampai TVS naik 2-3 cm H2O, dan ukur tekanan darah. Bila tekanan darah
meninggi, berarti cairan perlu ditambah. Bila tekanan darah tidak naik, dan pasien tambah sesak serta ronki juga
bertambah, maka cairan dihentikan (Raharjo, S., (1997). Dengan pemantauan memakai kateter Swan-Ganz,
perhatikan tekanan atrium kanan (TAK), tekanan vena sentral (TVS) dan tekanan kapiler baji paru (TKBP).
Bila TAK 5-12 cm H2O, boleh ditambah s/d 18 cm H2O dan bila TKBP 5-12 mmHg, boleh ditambah s/d 18
mmHg. Bila TAK <12 cm H2O dan TKBP <15 mmHg maka cairan diberikan dengan cepat, sedangkan bila TAK
12-15 cm H2O dan TKBP 15-18 mmHg, cairan diberikan lebih perlahan. Pemberian cairan harus meninggikan
tekanan darh dan menambah curah jantung serta indeks jantung.
2) Obat-obatan
• Vasopresor
Diberikan sesudah koreksi cairan dan ventilasi.
Bila ada bradikardi, terutama diberikan isoproterenol untuk meninggikan O2 miokard, sehingga tidak dapat
memperluas infark jantung. Noradrenalin 16 mg atau 10 mg pentolamin dalam 500 cc dekstrose 5% atau
Metaraminol. Pemberian Dopamin atau Dobutamin drip intravena paling dianjurkan, karena aliran darah ginjal
dapat bertambah.
• Vasodilator
Nitroglycerine mengurangi prabeban (preload) sebagai vasodilator koroner. Na Nitroprusside mengurangi
prabeban dan pasca beban (pre & afterload). Dosis Na Nitropruside 0,5-3 mcg/kg/menit. Captopril juga
mengurangi prabeban dan pasca beban.
• Inotropik
Digitalis dipakai pada takikardia, dengan tujuan menaikkan konsumsi oksigen. Glukogen tidak nyata manfaatnya
pada takikardia.
• Diuretik. Dengan memberikan diuretik, berarti mengurangi prabeban.
• Kortikosteroid
Efek pemberian kortikosteroir banyak. Selalu bermanfaat, untuk mencegah kerusakan-kerusakan yang
disebabkan oleh anoksia. Karena itu bila mungkin dan tidak ada kontraindikasi, selalu harus diberikan.
f. Pemilihan obat-obat.
Sesudah dilakukan evaluasi dan koreksi volume darah. Bila ekstremitas tidak dingin, diberikan vasopressor, yaitu
noradrenalin atau metaraminol. Tekanan darah sistolik tidak usah lebih dari 90-100 mmHg. Bila mungkin
diperiksa asam laktat. Kalau kemudian meninggi, maka harus diganti dengan obat vasodilator. Bila ekstremitas
agak dingin, sebagai vasopresor dipakai Dopamin. Bila ekstremitas dingin sekali, kulit lembab dan pucat, (asam
laktat pasti meninggi), maka diberikan obat vasodilator. Bila dengan cara ini tekanan darah turun maka volum
ditambah selama pasien tidak bertambah sesak dan ronki basah tidak bertambah. Setelah itu dapat diberikan
Dopamin
g. Obat
Pada kardiogenik syok setelah tercapai pre load yang optimal sering dibutuhkan inotropik untuk memperbaiki
kontraktilitas dan obat lain untuk menurunkan after load.
1) Katekolamin
Termasuk dalam kelompok ini, adrenalin, noradrenalin, isoproterenol, dopamin dan dobutamin, secara umum
akan menaikkan tekanan arteri, perfusi koroner, kontraktilitas dan kenaikan denyut jantung, serta vasokontriksi
perifer. Kenaikan tekanan arteri akan meningkatkan konsumsi oksigen, serta kerja yang tidak diinginkan
potensial menimbulkan arrythmia.
2) Adrenalin, noradrenalin dan isoproterenol
Mempunyai aktivitas stimulasi alfa kuat. Aktivitas kronotropik dipunyai ke 3 obat tersebut. Stimulai alfa kuat
menyebabkan vaskontriksi kuat, sehingga meningkatkan tension dinding miokard yang dapat mengganggu
aktivitas inotropik. Isoproterenol merupakan vasodilator kuat dan cenderung menurunkan aliran darah dan
tekanan perfusi koroner. Disamping itu isoproterenol akan sangat meningkatkan kontraktilitas miokard dan laju
jantung, sebagai akibatnya terjadi peningkatan konsumsi oksigen miokard yang sangat berbahaya pada
kardiogenik syok.
3) Dopamin
Merupakan prekusor endogen noradrenalin, menstimuli reseptor beta, alfa dan dopaminergik. Dopamin juga
mempunyai efek "tyramine like" yang akan menyebabkan pelepasan noradrenalin endogen. Pengaruh dopamin
terhadap jantung adalah stimulasi reseptor beta 1, pada dosis 5-10 mg/kgBB/ menit, sedang pada dosis melebihi
10 mcg/kgBB/menit, dopamin mulai mestimulasi reseptor alfa 1 yang menyebabkan peningkatan tekanan arteri
sistimik dan tekanan venosa, oleh karena meningkatkan tahanan vaskuler sistimik dapat memperburuk fungsi
miokard.
Dopamin meningkatkan aliran darah kortek ginjal melalui stimulasi reseptor dopaminergik, pada dosis 0,5 – 2
mcg/kgBB/menit. Takikardi berlebihan, yang akan menurunkan waktu untuk pengisian ventrikel dan peningkatan
konsumsi oksigen miokard merupakan efek-efek yang tidak diingkan pada dopamin.
Diantara katekolamin di atas, dobutamin merupakan inotropik standard yang digunakan sebagai pembanding.
Dobutamin mempunyai efek terbatas pada tekanan darah serta meningkatkan curah jantung tanpa pengaruh
bermakna pada tekanan darah, sebagai akibatnya tahanan vaskuler sistimik, tekanan vena, denyut jantung
menurun. Pada penggunaan dobutamin, bila terjadi penurunan rekanan darah umumnya menandakan terdapat
hipovolemia. Dobutamin terutama bekerja pada reseptor beta, dengan rentan dosis 2–40 mcg/kgBB/menit. Pada
dosis tersebut akan menaikkan kontraktilitas dengan sedikit efek chronotropik tanpa vasokonstriksi.
4) Digoxin
Digunakan untuk memperbaiki kontraksi miokard, namun mempunyai mula kerja, ekskresi yang lama, serta rasio
terapi yang rendah, sehingga kurang effektif pada penggunaan sebagai inotropik pada kardiogenik syok.
5) Vasodilator
Kerja yang bermakna pada penggunaan vasodilator untuk mengurangi kerja miokard dan kebutuhan oksigen
miokard. Shoemaker, 1989, penggunaan vasodilator kurang efektif pada kardiogenik syok, dibanding
penggunaan pada gagal ventrikel kiri akut/kronik, bila kerusakan miokard dan kolaps kardiovaskuler begitu berat.
Sodium nitropruside, akan menaikan curah jantung pada penderita gagal ventrikel kiri dan syok setelah infark
miokard. Dosis awal 10 mcg/kgBB/menit, maksimal dosis 500 mcg/kgBB/menit.
Nitrogliserine, berfungsi sebagai venodilator pada penggunaan intravena, dengan mula kerja yang cepat, dosis
10-40 mcg/kgBB/menit. Salbutamol; beta 2 agonis, berfungsi sebagai arteriol dilator. Pada beberapa keadaan
kombinasi katekolamin dan vasodilator sering dipergunakan untuk mendapatkan status hemodinamika yang baik.
h. Mechanical Circulatory Assitance
Dipergunakan pada penderita yang tidak responsif dengan pengobatan diatas.
1) IABP (Intra Aortic Ballon Pump)
Dimasukkan lewat arteri besar dengan bantuan floroscop, disinkronasi dengan EKG pada aorta. Balon
dikembangkan saat diastolik, dengan harapan akan meningkatkan tekanan diastolik, sehingga memperkuat
aliran koroner, perfusi koroner menjadi baik. Dikempiskan saat sebelum sistolik ventrikel yang akan menurunkan
tekanan aorta dan ventrikel "after load". Hasil akhir akan menaikkan perfusi koroner, menurunkan kerja miokard
dan kebutuhan oksigen miokard.
2) VAD (Ventrikuler Assist Devices)
Digunakan pada kardiogenik syok yang dengan IASP, obat tidak menunjukkan manfaat. Apabila PCWP, curah
jantung, tahanan vaskuler sistimik dan tekanan darah dapat diukur, algoritme tersebut dapat dipergunakan pada
kardiogenik syok.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006, Syok Anafilaksis, Online (terdapat pada) :
http://puskesmaspalaran.wordpress.com/2006/11/05/syok-anafilaksis/
Anonim, 2007, Syok Kardiogenik, Online (terdapat pada):http://medlinux.blogspot.com/2007/09/syok-
kardiogenik.html
Ashadi, T., 2001, Terapi Cairan Intravena (Kristaloid) Pada Syok Hipovolemik, Online (terdapat pada) :
http://www.tempo.co.id/medika/arsip/012001/sek-1.htm
Corwin, EJ., 2000., Buku Saku Patofi siologis., EGC., Jakarta.
Gleadle, J., Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik, Erlangga, Jakarta
Jong, W. D., 2004, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta
Komite Medik RSUP Dr. Sardjito., 2000., Standar Pelayanan Medis., Ed Ketiga., Medika., Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada., Yogyakarta
Mansjoer, 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ke-3 Jilid 1, Media Aesculapius, Jakarta
Tambunan, K., 1990., Buku Panduan Penatalaksanaan Gawat Darurat., Fakulatas Kedokteran Universitas
Indonesia., Jakarta
Santosa, 2005, Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA, Prima Medika, Jakarta
Wilkinson, J. M., 2006, Buku Saku Diagnosis Keperawatan, EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai