Anda di halaman 1dari 33

BAB I

RESPONSI

IDENTITAS PASIEN :

Nama : Tn. S

Umur : 50 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Desa Katimoho RT/RW 09/03 Kecamatan Kedamaian,


Gresik, Jawa Timur

Pekerjaan : Swasta

Tanggal periksa : 11 Desember 2017

Tanggal MRS : 11 Desember 2017

No RM : 683656

ANAMNESA :

Keluhan utama : Muntah

Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke IGD RSUD Ibnu Sina dengan

keluhan perut sebah sejak 1 minggu, mual sejak 2

bulan yang lalu, muntah 5 kali dalam sehari sudah 3

hari sebelum MRS, kosistensi muntah berupa

cairan, volume muntah 1 gelas Aqua,perut terasa

panas pada pagi hari hilang timbul. Pasien

mengatakan terasa benjolan keras di perut atas

kanan.

1
Riwayat penyakit dahulu : Tidak pernah mengalami keluhan serupa

sebelumnya.

Gastritis (+)

Alergi makanan atau obat-obatan ( disangkal)

HT (disangkal)

DM (disangkal)

Riwayat perna sakit kuning ( disangkal )

Riwayat kencing berwarna coklat (disangkal)

Riwayat penyakit keluarga : Dalam anggota keluarga ada yang mengidap


penyakit hepatitis B (disangkal)

Riwayat pengobatan : pasien mengatakan minum obat promag dan


Mylanta untuk mengurangi mual

Riwayat social : - Pasien merokok (+) 1 hari 1 pack

- Kebiasaan minum jamu

- Pemakain jarum suntik bergantian (disangkal)

- Berhubungan sex diluar pernikahan (disangkal)

- Kebiasaan minum alcohol (disangkal)

2
PEMERIKSAAN FISIK :

Keadaan umum : Lemah

Kesadaran : Composmentis

GCS : 456

Tinggi/BB : 155 cm/60 kg

Tekanan Darah : 103/78 mmHg

Nadi : 119x/menit

Suhu : 37,3oC

Respiration Rate : 20x/menit

Kepala / leher :

Rambut : normal

Mata : isokor, Anemis +/+, Ikterus +/+

Telinga : normal

Hidung : normal, dypsneu –

Mulut : normal, sianosis -, bibir kering -, lidah kotor -

Leher : pembesaran kelenjar getah bening -,

peningkatan JVP -, deviasi trakea -

Thorax :

Paru : Inspeksi : bentuk dada normal,

pergerakan dada simetris,retraksi -/-

Palpasi : fremitus raba dan suara simetris.

Perkusi : sonor kedua lapang paru.

Auskultasi : suara nafas vesikuler +/+


3
Ronkhi -/-, wheezing -/-

Jantung : Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat.

Palpasi : iktus kordis teraba pada ICS V

midclavicula sinistra.

Perkusi : batas jantung kanan PSL dextra,

Batas jantung kiri PSL sinistra ICS


V.

Auskultasi : S1 S2 tunggal, murmur -, gallop -

Abdomen :

Inspeksi : distended, scar ( -), acites(+)

Auskultasi : BU (+) normal

Palpasi : nyeri tekan epigastrium

Hepar: Teraba 6 jari dibawah arcus costa

Lien : Tidak teraba

Perkusi : hypertimpani

Ekstremitas :

Superior : akral hangat +/+ , oedem -/-,

inferior : akral hangat +/+, oedem -/-

4
PEMERIKSAAN PENUNJANG :

Pemeriksaan Hasil Normal


Hb 11.8 L : 13-17g%,
P : 11,4-15,19 g%
Leukosit 10.200 4.500 – 11.000
PCV 38 L : 40-50%
P : 37-47%
Thrombosit 315.000 150.000 – 350.000 µL
MCV 77 80 – 94
MCH 24 26 – 33
MCHC 31 32 – 36
GDA 118 < 200 mg/dL
Faal Ginjal laki laki
BUN 16.9 4.8-23 g/dL
Serum creatinin 1.16 Dewasa 0.7-1.2 mg/dL
Anak 0.5-1.2 mg/dL
Faal Hati Laki-Laki
Bil Dir 1,84 Dewasa dan anak <= 0.2
mg/Dl
Bil Tot
Dewasa 3.42 0.1-0.2 mg/dl
SGOT 222.1 0-31 µL
SGPT 99.5 0-32 µL
HBS AG Positip Negatif
Elektrolit
Natrium 134 135-145
Kalium 4.4 3.5-5.5
Chlorida 94 98-108

5
Problem List Initial Planning
TPL PPL Assessment
Anamnesa Pdx:
K.U : Vomiting DL
USG abdomen
RPS ECG
- perut terasa sebah sejak 1 minggu Biopsi hati
- Perut terasa panas,hilang timbul Fibroscan
- anoreksia
- Nausea sejak 2 bulan
- Vomiting 5x sehari Ptx:
- Vomiting sudah 3 hari sebelum MRS Dispepsia  Diet tinggi kalori
- konsistensi berupa cairan 2600 kal/kgBB
- Volume Vomiting 1 gelas aqua  Diet tinggi protein
- Perut terasa panas,hilang timbul 2 g/ kgBB
 Penambahan
asupan Susu
RPD :  Infus asering 21
Gastritis Gastritis tpm
 Inj.Pantoprazole 40
R.Sosial : mg 2x1
-kebiasaan minum jamu  Inj. Ondansetron 8
-merokok 1 pack sehari mg 2x1
 Inj.Furosemide 20
Pemeriksaan fisik: mg 3x1
-Takikardi : 119x/menit
 Tabs.Lamivudine
- Icterus +/+
100 mg 1x1
-Subfebris: 37,3°C Suspect. Suspect.
 Tabs.Paracetamol
- Palpasi : Hepar teraba 6 jari dibawah Hepatoma Hepatoma
500 mg 3x1
arcus costae ( 11 CM )
-Permukaan hepar tidak rata,berdungkul-  Tabs.curcuma 3x1
dungkul,tepi tumpul  Syr.Surcalfat 3xC1
-pemeriksaan shifting dullnes : acites
abdomen
P.monitoring :
Pemeriksaan Lab:
Monitoring TTV
HB 11.8
BIL DIR 1.84 DL ulang
BIL TOT Dewasa Cek DNA VHB
3.42 Cek HBeAG
SGOT 222.1 Cek ALT
SGPT 99.5 Hepatitis Hepatitis B
HBsAG Positif B ( pengecekan DNA
VHB,HbeAG,ALT
dilakukan setelah
terapi selesai skitar 3
– 6 bulan )

6
BAB II

RESUME

Pasien datang ke IGD RSUD Ibnu Sina dengan keluhan utama muntah. Dari

anamnesa didapatkan pasien mengatakan perut terasa sebah sejak 1 minggu

sebelum MRS, mual sejak 2 bulan, muntah 5 kali dalam sehari selama 3

hari,kosistensi muntah berupa cairan, cairan muntah kira-kira sebanyak 1 gelas

aqua.pasien juga mengeluh perut terasa panas pada pagi hari hilang timbul. Pasien

mengatakan terasa benjolan keras di perut atas kanan.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan Tekanan darah 103/78 mMhg, Nadi

116x/menit, Suhu 37,3o C , Respiration rate 20x/menit, dari pemeriksaan kepala

leher ditemukan icterus di scelera mata , dari pemeriksaan thorax dalam batas

normal dari pemeriksaan abdomen ditemukan acites, nyeri tekan epigastrium,

Hepar teraba 6 jari di bawah arcus costae dan pada ekstremitas tidak ditemuka

oedem. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 11.8, Bil Dir 1.84, Bil TOT

dewasa 3.42, SGOT 222.1, SGPT 99.5 HBS AG positif.

Dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan

hasil yang menunjukkan diagnosa pada Hepatitis B dengan komplikasi suspect

hepatoma. Sehingga diberikan terapi untuk Hepatitis B Terapi cairan: Diet tinggi

kalori tinggi protein 2600, Tambahan asupan susu, Inf Asering 21 tpm,

Inj.pantoprazole 2x1, Inj. Ondansetron 2x1, Inj.Furosemide 3x1 Tabs.paracetamol

500 mg 3x1, Tabs.Lamivudine 100 mg 1x1,Tabs.curcuma 3x1 Syr.Surcalfat 3xC1

7
BAB III

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Infeksi virus hepatitis B merupakan salah satu infeksi kronis yang sering

diderita manusia dan merupakan salah satu penyebab utama penyakit hati kronis,

sirosis hati (SH) dan karsinoma hepatiseluler atau KHS.1 Hepatitis kronik adalah

suatu sindroma klinis dan patologis yang disebabkan oleh berbagai macam etiologi,

ditandai oleh berbagai tingkat peradangan dan nekrosis pada hati yang berlangsung

terus-menerus tanpa penyembuhan dalam waktu paling sedikit 6 bulan.2

Cara Virus Hepatitis B (VHB) bisa melalui cara parenteral dan nonparenteral.

Secara non-parenteral erat hubungannya dengan hubungan seksual yang promiskus

mempunyai resiko yang tinggi, khusunya pria yang homoseksual. Antigen hepatitis

B ditemukan secara berulang-ulang dalam darah dan cairan tubuh lainnya. Adanya

antigen dalam urin, feses, empedu, keringat dan air mata juga telah dilaporkan

namun belum dapat dipastikan. Cara penularan VHB di daerah tropic sama halnya

dengan cara penularan VHB di wilayah lain, tetapi faktor-faktor tambahan memiliki

peran dalam penularannya. Factor tambahan tersebut termasuk tattoo tradisional

dan perlukaan kulit, pengaliran darah, sirkulasi ritual dengan alat yang tidak steril,

dan gigitan berulang oleh vector arhtropoda penghisap darah. Cara penularan ini

dikenal seagai cara penularan parenteral.3

Prevalensi infeksi VHB berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya.

Negara endemitasnya tinggi terutama Asia yaitu Cina, Vietnam, Korea, dimana 50-
8
70% dari penduduk berusia 30-40 tahun pernah kontak dengan VHB, dan sekitar

10-15% menjadi pengidap Hepatitis B Surface Antigen (HbsAg). Prevalensi

terendah didapatkan di Amerika Utara dan Eropa Barat di mana infeksi tersebut

didapatkan pada 0,1-0,5% penduduk. Komisi Hepatitis WHO membagi prevalensi

rendah, prevalensi sedang, dan tinggi. Menurut WHO, Indonesia termasuk

kelompok daerah dengan endemitas sedang dan tinggi (3,17%), dan menjadi negara

ketiga Asia yang penderita hepatitis kroniknya paling banyak.3,4 Prevalensi hepatitis

B kronik di Indonesia mencapai hingga 5-10% dari total penduduk atau setara

dengan 13,5 juta penderita.4

Dari uraian diatas maka pada bab berikutnya membahas tinjauan pustaka

mengenai Hepatitis B kronis Dalam makalah ini akan dibahas mengenai definisi

hepatitis B kronik, pathogenesis terjadinya hepatitis B kronik, gejala klinis,

Komplikasi, penatalaksanaan dan pencegahan hepatitis B kronik.4

9
BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

A.Definisi

Hepatitis B merupakan infeksi virus hepatitis B (VHB) pada hati yang

dapat bersifat akut atau kronis.5 Hepatitis B adalah adanya persistensi vitrus

hepatitis B (VHB) lebih dari 6 bulan, sehingga pemaikaian istilah carrier sehat

(healty carrier) tidak diajurkan lagi.6

Sirosis hati merupakan stadium akhir hepatitis kronik dan ireversibel

yang ditandai oleh fibrosis yang luas dan menyeluruh pada jaringan hati

disertai dengan pembentukan nodulus sehingga gambaran arsitektur jaringan

hati yang normal menjadi sukar dikenal lagi.2

B.Etiopatogenesis

Hepatitis B kronik tidak selamanya harus didahului oleh serangan

hepatitis B akut. Pada beberapa keadaan, hepatitis akut langsung diikuti oleh

perjalanan ke arah kronisitas. Pada kasus lain, walaupun tampaknya seperti

penyakit akut, ternyata sudah terjadi hepatitis kronik. Kira-kira 10% orang

dewasa dan 90% neonati yang mengalami infeksi virus hepatitis B akut akan

berlanjut mnejadi infeksi kronik.2

Virus hepatitis B (VHB) masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari

peredaran darah partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi

virus. Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane

10
utuh, partikel HbsAg bentuk bulat tubuler, dan HbeAg yang tidak ikut

membentuk partikel virus. VHB merangsang respon imun tubuh,yang pertama

kali dirangsang adalah respon imun yang nonspesifik (innate immune

response) karena dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit

sampai beberapa jam. Proses eliminasi nonspesifik ini terjadi tanpa restriksi

HLA, yaitu dengan memanfaatkan sel-sel NK-T.6

Untuk proses eradikasi VHB lebih lanjut diperlukan respon imun

spesifik, yaitu dengan mengaktivasi sel limfosit T dan sel limfosit B. Aktivasi

sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor sel T tersebut dengan kompleks

peptida VHB-MHC kelas 1 yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada

permukaan dinding Antigen Presenting cell (APC) dan dibantu rangsangan sel

T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan kompleks peptida

VHB-MHC kelas 2 pada dinding APC. Sel hati dan menjadi antigen sasaran

respon imun adalah peptida kapsid yaitu HBcAg atau HBeAg. Sel T CD8+

selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada di dalam sel hati yang

terinfeksi. Proses eliminasi tersebut bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati

yang akan menyebabkan meningkatnya ALT atau mekanisme sitolotik.

Disamping itu dapat juga terjadi eliminasi virus intrasel interferon gamma dan

tissue nekrotik factor (TNF) alfa yang dihasilkan oleh sel T CD8+ (mekanisme

nonsitolitik).6

Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan

produksi antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc, dan anti HBe. Fungsi anti

HBs adalah netralisasi dalam sel. Dengan demikian anti HBs akan mencegah
11
menyebaran virus dari sel ke sel. Infeksi kronis VHB bukan disebabkan

gangguan produksi anti HBs. Buktinya pada pasien hepatitis B kronik ternyata

dapat ditemukan adanya anti HBs yang tidak bisa dideteksi dengan metode

pemeriksaan biasa karena anti HBs bersembunyi dalam kompleks dengan

HBsAg.6

Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi VHB dapat

diakhiri, sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi

VHB yang menetap. Proses eliminasi VHB oleh respon imun yang tidak efisien

dapat disebabkan oleh faktor virus ataupun faktor penjamu.6

Faktor virus antara lain : terjadinya imunotoleransi terhadap produk

VHB, hambatan terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel-sel

terinfeksi, terjadinya muatan VHB yang tidak memproduksi HBeAg, intregasi

genom VHB dalam genom sel hati.6

Faktor penjamu antara lain : faktor genetik kurangnya produksi IFN,

adanya antibodi terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit,

respon antiidiotipe, faktor kelamin atau hormonal.6

Salah satu contoh peran imunotoleransi terhadap produk VHB dalam

persistensi VHB adalah mekanisme infeksi VHB pada neonatus yang

dilahirkan oleh ibu HBsAg dan HBeAg positif. Diduga persistensi tersebut

disebabkan adanya imunotoleransi terhadap HbeAg yang masuk dalam tubuh

janin mendahului invasi VHB sedangkan persistensi pada usia dewasa diduga

disebabkan oleh kelelehan sel T karena tingginya konsentrasi partikel virus.


12
Persistensi infeksi VHB dapat disebabkan karena mutasi pada daerah precore

dari DNA yang menyebabkan tidak dapat diproduksinya HBeAg. Tidak adanya

HBeAg pada muatan tersebut akan menghambat eliminasi sel yang terinfeksi

VHB.6

Sembilan puluh persen individu yang mendapat infeksi sejak lahir akan

tetap HBsAg positip sepanjang hidupnya dan menderita Hepatitis B kronik,

sedangkan hanya 5 % individu dewasa yang mendapatkan akan mengalami

persistensi infeksi. Persistensi VHB menimbulkan kelainan yang berbeda pada

individu yang berbeda, tergantung konsentrasi partikel VHB dengan respon

imun tubuh.Interaksi antara VHB dengan respon imun tubuh terhadap VHB,

sangat besar besar perannya dalam menentukan derajat keparahan hepatitis.

Makin besar respon imun tubuh terhadap virus, makin besar pula kerusakan

jaringan hati, sebaliknya bila tubuh toleran terhadap virus tersebut maka terjadi

kerusakan hati.6

Ada 3 fase penting dalam perjalanan penyakit Hepatitis B Kronik yaitu

fase imunotoleransi, fase imunoaktif atau fase immune clearance, dan fase

nonreplikatif atau fase residual. Pada masa anak-anak atau pada masa dewasa

muda, sistem imun tubuh toleran terhadap VHB sehingga konsentrasi virus

dalam darah dapat sedemikian tingginya, tetapi tidak terjadi peradangan hati

yang berarti. Dalam keadaan itu VHB ada dalam fase replikatif dengan titer

HBsAg yang sangat tinggi, HBeAg positip, anti-Hbe negatif, titer DNA VHB

tinggi dan konsentrasi ALT yang relatif normal. Fase ini disebut fase

imunotoleransi. Pada fase imunotoleransi sangat jarang terjadi serokonversi


13
HBeAg secara spontan, dan terapi untuk menginduksi serokonversi HBeAg

tersebut biasanya tidak efektif. Pada sekitar 30% individu dengan persistensi

VHB akibat terjadinya replikasi VHB yang berkepanjangan, terjadi proses

nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi ALT. Pada keadaan ini

pasien mulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB. Fase ini disebut fase

imunoaktif atau immune clearance. Pada fase ini tubuh berusaha

menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi

VHB. Pada fase immunoaktif serokonversi HBeAg baik secara spontan

maupun karena terapi lebih sering terjadi. Sisanya, sekitar 70% dari individu

tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel VHB tanpa ada

kerusakan sel hati yang berarti. Pada keadaan ini, titer HBsAg rendah dengan

HBeAg yang menjadi negatif dan anti-HBe yang menjadi positif secara

spontan, serta konsentrasi ALT yang normal, yang menandai terjadinya fase

nonreplikatif atau fase residual dapat mengalami reaktivasi dan menyebabkan

kekambuhan.6

Pada sebagian pasien residual, pada waktu terjadi serokonversi HBeAg

positif menjadi anti-HBe justru sudah terjadi sirosis. Hal ini disebabkan karena

terjadinya fibrosis setelah nekrosis yang terjadi pada kekambuhan yang

berulang-ulang sebelum terjadinya serokonversi tersebut. Dalam fase residual,

replikasi VHB sudah mencapai titik minimal dan penelitian menunjukkan

bahwa angka harapan hidup pada pasien yang anti-HBe positif lebih tinggi

dibandingkan pasien HBeAg positif. Penelitian menunjukkan bahwa setelah

infeksi hepatitis B menjadi tenang justru resiko untuk terjadi karsinoma

14
hepatoseluler (KHS) mungkin meningkat. Sebagai contoh, Onata melaporkan

dari 500 pasien KHS, 53 orang (11%) menunjukkan HBsAg yang positif. Dari

jumlah ini,46 (87%) anti-HBe positif dan 30% HbeAg positif. Diduga integrasi

genom VHB ke dalam genom sel hati merupakan proses yang penting dalam

karsinogenesis. Karena itu, terapi anti virus harus diberikan selama mungkin

untuk mencegah sirosis tapi di samping itu juga sedini mungkin untuk

mencegah integrasi genom VHB dalam genom sel hati yang dapat berkembang

menjadi KHS.6

C.Faktor Resiko

Tingginya prevelensi Hepatitis B sebagian diakibatkan oleh

infeksi perinatal (transmisi vertical) dan sebagian kecil terjadi secara

horizontal, yakni melalui kontak langsung cairan tubuh (darah dan produk

darah, saliva, cairan serebrospinal, cairan peritonium, cairan pleura, cairan

amnion, semen, cairan vagina, dan sebagainya).5

D.Gejala Klinis

Gambaran klinis hepatitis B kronik sangat bervariasi. Pada banyak

kasus tidak didapatkan keluhan maupun gejala dan pemeriksaan tes faal hati

hasilnya normal. Pada sebagian lagi didapatkan hepatomegali atau bahkan

splenomegali atau tanda-tanda penyakit kronis lainya, misalnya eritema

palmaris dan spider nevi, serta pada pemeriksaan laboratorium kenaikan

konsentrasi ALT walaupun hal itu tidak selalu didapatkan. Pada umumnya

didapatkan konsentrasi bilirubin yang normal. Konsentrasi albumin serum

umumnya masi normal kecuali pada kasus-kasus yang parah.6


15
Secara sederhana manisfestasi klinis hepatitis B kronik dapat

dikelompokan menjadi 2 yaitu :

1. Hepatitis B kronik yang masi aktif (hepastitis B kronik aktif), HBsAg

positif dengan DNA VHB lebih dari 105 kopi/ml didapatkan kenaikan ALT

yang menetap atau intermiten. Pada pasien sering didapatkan tanda-tanda

penyakit hati kronik. Pada biopsi hati didapatkan gambaran peradangan

yang aktif. Menurut status HBeAg pasien dikelompokan menjadi hepatitis

B kronik HBeAg positif dan hepatitis B kronik HBeAg negatif.6

2. Carrier VHB inaktif (Inactive HBV Carrier State). Pada kelompok ini

HBsAg positif dengan titer DNA VHB yang rendah yaitu kurang dari 10 5

kopi/ml. Pasien menunjukan konsentrasi ALT normal dan tidak didapatkan

keluhan. Pada pemeriksaan histologik terdapat kelainan jaringan yang

minimal. Sering sulit membedakan Hepatitis B kronik HBe negative

dengan pasien carrier VHB inaktif karena pemeriksaan DNA kuantitatif

masi jarang dilakukan secara rutin. Dengan demikian perlu dilakukan

pemeriksaan ALT berulang kali untuk waktu yang cukup lama.6

Pemeriksaan biopsi untuk pasien hepatitis B kronik sangat penting

terutama untuk pasien dengan HBeAg positif dengan konsentrasi ALT 2 x

nilai normal tertinggi atau lebih. Biopsi dihati diperlukan untuk

menegakkan diagnosis pasti dan untuk meramalkan prognosis serta

kemungkinan keberhasilan terapi (respon histologik). Sejak lama

diketahui bahwa pasien hepatitis B kronik dengan peradangan hati yang

16
aktif mempunyai resiko tinggi untuk mengalami progesi, tetapi gambaran

histologik yang aktrif juga dapat meramalkan respon yang baik terhadap

terapi imunomodulator atau virus.6

E.Komplikasi

1. Karsinoma hepatoseluler (KHS) atau hepatoma

Skitar 70 % kasus KHS berhubungan dengan infeksi kronis virus

hepatitis B dan virus Hepatitis C semua pasien sirosis hati beresiko untuk

KHS.1

Diagnosis KHS dibuat dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan fisik, Pemeriksaan penunjang laboratorium, Imejing, dan pada

beberapa kasus (terseleksi) dengan dipastikan dengan biopsi tumor.1

Pemeriksaan fisik berfokus pada penemuan adanya tanda penyakit

hati kronis atau sirosis hati dan pemeriksaan fisik hati. Pada stadium lanjut

dapat ditemukan pemeriksaan fisik yang perabaan hati yang membesar,

berdungkul, keras, dan disertai nyeri tekan pada daerah perabaan hati

tersebut.1

2. Sirosis hati

Di Indonesia banyak penelitian menunjukan bahwa hepatitis B dan

hepatitis C merupakan penyebab sirosis yang lebih menonjol,dibandingkan

penyakit hati alkoholik.1

17
Sirosis Hati merupakan perjalanan akhir dari suatu kelainan patologi

dari berbagai macam penyakit hati. Banyak bentuk kerusakan hati yang

ditandai dengan fibrosis. Batasan fibrosis sendiri adalah penumpukan yang

berlebihan dari matriks aktraseluler (seperti : collagens, glycoproteins,

proteoglycans) dalam hati. Respon fibrosis terhadap kerusakan hati bersifat

reversible. Berbeda pada sebagian besar pasien dengan sirosi, Pada kejadian

ini prosesnya biasanya tidak reversible.1

F.Pemeriksaan Penunjang

1. Tes laboratorium urin (bilirubin didalam urin).7

2. Pemeriksaan darah :peningkatan kadar bilirubin dalam darah, kadar SGOT

dan SGPT lebih dari 2x nilai normal tertinggi, dilakukan pada fasilitas

pelayanan kesehatan tingkat pertama yang lebih lengkap.7

3. Serologi hepatitis B

Tabel 2.Penanda serologis Hepatitis B


HbsAg Anti-HBs Anti-HBc HbeAg Anti-Hbe DNA-
VHB
Hepatitis Akut (+) (-) IgM (+) (-) (+)
Periode Jendela (-) (-) IgM (+) atau (+) atau (+)
(-) (-)
Riwayat Hepatitis (-) (+) IgG (-) (+) atau (-)
B ( sembuh ) (-)
Imunisasi (-) (+) (-) (-) (-) (-)
Hepatitis Kronis (+) (-) IgG (+) (-) (+)
HBeAg (+)
HbsAg Anti-HBs Anti-HBc HbeAg Anti-Hbe DNA-
VHB
Hepatitis Kronis (+) (-) IgG (-) (+) (+) atau
HBeAg (-) (-)
(Sumber kepustakaan diambil dari nomer 1)
18
4. Biokimia hati. Pemeriksaan ALT, AST, gamma-glutamyl transpeptidase

(GGT), alkaline fosfatase, bilirubin, albumin, globulin, serta pemeriksaan

darah perifer lengkap dan waktu protrombin.Umumnya akan ditentukan

ALT yang lebih tinggi dari AST, tetapi seiring berkembangnya penyakit

menuju siroris, rasio itu akan berbalik. Bila sirosis telah terbentuk, akan

tampak penurunan progresif albumin, peningkatan globulin, pemanjangan

waktu protrombin yang disertai penurunan jumlah trombosit. Pada pasien

Hepatitis B kronis, perlu dilakukan pemeriksaan α-fetoprotein untuk

mendeteksi karsinoma hepatoseluer.8

5. USG dan biopsi hati untuk menilai derajat nekroin-flamasi dan fibrosis

pada kasus infeksi kronis dan sirosis hati.8

6. Pemeriksaan untuk mendeteksi penyebab hati lain, bila diperlukan,

termasuk kemungkinan ko-hepatitis C dan atau HIV.8

G.Tatalaksana

1. TUJUAN TERAPI

Pada saat ini, dengan memperhatikan siklus hidup VHB, maka

eradikasi VHB sebagai tujuan pengobatan belumlah memungkinkan.1

Tujuan pengobatan Hepatitis B Kronis pada saat ini adalah

mencegah terjadinya Sirosis Hepatis (SH) dan Karsinoma Hepato Seluler

(KHS).1

Secara klinis praktis parameter yang ingin dicapai adalah :

 Penurunan kadar HBV DNA sampai tidak terdeteksi dan

19
dipertahankan selama mungkin

 Normalisasi kadar ALT/AST

 Menghilangkan HBsAg dan terbentuknya anti HBs

 Perbaikan histologi hati

2. INDIKASI TERAPI

Perjalanan alami hepatitis B kronis, dan fase penyakit serta penelitian

efekasi obat menyebabkan penyakit ini hanya diobati bila didapatkan tanda

penyakit dalam keadaan aktif.1

Biopsy hati merupakan sarana diagnosis akurat untuk menentukan

hepatitis B kronis dalam keadaan aktif. Biopsi hati terkendala oleh beberapa

hal, maka pada saat ini peningkatan ALT yang persistent, merupakan indikasi

kuat penyakit dalam fase aktif dan pengobatan dapat dipertimbangkan mulai

diberikan. Kadar ALT normal juga menjadi isyu yang berkembang, terutama

mengenai batas atas nilai normal ALT. Sedang dikembangkan cara lain untuk

menentukan aktivitas penyakit, antara lain dengan pemeriksaan fibrotest dan

fibro scan.1

Kadar HBV DNA sebagai “alarm” dimulainya pengobatan

merupakan hal yang harus dipahami dengan baik oleh karena adanya

perbedaan fase penyakit.1

Pada penderita dengan HBeAg positif “alarm” dimulainya

pengobatan adalah kadar HBVDNA >20.000 IU/ml, sedangkan pada penderita

HBeAg negative adalah kadar HBV DNA > 2.000 IU/ml. Pada penderita SH

20
yang masih menunjukkan tanda inflamasi maka pengobatan antivirus harus

dimulai tanpa memperhatikan kadar HBV DNA.1

3. STRATEGI TATA LAKSANA

Sebelum memulai pengobatan maka evaluasi menyeluruh dan

konseling wajib dilakukan kepada pasien. (Tabel 2).

Tabel 2. Indikasi terapi hepatitis B

Liver HBeAg Positive HBeAg Negative


Society HBV DNA ALT HBV DNA ALT
Guidelines α IU/ml IU/ml
EA SL 2012 >2000 >ULN > 2000 >ULN
APA SL >20.000 >2 x ULN ≥ 2000 >2 x ULN
2012
AA SLD >20.000 > 2 x ULN or ≥ 20,000 ≥2 x ULN or
2009 (+) biopsy (+) biopsy
Ina ASL >2 x 104 > 2 x ULN or >2 x ULN or
2012 (+) biopsy >2 x 103 (+) biopsy
(age and etc) (age and etc )
( Sumber Kepustakaan Diambil dari Nomer 1)

21
Tabel 3. Evaluasi pasien sebelum terapi Hepatitis B kronis

Anamnesis Resiko penularan Keluarga,Tranfusi,obat-


Gejala penyakit hati obatan narkoba
Pemeriksaan fisikn Tanda penyakit hati Icterus,Splenomegali,Acites
Tanda gagal hati
Pemeriksaan laborat Profil darah tepi Trombositopenia
ALT,dan AST,GGT,
Alkali fosfatase,
bilirubin, dan
globulin serum,
waktu protrombin
Test fungsi ginjal
Penanda Virus HBsAg kuantitatif Khusus pengobatan dengan
HBeAg dan Anti HBe peg interferon strategi
HBV DNA pengobatan “ alarm”
pengobatan

Imejing Ultrasonografi Mengetahui kondisi hati,


kemungkinan hipertensi
portal, acites dan nodul
Biopsi hati Pada kasus terseleksi Fibro scan sebagai
alternative (?)
Pemeriksaan ko - Anti HCV
morbid infeksi Anti HIV
Test ANA
( Sumber Kepustakaan Diambil dari Nomer 1 )

22
Algoritma pengobatan hepatitis B kronis selengkapnya dapat dilihat pada

gambar dibawah ini (Gambar 1).

Gambar 1. Algoritma Tatalaksana Hepatitis B dengan HbeAg positif .

(Sumber Diambil dari Kepustakaan Nomer 1)

23
4. PEMILIHAN OBAT
Obat yang diterima (accepted) dan tersedia di Indonesia dapat dilihat di Tabel 4.

Tabel 4. Obat Anti-HBV


Nama obat Pemberian Rekomendasi Komentar
Dewasa
Interferon SC 5MU/hari atau 1992
10 MU 3x
perminggu

Lamivudin PO 100mg1x/hari 1998


Adefovir PO 10mg 1x/hari 2002
Penginterferon SC 180µg/minggu 2006
Alfa-2α selama 48
minggu

Entecavir PO -0.5 2006


mg/hari(tidak
ada riwayat
LAM)
-1.0
mg/hari(bila
ada resistensi
LAM)
Telbivudine PO 600 mg/hari 2006
Tenofovir PO 300 mg/hari 2008
(Sumber Kepustakaan Diambil Dari Nomer 1)

Masing-masing obat mempunyai profil efikasi dan keamanan yang

memadai, sehingga pemilihan obat harus mempertimbangkan kondisi

pasien, ketersediaan obat yang kontinyu dan penguasaan profil obat oleh

dokter serta persetujuan pasien.1

Pada prinsipnya obat anti HBV dapat dikelompokkan dalam 2

golongan yaitu :

a. Imunomodulator

 Interferon alfa konvensional

24
 Pegilated interferon alfa (PEG IFN)

Kedua obat tersebut di atas diberikan untuk jangka waktu

yang pasti (24 minggu atau 48 minggu) (fenite duration).

Pada umumnya obat 2 ini diberikan pada pasien dengan

fungsi hati yang masih baik.

b. Obat anti viral; golongan analog nucleustida (AN)

 Lamvidune (LAM)

 Adenofir (ADV)

 Entecavir (ETV)

 Telbivudine (Ldt)

 Tenofovir (TNF)

Obat anti viral ini diberikan secara peroral dalam jangka waktu yang

tidak dapat dipastikan dan bersifat terus-menerus. Pada umumnya obat AN

dapat diberikan pada pasien dengan berbagai derajat keparahan penyakit.

Penghentian obat atau penggantian analog nukleosida secara sembarangan

dapat berakibat terjadinya resistensi obat, reaktivasi penyakit dan bahkan

kematian pasien.1

5. PEMANTAUAN OBAT
Terapi hepatitis B kronis pada umumnya untuk jangka waktu yang

panjang, sehingga memonitor pengobatan harus dilakukan. Tujuan

monitor pengobatan adalah untuk memprediksi hasil pengobatan,

menduga adanya resistensi obat, merubah strategi pengobatan dan

menghentikan pengobatan.1

25
Di samping anamnesis dan pemeriksaan fisik maka secara berkala

kadar ALTdan test fungsi hati serta penanda virus harus dilakukan.1

- Monitor terapi Peg Interferon

 Pemeriksaan darah tepi,secara rutin harus dilakukan sedikitnya 4 minggu

sekali. Perhatikan penurunan kadar hemoglobin, leukosit dan trombosit

sampai toleransi yang diperbolehkan untuk pemberian peg-IFN

 Kadar ALT; Peningkatan kadar ALT selama pengobatan menunjukan

respon obat yang baik, namun bila disertai tanda penurunan fungsi hati,

Maka harus dipertimbangkan untuk menghentikan obat. Kadar ALT

diperiksa setiap 4 minggu.

 Pemeriksaan kadar HBAg (HBsAg kuantitatif) awal pengobatan, dan

kemudian di ikuti pada minggu ke 12 pengobatan penting dilakukan unuk

strategi meneruskan atau menghentikan pengobatan. Penurunan kadar

HBsAg yang signifikan pada minggu ke 12 memprediksi keberhasilan

pengobatan.

 Pemeriksaan kadar HBV DNA (“viral load”) penting dilakukan. Pada

pemeriksaan kadar HBV DNA bersama dengan kadar HBsAg

kuantitatif merupakan predictor kuat untuk keberhasilan pengobatan.

-Monitor terapi dengan analog nukleosida

 Pemeriksaan ALT, Secara berkala harus dilakukan. Pada minggu ke 12

pengobatan dilakukan pemeriksaan ALT, dan kemudian setiap 12 minggu

setelahnya, atau tergantung hasil pemeriksaan.Peningkatan ALT pada


26
setiap pemeriksaan patut dicurigai sebagai tanda kegagalan terapi

 Pemeriksaan kadar HBV DNA, Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan

secara berkala dan biasanya dilkukan minimal setiap 12 minggu.Pada

umumnya setelah minggu ke 24 bila kadar-kadar HBV DNA masi

terdeteksi, maka perlu dipikirkan untuk mengubah strategi pengobatan.

 Pemahaman respon pengobatan selama monitor pengobatan dengan AN

harus dikuasai seorang dokter klinisi, sehingga tidak membahayakan

pasien.

 Kemampuan untuk memeriksa kadar HBV DNA harus menjadi

pertimbangan sebelum pemberian obat anti viral.

Penghentian obat

a. Penghentian pengobatan peg interferon,

Dilakukan sesuai jadwal, yaitu setelah tercapai 48 x pemberian pegilated

interferon alfa 2 A. Penghentian juga dapat dilakukan bila terjadi efek

samping sehingga tidak memungkinkan diberikan obat ini.1

b. Penghentian pengobatan Analog nukleosida pada pasien dengan HBeAg

positif,penghentian pengobatan dilakukan bila telah terjadi penurunan kadar

HBV DNA sampai nilai tak terdeteksi dan menghilangkan HBeAg yang

disertai sero konversi menjadi Anti HBe. Kondisi ini setidaknya dilakukan

sampai 3x pemeriksaan selang 24 minggu. Namun demikian beberapa

konsensus internasional menganjurkan pengobatan diteruskan selama

mungkin. Pada pasien dengan pemeriksaan HBeAg negative, Setelah tercapai

penurunan kadar HBV DNA sampai tidak terdeteksi penghentian pengobatan


27
masih kontroversial, beberapa consensus internasional menganjurkan

pemberian diteruskan selama mungkin.1

Risistensi Obat

Resistensi obat belum perna dilaporkan pemakian peg interferon

Alfa. Resistensi akibat pemakaian analog nukleosida terjadi akibat adanya mutase

VHB.1

Dengan memperhatikan table di atas maka bila terjadi dugaan

resistensi obat,seharusnya diperiksa resistensi apa yang terjdi, dan kemudian

bagaimana strategi pengobatan yang akan diberikan pada pasien. Pemeriksaan

biomelokuler untuk mengeteahui adanya resistensi dapat dilakasakan, namun

belum secara luas tersedia komersial. Pada umumnya semua “ guide lines”

menyatakan bahwa bila terjadi resistensi obat, Maka menambah obat lebih

dianjurkan (“add on”) dari pada mengganti obat (“switch on”). Strategi

menyesuaikan AASLD, EASL, APASL, guidelines dan merujuk ketersediaan obat

di Indonesia.1

H. Pencegahan

Berbagai cara telah digunakan untuk memotong rantai penularan

dalam upaya menurunkan insidens infeksi VHB. Ada tiga macam cara

pencegahan infeksi VHB yang terpenting, yaitu :3

1) Perbaikan hygiene dan sanitasi

28
2) Pencegahan penularan parenteral dan non-parenteral

3) Imunisasi

Pencegahan penularan parenteral yang terpenting adalah penapisan

HbsAg pada darah pratransfusi, sterilisasi alat kedokteran secara virusidal,

dan prinsip penggunaan satu alat streril untuk satu orang pada tindakan

parenteral.3

Pada saat ini telah tersedia vaksin Hepatitis B yang immunogenic

baik yang berasal dari plasma maupun yang dibuat dengan rekayasa

genetika. Vaksin ini ternyata efektif untuk menimbulkan kekebalan aktif

pada individu yang belum kena infeksi (preexposure immunization). Di

negara-negara dengan prevalensi infeksi VHB sedang sampai tinggi sasaran

utama imunisasi Hepatitis B adalah bayi dan dan anak-anak kecil.

Sedangkan di daerah prevalensi rendah sasaran uama adalah kelompok

resiko tinggi.3

Untuk mencegah terjadinya infeksi pada individu setelah terjadi

kontak dengan VHB, diberikan gabungan imunisasi aktif menggunakan

vaksin dan imunisasi pasif menggunakan HBIG (postexposure

immunization).3

Secara khusus program imunisasi Hepatitis B bertujuan :3

1) Mencegah infeksi Hepatitis pada bayi, penularan vertical

akan melahirkan bayi yang menjadi pengidap dan

merupakan sumber penularan, bayi bayi tersebut akan

menderita sirosis dan hepatoma di kemudian hari.

29
2) Mencegah infeksi VHB, apabila sudah tertular dan menjadi

pengidap Hepatitis B maka upaya pencegahan akan sia-sia.

Dengan demikian pencegahan harus diarahkan terhadap bayi

yang baru lahir.

WHO menargetkan bahwa pada tahun 2000, masalah Hepatitis B

di dunia sudah dapat di atasi. Program Imunisasi Dasar Hepatitis, adalah

untuk proteksi, membentuk anti HBs untuk mencegah penularan infeksi

VHB.3

Program pencegahan infeksi VHB perinatal sangat sulit

dilaksanakan di negara-negara sedang berkembang, karena hanya sebagian

kecil ibu-ibu yang memeriksakan diri serta melahirkan di rumah sakit.

Karena itu terdapat kecenderungan untuk melakukan imunisasi VHB pada

semua bayi baru lahir sebagai bagian dari imunisasi EPI (Expanded

Program Immunization). Selain itu perbaikan hygiene dan sanitasi akan

mengurangi penularan infeksi VHB horizontal.3

i. Prognosis

Insidens kumulatif 5 tahun dari saat terdiagnosis Hepatitis B kronis

menjadi sirosis hati ialah 8-20%, dan insidens kumulatif 5 tahun dari sirosis

kompensata menjadi sirosis dekompensata pada hepatits B kronis yang tidak

diobati adalah 20 %. Pada kondisi sirosis dekompensata tersebut, angka

30
survival dalam 5 tahun hanya berkisar 14-35%. Di lain sisi, setelah terjadi

sirosis hati, angka kejadian KHS pada hepatitis B kronis ialah 2-5%.6

Prognosis sejalan dengan beratnya penyakit. Pada pasien wanita

biasanya penyakit lebih ringan. Adanya asites, icterus atau perdarahan

varises esofagus menunjukkan adanya sirosis dan merupakan petanda

buruk. Usia lebih dari 40 tahun juga berpengaruh kurang baik terhadap

prognosis. Komplikasi yang ditakuti ialah karsinoma hati primer. Hal ini

harus dicurigai bila keadaan pasien tiba-tiba memburuk dengan keadaan

umum menjadi amat lemah, perasaan nyeri dan terutama lagi jika ada

benjolan pada abdomen kanan atas, berat badan yang menurun, asites dan

edema kedua tungkai.2

31
BAB V

Penutup
Hepatitis B merupakan infeksi virus hepatitis B (VHB) pada hati yang

dapat bersifat akut atau kronis.Hepatitis B adalah adanya persistensi vitrus

hepatitis B (VHB) lebih dari 6 bulan.Persistensi VHB menimbulkan kelainan

yang berbeda pada individu yang berbeda, tergantung konsentrasi partikel

VHB dengan respon imun tubuh.Interaksi antara VHB dengan respon imun

tubuh terhadap VHB, sangat besar besar perannya dalam menentukan derajat

keparahan hepatitis. Makin besar respon imun tubuh terhadap virus, makin

besar pula kerusakan jaringan hati, sebaliknya bila tubuh toleran terhadap virus

tersebut maka terjadi kerusakan hati. Prognosis sejalan dengan beratnya

penyakit. Pada pasien wanita biasanya penyakit lebih ringan. Adanya asites,

icterus atau perdarahan varises esofagus menunjukkan adanya sirosis dan

merupakan petanda buruk.

32
Daftar Pustaka

1. Setiawan, P.B., dan Thamrin, H., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Dalam
Hepatitis B Kronis. 2015. Surabaya. Airlangga University Press. Hal 278-
291

2. Abdulrachman, S.A., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Dalam Hepatitis


Virus Kronis. Jilid 1. 2004. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Hal 262-270

3. Rasmaliah,. Infeksi Virus Hepatitis B dan Pencegahannya. Fakultas


Kesehatan Masnyarakat Universitas Sumatra Utara. (205-208)

4. Rosalina, I., Hubungan Polimorfisme Gen TLR 9 (RS5743836) dan TLR 2


(RS3804099 dan RS3804100) dengan Pembentukan Anti-HBS pada Anak
Pasca Vaksinasi Hepatitis B. Universitas Padjajaran. Vol. 2 No.3 Desember
2012. 123-127

5. Klarisa, C., Liwang, F., Hasan, I., Kapita Selekta Kedokteraan. Dalam
Hepatitis B. Edisi IV. Media Aesculapius. Jakarta. 2016. Hal 683-689.

6. Soemohardjo, S., Gunawan, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Hepatitis
B Kronik. Edisi V. Internal Publishing. Jakarta 2015. Hal 653-660

7. Marsis, I.O., Paduan Praktik klinis. Edisi 1. Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia. Jakarta. 2017. Hal 94 – 95.

8. Marcelena, R., dan Menaldi, S.M., Kapita Selekta Kedokteran. Dalam


Kondiloma Akuminata. 2014. Jakarta. Media Aesculapius. Hal 351- 353.

33

Anda mungkin juga menyukai