RESPONSI
IDENTITAS PASIEN :
Nama : Tn. S
Umur : 50 tahun
Pekerjaan : Swasta
No RM : 683656
ANAMNESA :
Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke IGD RSUD Ibnu Sina dengan
kanan.
1
Riwayat penyakit dahulu : Tidak pernah mengalami keluhan serupa
sebelumnya.
Gastritis (+)
HT (disangkal)
DM (disangkal)
2
PEMERIKSAAN FISIK :
Kesadaran : Composmentis
GCS : 456
Nadi : 119x/menit
Suhu : 37,3oC
Kepala / leher :
Rambut : normal
Telinga : normal
Thorax :
midclavicula sinistra.
Abdomen :
Perkusi : hypertimpani
Ekstremitas :
4
PEMERIKSAAN PENUNJANG :
5
Problem List Initial Planning
TPL PPL Assessment
Anamnesa Pdx:
K.U : Vomiting DL
USG abdomen
RPS ECG
- perut terasa sebah sejak 1 minggu Biopsi hati
- Perut terasa panas,hilang timbul Fibroscan
- anoreksia
- Nausea sejak 2 bulan
- Vomiting 5x sehari Ptx:
- Vomiting sudah 3 hari sebelum MRS Dispepsia Diet tinggi kalori
- konsistensi berupa cairan 2600 kal/kgBB
- Volume Vomiting 1 gelas aqua Diet tinggi protein
- Perut terasa panas,hilang timbul 2 g/ kgBB
Penambahan
asupan Susu
RPD : Infus asering 21
Gastritis Gastritis tpm
Inj.Pantoprazole 40
R.Sosial : mg 2x1
-kebiasaan minum jamu Inj. Ondansetron 8
-merokok 1 pack sehari mg 2x1
Inj.Furosemide 20
Pemeriksaan fisik: mg 3x1
-Takikardi : 119x/menit
Tabs.Lamivudine
- Icterus +/+
100 mg 1x1
-Subfebris: 37,3°C Suspect. Suspect.
Tabs.Paracetamol
- Palpasi : Hepar teraba 6 jari dibawah Hepatoma Hepatoma
500 mg 3x1
arcus costae ( 11 CM )
-Permukaan hepar tidak rata,berdungkul- Tabs.curcuma 3x1
dungkul,tepi tumpul Syr.Surcalfat 3xC1
-pemeriksaan shifting dullnes : acites
abdomen
P.monitoring :
Pemeriksaan Lab:
Monitoring TTV
HB 11.8
BIL DIR 1.84 DL ulang
BIL TOT Dewasa Cek DNA VHB
3.42 Cek HBeAG
SGOT 222.1 Cek ALT
SGPT 99.5 Hepatitis Hepatitis B
HBsAG Positif B ( pengecekan DNA
VHB,HbeAG,ALT
dilakukan setelah
terapi selesai skitar 3
– 6 bulan )
6
BAB II
RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Ibnu Sina dengan keluhan utama muntah. Dari
sebelum MRS, mual sejak 2 bulan, muntah 5 kali dalam sehari selama 3
aqua.pasien juga mengeluh perut terasa panas pada pagi hari hilang timbul. Pasien
leher ditemukan icterus di scelera mata , dari pemeriksaan thorax dalam batas
Hepar teraba 6 jari di bawah arcus costae dan pada ekstremitas tidak ditemuka
oedem. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 11.8, Bil Dir 1.84, Bil TOT
hepatoma. Sehingga diberikan terapi untuk Hepatitis B Terapi cairan: Diet tinggi
kalori tinggi protein 2600, Tambahan asupan susu, Inf Asering 21 tpm,
7
BAB III
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Infeksi virus hepatitis B merupakan salah satu infeksi kronis yang sering
diderita manusia dan merupakan salah satu penyebab utama penyakit hati kronis,
sirosis hati (SH) dan karsinoma hepatiseluler atau KHS.1 Hepatitis kronik adalah
suatu sindroma klinis dan patologis yang disebabkan oleh berbagai macam etiologi,
ditandai oleh berbagai tingkat peradangan dan nekrosis pada hati yang berlangsung
Cara Virus Hepatitis B (VHB) bisa melalui cara parenteral dan nonparenteral.
mempunyai resiko yang tinggi, khusunya pria yang homoseksual. Antigen hepatitis
B ditemukan secara berulang-ulang dalam darah dan cairan tubuh lainnya. Adanya
antigen dalam urin, feses, empedu, keringat dan air mata juga telah dilaporkan
namun belum dapat dipastikan. Cara penularan VHB di daerah tropic sama halnya
dengan cara penularan VHB di wilayah lain, tetapi faktor-faktor tambahan memiliki
dan perlukaan kulit, pengaliran darah, sirkulasi ritual dengan alat yang tidak steril,
dan gigitan berulang oleh vector arhtropoda penghisap darah. Cara penularan ini
Negara endemitasnya tinggi terutama Asia yaitu Cina, Vietnam, Korea, dimana 50-
8
70% dari penduduk berusia 30-40 tahun pernah kontak dengan VHB, dan sekitar
terendah didapatkan di Amerika Utara dan Eropa Barat di mana infeksi tersebut
kelompok daerah dengan endemitas sedang dan tinggi (3,17%), dan menjadi negara
ketiga Asia yang penderita hepatitis kroniknya paling banyak.3,4 Prevalensi hepatitis
B kronik di Indonesia mencapai hingga 5-10% dari total penduduk atau setara
Dari uraian diatas maka pada bab berikutnya membahas tinjauan pustaka
mengenai Hepatitis B kronis Dalam makalah ini akan dibahas mengenai definisi
9
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
A.Definisi
dapat bersifat akut atau kronis.5 Hepatitis B adalah adanya persistensi vitrus
hepatitis B (VHB) lebih dari 6 bulan, sehingga pemaikaian istilah carrier sehat
yang ditandai oleh fibrosis yang luas dan menyeluruh pada jaringan hati
B.Etiopatogenesis
hepatitis B akut. Pada beberapa keadaan, hepatitis akut langsung diikuti oleh
penyakit akut, ternyata sudah terjadi hepatitis kronik. Kira-kira 10% orang
dewasa dan 90% neonati yang mengalami infeksi virus hepatitis B akut akan
peredaran darah partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi
virus. Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane
10
utuh, partikel HbsAg bentuk bulat tubuler, dan HbeAg yang tidak ikut
response) karena dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit
sampai beberapa jam. Proses eliminasi nonspesifik ini terjadi tanpa restriksi
spesifik, yaitu dengan mengaktivasi sel limfosit T dan sel limfosit B. Aktivasi
sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor sel T tersebut dengan kompleks
peptida VHB-MHC kelas 1 yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada
permukaan dinding Antigen Presenting cell (APC) dan dibantu rangsangan sel
VHB-MHC kelas 2 pada dinding APC. Sel hati dan menjadi antigen sasaran
respon imun adalah peptida kapsid yaitu HBcAg atau HBeAg. Sel T CD8+
selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada di dalam sel hati yang
terinfeksi. Proses eliminasi tersebut bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati
Disamping itu dapat juga terjadi eliminasi virus intrasel interferon gamma dan
tissue nekrotik factor (TNF) alfa yang dihasilkan oleh sel T CD8+ (mekanisme
nonsitolitik).6
produksi antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc, dan anti HBe. Fungsi anti
HBs adalah netralisasi dalam sel. Dengan demikian anti HBs akan mencegah
11
menyebaran virus dari sel ke sel. Infeksi kronis VHB bukan disebabkan
gangguan produksi anti HBs. Buktinya pada pasien hepatitis B kronik ternyata
dapat ditemukan adanya anti HBs yang tidak bisa dideteksi dengan metode
HBsAg.6
Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi VHB dapat
diakhiri, sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi
VHB yang menetap. Proses eliminasi VHB oleh respon imun yang tidak efisien
dilahirkan oleh ibu HBsAg dan HBeAg positif. Diduga persistensi tersebut
janin mendahului invasi VHB sedangkan persistensi pada usia dewasa diduga
dari DNA yang menyebabkan tidak dapat diproduksinya HBeAg. Tidak adanya
HBeAg pada muatan tersebut akan menghambat eliminasi sel yang terinfeksi
VHB.6
Sembilan puluh persen individu yang mendapat infeksi sejak lahir akan
imun tubuh.Interaksi antara VHB dengan respon imun tubuh terhadap VHB,
Makin besar respon imun tubuh terhadap virus, makin besar pula kerusakan
jaringan hati, sebaliknya bila tubuh toleran terhadap virus tersebut maka terjadi
kerusakan hati.6
fase imunotoleransi, fase imunoaktif atau fase immune clearance, dan fase
nonreplikatif atau fase residual. Pada masa anak-anak atau pada masa dewasa
muda, sistem imun tubuh toleran terhadap VHB sehingga konsentrasi virus
dalam darah dapat sedemikian tingginya, tetapi tidak terjadi peradangan hati
yang berarti. Dalam keadaan itu VHB ada dalam fase replikatif dengan titer
HBsAg yang sangat tinggi, HBeAg positip, anti-Hbe negatif, titer DNA VHB
tinggi dan konsentrasi ALT yang relatif normal. Fase ini disebut fase
tersebut biasanya tidak efektif. Pada sekitar 30% individu dengan persistensi
nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi ALT. Pada keadaan ini
pasien mulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB. Fase ini disebut fase
maupun karena terapi lebih sering terjadi. Sisanya, sekitar 70% dari individu
tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel VHB tanpa ada
kerusakan sel hati yang berarti. Pada keadaan ini, titer HBsAg rendah dengan
HBeAg yang menjadi negatif dan anti-HBe yang menjadi positif secara
spontan, serta konsentrasi ALT yang normal, yang menandai terjadinya fase
kekambuhan.6
positif menjadi anti-HBe justru sudah terjadi sirosis. Hal ini disebabkan karena
bahwa angka harapan hidup pada pasien yang anti-HBe positif lebih tinggi
14
hepatoseluler (KHS) mungkin meningkat. Sebagai contoh, Onata melaporkan
dari 500 pasien KHS, 53 orang (11%) menunjukkan HBsAg yang positif. Dari
jumlah ini,46 (87%) anti-HBe positif dan 30% HbeAg positif. Diduga integrasi
genom VHB ke dalam genom sel hati merupakan proses yang penting dalam
karsinogenesis. Karena itu, terapi anti virus harus diberikan selama mungkin
untuk mencegah sirosis tapi di samping itu juga sedini mungkin untuk
mencegah integrasi genom VHB dalam genom sel hati yang dapat berkembang
menjadi KHS.6
C.Faktor Resiko
horizontal, yakni melalui kontak langsung cairan tubuh (darah dan produk
D.Gejala Klinis
kasus tidak didapatkan keluhan maupun gejala dan pemeriksaan tes faal hati
konsentrasi ALT walaupun hal itu tidak selalu didapatkan. Pada umumnya
positif dengan DNA VHB lebih dari 105 kopi/ml didapatkan kenaikan ALT
2. Carrier VHB inaktif (Inactive HBV Carrier State). Pada kelompok ini
HBsAg positif dengan titer DNA VHB yang rendah yaitu kurang dari 10 5
16
aktif mempunyai resiko tinggi untuk mengalami progesi, tetapi gambaran
histologik yang aktrif juga dapat meramalkan respon yang baik terhadap
E.Komplikasi
hepatitis B dan virus Hepatitis C semua pasien sirosis hati beresiko untuk
KHS.1
hati kronis atau sirosis hati dan pemeriksaan fisik hati. Pada stadium lanjut
berdungkul, keras, dan disertai nyeri tekan pada daerah perabaan hati
tersebut.1
2. Sirosis hati
17
Sirosis Hati merupakan perjalanan akhir dari suatu kelainan patologi
dari berbagai macam penyakit hati. Banyak bentuk kerusakan hati yang
reversible. Berbeda pada sebagian besar pasien dengan sirosi, Pada kejadian
F.Pemeriksaan Penunjang
dan SGPT lebih dari 2x nilai normal tertinggi, dilakukan pada fasilitas
3. Serologi hepatitis B
ALT yang lebih tinggi dari AST, tetapi seiring berkembangnya penyakit
menuju siroris, rasio itu akan berbalik. Bila sirosis telah terbentuk, akan
5. USG dan biopsi hati untuk menilai derajat nekroin-flamasi dan fibrosis
G.Tatalaksana
1. TUJUAN TERAPI
(KHS).1
19
dipertahankan selama mungkin
2. INDIKASI TERAPI
efekasi obat menyebabkan penyakit ini hanya diobati bila didapatkan tanda
hepatitis B kronis dalam keadaan aktif. Biopsi hati terkendala oleh beberapa
hal, maka pada saat ini peningkatan ALT yang persistent, merupakan indikasi
kuat penyakit dalam fase aktif dan pengobatan dapat dipertimbangkan mulai
diberikan. Kadar ALT normal juga menjadi isyu yang berkembang, terutama
mengenai batas atas nilai normal ALT. Sedang dikembangkan cara lain untuk
fibro scan.1
merupakan hal yang harus dipahami dengan baik oleh karena adanya
HBeAg negative adalah kadar HBV DNA > 2.000 IU/ml. Pada penderita SH
20
yang masih menunjukkan tanda inflamasi maka pengobatan antivirus harus
21
Tabel 3. Evaluasi pasien sebelum terapi Hepatitis B kronis
22
Algoritma pengobatan hepatitis B kronis selengkapnya dapat dilihat pada
23
4. PEMILIHAN OBAT
Obat yang diterima (accepted) dan tersedia di Indonesia dapat dilihat di Tabel 4.
pasien, ketersediaan obat yang kontinyu dan penguasaan profil obat oleh
golongan yaitu :
a. Imunomodulator
24
Pegilated interferon alfa (PEG IFN)
Lamvidune (LAM)
Adenofir (ADV)
Entecavir (ETV)
Telbivudine (Ldt)
Tenofovir (TNF)
Obat anti viral ini diberikan secara peroral dalam jangka waktu yang
kematian pasien.1
5. PEMANTAUAN OBAT
Terapi hepatitis B kronis pada umumnya untuk jangka waktu yang
menghentikan pengobatan.1
25
Di samping anamnesis dan pemeriksaan fisik maka secara berkala
kadar ALTdan test fungsi hati serta penanda virus harus dilakukan.1
respon obat yang baik, namun bila disertai tanda penurunan fungsi hati,
pengobatan.
pasien.
Penghentian obat
HBV DNA sampai nilai tak terdeteksi dan menghilangkan HBeAg yang
disertai sero konversi menjadi Anti HBe. Kondisi ini setidaknya dilakukan
Risistensi Obat
Alfa. Resistensi akibat pemakaian analog nukleosida terjadi akibat adanya mutase
VHB.1
belum secara luas tersedia komersial. Pada umumnya semua “ guide lines”
menyatakan bahwa bila terjadi resistensi obat, Maka menambah obat lebih
dianjurkan (“add on”) dari pada mengganti obat (“switch on”). Strategi
di Indonesia.1
H. Pencegahan
dalam upaya menurunkan insidens infeksi VHB. Ada tiga macam cara
28
2) Pencegahan penularan parenteral dan non-parenteral
3) Imunisasi
dan prinsip penggunaan satu alat streril untuk satu orang pada tindakan
parenteral.3
baik yang berasal dari plasma maupun yang dibuat dengan rekayasa
resiko tinggi.3
immunization).3
29
2) Mencegah infeksi VHB, apabila sudah tertular dan menjadi
VHB.3
semua bayi baru lahir sebagai bagian dari imunisasi EPI (Expanded
i. Prognosis
menjadi sirosis hati ialah 8-20%, dan insidens kumulatif 5 tahun dari sirosis
30
survival dalam 5 tahun hanya berkisar 14-35%. Di lain sisi, setelah terjadi
sirosis hati, angka kejadian KHS pada hepatitis B kronis ialah 2-5%.6
buruk. Usia lebih dari 40 tahun juga berpengaruh kurang baik terhadap
prognosis. Komplikasi yang ditakuti ialah karsinoma hati primer. Hal ini
umum menjadi amat lemah, perasaan nyeri dan terutama lagi jika ada
benjolan pada abdomen kanan atas, berat badan yang menurun, asites dan
31
BAB V
Penutup
Hepatitis B merupakan infeksi virus hepatitis B (VHB) pada hati yang
VHB dengan respon imun tubuh.Interaksi antara VHB dengan respon imun
tubuh terhadap VHB, sangat besar besar perannya dalam menentukan derajat
keparahan hepatitis. Makin besar respon imun tubuh terhadap virus, makin
besar pula kerusakan jaringan hati, sebaliknya bila tubuh toleran terhadap virus
penyakit. Pada pasien wanita biasanya penyakit lebih ringan. Adanya asites,
32
Daftar Pustaka
1. Setiawan, P.B., dan Thamrin, H., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Dalam
Hepatitis B Kronis. 2015. Surabaya. Airlangga University Press. Hal 278-
291
5. Klarisa, C., Liwang, F., Hasan, I., Kapita Selekta Kedokteraan. Dalam
Hepatitis B. Edisi IV. Media Aesculapius. Jakarta. 2016. Hal 683-689.
6. Soemohardjo, S., Gunawan, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Hepatitis
B Kronik. Edisi V. Internal Publishing. Jakarta 2015. Hal 653-660
7. Marsis, I.O., Paduan Praktik klinis. Edisi 1. Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia. Jakarta. 2017. Hal 94 – 95.
33